• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi Wadah Bertingkat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi Wadah Bertingkat."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN MEDIA KOTORAN AYAM DAN LIMBAH

IKAN LELE PADA BUDIDAYA CACING SUTRA (

Tubificidae

)

DENGAN SISTEM RESIRKULASI WADAH BERTINGKAT

DIANA SRIWISUDA PUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi Wadah Bertingkat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

DIANA SRIWISUDA PUTRI. Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi Wadah Bertingkat. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan DANIEL DJOKOSETIYANTO.

Pakan alami merupakan faktor penting dalam budidaya ikan terutama pada fase pembenihan. Salah satu jenis pakan alami yang paling disukai oleh benih ikan, khususnya benih ikan-ikan catfish adalah cacing sutra. Hal ini dikarenakan cacing sutra memiliki kandungan protein yang tinggi. Cacing sutra di alam, umumnya diperoleh dari proses penangkapan di sungai, parit dan selokan. Ketersediaan cacing sutra di alam sebagai pakan hidup relatif terbatas sehingga sangat diperlukan media kultur cacing sutra yang baik dan dapat memproduksi cacing dalam jumlah banyak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pemanfaatan kotoran ayam fermentasi dan limbah lele terhadap hasil panen cacing sutra dengan sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat.

Pada penelitian ini yang digunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 2 kali ulangan. Jenis perlakuan adalah pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dengan pemberian pada awal pemeliharaan (P0), pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pengulangan pemberiannya setiap 5 hari sekali (P1), pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah dari budidaya ikan lele intensif (P2), pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pengulangan pemberiannya 5 hari sekali dan pemberian limbah dari budidaya ikan lele intensif (P3). Parameter selama penelitian yang diuji meliputi kelimpahan individu, biomassa, sedimen yaitu TOM (Total Organic Matter), total N dan C-Organik sedangkan parameter kualitas air yang diukur yaitu oksigen terlarut (DO), suhu, pH, TAN (Total Ammonia Nitrogen), TOM (Total Organic Matter), TSS (Total Suspended Solid), VSS (Volatile Suspended Solid), nitrit, nitrat dan amonia. Sampel sedimen dan air diambil setiap 10 hari sekali.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah dari budidaya lele intensif merupakan perlakuan yang terbaik apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kondisi kualitas air selama penelitian, secara keseluruhan masih memenuhi standar budidaya untuk cacing sutra. Pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah dari budidaya lele intensif pada sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat merupakan perlakuan yang terbaik yang menghasilkan produksi biomassa sebesar 6,47 kg/m2 dan puncak kelimpahan sebesar 1.697 individu/m2, ditinjau dari parameter kualitas air, kandungan bahan organik dan nilai TOM air selama penelitian. Pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah dari budidaya lele intensif merupakan yang terbaik karena menghasilkan kelimpahan dan biomassa terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

(5)

SUMMARY

DIANA SRIWISUDA PUTRI. Utilization The Feces of Chicken Media and Catfish Waste on Blood Worms Cultivation with The Recirculation System in Multi-Storey Container. Supervised by EDDY SUPRIYONO dan DANIEL DJOKOSETIYANTO.

Natural feed is an important factor in fish farming, especially in the hatcheries phase. One type of the most preferred fish, particularly catfish fish seed is the blood worms. This is because the blood worms have a content of protein highly. Blood worms that exist in nature, generally obtained from the arrest in rivers, ditches and gutters. Availability of nature blood worms as live feed is relatively limited so it is necessary to develop the blood worm culture media and mass production method. The study objective was to analyze the effect using the feces of chicken fermented and catfish waste to production of blood worm with the recirculation system in multi-storey container.

Experimental used completed randomize design with four treatments and two replications. The treatments were the feces of chicken fermented into sediment on the first care (P0), the feces of chicken fermented into sediment and administrated of repetition each 5 days (P1), the feces of chicken fermented into sediment and the administrated of catfish culture waste intensively (P2), the feces of chicken fermented into sediment and administrated of repetition each 5 days also administrated of catfish culture waste intensively (P3). The parameters of study included individual abundance, biomass, sediment that TOM (Total Organic Matter), total N and C-Organic while water quality parameters measured were dissolved oxygen (DO), temperature, pH, TAN (Total Ammonia Nitrogen), TOM (total Organic Matter), TSS (total Suspended Solid), VSS (Volatile Suspended Solid), nitrite, nitrate, ammonia. Sediment and water samples were taken each 10 days.

The results showed that the feces of chicken fermented into sediment and catfish culture waste intensively was the best treatment among other treatments. Water quality conditions during the study meet overall standards requirement for blood worm aquaculture. The feces of chicken fermented into sediment and waste from intensive catfish farming with multi storey container in recirculation system was the best medium to increased growth of blood worms with biomass at 6.47 kg/m2 and the highest abundance at 1,697 ind/m2, from the water quality parameters, organic matter contents and TOM water values during the study. The feces of chicken fermented into sediment and waste from intensive catfish farming was the best because the production of its abundance and biomass was the best when compared among other treatments.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

PEMANFAATAN MEDIA KOTORAN AYAM DAN LIMBAH

IKAN LELE PADA BUDIDAYA CACING SUTRA (

Tubificidae

)

DENGAN SISTEM RESIRKULASI WADAH BERTINGKAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi Wadah Bertingkat.

Nama : Diana Sriwisuda Putri NIM : C151120131

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Eddy Supriyono, MSc Ketua

Prof Dr Ir Daniel Djokosetiyanto, DEA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dr Ir Widanarni, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2014 ini adalah “Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi Wadah Bertingkat”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Eddy Supriyono, MSc dan Bapak Pro f Dr Ir Daniel Djokosetiyanto selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan, serta Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis atas segala saran yang diberikan sehingga tesis ini lebih berkualitas.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada ayahanda Prof Dr Ir Syafriadiman dan ibunda Yumna S.Pd yang telah memberikan motivasi berupa moril dan materil, kesabaran, pengertian, kasih sayang yang tulus dan doa yang tiada hentinya, serta kakanda Veraminah Sandriosa Putri, adinda Skel; Hengki Firmanda S.SH, MH, MSi, Edi Yusuf Adiman, dan R Multi KA atas segala doa, dan kasih sayangnya. Di samping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh keluarga Martini SPd, Hasnidar SPd, Zulfahmi, Mardiah, Rahmadanis dan Mazda Lena atas doa dan kasih sayangnya selama penulis menyelesaikan studi.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Rico Andespa, Alisa Puspita, bang Dedi Pardiansyah, kak Sri Wahyuni, bang Yusuf, Arya Fitriadi, Faradina, kak Titi, bang Musa, Rodhi, kak Dodi, Eko, Wira, Yeni dan Zizah atas segala persahabatan dan kekeluargaan yang diberikan kepada penulis. Terima kasih juga kepada keluarga besar Akuakultur 2012 atas segala semangat, kerjasama dan dukungan moril maupun spiritual.

Penelitian dan penyusunan tesis ini dapat terlaksana atas bantuan dana dari ORANG TUA penulis yang tulus.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 METODE PENELITIAN 3

Budidaya Cacing Sutra 3

Budidaya Ikan Lele 5

Rancangan Penelitian 6

Parameter Pengamatan 6

Parameter Kualitas Air 6

Sedimen 6

Kelimpahan Individu 7

Biomassa 7

Analisis Data 7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Kondisi Lingkungan Budidaya 7

Kelimpahan Cacing Sutra 12

Biomassa Cacing Sutra 13

4 SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 15

LAMPIRAN 18

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kisaran nilai kualitas air di dalam wadah pada air budidaya 7

2 Nilai TOM (%) pada air budidaya cacing sutra 9

3 Pemanfaatan TOM (%) oleh cacing sutra 10

4 Kandungan bahan organik total (%) pada sedimen budidaya cacing

sutra 10

5 Kelimpahan dan biomassa cacing sutra pada saat puncak (hari ke-60) 13

6 Data parameter produksi cacing sutra 15

DAFTAR GAMBAR

1 Kelimpahan cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian 12 2 Biomassa cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian 13 3 Kelimpahan dan biomassa cacing sutra dalam setiap perlakuan selama

penelitian 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Wadah budidaya cacing sutra dengan sistem resirkulasi wadah

bertingkat 18

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pakan alami merupakan faktor penting dalam budidaya ikan terutama pada fase pembenihan. Benih yang berkualitas sangat tergantung kepada manajemen pakan yang tepat di mana produksi pakan alami untuk pemeliharaan larva ikan di pusat-pusat pembenihan ikan adalah sangat penting (Syafriadiman dan Masril 2013). Pakan yang diberikan haruslah tepat jumlah, tepat mutu dan tepat ukuran (Djokosetiyanto et al. 1992). Salah satu jenis pakan alami yang paling disukai oleh benih ikan, khususnya benih ikan-ikan catfish adalah cacing sutra yang juga

disebut „sludge worms‟ atau cacing rambut atau cacing oligochaeta (Tubifex sp.)

karena memiliki kandungan protein yang tinggi. Findy (2011) menyatakan cacing sutra mengandung 65% protein, 15% lemak dan 14% karbohidrat.

Cacing sutra di alam, umumnya diperoleh dari proses penangkapan di sungai, parit dan selokan. Lingkungan habitat cacing sutra biasanya berkonduktivitas tinggi, kedalaman air rendah, sedimen liat-berpasir atau liat berlumpur, kecepatan arus rendah, dan jumlah bahan-bahan organik yang berubah-ubah (Marchese 1987; Pasteris et al. 1996). Jumlah permintaan cacing saat ini berasal dari alam yang tidak dapat dipastikan kualitasnya dan dapat menjadi agen pembawa penyakit, sehingga ketergantungan cacing sutra di alam kurang mendukung bagi keberlangsungan dan keberlanjutan budidaya ikan (Sinaga 2012).

Ketersediaan cacing sutra di alam sebagai pakan hidup relatif terbatas maka sangat diperlukan media kultur cacing sutra yang baik dan dapat memproduksi cacing yang tinggi dan mampu menyediakan sesuai dengan target produksi akuakultur nasional sebesar 353% atau 5,26 juta ton pada tahun 2010 menjadi 16,9 juta ton pada tahun 2014 di mana ikan lele merupakan komoditas unggulan tersebut dengan produksi 900 ton pada tahun 2014 (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya 2010; Hikmayani et al. 2012). Cacing sutra dapat berkembang biak pada media yang mempunyai kandungan oksigen terlarut berkisar antara 2,75-5 mg/l, kandungan amonia <1 mg/l, suhu air berkisar antara 28-30 oC dan pH air antara 6-8 (Syafriadiman dan Masril 2013). Makanan cacing sutra berupa bahan organik yang bercampur dengan lumpur atau sedimen di dasar perairan. Potensi makanan tersebut sangat memungkinkan untuk menghasilkan cacing dengan jumlah yang banyak dalam wadah budidaya secara terkontrol dan berkelanjutan sehingga kelimpahannya terjamin sepanjang tahun (Puspitasari 2012).

(14)

2

wadah dan kualitas media air terhadap pertumbuhan Tubifex (Djokosetiyanto et al. 1991), pengaruh tinggi air dan tinggi substrat terhadap pertumbuhan Tubifex (Djokosetiyanto et al. 1992). Penelitian tentang makanan Tubifex telah dilakukan oleh Nurjariah (2005) dengan menggunakan pupuk kotoran ayam hasil fermentasi EM4 dalam budidaya cacing sutra, namun penelitian dengan wadah bertingkat belum dilakukan sampai saat ini.

Penelitian ini menggunakan media kultur kotoran ayam hasil fermentasi EM4 dengan sistem resirkulasi wadah bertingkat. Kandungan N kotoran ayam adalah 1,44% (Puspitasari 2012). Pemupukan ini bertujuan menambah kadar nutrien dalam media pemeliharaan. Unsur nutrien terpenting yaitu C dan N yang dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi dengan aktivator EM4 yang merupakan campuran mikroba seperti bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi, actinomycetes dan jamur. Menurut Hadiah (2003), pupuk yang difermentasikan mampu meningkatkan kandungan N dan C organik sehingga aktivitas mikroorganisme dapat berlangsung secara efektif. Pemberian pupuk kotoran ayam hasil fermentasi akan mempengaruhi kelimpahan dan pertumbuhan cacing sutra (Tahapari et al. 2010).

Pupuk kotoran ternak dapat memanfaatkan limbah dari hasil budidaya intensif seperti limbah budidaya ikan patin, lele dan jenis ikan budidaya lainnya. Penelitian budidaya intensif tentang pemanfaatan limbah telah dilakukan oleh Syafriadiman dan Masril (2013) tentang pemanfaatan limbah ikan patin dengan biomassa cacing sutra sebesar 2,17-4,97%. Selain ikan patin jenis ikan lain yang dipelihara secara intensif adalah ikan lele (Clarias gariepinus). Ikan lele merupakan salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang penting dan tergolong pertumbuhannya cepat jika dibandingkan dengan komoditas lainnya dengan peningkatan produksi terbesar yakni 88,98% (Gunadi 2012). Ikan lele termasuk jenis ikan yang mempunyai alat pernafasan tambahan (air breathing fish), sehingga mempunyai daya toleransi yang lebih baik dibandingkan jenis ikan lainnya terhadap kondisi yang relatif kurang baik.

Peningkatan produksi ikan dapat menghasilkan limbah yang tinggi dan belum ada pemanfaatan yang optimal dari limbah tersebut. Biasanya limbah ikan lele secara intensif hanya dimanfaatkan setelah dilakukan pemanenan untuk dijadikan pupuk dari berbagai tanaman dan dimanfaatkan untuk berbagai jenis ikan dalam sistem budidaya berbasis jejaring makanan yang dikenal dengan istilah Integrated Multi Tropic Aquaculture (IMTA) (Gunadi 2012). Peneliti mencoba memanfaatkan limbah ikan lele secara intensif dikarenakan limbah ikan lele mengandung limbah N dan bakteri yang dapat dimanfaatkan dalam budidaya cacing sutra untuk meningkatkan produktivitas cacing sutra. Yi et al. (2003) menyatakan bahwa ikan dan udang hanya dapat meretensi protein pakan sekitar 16,3-40% dan sisanya terbuang menjadi limbah budidaya. Sistem budidaya seperti ini akan menghasilkan total beban limbah pakan yang lebih banyak daripada yang teretensi menjadi daging ikan. Limbah budidaya yang dimaksud merupakan akumulasi dari residu organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan, ekskresi amonia, feses, dan partikel-partikel pakan.

(15)

3 Penelitian tentang manipulasi media, komposisi media dan sistem resirkulasi air dari budidaya cacing sutra sampai saat ini masih menggunakan 1 rak dan produktivitasnya juga masih rendah baru mencapai 2,2 kg/m2 (Febriyani 2012). Hasil yang diperoleh masih belum cukup memuaskan jika dibandingkan dengan hasil tangkapan di alam, di mana kemampuan alam seperti di selokan diperkirakan mencapai 10 kg/m2. Hal ini menyebabkan harga jual cacing sutra cukup menggiurkan (Efendi 2013), yakni mencapai Rp 15.000 /liter di Jakarta.

Peningkatan produktivitas cacing sutra telah dilakukan dengan sistem bertingkat menggunakan nampan/tray. Sistem ini melakukan pengisian air baru dari luar sistem untuk mengganti air yang susut atau berkurang akibat kebocoran/evaporasi. Semakin banyak rak-rak budidaya cacing sutra yang dibuat maka kapasitas produksi yang ingin dicapai akan semakin meningkat. Kelemahan penggunaan nampan masih kurang efisien karena ukurannya kecil dan membutuhkan nampan relatif banyak sehingga untuk memanen 2,5 liter/hari membutuhkan 10 nampan/hari (Efendi 2013). Jadi, penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki keadaan lingkungan budidaya cacing sutra dengan media kotoran ayam fermentasi dan limbah ikan lele dengan sistem resirkulasi wadah bertingkat untuk mengefesienkan penggunaan wadah, penggunaan sumberdaya air dan lahan yang terbatas serta dapat memperbaiki kekurangan dari sistem budidaya sebelumnya, sehingga budidaya cacing sutra dapat memenuhi kebutuhan benih ikan dan tercapainya produksi yang tinggi dan berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pemanfaatan kotoran ayam fermentasi dan limbah ikan lele terhadap hasil panen cacing sutra dengan sistem resirkulasi wadah bertingkat.

Manfaat Penelitian

a. Paket teknologi budidaya cacing sutra yang dapat diadopsi oleh masyarakat khususnya pembudidaya ikan tawar.

b. Alternatif solusi terhadap masalah pada budidaya cacing sutra secara aman dan efisien.

c. Publikasi ilmiah.

2

METODE PENELITIAN

Budidaya Cacing sutra

Wadah Penelitian

(16)

4

terjadinya kebocoran dan dapat memberikan suasana lingkungan yang mendukung bagi budidaya cacing oligochaeta seperti yang dilakukan oleh Chumaidi et al. (1988). Aliran air dibuat dengan sistem resirkulasi di mana air dipompa dan dimasukkan ke dalam wadah, selanjutnya air buangan dari wadah dimasukkan kembali ke dalam wadah untuk mengisi air di wadah pemeliharaan.

Media Kultur

Media berupa lumpur kolam halus sedalam 3 cm dan kotoran ayam potong hasil fermentasi sedalam 3 cm. Sebelum digunakan, lumpur dijemur di bawah sinar matahari langsung hingga kering kemudian dimasukkan ke dalam wadah dan kotoran ayam diambil dari kotoran ayam ras/potong/pedaging kemudian dijemur di bawah sinar matahari langsung hingga kering selama kurang lebih 6 jam (Puspitasari 2012; Sinaga 2012). Wadah digenangi air setinggi 2 cm di atas permukaan substrat. Setelah diisi air, wadah dibiarkan tergenang selama 10 hari. Penggenangan dilakukan agar pupuk awal pada media dapat terurai oleh bakteri sehingga bakteri tersebut dapat menjadi pakan awal bagi cacing sutra. Substrat yang digunakan untuk pemeliharaan cacing berupa lumpur dan kotoran ayam dengan komposisi perbandingan 1:1 (Djokosetiyanto et al. 1991).

Penebaran Cacing Sutra

Cacing sutra yang digunakan berasal dari kelas Oligochaeta yang diperoleh dari pengumpul cacing sutra. Penebaran cacing dilakukan setelah penggenangan wadah (setelah air jernih di dalam wadah). Cacing yang dikultur memiliki ukuran panjang 2-5 cm pengamatan secara visual. Kemudian bibit dibersihkan dan ditimbang sesuai dengan perlakuan sebelum ditebar secara merata ke media budidaya. Penimbangan dilakukan untuk mengetahui bobot dan biomassa awal cacing sutra uji. Cacing sutra yang ditimbang dimasukkan ke dalam setiap perlakuan (media kultur). Bobot cacing sutra yang ditebar berkisar di antara 4-6 mg/ekor dan panjang individu berkisar antara 2-4 cm (Syafriadiman dan Maril 2013).

Sebelum dimasukkan ke dalam wadah, cacing ditimbang ditiriskan selama kira-kira 1 menit. Cacing ditimbang dengan cara memasukkan cacing ke dalam gelas plastik transparan kemudian diaklimatisasi selama 5 menit (Sinaga 2012). Aklimatisasi cacing dilakukan dengan cara menambahkan air dari wadah budidaya ke dalam gelas plastik yang berisi cacing sehingga air dari wadah dan di dalam gelas bercampur. Cacing sutra ditebar sebanyak 150 g/m2. Padat tebar cacing pada percobaan Marian dan Pandian (1984) berkisar 15 mg/cm2 (dengan bobot rata-rata = 1 mg).

Pemberian Pupuk

(17)

5 ml EM4 dimasukkan ke dalam 300 ml air, (b) Campuran tersebut dicampurkan pada 10 kg kotoran ayam dan diaduk secara merata, dan (c) Kotoran ayam yang telah diberi campuran aktivator tersebut dibungkus dalam plastik untuk proses fermentasi selama 5 hari. Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi senyawa sederhana yang melibatkan mikroorganisme atau segala macam metabolisme (enzim, jasad renik secara oksidasi, reduksi, hidrolisa atau reaksi kimia lainnya) melakukan perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk akhir. Sebelum di pupuk, aliran air pada wadah dimatikan. Kemudian pupuk yang sudah bercampur air dituang merata pada wadah dan wadah didiamkan sampai pupuk mengendap. Setelah itu aliran air dinyalakan kembali.

Pengelolaan Air

Penelitian ini menggunakan sistem pengairan tertutup yang artinya penggunaan air kembali atau resirkulasi, di mana setiap tingkat dibuat pengairan masuk dan keluar yang berujung di wadah pemeliharaan dan air di wadah pemeliharaan kembali digunakan. Tujuan dari sistem ini adalah untuk mengurangi penggunaan sumberdaya air dan lahan yang terbatas. Debit aliran yang digunakan sebesar 1.500 ml/menit (Puspitasari 2012; Sinaga 2012). Debit air yang masuk ke dalam wadah diatur dengan menggunakan klep pada selang pemasukan.

Sampling

Sampling dilakukan setiap 10 hari sekali dilakukan pada 3 tempat dalam setiap wadah yaitu inlet, tengah dan outlet. Sampling dilakukan dengan memasukkan pipa berdiameter 1,7 cm (luas permukaan lubang yaitu 2,27 cm2) ke dalam substrat, lalu pipa diangkat dengan menutup lubang bagian atas. Substrat yang diperoleh terlebih dahulu disaring sambil dibilas dengan air dan cacing dipisahkan dari substrat. Sisa substrat pada saringan kemudian dimasukkan ke dalam gelas plastik yang berisi air kemudian diguncang bagian atasnya sehingga sisa cacing dapat dipisahkan dari substrat. Cara ini dilakukan berulang-ulang sehingga cacing yang diperoleh bersih dan kemudian ditimbang (Sinaga 2012). Pemanenan

Pemanenan dilakukan setelah cacing sutra berada pada puncak populasi. Puncak populasi ditentukan dengan melihat kepadatan cacing pada malam hari, dimana seluruh permukaan sudah dipenuhi oleh cacing sutra. Pemanenan dilakukan dengan mengambil seluruh lapisan bahan organik yang didiami cacing sutra, kemudian dipindahkan ke dalam wadah berupa ember plastik dan didiamkan selama 6 jam. Setelah 6 jam maka cacing sutra dengan sendirinya akan memisahkan diri dari media yang ikut terbawa pada saat pemanenan Puspitasari (2012) dan Sinaga (2012).

Budidaya ikan lele

(18)

6

dibersihkan dan dilakukan proses sterilisasi dengan menggunakan kaporit dosis 100 mg/l dan dibiarkan selama 3 hari sebelum digunakan (Gunadi 2012).

Padat tebar 100 ekor/m2 dengan rata-rata biomassa ± 5 g/ekor. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali sehari (pagi, siang dan malam) . Pemberian pakan diberikan berdasarkan pada biomassa dan persentase pakan berdasarkan bobot dari ikan. Pakan yang digunakan adalah pakan komersial dengan kandungan protein sebesar 26-28%.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental laboratorium. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan masing-masing terdiri dari 2 ulangan. Perlakuan yang diterapkan pada penelitian ini adalah:

1. P0 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dengan pemberian pada awal pemeliharaan

2. P1 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pengulangan pemberiannya setiap 5 hari sekali

3. P2 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah dari budidaya lele intensif

4. P3 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pengulangan pemberiannya 5 hari sekali dan pemberian limbah dari budidaya lele intensif.

Parameter utama meliputi kelimpahan dan biomassa cacing sutra. Sedangkan parameter penunjang beberapa parameter kualitas air dan sedimen.

Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: Parameter Kualitas Air

Parameter yang diukur antara lain: parameter fisika yang diukur adalah suhu, diukur dengan thermometer air raksa yang dilakukan setiap hari pada pagi hari. Parameter kimia yang diukur adalah oksigen terlarut (DO), diukur menggunakan DO-meter dan pH, diukur menggunakan pH-meter diukur setiap 10 hari sekali (Puspitasari 2012). Kadar ammonia, TAN (Total ammonia nitrogen), TOM (Total Organik Meter), nitrit, nitrat diukur dengan spektrofotometer, TSS (Total Suspended Solid) dan VSS (Volatile Suspended Solid). Sampel air diambil setiap 10 hari sekali (Puspitasari 2012). Pengukuran diukur dengan prosedur sesuai APHA (2005). Pengambilan sampel air dilakukan pada bagian inlet dan outlet.

Sedimen

(19)

7 Kelimpahan Individu

Kelimpahan individu dihitung secara langsung dengan mengambil sampling secara acak pada masing-masing perlakuan dan ulangan seperti yang dijelaskan pada prosedur kerja. Jumlah individu cacing sutra yang diperoleh kemudian di konversi ke luasan m2.

Biomassa

Biomassa cacing hasil sampling ditentukan dengan menghitung secara langsung sampel yang diperoleh, kemudian dihitung berat rata-ratanya. Nilai berat rata-rata ini dikalikan dengan jumlah individu cacing sutra sehingga diperoleh nilai bobot biomassa. Sampel cacing ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g.

Analisis Data

Penambahan jumlah individu dan berat biomassa yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan SPSS 18.0 yang meliputi analysis of variance (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95%. Perbedaan perlakuan dapat dilihat menggunakan uji BNT. Sedangkan sedimen dan kualitas air dianalisa secara deskriptif.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lingkungan Budidaya

Kondisi lingkungan budidaya merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra. Parameter lingkungan budidaya cacing sutra yang diukur selama penelitian adalah kualitas air dan sedimen budidaya. Pengukuran dilakukan setiap 10 hari pengamatan.

Tabel 1 Kisaran nilai kualitas air di dalam wadah budidaya

Parameter Perlakuan

P0 P1 P2 P3

DO (mg/l) 4,77-6,82 4,60-6,74 5,93-7,20 5,90-6,83 Suhu (0C) 27,20-28,04 27,20-28,20 27,15-28,39 27,05-28,40

pH 7,63-8,24 7,72-8,37 7,00-7,76 7,17-7,99

(20)

8

Kisaran oksigen terlarut yang diperoleh berada dalam kisaran normal yaitu 4,60-7,20 mg/l. Nilai kandungan oksigen terlarut secara keseluruhan tertinggi terdapat pada awal penelitian pada perlakuan P2 sebesar 7,20 mg/l dan nilai kandungan oksigen terlarut terendah terdapat pada perlakuan P1 sebesar 4,60 mg/l. Penurunan oksigen disebabkan oleh respirasi cacing sutra akibat peningkatan kelimpahan cacing sutra. Rendahnya kandungan oksigen terlarut mempengaruhi aktivitas makan dan reproduksi cacing sutra, yang diikuti dengan tingginya kandungan amonia (Sinaga 2012). Keadaan oksigen yang rendah atau kurang dari 2 ppm akan menghambat aktivitas makan dan reproduksi (Marian dan Pandian 1984). Menurut Syafriadiman dan Masril (2013) cacing sutra berkembang biak pada media yang mempunyai kandungan oksigen terlarut berkisar antara 2,75-5 mg/l.

Kondisi suhu selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi pada kisaran 27,05-28,40 0C. Perubahan suhu selama penelitian terjadi karena pengaruh cuaca. Pada saat cuaca hujan maka suhu udara dalam ruang menjadi lebih rendah, sehingga menyebabkan suhu air mengalami penurunan, demikian juga sebaliknya. Peningkatan suhu dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Kapasitas reproduksi cacing sutra sangat besar dipengaruhi oleh suhu (Kaster 1980). Menurut Syafriadiman dan Masril (2013) suhu optimal cacing sutra berkisar 25-28 0C. Kondisi suhu selama penelitian masih sesuai untuk pertumbuhan cacing sutra, karena berada pada rentang 27,05-28,40 0C.

Secara keseluruhan nilai pH selama penelitian tergolong baik untuk pertumbuhan cacing sutra. Kondisi pH selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi pada kisaran 7,0-8,37. Menurut Syafriadiman dan Masril (2013) cacing sutra dapat berkembang biak pada pH antara 6-8. Sedangkan pH optimal bagi kehidupan cacing sutra di alam antara 5,5-8,0. Pada pH netral bakteri dapat memecah bahan organik dengan normal menjadi lebih sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh cacing sutra sebagai makanannya.

Kondisi TAN selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi pada kisaran 0,448-3,188 mg/l. Nilai TAN tertinggi sebesar 3,188 mg/l pada perlakuan P0 dan nilai TAN terendah sebesar 0,448 mg/l pada perlakuan P1. Puspitasari (2012) mendapatkan nilai TAN yang lebih tinggi yaitu 0,38-3,8 mg/l yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan sistem resirkulasi satu rak. Nilai TAN yang diperoleh cukup tinggi namun cacing sutra masih dapat tumbuh. Menurut Angel dan Pilar (2004), dosis lethal TAN bagi cacing sutra adalah diatas 3,8 mg/l.

(21)

9 Van Wyk dan Scarpa (1999) untuk amannya konsentrasi nitrit harus dipertahankan pada level 1 mg/l.

Kondisi nitrat selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi pada kisaran 0,143-1,053 mg/l. Aquaculture SA (1999) merekomendasikan kisaran optimal nitrat untuk budidaya ikan air tawar sebesar 0,2-10 mg/l. Nilai nitrat yang diperoleh masih batas aman untuk cacing sutra bertahan hidup. Nitrat merupakan bentuk utama nitrogen diperairan.

Kondisi amonia selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi pada kisaran 0,015-0,161 mg/l. Pada penelitian dengan sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat diperoleh nilai amonia tertinggi terdapat perlakuan P0 sebesar 0,161 mg/l dan terendah pada perlakuan P2 sebesar 0,015 mg/l. Nilai amonia pada setiap perlakuan mengalami fluktuasi. Nilai amonia (Tabel 1) yang diperoleh pada penelitian ini cukup rendah hal ini juga diperoleh oleh Sinaga (2012) dengan menggunakan sistem resirkulasi dengan kisaran amonia 0,015-0,139 mg/l. Syafriadiman dan Masril (2013) mendapatkan kisaran amonia 0,003-0,208 mg/l dengan menggunakan limbah budidaya patin intensif menggunakan sistem pergantian air. Rendahnya nilai amonia pada perlakuan P2 dapat menstimulir pertumbuhan cacing sutra sehingga mempengaruhi kelimpahan. Menurut Syafriadiman dan Masril (2013) cacing sutra dapat berkembang biak pada media yang mempunyai kandungan amonia <1 mg/l.

Kondisi TSS selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi pada kisaran 56,78-1.049,57 mg/l. De Schyver et al. (2008) menganjurkan nilai TSS untuk akuakultur berkisar 200-1.000 mg/l. Kondisi VSS selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi pada kisaran 42,87-973,05 mg/l. Menurut Gunadi (2012) VSS (bakteri) dan fitoplankton merupakan sumber pakan bagi organisme lain, terutama golongan filter feeder. Pada budidaya sistem intensif yang tidak memanfaatkan organisme filter feeder biomassa mikroba (bakteri dan alga) akan terus meningkat (Gunadi 2012). Dari sini terlihat bahwa cacing sutra mampu memanfaatkan bahan organik yang berasal dari wadah budidaya ikan lele dengan baik. Rendahnya nilai TSS dan VSS pada perlakuan P2 dapat menstimulir pertumbuhan cacing sutra sehingga meningkatkan kelimpahan. Padatan tersuspensi yang berlebih memiliki dampak langsung yang berbahaya terhadap kehidupan.

Tabel 2. Nilai TOM (%) pada air budidaya cacing sutra

Perlakuan Pengamatan (hari ke)

(22)

10

pemanfaatan limbah lele. Pada Tabel 2 terlihat adanya selisih antara nilai TOM bagian inlet dan outlet. Selisih nilai TOM ini adalah bahan organik yang dimanfaatkan oleh cacing sutra dan sebagian lagi mengendap pada sedimen sehingga nilai TOM sedimen pada perlakuan selalu meningkat. Jika dipersentasekan nilai pemanfaatan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pemanfaatan TOM (%) oleh cacing sutra

Perlakuan Pemanfaatan TOM oleh cacing sutra

10 20 30 40

P0 23,33 45,78 9,90 20,48

P1 52,44 45,12 7,62 10,00

P2 10,00 57,00 57,00 20,00

P3 8,47 59,44 59,44 24,39

Hasil selisih dari TOM menunjukkan biologi dari cacing sutra mampu memanfaatkan bahan organik dalam air (Tabel 3). Ketersediaan pakan berupa bahan organik sangat mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra (Febrianti 2004; Findy 2011).

Tabel 4. Kandungan bahan organik total (%) pada sedimen budidaya cacing sutra

Parameter Perlakuan Pengamatan hari ke

(%) 0 10 20 30 40

TOM P0 14,92±0a 23,41±0a 24,38±2,28a 76,5±0,40a 77,61±0,92a P1 14,95±0ab 20,67±0a 21,43±2,28ab 65,88±2,76ab 78,56±5,72ab P2 14,95±0ab 21,31±0ab 23,79±0,11ab 72,26±1,56bc 71,65±0,93ab P3 15,37±0b 24,7±0b 29,48±3,28b 70,05±1,20c 82,82±1,70b C- P0 1,81±0c 2,03±0a 3,50±0a 3,54±0,12a 4,41±0,16b organik P1 1,81±0b 1,98±0b 2,97±0,30ab 3,11±0,30ab 4,42±0,40b P2 1,83±0b 2,72±0c 2,79±0,02ab 3,85±1,66ab 2,85±0,25a P3 1,08±0a 2,74±0d 4,54±0,47b 4,76±0,54b 4,52±0,33c Total N P0 0,183±0ab 0,303±0b 0,286±0,03b 0,343±0c 0,400±0,02b

P1 0,183±0ab 0,339±0ab 0,337±0,04ab 0,369±0,04bc 0,402±0,04ab P2 0,262±0b 0,290±0ab 0,235±0,01ab 0,226±0,02ab 0,217±0,02ab

P3 0,177±0a

0,295±0a 0,277±0,03a 0,273±0,06a 0,269±0,09a

a

(23)

11 Parameter kandungan bahan organik pada sedimen budidaya dengan sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat terlihat pada Tabel 4. Secara keseluruhan nilai yang diperoleh masih tergolong baik untuk pertumbuhan cacing sutra. Nilai hasil analisis kandungan bahan organik total (%) tertinggi terdapat pada perlakuan P3 sebesar 82,82% pada hari ke-40 sedangkan kandungan bahan organik terendah terdapat pada perlakuan P0 sebesar 14,92% pada awal penelitian. Hal ini juga diperoleh oleh penelitian Sinaga (2012) yang menggunakan media kotoran ayam fermentasi dengan menggunakan sistem 1 rak yang mendapatkan nilai kandungan bahan organik sebesar 90,95% pada hari ke 40 dan kandungan bahan organik terendah sebesar 63,56% pada hari ke-0. Menurut Sinaga (2012) tingginya kandungan bahan organik akan berpengaruh terhadap aktivitas bakteri yang menguraikan bahan organik.

Kisaran kandungan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 3 di mana kisaran dengan rentang terkecil terdapat pada P2 dengan kisaran 14,92-71,65% sehingga menyebabkan tingginya kelimpahan dan biomassa cacing sutra bila dibandingkan perlakuan lainnya yang rentang kisarannya lebih besar. Kandungan bahan organik pada sedimen mengalami peningkatan hingga akhir penelitian karena adanya pengendapan bahan organik dan berkurangnya pemanfaatan akan bahan organik oleh cacing sutra.

C-Organik tertinggi terdapat pada perlakuan P3 sebesar 4,76% pada hari ke- 30 sedangkan kandungan bahan organik terendah juga terdapat pada perlakuan P3 sebesar 1,08% pada awal penelitian. Kisaran kandungan C-organik dapat dilihat pada Tabel 4 di mana kisaran dengan rentang terkecil terdapat pada P2 dengan kisaran 1,83-3,85% menyebabkan tingginya kelimpahan dan biomassa cacing sutra bila dibandingkan perlakuan lainnya yang rentang kisarannya lebih besar. Kandungan C-organik yang meningkat mengakibatkan cacing sutra tidak kekurangan makanan sehingga memberikan peningkatan pada kelimpahan dan biomassa cacing sutra. C-organik adalah penyusun utama karbohidrat dan lemak. Di dalam tubuh hewan, karbohidrat dan lemak dioksidasi dan menghasilkan energi untuk proses metabolisme (Febrianti 2004).

(24)

12

Kelimpahan Cacing Sutra

Gambar 1 Kelimpahan cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian Hasil pengamatan kelimpahan cacing sutra selama penelitian terdapat pada Gambar 1 yang menunjukkan adanya peningkatan kelimpahan cacing dari awal penelitian hingga akhir penelitian. Proses terjadinya peningkatan kelimpahan disebabkan oleh ketersediaan makanan yang cukup, sehingga dapat menurunkan tingkat persaingan antara cacing dewasa dan cacing muda untuk memperoleh makanan. Ketersediaan pakan mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra (Febrianti 2004, Findy 2011) dan merupakan faktor penting untuk kemampuan reproduksinya (Kaster 1980).

Peningkatan kelimpahan cacing sutra terjadi pada hari ke-30 dimana proses perkembangbiakan cacing berlangsung hari ke-20 sampai ke-30 dan berkembang pada hari ke-60. Lobo et al. (2009) menyatakan cacing-cacing muda membutuhkan waktu sekitar 21 hari untuk perkembangan embrionya sehingga pada hari ke-30 dan ke-60 ini cacing-cacing muda tersebut menjadi dewasa dan memproduksi kokon yang pada akhirnya menetas menghasilkan cacing muda.

Pada penelitian ini, puncak kelimpahan dicapai pada hari ke-60 dengan nilai kelimpahan tertinggi pada perlakuan P2 mencapai 1.697 individu/m2 diikuti perlakuan P3 mencapai 1.490 individu/m2, perlakuan P0 mencapai 1.165 individu/m2 dan nilai kelimpahan terendah pada perlakuan P1 mencapai 738 individu/m2 (Lampiran 2). Puncak kelimpahan (individu/m2) dicapai pada hari ke-60 sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Djokosetiyanto et al. (1992) yang menggunakan kotoran ayam tanpa fermentasi dengan kelimpahan sebesar 133,510 individu/m2.

Puncak kelimpahan yang diperoleh pada penggunaan wadah bertingkat dengan sistem resirkulasi ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan sistem resirkulasi 1 rak, kelimpahan tertinggi terjadi pada hari ke-10 sebesar 421,145 individu/m2 (Puspitasari 2012) dan 110,32 individu/m2 (Sinaga 2012). Hildayanti (2012) menggunakan kotoran ayam fermentasi namun menggunakan sistem sirkulasi dengan pergantian air pada wadah 1 rak, kelimpahan tertinggi pada hari ke-50 sebesar 255,091 individu/m2. Penelitian Febriyani (2012) yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan penggantian air baru setiap saat

(25)

13 pada wadah 1 rak, kelimpahan tertinggi pada hari ke-40 sebesar 447,904 individu/m2. Syafriadiman dan Masril (2013) menggunakan kotoran ayam fermentasi dan limbah budidaya patin intensif dengan penggantian air baru pada wadah 1 rak, kelimpahan tertinggi pada hari ke-45.

Puncak kelimpahan cacing sutra pada hari ke-60 dapat dilihat pada Tabel 5. Penurunan kelimpahan terjadi setelah puncak kelimpahan yaitu pada hari ke-70 dikarenakan cacing sutra dewasa yang telah bereproduksi sudah mencapai umur tua secara biologis sehingga menyebabkan kematian cacing sutra. Menurut Hildayanti (2012) Penurunan kelimpahan dikarenakan induk yang sudah dewasa tidak lagi menghasilkan individu baru, cacing yang masih muda belum mampu bereproduksi dan adanya kematian cacing yang sudah mencapai usia tua. Hal ini dibuktikan dengan pengamatan secara visual, dimana pada saat sampling hari ke-70 tidak banyak ditemukan cacing dewasa.

Tabel 5. Kelimpahan dan biomassa cacing sutra pada saat puncak populasi (hari

Gambar 2 Biomassa cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian Hasil pengukuran biomassa cacing sutra dapat dilihat pada Gambar 2 yang menunjukkan puncak biomassa dicapai pada hari ke-60 dengan nilai biomassa tertinggi yang diperoleh pada penelitian ini terdapat pada perlakuan P2 mencapai 6,47 kg/m2 diikuti P3 mencapai 4,42 kg/m2, P0 mencapai 3,59 kg/m2 dan nilai biomassa terendah pada perlakuan P1 mencapai 2,15 kg/m2 (Lampiran 3). Puncak biomassa (kg/m2) dicapai pada hari ke-60 sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Djokosetiyanto et al. (1992) yang menggunakan kotoran ayam tanpa fermentasi dengan biomassa sebesar 365 g/m2.

(26)

-14

Puncak biomassa yang diperoleh pada penggunaan wadah bertingkat dengan sistem resirkulasi ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan sistem resirkulasi 1 rak, biomassa tertinggi terjadi pada hari ke-10 sebesar 1.497,80 g/m2 (Puspitasari 2012) dan 528,63 g/m2 (Sinaga 2012). Hildayanti (2012) menggunakan kotoran ayam fermentasi namun menggunakan sistem sirkulasi dengan pergantian air pada wadah 1 rak, biomassa tertinggi pada hari ke-50 sebesar 1.275,46 g/m2. Penelitian Febriyani (2012) yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan penggantian air baru setiap saat pada wadah 1 rak, biomassa tertinggi pada hari ke-40 sebesar 2.239,52 g/m2. Syafriadiman dan Masril (2013) menggunakan kotoran ayam fermentasi dan limbah budidaya patin intensif dengan penggantian air baru pada wadah 1 rak, biomassa tertinggi pada hari ke-45 sebesar 886,67 g/m2.

Puncak biomassa cacing sutra pada pada hari ke-60 dapat dilihat pada Tabel 5 diatas. Penurunan biomassa berkaitan dengan penurunan kelimpahan. Penurunan terjadi setelah tercapainya puncak biomassa tertinggi, hal ini dikarenakan jumlah individu dewasa mulai berkurang sedangkan individu muda masih kecil dan belum mampu bereproduksi sehingga memiliki biomassa yang berbeda pada sebagian perlakuan. Menurut Kasiorek (1974) pertumbuhan cacing sutra meningkat pesat pada saat akan mencapai kematangan gonad.

Hasil kelimpahan dan biomassa pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik itu dengan menggunakan sistem yang sama (resirkulasi) maupun sistem yang berbeda (tanpa resirkulasi), dengan menggunakan kotoran ayam fermentasi maupun yang tidak difermentasi dan menggunakan limbah budidaya intensif. Perbedaan jumlah kelimpahan dan biomassa dipengaruhi faktor kualitas air dan sedimen yang berpengaruh terhadap pertumbuhan cacing sutra.

Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan pola pertumbuhan biomassa berkorelasi positif dengan kelimpahannya. Perlakuan yang terbaik yang diperoleh dari penelitian ini adalah perlakuan P2 yang merupakan perlakuan dengan kelimpahan dan biomassa tertinggi (Gambar 3). Hal ini disebabkan bahan organik sedimen budidaya (%) yang cukup dan kualitas air serta media yang sudah baik untuk pertumbuhan cacing sutra.

(a) (b)

Keterangan : Huruf yang berbeda pada bar menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

(27)

15 Berdasarkan hasil uji BNT (Tabel 6) pertumbuhan biomassa cacing sutra yang paling baik pada sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat adalah perlakuan P2. Biomassa cacing sutra sangat dipengaruhi oleh faktor kualitas air, kandungan bahan organik dan nilai TOM air. TOM air yang tinggi menyebabkan biomassa cacing sutra yang tinggi pada perlakuan P2.

Tabel 6. Data parameter produksi cacing sutra.

Perlakuan Kelimpahan

(individu/m2)

Biomassa (kg/m2)

P0 897230,5 ab 2985,4 ab

P1 471087,9 a 1550,1 a

P2 1428739,6 c 5871,0 c

P3 1223160,9 bc 3817,1 b

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf superskrip yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 95% (uji beda nyata terkecil).

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perlakuan terbaik pada sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat diperoleh pada perlakuan pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah dari budidaya lele intensif yang menghasilkan produksi biomassa sebesar 6,47 kg/m2 dan puncak kelimpahan sebesar 1.697 individu/m2.

Saran

Budidaya cacing sutra dengan sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat perlu diaplikasikan untuk petani budidaya karena dengan sistem ini menghasilkan produksi 2,9 kali lebih besar dari sistem resirkulasi 1 rak.

DAFTAR PUSTAKA

Angel J, Pilar R. 2004. Tubifex tubifex chronic toxicity test using artificial sediment: methodological issues. Limtenica 23: 25-36.

[APHA] American Public Health Association. 2005. Standard methods for the examination of water and waste water, 21st edition. Washington, DC: American Public Health Association.

Aquaculture SA. 1999. Water quality in freshwater aquaculture ponds. Primary industries and recources South Australia. Fact sheet.

(28)

16

De Schryver P, Crab R, Defoirdt T, Boon N, Verstraete W. 2008. The basics of bioflocs technology: The added value for aquaculture. Aquaculture 277: 125-137.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2010. Minapolitan Bojolali komitmen kenaikan produksi perikanan 353% pada tahun 2014. www.perikananbudidaya.kkp.go.id/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=218.[5 November 2013].

Djokosetiyanto D, Yusadi D, Supriyono E. 1991. Pengaruh wadah dan kualitas media terhadap biomass Tubifex sp. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal.

Djokosetiyanto D, Yusadi D, Supriyono E, Suprayudi A. 1992. Pengaruh tinggi air dan tinggi substrat terhadap biomassa Tubifex sp. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal.

Efendi M. 2013. Melirik Budidaya Tubifex sp. di Temanggung. Akuakultur Edisi No.3 Th I.

Febrianti D. 2004. Pengaruh pemupukan harian dengan kotoran ayam terhadap pertumbuhan kepadatan (individu/m2) dan biomassa cacing sutra [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Febriyani M. 2012. Budidaya cacing olighochaeta dengan padat tebar berbeda pada sistem terbuka [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Findy S. 2011. Pengaruh tingkat pemberian kotoran sapi terhadap pertumbuhan biomassa cacing sutra (Tubificidae) [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Gunadi B. 2012. Minimalisasi limbah nitrogen dalam budidaya ikan lele (Clarias gariepinus) dengan sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan. [Disertasi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hadiah S. 2003. Kualitas kompos dari kotoran domba dan sisa pakan dengan

menggunakan tiga macam aktivator [skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Hikmayani Y, Yulisti M, Hikmah. 2012. Evaluasi Kebijakan Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Hildayanti W. 2012. Budidaya cacing Oligochaeta dengan padat penebaran berbeda pada sistem resirkulasi dengan pergantian air [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Kasiorek D. 1974. Development cycle of Tubifex tubifex muller in experimental culture. Pol. Arch. Hydrobiol 21: 411-422.

Kaster JL. 1980. The reproductive biology of Tubifex tubifex muller (Oligochaeta, Tubificidae) under various trophic conditions. Int. Revueges. Hydrobiol 72:709-726.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan . 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011. Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Lobo H, Nascimento S, Alves RG. 2009. The effect of temperature on the reproduction of Limnodrilus hoffmeisteri (Oligochaeta: Tubificidae). Zoologia 26(1): 191-193.

(29)

17 Marian MP, Pandian TJ. 1984. Culture and harvesting technique for Tubifex

Tubifex. Aquaculture 42:303-315.

Nurjariah. 2005. Kelimpahan bakteri dalam budidaya cacing sutra Limnodrilus sp. yang dipupuk kotoran ayam hasil fermentasi [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Pasteris A, Bonomi G, Bonacina C. 1996. Age, stage and size structure as population state variables for Tubifex tubifex. Hydrobiol. 334:1-3.

Puspitasari A. 2012. Peningkatan rasio C/N dengan penambahan tepung tapioka pada substrat budidaya cacing sutra (olgochaeta) sistem resirkulasi [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Shafrudin D, Efiyanti W, Widanarni. 2005. Pemanfaatan ulang limbah organik dari substrak Tubifex sp di alam. JurnalAkuakultur Indones 4(2): 97-102. Sinaga BS. 2012. Pertumbuhan cacing sutra pada media kotoran ayam yang

difermentasikan bahan aktivator dengan dosis yang berbeda dalam sistem resirkulasi [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Syafriadiman. 1996. Pengkulturan Cacing Sutra. Jabatan Sains Laut, Fakulti Sains Sumber Alam. Universiti Kebangsaan Malaysia. Laporan Penyelidikan (Tidak diterbitkan). 39 halaman.

Syafriadiman, Masril. 2013. Biomassa Tubifex dalam media kultur yang berbeda. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak diterbitkan). 52 halaman.

Tahapari E, Sularto, Nurlaela I. 2010. Intensifikasi pemupukan pada pemeliharaan larva/benih ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) yang dilakukan secara outdoor di kolam tanah. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar. Subang.

Van Wyk P, Scarpa J. 1999. Water quality requirements and management in farming marine shrimp in recirculating freshwater systems. Florida Department of Agriculture and Consumers Services. Harbor Branch Oceanographic Institution.

(30)

18

Lampiran 1 Wadah budidaya cacing sutra dengan sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat

Wadah bertingkat untuk P0 dan P1

Wadah bertingkat untuk P2 dan P3 Keterangan:

A : Pemasukan air pada wadah budidaya cacing sutra di tingkat 1 B : Pengeluaran air ke tingkat 2

C : Pemasukan air ke tingkat 2 D : Pengeluaran air ke tingkat 3 E : Pemasukan air ke tingkat 3

F : Pengeluaran air di tingkat 3 kemudian air dipompa kembali ke tingkat 1 (untuk P0 dan P1)

Pengeluaran air ke limbah lele kemudian air dipompa kembali ke tingkat 1 (untuk P2 dan P3)

Wadah yang digunakan ukuran 100 cm x 50 cm x 15 cm Luas wadah 0,5 m2 A

B

C D

E

F

G H G

B A

A B

C D

C

D

E

F E

(31)

19

Kotoran Ayam Limbah Lele

Cacing Sutra Fermentasi kotoran ayam

Cacing sutra pada wadah budidaya Sampling cacing sutra

(32)

20

Lampiran 2 Kelimpahan cacing sutra (individu/m2) selama penelitian

Pengamatan Perlakuan

hari ke- P0 P1 P2 P3

0 268±1,57 267±0,31 268±1,57 267±0,31

10 87±9,51 79±2,48 189±3,31 149±7,86

20 57±3,52 61±4,69 189±3,31 149±7,86

30 155±1,76 201±7,04 434±2,35 389±1,17

40 628±146,58 604±44,56 771±2,35 389±1,17

50 792±146,58 768±44,56 1270±91,47 980±39,87

60 1165±146,58 738±44,56 1697±72,70 1490±17,59

70 1150±146,58 693±44,56 1622±72,70 1415±17,59

ANOVA hari ke-60

SK JK DB KT F hit F tab

PERLAKUAN 1047651654915,0 3 349217218305,0 47,695 6,59

SISA 29287293284,8 4 7321823321,2

TOTAL 1076938948199,9 7

(33)

21 Lampiran 3 Biomassa cacing sutra (kg/m2) selama penelitian

Pengamatan Perlakuan

hari ke- P0 P1 P2 P3

0 0,6±0,00 0,6±0,00 0,6±0,00 0,6±0,00

10 0,27±0,03 0,23±0,01 0,57±0,02 0,40±0,00

20 0,17±0,01 0,18±0,01 0,36±0,02 0,36±0,03

30 0,44±0,00 0,57±0,03 1,35±0,02 1,10±0,02

40 1,89±0,47 1,76±0,16 2,25±0,03 1,92±0,14

50 2,47±0,49 2,31±0,17 3,97±0,23 3,05±0,09

60 3,59±0,40 2,15±0,16 6,47±0,04 4,42±0,12

70 2,90±0,42 1,74±0,14 4,61±0,21 3,76±0,11

ANOVA hari ke-60

SK JK DB KT F hit F tab

PERLAKUAN 19553138,124 3 6517712,708 131,059 6,59

SISA 198925,219 4 49731,305

TOTAL 19752063,343 7

(34)

22

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 27 Juli 1985 sebagai anak kedua dari pasangan Prof Dr Ir Syafriadiman dan Yumna, SPd. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2012, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur di Sekolah Pascasarjana IPB. Biaya pendidikan diperoleh dari orang tua penulis.

Gambar

Tabel 1  Kisaran nilai kualitas air di dalam wadah  budidaya
Tabel 2. Nilai TOM (%) pada air budidaya cacing sutra
Tabel 4. Kandungan bahan organik total (%) pada sedimen budidaya cacing sutra
Gambar 1 Kelimpahan cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Detail fasad bangunan menerapkan tema yang diangkat yatu arsitektur kontemporer yang dimana estetika menjadi fungsi dan identik dengan pembaruan pada metode lama.

Kecepatan rencana (VR) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak

Data hasil analisis kebutuhan yakni kebutuhan pembelajaran permainan bola voli mini di SDN 142594 Sipolu-polu sebagai buku pegangan diperoleh skor 3 (75%), kebutuhan buku

Peran Ibu Rumah Tangga dalam keluarga adalah mendidik, memelihara, mengasuh, mengayomi. Ibu bukan saja menjadi tempat bernaung yang harus dihormati dan menjadi

Nilai signifikansi yang berada diatas 0,05 menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari variabel FREK terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan

Pembuatan media NA dilakukan dengan melarutkan sebanyak 20 gram NA dalam 1 liter aquades , kemudian diaduk hingga seluruh media larut menggunakan stirrer sambil

Pada metode individual bearing tanah lempung dan tanah pasir kenaikan kapasitas yang paling besar terjadi pada saat jumlah helix pada tiang helical ditambah yang semula

Melalui studi in silico dengan metode molecular docking dapat dilihat beberapa bahan aktif ekstrak etanol daun Annona muricata memiliki tingkat afinitas lebih