• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kakao Di Sulawesi Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kakao Di Sulawesi Tengah"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP

DAYA SAING KOMODITAS KAKAO

DI SULAWESI TENGAH

SITI YULIATY CHANSA ARFAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kakao di Sulawesi Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

(4)
(5)

RINGKASAN

SITI YULIATY CHANSA ARFAH. Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kakao di Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh HARIANTO dan SUHARNO.

Provinsi Sulawesi Tengah adalah salah satu pemasok biji kakao Indonesia. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana daya saing komoditas kakao di Sulawesi Tengah dan dampak kebijakan pada input dan output dari komoditas kakao. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix (PAM) dan analisis sensitivitas. Yang dilihat dari nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu dan positif. Nilai PCR untuk Kabupaten Parigi Moutong adalah 0.589 dan Kabupaten Sigi 0.396. Sedangkan nilai DRC antara lain 0.387 (Kabupaten Parigi Moutong) dan 0.319 (Kabupaten Sigi). Hal tersebut mengindikasikan bahwa usahatani kakao di Sulawesi Tengah memiliki daya saing namun tidak menguntungkan secara ekonomi. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan kualitas, produktivitas dan harga jual kakao ditingkat petani. Analisis sensitivitas terhadap input, output dan nilai tukar dengan prediksi berdasarkan skenario di daerah penelitian, masih memiliki daya saing.

(6)

SUMMARY

SITI YULIATY CHANSA ARFAH. The Effect of Government Policies on

Competitiveness Commodities Cocoa in Central Sulawesi. Supervised by HARIANTO and SUHARNO.

Central Sulawesi province is one of the suppliers of Indonesian cocoa. Therefore, it is necessary to study how the competitiveness of cocoa in Central Sulawesi and the impact of policy on the input and output of cocoa. The method used in this study are Policy Analysis Matrix (PAM). As seen from the PCR value and the DRC is less than one and positive. PCR value for Parigi Moutong district is Sigi 0.589 and 0.396. While the value of DRC among others 0.387 (Parigi Moutong) and 0.319 (Sigi). This indicates that cocoa farming in Central Sulawesi are competitive but not economically profitable. Therefore, it is necessary to improve the quality, productivity and sales price of cocoa farm level. The sensitivity analysis against input, output and exchange rate with based perdictions scene in research areas, still have competitiveness.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP

DAYA SAING KMODITAS KAKAO

DI SULAWESI TENGAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia ilmu, kekuatan dan kemauan untuk menjalankan proses penelitian dalam rangka penyelesaian Program Magister pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana IPB. Tanpa izin dan karunia-Nya, tidak mungkin rasanya penelitian ini dapat diselesaikan

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Harianto MS selaku ketua komisi pembimbing, yang senantiasa memberikan arahan, motivasi dan inspirasi serta ilmu yang sungguh luar biasa berharga kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Suharno MADev selaku anggota komisi pembimbing yang senantiasa memberikan arahan, masukan, semangat, dan dorongan motivasi untuk dapat menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang membantu dalam penyelesaian karya ilmiah, yaitu kepada:

1. Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis IPB dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dalam proses pembelajaran selama penulis kuliah.

2. Bapak Dr Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen evaluator pada kolokium dan dosen penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan koreksi dan masukan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini.

3. Bapak Dr Ir Burhanuddin, MM selaku dosen penguji wakil program studi agribisnis dan pimpinan sidang.

4. Ibu Yuni Sulistyawati SAB, Ibu Dewi Martiawaty Utami SPi dan Bapak Yusuf yang membantu proses administrasi tingkat program studi,

5. Bapak Ir Nahyun Biantong, M.Si selaku Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah, Ibu Hilda, SP dan Bapak Ir. Moledon Rubi, M.Si selaku Kasubag Perencanaan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah, serta staff Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tengah, Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, Badan Pusat Stasistik Kabupaten Parigi Moutong, serta Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO) Provinsi Sulawesi Tengah yang telah membantu selama pengumpulan data serta memberi izin selama melakukan penelitian.

6. Bapak Yani Adhyaksa Metubun, SP dan Bapak Armadu selaku penyuluh yang senantiasa membantu penulis dalam penelitian lapang.

7. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku pemberi Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Direktorat Pendidikan Tinggi,

8. Secara khusus kepada kedua orangtua Bapak Moh. Irfan Intje Ote, SE dan

Ibu Dra Ilmawati Dja’afara, M.Si serta kedua adik

Moh. Syukran Irsyad, S.Ars dan Dewi Magfirah terima kasih atas semangat, perhatian dan pengertian kepada penulis, semua nasihat adalah motivasi dan inspirasi terbesar dalam hidup penulis, selalu bersyukur kepada Allah SWT karena telah menghadirkan orang tua sebaik dan seindah bapak dan ibu. Tak lupa kepada seluruh keluarga dan

saudara-saudara khususnya kepada Bapak Dr Ujang Suwarna, S.Hut M.Sc dan Ibu Andi Murniati Tombolotutu atas doa dan motivasinya. Tesis ini

(14)

jawab penulis atas segala cinta, kasih sayang, dukungan, semangat, pengorbanan, keikhlasan, kesabaran dan lantunan doa untuk hidup, kebahagiaan, keberhasilan dan masa depan penulis. Kalian adalah penyemangat yang mengajarkan arti sebuah perjuangan hidup berbekal kesabaran dan rasa syukur.

9. Bapak (Alm) Dr Ir Marwan Yantu, MS dan Ibu Sisfahyuni, SP, M.Si selaku dosen Universitas Tadulako yang banyak memberikan arahan dan bantuan kepada penulis selama penelitian.

10.Kakak Angga Yudhistira dan Kakak Siti Maryam selaku senior yang dengan sabar memberikan arahan kepada penulis serta memberikan wawasan yang luas tentang dunia pendidikan.

11.Sahabat-sahabat Ihdiani Abubakar, Devi Agustia, Dewi Cahyanti Wahyuningsih, Sartika Sari Utami, Hesti Nuryuliani, Venty Hardiyanti Mas, Fitriani, Apriani, Illa Arifah, Nursyam, Khusnul Khatima, Yusran, Zulkifli, Ardiyansyah, Irwansyah Simin, Moh. Taufik Hardian, dan Moh. Rizki terima kasih telah memberikan dukungan motivasi dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

12.Sahabat-sahabat Rumah Agribisnis Ratih Apri Utami, Dian Fauzi, Khairum Rahmi, Amri Syahardi, Luthfi Nur’azkiya, dan Timbul Rasoki kalian tempat berbagi keceriaan, melewati suka dan duka dalam perkuliahan, menjadi penyemangat dan menemani setiap hari. Kalian bukan hanya sekedar sahabat tapi sudah seperti saudara dalam perantauan. 13.Rekan-rekan Magister Sains Agribisnis (MSA) Angkatan 4 IPB,

teman-teman HIMPAST, dan teman-teman-teman-teman Forum Wacana Bersama terima kasih atas segala dukungan dan motivasinya.

14.Seluruh pihak yang telah membantu dan tidak mungkin disebutkan satu per satu.

Mudah-mudahan seluruh bantuan dan kebaikan yang telah diberikan mendapat ridho dari Allah SWT.

Terlepas dari masukan berbagai pihak, segala kekurangan tetap menjadi tanggung jawab penulis. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2016

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Tinjauan Konseptual Daya Saing 9

Metode Daya Saing 11

Studi Empiris Kakao di Indonesia 15

Perdagangan Internasional Kakao 18

Ukuran Keunggulan Komparatif dan Kebijakan Pemerintah 19 Pengaruh Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing 20

3 KERANGKA PENELITIAN 22

Kerangka Teoritis 22

Konsep Daya Saing 22

Konsep Keunggulan Komparatif 24

Konsep Keunggulan Kompetitif 25

Konsep Efisiensi 25

Konsep Kebijakan Pemerintah 25

Kebijakan Pemerintah pada Harga Output 29

Kebijakan Pemerintah pada Harga Input 30

Policy Analysis Matrix (PAM) 32

Harga Bayangan (Social Opportunity Cost) 34

Teori Sensitivitas 35

Kerangka Pemikiran Operasional 35

4 METODE PENELITIAN 38

Lokasi dan Waktu Penelitian 38

Jenis dan Sumber Data 38

Metode Pengambilan Responden 38

Metode Analisis Data 39

Policy Analysis Matrix 39

Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing 45

Analisis Sensitivitas 46

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 47

Gambaran Umum Wilayah Penelitian 47

Kabupaten Parigi Moutong 47

Kabupaten Sigi 47

Karakteristik Petani Responden 48

Gambaran Umum Usahatani Kakao di Lokasi Penelitian 51

Varietas Kakao dan Cara Tanam 52

(16)

Pemeliharaan 54

Panen 55

Gambaran Umum Pemasaran Komoditas Kakao di Lokasi Penelitian 55

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 57

Analisis Daya Saing Kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Sigi 60

Analisis Keunggulan Kompetitif 60

Analisis Keunggulan Komparatif 61

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Kakao

di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 63

Dampak Kebijakan Output 63

Dampak Kebijakan Input 65

Dampak Kebijakan Input-Output 67

Analisis Sensitivitas 68

Dampak Perubahan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika

yang Melemah Sebesar Enam Persen 68

Dampak Perubahan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika

yang Menguat Sebesar Enam Persen 70

Dampak Penngkatan Harga Kakao Domestik Sebesar 19 Persen 71 Dampak Penurunan Harga Kakao Domestik Sebesar 19 Persen 72 Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea Sebesar 33 Persen dan

Pupuk SP-36 Sebesar 29 Persen 73

Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Petani 74

7 SIMPULAN DAN SARAN 75

Kesimpulan 75

Saran 75

DAFTAR PUSTAKA 76

LAMPIRAN 82

(17)

DAFTAR TABEL

1 Produksi biji kakao dunia 1

2 Luas areal dan produksi perkebunan kakao Indonesia tahun 2000-2015 2 3 Nilai ekspor kakao dan produk kakao Indonesia tahun 2000-2011 3

4 Harga kakao dunia 4

5 Luas lahan dan produksi kakao berdasarkan provinsi, 2013 5 6 Luas panen, produksi dan produktivitas kakao di Sulawesi Tengah 6

7 Kualitas kakao berstandar internasional 7

8 Tipe alternatif kebijakan pemerintah 26

9 Policy analysis matrix (PAM) 34

10 Luas lahan dan produksi kakao berdasarkan kabupaten di Sulawesi Tengah 39

11 Tabulasi matrix analisis kebijakan 41

12 Sebaran responden berdasarkan usia di Kabupaten Parigi Moutong

dan Kabupaten Sigi 49

13 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan di Kabupaten

Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 49

14 Sebaran responden berdasarkan pengalaman berusahatani di Kabupaten

Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 50

15 Sebaran responden berdasarkan luas lahan di Kabupaten

Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 51

16 Sebaran responden berdasarkan umur tanaman di Kabupaten

Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 51

17 Luas wilayah daratan, areal tanam menghasilkan dan produksi kakao

Sulteng menurut kabupaten dan kota 45

18 Policy AnalysisMatrix (PAM) pada usahatani komoditas kakao

Di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 57

19 Rasio biaya privat dan keuntungan privat usahatani komoditas kakao

Di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 60

20 Rasio biaya sumberdaya domestik dan keuntungan sosial usahatani

Komoditas kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 61 21 Transfer output dan koefisien proteksi output nominal usahatani

komoditas kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 63 22 Harga privat dan sosial biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan

Kabupaten Sigi 64

23 Transfer input dan koefisien proteksi input nominal usahatani

komoditas kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 65 24 Biaya tenaga kerja usahatani kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan

Kabupaten Sigi pada harga privat 66

25 Koefisien proteksi efektif, transfer bersih, koefisien keuntungan dan rasio subsidi produsen pada usahatani komoditas kakao di Kabupaten

Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 67

26 Perubahan Indikator Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Bila nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Melemah Sebesar Enam

(18)

27 Perubahan Indikator Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Bila Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Menguat Sebesar Enam Persen, di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 70 28 Perubahan Indikator Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Bila

Harga Kakao Domestik Meningkat Sebesar 19 Persen, di Kabupaten

Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 71

29 Perubahan Indikator Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Bila Harga Kakao Domestik Menurun Sebesar 19 Persen, di Kabupaten Parigi

Moutong dan Kabupaten Sigi 72

30 Perubahan Indikator Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Ketika Terjadi Kenaikan Harga Pupuk Urea Sebesar 33 Persen dan Pupuk SP-36 Sebesar 29 Persen, di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 73

31 Nilai Net Present Value pada Usahatani kakao 74

DAFTAR GAMBAR

1 Aliran perdagangan internasional 23

2 Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor 29

3 Pajak dan subsidi pada input tradable 31

4 Pajak dan subsidi pada input non tradable 32

5 Kerangka pemikiran operasional 37

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis keuntungan usahatani kakao di Kabupaten

Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi 82

2 Alokasi biaya komponen domestik dan asing pada sistem

Usahatani kakao 83

3 Perhitungan standar convertion factor dan shadow price exchange rate 84 4 Perhitungan harga bayangan biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong 85 5 Perhitunagan harga bayangan biji kakao di Kabupaten Sigi 85

6 Perhitungan harga bayangan pupuk 86

7 Budget privat dan budget sosial usahatani komoditas kakao

di Kabupaten Parigi Moutong 87

8 Budget privat dan budget sosial usahatani komoditas kakao

(19)
(20)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sub sektor perkebunan merupakan subsektor pendukung utama yang berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber bahan baku industri, dan sumber kebutuhan pokok serta penyumbang devisa bagi Negara. Komoditas perkebunan Indonesia yang cukup potensial adalah kakao. Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional sebagai sumber devisa negara terbesar ketiga dari

subsektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar US Dollar 667 juta pada tahun 2005.

Dalam konteks dunia, kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Pada tahun 2013 komoditi kakao tercatat memberikan sumbangan devisa sebesar US$ 794.8 juta. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara produsen kakao terbesar ketiga didunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan luas areal 1852.9 ribu ha dan produksi 777.5 ribu ton (BPS 2014 dan ICCO 2014).

Tabel 1 Produksi Biji Kakao Dunia (ribu ton)

Negara 2011/2012 2012/2013 2013/2014

AFRIKA

Sumber : International Cocoa Organization (2014)

Tahun 2011 sampai tahun 2013, Indonesia tetap menjadi produsen kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Dan saat ini Indonesia menjadi produsen bahan baku kakao kedua setelah Pantai Gading dengan menguasai 6 persen pasar dunia (ICCO 2014).

(21)

mutu tanaman ekspor dalam rangka mempertahankan pangsa pasar internasional yang sudah ada serta penetrasi pasar yang baru. Sesuai dengan tujuan pemerintah yang menjadikan kakao sebagai komoditas ekspor andalan, produksi kakao yang tinggi menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen dan eksportir biji kakao terbesar di dunia. Ekspor kakao didorong dari sisi permintaan, yakni adanya pertumbuhan konsumsi dunia akan kakao selama sepuluh tahun terakhir, yaitu sebesar rata-rata 3 persen per tahun (Damayanti 2012). Jika konsumsi dunia meningkat, maka ekspor kakao Indonesia juga meningkat karena adanya peningkatan permintaan di negara importir. Permintaan konsumen akan produk kakao meningkat sejalan dengan peningkatan ekspornya (Gilber dan Varangis 2003). Alasan peningkatan permintaan kakao antara lain banyaknya hasil studi yang menunjukkan dampak positif mengkonsumsi dark chocolate yang kaya antioksidan, yaitu menurunkan resiko penyakit jantung, kanker kolon, dan diabetes, dapat menurunkan tekanan darah, serta menunda penuaan (Carnésecchi et al. 2001; Engler dan Engler 2004; Fisher et al. 2004).

Produksi kakao yang relatif meningkat dari tahun ke tahun didorong oleh adanya peningkatan konsumsi kakao dunia. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah penduduk dunia dan pengaruh perbaikan ekonomi atau tingkat kesejahteraan masyarakat. Produksi kakao yang terus meningkat dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kakao Indonesia Tahun 2000-2015 Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas

2000

Negara tujuan utama ekspor kakao dari Indonesia adalah Malaysia, Singapura, Amerika, China dan Brazil yang menguasai sebesar 93.1 persen. Nilai ekspor komoditas kakao sepuluh tahun terakhir yaitu dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2011, terus mengalami peningkatan. Walaupun nilai impor juga terus mengalami peningkatan sebagaimana terlihat pada Tabel 3.

(22)

105 juta. Pada tahun 2011 nilai ekspor kakao Indonesia terjadi penurunan. Tercatat juga bahwa total nilai ekspor dunia juga mengalami penurunan dari tahun 2010 cukup besar. Hal ini terjadi karena permintaan negara-negara Eropa menurun sebagai akibat krisis ekonomi di kawasan tersebut. Hal ini juga berimbas pada permintaan negara-negara lainnya sebagai mitra dagang Eropa seperti Cina. Dengan menurunnya permintaan dari Cina maka berarti menurun pula permintaan kakao dari Indonesia. Tahun 2011 nilai ekspor kakao Malaysia lebih tinggi dibanding nilai ekspor kakao Indonesia (Ragimun 2012).

Tabel 3 Nilai Ekspor Kakao dan Produk Kakao Indonesia Tahun 2002-2011 Ghana. Pada umumnya ekspor kakao negara-negara ini sudah melalui fermentasi sehingga harganya lebih tinggi dibanding dengan yang belum difermentasi. Artinya kualitas ekspor kakao Indonesia perlu ditingkatkan guna meningkatkan nilai tambah ekspor, salah satunya melalui fermentasi. Diperkirakan bila melalui fermentasi nilai tambah ekspor kakao per kg bertambah Rp 3 000. Saat ini di

dalam negeri harga kakao berkisar antara Rp 15 000 per kg sampai dengan Rp 24 000 per kg (Ragimun 2012).

Hambatan ekspor saat ini yang banyak dikeluhkan para pelaku kakao adalah diterapkannya Bea Keluar. Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) menyantumkan tarif bea keluar ekspor biji kakao bila harga 2 000-2 750 dollar AS per ton dikenai pajak 5 persen. Untuk harga 2 750-3 500 dollar AS per ton, dikenai pajak 10 persen, sedangkan harga diatas 3 500 dollar AS per ton maka bea keluarnya 15 persen. Harga ekspor ini disesuaikan dengan fluktuasi tarif internasional dari bursa berjangka di New York (Syadullah 2012).

(23)

York. Hal tersebut mengakibatkan posisi Indonesia sebagai Negara penghasil 5 komoditi hanya menjadi penerima harga (price taker). The London Financial Futures Exchange (LIFFE) dan The New York Board of Trade (NYBOT) merupakan lantai bursa perdagangan berjangka utama untuk komoditi kakao. Perdagangan pada bursa tersentralisasi ini dipercaya dapat meningkatkan transparansi pasar. Semua pedagang baik aktual maupun potensial memiliki akses yang sama kepada harga yang terbentuk (Danil 2012).

Tabel 4 Harga Kakao Dunia

BULAN US$/TON

September 2013 Oktober 2013 November 2013 Desember 2013 Januari 2014 Februari 2014 Maret 2014 April 2014 Mei 2014 Juni 2014 Juli 2014 Agustus 2014

2616.05 2730.70 2755.17 2824.54 2819.43 2994.36 3041.67 3050.61 3030.00 3174.33 3196.04 3270.27

Sumber : International Cocoa Organization (2014)

Hal yang sangat menentukan tingkat harga di pasar internasional adalah mutu biji kakao. Oleh karena itu perlu adanya perhatian produsen kakao Indonesia terhadap kualitas biji kakao yang diekspor. Harga biji kakao Indonesia relatif rendah dan dikenakan potongan harga dibandingkan dengan harga produk sama dari negara produsen lain. Pokok utama permasalahan rendahnya nilai mutu kakao Indonesia di pasar internasional disebabkan antara lain hama dan umur tanaman yang sudah sangat tua. Di pasar dunia terutama Eropa, mutu kakao Indonesia dinilai rendah karena mengandung keasaman yang tinggi, rendahnya senyawa prekursor flavor, dan rendahnya kadar lemak, sehingga harga kakao Indonesia selalu mendapatkan potongan harga cukup tinggi sekitar 15 persen dari rata- rata harga kakao dunia (Danil 2012).

Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi pemasok kakao biji

(24)
(25)

Tabel 6 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kakao di Sulawesi Tengah 2008-2012

No. Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

1. 2009 224 113 137 651 0.61

2. 2010 224 471 186 875 0.83

3. 2011 195 725 168 859 0.86

4. 2012 295 874 181 523 0.61

5. 2013 284 124 195 846 0.68

Rata-rata 197 052 155 638 0.815

Sumber : Provinsi Sulawesi Tengah dalam Angka 2013.

Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa produksi kakao mengalami fluktuasi, kondisi ini disebabkan oleh adanya perubahan peningkatan luas panen tiap tahun, faktor cuaca, dan iklim yang tidak menentu, gangguan hama dan penyakit yang menyerang tanaman kakao dan teknik budidaya yang masih rendah. Selain itu, harga-harga input produksi yang fluktuatif juga mempengaruhi penyebab produksi yang fluktuatif.

Kualitas sebagai indikator dayasaing sangat memengaruhi tingkat harga. Oleh karena itu, ketika kakao Indonesia dinilai berkualitas rendah secara otomatis harga yang ditetapkannya pun akan berada di bawah harga kakao yang berlaku di tingkat dunia. Rendahnya kualitas kakao Indonesia yaitu 85 persen dari total produksi adalah kakao yang tidak terfermentasi. Kualitas yang rendah dicirikan oleh kandungan asam yang tinggi, rendahnya senyawa prekursor flavour, dan rendahnya kadar lemak. Hal ini juga yang menjadi alasan utama mengapa harga biji kakao Indonesia dikenakan potongan yang cukup tinggi yaitu sekitar 10

sampai dengan 15 persen dari harga pasar dunia atau terkena diskon sampai USD 200 per ton (Syadullah 2012).

Perumusan Masalah

Sistem perdagangan internasional menghadapkan dunia pada banyak pilihan. Produk atau komoditas yang memiliki daya sainglah yang akan terpilih oleh konsumen dunia. Daya saing sangat identik dengan kualitas sedangkan harga merupakan indikator utama dari kualitas. Oleh karena itu, komoditas yang berkualitas tinggi akan dinilai dengan harga yang tinggi dan begitu juga sebaliknya.

(26)

beban pajak impor produk kakao (5 persen), kondisi tersebut telah menyebabkan jumlah pabrik olahan kakao Indonesia terus menyusut (Suryani 2007). Selain itu para pedagang (terutama trader asing) lebih senang mengekspor dalam bentuk biji kakao (non olahan). Berdasarkan fakta tersebut, komoditas-komoditas Indonesia yang berorientasi ekspor harus memiliki daya saing agar dapat diterima oleh konsumen dunia. Kakao merupakan salah satu komoditas Indonesia yang berorientasi ekspor sehingga akan menghadapi persaingan di pasar internasional. Oleh karena itu perlu adanya pengkajian mengenai daya saing kakao Indonesia.

Pengusahaan kakao di Indonesia dilaksanakan oleh tiga pihak yaitu Perkebunan rakyat, Perkebunan Negara, dan Perkebunan Swasta. Perkebunan rakyat merupakan perkebunan penghasil kakao terbesar di Indonesia dengan luas lahan mencapai 92 persen dari total keseluruhan luas areal perkebunan Indonesia, sedangkan sisanya merupakan perkebunan swasta dan perkebunan Negara. Perkebunan rakyat sebagai produsen kakao dengan luas lahan terbesar dibandingkan perkebunan Negara dan swasta tentu akan menghasilkan kakao dalam jumlah yang paling besar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kakao Indonesia yang dinilai berkualitas rendah di pasar dunia karena tidak terfermentasi

secara sempurna (unfermented) berasal dari perkebunan rakyat (Aliyatillah dan Kusnadi 2011).

Di sisi lain, kakao Indonesia ternyata tidak keseluruhannya berkualitas rendah. Kakao yang telah terfermentasi dengan sempurna bahkan memiliki kualitas berstandar internasional mampu dihasilkan oleh produsen kakao Indonesia yaitu perkebunan negara. Hal ini tidak terlepas dari teknik budidaya kakao yang benar serta adanya teknologi pengolahan terutama fermentasi yang sempurna. Tabel 7 menunjukkan kualitas kakao yang berstandar Internasional.

Tabel 7 Kualitas Kakao Berstandar Internasional

No. Karakteristik Mutu A Mutu B Standar

Sulawesi Tengah merupakan salah satu produsen penghasil kakao terbesar di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai daya saing pengusahaan komoditas kakao di Sulawesi Tengah serta mengetahui posisi spesialisasi Indonesia sebagai negara spesialisasi importir atau eksportir kakao serta mengetahui kerentanan terhadap pasar atau ketergantungan pada negara tertentu. Selanjutnya dapat ditentukan upaya-upaya strategis peningkatan daya saing kakao Indonesia di pasar internasional melalui dukungan kebijakan fiskal.

(27)

seperti tarif, kuota, subsidi, dan pajak. Kebijakan tersebut erat kaitannya dengan output dan input pengusahaan komoditas kakao. Penurunan secara signifikan oleh ekspor biji kakao Indonesia sebesar 48.4 persen terutama disebabkan oleh pelaksanaan pajak ekspor biji kakao pada bulan April 2010 (Rifin 2013).

Kebijakan pemerintah yang ada juga akan mempengaruhi daya saing komoditas kakao di Sulawesi Tengah sebagai produsen terbesar kakao biji Indonesia. Kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap input dan output pengusahaan komoditas kakao di Sulawesi Tengah. Kebijakan yang mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan meningkatkan daya saing komoditas kakao, sedangkan kebijakan yang mengakibatkan biaya input menjadi naik dan nilai guna output menurun akan menurunkan juga daya saing. Oleh karena itu, maka diperlukan analisis kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing pengusahaan komoditas kakao di Sulawesi Tengah.

Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana keuntungan (profitabilitas) dari kegiatan usahatani komoditas kakao?

2. Bagaimana daya saing komoditas kakao di pasar internasional ?

3. Adakah divergensi dan dampak kebijakan (distorsi pasar) pada input dan output dari komoditas kakao?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan kegiatan penelitian ini terdiri dari tujuan umum dan khusus yang saling mendukung. Secara umum tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi daya saing komoditas kakao di pasar internasional.

2. Sebagai bahan pertimbangan kepada pemerintah untuk menyusun rencana aksi (action plan) dalam pengembangan komoditas kakao di Sulawesi Tengah.

Untuk mencapai tujuan umum tersebut didekati melalui tujuan khusus sebagai berikut :

1. Mengkaji keuntungan (profitabilitas) dari kegiatan usahatani komoditas kakao.

2. Mengkaji daya saing komoditas kakao di pasar internasional.

3. Mengkaji divergensi dan dampak kebijakan (distorsi pasar) pada input dan output dari komoditas kakao.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah :

(28)

terjadi pada daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

2. Bagi pelaku agribisnis, penelitian ini dapat menambah referensi mengenai daya saing komoditas kakao dan pengambilan keputusan pengembangan usaha.

3. Bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hasil analisis dampak kebijakan pemerintah diharapkan dapat menjadi acuan dan bahan pertimbangan dalam merumuskan dan mengimplementasikan instrumen– instrument kebijakan yang lebih efektif dan efisien bagi pengembangan agribisnis kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian dari studi mengenai “Pengaruh Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Komoditas Kakao di Sulawesi Tengah” ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini hanya sebatas menganalisis tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani pada agribisnis kakao di Sulawesi Tengah.

2. Penelitian ini hanya sebatas menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kakao di Sulawesi Tengah.

3. Analisis dilakukan pada tingkat usahatani di Kabupaten Parigi Moutong yang merupakan kabupaten dengan jumlah produksi kakao terbesar di Sulawesi Tengah.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Konseptual Daya Saing

(29)

komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya.

Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh teori biaya imbangan (theory opportunity cost). Argumentasi dasarnya adalah bahwa harga relatif dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh perbedaan biaya. Biaya di sini menunjukkan produksi komoditas alternatif yang harus dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang bersangkutan. Selanjutnya teori Heckscer Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan bahwa Komoditi-komoditi yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam produksi yang sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor (Ohlin,1933: hal. 92 dalam Lindert dan Kindleberger, 1993 dalam Saptana et.al, 2006).

Keunggulan komparatif suatu produk sering dianalisis dengan Domestic Resource Cost (DRC) atau Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Biaya Sumberdaya Domestik adalah ukuran biaya imbangan sosial dari penerimaan satu unit marginal bersih devisa, diukur dalam bentuk faktor-faktor produksi domestik yang digunakan baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu aktivitas ekonomi. Pendekatan ini sangat umum digunakan pada komoditas pertanian seperti yang dilakukan oleh Suryana (1980); Rosegrant et.al (1987); Saptana (1987); Simatupang (1990); Warr (1992); Kasryno (1990); Saptana et.al (2001); Rachman et.al (2004); Rusastra et.al (2004); Saliem et.al (2003) dan Saptana et.al (2004). Guna memperoleh indikator pengukur daya saing yang lebih lengkap digunakan Policy Analysis Matrix yang dikembangkan oleh Monke dan Pearson (1995). Menurut Simatupang (1991) maupun Sudaryanto dan Simatupang (1993), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam arti daya saing yang akan dicapai pada perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Aspek yang terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan yang terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Sudaryanto dan Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif atau Revealed Competitive Advantage (RCA) yang merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual.

(30)

Metode Daya Saing

Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai daya saing suatu komoditas pertanian yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya antara lain Revealed Comparative Adventage (RCA), Berlian porter, Export Product Dynamic (EPD), An Almost Ideal Demand System (AIDS) dan Policy Analysis Matrix (PAM). Beberapa metode ini dapat digunakan sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan.

Revealed Competitive Adventage (RCA) dapat digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas dalam kondisi perekonomian aktual, (Karim dan Ismail 2007). Banyak penelitian yang berkaitan dengan penetapan komoditas di daerah tertentu untuk meningkatkan daya saing karena banyak manfaat yang dihasilkan, terutama untuk meningkatkan perekonomian daerah berbasiskan sumberdaya lokal (Sembiring 2009). Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk melihat pentingnya penetapan komoditas daerah dalam meningkatkan daya saing seperti daerah Brebes Jawa Tengah yang memiliki potensi tanaman kakao (Purmiyanti 2002). Semakin tinggi nilai indeks RCA maka negara atau komoditas tersebut semakin berdayasaing (Arifin 2013). Pengukuran dayasaing komoditas pertanian di berbagai negara dengan menggunakan metode RCA ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya Arifin (2013), Amirteimoori dan Chizari (2008), Lakra et al. (2014), dan Sahinli (2012). Arifin (2013) dan Lakra et al. (2014) mengukur dayasaing beberapa komoditas pertanian yang menjadi unggulan di negaranya. Arifin (2013) menganalisis keunggulan komparatif beberapa komoditas unggulan ekspor pertanian Indonesia di antaranya kakao, karet alam, kopi, kacang mete, dan mangga. Sementara itu, Lakra et al. (2014) menganalisis keunggulan komparatif beberapa komoditas pertanian unggulan di India seperti beras, teh, tembakau, rempah-rempah, kacang tanah, kopi, buah segar, sayuran, kapas dan gula. Hasil penelitian Arifin (2013) menunjukkan semua komoditas berdayasaing, sedangkan penelitian Lakra et al. (2014) menunjukkan tidak semua komoditas tersebut memiliki keunggulan komparatif.

Amirteimoori dan Chizari (2008) mengukur keunggulan komparatif ekspor pistachio di Iran dari tahun 2000-2004. Dari hasil analisis diketahui bahwa ekspor pistachio memiliki keunggulan komparatif sepanjang tahun 2000-2004, namun setiap tahunnya indeks RCA berubah-ubah. Menurut Amirteimoori dan Chizari (2008) perubahan indeks RCA dikarenakan terjadi penurunan pada nilai ekspor. Desain penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Sahinli (2012). Sahinli (2012) membandingkan keunggulan komparatif 420 komoditas pertanian dari dua negara yaitu Turki dan Uni Eropa dengan menggunakan RCA. Hasil penelitian menunjukkan Uni Eropa memiliki keunggulan komparatif lebih tinggi daripada Turki.

(31)

negara mengekspor komoditas yang sama dengan yang diamati (Saptana 2010). Nilai RCA ini bisa berubah-ubah setiap tahunnya karena nilainya bergantung pada volume atau nilai ekspor negara atau komoditas tersebut. Aplikasi RCA juga terbatas pada komoditas ekspor saja. Mzumara et al. (2012) menambahkan bahwa RCA tidak dapat menunjukkan darimana keunggulan komparatif tersebut berasal.

Berbeda dengan metode Revealed Competitive Adventage (RCA), metode Berlian Porter (Porter’s Diamond) digunakan untuk mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas, Berlian Porter (Porter’s diamond) adalah model yang diciptakan oleh Michael Porter untuk membantu dalam memahami konsep keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu negara, berbeda dengan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) yang menyatakan bahwa suatu negara tidak perlu menghasilkan suatu produk apabila produk tersebut telah dapat dihasilkan oleh negara lain dengan lebih baik, unggul, dan efisien secara alami, konsep keunggulan kompetitif adalah sebuah konsep yang menyatakan bahwa kondisi alami tidaklah perlu untuk dijadikan penghambat karena keunggulan pada dasarnya dapat diperjuangkan dan dikompetisikan dengan berbagai perjuangan dan keunggulan suatu negara bergantung pada kemampuan perusahaan-perusahaan di dalam negara tersebut untuk berkompetisi dalam menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar.

Suatu komoditas mungkin saja dinyatakan berdaya saing dengan analisis deskriptif kualitatif atau kuantitatif, akan tetapi jika dianalisis dengan metode Berlian Porter ternyata tidak berdaya saing, seperti penelitian yang dilakukan oleh Fadillah (2011) yang menggunakan metode Teori Berlian Porter untuk menganalisis daya saing komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi. Selain menggunakan Metode Berlian Porter yang digunakan untuk analisis deskriptif kualitatif, peneliti juga menggunakan Analisis Location Quotient (LQ) untuk menganalisis data secara kuantitatif. Hasil perhitungan nilai LQ menunjukkan bahwa ikan Kuwe, Tembang, Lisong, Cakalang, Albaroka, Madidihang, Tuna Mata Besar, Layu Kakap Putih, dan Belanak memiliki keunggulan secara komparatif di Kabupaten Sukabumi. Sedangkan berdasarkan Metode Berlian Porter disimpulkan bahwa komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi belum memiliki daya saing yang optimal karena masih terdapat kendala dalam tiap komponen daya saing yang diteliti. Oleh karena itu manfaat penggunaan metode berlian porter dalam menilai daya saing sebuah komoditas dapat memberikan gambaran yang lebih jelas karena analisis yang dilakukan terhadap komoditas tersebut lebih komprehensif.

(32)

kedalam empat kategori. Kategori tersebut adalah rising star, lost opportunity, falling star dan retreat. Posisi pasar yang paling diharapkan suatu negara adalah posisi rising star karena menunjukkan dayasaing yang tinggi. Pada posisi ini jumlah ekspor produk mengalami peningkatan dan pangsa pasar (permintaan) ekspor produk di pasar dunia atau pasar negara tujuan juga sedang mengalami peningkatan. Pengukuran dayasaing komoditas pertanian di berbagai negara dengan menggunakan metode EPD ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya Hasibuan et al. (2012), Kanaya dan Firdaus (2014) dan Pradipta dan Firdaus (2014).

Hasibuan et al. (2012) meneliti mengenai dayasaing perdagangan biji kakao dan produk kakao olahan Indonesia di pasar internasional. Hasibuan et al. (2012) menunjukkan bahwa biji kakao, kakao pasta, kakao butter dan kakao bubuk tanpa tambahan memiliki dayasaing yang tinggi karena berada pada posisi pasar rising star. Sementara itu, kakao bubuk dengan tambahan dan kelompok bahan makanan yang mengandung coklat masuk pada posisi pasar lost opportunity dimana terjadi kehilangan pagsa pasar produk tersebut di pasar dunia. Berbeda dengan Hasibuan et al. (2012), Kanaya dan Firdaus (2014) meneliti mengenai dayasaing ekspor produk biofarmaka Indonesia pada beberapa negara tujuan tertetentu. Hasil penelitian Kanaya dan Firdaus (2014) menunjukkan bahwa setiap komoditas biofarmaka yang diteliti memiliki posisi pasar yang berbeda-beda di setiap negara tujuan ekspor. Sebagai contoh, posisi terbaik pasar kunyit dari Indonesia berdasarkan indikator rising star berada pada pasar India, Singapura, Malaysia, Belanda, dan Korea. Sedangkan posisi pasar kunyit dari Indonesia di negara Jepang, Hong Kong dan Saudi Arabia berada pada posisi falling star. Senada dengan Kanaya dan Firdaus (2014), Pradipta dan Firdaus (2014) juga menunjukkan posisi pasar ekspor buah-buahan dari Indonesia ke beberapa negara tujuan ekspor berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan ekspor buah-buahan di Indonesia dan pertumbuhan permintaan ekspor buah-buah-buahan di negara tujuan.

Penggunaan metode EPD sebagai indikator untuk menentukan dayasaing suatu produk memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari penggunaan metode EPD untuk pengukuran dayasaing yaitu dapat menentukan posisi pasar produk ekspor dari suatu negara di pasar dunia atau di pasar tujuan tertentu. Produk ekspor yang diakomodasi dalam metode ini tidak hanya untuk satu jenis produk ekspor saja akan tetapi dapat digunakan untuk lebih dari satu produk ekspor. Akan tetapi, metode EPD ini memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak dapat menunjukkan interaksi atau hubungan persaingan antar negara eksportir untuk produk yang sama di pasar tujuan. Suatu produk yang diimpor oleh suatu negara sangat memungkinkan diperoleh dari lebih dari satu negara eksportir. Metode EPD ini tidak mengakomodasi bagaimana pola persaingan antar negara eksportir tersebut. Selain itu pada metode EPD ini, produk yang dianalisis juga hanya terbatas pada produk yang berorientasi ekspor.

(33)

model AIDS ini dapat memperlihatkan hubungan persaingan perdagangan komoditas pertanian antar negara yaitu saling bersubstitusi atau komplementer. Contoh dari hubungan substitusi adalah hubungan antara Australia dengan Amerika Serikat pada pasar ekspor kapas di Jepang (Chang dan Nguyen 2002). Hubungan substitusi menggambarkan adanya persaingan antar kedua negara di pasar tujuan. Selain hubungan substitusi, dua negara juga bisa berhubungan saling komplementer yang menunjukkan bahwa kedua negara tidak saling bersaing. Hasil temuan Rifin (2013) mengenai ekspor biji kakao di dunia menunjukkan bahwa Indonesia dengan Ghana memiliki hubungan saling komplementer. Rifin (2010) juga menemukan hubungan serupa untuk ekspor minyak sawit dari Indonesia dengan Malaysia.

Model AIDS juga memungkinkan untuk mengukur pengaruh elastisitas harga dan pengeluaran terhadap pangsa ekspor. Rifin (2013) menunjukkan bahwa ekspor kakao Indonesia tidak peka terhadap perubahan harga (inelastis), tetapi Indonesia peka terhadap perubahan permintaan ekspor kakao dunia. Penelitian Chang dan Nguyen (2002) menunjukkan bahwa permintaan kapas dari Australia sensitif terhadap perubahan harga sedangkan permintaan kapas dari Amerika Serikat sensitif terhadap perubahan pendapatan. Keunggulan dari Model AIDS ini yaitu dapat menunjukkan bagaimana kondisi persaingan perdagangan antar negara dan memungkinkan untuk mengukur pengaruh elastisitas harga dan pengeluaran terhadap pangsa ekspor. Metode ini menggunakan pendekatan yang sama dengan RCA yaitu menggunakan pangsa pasar relatif. Metode ini menggunakan data deret waktu sehingga dapat dilihat pola persaingan antar kedua negara. Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat menunjukkan secara spesifik bagaimana dayasaing dari komoditas yang dimaksud serta apa saja yang mempengaruhinya. Selain itu, metode ini juga tidak mengakomodasi pengaruh kebijakan pemerintah di dalam negeri terhadap persaingan pasar di luar negeri.

Selain keempat metode diatas, yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing, terdapat juga metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang menggunakan tiga analisis ukuran yakni keuntungan privat, keuntungan sosial atau ekonomi, dan analisis daya saing berupa keunggulan komparatif dan kompetitif serta analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas. Pendekatan untuk meningkatkan daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut.

Keuntungannya dapat dilihat dari dua hal, yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dengan analisis perbedaan harga finansial dan ekonomi dapat diketahui nilai daya saing suatu komoditas dan bagaimana dampak kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap penerimaan petani (Ugochukwu dan Ezedinma 2011 Kasimin dan Suyanti 2012).

(34)

bersifat statis (Morrison dan Balcombe 2002, Kapaj et al. 2010, Saptana 2010), membutuhkan data yang cukup komperhensif dan akurat (Morrison dan Balcombe 2002, Saptana 2010) dan sulit dalam menentukan harga bayangan (Joubert 2010). Analisis PAM mengasumsikan variabel ekonomi dalam keadaan tetap atau tidak berubah. Hal tersebut menyebabkan analisis PAM bersifat statis sehingga bisa berubah antar waktu karena adanya perubahan pada aspek produksi maupun kebijakan. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan analisis sensitivitas dengan melakukan beberapa skenario perubahan baik pada produksi, harga, maupun perubahan kebijakan pemerintah. Beberapa skenario dalam analisis sensitivitas di antaranya peningkatan nilai tukar, peningkatan harga dunia, penurunan faktor domestik, dan penurunan biaya input tradable (Amirteimoori dan Chizari 2008).

Dari beberapa metode yang telah dijelaskan di atas, masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan jika digunakan dalam suatu penelitian tertentu. Oleh karena itu perlu diperhatikan dengan baik tujuan penelitian yang akan dilakukan sebelum menentukan metode analisis daya saing yang ada agar pemilihan metode yang ditetapkan sesuai.

Studi Empiris Kakao di Indonesia

Dari hasil kajian mengenai daya saing kakao di berbagai daerah di Indonesia, secara umum usahatani kakao di Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Aliyatillah dan Kusnadi (2011) menunjukkan bahwa Perkebunan Cikumpay Afdeling Rajamandala PTPN VIII Jawa Barat memiliki keunggulan komparatif dengan melihat nilai DRCR < 1 yaitu 0.95 dan perkebunan ini juga memiliki keunggulan kompetitif dimana nilai PCR < 1 yaitu 0.92 serta nilai keuntungan privat dan sosial yang positif. Berdasarkan nilai koefisien proteksi output nominal, kebijakan pemerintah mendukung dayasaing kakao tapi koefisien proteksi nominal pada input menunjukkan nilai yang sebaliknya. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa produksi, harga kakao, dan nilai tukar rupiah mempengaruhi dayasaing kakao di PTPN VIII Cikumpay Afdeling Rajamandala. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produktivitas serta mengantisipasi adanya ketidakstabilan harga dan fluktuasi kurs mata uang di pasar dunia, perlu dilakukan langkah serius yaitu peran serta pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan yang melindungi produsen dalam negeri sehingga kakao Indonesia lebih berdayasaing. Haryono (2011) juga melakukan pengukuran daya saing di PT. Perkebunan Durjo, Kabupaten Jember yang merupakan salah satu perkebunan swasta terbesar di Kabupaten Jember. Dari hasil analisis diketahu bahwa produksi kakao di Jawa Timur memiliki daya saing yang ditunjukkan oleh nilai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, nilai DRC 0.6148, nilai PCR 0.7976.

(35)

Konsentrasi Pasar (IKP) diperoleh rata-rata kurang dari 0.35 yang berarti kerentanan terhadap negara tujuan ekspor kakao relatif kecil. Untuk mendorong nilai tambah kakao diperlukan kebijakan fiskal berupa penerapan bea keluar berjenjang, subsidi ke petani, perbaikan infrastruktur serta riset dan pengembangan kakao nasional. Rifin (2013) juga menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA) dan menggunakan alat analisis Almost Ideal Demand System (AIDS) untuk menganalisis daya saing ekspor biji kakao Indonesia di pasar dunia. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi biji kakao meskipun tiga negara produsen biji kakao lainnya yaitu Pantai gading, Ghana, dan Nigeria memiliki indeks RCA yang lebih tinggi.

Bambang (2003) yang melakukan penelitian berjudul “Formulasi strategi pengembangan agribisnis kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Tenggara”

menunjukkan bahwa ada delapan set formulasi strategi dalam pengembangan agribisnis kakao rakyat di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu: (1) Perluasan areal, intensifikasi, dan rehabilitasi kakao rakyat; (2) Fasilitasi jalinan kemitraan antara petani dengan pabrik pengolahan kakao di Makasar dan mendukung percepatan pembangunan pabrik kakao di Kendari; (3) Peningkatan mutu SDM; (4) Fasilitasi penyediaan sarana produksi dan pembangunan sarana serta prasarana penunjang; (5) Peningkatan mutu hasil kakao serta penerapan standarisasi sesuai kebutuhan konsumen; (6) Optimalisasi fungsi dan peranan lembaga penelitian dan pengembangan; (7) Kerja sama dengan lembaga terkait mengupayakan keanggotaan Indonesia dalam Asosiasi Kakao Internasional serta menyelenggarakan promosi; dan (8) Pemberdayaan lembaga petani dan peningkatan peranan lembaga penunjang.

Baktiawan (2008) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Lampung Timur”

menyatakan bahwa Kelayakan investasi usaha tani kakao pada tiap kelas kesesuaian lahan yang ada di Lampung Timur (S2 dan S3) menunjukkan nilai yang menguntungkan. Hal tersebut terlihat dari nilai NPV antara Rp 19.014.723- Rp 31.990.514, nilai BCR antara 4-6, dan nilai IRR antara 20%-31% yang keseluruhan parameter tersebut dihitung berdasarkan discount faktor 17%. Kinerja pemasaran kakao di Lampung Timur cenderung belum efisien. Hal tersebut ditunjukkan dengan besarnya share keuntungan yang masuk ke lembaga pemasaran yang terlibat (31,06%) dan tidak adanya keterpaduan harga pasar jangka panjang antara pasar tingkat petani dan tingkat eksportir (pedagang besar). Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh panjangnya rantai pemasaran yang ada dan adanya senjang informasi harga yang terjadi.

Ashari (2006) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis kelayakan

finansial konversi tanaman kayu manis menjadi kakao di Kecamatan Gunung

Raya Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi” menyatakan bahwa hasil perhitungan pada tingkat diskonto 11,47%, penanaman tanaman kayu manis dan kakao samasama menguntungkan. Namun, dari kriteria investasi tersebut tanaman kakao lebih menguntungkan dibandingkan dengan tanaman kayu manis, sehingga dapat dinyatakan bahwa kakao layak untuk menggantikan tanaman kayu manis.

Febryano (2008) melakukan penelitian berjudul “Analisis finansial agroforestri kakao di lahan hutan negara dan lahan milik” menyatakan bahwa

(36)

utama pola tanam kakao+pisang di lahan hutan negara, dan kakao+petai serta kakao+durian di lahan milik sendiri. Ketiga pola tanam tersebut layak untuk diusahakan berdasarkan hasil analisis finansial. Pola tanam kakao+durian dan kakao+petai lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan pola tanam kakao+pisang, tetapi petani yang berusaha di lahan hutan negara lebih memilih pola tanam kakao+pisang, karena tidak adanya keamanan penguasaan lahan di lahan hutan negara. Sementara berdasarkan struktur pendapatan rumah tangga, pola tanam kakao+petai dan kakao+durian lebih baik dibandingkan pola tanam kakao+pisang.

Syarfi et al. (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Potensi

pengembangan pengolahan industri kakao di Sumatera Barat” menyatakan bahwa Sumatera Barat memiliki potensi untuk pengembangan industri pengolahan kakao. Hal ini terlihat dari (1) Sumberdaya Manusia: petani yang sebagian telah berpendidikan menengah dan tinggi, mempunyai kemauan yang tinggi untuk berusahatani kakao; (2) SDA yaitu: terdapat peningkatan yang tinggi dalam luas tanam kakao dan terdapat lahan potensial untuk pengembangan usahatani kakao; (3) Pembibitan, yaitu: telah terdapat usaha pembibitan kakao oleh petani dan penangkar resmi; (4) Pascapanen; telah ada bantuan alat fermentasi untuk petani kakao serta telah ada industri pengolahan kakao bubuk dan pasta; (5) Pemasaran: kelompok tani atau koperasi telah mampu membeli kakao petani mendekati harga pasar dan telah mampu menjalin kerjasama pemasaran dengan lembaga terkait; dan (6) Kelembagaan petani: Sudah ada kelompok tani dan Gapoktan di sentra pengembangan kakao. Sudah dilakukan upaya penguatan lembaga melalui pembentukan unit usaha, serta pembentukan gabungan kelompok tani kakao pada sentra-sentra produksi di seluruh kabupaten/kota Provinsi Sumatera Barat.

Damanik (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Prospek dan Strategi Pengembangan Perkebunan Kakao Berkelanjutan di Sumatera Barat” menyatakan

bahwa perkebunan kakao cukup penting bagi perekonomian regional Sumatera Barat dan prospektif untuk terus dikembangkan. Adapun faktor strategis yang mempengaruhi pengembangan dan keberlanjutan perkebunan kakao di Sumatera Barat yaitu: ketersediaan teknologi, tenaga pembina, pelatihan petani, dukungan kebijakan, luas perkebunan kakao, produktivitas, keterampilan petani dan kelembagaan ekonomi petani.

Goenadi et al. (2005) melakukan penelitian berjudul “Prospek dan arah

pengembangan agribisnis kakao di Indonesia” menyatakan bahwa arah

pengembangan agribisnis kakao adalah sebagai berikut: (1) Rehabilitasi kebun dengan menggunakan bibit unggul dengan teknik sambung samping; (2) Peremajaan kebun tua/rusak dengan bibit unggul; (3) Perluasan areal pada lahanlahan potensial dengan menggunakan bibit unggul; (4) Peningkatan upaya pengendalian hama PBK; (5) Perbaikan mutu produksi sesuai dengan tuntutan pasar; (6) Pengembangan industri pengolahan hasil mulai dari hulu sampai hilir, sesuai dengan kebutuhan; (7) Pengembangan sub sistem penunjang agribisnis kakao yang meliputi: bidang usaha pengadaan sarana produksi, kelembagaan petani dan lembaga keuangan.

Yosfirman (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Potensi

pengembangan perkebunan kakao di Kecamatan Sungai Geringging Kabupaten

(37)

luas areal; (2) Adanya usaha penangkaran benih; (3) Memadainya sarana dan prasarana usaha tani kakao; (4) Adanya kebijakan dan program pemerintah. Namun demikian ada beberapa yang menjadi ancaman pengembangan perkebunan kakao di wilayah tersebut yaitu: (1) Aspek permodalan; (2) Belum ada pengembangan usaha industri kakao fermentasi dan pendirian industri pengolahan kakao; (3) Produksi kakao rendah karena mutu benih rendah (tidak berstifikat), serangan hama PBK, pemangkasan dan pemeliharaan belum optimal, pemupukan belum sesuai rekomendasi.

Perdagangan Internasional Kakao

Suatu negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama yaitu karena setiap negara berbeda satu sama lain sehingga dapat memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedan yang dimiliki, dan untuk mencapai skala ekonomis dalam produksi, agar dapat menghasilkan barangbarang tersebut dan mengekspor dengan skala yang lebih besar. Analisis perdagangan internasional dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menentukan volume ekspor dari negara eksportir ke negara importir. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor suatu komoditas, maka akan membantu suatu negara eksportir untuk meningkatkan volume ekspor (Yeboah et al. 2008; Dermoredjo dan Setiyanto 2008; Lubis dan Nuryanti 2011; Cassim 2001).

Untuk mengestimasi potensi ekspor kakao di bawah liberalisasi perdagangan oleh 16 negara produsen kakao ke Amerika Serikat pada tahun 1989 hingga 2003, Yeboah et al. (2008) menggunakan gravity model. Hasil penelitian mengindikasikan faktor yang berpengaruh terhadap ekspor kakao ke Amerika Serikat adalah pendapatan perkapita dan GDP Amerika Serikat, sedangkan nilai tukar terhadap US dolar tidak berpengaruh. Hal ini sejalan dengan Cassim (2001) mengenai faktor penentu perdagangan intra-regional produk kakao, kopi, dan teh di Afrika Selatan dengan gravity model, terlihat bahwa struktur mendasar dan faktor ekonomi seperti biaya transaksi perdagangan, pertumbuhan ekonomi, dan perubahan pendapatan per kapita harus menjadi fokus integrasi regional, lebih daripada kebijakan perdagangan itu sendiri. Namun bertentangan dengan Yeboah et al., penelitian yang dilakukan oleh Nwachukwu et al. (2010) di Nigeria, menyatakan bahwa hasil estimasi OLS menunjukkan volume ekspor dunia, nilai tukar dan output kakao Nigeria merupakan faktor yang menentukan ekspor kakao Nigeria.

(38)

kakao Indonesia ke Spanyol lebih banyak dalam bentuk peningkatan volume permintaan, bukan dari segi keunggulan kompetitif produk. Hasil penelitian Dermoredjo dan Setiyanto ini didukung oleh Lubis dan Nuryanti (2011), bahwa walaupun Indonesia paling banyak mengekspor biji kakao (cocoa beans), lemak dan pasta kakao (cocoa butter dan cocoa paste), ironisnya dalam periode yang sama Indonesia juga mengimpor biji kakao dan olahannya untuk kebutuhan konsumsi dalam bentuk coklat (chocolate and other food preparation of cocoa). Lebih lanjut Lubis dan Nuryanti (2011) menjelaskan bahwa produk kakao Indonesia tidak berkualitas untuk diolah menjadi produk olahan yang kompetitif, sehingga memerlukan campuran kakao dari negara lain, seperti kakao Ghana dan Pantai Gading. Pencampuran tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas hasil olahan biji kakao nasional sehingga dapat memenuhi standar impor di negara tujuan ekspor.

Mendukung penelitian perdagangan kakao sebelumnya, Arsyad (2007) dalam kajian dampak subsidi pupuk dan kebijakan pajak ekspor terhadap ekspor dan produksi kakao Indonesia, menemukan fakta bahwa (1) Ekspor kakao Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga ekspor, pertumbuhan produksi kakao, nilai tukar, dan tren waktu, (2) Kebijakan subsidi harga pupuk dapat meningkatkan ekspor dan produksi kakao Indonesia, sedangkan kebijakan pajak ekspor akan berdampak negatif, yakni menurunkan ekspor dan produksi kakao. Pada penelitian Arsyad (2007) juga terlihat bahwa dalam jangka pendek, harga kakao Indonesia inelastis terhadap perubahan penawaran kakao. Artinya, perdagangan kakao tidak tergantung dari sisi penawaran

Ukuran Keunggulan Komparatif dan Kebijakan Pemerintah

(39)

produknya mencerminkan nilai kelangkaan yang sebenarnya termasuk dampak eksternalitas, serta memperhitungkan variasi kuantitas dan kualitas pada faktor produksi, harga ekspor dan variabel lainnya. Teori ini merupakan konsep dasar dari biaya sumberdaya domestik (Domestic Resource Cost atau DRC).

Untuk mengetahui rasio DRC dalam penelitian ini digunakan metode Matrik Analisis Kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). PAM dirancang tidak saja dapat menghitung keunggulan komparatif tetapi sekaligus juga untuk mengetahui campur tangan pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas dalam aktivitas usaha tani, pengolahan dan pemasaran secara menyeluruh dan sistematis. Dibandingkan dengan teknik konvensional, maka dengan metode PAM dapat diperoleh keluaran nilai-nilai keunggulan kompetitif, keuntungan finansial dan ekonomi, efisiensi finansial dan ekonomi, transfer input dan faktor transfer output, serta koefisien proteksi, keuntungan dan subsidi.

Pengaruh Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing

Penelitian yang dilakukan oleh Rooyen, et al. (2001) yang menyatakan bahwa terjadi keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif industri bunga Afrika selatan bersaing di pasar lokal dan internasional, demikian halnya dengan penelitian Sabaoni, et al. (2011), Muthoni dan Nyamongo (2009) yang menyatakan bahwa adanya intervensi pemerintah dapat membantu suatu komoditas memiliki daya saing di sebuah negara. Hal tersebut dikemukan pula oleh Rifin dan Nauly (2013) yang menilai bahwa pelaksanaan pajak ekspor untuk produk kakao dapat menurunkan daya saing dari produk kakao Indonesia.

Daya saing selain ditentukan oleh produktivitas namun dapat pula dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah (Gupta 2009 WB 2009). Selain itu, WB (2009) menambahkan bahwa kerangka kebijakan inti terhadap daya saing (core policy framework for competitiveness) adalah: (1) Insentif ekonomi seperti tarif impor dan ekspor, sistem nilai tukar, pasar faktor produksi dan kebijakan pajak, (2) Jasa dan biaya seperti energi, telekomunikasi, layanan bea cukai, transportasi dan logistik, keterampilan khusus dan layanan usaha serta (3) Lembaga dan kebijakan yang pro aktif antara lain badan promosi investasi dan ekspor, lembaga standarisasi, lembaga yang mendorong inovasi serta penelitian dan pengembangan.

Pengaruh kebijakan pemerintah telah diteliti oleh berbagai pakar sebelumnya. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pengaruh kebijakan terhadap daya saing bervariasi, yaitu berpengaruh positif, negatif maupun tidak berpengaruh nyata. Banse et al. (1999) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara daya saing dengan kebijakan producer subsidy equivalent (PSE)- ukuran mengenai besaran transfer dari konsumen dan pembayar pajak terhadap petani. Hal tersebut bermakna dengan semakin menurunnya daya saing (nilai DRC meningkat) maka nilai PSE akan semakin meningkat.

(40)

dengan komoditi kedelai dan kacang hijau. Bahkan untuk produksi kedelai, pemerintah Thailand memberikan subsidi sebesar 21.6 persen.

Mohanty, Fang dan Caudhari (2003) tentang Daya Saing Kapas di India. Hasil penelitian tersebut adalah produksi kapas India tidak efesien tanpa intervensi pemerintah dan kemungkinan terjadi pergeseran tanaman kapas digantikan oleh tanaman tebu dan kacang tanah yang lebih menguntungkan, sehingga dianjurkan agar kebijakan India lebih menjaga ketersediaan kapas murah untuk sector hadloom dan tekstil.

Untuk mendorong daya saing agroindustri, kebijakan pemerintah memegang peranan kunci. Christy, et al., (2009) membagi 3 jenis kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan daya saing agroindustri di negara berkembang. Pertama, Essential Enablers, yaitu kebijakan yang terkait dengan perdagangan, infrastruktur serta kepemilikan lahan dan property rights. Kedua, Important enablers, yaitu kebijakan yang terkait dengan layanan finansial, penelitian dan pengembangan, standar dan regulasi. Ketiga, Useful enablers, yaitu kebijakan yang terkait dengan layanan dan kemudahan dalam melakukan bisnis. Banyaknya peranan pemerintah dalam menciptakan lingkungan bisnis agroindustri yang berdaya saing menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menjadi faktor kunci pengembangan agroindustri nasional.

Agatha dan Victor (2011) melakukan penelitian tentang Daya Saing Padi dan Jagung secara Ekologi di Nigeria dengan metode PAM. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa produksi padi dan jagung dengan sistem irigasi baik di dataran tinggi maupun rendah lebih menguntungkan dibanding sistem yang lain. Hal ini diperlihatkan dengan nilai PCR < 1. Sedangkan nilai NPCO kurang dari satu menunjukkan bahwa harga output padi dan jagung yang lebih rendah dari harga internasional. Kebijakan penurunan harga output padi dan jagung masing-masing sebesar 90 persen dan 93 persen di bawah harga internasional menunjukkan bahwa produksi padi dan jagung pada berbagai sistem tidak dilindungi oleh kebijakan pemerintah berupa pajak yang berlaku.

Penelitian yang dilakukan oleh Karbasi, Rastegaripour dan Amiri (2011) tentang Aplikasi PAM pada Air Minum Kemasan di Negara Iran. Hasil penelitian tersebut adalah sistem yang dilakukan oleh Baluchestan dalam memproduksi air minum kemasan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Kebijakan pemerintah Iran terhadap perusahaan air minum kemasan dapat dilihat dari nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO < 1) yaitu sebesar 0.27. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Iran memberikan subsidi pada input yang digunakan sehingga harga input lebih rendah 27 persen dari harga dunia.

(41)

Empat faktor kunci yang diidentifikasi peneliti tersebut dapat dilihat bahwa semuanya terkait langsung dengan kebijakan fiskal yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Pendapat ini konsisten dengan hasil penelitian Sinaga dan Susilowati (2007) dan Suprihatni (2004) yang menyebutkan bahwa kebijakan ekspor, investasi/permodalan dan insentif pajak perlu difokuskan kepada sektor agroindustri. Sementara itu, Susila (2005) menyebutkan bahwa kebijakan yang terkait dengan harga output lebih efektif dalam pengembangan industri gula.

3 KERANGKA PENELITIAN

Kerangka Teoritis

Konsep Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan biaya yang cukup rendah sehingga kegiatan produksi tersebut menguntungkan pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional (Simanjuntak 1992). Menurut Kadariah et al (1978), efisien tidaknya produksi suatu komoditas yang bersifat tradable tergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinya, apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumber domestik cukup rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas yang relevan (border price).

Daya saing identik dengan masalah produktivitas, yakni dengan melihat tingkat ouput yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Meningkatnya produktivitas ini disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi (Porter 1991). Konsep daya saing dalam perdagangan internasional sangat terkait dengan keunggulan yang dimiliki oleh suatu komoditas atau kemampuan suatu negara dalam menghasilkan suatu komoditas tersebut secara efisien dibanding negara lain.

Krugman dan Obstfeld (2004) menyatakan bahwa setiap negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gain from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Kedua, negara-negara berdagang satu sama lain dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomis (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya, seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan jika negara tersebut mencoba memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus.

Gambar

Tabel 1 Produksi Biji Kakao Dunia (ribu ton)
Tabel 2  Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kakao Indonesia Tahun 2000-2015
Tabel 3  Nilai Ekspor Kakao dan Produk Kakao Indonesia Tahun 2002-2011
Tabel 4  Harga Kakao Dunia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keunggulan komparatif lebih baik dari keunggulan kompetitif yang ditunjukkan dengan nilai DRC (0,6148) dan nilai PCR (0,7976) hal ini diakibatkan oleh tingginya harga

Judul Tesis : Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Unggulan Sayuran.. Nama Mahasiswa Tanu Novianti Nomor Pokok

Judul Tesis : Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Unggulan Sayuran.. Nama Mahasiswa Tanu Novianti Nomor Pokok

Keunggulan komparatif lebih baik dari keunggulan kompetitif yang ditunjukkan dengan nilai DRC (0,6148) dan nilai PCR (0,7976) hal ini diakibatkan oleh tingginya harga

Hasil analisis keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani cabe merah dari kedua tempat penelitian yang merupakan salah satu daerah sentra produksi di Kabupaten Bandung

opportunity dalam matriks EPD, ini menunjukkan bahwa pangsa pasar ekspor lemak kakao (HS 1804) Pantai Gading mengalami pertumbuhan yang negatif meski lemak kakao masih menjadi

Nilai NPCO usahatani bawang merah pada ketiga musim tanam di Kabupaten Majalengka menunjukkan angka yang lebih dari satu (Tabel 4), artinya harga bawang merah di

Pada tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat keuntungan usahatani kakao di Kabupaten Luwu atas biaya tunai yang berasal dari pengurangan antara penerimaan yang