• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju Dekomposisi Serasah Dalam Ekosistem Karst Di Gunung Cibodas, Ciampea Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laju Dekomposisi Serasah Dalam Ekosistem Karst Di Gunung Cibodas, Ciampea Bogor"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH

DALAM EKOSISTEM KARST

DI GUNUNG CIBODAS, CIAMPEA BOGOR

SETHYO VIENI SARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Laju Dekomposisi Serasah dalam Ekosistem Karst di Gunung Cibodas, Ciampea Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Sethyo Vieni Sari

(4)
(5)

RINGKASAN

SETHYO VIENI SARI. Laju Dekomposisi Serasah Dalam Ekosistem Karst Di Gunung Cibodas, Ciampea Bogor. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan IWAN HILWAN.

Ekosistem karst memiliki sumberdaya yang khas dan berpotensi tinggi sehingga harus dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk masyarakat di sekitarnya. Serasah merupakan komponen penting karena mampu menyediakan nutrisi untuk tanah. Dekomposisi serasah merupakan lintasan utama dalam penyediaan bahan organik dan anorganik tanah dalam proses daur ulang hara serta pengembalian hara pada ekosistem. Peran serasah dalam proses penyuburan tanah dipengaruhi oleh jumlah produktivitas serasah dan laju dekomposisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas serasah dan laju dekomposisi yang terjadi dalam ekosistem karst pada ekosistem karst di Gunung Cibodas, Ciampea, Bogor.

Pengukuran produktivitas serasah menggunakan metode litter-trap. Sebanyak 15 buah litter-trap berukuran1m x 1m diletakkan dibawah pohon dan 50 cm diatas permukaan tanah di setiap ketinggian (200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl). Pegukuran laju dekomposisi serasah menggunakan metode litter-bag. Sebanyak 20 g serasah kering dimasukkan kedalam 27 buah litter-bag berukuran 30 cm x 20 cm dan diletakkan di setiap ketinggian (200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl). Setiap minggu 3 buah litter-bag diambil dari setiap ketinggian untuk analisis lebih lanjut. Analisis dekomposisi serasah menggunakan selisih penurunan bobot serasah. Analisis kandungan C-organik dan N pada serasah dan tanah juga dilakukan di setiap ketinggian 200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl.

Hasil pengukuran produktivitas serasah pada ekosistem karst di Gunung Cibodas menunjukkan bahwa produktivitas serasah tertinggi yaitu pada bagian daun di setiap ketinggian yaitu 200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl. Produktivitas serasah dari bagian daun mencapai 81.425 ton/ha/tahun, ranting 16.839 ton/ha/tahun, serta bunga dan buah 13.363 ton/ha/tahun. Produktivitas serasah total tertinggi terjadi pada minggu ke-6 di ketinggian 200 mdpl yaitu 90.452 ton/ha/tahun dan terendah terjadi pada minggu ke-3 di ketinggian 300 mdpl yaitu 25.440 ton/ha/tahun. Produktivitas serasah pada ekosistem karst dipengaruhi oleh curah hujan. Intesitas curah hujan tertinggi yaitu pada minggu ke-6 observasi dan terendah yaitu minggu ke-3 observasi.

Laju dekomposisi serasah pada ekosistem karst di Gunung Cibodas tergolong lambat. Laju dekomposisi serasah dan penurunan berat kering serasah pada ketinggian 250 mdpl lebih cepat dibandingkan dengan ketinggian 200 mdpl dan 300 mdpl. Berat kering serasah berkorelasi positif terhadap laju dekomposisi. Semakin rendah berat kering serasah maka laju dekomposisi juga semakin lambat. Berat kering serasah mengalami penurunan setiap minggunya hingga minggu ke-9 observasi. Pada ketinggian 250 mdpl terjadi penurunan berat serasah yang sangat cepat diawal minggu pertama observasi. Rata-rata rasio C/N serasah setiap ketinggian yaitu 28.716 (200 mdpl), 28.162 (250 mdpl), dan 28.024 (300 mdpl). Rasio C/N serasah pada eksosistem karst di Gunung cibodas tergolong sedang (>25) yang mengindikasikan lambatnya proses dekomposisi.

(6)
(7)

SUMMARY

SETHYO VIENI SARI. Litter Decomposition Rate of Karst Ecosystems at Gunung Cibodas, Ciampea Bogor. Supervised by IBNUL QAYIM and IWAN HILWAN.

Karst ecosystem is a typical and high potential resources that should be utilized in a sustainable manner for surrounding community. Litter are important

component because it’s provide nutrients to soil. Litter decomposition is the main path to supply the organic and inorganic materials in the process of recycling the soil nutrients and return nutrients to ecosystem. The role of litter in the enrichment of soil productivity was influenced by the number of litter and litter decomposition rate. This study aims to determine the productivity of litter and litter decomposition rate in karst ecosystem at Gunung Cibodas, Ciampea, Bogor.

Litter productivity measurement performed using litter-trap method. The total of 15 litter-traps were placed on each altitude (200 masl, 250 masl and 300 masl) with a size of 1m x 1m under trees and 50 cm height above the ground. The measurement of litter decomposition used litter-bag method. A total of 20 g dried litter were put into 27 litter-bag with a size of 30 cm x 20 cm and placed on each altitude (200 masl, 250 masl and 300 masl). Every week three litter-bags was taken from every altitude for further analysis. Analysis of litter decomposition used the differences in litter weight reduction. Analysis of organic carbon (C) and nitrogen content in litter and soil was also conducted on three altitude of 200 meters, 250 meters and 300 meters above sea level.

Litter productivity measurement results on karst ecosystem in Gunung Cibodas showed that the highest of litter productivity was leaves at every altitude of 200 meters above sea level, 250 meters above sea level and 300 meters above sea level. Productivity litter of leaves reached 81.425 ton/ha/year, twigs 16.839 ton/ha/year, as well as flowers and fruit 13.363 ton/ha/year. The highest total of litter productivity was at 6th week of observation and on altitude of 200 meters above sea level i.e. 90.452 tons/ha/year and the lowest was at 3rd week of observation and on altitude of 300 meters above sea level i.e. 25.440 tons/ha/year. The productivity of litter in karst ecosystem was influenced by rainfall. The intensity of rainfall was high at 6th week of observation and low at 3rd week of observation.

The rate of decomposition in karst ecosystem at Gunung Cibodas was slow. The rate of decomposition and dry weight loss of litter on altitude of 250 meters above sea level was faster than on altitude of 200 meters and 300 meters above sea level. The dry weight was positively correlated to the rate of decomposition. The lower of dry weight would affect the rate of decomposition become slower. The dry weight of litter was decreased every weeks until 9th week of observation. The decreased of litter at an altitude of 250 meters above sea level was very fast at the first week of observation. The average of C/N ratio at every altitude were 28.716 (200 masl), 28.162 (250 masl), and 28.024 (300 masl). The C/N ratio of litter were classified as moderate (>25) and indicated that the decomposition process was slow.

(8)
(9)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

LAJU DEKOMPOSISI SERASAH

DALAM EKOSISTEM KARST

DI GUNUNG CIBODAS, CIAMPEA BOGOR

SETHYO VIENI SARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Laju Dekomposisi Serasah dalam Ekosistem Karst di Gunung Cibodas, Ciampea Bogor

Nama : Sethyo Vieni Sari

NIM : G353130111

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Ibnul Qayim Ketua

Dr Ir Iwan Hilwan, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan

Dr Ir Miftahudin, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Laju Dekomposisi Serasah dalam Ekosistem Karst di Gunung Cibodas, Ciampea Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 hingga Februari 2015.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ibnul Qayim dan Dr Ir Iwan Hilwan, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan nasehat,

saran, motivasi, waktu luang untuk konsultasi, serta solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Selain itu penulis ucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi Dr Ir Sulistijorini, MSi dan Prof Alex Hartana, MSc selaku moderator dalam ujian sidang, yang telah memberikan masukan pada saat ujian sidang tesis untuk membuat karya ilmiah ini menjadi lebih baik. Kepada DIKTI melalui Beasiswa Unggulan 2013/2014 terima kasih atas kepercayaannya untuk memberikan beasiswa kuliah selama menempuh pendidikan pascasarjana di IPB.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada staf laboratorium Ekologi dan Fisiologi, yaitu Mbak wiwik dan Ibu Retno. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mahyarudin, M.Si, Cut Syarifah Aqilah, Adenk, Taufiq, Evan, Kak Nia, Siska, Haris, Rega, Bapak Taing dan Ibu Sumarsih atas bantuan dan motivasinya selama penelitian. Kepada teman-teman Pascasarjana Biologi Tumbuhan IPB 2013 terima kasih atas kebersamaan yang singkat dan sangat indah. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada orang tua tercinta Bapak Suyitno, Ibu Kusmayati, dan kedua saudara tersayang Kusno Purwanto, Kusworo windiarto, serta seluruh keluarga besar, atas segala doa, dukungan, motivasi dan kasih sayangnya selama ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan selanjutnya.

Bogor, Maret 2016

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Gunung Cibodas Ciampea 4

Ekosistem Karst 4

Dekomposisi 6

Serasah 6

Tanah 7

METODE 8

Waktu dan Tempat Penelitian 8

Bahan dan Alat 8

Pengambilan Data Vegetasi 8

Produktivitas Serasah 9

Dekomposisi Serasah 9

Pengambilan Sampel Tanah 10

Pengukuran Parameter Lingkungan 10

Analisis Data Vegetasi 10

Analisis Data Laju Dekomposisi 12

Analisis Data 13

HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Hasil 14

Pembahasan 25

SIMPULAN DAN SARAN 31

Simpulan 31

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 37

(16)

DAFTAR TABEL

1 Indeks nilai penting (INP) jenis dominan dan kodominan pada tingkat pertumbuhan setiap ketinggian di ekosistem karst Gunung Cibodas,

Kecamatan Ciampea, Bogor 15

2 Indeks Dominansi Jenis (C), Kemerataan (E), dan Keanekaragaman (H’) pada tiap tingkatan vegetasi setiap ketinggian di ekosistem karst Gunung

Cibodas, Ciampea Bogor 16

3 Korelasi laju dekomposisi dan produktivitas serasah terhadap beberapa

faktor pada ketinggian 200 mdpl 18

4 Korelasi laju dekomposisi dan produktivitas serasah terhadap beberapa

faktor pada ketinggian 250 mdpl 18

5 Korelasi laju dekomposisi dan produktivitas serasah terhadap beberapa

faktor pada ketinggian 300 mdpl 19

6 Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah setiap ketinggian

dalam ekosistem Karst 20

7 Rata-rata kandungan C, N, dan Rasio C/N pada serasah dan tanah dalam

ekosistem Karst 21

8 Hubugan laju dekomposisi serasah terhadap kandungan C, N, dan rasio

C/N pada serasah 22

9 Hubugan laju dekomposisi serasah terhadap kandungan C, N, dan rasio

C/N pada serasah 22

10 Kriteria sifat kimia tanah di beberapa ketinggian dalam ekosistem karst

Ciampea, Bogor 23

11 Kriteria sifat fisika tanah di beberapa ketinggian dalam ekosistem karst

Ciampea, Bogor 24

12 Hasil analisis fisika tanah di beberapa ketinggian dalam ekosistem karst

(17)

DAFTAR GAMBAR

1 Bentuk petak contoh pengukuran vegetasi: A = Petak contoh 10 m x 10 m (tiang: 10 cm < diameter batang < 20 cm dan pohon: ≥ 20 cm); B = Petak contoh 5 m x 5 m (anakan dengan tinggi > 1.5 m dan diameter batang < 10 cm); C = Petak contoh 2 m x 2 m (anakan dengan tinggi <

1.5 m dan tumbuhan bawah/ semak/herba) 9

2 Produktivitas setiap bagian serasah (daun, ranting, bunga dan buah) pada setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl selama 9 minggu. Error bars

menunjukkan ±SD (standar deviasi) 16

3 Rerata produktivitas pada bagian serasah di setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl. Error bar menunjukkan ±SD (standar deviasi) 17 4 Produktivitas serasah total pada setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl

selama 9 minggu. Error bars menunjukkan ±SD (standar deviasi) 17 5 Kurva eksponensial bobot kering serasah (%) pada setiap ketinggian

200, 250, dan 300 mdpl selama 9 minggu. Error bars menunjukkan ±SD

(standar deviasi) 19

6 Laju dekomposisi pada setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl selama 9 minggu. Error bars menunjukkan ±SD (standar deviasi) 20 7 Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah melalui bobot kering

pada setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl selama 9 minggu. Error

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rata-rata produktivitas bagian serasah per minggu (ton/ha/tahun) 39 2 Korelasi produktivitas serasah total terhadap kerapatn total tingkat

vegetasi dalam ekosistem Karst 40

3 Korelasi bobot kering serasah terhadap dekomposisi serasah dalam

ekosistem Karst 41

4 Faktor abiotik dalam ekosistem Karst Gunung Cibodas, Ciampea Bogor 42

5 Nilai produktivitas serasah 43

6 Bobot kering serasah (g) 44

7 Laju dekomposisi serasah 44

8 Kandungan C, N, dan Rasio C/N 45

9 Bobot kering serasah (g) setelah waktu pengamatan (Wt) 47 10 Indeks Nilai Penting (INP) dan Kerapatan Relatif (KR) 48

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem karst merupakan ekosistem yang terdiri atas batuan kapur yang mengandung kalsium karbonat/kalsit yang mudah larut oleh air hujan. Keadaan ini menyebabkan ekosistem karst memiliki morfologi yang khas yaitu terbentuknya retakan dan terowongan yang menyerupai relief. Ekosistem karst memiliki sumberdaya yang berpotensi tinggi dan unik yang harus dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk masyarakat di sekitarnya, salah satunya adalah hutan.

Hutan pada tanah kapur di Indonesia memiliki luas sekitar 7.9 juta hektar. Hutan di ekosistem karst sangat perlu mendapat perlindungan karena merupakan sumberdaya yang tinggi dan ekosistem karst memiliki potensi dari segi nilai budaya, ekologi, dan ekonomi. Kawasan karst dengan batuan khas, keberadaan tebing, goa, dan sungai bawah tanah berpotensi sebagai objek wisata yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Benda-benda bersejarah dan fosil yang ditemukan di kawasan karst bisa dijadikan sebagai pusat studi arkeologi dan karst.

Vegetasi di ekosistem karst memiliki ciri-ciri yaitu kerapatan pohon dan ketinggian pohon relatif rendah, diameter pohon berukuran kecil (10−20 cm), dan luas bidang dasar yang relatif kecil (Anwar et al. 1984). Ukuran suatu kerapatan tumbuhan sangat perlu diperhatikan karena pembagian kerapatan dalam ukuran yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam kondisi iklim mikro, ketersediaan air tanah dan hara. Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman secara normal. Menurut Arsyad (2000), hilangnya satu atau beberapa unsur hara secara berlebihan dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah sehingga tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang normal. Ketersediaan unsur hara dapat diindikasikan dengan laju dekomposisi serasah.

Serasah merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan. Serasah memindahkan unsur hara, nutrisi, dan energi dari vegetasi ke dalam tanah, hal ini merupakan proses utama dalam siklus biogeokimia (Liu et al. 2004). Dekomposisi serasah merupakan lintasan utama dalam penyediaan bahan organik dan anorganik tanah dalam proses daur ulang hara serta pengembalian hara pada ekosistem (Temel 2003). Peran serasah dalam proses penyuburan tanah dipengaruhi oleh produktivitas serasah dan laju dekomposisi.

Tipe ekosistem, kuantitas, dan kualitas serasah akan memengaruhi proses dekomposisi serasah (Haettenschwiler et al. 2011). Kualitas serasah yang memengaruhi dekomposisi adalah ukuran, rasio C/N, dan komposisi kimianya.

Pada penelitian Aprianis (2011) mengenai laju dekomposisi serasah

Acacia crassicarpa didapatkan hasil bahwa nisbah C/N dapat digunakan sebagai indikator berjalannya proses dekomposisi serasah, karena perombakan bahan organik akan menurunkan C/N serasah tersebut. Semakin lama waktu dekomposisi yang dilakukan, maka nilai C/N semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan C−organik pada serasah semakin rendah karena digunakan oleh mikroorganisme sebagai bahan makanan, sedangkan kandungan N dalam bahan akan meningkat yang berarti proses mineralisasi berjalan terus.

(20)

2

akumulasi serasah di permukaan tanah serta menjaga kesuburan tanah yang terus berkurang akibat penyerapan unsur hara oleh tanaman.

Beberapa penelitian mengenai penentuan hubungan antara tanah dan vegetasi di suatu ekosistem telah banyak dilakukan, seperti pengomposan bahan organik. Penelitian yang dilakukan di ekosistem karst Gunung Cibodas Kecamatan Ciampea Bogor masih sebatas vegetasi ekologi dan etnobotani oleh Marwiyati (2012), komposisi jenis dan struktur vegetasi oleh Peniwidiyanti (2014), keanekaragaman jenis flora oleh Sartika (2007), dan dinamika kandungan klorofil dan LAI tumbuhan Prunus avium oleh Hafiz (2014). Pentingnya penelitian mengenai dekomposisi serasah di ekosistem karst yaitu serasah merupakan penyumbang terbesar kesuburan suatu ekosistem dan sebagai penyedia hara bagi biota, akan tetapi penelitian ini belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian mengenai laju dekomposisi serasah di ekosistem karst Gunung Cibodas, Ciampea, Bogor sangat diperlukan.

Permasalahan

Karakteristik wilayah di ekosistem karst sangat spesifik. Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan terutama menyangkut fungsi dan daya dukung ekosistem karst terhadap aktivitas kehidupan manusia yang berada di dalamnya. Kebutuhan ekonomi masyarakat yang tinggi menuntut tersedianya sumberdaya alam yang mencukupi untuk kebutuhan hidupnya, sehingga keanekaragaman hayati yang ada di ekosistem karst dapat terancam akibat kegiatan manusia.

Ekosistem karst di Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor ini merupakan salah satu ekosistem karst yang terancam keberadaannya akibat adanya dampak negatif dari berbagai aktivitas manusia seperti penambangan batu gamping atau kapur, perubahan tata guna lahan, pengunduhan sarang burung walet, dan pembabatan hutan.

Ekosistem karst yang berbukit-bukit dengan kelerengan yang cukup curam memberikan potensi terhadap terjadinya erosi dan longsor yang cukup besar. Proses erosi dan longsor yang tak terkendali akan mengurangi solum tanah (kedalaman lapisan tanah dari permukaan hingga bahan induk tanah), sehingga akan menurunkan produktivitas dan kualitas lahan. Kualitas lahan dapat ditinjau dari interaksi status hara yang dilepaskan oleh tumbuhan melalui dekomposisi serasah.

Tujuan Penelitian

(21)

3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi dalam mempelajari laju dekomposisi serasah dan perpindahan energi antara tumbuhan dan tanah yang ada di ekosistem karst. Serta dapat dijadikan sebagai data pembanding untuk penelitian lanjutan. Selain itu juga, diharapkan dapat bermanfaat dalam tata guna lahan yang akan dimanfaatkan secara berkelanjutan.

(22)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Gunung Cibodas Ciampea

Ekosistem karst atau yang biasa dikenal dengan ekosistem kapur di Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor memiliki topografi yang berbukit sampai bergunung dengan ketinggian ±350 mdpl dan kelerengan

25−50%. Tanah penyusunnya berupa tipe kompleks rensina dan litosol, yang mempunyai tekstur halus dengan drainase cepat. Bahan induk tanah berupa batu kapur. Menurut pembagian administrasi pengelolaan hutan, ekosistem Gunung Cibodas ini berada dalam wilayah RPH Gobang, BKPH Leuwiliang, KPH Bogor, Perum Perhutani III Jawa Barat dan Banten. Menurut administrasi pemerintahan, ekosistem ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor (Bakosurtanal 1990).

Menurut Whitten et al. (1996) Gunung Cibodas merupakan salah satu bentang alam karst daerah tropika basah yang terdapat di Pulau Jawa. Di Gunung Cibodas juga memiliki beberapa gua vertikal. Gua di Gunung Cibodas diketahui sebagai penghasil sarang burung walet dan sebagai habitat monyet ekor panjang serta kelelawar. Ekosistem karst atau kapur di Gunung Cibodas Ciampea ini membentang dari arah Timur-Barat dan menjulang tinggi di antara ekosistem sekitarnya.

Secara keseluruhan luas ekosistem karst ini ±109 km2. Lokasi penelitian terletak antara 106o41’−106o45’BT dan 6o33’−6o35’LS. Berdasarkan Peta Rupa Bumi bagian Leuwiliang tahun 1990 yang dibuat oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (1990), batas-batas wilayah Gunung Cibodas Ciampea adalah:

1. Sebelah Utara: berbatasan dengan Desa Ciareuteun Hilir dan Desa Ciampea 2. Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Gedong dan Desa Kertasari

3. Sebelah Selatan: berbatasan dengan Desa Bojongrangkas dan Desa Leuweung kolot

4. Sebelah Timur: berbatasan dengan sungai Ciaruteun, Desa Leuwikancana, dan Desa Cijujung.

Ekosistem Karst

Karst merupakan istilah dalam bahasa Jerman yang diturunkan dari bahasa Slovenia (kras) yang berarti lahan gersang berbatu. Istilah ini di negara asalnya sebenarnya tidak berkaitan dengan batu gamping dan proses pelarutan, namun saat ini istilah kras telah diadopsi untuk istilah bentuk lahan hasil proses perlarutan. Ford dan Williams (1992) mendefinisikan karst sebagai medan dengan kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder yang berkembang baik. Karst dapat dicirikan sebagai berikut: 1. Terdapat cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan

bentuk,

(23)

5 Karst tidak hanya terjadi di daerah berbatuan karbonat, tetapi terjadi juga di batuan lain yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder (kekar dan sesar intensif), seperti batuan gipsum dan batu garam. Batuan karbonat mempunyai sebaran yang paling luas sehingga karst yang banyak dijumpai adalah karst yang berkembang di batuan karbonat.

Proses permbentukan lahan karst didominasi oleh proses pelarutan. Proses pelaturan batu gamping diawali oleh larutnya CO2 di dalam air membentuk

H2CO3. Larutan H2CO3 tidak stabil terurai menjadi H- dan HCO32-. Ion H- inilah

yang selanjutnya menguraikan CaCO3 menjadi Ca2+ dan HCO32-. Secara ringkas

proses pelarutan dirumuskan dengan reaksi sebagai berikut: CaCO3 + H2O + CO2 Ca2+ + 2 HCO

3-Karstifikasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong. Faktor pengontrol menentukan dapat tidaknya proses karstifikasi berlangsung, sedangkan faktor pendorong menentukan kecepatan dan kesempurnaan proses karstifikasi. Faktor pengontrol seperti batuan mudah larut, kompak, tebal, dan mempunyai banyak rekahan, curah hujan yang cukup (>250 mm/tahun), batuan terekspos di ketinggian yang memungkinkan perkembangan sirkulasi air/drainase secara vertikal. Faktor pendorong yaitu temperatur dan penutupan hutan

Batuan yang mengandung CaCO3 tinggi akan mudah larut. Semakin tinggi

kandungan CaCO3, semakin berkembang bentuk lahan karst. Kekompakan batuan

menentukan kestabilan morfologi karst setelah mengalami pelarutan. Apabila batuan lunak, maka setiap kenampakan karst yang terbentuk seperti bukit akan cepat hilang karena proses pelarutan itu sendiri maupun proses erosi dan gerak masa batuan, sehingga kenampakan karst tidak dapat berkembang baik. Ketebalan menentukan terbentuknya sikulasi air secara vertikal. Tanpa adanya lapisan yang tebal, sirkulasi air secara vertikal yang merupakan syarat karstifikasi dapat berlangsung. Begitu juga jika tanpa adanya sirkulasi vertikal, proses yang terjadi adalah aliran lateral seperti pada sungai-sungai permukaan dan cekungan-cekungan tertutup tidak dapat terbentuk. Rekahan batuan merupakan jalan masuknya air membentuk drainase vertikal dan berkembangnya sungai bawah tanah serta pelarutan yang terkonsentrasi.

(24)

6

Dekomposisi

Dekomposisi merupakan proses perubahan secara fisik maupun secara kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah yang disebut mineralisasi (Mulyani et al. 1991). Istilah dekomposisi sering digunakan untuk menerangkan sejumlah besar proses yang dialami oleh bahan-bahan organik, yaitu proses sejak dari perombakan dan penghancuran bahan organik menjadi partikel-partikel kecil sehingga menjadi unsur-unsur hara yang tersedia dan dapat diserap oleh tanaman kembali (Waring dan Schlesingan 1985).

Proses dekomposisi serasah dimulai dari proses penghancuran yang dilakukan oleh serangga kecil terhadap tumbuhan dan sisa bahan organik mati menjadi ukuran yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi yang dilakukan oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer dibantu oleh enzim yang dapat menguraikan bahan organik seperti protein, karbohidrat, dan lain-lain (Sunarto 2003). Proses dekomposisi dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanaman, organisme dekomposer, dan faktor lingkungan. Produk dari dekomposisi berupa hara serta unsur mineral lainnya.

Beberapa faktor yang memengaruhi dekomposisi diantaranya adalah: 1. Kelembaban

Mikroba dapat hidup berkembangbiak apabila keadaan lingkungannya

cukup lembab. Kisaran kelembaban yang ideal adalah 40−60%. Semakin besar populasi mikroba berarti proses dekomposisi menjadi semakin cepat. 2. Suhu

Suhu dapat menentukan aktivitas mikroba dalam proses dekomposisi

bahan organik. Pada saat mikroba aktif, suhu berkisar antara 40−55o

C. 3. pH

Kisaran pH yang ideal untuk proses pengomposan adalah 6-8. Bila pH terlalu tinggi, maka unsur N akan berubah menjadi NH3 yang akan

menimbulkan bau, sedangkan pH < 5 menyebabkan sebagian mikroba akan mati sehingga memperlambat proses dekomposisi.

4. Rasio C/N

Proses dekomposisi akan mencapai optimum apabila rasio C/N dari bahan organik berkisar antara 20:1 dan 40:1. Pada rasio C/N yang terlalu tinggi akan menyebabkan proses dekomposisi berjalan lama, sedangkan rasio C/N rendah menyebabkan proses pembusukan awal akan cepat, namun akan terus menurun karena kekurangan unsur C sebagai sumber energi bagi mikroba.

Serasah

Serasah adalah bahan-bahan yang telah mati, terletak di atas permukaan tanah dan mengalami dekomposisi dan mineralisasi. Komponen-komponen yang termasuk serasah adalah daun, ranting, cabang kecil, kulit batang, bunga, dan buah (Mindawati dan Pratiwi 2008). Serasah yang jatuh akan mengalami dekomposisi yang melibatkan peran mikroorganisme seperti bakteri dan fungi. Dekomposisi akan berjalan lebih cepat jika terdapat penambahan mikroorganisme tersebut.

(25)

7

Hemiselulosa berkisar 20%−30% dan sisanya adalah lignin. Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β−1,4 glukosida dalam rantai lurus (Perez et al.

2002).

Komponen-komponen yang penting dari serasah adalah daun, ranting

dengan ukuran diameter < 1 cm dan cabang kecil dengan ukuran diameter ≤ 2 cm,

alat-alat reproduksi (bunga dan buah) dan kulit pohon (Proctor 1983). Menurut Desmukh (1993), komponen yang membentuk lapisan serasah tumbuhan tidak homogen, tetapi tersusun atas campuran organ-organ tumbuhan seperti daun 72%, kayu 16%, serta bunga dan buah 2%. Kehilangan tahunan dari daun, ranting, bunga, buah, dan serpihan kulit kayu merupakan bagian utama dari jatuhan serasah pada ekosistem hutan. Sekitar 70% dari total serasah di permukaan tanah berupa serasah daun. Serasah yang jatuh ke permukaan tanah merupakan bagian dari tumbuhan yang telah mati, yang tidak mengalami proses pertumbuhan lagi dan akhirnya mengalami proses dekomposisi dan mineralisasi (Soerianegara dan Indrawan 1998).

Tanah

Tanah adalah suatu benda alam yang terdapat dipermukaan kulit bumi, yang tersusun dari bahan-bahan mineral sebagai hasil pelapukan batuan, dan bahan-bahan organik sebagai hasil pelapukan sisa-sisa tumbuhan dan hewan. Tanah merupakan medium atau tempat tumbuhnya tanaman dengan sifat-sifat tertentu, yang terjadi akibat dari pengaruh kombinasi faktor-faktor iklim, bahan induk, jasad hidup, bentuk wilayah dan lamanya waktu pembentukan (Yuliprianto 2010).

(26)

8

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan mulai bulan Oktober 2014 sampai dengan Februari 2015. Pangambilan sampel serasah dan tanah dilakukan di Ekosistem Karst, Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Analisis kandungan karbon (C) dan nitrogen (N) pada sampel serasah dan tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah Cimanggu, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah sampel serasah dan tanah pada ekosistem karst, Gunung Cibodas, Ciampea, Bogor. Alat yang digunakan adalah alat tulis, kertas label, perlengkapan pembuatan herbarium, buku-buku identifikasi, sebuah tipe komunitas tumbuhan sebagai objek, litter-trap (penampung serasah), litter-bag (kantung serasah) yang terbuat dari nylon memiliki mata jala 1 mm, tali plastik (raffia), potongan bambu, oven, timbangan, dan kantung plastik ukuran 1 kg, pisau, ember, GPS-60 Garmin, digital instrument 4 in 1 Lutron, Soil tester

Demetra, kompas Engineer, dan meteran.

Pengambilan Data Vegetasi

Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan analisis vegetasi menggunakan petak contoh. Petak contoh yang digunakan adalah kombinasi antar jalur dengan cara garis berpetak, dimana untuk tingkat pohon dan tiang dilakukan cara jalur sedangkan untuk tingkat semai dan pancang digunakan cara garis berpetak (Soerianegara dan Indrawan 1998). Prosedur pengambilan contoh dan pengukuran di lapangan sebagai berikut:

a) Unit contoh vegetasi berbentuk jalur sebanyak 3 jalur pada ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl. Jalur berukuran panjang 100 m dan lebar 10 m. Untuk memudahkan kegiatan pengukuran di lapangan maka masing-masing jalur dibagi kedalam beberapa petak contoh dengan ukuran 10 m x 10 m (Gambar 1).

b) Petak contoh dibuat pada jalur-jalur pengamatan secara petak bertingkat (nested sampling) yaitu ukuran petak 10 m x 10 m untuk pohon dan tingkat tiang, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang, dan 2 m x 2 m untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah.

(27)

9 10 m

10 m

Gambar 1 Bentuk petak contoh pengukuran vegetasi: A = Petak contoh 10 m x 10

m (tiang: 10 cm < diameter batang < 20 cm dan pohon: ≥ 20 cm); B =

Petak contoh 5 m x 5 m (anakan dengan tinggi > 1.5 m dan diameter batang < 10 cm); C = Petak contoh 2 m x 2 m (anakan dengan tinggi < 1.5 m dan tumbuhan bawah/semak/herba)

Produktivitas Serasah

Pengukuran produktivitas serasah menggunakan litter trap (penampung serasah) (Brown 1984) dalam petak pengamatan dengan ukuran 10 m x 100 m di setiap ketinggian 200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl. Setiap petak diletakkan 15 buah litter trap berukuran 1 m x 1 m di bawah tegakan dengan tinggi trap 50 cm di atas permukaan tanah. Serasah yang terkumpul pada litter trap diambil setiap 7 hari sekali selama 9 minggu. Komponen-komponen serasah dipisahkan bagiannya seperti daun, ranting, bunga dan buah. Serasah di bawa ke laboratorium fisologi tumbuhan Dept. Biologi FMIPA IPB, dikeringkan di dalam oven suhu 700C sampai bobotnya konstan. Serasah kering ditimbang dengan satuan g/m2/minggu yang kemudian dikonversikan menjadi ton/ha/tahun (ketelitian 0.1 g).

Dekomposisi Serasah

Pengukuran laju dekomposisi serasah menggunakan litter-bag (kantong serasah) (Ribeiro et al. 2002). Metode ini dilakukan dengan cara memasukkan serasah dimasukkan ke dalam kantong serasah yang ditempatkan pada lantai hutan, hal ini dimaksudkan agar terjadi proses dekomposisi sealami mungkin (Moore et al. 1984). Pengamatan dari kantong serasah (litter-bag) dilakukan pada interval tertentu untuk memperkirakan kecepatan/laju dekomposisi serasah (Haraguchi et al. 2002).

Sampel serasah yang akan digunakan dikumpulkan menggunakan litter-trap method (metode alat penampung serasah) (Brown 1984) supaya diketahui umur serasah. Sampel serasah yang akan didekomposisi dikumpulkan menggunakan litter-trap selama 4 minggu.

Serasah yang didekomposisi terdiri dari helaian daun (lamina) dan tangkai daun (petiol). Serasah yang tertampung kemudian dioven pada suhu 70oC selama ±48 jam, setelah itu dikeringkan sampai bobot konstan (Ashton et al. 1999). Serasah yang sudah kering ditimbang dan dimasukkan ke dalam kantong serasah (litter-bag) sebanyak 20 g dengan ukuran 30 cm x 20 cm. Jumlah kantong serasah (litter-bag) di setiap ketinggian sebanyak 27 buah, sehingga jumlah dari 3

100 m A

(28)

10

ketinggian (200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl) sebanyak 81 buah kantong serasah (litter-bag) yang ditempatkan di lantai hutan.Setiap minggunya sebanyak 3 kantong serasah (litter-bag) diambil dari setiap ketinggian dan dibawa ke laboratorium, setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC. Serasah yang telah dioven kemudian ditimbang untuk diukur penurunan bobot keringnya setelah itu dimasukkan dalam kantong plastik untuk dianalisis kandungan karbon (C) dan nitrogen (N) di Laboratorium Balai Penelitian Tanah Badan Litbang Pertanian.

Pengambilan Sampel Tanah

Sampel tanah yang diambil merupakan sampel tanah komposit, yang berasal dari tanah tempat kantong serasah (litter-bag) diletakkan di lantai hutan. Sampel tanah yang diambil berasal dari campuran tanah dalam satu ketinggian. Permukaan tanah dibersihkan dari rumput, batu, dan sisa-sisa tanaman. Tanah dicangkul sedalam lapisan olah (0−20 cm), kemudian pada sisi bekas cangkulan diambil setebal 1.5 cm dengan menggunakan skop. Sampel tanah yang diambil sebanyak 500 g dari setiap bekas cangkulan, kemudian dicampur dan diaduk dalam hamparan plastik, kemudian dibersihkan dari sisa akar tanaman. Selanjutnya diambil kira-kira 1 kg, dimasukkan ke dalam kantong plastik (Balittanah 2000). Pengambilan sampel tanah dilakukan bersamaan pengambilan kantong serasah (litter-bag) setiap seminggu sekali selama 9 kali. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanah Badan Litbang Pertanian yang terdiri atas pengukuran C-organik dan N.

Pengukuran Parameter Lingkungan

Pengukuran parameter lingkungan meliputi kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, kelembaban udara, temperatur udara menggunakan alat digital instrument 4 in 1. Kelembaban tanah dan pH tanah menggunakan Soil tester, sedangkan temperatur tanah menggunakan termometer air raksa. Penentuan lokasi dan ketinggian tempat menggunakan alat Garmin Global Positioning System

(GPS)-60. Pengukuran parameter lingkungan dilakukan pada setiap pengambilan sampel serasah dan tanah.

Analisis Data Vegetasi

Analisis data vegetasi untuk mengetahui gambaran tentang keanekaragaman jenis, struktur dan komposisi vegetasi maka dilakukan perhitungan terhadap parameter yang meliputi indeks penting, indeks dominansi, indeks kemerataan, indeks keanekaragaman jenis sebagai berikut:

a. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks Nilai Penting (INP) diperoleh dari:

INP = KR + FR + DR (untuk tingkat pohon dan tiang),

(29)

11

Jumlah plot yang diduduki jenis i Frekuensi mutlak jenis i (FMi) =

Jumlah plot seluruhnya

Indeks Dominansi Jenis digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis dominan. Untuk mengetahui indeks dominansi jenis digunakan rumus sebagai berikut (Odum 1993):

2 satu jenis atau terjadi pemusatan pada satu jenis tumbuhan saja. Jika nilai C mendekati 0 maka tidak ada pemusatan pada satu jenis tumbuhan.

c. Indeks Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus

(30)

12

Keterangan:

H’ = indeks keanekaragaman jenis Shannon

pi = i/p

i = jumlah jenis ke- i p = total seluruh jenis d. Indeks Kemerataan Jenis

Kemerataan jenis ditentukan dengan menggunakan rumus indeks kemerataan jenis Evenness (E) sebagai berikut (Krebs 1989):

Keterangan:

E = indeks Kemerataan Jenis

H’ = indeks keanekaragaman jenis S = jumlah seluruh jenis

Jika nilai E mendekati 1 maka kemerataan jenis semakin tinggi.

Analisis Data Laju Dekomposisi

Rata-rata produktivitas serasah per plot diperoleh dari setiap pengamatan dengan rumus:

ƩXi

Xj =

n

Keterangan:

Xj = rata-rata produksi serasah per plot setiap minggu (ton/ha/tahun)

Xi = produksi serasah per plot setiap periode n = jumlah trap

Penurunan bobot didapat dengan rumus:

WoWt

W = x 100%

Wo

Laju dekomposisi serasah dihitung dengan menggunakan rumus:

WoWt

(31)

13

Keterangan:

R = laju dekomposisi (g/minggu) T = waktu pengamatan (minggu)

Wo = bobot kering awal serasah

Wt = bobot kering akhir serasah (gram) per periode waktu t

W = penurunan bobot

Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah diperoleh dengan menggunakan rumus (Ashton et al. 1999):

Wt = Wo.e-kt

ln(Wt/ Wo) = -kt

Keterangan:

Wt = bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke -t (g)

Wo = bobot kering serasah awal (g)

e = bilangan logaritma natural (2.72)

k = konstanta laju dekomposisi serasah

t = waktu pengamatan (minggu)

Analisis Data

(32)

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Komposisi Vegetasi

Vegetasi yang ada di ekosistem karst Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Bogor ini memiliki jenis tumbuhan yang sedikit. Jenis-jenis yang ada di ekosistem karst ini memiliki tingkatan vegetasi yaitu tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang, dan pohon.

Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi dari setiap ketinggian (200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl) terdapat pada tingkat vegetasi pohon. Pada ketinggian 200 mdpl INP tinggi dari jenis Ficus callosa (159.760%), ketinggian 250 mdpl dari jenis Ficus obscura (134.339%), dan ketinggian 300 mdpl dari jenis

Buchanania arborescens (182.625%) (Tabel 1). Berdasarkan hasil analisis vegetasi di ekosistem karst pada setiap tingkatan vegetasi indeks nilai penting (INP) tertinggi (dominan) dan tertinggi kedua (kodominan). Jenis vegetasi yang dominan memiliki INP tinggi menunjukkan bahwa jenis tersebut lebih mampu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan tempat hidupnya dibandingkan dengan jenis vegetasi lainnya. Jenis tersebut juga mampu memanfaatkan sumberdaya yang tersedia lebih baik daripada jenis lainnya.

Indeks nilai penting merupakan besaran yang menunjukkan kedudukan suatu jenis terhadap jenis lain di dalam suatu komunitas. Nilai indeks untuk tingkat vegetasi pohon dan tiang diturunkan dari nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif dari jenis-jenis yang menyusun tipe komunitas, sedangkan untuk pancang, semai, dan tumbuhan bawah dari nilai kerapatan relatif dan frekuensi relatif. Berdasarkan indeks nilai penting berkisar 0-300%. Hasil indeks nilai penting dominan setiap tingkat vegetasi yang dianalisis <200% (Tabel 1). Semakin besar nilai indeks berarti jenis yang bersangkutan semakin besar memiliki peran dalam suatu komunitas.

Hasil analisis indeks dominansi jenis pada tingkat vegetasi yang ditemukan pada setiap ketinggian di ekosistem karst Gunung Cibodas, Ciampea, Bogor termasuk rendah karena mempunyai nilai C ≤ 0.5 (Tabel 2). Menurut kriteria Indrawan (2000), nilai indeks dominansi tertinggi adalah 1 (satu) yang menunjukkan bahwa komunitas ini dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis saja. Indeks dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis dalam suatu komunitas, nilai indeks dominansi rendah menunjukkan pola dominansi jenisnya dipusatkan pada banyak jenis (beberapa jenis), sedangkan nilai indeks dominansi yang tinggi menunjukkan pola dominansi jenisnya dipusatkan pada sedikit jenis.

Indeks kemerataan untuk setiap tingkatan vegetasi di setiap ketinggian berkisar >0.6, hal ini menunjukkan tingkat kemerataan tinggi karena mendekati

satu (E≈1). Tetapi pada tingkat vegetasi tumbuhan bawah di ketinggian 300 mdpl

(33)

15 Tabel 1 Indeks nilai penting (INP) jenis dominan dan kodominan pada tingkat pertumbuhan setiap ketinggian di ekosistem karst Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Bogor

Ketinggian Tingkat vegetasi Jenis INP (%)

200 mdpl Semai Dominan Macaranga tanarius 93.103

Kodominan Melicope sp. 44.828

Tumbuhan bawah Dominan Nephrolepis biserrata 51.164

Kodominan Hemigraphis sp. 20.561

Pancang Dominan Macaranga tanarius 39.741

Kodominan Antidesma montana 37.126

Tiang Dominan Cecropia palmata 83.189

Kodominan Antidesma montana 48.789

Pohon Dominan Ficus callosa 159.760

Kodominan Macaranga tanarius 140.240

250 mdpl Semai Dominan Paraserianthes falcataria 81.618

Kodominan Muntingia calabura 58.578

Tumbuhan bawah Dominan Nephrolepis biserrata 18.981

Kodominan Zebrina pendula 18.026

Pancang Dominan Macaranga tanarius 33.567

Kodominan Muntingia calabura 24.269

Tiang Dominan Antidesma montanum 101.322

Kodominan Ficus obscura 50.916

Pohon Dominan Ficus obscura 134.339

Kodominan Cecropia palmata 104.116

300 mdpl Semai Dominan Macaranga tanarius 92.895

Kodominan Cecropia palmata 66.316

Tumbuhan bawah Dominan Strobilanthes dyerianus 56.266

Kodominan Saccharum spontaneum 52.318

Pancang Dominan Macaranga tanarius 98.333

Kodominan Leea aquleata 28.889

Tiang Dominan Cecropia palmata 80.607

Kodominan Macaranga tanarius 48.981

Pohon Dominan Buchanania arborescens 182.625

Kodominan Ficus callosa 117.375

Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada tingkat vegetasi di setiap

ketinggian bervariasi. Hasil analisis indeks keanekaragaman untuk tingkat vegetasi tiang dan pohon termasuk dalam kriteria rendah (0.637-1.667) (Tabel 2).

(34)

16

Tabel 2 Indeks Dominansi Jenis (C), Kemerataan (E), dan Keanekaragaman (H’)

pada tiap tingkatan vegetasi setiap ketinggian di ekosistem karst Gunung Cibodas, Ciampea Bogor

Ketinggian Tingkat vegetasi Indeks

C E H'

200 mdpl

Semai 0.097 0.757 1.050

Tumbuhan bawah 0.174 0.763 2.115

Pancang 0.131 0.881 2.028

Tiang 0.166 0.806 1.569

Pohon 0.502 0.971 0.673

250 mdpl

Semai 0.299 0.905 1.255

Tumbuhan bawah 0.057 0.924 2.899

Pancang 0.106 0.961 2.304

Tiang 0.197 0.704 1.370

Pohon 0.363 0.870 0.956

300 mdpl

Semai 0.367 0.873 0.959

Tumbuhan bawah 0.212 0.598 1.433

Pancang 0.297 0.739 1.324

Tiang 0.167 0.856 1.667

Pohon 0.524 0.918 0.637

Produktivitas serasah

Pengukuran produktivitas serasah pada ekosistem karst di Gunung Cibodas, Ciampea Bogor dilakukan pada tiga ketinggian yaitu 200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl. Setiap ketinggian memiliki produktivitas serasah tinggi pada bagian daun yang kemudian diikuti oleh ranting, serta bunga dan buah. Ketinggian 200 mdpl memiliki produktivitas serasah yang paling tinggi dibandingkan dengan produktivitas serasah pada ketinggian 250 mdpl dan 300 mdpl (Gambar 2).

(35)

17 Produktivitas serasah bagian daun pada ketinggian 200 mdpl mencapai 81.425 ton/ha/tahun dengan rata-rata 5.428 ton/ha/tahun. Produktivitas serasah bagian ranting pada ketinggian 200 mdpl mencapai 16.839 ton/ha/tahun dengan rata-rata 1.123 ton/ha/tahun. Produktivitas serasah bagian bunga dan buah pada ketinggian 250 mdpl mencapai 13.363 ton/ha/tahun dengan rata-rata produktivitas serasah 0.891 ton/ha/tahun (Lampiran 1).

Serasah bagian daun merupakan produktivitas serasah dengan rata-rata tertinggi dibandingkan dengan ranting serta bunga dan buah. Rata-rata produktivitas serasah bagian daun dan ranting tinggi pada ketinggian 200 mdpl, sedangkan produktivitas serasah bagian bunga dan buah tinggi pada ketinggian 250 mdpl (Gambar 3).

Gambar 3 Rerata produktivitas pada bagian serasah di setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl. Error bar menunjukkan ±SD (standar deviasi)

Produktivitas serasah total tertinggi pada ketinggian 200 mdpl (90.452 ton/ha/tahun) dan terendah pada ketinggian 300 mdpl (25.440 ton/ha/tahun) (Gambar 4). Tinggi dan rendahnya produktivitas serasah dipengaruhi oleh kerapatan tumbuhan di suatu ekosistem. Korelasi produktivitas serasah terhadap kerapatan tegakan sebesar 0.848 (Lampiran 2) yang menunjukkan bahwa kedua variabel berkorelasi positif dan hubungannya sangat erat karena nilai korelasinya mendekati 1.

(36)

18

Besarnya produktivitas serasah dalam ekosistem karst di ketinggian 200 mdpl dipengaruhi oleh curah hujan. Hal ini terlihat dari hasil korelasi antara produktivitas serasah terhadap curah hujan yaitu 0.978 (Tabel 3). Korelasi ini menunjukkan bahwa produktivitas serasah berfluktuasi mengikuti curah hujan. Semakin tinggi curah hujan, produktivitas serasah di ketinggian 200 mdpl juga semakin tinggi.

Tabel 3 Korelasi laju dekomposisi dan produktivitas serasah terhadap beberapa faktor pada ketinggian 200 mdpl

*signifikan p<0.05, ** signifikan p<0.01

Hasil analisis korelasi pada ketinggian 250 mdpl terlihat bahwa antara produktivitas serasah dengan laju dekomposisi memiliki hubungan yang kuat. Hal ini dikarenakan nilai koefisien korelasi antara kedua variabel tersebut yaitu 0.720 (Tabel 4).

*signifikan p<0.05, ** signifikan p<0.01

(37)

19 kedua variabel berkorelasi negatif atau tidak searah dan hubungannya tidak erat/tidak signifikan.

Tabel 5 Korelasi laju dekomposisi dan produktivitas serasah terhadap beberapa faktor pada ketinggian 300 mdpl

*signifikan p<0.05, ** signifikan p<0.01

Penurunan bobot kering serasah lebih cepat terjadi pada ketinggian 250 mdpl yang kemudian diikuti ketinggian 200 mdpl dan 300 mdpl (Gambar 5). Bobot kering serasah berkorelasi positif terhadap laju dekomposisi serasah di setiap ketinggian. Korelasi antara kedua variabel sangat kuat dan berbeda nyata/signifikan (Lampiran 3). Semakin rendah bobot kering serasah maka laju dekomposisi juga semakin lambat.

Gambar 5 Kurva eksponensial bobot kering serasah (%) pada setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl selama 9 minggu. Error bars menunjukkan ±SD (standar deviasi)

Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi pada masing-masing ketinggian yaitu 0.044 (200 mdpl), 0.049 (250 mdpl), dan 0.032 (300 mdpl) (Tabel 6). Nilai koefisien konstanta laju dekomposisi di setiap ketinggian <1 yang

(38)

-20

menunjukkan tingkat laju dekomposisi tergolong rendah. Menurut Torreta dan Takeda (1999) konstanta laju dekomposisi >2 tergolong tinggi, 1−2 tergolong sedang, dan <1 tergolong rendah.

Tabel 6 Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah setiap ketinggian dalam ekosistem Karst

Ketinggian Konstanta

200 mdpl 0.044

250 mdpl 0.049

300 mdpl 0.032

Laju dekomposisi lebih cepat terjadi pada ketinggian 250 mdpl, kemudian diikuti 200 mdpl dan 300 mdpl (Gambar 6). Laju dekomposisi serasah lebih cepat terjadi di ketinggian 250 mdpl dikarenakan bobot kering serasah cepat berkurang pada ketinggian 250 mdpl. Hal ini menunjukkan bahwa laju dekomposisi serasah sejalan atau searah dengan penurunan bobot kering yang juga cepat terjadi pada ketinggian 250 mdpl (Gambar 5).

(39)

21

Gambar 7 Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah melalui bobot kering pada setiap ketinggian 200, 250, dan 300 mdpl selama 9 minggu. Error bars menunjukkan ±SD (standar deviasi)

Rata-rata kandungan rasio C/N serasah pada setiap ketinggian yaitu 200 mdpl (28.716%), 250 mdpl (28.162%), dan 300 mdpl (28.024%) (Tabel 7). Ini menunjukkan bahwa rasio C/N termasuk dalam kriteria berkualitas sedang karena rasio C/N >25. Rata-rata kandungan rasio C/N tanah pada setiap ketinggian yaitu 200 mdpl (9.314%), 250 mdpl (8.947%), dan 300 mdpl (9.417%) (Tabel 7). Ini menunjukkan rasio C/N tanah termasuk dalam kriteria berkualitas tinggi karena rasio C/N <20.

Tabel 7 Rata-rata kandungan C, N, dan Rasio C/N pada serasah dan tanah dalam ekosistem Karst

Parameter Ketinggian (mdpl)

Kandungan (%)

C N C/N

Serasah

200 39.250 ± 5.966 1.401 ± 0.302 28.716 ± 5.445 250 38.829 ± 5.787 1.397 ± 0.243 28.162 ± 4.073 300 38.757 ± 5.237 1.399 ± 0.245 28.024 ± 3.407 Tanah

200 3.960 ± 0.776 0.429 ± 0.073 9.314 ± 1.796 250 3.194 ± 0.806 0.359 ± 0.081 8.947 ± 1.235 300 2.722 ± 0.692 0.291 ± 0.061 9.417 ± 1.741 Data menunjukkan rata-rata±SD (standar deviasi)

(40)

22

Tabel 8 Hubungan laju dekomposisi serasah terhadap kandungan C, N, dan rasio C/N pada serasah

Parameter Ketinggian Sumber Korelasi

Pearson’s P *signifikan p<0.05, ** signifikan p<0.01

Hubungan laju dekomposisi terhadap rasio C/N pada tanah berkorelasi negatif di ketinggian 250 mdpl, sedangkan pada ketinggian 200 mdpl dan 300 mdpl hubungan korelasinya positif atau searah. Tetapi hubungan korelasi ini tidak signifikan dan hubungannya sangat lemah karena nilai korelasinya tidak mendekati 1 (Tabel 9).

Tabel 9 Hubungan laju dekomposisi serasah terhadap kandungan C, N, dan rasio C/N pada tanah

Parameter Ketinggian Sumber Korelasi

Pearson’s P

Proses dekomposisi serasah dalam ekosistem karst dipengaruhi oleh sifat fisika dan kimia tanah. Sifat kimia tanah seperti tekstur pada setiap ketinggian 200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl termasuk dalam kriteria liat (Tabel 10). Sifat kimia tanah lainnya seperti pH H2O lebih tinggi pada ketinggian 250 mdpl, ini

mendukung laju dekomposisi yang lebih cepat terjadi di ketinggian 250 mdpl dibandingkan pada ketinggian lainnya. Bahan organik tanah setiap ketinggian memiliki kandungan C, N, dan rasio C/N yang rendah pada ketinggian 300 mdpl, sedangkan pada ketinggian 200 mdpl dan 250 mdpl memiliki kandungan C dan N rendah, tetapi rasio C/N termasuk dalam kriteria sedang.

Sifat kimia tanah P2O5 Olsen termasuk dalam kriteria sangat tinggi pada

ketinggian 200 mdpl dan 300 mdpl, sedangkan ketinggian 250 mdpl termasuk rendah. Pada K2O Morgan dari masing-masinh ketinggian termasuk kriteria tinggi

(41)

23 (NTK) kriteria Ca dan kejenuhan basa (KB*) tanah di setiap ketinggian tersebut termasuk sangat tinggi. Kriteria pada Mg berturut-turut di ketinggian 200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl yaitu rendah, sedang, dan tinggi. K dan H+ termasuk rendah, begitu juga Al3+ dan Na sangat rendah di masing-masing ketinggian. Kapasitas Tukar Kation (KTK) sangat tinggi di ketinggian 250 mdpl (Tabel 10). Ini memengaruhi laju dekomposisi yang lebih cepat terjadi pada ketinggian 250 mdpl. Kapasitas Tukar Kation (KTK) adalah jumlah muatan positif dari kation yang diserap koloid tanah pada pH tertentu. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah (Harjowigeno 2003).

Tabel 10 Kriteria sifat kimia tanah di beberapa ketinggian dalam ekosistem karst Ciampea, Bogor

(42)

24

Indeks kemantapan agregat memiliki kriteria sangat mantap (200 mdpl), mantap (250 mdpl), dan agak mantap (300 mdpl). Kadar air sangat tinggi dan air yang tersedia juga tinggi di masing-masing ketinggian. Pori drainase cepat termasuk dalam kriteria sangat tinggi (300 mdpl) dan tinggi (200 mdpl dan 250 mdpl), sedangkan pori drainase lambat termasuk dalam kriteria sangat rendah. Permeabilitas tanah juga lambat/rendah di ketinggian 200 mdpl, sedangkan di ketinggian 250 mdpl dan 300 mdpl termasuk kriteria sedang (Tabel 11).

Tabel 11 Kriteria sifat fisika tanah di beberapa ketinggian dalam ekosistem karst Ciampea, Bogor Keterangan: 1 = Ketinggian 200 mdpl; 2 = Ketinggian 250 mdpl; 3 = Ketinggian

300 mdpl

Pengukuran retensi air (pF = p: potensial; F: energi bebas air) adalah log tekanan lengas tanah yang diekspresikan dalam tinggi kolom air (cm). Pada penelitian ini digunakan pengukuran retensi air yang umum dilakukan yaitu pF1

(0.01atm ≈kolom air 10), pF2 (0.1atm ≈kolom air 100), pF2.54 (0.3atm ≈kolom air 346), dan pF4.2 (15atm ≈kolom air 15.849) (Sutanto 2005). Hasil analisis

terlihat kadar air pada pF1 lebih tinggi dibandingkan pada pF4.2 (Tabel 12). Lengas yang terikat pada pF>4.2 tidak dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Sutanto 2005). Oleh karena itu dapat dikatakan kadar air yang dapat digunakan oleh tumbuhan dalam ekosistem karst di Gunung Cibodas ini diperkiraan berkisar

antara 23.8%−63.4% (Tabel 12).

(43)

25

Bobot isi (BD) pada masing-masing ketinggian dalam penelitian ini yaitu 0.75 (200 mdpl), 0.72 (250 mdpl), dan 0.69 (300 mdpl) (Tabel 12). Bobot isi menunjukkan perbandingan antara bobot tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Bobot isi (BD) semakin padat suatu tanah maka makin tinggi bobot isi (BD) nya dimana makin sulit meneruskan air untuk tembus

ke akar tanaman. Pada umumnya bobot isi berkisar dari 1.1−1.6 g/cc. Beberapa

jenis tanah yang memiliki bobot isi < 0.90 g/cc (misalnya tanah Andisol), sedangkan <0.10 g/cc (misalnya tanah gambut).

Bobot jenis (PD) pada masing-masing ketinggian dalam penelitian ini yaitu 2.25 (200 mdpl), 2.14 (250 mdpl), dan 2.31 (300 mdpl) (Tabel 12). Penentuan bobot jenis diperlukan untuk menduga ruang pori total. Bobot jenis berhubungan langsung dengan bobot volume tanah, volume udara tanah, serta kecepatan sedimentasi partikel di dalam zat cair. Bobot jenis merupakan perbandingan antara massa total fase padat tanah dan volume fase padat. Untuk tanah mineral sering diasumsikan sekitar 2.65 gcm-3 (Hillel 1982).

Pembahasan

Hasil pengukuran produktivitas serasah di ketinggian 200 mdpl, 250 mdpl, dan 300 mdpl berbeda-beda. Produktivitas serasah total tertinggi pada ketinggian 200 mdpl. Salah satu faktor yang memengaruhinya yaitu kerapatan tumbuhan. Kerapatan pada ketinggian 200 mdpl yaitu 25600 ind/ha lebih tinggi dibandingkan pada ketinggian 250 mdpl (11000 ind/ha), dan pada ketinggian 300 mdpl (11520 ind/ha) (Lampiran 2). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Violita (2015), yaitu produktivitas serasah dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kerapatan pohon. Produktivitas serasah menurun seiring dengan penurunan kerapatan pohon.

Iklim juga memberikan pengaruh terhadap produktivitas serasah pada suatu ekosistem. Andivia et al. (2012) menyatakan bahwa faktor iklim seperti curah hujan menjadi faktor penentu dalam produktivitas serasah. Produktivitas serasah yang merupakan proses gugurnya struktur vegetatif dan reproduktif dapat juga disebabkan oleh faktor usia bagian tanaman, stress yang disebabkan faktor mekanik (misalnya angin) ataupun kombinasi keduanya dan kematian serta kerusakan oleh iklim (hujan) (Indriani 2008). Hubungan produktivitas serasah terhadap curah hujan berkorelasi positif dan hubungannya sangat erat 0.978** (Tabel 3). Korelasi positif ini menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut searah. Produktivitas serasah berfluktuasi mengikuti curah hujan, semakin besar curah hujan maka semakin besar pula produktivitas serasahnya (Triadiati et al.

2011). Pada ketinggian 200 mdpl produktivitas serasah dan curah hujan tinggi di minggu ke-6 (Lampiran 4). Hal ini sesuai dengan penelitian Wibisana (2004) yaitu produktivitas serasah hujan tinggi pada curah hujan yang tinggi. Faktor temporal seperti curah hujan memengaruhi tinggi rendahnya produktivitas serasah.

(44)

26

oleh laju produktivitas dan laju dekomposisi serasah. Komposisi serasah akan sangat menentukan dalam penambahan hara ke tanah dan menciptakan substrat yang baik bagi organisme pengurai.

Produktivitas serasah tertinggi terdapat pada serasah bagian daun. Daun merupakan 81.20% dari total serasah yang tertampung selama 9 minggu, diikuti ranting 13.53%, serta bunga dan buah 5.27% (Lampiran 1). Daun merupakan kategori serasah terbesar diikuti ranting, bunga dan buah (Strojan et al. 1979). Serasah daun lebih sering gugur dibandingkan serasah lain karena bentuk daun yang lebar dan tipis sehingga mudah digugurkan oleh angin dan curah hujan atau disebabkan sifat fisiologis daun (Nilamsari 2000). Kerontokan daun dipengaruhi oleh 2 hal yaitu umur daun dan faktor mekanik. Ketika mencapai umur tertentu maka secara alamiah daun akan tanggal. Hal ini juga dapat dibantu oleh guncangan angin, terutama ketika menjelang turun hujan atau selama hujan turun. Rata-rata tertinggi produktivitas serasah dalam ekosistem karst ini mencapai 5.18 ton/ha/tahun (Lampiran 1). Produktivitas serasah dalam ekosistem Karst ini lebih lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem Mangrove yang mencapai 11.84 ton/ha/tahun pada penelitian Andriyanto et al. (2015) dan ekosistem hutan tropis 11 ton/ha/tahun (Cracc 1964). Produktivitas serasah dalam ekosistem karst ini lebih tinggi dibandingkan dengan Hutan Eretic Alpin (hutan daerah kutub) 1 ton/ha/tahun. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan antara faktor abiotik dan biotik diantara ekosistem Karst dengan ekosistem lainnya. Produktivitas serasah dari suatu tempat ke tempat lain terdapat perbedaan disebabkan pengaruh iklim yang berbeda. Semakin ke daerah tropis produktivitas serasah yang dihasilkan semakin banyak (Cracc 1964).

Sifat dari morfologi tumbuhan dan kerapatan dapat memengaruhi produktivitas serasah. Kerapatan suatu vegetasi juga akan memengaruhi produktivitas serasah. Berdasarkan hasil korelasi yang diperoleh antara produktivitas serasah terhadap kerapatan tegakan berkorelasi positif dan hubungannya sangat erat yaitu 0.848 (Lampiran 2). Vegetasi dengan tajuk yang lebih lebat memproduksi lebih banyak serasah (Ruiz-Jae’n dan Aide 2005). Stratifikasi tajuk di ekosistem karst Gunung Cibodas, Ciampea, Bogor ini terdiri dari 3 strata yaitu (1) pohon; (2) semak, herba, dan liana; dan (3) rumput dan paku-pakuan. Jenis vegetasi yang memiliki indeks INP dominan dari tingkat vegetasi pohon yaitu Ficus obscura, Ficus callosa, dan Buchananania arborescense.

Buchananania arborescense dideskripsikan memiliki batang berkayu dan daun tunggal. Ficus merupakan salah satu jenis tumbuhan yang paling penting dari ekosistem hutan. Jenis-jenis Ficus dapat berupa pohon kayu, semak, tumbuhan menjalar dan epifit serta hemi-epifit dalam familia Moraceae. Beberapa dari organisme hidup tergantung pada keberadaan Ficus, seperti serangga-serangga yang sifatnya spesifik (Whitmore 1978). Secara umum masyarakat mengenal Ficus dengan nama beringin, ara/aro, jilabuak atau sikalabuak dengan ciri khas pada bentuk dan struktur buah yang disebut dengan fig atau syconium.

Fig merupakan bunga atau buah semu majemuk yang disusun oleh receptaculum

atau dasar bunga yang berdaging dan berair. Bunga atau buah yang sesungguhnya terdapat pada dinding sebelah dalam dari receptaculum tersebut (Hooker 1982).

(45)

27 lebat menciptakan naungan yang memengaruhi intensitas cahaya matahari yang diterima oleh tanah membuat suhu udara dan suhu tanah di bawahnya lebih rendah, serta kelembaban tanah lebih tinggi. Hasil pengukuran suhu udara di ekosistem karst ini berkisar 28oC - 32oC, suhu tanah berkisar 25oC - 29oC, dan kelembaban tanah berkisar 76% - 100% (Lampiran 3). Kondisi iklim mikro ini merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi keberadaan hewan yang berperan dalam proses dekomposisi (Wang et al. 2010).

Produktivitas serasah penting diketahui dalam hubungannya dengan pemindahan energi dan unsur-unsur hara dari suatu ekosistem hutan. Adanya suplai hara berasal dari daun, ranting, buah, dan bunga yang banyak mengandung hara mineral akan dapat memperkaya tanah dengan membebaskannya sejumlah mineral melalui proses dekomposisi (Darmanto 2003). Transfer bahan organik dari suatu vegetasi melalui proses dekomposisi ke permukaan tanah ditentukan oleh jumlah dan kualitas serasah (Moraes dan Sérgio 1999). Serasah yang cepat terdekomposisi mampu memperbaiki siklus hara dalam tanah.

Penelitian mengenai produktivitas serasah dilakukan selama 9 minggu dengan rentang waktu seminggu sekali produktivitas serasah yang tertampung ditimbang. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kuantitas biomassa yang dikontribusikan oleh tumbuhan ke lingkungan. Berdasarkan hasil rata-rata terlihat bahwa ekosistem karst memiliki produktivitas serasah sebesar 101.539 ton/ha/tahun (Lampiran 1). Produktivitas serasah merupakan perkiraan kuantitas biomassa daun, ranting, dan material reproduktivitas tumbuhan yang jatuh dari spesies pohon dalam tipe komunitas ekosistem yang berbeda (Parmenter dan Schuster 1993).

Bobot kering merupakan parameter untuk melihat biomassa, tanpa terpengaruh fluktuasi kadar air yang dapat memengaruhi bobot totalnya. Bobot kering serasah selama penelitian terlihat semakin menurun seiring berjalannya waktu (Gambar 5). Perubahan bobot serasah per satuan waktu ini disebabkan terjadinya proses dekomposisi, mikroorganisme tanah memanfaatkan karbon serasah sebagai bahan makanan dan membebaskannya sebagai CO2 (Aprianis

2011). Pada ketinggian 250 mdpl terlihat diawal minggu pertama kehilangan bobot serasah sangat cepat (Gambar 5). Kehilangan bobot serasah yang sangat cepat sudah umum terjadi pada beberapa minggu pertama (Torreta dan Takeda 1999; De Costa dan Atapattu 2001; Chuyong et al. 2002).

Waktu sangat berpengaruh terhadap proses dekomposisi serasah. Semakin lama waktunya maka semakin besar persen kehilangan bobot serasahnya. Menurut Berg dan McClaugherty (2008) konstanta laju dekomposisi menjadi indikator pengembalian hara pada ekosistem teresterial.

Laju dekomposisi di ekosistem karst Gunung Cibodas, Ciampea, Bogor ini berjalan lambat, terlihat pada pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah yang rendah yaitu pada ketinggian 200 mdpl (0.044), 250 mdpl (0.049), dan 300 mdpl (0.032) (Tabel 6). Torreta dan Takeda (1999) menyatakan bahwa nilai koefisien konstanta dikatakan k >2 tinggi, 1-2 sedang, k<1 rendah. Koefisien konstanta laju dekomposisi dalam ekosistem karst ini rendah dibandingkan dengan hutan tropis Afrika yang memiliki nilai koefisien konstanta sebesar 4 menunjukkan proses laju dekomposisi berjalan cepat (Olson 1963).

(46)

28

salah satunya rasio C/N. Rasio C/N merupakan indikator yang sangat baik untuk mengetahui laju dekomposisi (BassiriRad 2005). Rata-rata rasio C/N serasah pada ketinggian yaitu 28.716 (200 mdpl), 28.162 (250 mdpl), dan 28.024 (300 mdpl) (Tabel 7). Rasio C/N >20 menunjukkan bahwa dekomposisi masih tergolong belum lanjut. Dekomposisi bahan organik yang lanjut dicirikan oleh C/N yang rendah, sedangkan C/N yang tinggi menunjukkan dekomposisi belum lanjut atau baru dimulai. Kualitas serasah termasuk rasio C/N akan memengaruhi pembentukan bahan organik tanah (Budge et al. 2010).

Rasio C/N serasah dalam penelitian ini >25 yang tergolong sedang (Tabel 7) dengan laju dekomposisi serasah yang tergolong lambat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwanto et al. (2014) yaitu rasio C/N >25 yang menandakan lambatnya proses mineralisasi, sehingga unsur yang dibutuhkan tanaman akan lambat tersedia.

Rasio C/N merupakan indikator yang baik bagi kualitas bahan organik tumbuhan, sebagai sumber nutrien, dan energi bagi makrofauna tanah. Berjalannya proses dekomposisi serasah karena perombakan bahan organik akan menurunkan C/N serasah tersebut. Semakin rendah nilai C/N maka semakin baik kualitas serasahnya (Setiawan et al. 2003). Rasio C/N adalah penduga tingkat pelapukan bahan organik dan petunjuk kemungkinan kekurangan N akibat persaingan antara mikroorganisme tanah dengan tanaman tingkat tinggi dalam penggunaan N yang tersedia dalam tanah.

Rasio C/N tanah rata-rata pada setiap ketinggian yaitu 9.314 (200 mdpl), 8.947 (250 mdpl), dan 9.417 (300 mdpl) (Tabel 7). Rasio C/N digunakan sebagai indeks mudah tidaknya bahan organik mengalami penguraian dan sebagai indikator aktivitas biologi. Semakin tinggi rasio C/N dalam serasah, semakin rendah kualitas serasah sehingga sulit terdekomposisi. Serasah dengan rasio C/N <20 disebut sebagai serasah berkualitas tinggi, serasah dengan rasio C/N antara

20−40 disebut kualitas sedang, dan rasio C/N >40 disebut berkualitas rendah.

Rasio C/N <25 mencirikan bahwa nitrogen mengalami proses mineralisasi, sehingga mikroorganisme mati maka penguraian menjadi unsur lain yang lebih sederhana (Sutanto 2005). Rasio C/N menunjukkan proses mineralisasi-immobilisasi N oleh mikroba dekomposer bahan organik. Kandungan C/N pada serasah digunakan sebagai nutrisi untuk mikroorganisme yang berperan dalam mendegradasi bahan organik substrat menjadi senyawa anorganik. Rasio C/N tanah juga dipengaruhi oleh curah hujan, suhu, mikroba yang terlibat, dan rasio C/N tumbuhan diatasnya.

Tekstur tanah pada setiap ketinggian termasuk kriteria liat. Tanah dengan tekstur liat memiliki laju evaporasi terendah. Hal ini karena liat memiliki ukuran yang kecil dengan permukaan yang sangat luas sehingga mampu menahan air dalam jumlah yang besar dan sekaligus menyebabkan evaporasi yang terjadi juga rendah. Tekstur tanah berpengaruh terhadap drainase dan aerasi tanah, yang berperan dalam menentukan jenis mikroba aerobik, anaerobik atau fakultatif yang aktif/dominan dalam proses dekomposisi (Sutanto 2005).

Gambar

Gambar 1 Bentuk petak contoh pengukuran vegetasi: A = Petak contoh 10 m x 10
Tabel 1 Indeks nilai penting (INP) jenis dominan dan kodominan pada tingkat pertumbuhan setiap ketinggian di ekosistem karst Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Bogor
Tabel 2 Indeks Dominansi Jenis (C), Kemerataan (E), dan Keanekaragaman (H’)
Gambar 4  Produktivitas serasah total pada setiap ketinggian 200, 250, dan 300
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagian dari Kontribusi yang besarnya dapat berubah-ubah dan dapat dibayarkan setiap saat sesuai keinginan Anda sepanjang jumlahnya atau jumlah keseluruhannya

a) Standar Visi, Misi, Tujuan, Sasaran dan Strategi Pencapaian merupakan standar yang berisikan kerangka dasar yang memberi arahan pada program studi/jurusan dalam

[r]

Dari gambar grafik tersebut dapat dilihat hasil pengukuran tanggapan frekuensi dari hasil pengukuran (Matlab) maupun hasil simulasi dengan Circuit Maker pada

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan fisik dan perilaku dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas

Adanya TIK guru dapat mampu membuat variasi-variasi pembelajaran yang sulit menjadi mudah dipahami oleh siswanya, sehingga terciptalah suasana belajar yang nyaman, senang bagi

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan kedua yang dihadapi dalam melaksanakan strategi pengelolaan potensi hutan pinus menjadi objek wisata di Desa

Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan pengetahuan karyawan bank dengan pola makan dalam upaya pencegahan gout