• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberlakuan Kebijakan Bea Keluar Terhadap Produksi Biji Kakao Dan Ekspor Produk Kakao Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberlakuan Kebijakan Bea Keluar Terhadap Produksi Biji Kakao Dan Ekspor Produk Kakao Indonesia"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERLAKUAN KEBIJAKAN BEA KELUAR

TERHADAP PRODUKSI BIJI KAKAO DAN EKSPOR

PRODUK KAKAO INDONESIA

RIDWAN UMAR HANAFI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Pemberlakuan Kebijakan Bea Keluar terhadap Produksi Biji Kakao dan Ekspor Produk Kakao Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

RIDWAN UMAR HANAFI. Pengaruh Pemberlakuan Kebijakan Bea Keluar terhadap Produksi Biji Kakao dan Ekspor Produk Kakao Indonesia. Dibimbing oleh HARIANTO dan NETTI TINAPRILLA.

Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan ekspor Indonesia dari sisi subsektor perkebunan. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara eksportir utama biji kakao dunia. Pasca diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan RI No.67/PMK.011.2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar (BK), salah satunya terhadap biji kakao, terjadi perubahan komposisi ekspor produk kakao Indonesia, dari sebelumnya didominasi oleh biji kakao perlahan mulai didominasi oleh produk olahan kakao. Penerapan Bea Keluar (BK) atau biasa juga disebut pajak ekspor bertujuan untuk mejamin ketersedian bahan baku nasional serta peningkatan nilai tambah dan daya saing industri pengolahan kakao dalam negeri. Di sisi lain juga diduga bahwa pemberlakuan kebijakan bea keluar akan memengaruhi jumlah biji kakao yang diproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penerapan bea keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao nasional dan juga pengaruhnya terhadap ekspor produk kakao Indonesia.

Penelitian ini menggunakan data sekunder, data time series dari tahun 1990-2014 yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjebun), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), World Bank, United Nations Commodity Trade (UN Comtrade), Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Selain itu data penelitian juga dilengkapi dengan literatur yang berkaitan dengan topik penelitian. Model ekonometrika yang digunakan dalam penelitian merupakan sistem persamaan simultan yang terdiri dari 11 persamaan (9 persamaan struktural dan 2 persamaan identitas) dan diestimasi menggunakan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Program yang digunakan adalah Eviews 9.4 for Windows dan Microsoft Excel 2016 untuk mengolah data dengan model persamaan simultan.

Faktor-faktor yang memengaruhi produksi biji kakao Indonesia berbeda-beda menurut status pengusahaannya. Produksi biji kakao dari Perkebunan Rakyat secara signifikan dipengaruhi oleh harga riil biji kakao domestik, luas lahan Perkebunan Rakyat, upah riil tenaga kerja sektor perkebunan, produksi biji kakao Perkebunan Rakyat tahun lalu dan bea keluar riil. Produksi biji kakao dari Perkebunan Besar Negara secara signifikan dipengaruhi oleh harga riil biji kakao domestik dan luas lahan Perkebunan Besar Negara. Produksi biji kakao dari Perkebunan Besar Swasta secara signifikan dipengaruhi oleh luas lahan Perkebunan Besar Swasta, upah riil tenaga kerja sektor perkebunan dan produksi biji kakao Perkebunan Besar Swasta tahun lalu. Variabel bea keluar riil berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap produksi biji kakao Perkebunan Besar Swasta. Variabel bea keluar riil berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap produksi biji kakao yang dihasilkan dari Perkebunan Besar Negara.

(6)

Faktor-faktor yang memengaruhi harga riil biji kakao domestik secara signifikan adalah harga riil biji kakao internasional dan penjualan biji kakao domestik.

Faktor-faktor yang memengaruhi ekspor produk kakao Indonesia berbeda-beda menurut kategori produk kakao yang diekspor. Ekspor biji kakao Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh ekspor biji kakao Indonesia tahun lalu dan bea keluar riil. Variabel bea keluar berpengaruh secara negatif terhadap ekspor biji kakao Indonesia. Ekspor pasta kakao Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan GDP dunia, ekspor pasta kakao Indonesia tahun lalu dan bea keluar riil. Ekspor lemak kakao Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan GDP dunia, ekspor lemak kakao Indonesia tahun lalu dan bea keluar riil. Ekspor bubuk kakao Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh harga riil biji kakao domestik, pertumbuhan GDP dunia, ekspor bubuk kakao Indonesia tahun lalu dan penjualan biji kakao domestik. Variabel bea keluar berpengaruh secara positif terhadap ekspor produk olahan kakao, pada bubuk kakao, bea keluar berpengaruh positif meski tidak signifikan dalam memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia. Penghapusan bea keluar atau pajak ekspor biji kakao akan meningkatkan total produksi biji kakao Indonesia dan ekspor biji kakao Indonesia, sedangkan di sisi lain akan menurunkan penjualan biji kakao domestik dan ekspor produk olahan kakao Indonesia. Pemberlakuan bea keluar memiliki hubungan positif dengan peningkatan penjualan biji kakao domestik dan ekspor produk olahan kakao Indonesia serta memiliki hubungan negatif dengan total produksi biji kakao Indonesia dan ekspor biji kakao Indonesia.

(7)

SUMMARY

RIDWAN UMAR HANAFI. The Impact of Imposing Export Tax Policy on Cocoa Beans Production and Indonesian Cocoa Products Export . Supervised by HARIANTO and NETTI TINAPRILLA.

Cocoa is one of the leading commodity exports of Indonesia from the plantation subsector. Indonesia itself is one of the world's main exporters of cocoa beans. Post-enactment of the Finance Minister Regulation No.67 / PMK.011.2010 on Stipulation of Export Goods subjected Duty and Tariff (BK), one of the cocoa beans, a change happened in the composition of exports of cocoa products Indonesia, from the previously dominated by cocoa beans slowly came to be dominated by processed cocoa products. Application of Levy (BK) or also called the export tax aims to assure the availability of raw materials as well as to increase the added value and competitiveness of the domestic cocoa processing industry. On the other side it is also alleged that the imposition of tax policy will affect the amount of cocoa beans production. This research aimed to analyze the impact of applying export tax on cocoa bean to the national production of cocoa beans and also Indonesia cocoa products export.

This research used secondary data, time series data from 1990-2014 were sourced from the Directorate General of Plantation (Ditjebun), the Statistics Central Agency (BPS), the Commodity FuturesTrading Regulatory Agency (Bappebti), the World Bank, the United Nations Commodity Trade (UN Comtrade ), the Ministry of Commerce (Kemendag) and the Ministry of Finance (Kemenkeu). Others research data was also equipped with the literature that related with the research.

Econometric model used in the study was a system of simultaneous equations, consisting of 11 equations (9 structural equations and 2 identity equations) and estimated by Two Stage Least Squares (2SLS) method. This research used Eviews 9.4 for Windows and Microsoft Excel 2016 for data processing with simultaneous equation model.

Factors that affected the production of Indonesian cocoa beans vary depending on the status of the forestry sector. Cocoa beans production from smallholder plantation were significantly affected by real price of domestic cocoa beans, land area of plantation, real wages of labor plantation sector, lag production of cocoa beans from smallholder plantation and the real export tax. Cocoa beans production from country large plantation were significantly affected by real price of domestic cocoa beans and land area of country large plantation. Cocoa beans production from private large plantation were significantly affected by land area of private large plantation, real wages of labor plantation sector and lag production of cocoa beans from private large plantation. The real export tax had negative effect but not significantly affected the cocoa beans production from private large plantation. The export tax had positive effect but not significantly affected the cocoa beans production from country large plantation.

(8)

Factors that affected the Indonesian cocoa products export vary depending on the kind of cocoa products export. Indonesian cocoa beans export were significantly affected by lag of Indonesian cocoa beans export and real export tax. The real export tax had negative effect on Indonesian cocoa beans export. Indonesian cocoa paste export were significantly affected by world GDP growth, lag of Indoneian cocoa paste exports and the export tax. Indonesian cocoa butter export were significantly affected by world GDP growth, lag of Indonesian cocoa butter export and real export tax. Indonesian cocoa powder exports were significantly affected by real price of domestic cocoa beans, world GDP growth, lag of Indonesian cocoa powder export and domestic cocoa beans sales. The export tax had positive effect on exports of processed cocoa products, instead on cocoa powder, export tax had positive effetct but not significantly affected Indonesian cocoa powder export.

Erasing the export tax on cocoa beans will increase Indonesian cocoa beans production and Indonesian cocoa beans export, while on the other hand it will lower domestic cocoa beans sales and Indonesian processed cocoa products export. Enforcement export tax has positive effect with increasing domestic cocoa beans sales and Indonesian processed cocoa products export, while on the other hand it has negative effect with Indonesian cocoa beans production and Indonesian cocoa beans export.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

RIDWAN UMAR HANAFI

PENGARUH PEMBERLAKUAN KEBIJAKAN BEA KELUAR

TERHADAP PRODUKSI BIJI KAKAO DAN EKSPOR

PRODUK KAKAO INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Suharno, M.ADev

(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2016 ini ialah bea keluar, dengan judul Pengaruh Pemberlakuan Kebijakan Bea Keluar terhadap Produksi Biji Kakao dan Ekspor Produk Kakao Indonesia. Penulisan tugas akhir ini ditujukan untuk memenuhi syarat dalam perolehan gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis di Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku anggota komisi pembimbing yang di segala kesibukannya senantiasa membantu dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Suharno, M. ADev atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi serta kepada ketua dan sekretaris Program Studi Magister Sains Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan Dr Ir Suharno, M.ADev. Demikian juga ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis.

Ungkapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Bapak Sigit Wahyu Trijoko dan Ibu Siti Nuzuliyah, serta adik penulis Sarah Nurjanah, atas segala doa, dukungan, semangat dan kasih sayangnya.

Selain itu penulis juga berterimakasih kepada pihak-pihak yang banyak membantu selama proses penyusunan tesis, teman-teman Dramaga Cantik S02, teman-teman fasttrack Agribisnis angkatan 48, sahabat-sahabat terdekat, seluruh mahasiswa Magister Sains Agribisnis angkatan 5 dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN ii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Pengaruh Penerapan Pajak Ekspor pada Komoditas Pertanian 6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor 9

Pendekatan Model 9

3 KERANGKA PEMIKIRAN 10

Kerangka Pemikiran Teoritis 10

Kerangka Pemikiran Operasional 21

4 METODE PENELITIAN 23

Jenis dan Sumber Data 23

Metode Analisis dan Pengolahan Data 23

Simulasi Model Kebijakan 32

5 GAMBARAN UMUM KERAGAAN KAKAO INDONESIA 33

Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kakao Indonesia 33

Ekspor Produk Kakao Indonesia 35

Harga Biji Kakao Domestik dan Dunia 37

Kinerja Industri Pengolahan Kakao 38

Perkembangan Konsumsi Kakao di Indonesia 40

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 41

Keragaan Umum Hasil Estimasi 41

Produksi Biji Kakao Perkebunan Rakyat 42

Produksi Biji Kakao Perkebunan Besar Negara 43

Produksi Biji Kakao Perkebunan Besar Swasta 45

Penjualan Biji Kakao Domestik 46

Harga Riil Biji Kakao Domestik 48

Ekspor Pasta Kakao Indonesia 49

Ekspor Lemak Kakao Indonesia 50

Ekspor Bubuk Kakao Indonesia 51

Ekspor Biji Kakao Indonesia 53

Hasil Validasi Model 54

Simulasi Model 55

Penghapusan Bea Keluar Biji Kakao 55

(18)

DAFTAR ISI (lanjutan)

Penetapan Tarif Bea Keluar Biji Kakao Flat 10 Persen 57 Penetapan Tarif Bea Keluar Biji Kakao Flat 15 Persen 58 Ringkasan Simulasi Perubahan Tarif Bea Keluar Biji Kakao 59

Overview 60

7 SIMPULAN DAN SARAN 61

Simpulan 61

Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 63

LAMPIRAN 67

(19)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan nilai ekspor komoditas primer perkebunan tahun

2009-2012 1

2 Perkembangan nilai ekspor kakao (HS 18) di 4 negara eksportir utama,

Indonesia dan dunia pada tahun 2010-2014 3

3 Hubungan antara Harga Referensi dengan Tarif Bea Keluar biji kakao 16 4 Dampak pengenaan pajak ekspor terhadap perubahan kesejahteraan 20

5 Jenis dan sumber data penelitian 23

6 Sebaran statistik Durbin-Watson 29

7 Perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas kakao Indonesia 33 8 Luas areal dan produksi kakao Indonesia menurut status pengusahaan 34 9 Produksi kakao di daerah sentra produksi di Indonesia tahun 2009-2013

34 10 Luas areal kakao nasional di daerah sentra produksi biji kakao di

Indonesia tahun 2009-2013 35

11 Perkembangan nilai ekspor beberapa komoditas kakao Indonesia dan persentasenya terhadap total ekspor kakao Indonesia tahun 2005-2014 35 12 Perkembangan volume ekspor beberapa komoditas kakao Indonesia

tahun 2005-2014 36

13 Perkembangan industri pengolahan kakao dalam negeri 38 14 Tarif bea masuk Uni Eropa atas impor kakao Indonesia 40 15 Hasil pendugaan parameter produksi biji kakao perkebunan rakyat 42 16 Hasil pendugaan parameter produksi biji kakao perkebunan besar

negara 44

17 Hasil pendugaan parameter produksi biji kakao perkebunan besar

swasta 45

18 Hasil pendugaan parameter penjualan biji kakao domestik 46 19 Hasil pendugaan parameter harga riil biji kakao domestik 48 20 Hasil pendugaan parameter ekspor pasta kakao Indonesia 49 21 Hasil pendugaan parameter ekspor lemak kakao Indonesia 50 22 Hasil pendugaan parameter ekspor bubuk kakao Indonesia 52 23 Hasil pendugaan parameter ekspor biji kakao Indonesia 53 24 Hasil validasi model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap produksi

biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia 55 25 Hasil simulasi penghapusan bea keluar biji kakao 56 26 Hasil simulasi penetapan bea keluar biji kakao flat 5 persen 57 27 Hasil simulasi penetapan bea keluar biji kakao flat 10 persen 58 28 Hasil simulasi penetapan bea keluar biji kakao flat 15 persen 59 29 Ringkasan hasil simulasi perubahan tarif bea keluar biji kakao 60

DAFTAR GAMBAR

1 Ekspor kakao Indonesia menurut 4 digit kode HS 2

2 Fungsi utama dan turunan dan marjin pemasaran 13

3 Pengenaan pajak ekspor 14

4 Perkembangan bea keluar biji kakao 15

(20)

6 Kerangka pemikiran 22 7 Pergerakan harga biji kakao domestik dan dunia Januari 2005 –

Februari 2016 37

8 Profil industri kakao di Indonesia (ribu ton) 39

9 Perkembangan konsumsi kakao di Indonesia tahun 2002-2013 41

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data dan sumber data model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia tahun

1990-2014 68

2 Rekapitulasi persamaan dalam model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia

tahun 1990-2014 69

3 Definisi operasional variabel endogen dan eksogen dalam model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia tahun 1990-2014 69 4 Program estimasi parameter model pengaruh bea keluar biji kakao

terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia tahun 1990-2014 menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN

dengan software SAS 9.4 for windows 70

5 Hasil estimasi parameter model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia tahun 1990-2014 menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN dengan

software SAS 9.4 for windows 72

6 Program uji multikolinearitas parameter model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia tahun 1990-2014 menggunakan nilai VIF dengan software

SAS 9.4 for windows 81

7 Hasil uji multikolinearitas parameter model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia tahun 1990-2014 menggunakan nilai VIF dengan software

SAS 9.4 for windows 82

8 Program validasi parameter model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia tahun 1990-2014 menggunakan metode Newton dan prosedur

SIMNLIN dengan software SAS 9.4 for windows 91

9 Hasil validasi parameter model pengaruh bea keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao dan ekspor produk olahan kakao Indonesia tahun 1990-2014 menggunakan metode Newton dan prosedur SIMNLIN

dengan software SAS 9.4 for windows 93

(21)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian dan pembangunan bangsa Indonesia. Menurut Kementerian Perdagangan (2015), rata-rata pertumbuhan ekspor sektor pertanian pertanian pada 2010-2014 adalah sebesar 3 persen, tertinggi diantara sektor-sektor non migas lainnya. Sektor pertanian memiliki beberapa subsektor penyokong, yaitu subsektor perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan. Salah satu komoditas unggulan ekspor dari subsektor perkebunan adalah kakao. Kakao memiliki nilai ekspor tertinggi kelima setelah kelapa sawit, karet, kelapa dan kopi pada tahun 2012 (BPS 2015). Kakao juga termasuk salah satu dari 10 komoditas ekspor unggulan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan untuk periode 2011-2016 (Januari-Mei)1.

Tabel 1 Perkembangan nilai ekspor komoditas primer perkebunan tahun 2009-2012

No Komoditas perkebunan

Nilai ekspor komoditas primer perkebunan (Juta US$)

2009 2010 2011 2012

1 Karet 3 241.5 7 326.6 11 135.9 7 861.9

2 Minyak sawit 10 368 13 469 17 261 17 602.2

-Minyak sawit (CPO) 6 710 9 085 10 961 6 676.5 -Minyak sawit lainnya 3 658 4 384 6 300 10 925.7

3 Kelapa 494.5 702.6 1 060.7 1 245.3

4 Kopi 824.0 814.3 963.4 1 249.5

5 Teh 171.6 178.5 152.1 156.8

6 Lada 140.3 245.9 195.9 423.5

7 Tembakau 172.6 195.6 137.5 159.6

8 Kakao 1 413.5 1 643.7 1 345.3 1 053.5

9 Jambu Mete 82.7 71.6 67.7 95.4

10 Cengkeh 5.6 12.6 15.1 24.8

11 Kapas 0.7 1.0 1.0 37.5

12 Tebu (molase) 61.8 69.2 60.1 46.2

Tebu (gula hablur) 0.6 - - -

Total 16 977.6 24 730.7 32 395.7 29 956.1 Sumber: BPS (2015)

Sejak April 2010, pemerintah mengeluarkan Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar (BK) melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 67/PMK.011/2010. Barang ekspor yang dikenakan BK adalah rotan, kulit, kayu, biji kakao, kelapa sawit, CPO dan turunannya dan bijih (raw material atau ore) mineral. Permenkeu RI ini mengalami beberapa penyesuaian dan kemudian diubah menjadi Permenkeu RI Nomor 128/PMK.011/2011. Pengenaan Bea Keluar (BK) ini dimaksudkan untuk

1 http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities [Diakses

(22)

2

menjamin ketersediaan bahan baku nasional serta peningkatan nilai tambah dan daya saing industri pengolahan dalam negeri. Pemberlakuan kebijakan Bea Keluar ini berdampak langsung kepada penurunan besarnya nilai ekspor kakao. Ekspor kakao Indonesia, pada rentang 2004-2010, 70 persen total nilai ekspor kakao bertumpu pada biji kakao. Sehingga kebijakan Bea Keluar yang membatasi ekspor produk pertanian primer (dalam hal ini biji kakao) membuat nilai ekspor kakao menurun secara signifikan.

Sumber: UN Comtrade (2015)

Gambar 1 Ekspor kakao Indonesia menurut 4 digit kode HS

Meski terjadi penurunan ekspor dari biji kakao, ekspor produk-produk turunan kakao mengalami peningkatan nilai ekspor. Produk turunan kakao yang memiliki laju pertumbuhan ekspor tertinggi adalah pasta kakao, lalu kemudian lemak kakao dan bubuk kakao. Hanafi (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa lemak kakao (cocoa butter) merupakan produk turunan kakao Indonesia yang memiliki daya saing tertinggi, sehingga ekspor kakao Indonesia dapat difokuskan kepada produk yang memiliki daya saing tertinggi. Peningkatan nilai ekspor produk turunan kakao mengindikasikan bahwa kebijakan Bea Keluar cukup efektif untuk menekan ekspor kakao dalam bentuk mentah (biji kakao) dan juga mampu meningkatkan kapasitas produksi industri hilir kakao dalam negeri. Peningkatan nilai ekspor ini diharapkan mampu dijaga dan terus berkembang untuk tahun-tahun mendatang.

Penelitian yang dilakukan oleh Syadullah (2012), Hasibuan et al (2012b) dan Haifan (2015) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kinerja industri pengolahan kakao dalam negeri dan ekspor produk olahan kakao sebagai pengaruh dari diterapkannya Kebijakan Bea Keluar. Data dari Kemenkeu (2014)

0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

N

1801-Cocoa beans, whole or broken, raw or roasted 1802-Cocoa shells,husks,skins and waste 1803-Cocoa paste

1804-Cocoa butter, fat, oil 1805-Cocoa powder, unsweetened

(23)

3 menyebutkan bahwa pada tahun 2009, hanya terdapat 7 perusahaan pengolahan kakao yang beroperasi dari total 15 perusahaan pengolahan kakao, jumlah perusahaan yang beroperasi meningkat menjadi 11 perusahaan pada tahun 2010 dan menjadi 16 perusahaan pada tahun 2011 melalui tambahan satu investasi baru dari luar negeri. Pasca pemberlakuan Kebijakan Bea Keluar terdapat peningkatan kapasitas industri pengolahan kakao dari 130 000 ton pada tahun 2009 menjadi 150 000 ton pada tahun 2010 dan 280 000 ton pada 2011 (Kemenkeu 2014).

Dalam rentang 2004-2013 luas areal (ha) perkebunan kakao nasional menunjukan rata-rata pertumbuhan yang terus meningkat tiap tahun dengan laju pertumbuhan sebesar 5.42 persen pertahun (Kementan 2015a). Laju pertumbuhan produksi (ton) kakao nasional cenderung stagnan dengan rata-rata hanya sebesar 0.7 persen pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas kakao nasional belum mencapai kondisi yang optimal. Sehingga peluang untuk meningkatkan produksi masih besar dan hal ini juga berarti peluang untuk meningkatkan ekspor menjadi lebih besar. Peningkatan ekspor diharapkan akan meningkatkan devisa negara.

Tabel 2 Perkembangan nilai ekspor kakao (HS 18) di 4 negara eksportir utama, Indonesia dan dunia pada tahun 2010-2014

No Negara Sumber : UN Comtrade (2015)

Jerman merupakan negara yang menguasai pangsa pasar ekspor kakao dunia pada rentang 2010-2014 dengan rata-rata pangsa pasar 12 persen. Sumbangan terbesar bagi nilai ekspor kakao Jerman berasal kakao dengan kode HS 1806 atau produk kakao siap konsumsi. Produk kakao siap konsumsi ini memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk primer atau produk antara. Hal yang sama juga terjadi pada Belanda dan Belgia yang umumnya mengekspor produk kakao siap konsumsi. Berbeda dengan Pantai Gading dan Indonesia yang eskpor kakaonya masih bertumpu pada biji kakao, padahal Indonesia dan Pantai gading merupakan salah satu negara yang menguasai pangsa pasar biji kakao dunia. Selain Pantai Gading negara pesaing utama ekspor biji kakao Indonesia adalah Ghana, Nigeria dan Kamerun (Ditjen PPHP 2014). Ini menunjukkan bahwa menjual produk olahan siap konsumsi merupakan cara terbaik meningkatkan pangsa pasar, terbukti tiga dari empat negara penguasa pangsa pasar kakao dunia bertumpu pada ekspor produk kakao siap konsumsi. Produk kakao siap konsumsi memiliki nilai jual yang lebih tinggi sehingga memberikan keuntungan perdagangan yang lebih tinggi bagi negara pengekspor. Melalui kebijakan Bea Keluar, Indonesia perlahan meningkatkan ekspor produk turunan kakao untuk meningkatkan devisa negara.

(24)

4

kakao yang semakin meningkat tiap tahun. Laju pertumbuhan nilai impor kakao dunia mencapai 9.19 persen per tahun, sedangkan laju pertumbuhan ekspor kakao Indonesia mencapai 10.02 persen. Peningkatan nilai ekspor ini mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki peluang untuk melakukan perluasan pasar. Perluasan pangsa pasar merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan devisa. Saat ini negara utama tujuan ekspor kakao Indonesia dalam rentang 2004-2013 adalah Malaysia, Amerika Serikat, Singapura, Brazil dan Prancis. Malaysia merupakan negara tujuan ekspor kakao Indonesia terbesar dengan rata-rata nilai ekspor mencapai 43.52 persen dari total nilai ekspor kakao Indonesia, lalu Amerika Serikat sebesar 25.82 persen (UN Comtrade 2015). Ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut umumnya didominasi oleh ekspor biji kakao. Sedangkan untuk ekspor produk olahan umumnya Indonesia mengeskpor ke negara Uni Eropa, terutama untuk produk lemak kakao (Hanafi 2015).

Perumusan Masalah

Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, industri hilir pengolahan kakao di Indonesia mengalami peningkatan kinerja dari tahun ke tahun. Meski begitu, masih terdapat ruang yang cukup besar bagi industri pengolahan kakao dalam negeri untuk terus berkembang. Hal ini tercermin dari berlimpahnya bahan baku (biji kakao) yang dihasilkan di Indonesia. Industri kakao memiliki peran penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Industri kakao diharapkan mampu memberikan pengaruh lebih besar kepada ketiga sektor tersebut karena industri pengolahan kakao memiliki keterkaitan yang luas antara sektor hulu (petani kakao) maupun hilirnya (intermediate industry/grinders). Adanya industri pengolahan kakao akan memberikan nilai tambah pada kakao sehingga akan meningkatkan harga jualnya dan juga memberikan keuntungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan mengeskpor kakao dalam bentuk mentah (biji kakao).

Sebelum diberlakukannya kebijakan bea keluar biji kakao pada tahun 2010, Indonesia cenderung mengekspor kakao dalam bentuk biji kakao, sedangkan ekspor kakao dalam bentuk olahannya belum berkembang dengan baik. Beberapa penyebab lambannya perkembangan ekspor olahan kakao adalah karena masih belum berkembangnya industri pengolah biji kakao dan juga rendahnya tingkat konsumsi cokelat dalam negeri (Haifan 2015). Hal ini memebuat sebagian besar ekspor kakao Indonesia berbentuk biji kakao. Ekspor biji kakao yang tinggi akan membuat ketersediaan biji kakao di dalam negeri berkurang sehingga mengurangi suplai bahan baku untuk keperluan industri pengolahan kakao di dalam negeri. Salah satu indikasinya adalah terdapat beberapa industri pengolahan kakao yang bekerja di bawah kapasitas terpasangnya. Pada tahun 2009, dari tujuh perusahaan pengolahan kakao yang beroperasi hanya tiga perusahaan saja yang bekerja sesuai dengan kapasitas terpasangnya (Kemenkeu 2014). Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No.67/PMK.011/2010, menerapkan bea keluar dengan tujuan untuk menjamin pasokan bahan baku industri pengolahan dalam negeri dan juga mendorong pertumbuhan industri hilir kakao dalam negeri.

(25)

5 pendukung lainnya yang bertujuan untuk semakin mengembangkan industri pengolahan kakao dalam negeri. Pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian, memberikan fasilitas Tax Allowance dalam PP No. 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-Daerah Tertentu serta pemberian tax holiday bagi industri pengolahan kakao di daerah tertentu melalui PMK No. 130 Tahun 2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan guna mengembangkan industri kakao. Adanya program ini diharapkan mampu menggerakkan industri hilir makanan dan minuman berbasis cokelat agar melakukan ekspansi karena memberikan nilai tambah kakao yang tinggi, selain itu juga mampu menyerap tenaga kerja dan memberikan multiplier effect terhadap industri pendukung seperti industri pengemasan (packaging), transportasi, perbankan dan sektor lainnya.

Pengaruh dari pemberlakuan kebijakan bea keluar biji kakao sudah mulai terlihat pada ekspor produk kakao Indonesia. Hal ini diindikasikan dari menurunnya nilai ekspor kakao Indonesia dalam bentuk biji dan juga terjadinya peningkatan nilai ekspor olahan kakao Indonesia pasca penerapan Kebijakan Bea Keluar pada tahun 2010 (UN Comtrade 2015). Adanya peningkatan ekspor kakao dalam bentuk olahannya, akan lebih menguntungkan Indonesia karena adanya nilai tambah pada produk olahan kakao. Hal ini juga akan menggeser posisi masing-masing produk kakao Indonesia tersebut di pasar internasional. Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai negara net exporter biji kakao, kini mulai mengurangi ekspor biji kakao dan mulai meningkatkan ekspor kakao dalam bentuk olahannya. Perubahan paling nyata terjadi pada posisi biji kakao Indonesia di pasar internasional, semenjak tahun 2010 terjadi peningkatan impor biji kakao dan besarnya impor biji kakao Indonesia telah lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor biji kakaonya pada tahun 2014.

Meski diduga berdampak positif terhadap peningkatan eskpor olahan kakao, adanya bea keluar diduga berdampak negatif terhadadap produksi biji kakao Indonesia (Arsyad et al 2011). Salah satu dampak dari adanya kebijakan Bea Keluar ini akan ada pihak yang dikorbankan unutk menanggung beban biaya yang diakibatkan dari pemberlakuan kebijakan bea keluar tersebut. Adanya bea keluar akan membebani eksportir sehingga dapat menurunkan margin keuntungan yang diperoleh, di sisi lain terdapat kemungkinan bahwa beban biaya yang diterima eksportir akan dialihkan ke produsen kakao sehingga membuat para produsen kakao menjadi pembayar pajak. Kondisi ini dikhawatirkan akan menyebabkan petani tidak berminat lagi menanam kakao sehingga akan memengaruhi produksi biji kakao nasional. Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh kebijakan Bea Keluar biji kakao yang telah diterapkan terhadap produksi biji kakao Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh kebijakan Bea Keluar biji kakao yang telah diterapkan terhadap ekspor produk kakao Indonesia?

Tujuan Penelitian

(26)

6

1. Mengidentifikasi pengaruh kebijakan Bea Keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao Indonesia

2. Mengidentifikasi pengaruh kebijakan Bea Keluar biji kakao terhadap ekspor produk kakao Indonesia

Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan cara penulis dalam mengaplikasikan konsep permintaan dan perdagangan internasional yang telah didapat selama perkuliahan dan diharapkan dapat menyempurnakan penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas tentang kakao Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian tentang kakao Indonesia dan juga dapat digunakan sebagai pembanding atau referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini fokus pada bahasan mengenai pengaruh adanya kebijakan Bea Keluar biji kakao terhadap produksi biji kakao domestik dan juga ekspor produk kakao (biji kakao, lemak kakao, pasta kakao dan bubuk kakao). Bubuk kakao yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bubuk kakao dengan HS 1805 (Cocoa powder, unsweetened). Pendekatan yang digunakan untuk melihat pengaruh kebijakan tersebut menggunakan model persamaan simultan karena antar variabel dalam model saling memengaruhi. Penelitian ini tidak memfokuskan diri dalam membahas perdagangan internasional karena diduga Indonesia berada pada posisi price taker. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian Hanafi (2015) mengenai Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia dalam Perdagangan Internasional. Data yang digunakan pada penelitian ini sebagian diperoleh dari penelitian Hanafi (2015) dan juga data pendukung lainnya.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Penerapan Pajak Ekspor pada Komoditas Pertanian

(27)

7 Pada komoditas perkebunan yang lain seperti kelapa sawit, penerapan pajak ekspor juga terbukti memiliki dampak negatif terhadap ekspor CPO dan harga domestik CPO (Obado et al 2009; Rifin 2014). Selain pada kedua hal tersebut, Obado et al (2009) menambahkan bahwa pajak ekspor yang dibebankan kepada CPO juga berpengaruh negatif terhadap produksi CPO domestik meski juga secara signifikan mampu mendorong pertumbuhan industri CPO di Indonesia. Rifin (2014) menyatakan bahwa pajak ekspor progresif yang diterapkan pemerintah Indonesia pada CPO dalam beberapa tahun terakhir, tidak memiliki dampak apapun kepada ekspor CPO ataupun harga domestik CPO, pajak ekspor ini hanya berdampak ekspor RPO (Refined Palm Oil). Pada periode sebelum penerapan pajak ekspor progresif, pajak ekspor lebih efektif untuk menurunkan volume ekspor CPO dan juga memengaruhi harga CPO domestik.

Sebelum tahun 2007, pemerintah menetapkan Undang-Undang No.18 Tahun 2000 tentang PPN atas komoditi primer. PPN (Pajak Pertambahan Nilai) ini besarnya adalah 10 persen dan dikenakan dalam perdagangan biji kakao dalam negeri. PPN merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang mengalami pertambahan nilai. Akibat dari adanya kebijakan ini, kakao lebih banyak diekspor dalam bentuk biji (raw material) karena tidak dikenai oleh PPN. Di sisi lain hal ini juga menyebabkan berkurangnya suplai bahan baku bagi industri olahan kakao dalam negeri. Sehingga pada tahun 2007 kebijakan PPN ini dihapus oleh pemerintah karena dirasa sektor hilir kakao nasional kurang berkembang.

Sebagai bentuk evaluasi pada tahun 2010 pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan Pajak Ekspor atau yang lebih dikenal dengan Kebijakan Bea Keluar (BK). Kebijakan tersebut tertera pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Peraturan ini diterapkan secara progresif. Besarnya tarif Bea Keluar dan harga patokan ekspor (HPE) yang dikeluarkan didasarkan oleh harga referensi biji kakao. Harga referensi biji kakao dalah harga rata-rata internasional yang berpedoman pada harga rata-rata CIF New York Board of Trade. Besaran harga referensi dan harga patokan ekspor (HPE) ini ditentukan setiap bulan oleh Menteri Perdagangan.

(28)

8

Penelitian Rifin (2015) menunjukkan bahwa adanya pajak ekspor atau Bea Keluar memengaruhi eksportir dengan cara menurunkan margin mereka. Di sisi lain, untuk petani, adanya kebijakan pajak ekspor ini tidak memengaruhi saluran pemasaran biji kakao. Harga biji kakao di tingkat petani dipengaruhi oleh harga biji kakao internasional dan harga biji kakao internasional benar-benar mentransmisikan harga dengan sempurna ke harga biji kakao di tingkat petani. Hal ini membuat petani memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dibandingkan eksportir setelah pemberlakuan kebijakan pajak ekspor diterapkan. Penelitian Rifin (2015) ini juga sesuai dengan Arsyad (2007) yang menyatakan bahwa harga kakao domestik sangat dipengaruhi oleh harga kakao dunia. Arsyad (2007) juga menambahkan bahwa kebijakan subsidi pupuk dapat meningkatkan produksi dan juga ekspor kakao Indonesia.

Hasil penelitian dari Arsyad et al (2011) tentang dampak kebijakan pajak ekspor terhadap produksi dan ekspor kakao Indonesia pasca Putaran Uruguay, serupa dengan hasil dari penelitian Putri et al (2013) yang menyatakan bahwa adanya pajak ekspor berdampak negatif terhadap harga domestik biji kakao dan juga volume produksi biji kakao. Hasil lain dari penelitian Arsyad et al (2011) menunjukkan bahwa hal-hal yang memengaruhi ekspor biji kakao Indonesia adalah harga ekspor biji kakao Indonesia, pertumbuhan produksi kakao, nilai tukar rupiah dan juga tren waktu.

Dampak dari penerapan pajak ekspor terhadap kesejahteraan suatu negara berbeda-beda, tergantung dari market power yang dimiliki negara tersebut terhadap komoditas yang dikenakan pajak ekspor (Piermantini 2004; Burger 2004; Solleder 2011). Negara dengan market power besar atau memiliki kecenderungan ekspor, akan mendapatkan tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibandingan dengan negara yang tidak memiliki market power (Piermartini 2004; Solleder 2011). Meski begitu, Burger (2008) menyatakan bahwa dalam jangka panjang negara yang memiliki market power sangat tinggi (studi kasus Pantai Gading) tidak akan atau hampir tidak akan mendapatkan keuntungan dari perubahan pajak ekspor, bahkan cenderung untuk membuat negara tersebut menderita. Ini disebabkan karena pajak eskpor tidak secara langsung memengaruhi rumah tangga petani, tetapi melalui jalur-jalur tertentu, sehingga penerapan bea keluar yang terlalu tinggi akan sangat membebani mereka. Pajak ekspor yang diterapkan oleh negara-negara berkembang bertujuan untuk meningkatkan sektor fiskal, meski komoditas yang dikenakan pajak ekspor akan mengalami penurunan volume ekspor, terutama komoditas pertambangan (Solleder 2011).

(29)

9

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor

Penelitian mengenai permintaan untuk ekspor produk pertanian telah banyak dilakukan sebelumnya, antara lain Kuwornu et al (2009) yang meneliti tentang kelapa sawit di Ghana dan Konandreas et al (1978) yang meneliti tentang gandum di Amerika Serikat. Mereka melakukan analisis dengan menggunakan asumsi OLS. Hasil penelitian Kuwornu et al (2009) menunjukan bahwa ekspor kelapa sawit Ghana lebih dipengaruhi oleh harga riil kelapa sawit domestik daripada faktor-faktor lainnya seperti exchange rate (nilai tukar), harga ekspor riil Ghana, harga ekspor riil Malaysia dan harga riil kelapa sawit domestik Malaysia. Sedangkan pada ekspor gandum Amerika Serikat yang diteliti Konandreas et al (1978), faktor yang paling berperan adalah exchange rate (nilai tukar) dibanding harga ekspor gandum dan harga ekspor gandum domestik. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kekuatan ekomoni antara Ghana dengan Amerika Serikat.

Penelitian tentang permintaan dan penawaran juga dilakukan oleh Hameed et al (2009) dan Atique dan Ahmad (2003). Hameed et al (2009) meneliti tentang model kakao Malaysia dengan menggunakan pendekatan Labys, hasilnya adalah exchange rate (nilai tukar) berpengaruh signifikan dalam memengaruhi permintaan ekspor sedangkan indeks produksi industri dan harga kakao dunia tidak berpengaruh signifikan. Indeks produksi industri Malaysia dan harga biji kakao domestik merupakan faktor kunci yang memengaruhi permintaan kakao domestik. Harga biji kakao untuk tingkat domestik sangat dipengaruhi oleh konsumsi domestik, lag harga domestik dan harga biji kakao dunia. Atique dan Ahmad (2003) meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi permintaan dan penawaran ekspor Pakistan. Pemintaan untuk ekspor Pakistan dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi dunia dan exchange rate (nilai tukar), sedangkan sisi penawaran dipegaruhi oleh koefisien kapasitas produksi dalam negeri/indeks produksi industri. Sehingga didapat kesimpulan bahwa aktivitas ekonomi dunia dan exchange rate (nilai tukar) mampu memengaruhi sisi permintaan sedangkan koefisien kapasitas produksi memengaruhi sisi penawaran terhadap suatu barang atau jasa.

Coto-Millan (2004) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi permintaan impor dan ekspor produk kelautan di Spanyol. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi permintaan impor adalah pendapatan nasional, harga barang impor dan jasa transportasi kelautan, sedangkan yang memengaruhi ekspor adalah pendapatan dunia, harga barang ekspor, jasa transportasi kelautan dan indeks kapasitas produksi bisnis Spanyol. Hasil penelitian Coto-Millan (2004) menambah faktor-faktor yang mungkin memengaruhi permintaan ekspor suatu negara, yaitu pendapatan dunia setelah sebelumnya ada harga riil domestik (Kuwornu et al 2009), exchange rate (Konandreas et al 1978) dan pengeluaran konsumen.

Pendekatan Model

(30)

10

tidak terlalu berpengaruh kepada konsumsi teh. Hasil ini menunjukan bahwa untuk meningkatkan pendapatan negara produsen teh, yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan jumlah ekspor tehnya. Teh hitam dan teh hijau tergolong barang substitusi, sehingga kenaikan harga salah satu komoditas akan menyebabkan kenaikan permintaan terhadap komoditas lainnya. Sedangkan Gallet (2007) melakukan analisis terhadap permintaan minuman beralkohol di dunia menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square), hasilnya menunjukan bahwa dalam jangka pendek minuman berakohol lebih inelastis dibandingkan saat jangka panjangnya. Secara lebih spesifik, bir merupakan minuman beralkohol yang paling inelastis. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, terlihat bahwa komoditas pertanian cenderung memiliki elastisitas permintaan yang inelastis. Ini juga dikuatkan oleh beberapa penelitian lain, yaitu Warr dan Wolmer tentang beras Thailand yang memiliki elastisitas permintaan yang inelastis dan juga Zheng et al (2012) tentang kacang pistachio Amerika yang juga memiliki elastisitas permintaan yang inelastis.

Pendekatan melalui persamaan simultan dapat digunakan untuk mendeksripsikan faktor-faktor yang memengaruhi permintaan suatu barang atau jasa. Applainadu et al (2011) menggunakan delapan persamaan struktural dan empat persamaan identitas yang kemudian diestimasi menggunakan metode 2SLS dengan data tahunan pada tahun 1976-2008 untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi industri kelapa sawit Malaysia terutama permintaan biodiesel. Hasil penelitian menunjukan bahwa harga domestik sangat dipengaruhi oleh Malaysian Ending Stock, harga minyak kelapa sawit dunia, permintaan biodiesel dan lag harga domestik. Permintaan biodiesel memiliki dampak positif terhadap harga minyak kelapa sawit domestik Malaysia. Dengan demikian, pertumbuhan permintaan biodiesel memiliki peran pernting dalam meningkatkan harga minyak kelapa sawit domestik Malaysia.

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Perdagangan Internasional

Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama. Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu sama lain. Setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan sesuatu yang relatif lebih baik. Kedua negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya jika setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang tertentu, mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien jika dibandingkan kalau negara tersebut memproduksi segala jenis barang. Pola-pola perdagangan dunia yang terjadi mencerminkan perpaduan dari kedua motif ini (Basri dan Munandar 2010).

(31)

11 keunggulan alamiah masing-masing negara, tindakan pemerintah dan karakteristik industri yang memungkinkan terjadinya pertukaran. Baik keduanya menekankan bahwa suatu negara akan melakukan perdagangan jika negara tersebut memiliki keunggulan, keunggulan inilah yang akan digunakan untuk mendapatkan keuntungan saat melakukan perdagangan internasional.

Hady (2004), menurut teori klasik Adam Smith, suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional (gain from trade) dan meningkatkan kemakmuran bila terdapat free trade (perdagangan bebas) dan melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan absolut (absolute advantage) yang dimiliki. Gonarsyah (1987) faktor-faktor yang mendorong terjadinya perdagangan internasional suatu negara dengan negara lain adalah untuk memperluas pemasaran komoditas ekspor, memperbesar penerimaan bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan antara permintaan dan penawaran suatu negara, dan adanya perbedaan biaya relatif.

Adam Smith menyatakan bahwa suatu negara akan melakukan perdagagan berdasarkan keunggulan absolut (absolute advantage) yang dimilikinya. Keunggulan aboslut adalah kemampuan suatu negara untuk memproduksi lebih banyak suatu barang dibandingkan dengan negara lain, dengan asumsi jumlah sumberdaya yang digunakan adalah sama banyaknya. Ini menunjukan bahwa negara tersebut mampu memproduksi suatu barang dengan sumberdaya yang lebih sedikit. Suatu negara dikatakan memiliki keunggulan absolut jika mampu memproduksi lebih barang lebih baik dan efisien jika dibandingkan negara lain.

Jika suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi barang namun dapat memproduksi satu jenis dengan lebih efisien dibandingkan memproduksi barang lainnya, hal tersebut masih dapat menguntungkan jika melakukan perdangan. Keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo, timbul saat suatu negara memproduksi satu barang dengan lebih baik dan efisien dibandingkan memproduksi barang lainnya. Keunggulan komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan production comparative advantage (labor productivity). Cost Comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif jika suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi. Sedangkan Production Comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak.

Menurut Hecksher-Ohlin, perdagangan internasional terjadi karena negara-negara tersebut memiliki faktor produksi yang berbeda-beda (Relative Factor Endowments). Teori ini menyatakan bahwa suatu negara akan melakukan ekspor barang yang di negara tersebut banyak terdapat faktor produksinya dan akan melakukan impor barang-barang yang faktor produksinya jarang terdapat di negara tersebut. Jika terdapat faktor produksi yang berlimpah, itu berarti biaya produksinya akan lebih murah. Barang tersebut akan memiliki harga yang lebih murah sehingga akan diinginkan oleh negara-negara lain.

Teori Permintaan Turunan

(32)

12

produk atau jasa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antara faktor-faktor tersebut adalah harga barang itu sendiri, harga barang substitusi, pendapatan, distribusi pendapatan, selera dan jumlah penduduk. Dalam menganalisis permintaan perlu dibedakan antara permintaan dengan jumlah barang yang diminta. Permintaan menggambarkan keseluruhan hubungan antara harga dan jumlah permintaan. Sedangkan jumlah barang yang diminta menggambarkan banyaknya permintaan pada tingkat harga tertentu.

Fungsi permintaan pasar dalam Coleman dan Trevor Young (1989) adalah sebagai berikut:

Qs = f(P, M,POP,ID) Qs = Permintaan

P = Harga komoditi M = Pendapatan Perkapita

PO = Populasi yang merupakan pasar produk tersebut ID = Index Disribution Income

Secara umum, semakin rendah harga suatu barang maka akan semakin banyak permintaan untuk barang tersebut, begitupun sebaliknya. Untuk barang normal, pada harga yang sama, bertambahnya pendapatan konsumen dan meratanya pendapatan dapat meningkatkan permintaan. Untuk barang inferior, bertambahnya pendapatan justru akan mengakibatkan berkurangnya permintaan. Sedangkan pada barang netral, bertambah atau berkurangnya pendapatan tidak akan mempengaruhi fungsi permintaan. Tingkat pendapatan yang merupakan sumber daya atau kemampuan membeli (purchasing power) dari konsumen adalah determinasi permintaan terpenting. Bertambahnya pendapatan konsumen akan memengaruhi peningkatan jumlah yang diminta.

Dalam menurunkan kurva permintaan dari perubahan harga terdapat dua jenis asumsi. Pertama adalah pendapatan tetap atau biasa disebut Marshallian Demand Fuction/Uncompensated Demand Function. Permintaan merupakan fungsi dari harga dan pendapatan nominal. Sedangkan yang kedua adalah utilitas tetap atau Hicksian Demand Function/Compensated Demand Function. Fungsi permintaan asumsi ini didasarkan pada harga dan tingkat kepuasan. Pada fungsi hicksian perubahan permintaan dinyatakan dengan mengisolasi efek pendapatan, sehingga perubahan yang terjadi adalah murni efek substitusi.

Teori permintaan yang berkaitan dengan penelitian ini merupakan teori permintaan turunan (derived demand). Tomek dan Robinson (1981) menjelaskan bahwa permintaan untuk input produksi didefinisikan sebagai derived demand. Derived demand diturunkan dari primary demand perusahaan yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa. Kurva derived demand diperoleh dengan cara mengurangi nilai permintaan dari barang atau jasa (di setiap titiknya) pada kurva primary demand.

(33)

13 negeri. Permintaan biji kakao ini dipengaruhi oleh permintaan terhadap produk olahan yang dihasilkan dari biji kakao (pasta, lemak dan bubuk). Jika permintaan terhadap produk olahan ini meningkat maka diduga permintaan terhadap biji kakao juga meningkat.

Sumber: Tomek dan Robinson (1981)

Gambar 2 Fungsi utama dan turunan dan marjin pemasaran

Faktor-faktor yang diduga dapat memengaruhi permintaan terhadap faktor produksi adalah :

1. Harga faktor produksi

Jika faktor produksi bersifat normal, maka penurunan harga faktor produksi akan meningkatkan jumlah faktor produksi yang diminta. Jika faktor produksi merupakan barang inferior, maka penurunan harga faktor produksi akan menurunkan jumlah yang diminta. Dalam kasus khusus (barang Giffen), jika harga faktor produksi meningkat maka permintaannya justru juga akan meningkat.

2. Permintaan terhadap output

Semakin besar skala produksi, maka permintaan terhadap input (faktor produksi) diduga akan semakin besar, kecuali jka inputnya bersifat inferior 3. Permintaan terhadap faktor produksi lain

Jika faktor produksi bersifat substitutif, maka permintaan terhadap suatu faktor produksi akan menurunkan permintaan terhadap faktor produksi lainnya. Jika antar faktor produksi memiliki hubungan komplementer maka permintaan suatu faktor produksi akan meningkatkan permintaan faktor produksi lainnya.

4. Harga faktor produksi lain

Pengaruh perubahan harga faktor produksi lain berkaitan erat dengan sifat hubungan antar faktor produksi. Permintaan faktor produksi akan meningkat jika harga faktor produksi substitusinya semakin mahal. Permintaan akan faktor produksi komplemennya semakin mahal

5. Kemajuan teknologi

Kemjauan teknologi dapat bersifat positif maupun negatif terhadap permintaan faktor produksi. Kemajuan teknologi yang bersifat padat modal akan meningkatkan produktivitas barang modal sehingga permintaan terhadap barang modal meningkat. Di sisi lain, kemajuan teknologi akan

Primary Demand Derived Demand

Primary Supply P

Derived Supply

qe

Q Retail (Pr)

(34)

14

menurunkan permintaan terhadap tenaga kerja karena peran tenaga kerja diambil alih oleh kemajuan teknologi

Teori Ekspor dan Pajak Ekspor

Ekspor adalah berbagai macam barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri kemudian dijual ke luar negeri (Mankiw 2007). Ekspor memiliki banyak tujuan, yang pertama adalah meningkatkan keuntungan dan penjualan. Harga barang yang diekspor biasanya lebih mahal dibandingkan dengan harga dalam negeri, sehingga selisih nilai inilah yang akan coba ditingkatkan. Adanya ekspor juga membuat perusahaan mampu menjual lebih banyak, ini menyebabkan perusahaan dapat menggunakan kelebihan kapasitas produksinya untuk menurunkan biaya tetap per unit.

Ekspor suatu barang dipengaruhi oleh suatu penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dalam teori perdagangan internasional disebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran (Salvatore 1996). Dari sisi permintaan, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, pendapatan dunia dan kebijakan devaluasi. Sedangkan dari sisi penawaran, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, harga domestik, nilai tukar riil, kapasitas produksi yang bisa diproduksi melalui investasi, impor bahan baku dan kebijakan deregulasi.

Sumber: Helpman dan Krugman (1989) Gambar 3 Pengenaan pajak ekspor

Pada Gambar 4 terlihat bahwa akibat adanya pengenaan pajak ekspor maka harga domestik komoditas akan turun menjadi sebesar Pt. Hal ini akan berdampak

pada berkurangnya surplus konsumen dan surplus produsen sebesar PtCDPF. Di sisi

lain adanya pajak ekspor akan mendatangkan penerimaan sebesar P*tACPt.

Besarnya kehilangan pendapatan akibat adanya pajak ekspor adalah sebesar BCD dan keuntungan yang diperoleh dari perdagangan adalah sebesar P*tABPF

(Helpman dan Krugman 1989). Penerapan pajak ekspor akan mengurangi volume komoditas yang diekspor. Volume ekspor sebelum penerapan pajak ekspor adalah

D P

Q Pt

P P*t = Pt +

t

X

S

Xt

C B

A

(35)

15 sebesar X, sedangkan volume ekspor setelah penerapan pajak ekspor adalah sebesar Xt atau terjadi pengurangan sebesar X-Xt.

Secara teori, adanya pajak keluar akan menurunkan harga domestik dari komoditas yang dikenai pajak keluar tersebut. Hal ini kemudian akan menguntungkan bagi industri pengolahan dalam negeri yang menggunakan bahan baku komoditas tersebut karena tersedianya bahan baku dengan harga yang lebih rendah sebagai dampak dari melimpahnya komoditas tersebut. Sementara itu, dari sisi rumah tangga, adanya pajak ekspor akan berpengaruh terhadap tiga hal (Piermartini 2004). Pertama, pajak ekspor akan berpengaruh kepada pendapatan kotor rumah tangga melalui pengembalian (returns) yang diterima dari faktor produksi (lahan, modal dan tenaga kerja). Kedua, daya beli rumah tangga juga akan dipengaruhi karena akan terjadi perubahan harga relatif pada barang-barang konsumsi. Ketiga, pajak ekspor akan memengaruhi pendapatan yang dibelanjakan (disposable income) rumah tangga melalui redistribusi penerimaan yang diterima oleh pemerintah karena menerima pemasukan tambahan dari kebijakan pajak ekspor yang diberlakukan.

Mekanisme bea keluar dimulai dari penetapan harga referensi yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan. Harga referensi merupakan harga internasional biji kakao yang berpatokan pada harga rata-rata CIF NYBOT (New York Board of Trade). Tarif bea keluar besarnya didasarkan dari harga referensi ini, semakin tinggi harga referensi maka semakin tinggi tarif bea keluar yang dikenakan. Setelah penetapan harga referensi, Menteri Perdagangan kemudian menetapkan HPE (Harga Patokan Ekspor) secara periodik yang nilainya ditetapkan berdasarkan besarnya harga referensi. Menteri Keuangan kemudian menetapkan harga ekspor yang besarnya berpatokan pada HPE (Harga Patokan Ekspor) yang telah dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan. Harga ekspor ini yang kemudian digunakan untuk mengitung besarnya bea keluar. Formula perhitungan bea keluar berdasarkan persentase dari harga ekspor (advalorum) adalah sebagai berikut:

BK (Bea Keluar) = TBK (Tarif Bea Keluar) x Jumlah satuan barang x HE (Harga Ekspor) per satuan barang x Nilai tukar mata uang

(36)

16

Besarnya nilai bea keluar biji kakao periode April 2010 sampai Oktober 2015 dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai bea keluar terbesar terjadi pada April 2011 dimana tarif bea keluar sebesar 15 persen, HPE sebesar 3203 US$/MT dan besar bea keluarnya adalah 480 US$/MT. Sementara nilai bea keluar terendah terjadi pada April 2013 dimana tarif bea keluar sebesar 5 persen, HPE sebesar 1832 US$/MT dan besar bea keluarnya adalah 91.6 US$/MT.

Besarnya tarif bea keluar biji kakao didasarkan pada harga referensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Tarif bea keluar berdasarkan harga referensi menurut Peraturan Menteri Keuangan No.75/PMK.011/2012 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hubungan antara Harga Referensi dengan Tarif Bea Keluar biji kakao

Harga Referensi (US$) Tarif

<2000 0

2000 – 2750 5

2750 – 3500 10

>3500 15

Sumber: Kemenkeu (2014)

Menurut Bonarriva et al (2009), manfaat-manfaat yang diharapkan dapat diperoleh akibat diberlakukannya kebijakan bea keluar antara lain adalah :

1. Meningkatkan Term Of Trade (TOT)

Term Of Trade merupakan perbandingan kuantitatif (jumlah atau nilai) antara ekspor dan impor yang mencerminkan posisi perdagangan suatu negara untuk periode waktu tertentu. Posisi perdagangan dikatakan baik apabila memiliki nilai TOT yang tinggi, sebaliknya apabila suatu negara memiliki nilai TOT yang rendah maka dapat dikatakan sedang berada pada posisi perdagangan yang tidak menguntungkan. Seperti negara-negara berkembang lainnya, Indonesia cenderung mengekspor komoditas primer yang umumnya bernilai jual rendah sehingga menyebabkan rendahnya TOT. Melalui penerapan bea keluar, diharapkan akan terjadi peningkatan ekspor kakao dalam bentuk olahannya sehingga akan meningkatkan TOT

2. Availability

Adanya bea keluar diharapkan dapat menghambat ekspor komoditas primer sehingga mampu menjaga ketersediaan bahan baku untuk keperluan industri pengolahan dalam negeri. Tanpa adanya bea keluar, ekspor komoditas primer akan menjadi lebih mudah sehingga komoditas primer tersebut akan lebih banyak beredar ke pasar internasional. Melalui penerapan bea keluar, komoditas yang dikenakan bea akan menjadi relatif lebih mahal sehingga ekspor tidak lagi menjadi pilihan yang menguntungkan.

3. Price stabilization

Penerapan bea keluar diharapkan mampu menjaga harga bahan baku agar tetap stabil sehingga tidak menganggu kinerja industri pengolahan,. Harga bahan baku yang stabil akan membuat industri mampu merencanakan operasi bisnis dengan baik sehingga dapat menjaga kinerjanya pada kondisi optimal. 4. Public receipt

(37)

17 yang akan meningkatkan kegiatan perekonomian, seperti penyerapan tenaga kerja, peningkatan nilai tambah komoditas primer dan juga peningkatan devisa negara melalui ekspor produk olahan.

5. Intermediate consumption drive

Adanya bea keluar diharapkan mampu meningkatkan konsumsi produk antara (intermediate products) oleh industri. Produk antara digunakan oleh industri sebagai bahan baku utama untuk membuat produk akhir siap konsumsi. Pada industri pengolahan kakao, beberapa industri makanan seperti industri es krim dan susu membutuhkan bubuk kakao sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan produknya

6. Accessibility

Adanya bea keluar diharapkan dapat mempermudah akses terhadap bahan baku sehingga memudahkan industri dalam memeroleh bahan baku. Akses terhadap bahan baku yang lebih mudah akan membuat iklim di industri menjadi lebih kondusif sehingga akan meningkatkan kinerja industri tersebut.

Teori Harga

Salvatore (2002) harga keseimbangan suatu komoditi ditentukan pada perpotongan kurva penawaran pasar dan permintaan pasar komoditi tersebut. Kurva penawaran pasar menunjukan jumlah suatu komoditi yang akan ditawarkan oleh penjual pada tingkat harga tertentu. Kurva permintaan pasar menunjukkan jumlah komoditi yang ingin dibeli oleh pembeli pada tingkat harga tertentu. Perpotongan keduanya akan menciptakan harga pasar. Pada saat tertentu, harga pasar aktual atau harga pasar yang diamati, bisa jadi tidak berada pada harga keseimbangan. Namun, kekuatan pasar akan selalu mendorong harga menuju level keseimbangan.

Teori Nilai Tukar

Kegiatan ekspor yang terjadi di pasar internasional tidak terlepas dari masalah nilai tukar. Nilai tukar adalah mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual (Lipsey, 1995). Nilai tukar mata uang ini memengaruhi kebijakan perdagangan antara masing-masing negara pengekspor dan pengimpor. Peningkatan atau penurunan nilai mata uang asing dapat memengaruhi volume ekspor yang diperdagangkan. Bertambah mahal atau murahnya suatu komoditas ekspor di pasar internasional sangat ditentukan oleh nilai tukar mata uang suatu negara. Kebijakan yang berkaitan dengan permintaan ekspor seringkali dilakukan dengan pengaturan nilai tukar. Hal ini karena dengan menggunakan real exchange rate adanya keinginan untuk bekerja dalam batas waktu real dan untuk mengamati pergerakan current account pada kondisi real supply, real demand dan harga riil komoditi.

(38)

18

dua yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang di antara dua negara. Kurs riil adalah kurs nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif (harga-harga dalam negeri yang sudah dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri).

Dampak Pajak Ekspor terhadap Kesejahteraan

Dampak pengenaan pajak ekspor digunakan beberapa asumsi: (1) hanya terdapat dua negara, yaitu negara A sebagai eksportir dan negara B sebagai importi, (2) pajak ekspor yang dikenakan merupakan pajak spesifik, yaitu pajak per unit produk yang akan diekspor dan (3) negara eksportir adalah negara besar dalam perdagangan, sehingga perubahan jumlah ekspor yang dilakukan dapat memengaruhi harga dunia. Pajak ekspor yang dilakukan oleh negara besar akan meningkatkan harga dunia sehingga membuat harga relatif ekspor komoditas menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan impornya, hal ini akan membuat negara tersebut mampu melakukan impor (komoditas lain) lebih banyak karena adanya peningkatan kekayaan dari pajak ekspor (Piermartini 2004). Dampak pengenaan pajak ekspor secara grafis dapat dilihat pada Gambar 5.

Indonesia merupakan negara A karena salah satu eksportir utama biji kakao dunia, memiliki penawaran biji kakao (SA) yang lebih tinggi dibandingkan dengan

permintaannya (DA) sehingga menyebabkan terjadinya excess supply (ES), di sisi

lain negara B merupakan negara importir yang memiliki permintaan biji kakao (DB)

lebih tinggi dibandingkan dengan penawarannya (SB). Ini merupakan kondisi saat

belum terjadi pengenaan pajak ekspor di Indonesia. Pada kondisi ini harga biji kakao dunia adalah sebesar Pw, produksi biji kakao Indonesia sebesar Q2 dan

konsumsi biji kakao domestik sebesar Q1, produksi negara importir sebesar Q3 dan

konsumsi biji kakao negara importir sebesar Q4. Indonesia melakukan ekspor biji

kakao sebesar Q2-Q1 sedangkan negara importir melakukan impor biji kakao

sebesar Q4-Q3. Banyaknya komoditas yang diperdagangkan di dunia (Qe) besarnya

sama dengan jumlah yang ditawarkan (Q2-Q1) dan jumlah yang diminta (Q4-Q3)

pada tingkat harga Pw. Pengenaan pajak ekspor akan membuat penawaran eskpor

biji kakao dari Indonesia menurun besarnya, dari ES menjadi sebesar ESt, sehingga

membuat harga dunia mengalami meningkat dari PW menjadi P’W dan juga

menyebabkan volume perdagangan berkurang dari Qe menjadi Q’e. Pengenaan

pajak ekspor ini akan menurunkan harga biji kakao Indonesia menjadi sebesar P’w -t sehingga membua-t produksi biji kakao berkurang menjadi Q’2 dan akan meningkatkan konsumsi domestik sebesar Q’1. Penurunan produksi dan peningkatan konsumsi domestik akan mengurangi jumlah ekspor biji kakao Indonesia menjadi (Q’2-Q’1). Harga dunia yang meningkat akan meningkatkan produksi biji kakao negara importir menjadi sebesar Q’3 dan menurunkan konsumsi

(39)

19 Q Q

Q

b

c e

d

2

ED PA

P’w-t

Pw

P

SA

DB

ES

SB

P

a P

P’w

Q1

DA

ESt

O

O O

Q’1 Q’2 Q2 Q’e Qe Q3 Q’3 Q’4 Q4

PB

Negara A (Eksportir) Pasar Dunia Negara B (Importir)

Sumber : Tweeten (1992)

Gambar 5 Dampak pemberlakuan pajak ekspor

1 3 4

(40)

20

Berdasarkan uraian sebelumnya, dampak dari penerapan pajak ekspor pada negara eksportir adalah menurunkan harga domestik yang kemudian akan menurunkan produksi domestik, meningkatkan konsumsi domestik, menurunkan volume ekspor meski di sisi lain akan membuat pemerintah mendapatkan pemasukan. Dampak pemberlakuan pajak ekspor di negara importir terlebih dahulu melalui kenaikan harga komoditas dunia. Kenaikan harga dunia akan menyebabkan peningkatan produksi, penurunan konsumsi dan pada akhirnya mengurangi impor di negara importir.

Tabel 4 Dampak pengenaan pajak ekspor terhadap perubahan kesejahteraan Jenis Perubahan Negara Eksportir Negara Importir

Surplus konsumen a+b -1-2-3-4

Surplus produsen -a-b-c-d-e 1

Penerimaan pemerintah d+f ----

Kesejahteraan nasional bersih -c-e+f -2-3-4

Kesejahteraan dunia bersih -e-c-2-4

Sumber: Tweeten (1992)

Dampak dari pengenaan pajak ekspor terhadap perubahan kesejahteraan dapat dilihat melalui perubahan surplus konsumen surplus produsen dan penerimaaan pemerintah seperti terlihat pada Tabel 3. Secara umum dampak pengenaan pajak ekspor akan membuat produsen di negara eksportir menerima harga yang lebih rendah, terlihat dari surplus produsen yang berkurang (-a-b-c-d-e). Hal ini kemudian akan meningkatkan konsumsi domestik yang pada akhirnya akan menurunkan volume ekspor.

Pada kenyataannya, banyak negara-negara berkembang yang hanya memiliki bagian kecil pada ekspor dunia melakukan kebijakan pajak ekspor. Piermartini (2004) menyatakan bahwa jika negara-negara berkembang melakukan kebijakan pajak ekspor, maka negara-negara berkembang tersebut perlu melakukan kerjasama atau koalisi agar kebijakan tersebut dapat sukses. Meski patut diperhatikan bahwa melakukan kerjasama antar negara bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.

Tarif

Koo dan kennedy (2005) menjelaskan bahwa tarif adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah pada suatu komoditas yang melintasi batas negara. Tujuan utama dari adanya pengenaan tarif pada kebijakan bea keluar adalah untuk menjaga ketersediaan bahan baku untuk kebutuhan industri pengolahan di dalam negeri. Adanya tarif ekspor akan membuat harga ekspor suatu komoditas menjadi lebih mahal harganya sehingga diharapkan mampu menurunkan volume ekspornya. Hal lain yang diharapkan dari adanya tarif ekspor adalah sebagai pencegahan untuk politik dumping dan untuk meningkatkan pendapatan negara.

Tarif dapat dikategorikan menjadi:

1. Tarif ad valorem, yaitu presentase tetap dari harga suatu barang. Tarif dapat dihitung dengan: t = ap, dimana a adalah tingkat tarif tetap dalam persen dan p adalah harga dari barang tersebut

Gambar

Tabel 1 Perkembangan nilai ekspor komoditas primer perkebunan tahun 2009-2012
Gambar 1 Ekspor kakao Indonesia menurut 4 digit kode HS
Gambar 3  Pengenaan pajak ekspor
Gambar 4  Perkembangan bea keluar biji kakao
+7

Referensi

Dokumen terkait

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian menjelaskan bagaimana penelitian ini dijalankan yang meliputi hasil analisa dan rincian langkah yang digunakan dalam

Kegiatan dalam tahap perencanaan ini merancang dan merencanakan pembelajaran IPA kelas 4 dengan menyusun RPP materi Wujud benda dan sifatnya dengan menggunakan

pandang berkisar antara 7-8 meter. Bentuk pertum- buhan karang bercabang didominasi oleh Porites c yli n dr ic a , sedangkan bentuk pertumbuhan massive didominasi oleh Porites

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN

Berdasarkan data wawancara dan survei awal bulan Februari 2019 para petambak ikan kerapu khususnya tambak “Kompak bersama” di Kabupaten Batu Bara dimana ketua

Jenis-jenis ektoparasit yang ditemukan pada Ikan cupang ( Betta splendens) dari Kabupaten Aceh Besar dan Banda Aceh yaitu Dactylogyrus sp. dan Lernea sp. Dari jumlah

Pada waktu Belanda datang dengan perilaku penjajahan, Islam sebagai agama telah memainkan peran yang sangat penting dalam memberikan panduan berpikir dan bertindak bagi

Peneliti melakukan penelitian di Pondok putri Darul Huda Mayak dengan alasan bahwa pondok tersebut masih menerapkan peraturan pada santri putri untuk menggunakan pembalut