• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Revolutiegrondwet

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Revolutiegrondwet"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict, Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme, Yogyakarta: Pustaka Perlajar/Insist, 1999.

Azhari, Aidul Fitriciada, ‘Penafsiran Konstitusi dan Implikasinya terhadap

Pembentukan Sistem Ketatanegaraan Demokrasi atau Otokrasi’ (Dissertation

of Doctor in Legal Science in Law Faculty of University of Indonesia, 6 August 2005).

Azhari, Aidul Fitriciada, Menemukan Demokrasi, Surakarta: MUP, 2005.

Barkun, Michael, “Law and Social Revolution: Millenarianism and the Legal

System,” dalamLaw and Society Review, Volume 6, Number 1/Agustus 1971. Beirne, Piers and Alan Hunt, “Law and the Constitution of Soviet Society: The Case

of Comrade Lenin,” dalamLaw & Society Review, 22, 1988.

Berckmans, Paul, “The Semantics of Symbolic Speech,” dalam Law and Philosophy 16: 1997.

Berman, Harold J., Law and Revolution The Formation of the Western Legal Tradition (1983).

Black, Donald J., “The Mobilization of Law” (1973) 2 The Journal of LegalStudies.\ Cotterrell, Roger, The Sociology of Law An Introduction (2nded, 1992).

Effendi, Djohan dan Abdul Hadi WM, Iqbal, Pemikir Sosial Islam dan Sajak-sajaknya, Jakarta: Pantja Sakti, 1986.

Feith, Herbert & Lance Castles (eds.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta: LP3ES, 1995)

Freeman, M.D.A.,Lloyd’s Introduction to Jurissprudence(7thed, 2001). Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy (1976). Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, Jakarta: Balai Pustaka, 2004.

Kuntowijoyo, Periodesasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Ummat Islam, Yogyakarta: UGM Press, 2001.

Kusuma, RM A.B., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2004.

(2)

Loomba, Ania, Kolonialisme/Pascakolonialisme, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003. Malaka, Tan, Aksi Massa (2008)

Malaka, Tan,Naar de “Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia), 1987. Malaka, Tan, Semangat Muda, (2007).

Marzuki, Laica, ‘Perubahan UUD NRI Tahun 1945: Sebuah Reformasi Konstitusi’ (Paper presented at the Discussion Forum on “Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi”, Surakarta, 17March 2007).

Massel, Gregory J., “Law as an Instrument of Revolutionary Change in a Traditional Milieu: The Case of Soviet Central Asia,” dalam Law and Society Review, Volume II, Number 2, February 1968.

Muhono, Ketetapan MPRS dan Peraturan Negara Yang PentingBagi Anggauta Angkatan Bersenjata (1966)

Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Jakarta: Grafiti, 1995.

Pound, Roscoe, An Introduction to the Philosophy of Law (1999)

Pound, Roscoe, Social Control Through Law, New Jersey: New Brunswick, 1997. Rambe, Safrizal, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia

1905-1942, Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendikia, 2008.

Simorangkir, J.C.T., Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta; Gunung Agung, 1984.

Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Jakarta, Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1965.

Soetoprawiro, Koerniatmanto, Pemerintahan dan Peradilan di Indonesia (1994). Tempo edisi 17 Agustus 2008.

Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (1994).

Wolhoff, G.J., Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara Republik Indonesia (1955). Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (1960). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perubahannya. Keputusan Presiden RI No. 150 tahun 1959 tentang Dekrit Presiden Republik

(3)

BAB V

P E N U T U P

Seluruh uraian dalam buku ini memberikan gambaran bahwa UUD 1945 secara substansial merupakan konstitusi yang mengandung kehendak untuk melakukan perubahan secara revolusioner terhadap masyarakat Indonesia. Perubahan tersebut adalah perubahan dari masyarakat terjajah di bawah negara kolonial menjadi masyarakat merdeka dalam suatu negara nasional Indonesia. Karakter perubahan revolusioner tersebut mengimplikasikan karakter UUD 1945 sebagai Revolutiegrondwet atau UUD revolusi sebagaimana yang dimaksudkan oleh Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945 di depan sidang PPKI.

Sekalipun Soekarno menyebutkan istilah Revolutiegrondwet dalam pengertian

sebagai “UUD kilat” atau “UUD sementara” tetapi secara substansial UUD 1945

mengandung wacana perlawanan terhadap sistem dan warisan-warisan kolonial di Indonesia. Wacana perlawanan tersebut memberikan karakter pada UUD 1945 sebagai UUD yang secara substansial senantiasa relevan dengan tujuan Indonesia merdeka. Wacana perlawanan yang merupakan bentuk dari wacana pascakolonialisme itu menandakan bahwa UUD 1945 adalah UUD yang memiliki tujuan untuk memperbaharui masyarakat Indonesia.

(4)

Premis bahwa UUD 1945 bukan UUD yang berlaku sementara merupakan dasar bagi pemahaman mengenai konsep UUD 1945 sebagai Revolutiegrondwet. Makna Revolutiegrondwet bukan mengacu pada kesementaraan, melainkan mengacu pada makna revolusi yang berkembang dalam wacana pergerakan kemerdekaan Indonesia. Makna revolusi di kalangan pergerakan kemerdekaan itu mengacu pada revolusi nasional dan revolusi sosial. Revolusi nasional berkenaan dengan dekolonisasi formal negara Indonesia dari negara kolonial menjadi negara nasional. Sementara revolusi sosial berkaitan dengan perubahan sosial dari sistem sosial-ekonomi kolonial yang berciri liberal-kapitalistik menjadi sistem nasional yang bercirikan sosialis-kolektivistik. Revolusi nasional dan sosial tersebut menjadi ciri dari revolusi Indonesia yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan nasional demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam kaitan dengan makna Revolutiegrondwet tersebut, UUD 1945 adalah instrumen yuridis untuk melakukan dekolonisasi dan perubahan sosial secara revolusioner. Secara konseptual kedudukan UUD 1945 tersebut merupakan perwujudan dari teori hukum sebagai instrumen untuk melakukan rekayasa sosial. Dalam teori ini hukum digunakan sebagai instrumen untuk membuat perencanaan kebijakan agar dapat melakukan perubahan sosial ke arah tujuan yang dikehendaki oleh konstitusi itu sendiri.

Secara kelembagaan konsep Revolutiegrondwet itu diungkapkan dalam pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR adalah lembaga negara tertinggi yang memegang kedaulatan rakyat Indonesia sepenuhnya. Konsep revolusi Indonesia dijalankan oleh MPR melalui mekanisme perencanaan kebijakan negara yang dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dengan adanya

(5)

politik sehingga tidak tergantung pada program dari pemenang pada suatu Pemilu. Sebaliknya, GBHN berisi perencanaan jangka panjang untuk melakukan perubahan sosial secara fundamental dari masyarakat terbelakang yang diwarsikan kolonialisme menjadi masyarakat yang adil dan makmur dalam wadah negara nasional.

Keberadaan MPR sebagai lembaga perencanaan kebijakan negara menjadi kunci dari konsep Revolutiegrondwet yang dimaksud oleh Soekarno. Keberadaan itu kemudian didukung oleh sejumlah prinsip-prinsip, aturan-aturan, dan lembaga-lembaga lainnya dalam UUD 1945 yang menopang konsep revolusi Indonesia. Dalam hal prinsip tampak pada sejumlah asas, yakni asas kedaulatan rakyat, Ketuhanan Yang Mahaesa, kebangsaan Indonesia, kekeluargaan, permusyawaratan, dan keadilan sosial. Secara keseluruhan asas-asas tersebut menunjukkan adanya revolusi Indonesia yang hendak menghapuskan sistem kolonial dan warisannya di Indonesia. Sejumlah norma juga tampak dalam UUD 1945 seperti dalam norma mengenai HAM dan sistem perekonomian nasional. Adapun secara kelembagaan, selain terwujud dalam MPR, secara keseluruhan tampak dalam pembentukan pemerintahan nasional yang secara yuridis bukan merupakan bagian dari pemerintahan kolonial.

(6)

BAB IV

MATERI MUATAN UUD 1945

SEBAGAI UNDANG-UNDANG DASAR REVOLUSI

A. Teks UUD 1945

Bab ini akan membahas materi muatan UUD 1945 dengan menggunakan analisis pascakolonial. Analisis tersebut digunakan untuk mengungkap wacana revolusi yang terkandung dalam teks UUD 1945. Tetapi, untuk keperluan itu perlu diketahui terlebih dahulu perkembangan teks UUD 1945 yang mengalami perubahan sejak ditetapkan oleh PPKI hingga ditetapkan kembali sebagai konstitusi negara Indonesia oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959. Hal itu diperlukan karena terdapat perbedaan antara teks yang ditetapkan oleh PPKI dan perkembangan setelahnya sehingga mempengaruhi analisis atas teks UUD 1945.

Sejak pertama kali ditetapkan oleh PPKI sebagai UUD Negara Republik Indonesia, teks UUD 1945 mengalami beberapa perubahan penting. Pertama, teks UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Teks UUD 1945 yang ditetapkan PPKI itu terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Pada saat ditetapkan oleh PPKI tidak terdapat bagian penjelasan terhadap UUD 1945.

Kedua, teks UUD 1945 yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II, No. 7 tertanggal 15 Februari 1946. Pada Berita Republik Indonesia itu tertulis “UNDANG-UNDANG DASAR” yang terdiri atas Pembukaan dan 16 Bab, 37 pasal,

4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 Aturan Tambahan. Pada bagian terpisah tertulis “PENJELASAN TENTANG UNDANG DASAR NEGARA INDONESIA”. Pada

(7)

Undang-Undang Dasar Pemerintah yang semulanya dibawah ini kita sajikan

penjelasan selengkapnya.” Dari segi penamaan UUD yang termuat dalam Berita

Republik Indonesia itu hanya disebut dengan nama UNDANG-UNDANG DASAR. Ketiga, teks UUD 1945 yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 tertanggal 5 Juli 1959 dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 75, Tahun 1959. Teks UUD 1945 menurut Dekrit Presiden ini terdiri atas Pembukaan (Preambule), Undang-Undang Dasar, dan bagian Penjelasan Tentang UUD Negara Indonesia yang tersusun dalam satu kesatuan. Dari segi penamaan UUD yang dimuat dalam Dekrit Presiden itu menggunakan istilah “UNDANG-UNDANG DASAR

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945”.

Adanya perbedaan antara ketiga teks UUD 1945 tersebut menimbulkan persoalan secara yuridis, terutama berkenaan dengan kedudukan Penjelasan UUD 1945. Bila mengacu pada Berita Republik Indonesia Tahun II, No. 7 tertanggal 15 Februari 1946, maka Penjelasan UUD bukan merupakan bagian dari UUD. Akan tetapi bila berdasarkan pada Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959, maka dapat ditafsirkan Penjelasan sebagai bagian dari UUD 1945 itu sendiri. Secara yuridis yang berlaku secara formal adalah UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959, sehingga kedudukan Penjelasan UUD 1945 adalah sebagai bagian dari UUD 1945. Sikap inilah yang dipegang selama masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.

(8)

secara formal berlaku hingga saat ini. Penggunaan teks UUD 1945 dalam bentuk terakhir itu pun terkait dengan gagasan Revolutiegrondwet yang melekat dalam penetapan berlakunya kembali UUD 1945 oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959. Oleh karena itu, pembahasan atas teks UUD 1945 akan menyertakan gagasan-gagasan Presiden Soekarno mengenai revolusi yang melengkapi Dekrit Presiden tersebut.

B. Pembukaan UUD 1945

Pembukaan UUD 1945 mengandung dasar filosofis mengenai negara Indonesia. Wacana pokok yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 adalah kemerdekaan Indonesia. Wacana tersebut merupakan wacana dekolonisasi yang sangat jelas dengan tujuan untuk memperoleh kedaulatan suatu negara.

Secara konseptual kedaulatan suatu negara memiliki tiga dimensi, yakni kedaulatan keluar (external sovereignty), kedaulatan kedalam (internal sovereignty), dan kedaulatan antarbangsa (interdependence). Kedaulatan itu esensinya sama, yakni kemerdekaan atau kebebasan.56

(9)

Berkenaan dengan hak dasar bangsa-bangsa yang berkaitan dengan kemerdekaan negara disebutkan pada hak kedua yang berbunyi:

Every nations has the right to independence in the sense that it has a right to the pursuit of the happiness and is free to develop itself wihout interference or control from other states, provided that in so doing it does not interfere with or violate the rights of other states.

Berdasarkan ketentuan hukum internasional itu yang dimaksud dengan kedaulatan negara tidak lain adalah kemerdekaan negara, baik kemerdekaan di dalam lingkungan suatu negara (internal dependende) maupun kemerdekaan keluar dalam lingkungan pergaulan antarbangsa (external dependence/inter-dependence). Pendirian hukum seperti itu dipegang sesudah Perang Dunia I dan menjadi pegangan terus menerus hingga sesudah berakhirnya Perang Dunia II.57

Pendirian hukum internasional itulah yang kemudian dipegang oleh para pendiri negara Indonesia yang kemudian dituangkan dalam alinea pertama yang

berbunyi: “Kemerdekaan ialahhak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena bertentangan dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.”

Pendirian hukum seperti itu ditegaskan kemudian menjadi hak dasar bagi bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan negara Indonesia, baik keluar dalam lingkungan pergaulan antara bangsa maupun kedalam lingkungan negara Indonesia sendiri. Pembukaan UUD 1945 merumuskan kaitan antara kedua dimensi kemerdekaan itu dalam ungkapan “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan

dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

(10)

Dalam rumusan tersebut kemerdekaan bukan saja bermakna sebagai dekolonisasi formal dalam pengertian kemerdekaan eksternal, melainkan bertujuan untuk menciptakan suatu kehidupan kebangsaan yang bebas yang tiada lain adalah kemerdekaan kedalam bagi seluruh bangsa Indonesia. Makna kehidupan yang bebas dalam konteks kemerdekaan internal itu bukan saja meliputi kebebasan sipil dan politik tetapi juga kebebasan dalam kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan. Makna kebebasan seperti ini dirumuskan secara jelas dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 terdapat tujuan pembentukan

pemerintahan negara yakni “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.” Tujuan bernegara ini jelas mengacu pada gagasan negara sosial

atau negara kesejahteraan yang menghendaki agar negara mengambil peran secara aktif dan efektif dalam kehidupan sosial-ekonomi agar terwujud suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Gagasan negara sosial-kesejahteraan dalam Pembukaan UUD 1945 menegaskan posisi dasar UUD 1945 yang menolak terbentuknya negara liberal di Indonesia. Negara liberal adalah negara yang semata-mata bertujuan untuk memajukan kebebasan sipil dan politik dan tidak menghendaki adanya campur tangan negara secara luas dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Dalam negara liberal, praktik ekonomi diserahkan secara relatif kepada mekanisme pasar bebas sehingga pemerintah tidak berwenang campur tangan terhadap kehidupan ekonomi.

(11)

kolonial, tetapi lepas dari sistem sosial-ekonomi yang melekat dalam sistem kolonial. Posisi dasar ini menjadikan UUD 1945 bersifat revolusioner karena bertujuan mengubah secara fundamental struktur sosial ekonomi kolonialisme Hindia Belanda.

Penegasan tentang watak revolusi dari UUD 1945 tersebut diungkapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959 yang melengkapi berlakunya kembali UUD 1945:

Terasalah oleh seluruh rakyat bahwa jiwa, dasar, dan tujuan revolusi yang kita mulai dalam tahun 1945 itu kini dihinggapi oleh penyakit-penyakit dan dualisme-dualisme yang berbahaya sekali.... Dimana jiwa revolusi itu sekarang? ... Dimana dasar revolusi itu sekarang? ... Dimana tujuan revolusi itu sekarang? Tujuan revolusi–yaitu masyarakat yang adil dan makmur–kini oleh orang-orang yang bukan putra revolusi diganti dengan politik liberal dan ekonomi liberal. Diganti dengan politik liberal, dimana suara rakyat banyak dieksploitir, dicatut, dikorup oleh berbagai golongan. Diganti dengan ekonomi liberal, dimana berbagai golongan menggaruk kekayaan hantam-kromo, dengan mengorbankan kepentingan rakyat.58

Pernyataan Soekarno itu disampaikan dalam kaitan dengan keputusan untuk menerbitkan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam pernyataan tersebut terungkap jelas bahwa UUD 1945 mengandung jiwa, dasar, dan tujuan revolusi Indonesia, yaitu mengganti sistem politik dan ekonomi liberal yang berlaku selama masa kolonial Hindia Belanda dengan sistem politik dan ekonomi yang bertujuan ke arah terbentuknya masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian, gagasan kemerdekaan dalam Pembukaan UUD 1945 bukan hanya bermakna sebagai dekolonisasi formal berupa pemindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah nasional saja, tetapi mengandung jiwa dan tujuan revolusi untuk mengubah secara mendasar sistem kolonial yang berwatak liberal menjadi sistem nasional baru yang berwatak sosial-kesejahteraan.

58

(12)

Makna kemerdekaan seperti itu mengandung arti adanya kehidupan yang bebas bukan saja dalam kehidupan sipil dan politik tetapi yang terpenting adalah bebas dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Bebas dalam pengertian ini adalah bebas dari eksploitasi sosial-ekonomi, yakni bebas dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sebagaimana ditimbulkan oleh sistem liberal yang berlaku selama kolonial. Kesemuanya itu akan terwujud apabila terjadi perubahan secara radikal dan fundamental dalam sistem politik dan ekonomi yang ditinggalkan pemerintahan kolonial di Indonesia sehingga berubah menjadi sistem baru yang berwatak nasional dan sosial-kesejahteraan. Secara yuridis instrumen untuk melakukan perubahan revolusioner itu adalah UUD 1945 yang merupakan UUD yang menjiwai dan satu rangkaian dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

C. Asas-asas

UUD 1945 mengandung beberapa pasal pokok yang berisi asas-asas pokok yang berkaitan dengan gagasan revolusi. Asas-asas tersebut yang terpenting adalah:

1. Asas Kedaulatan Rakyat

Asas kedaulatan rakyat terkandung pada Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Kedaulatan

adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Berdasarkan pasal tersebut negara Indonesia berdasar pada asas kedaulatan

rakyat yang secara kelembagaan dilakukan oleh MPR. Secara struktural berarti terdapat supremasi MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.

(13)

kolonial sendiri dan feodalisme tradisional yang dipertahankan oleh pemerintah kolonial.59 Pemerintahan kolonial Hindia Belanda memperoleh kekuasaan dari Kerajaan Belanda, sehingga bukan merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat di Hindia Belanda. Kekuasaan kolonial di Hindia Belanda bertanggung jawab terhadap Opperbestuur (kekuasaan tertinggi), yakni Koning/Kroon (takhta Raja) Belanda.60 Adapun feodalisme tradisional yang dipraktekkan oleh kerajaan-kerajaan di Hindia Belanda jelas bukan merupakan perwujudan dari kehendak rakyat Hindia Belanda. Bahkan kerajaan-kerajaan itu pun memperoleh takhta kekuasaannya atas persetujuan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Gagasan kedaulatan rakyat Indonesia menghendaki agar kekuasaan pemerintahan di Indonesia diperoleh dari rakyat Indonesia sendiri. Artinya, kedaulatan rakyat menolak kedaulatan bangsa lain atas Indonesia dan juga menolak kedaulatan raja yang berlaku di kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia. Watak penolakan tersebut menunjukkan bahwa asas kedaulatan rakyat merupakan wacana pascakolonial yang menolak otokrasi kolonial dan warisannya di Indonesia.

2. Asas Permusyawaratan

Kedaulatan rakyat terkait dengan asas permusyawaratan. Permusyawaratan merupakan asas operasional untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Asas permusyawaratan berakar pada ajaran Islam tentang musyawarah. Pengertian permusyawaratan menunjuk pada mekanisme perundingan dalam mengambil putusan bersama sehingga putusan yang dihasilkan bersifat bulat. Permusyawaratan mengandung arti tidak ada aturan mayoritas dalam pengambilan putusan. Permusyawaratan dipandang lebih mampu mewujudkan kedaulatan rakyat karena

59Aidul Fitriciada Azhari, Menemukan Demokrasi, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005,

hlm. 93-94.

(14)

putusan dilakukan dengan cara merundingkan terlebih dahulu permasalahan sebelum mengambil putusan berdasarkan aturan mayoritas.

Makna permusyawaratan seperti itu membedakan antara kedaulatan rakyat di Indonesia dengan demokrasi Barat yang berwatak liberal. Asas permusyawaratan dalam UUD 1945 menghendaki agar perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan berdasarkan kehendak untuk memperoleh persetujuan bersama dibandingkan dengan penggunaan aturan mayoritas secara mutlak. Aturan mayoritas adalah prinsip dasar demokrasi liberal Barat. Sebaliknya, permusyawaratan mengutamakan kesepakatan bersama dibandingkan dengan aturan mayoritas. Makna permusyawaratan seperti itu menunjukkan adanya penolakan terhadap sistem politik liberal yang dipraktekan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

3. Asas Ketuhanan Yang Mahaesa

Negara kolonial Hindia Belanda adalah negara sekuler yang memisahkan urusan agama dan negara. Sekalipun demikian, kecenderungan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memberikan dukungan terhadap agama Kristen sangat kuat. Secara historis, kolonialisme Hindia Belanda pada khususnya dan kolonialisme Barat pada umumnya didorong oleh misi penyebarluasan agama Kristen kepada bangsa-bangsa non-Kristen. Misi tersebut secara tersamar tetap mewarnai kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

(15)

perkembangan agama Islam di Indonesia yang merupakan agama terbesar yang dianut oleh penduduk Indonesia.

Secara politis pemerintah kolonial Hindia Belanda memang memandang Islam sebagai ancaman subversif terhadap kolonialisme Belanda. Tak heran bila kemudian pemerintah kolonial berupaya untuk membatasi ruang gerak agama Islam. Kebijakan pemerintah kolonial hanya membolehkan Islam dilaksanakan dalam kehidupan ibadah yang bersifat pribadi, sementara dalam kehidupan publik, termasuk politik, pemerintah melarang umat Islam untuk melaksanakan ajarannya. Kebijakan ini sesungguhnya sesuai dengan ajaran sekularisme yang menjadi prinsip dasar negara-negara modern Barat, termasuk negara-negara Belanda.

Akibat dari kebijakan sekuler itu dirasakan dalam kehidupan hukum. Ajaran Islam mengenal adanya hukum Islam atau syari’ah yang meliputi berbagai aspek

kehidupan, termasuk aspek publik seperti politik. Dengan adanya kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bersifat sekuler maka umat Islam hanya diperbolehkan untuk melaksanakan hak dan kewajiban hukum dalam kehidupan ibadah yang bersifat pribadi. Sementara dalam kehidupan publik harus tunduk pada hukum-hukum kolonial. Pemerintah kolonial memang mengizinkan adanya pengadilan agama Islam, tetapi pengadilan itu hanya mengadili perkara-perkara dalam bidang perdata. Itupun hanya terbatas pada perkara-perkara dalam bidang perkawinan Islam saja, yakni perkara nikah, talak dan rujuk. Selebihnya dalam bidang perdata lainnya seperti waris dan muamalah umat Islam harus tunduk pada hukum adat atau hukum Barat yang dibuat Belanda.61

(16)

Keadaan seperti itu menimbulkan perlawanan dari ummat Islam yang menghendaki agar hukum Islam diberlakukan kembali sepenuhnya dalam kehidupan ummat Islam di Indonesia. Upaya perlawanan itu memperoleh momentum pada saat perancangan UUD 1945 di BPUPKI. Hasilnya adalah rumusan dasar negara yang

terdapat dalam Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 yang berbunyi: “Ketuhanan,

dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Rumusan

yang secara eksplisit memberikan kewajiban menjalankan syari’at Islam itu

merupakan cerminan dari kehendak ummat Islam untuk memulihkan kembali pelaksanaan hukum Islam di Indonesia yang sebelumnya dibatasi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Namun, rumusan Piagam Jakarta itu mengalami perubahan sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Rumusan tersebut

berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan perubahan tersebut kewajiban

menjalankan syari’at Islam tidak secara ekplisit menjadi ketentuan konstitusi.

Kewajiban menjalankan syari’ah Islam berlaku kembali setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diumumkan oleh Presiden Soekarno yang menyatakan “Piagam Jakarta

tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah suatu rangkaian-kesatuan

dengan Konstitusi tersebut.”

Sekalipun begitu rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” tetap merupakan

(17)

negara secara resmi terlibat aktif dalam mengurus kehidupan agama di Indonesia. Secara normatif hal itu memungkinkan berlakunya kembali hukum Islam dalam kehidupan umat Islam di Indonesia sebagaimana dikehendaki dalam Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.

4. Asas Kekeluargaan

Asas kekeluargaan terdapat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.”

Berdasarkan ketentuan pasal itu asas kekeluargaan berkenaan dengan sistem perekonomian nasional. Dalam pembahasan di BPUPKI pasal ini dijelaskan secara

singkat oleh Soekarno sebagai “kolektivisme”. Sementara ayat berikutnya yang

berbunyi: “Cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” dijelaskan secara singkat sebagai “sosialisme”.

(18)

tinggi sehingga setiap orang bebas berusaha dalam kehidupan ekonomi tanpa harus dibatasi oleh ketentuan apapun. Negara hanya diperbolehkan memungut pajak sebagai bentuk kompensasi atas perlindungan hukum yang diberikan pemerintah kepada para pelaku usaha.

Sebaliknya dengan negara liberal, ketentuan UUD 1945 justru menghendaki agar pemerintah melakukan intervensi ke dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Kepentingan bersama lebih diutamakan dibandingkan kepentingan perseorangan dengan tujuan agar terwujud keadilan sosial. Negara mengambil peran untuk membangun kehidupan ekonomi nasional dalam semangat persaudaraan sebagai satu keluarga sehingga muncul perasaan kebersamaan dan senasib sepenanggungan yang akan menuntun ke arah kemakmuran bersama. Secara praktis asas kekeluargaan ini dilakukan dengan penguasaan negara atas cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(19)

semata-mata berkenaan dengan kehidupan ekonomi, tetapi menjadi fondasi yang menopang sistem ketatanegaraan Indonesia secara keseluruhan.

5. Asas Keadilan sosial

Keadilan sosial merupakan tujuan etis dari sistem sosial dan politik yang hendak dibangun melalui UUD 1945. Asas keadilan sosial terkait dengan asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan merupakan asas operasional dalam kehidupan ekonomi, sedangkan keadilan sosial merupakan asas yang bersifat etis yang menjadi tujuan dari seluruh proses kehidupan bernegara di Indonesia. Asas kekeluargaan merupakan dasar operasional bagi upaya mewujudkan keadilan sosial.

Secara ideologis keadilan sosial merupakan kritik atas paham kapitalisme liberal yang lebih mengutamakan kepentingan individu dibandingkan dengan kepentingan bersama. Keadilan sosial berkaitan dengan gagasan revolusi sosial yang menghendaki agar terjadi pembaharuan masyarakat yang dibangun kolonial di atas sistem kapitalisme-liberal menjadi masyarakat baru berwatak nasional dan sejahtera secara bersama-sama.

D. Hak Asasi Manusia

(20)

pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak atas kemerdekaan beragama, hak atas pembelaan negara, dan hak atas pengajaran.62

Namun, rancangan tersebut dikritik oleh Mohammad Hatta yang mengkhawatirkan terbentuknya negara kekuasaan apabila tidak menyertakan hak asasi dalam bidang politik, yakni hak berserikat dan kemerdekaan berpikir. Bagi Hatta, sistem kolektivisme tetap memberikan kebebasan kepada warganegara untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya. Sekalipun berbau individualisme, tetapi hak-hak sipil dan politik itu bukan individualisme. Dengan memberikan hak dan kebebasan politik maka kolektivisme tidak akan melahirkan negara kekuasaan, melainkan negara pengurus.63

Sekalipun pada mulanya usulan Hatta tersebut ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan sistematika negara kekeluargaan, namun akhirnya diterima dan menjadi ketentuan yang termuat pada pasal 28 UUD 1945 yang memberikan kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya yang pelaksanaannya diatur kemudian dengan undang-undang.

Dengan demikian, UUD 1945 telah memuat ketentuan tentang HAM baik dalam bidang politik maupun sosial-ekonomi. Rumusan HAM seperti itu menunjukkan bahwa sejak awal UUD 1945 hendak menolak paham negara liberal yang menolak campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi. Sebaliknya, UUD 1945 menghendaki agar negara Indonesia menjadi negara yang secara aktif mengurus kehidupan rakyatnya agar terwujud kesejahteraan bersama seluruh rakyat. Untuk mewujudkan negara pengurus itu diperlukan keseimbangan antara hak-hak sosial-ekonomi dan hak-hak politik agar dasar kolektivisme tidak berkembang menjadi kolektivisme-negara yang akan melahirkan negara kekuasaan atau negara penindas.

(21)

Paham negara pengurus yang menyeimbangkan antara hak-hak sosial ekonomi dan hak-hak politik tersebut menegaskan adanya perlawanan atas negara liberal pada masa kolonial Hindia Belanda sekaligus juga penolakan atas negara kekuasaan yang dipraktekkan negara kolonial Jepang yang berwatak fasis maupun negara komunis Rusia (Uni Soviet).64 Ketentuan hak-hak sosial-ekonomi dan hak-hak politik tersebut dalam UUD 1945 secara eksplisit dimaksudkan sebagai bagian dari upaya untuk memperbaharui masyarakat agar menjadi masyarakat baru yang bebas secara politik dan juga sosial-ekonomi.

E. Struktur Ketatanegaraan

Jika membandingkan antara struktur ketatanegaraan Hindia Belanda dan negara Indonesia nampak bahwa struktur ketatanegaraan Indonesia mengikuti susunan ketatanegaraan Hindia Belanda. Persamaan tersebut tampak dari adanya lembaga yang sama di luar tiga cabang kekuasaan pemerintahan legislatif, eksekutif, dan yudisiari. Lembaga negara di luar cabang kekuasaan pokok itu adalah Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang sama kedudukan dan wewenangnya dengan Raad van Indië serta Badan Pemeriksa Keuangan yang sama dengan Algemene Rekenkamer. Sementara itu untuk cabang kekuasaan pokok, yakni badan eksekutif Gouverneur Generaal menjadi Presiden, badan legislatif Volksraad menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Hoogerechtshof menjadi Mahkamah Agung (MA).

Namun, dalam struktur ketatanegaraan Indonesia terdapat lembaga baru yang berbeda dengan susunan negara Hindia Belanda. Lembaga baru itu adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada susunan ketatanegaraan Hindia Belanda terdapat Takhta Kerajaan atau Kroon yang kedudukannya berada di atas semua

(22)

lembaga negara. Pada susunan ketatanegaraan Indonesia kedudukan Kroon ini digantikan oleh lembaga MPR yang menjadi lembaga negara tertinggi di atas seluruh lembaga-lembaga negara lainnya. Kroon merupakan perwujudan kedaulatan raja Belanda, sedangkan MPR merupakan perwujudan kedaulatan rakyat Indonesia.

MPR adalah lembaga negara yang memberikan watak nasional pada susunan ketatanegaraan Indonesia. Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat MPR merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem kolonialisme Hindia Belanda yang memberikan kedaulatan tertinggi kepada kedaulatan Raja/Ratu. Dengan kedudukan MPR yang menggantikan Kroon maka MPR adalah perwujudan kedaulatan tertinggi dalam negara Indonesia.

Keberadaan MPR menjadi sangat penting karena bukan saja secara prinsipil merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dengan kedudukan yang bersifat mengatasi lembaga negara lainnya, tetapi juga karena MPR merupakan instrumen bagi sistem perekonomian yang berdasarkan asas kekeluargaan atau kolektivisme ekonomi. Melalui MPR dilakukan perencanaan kebijakan ekonomi nasional yang dituangkan dalam GBHN yang harus dilaksanakan oleh Presiden dan dipertanggungjawabkan Presiden kepada MPR. Dengan adanya perencanaan kebijakan seperti itu maka dapat dilakukan pembaharuan masyarakat secara sadar dan sistematis ke arah terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera. Dengan demikian, MPR merupakan instrumen kelembagaan bagi terlaksananya revolusi sosial Indonesia yang hendak memperbaharui masyarakat Indonesia.

(23)

Bagan 2

Susunan Ketatanegaraan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945

Keterangan:

MPR = Majelis Permusyawaratan Rakyat–zaman Hindia Belanda Kroon DPA = Dewan Pertimbangan Agung–zaman Hindia Belanda Raad van Indie DPR = Dewan Perwakilan Rakyat -- zaman Hindia Belanda Volksraad

BPK = Badan Pemeriksa Keuangan -- zaman Hindia Belanda Algemene Rekenkamer

MPR

Presiden Wakil Presiden

DPA

Mahkamah

(24)

BAB III

PENYUSUNAN UUD 1945

DAN MUNCULNYA REVOLUTIEGRONDWET

A. Sejarah Singkat Konstitusi Hindia Belanda

Untuk memahami makna UUD 1945 sebagai Revolutiegrondwet terlebih dahulu harus diketahui tentang konstitusi kolonial Hindia Belanda. Untuk itu pada permulaan bab ini akan dijelaskan secara singkat konstitusi negara kolonial Hindia Belanda.

Konstitusi negara kolonial Hindia Belanda secara formal baru ditetapkan pada 29 Maret 1814. Konstitusi 1814 inilah yang –setelah mengalami perubahan berulang kali – hingga kini masih tetap menjadi dasar bagi “Koninkrijk der Nederlanden.”

Konstitusi itu pada asasnya hanya dimaksudkan untuk Nederland saja. Berdasarkan konstitusi tersebut, Nederland diatur sebagai suatu negara di Eropa yang berbentuk monarki konstitusional yang mengendalikan kedaulatan atas beberapa wilayah di benua-benua lain berdasarkan traktat internasional. Organ-organ pemerintah pusat monarki terdiri atas de Vorst, de Raad van State (Dewan Pertimbangan Agung), de Staaten Generaal (Dewan Perwakilan Rakyat), de Hoge Raad (Mahkamah Agung), dan de Algemene Rekenkamer (Dewan Pemeriksa Keuangan). Lembaga Vorst dan Staaten Generaal bersama-sama mengendalikan kekuasaan perundang-undangan untuk membentuk Wet (undang-undang).

Berkenaan dengan wilayah di benua lain, konstitusi menetapkan bahwa

Monarki atau Kerajaan diberi “plein pouvoir” untuk mengatur pemerintahannya tanpa

(25)

ditugaskan–atas nama Kerajaan–untuk mengambil alih Koloniën en bezittingen van de Staat di benua Asia dari Inggris sesuai dengan Konvensi Inggris-Nederland yang ditandatangani di London pada tanggal 13 Agustus 1814. Commissie Generaal berkuasa penuh untuk menyusun pemerintahan dalam wilayah di Asia tersebut

berdasarkan suatu “Reglement op het Beleid van de regering, het van Justitiewezen,

de Cultuur en Handel in ‘s Lands Aziatische Bezittingen” yang ditetapkan denganKB tanggal 3 Januari 1815.

Pada tahun 1816, Commissie Generaal itu tiba di Batavia untuk mengambil alih pemerintahan dari Inggris dan mulai berusaha menyesuaikan organisasi pemerintahan pusat dan daerah dengan ketentuan-ketentuan Reglement di atas. Akan tetapi, dalam pelaksanaan tugasnya ternyata keadaan yang telah berkembang selama kekuasaan pendudukan Inggris sulit disesuaikan dengan isi Reglement itu. Karena itu, dengan publikasi tanggal 22 Desember 1818–atas nama Kerajaan –ditetapkan suatu Regelingsreglement (RR) baru yang diumumkan dalam Staatsblad van Nederlannds-Indië yang diterbitkan sejak tahun 1816. Van der Capellen – salah satu dari anggota Commissie Generaaldiangkat sebagai Gouverneur Generaal. RR 1816 tersebut kemudian mengalami beberapa kali perubahan hingga RR 1836 yang ditetapkan dengan KB tanggal 20 Februari 1836.

(26)

Menurut RR 1836, yang dimaksud dengan pemerintah pusat Hindia Belanda ialah Gouverneur-Generaal, sebagai wakil Raja Belanda di Hindia Belanda yang diangkat dan diberhentikan oleh Raja serta organ yang mengendalikan kekuasaan mengatur dan mengurus Hindia Belanda secara terbatas di bawah pengawasan Raja. Gouverneur-Generaal didampingi oleh beberapa Raad van Indië yang juga diangkat dan diberhentikan oleh Raja dan bersama-sama sebagai Dewan Penasihat bagi Gouverneur-Generaal. Di samping itu dibentuk juga Hoogerechtshof (Mahkamah Agung) yang mengendalikan kekuasaan peradilan tertinggi di Hindia Belanda dan mengawasi pengadilan di bawahnya. Kemudian dibentuk juga Algemene Rekenkamer (Dewan Pemeriksa Keuangan) untuk mengawasi pelaksanaan Anggaran Belanja Hindia Belanda yang ditetapkan oleh Raja. Susunan ketatanegaraan tersebut nampak masih belum menyertakan adanya suatu organ pusat yang mewakili rakyat yang ikut serta dalam pemerintahan dan/atau mengawasi pemerintahan sebagaimana Staaten Generaal (DPR) di negeri Belanda.

Perubahan besar mulai terjadi setelah 1840 dengan adanya perubahan konstitusi Belanda yang memperluas kekuasaan Staaten Generaal dan memperkecil kekuasaan Raja pada umumnya dan khususnya berkenaan dengan urusan-urusan kolonial. Perubahan-perubahan itu dipicu oleh kebangkitan kaum liberal yang mewakili pengusaha-pengusahan modern. Mereka menuntut perluasan hak pilih untuk Staten Generaal dan perluasan kekuasan Staten Generaal, baik sebagai badan pembentuk undang-undang (Wet) maupun sebagai badan pengawas pemerintahan melalui sistem pertanggungjawaban menteri-menteri kepada parlemen.

(27)

induk. Tetapi, kaum konservatif menghendaki eksplotasi oleh negara yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagaimana dilakukan dalam bentuk Cultuurstelsel. Adapun kaum liberal menghendaki eksploitasi kekayaan alam di daerah jajahan dilakukan oleh inisiatif partikelir atau swasta melalui jalan penanaman modal swasta sebagai dasar perkembangan perusahaan transport, dagang, industri, dan bank. Menurut kaum liberal, pemerintah Hindia Belanda harus dikembangkan sebagai alat pelindung modal.

Pengaruh kaum liberal ini menghasilkan perubahan konstitusi Belanda pada tahun 1840 dan 1848. Berdasarkan Konstitusi 1848 terbit Wet tanggal 2 September 1854 (Ind. Stb. 1855 No. 2) yang menetapkan suatu RR baru bagi Hindia Belanda yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1855. RR 1854 itu dilihat dari segi material

telah lebih bersifat “Konstitusi Hindia Belanda” daripada RR yang lalu. Awalnya RR

1854 itu tidak membawa perubahan dalam susunan pemerintahan pusat dan daerah di Hindia Belanda. Perubahan hanya menyangkut pembagian kekuasaan mengatur dan mengurus antara Kroon dan Kroon bersama-sama Staten Generaal serta hubungan kerjasama antara Gouvernuer Generaal dan Raad van Indië.

RR 1854 mengalami perubahan sebanyak 29 kali hingga tahun 1925. Pada tanggal 1 Januari 1926 berlaku Indische Staatsregeling (IS) 1925 sebagai konstitusi Hindia Belanda menggantikan RR 1854. Menurut IS 1925 tersebut lembaga-lembaga pemerintahan pusat terdiri atas:

1. Opperbestuur

(28)

Raja. Pemerintahan umum itu di Hindia Belanda dijalankan oleh Gouverneur Generaal, di Suriname dan Cirasao oleh Gouverneur.

Raja setiap tahun menyampaikan laporan lengkap kepada Staaten Generaal tentang pemerintahan dan keadaan di Hindia Belanda, Suriname, dan Curasao. Staaten Generaal adalah parlemen Belanda yang terdiri atas dua kamar dengan kekuasaan asimetris (soft-bicameralism), yakni Tweede Kamer dan Eerste Kamer. Tweede Kamer dipilih oleh rakyat dengan wewenang dapat mengubah rancangan UU (Wet) yang disusun oleh Pemerintah. Eerste Kamer adalah badan yang dipilih oleh Provinsi hanya berwenang menerima atau menolak Rancangan UU, tidak berhak mengamandemen.

2. Gouverneur Generaal

Gouverneur Generaal menjalankan pemerintahan umum (algemenee bestuur) atas nama Raja Belanda. Penyelenggaraan dilaksanakan berdasarkan Indische Staatsregeling dan petunjuk dari Raja Belanda. Gubernur Jenderal bertanggung jawab kepada Volksraad dan Pemerintah Belanda. Selanjutnya penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Belanda kepada Staaten Generaal.

3. Raad van Nederlands Indië

(29)

Raad van Nederlands Indië mempunyai wewenang untuk ikut serta dalam pemerintahan (medebestuur), artinya penyusunan Ordonantie, penggunaan kekuasaan ekshorbitan, dan pemberian dispensasi dalam Verordening pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari Raad van Nederlands Indië.

Pada mulanya anggota Raad van Nederlands Indië hanya 4 (empat) orang yang harus merupakan orang Belanda. Kemudian anggota Dewan diperbesar menjadi 6 (enam) orang. Kawula Belanda (Nederlandse Onderdaan) boleh menjadi anggota. Ketua Dewan adalah Gouverneur Generaal seperti Raad van State di negeri Belanda. Jika terjadi perbedaan pendapat yang mengarah ke perselisihan antara Gouverneur Generaal dan anggota Raad, maka Raja Belanda diberi wewenang untuk memberi putusan.

4. Volksraad

Volksraad atau Dewan Rakyat adalah badan parlemen Hindia Belanda. Dewan Rakyat terdiri atas 30 (tiga puluh) orang Bumiputera (20 dipilih, dan 10 diangkat), 25 (dua puluh lima) orang Eropah (15 dipilih, 10 diangkat), dan 5 (lima) orang Timur Asing (3 dipilih, 2 diangkat). Setelah anggota Volksraad terpilih, maka dibentuk Badan pekerja (College van Gedelegeerden) yang terdiri atas 15 orang dari 60 anggota Dewan. Masa jabatan anggota Dewan adalah 4 (empat) tahun.

5. Hoogerechtshof

(30)

6. Algemene Rekenkamer

Algemene Rekenkamer atau Badan Pemeriksa Keuangan terdiri atas seorang ketua dan 6 (enam) orang anggota dan seorang sekretaris. Ketua dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh Raja Belanda, sedangkan sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Gouverneur Generaal.

Gambar 1:

Susunan Ketatanegaraan Hindia Belanda berdasarkan Indische Staatsregeling 1925

B. Penyusunan UUD 1945

Gagasan revolusi Indonesia yang berkembang selama pergerakan kemerdekaan nasional Indonesia kemudian diungkapkan dalam UUD 1945. Pemikiran yang dominan pada saat penyusunan UUD 1945 dalam BPUPKI dan PPKI secara jelas mencerminkan berkembangnya gagasan revolusi Indonesia di kalangan para pendiri negara. Sekalipun terdapat perbedaan paham ideologi antara golongan nasionalis dan Islamis tetapi terdapat kesepakatan berkenaan dengan gagasan revolusi Indonesia.

Secara kelembagaan BPUPKI sendiri pada awalnya dimaksudkan oleh pemerintah pendudukan Jepang bukan untuk membuat UUD negara Indonesia melainkan hanya sebagai Badan Penyelidik. Menurut rancangan Jepang, penyusun

KROON (Opperbestuur)

Gouverneur -Generaal

Raad van

Hoogerechtshof Volksraad Algemene

Rekenkamer

(31)

UUD adalah PPKI.37 Tetapi, dalam perkembangannya para anggota BPUPKI menyepakati untuk menyusun rancangan UUD bagi negara Indonesia merdeka yang kemudian ditetapkan oleh PPKI sebagai UUD Negara Republik Indonesia, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia–pada 18 Agustus 1945.

Secara politis konfigurasi di antara anggota BPUPKI dan PPKI hanya menyertakan kekuatan politik nasionalis dan Islamis. Kedua kekuatan politik itu memang berada dalam posisi “berkolaborasi secara politis” dengan pemerintahan

pendudukan Jepang sehingga dapat terlibat dalam keanggotaan BPUPKI yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang. Adapun kekuatan sosialis dan komunis yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifudin berada dalam posisi perlawanan bawah tanah sehingga tidak terlibat dalam penyusunan UUD 1945. Secara ideologis golongan sosialis-komunis memang tidak mungkin bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang yang berideologi fasis. Perang Dunia II pada dasarnya adalah peperangan antara kekuatan ideologi fasis melawan aliansi kekuatan kapitalis dan sosialis/komunis, sehingga kekuatan sosial-komunis tidak mengambil bagian dalam pemerintahan fasis pendudukan Jepang.

Di atas kertas ketidakhadiran golongan sosialis-komunis akan berakibat pada absennya gagasan revolusi yang menjadi doktrin pokok ideologi mereka, terutama berkenaan dengan revolusi kelas. Namun, kenyataannya revolusi tetap menjadi gagasan utama di kalangan anggota BPUPKI dan PPKI yang didominasi oleh golongan Islam dan kebangsaan. Baik golongan Islam maupun nasionalis secara prinsip menerima gagasan revolusi Indonesia sebagai tema pokok dalam menyusun UUD. Hal itu berarti gagasan tentang revolusi Indonesia sudah berkembang luas di kalangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Karenanya sekalipun tanpa keterlibatan

37

(32)

golongan sosialis-komunis, gagasan revolusi Indonesia tetap menjadi tema pokok di kalangan anggota BPUPKI dan PPKI.

Secara historis baik golongan Islam maupun nasionalis telah bersinggungan dengan gagasan revolusi sejak pertama kali terjadi infiltrasi komunis ke dalam Sarikat Islam pada tahun 1920-an. Kemudian setelah itu, seperti diungkap pada bab sebelumnya, gagasan mengenai revolusi Indonesia dirumuskan secara sistematik oleh Tan Malaka yang berideologikan komunis dan pernah menjadi Ketua PKI. Namun, paham ideologi komunis Tan Malaka sendiri berbeda dengan arus-utama komunis Leninis yang berorintasi internasionalis. Paham komunis Tan Malaka berorientasi Trotkies dan reformis yang lebih bersifat nasionalis. Karena itu, gagasan Tan Malaka tentang revolusi Indonesia bukan semata-mata revolusi kelas tetapi terdiri atas revolusi nasional dan revolusi sosial yang dia sebut sebagai revolusi nasionalis-sosial. Tak heran bila kemudian pemikiran Tan Malaka dapat diterima secara luas di tengah-tengah kaum pergerakan, termasuk di kalangan nasionalis dan Islamis.

Namun penerimaan atas gagasan revolusi nasional memiliki perbedaan secara prinsip antara golongan nasionalis dan Islam berkenaan dengan kedudukan Islam dalam negara. Golongan nasionalis memandang revolusi nasional bertujuan untuk membangun negara nasional yang berwatak sekuler, sedangkan golongan Islam menghendaki agar negara Indonesia merdeka memiliki dasar Islam.

(33)

Turki modern harus memisahkan urusan agama dan urusan negara.38 Pikiran yang sama juga dikemukakan oleh Bung Hatta yang menghendaki agar urusan agama dipisahkan dari urusan negara (Secheiding van Kerk en Staat).39

Gagasan sekularisme yang dianjurkan Bung Karno itu tak urung menimbulkan kegaduhan di kalangan ummat Islam. Golongan pergerakan Islam di Indonesia melihat revolusi nasional Turki merupakan cara imperialisme Barat untuk menghancurkan Islam di seluruh dunia.40 Golongan Islamis justru melihat revolusi nasional Indonesia bukan sekedar melepaskan diri dari pejajahan kolonial, tetapi juga kemerdekaan ummat Islam untuk mewujudkan cita-cita ajaran Islam dalam kehidupan bernegara. Model negara nasional yang dikehendaki oleh golongan Islamis bukan negara nasional yang sekuler tetapi negara nasional yang berdasar pada ajaran Islam.

Pertentangan antara gagasan negara nasional sekuler dan negara nasional Islami itu menemukan titik kompromi dalam rumusan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang disepakati pada tanggal 22 Juni 1945. Kesepakatan

kompromis itu diungkapkan dalam rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban

menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Rumusan ini pada dasarnya memberikan keistimewaan kepada ummat Islam untuk melaksanakan syari’at Islam di

Indonesia. Keistimewaan tersebut diberikan sebagai konsekuensi dari kedudukan ummat Islam sebagai bagian terbesar dari penduduk Indonesia.

Sekalipun rumusan Piagam Jakarta ini mengalami perubahan setelah proklamasi kemerdekaan, tetapi diungkap kembali dan menjadi acuan formal pada saat UUD 1945 diberlakukan kembali oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959. Pemberlakuan kembali UUD 1945 itu sendiri disebut oleh

38

Soekarno, “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara?” dalam Soekarno,Di Bawah Bendera RevolusiI, Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1965, hlm. 403-445.

39

RM A.B. Kusuma, op. cit., catatan kaki nomor 211, hlm. 118.

(34)

Presiden Soekarno sebagai penemuan kembali revolusi Indonesia. Karenanya pengungkapan kembali Piagam Jakarta menunjukkan bahwa kesepakatan itu memiliki kaitan erat dengan revolusi nasional Indonesia.

Berkenaan dengan gagasan revolusi sosial secara umum tidak terdapat perbedaan antara golongan nasionalis dan Islamis. Baik golongan nasionalis dan Islam menerima prinsip-prinsip sosialisme atau keadilan sosial secara umum. Tetapi, golongan nasionalis yang dimotori oleh Soekarno-Hatta umumnya mengadopsi pemikiran Marxis mengenai analisis kelas sebagai dasar dari revolusi sosial di Indonesia. Pemikiran Soekarno sejak awal sangat terpengaruh oleh pemikiran Marxis. Dalam tulisannya yang sangat terkenal pada tahun 1926, Soekarno membela marxisme sebagai salah satu pilar dalam perjuangan menuju kemerdekaan nasional Indonesia. Soekarno menghendaki adanya persatuan antara Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai dasar perjuangan menuju Indonesia merdeka. Kelak setelah menjadi Presiden pada tahun 1960-an gagasan persatuan ideologi itu diungkapkan kembali dalam kebijakan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (NASAKOM).41

Sementara penerimaan gagasan revolusi sosial di kalangan Islamis umumnya karena secara prinsipil revolusi sosial dipandang sesuai dengan ajaran Islam. Persinggungan Islam dan marxisme di Indonesia telah terjadi sejak awal pergerakan nasional melalui penyusupan kaum komunis ke dalam Syarekat Islam (SI). Penyusupan itu kemudian melahirkan perpecahan di tubuh SI dan konflik berkepanjangan antara golongan Islamis dan kaum komunis. Sekalipun demikian, golongan Islamis tetap menerima prinsip-prinsip sosialisme karena secara prinsipil ajaran Islam mengandung pemihakan atas kaum tertindas (mustadh’afin). Karena itu

(35)

de godsdienst van de armen en de verdrukten” (Islam adalah agamanya kaum miskin

dan tertindas).42 Prinsipnya, golongan Islamis menerima nilai-nilai sosialisme sebagai dasar revolusi sosial, tetapi menolak ateisme yang melekat dalam pemikiran Marxis. Hal itu misalnya tampak dalam ungkapan Sir Mohammad Iqbal yang

mendeskripsikan Islam sebaga “Bolsyewikisme plus Tuhan”.43 Pernyataan cendekiawan muslim Pakistan ini populer dan banyak dikutip oleh para tokoh Islamis di Indonesia untuk menerima prinsip-prinsip sosialisme tetapi menolak ateisme yang terdapat dalam ajaran Komunis.

Perbedaan-perbedaan seperti itu telah menyebabkan terjadinya dinamika pemikiran dalam penyusunan UUD di BPUPKI. Namun demikian, tetap terbangun kesepakatan dalam dua hal pokok berkenaan dengan revolusi Indonesia. Pertama, kesepakatan dalam tujuan mencapai kemerdekaan selekas-lekasnya. Kesepakatan ini berkaitan dengan revolusi nasional Indonesia dalam proses dekolonisasi formal negara Indonesia dari kolonialisme. Kedua, kesepakatan tentang UUD yang bukan saja bertujuan untuk mengatur tentang kehidupan negara tetapi bertujuan untuk memperbaharui masyarakat Indonesia. Kesepakatan kedua ini berkenaan dengan fungsi UUD sebagai instrumen revolusioner dalam pembaharuan masyarakat Indonesia. Secara prinsipil kesepakatan kedua ini berkenaan dengan falsafah bernegara Indonesia yang bersendikan pada prinsip keadilan sosial.

Berkenaan dengan kesepakatan pertama tentang revolusi nasional untuk mencapai kemerdekaan, Bung Karno selaku Ketua Perancang UUD pada Sidang Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 menyatakan:

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terhormat, Alhamdulillah, kemerdekaan kita, sebagai tadi saya katakan, diadakan, dilahirkan, di dalam perang.

42Kuntowijoyo, Periodesasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Ummat Islam, Yogyakarta: UGM Press, 2001, hlm. 10.

43

(36)

Alhamdulillah, digembleng dengan palu godamnya perang. Kita mendapat kemerdekaan bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tapi kemerdekaan yang ditempa dalam apinya peperangan dan dengan palu godam peperangan. Kemerdekaan yang demikian, akan lebih kuat daripada kemerdekaan yang didapat dalam sinar bulan purnama.... Marilah kita tunjukkan sekarang pada saat yang genting dan penting ini keberanian kita di hadapan seluruh dunia pertama-tama keberanian menyatakan kemerdekaan kita, walaupun Sekutu hendak merebutnya kembali, walaupun tiap-tiap manusia yang hadir di sini, jikalau musuh datang mendarat, akan dipetang di tembok dan akan ditembak dengan pelor ke dalam kepalanya.44

Perumpamaan Bung Karno tersebut menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui cara yang revolusioner. Kemerdekaan Indonesia sudah disadari tidak akan diperoleh dengan cara yang mudah melalui proses peralihan kekuasaan secara damai, tetapi dengan cara merebutnya melalui perjuangan revolusioner dengan pengorbanan jiwa dan raga. Kesadaran seperti ini secara dramatis diungkapkan oleh Bung Karno dalam pernyataan:

Tetapi adalah satu permintaan saya kepada kita sekalian, jikalau kita mati dalam zaman genting dan penuh bahaya ini, jikalau kita dikuburkan dalam bumi Indonesia, hendaklah tertulis di atas batu nisan kita, perkataan yang

boleh dibaca anak cucu kita, yaitu perkataan: “Betul dia mati, tetapi mati tidak sebagai pengecut”.45

Pernyataan tersebut memperlihatkan, bahwa sejak awal muncul kesadaran bahwa proses dekolonisasi di Indonesia akan menempuh jalan berdarah mengikuti

model perjuangan “rakyat-rakyat Aceh, Pangeran Diponegoro, pahlawan-pahlawan pergerakan nasional dalam melawan bangsa Belanda.”46 Artinya, sejak awal telah diisadari bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan nasional Indonesia akan ditempuh dengan jalan revolusioner–bahkan revolusi bersenjata.

Semangat revolusioner seperti itu tidak berhenti pada proses dekolonisasi formal belaka, melainkan berlanjut pada pembentukkan UUD negara yang hendak

(37)

dimerdekakan. Para pendiri negara menghendaki agar UUD yang dirancang oleh BPUPKI mengandung semangat pembaharuan masyarakat secara revolusioner untuk membentuk masyarakat baru yang berwatak nasional dan berkeadilan. Masyarakat baru yang dicita-citakan itu mengandung dua makna perubahan, yakni perubahan dari masyarakat kolonial menjadi masyarakat nasional dan perubahan dari masyarakat liberal-kapitalistik menjadi masyarakat yang bersendikan keadilan sosial.

Berkenaan dengan penyusunan UUD itu Bung Karno sebagai Ketua Panitia Perancang UUD mengungkapkan sebagai berikut:

Marilah kita menunjukkan keberanian kita dalam menjunjung hak kedaulatan bangsa kita, dan bukan saja keberanian yang begitu, tetapi juga keberanian merebut faham yang salah dalam kalbu kita. Keberanian menunjukkan bahwa kita tidak hanya membebek kepada contoh-contoh Undang-Undang Dasar negara lain, tetapi membuat sendiri Undang-Undang yang baru, yang berisi kefahaman keadilan yang menentang individualisme dan liberalisme; yang berjiwa kekeluargaan dan kegotong-royongan. Keberanian yang demikian itulah hendaknya bersemayam di dalam kita. Kita mungkin dalam zaman yang melahirkan Indonesia merdeka ini, mungkin akan mati, entah oleh perbuatan

apa, tetapi mati kita selalu takdir Allah Subhanahu wata’ala.47

Berdasarkan pernyataan itu, kemerdekaan nasional yang diperoleh melalui jalan revolusi diikuti dengan pembentukan UUD negara nasional yang juga bersifat revolusioner. Yaitu, suatu UUD yang bukan hanya bersifat mengatur tata negara Indonesia, tetapi UUD baru yang bersifat mengubah secara radikal paham kenegaraan yang dianut sebelumnya oleh kolonial Belanda. Dalam ungkapan yang lebih tegas, Bung Hatta menyatakan bahwa UUD yang hendak disusun oleh BPUPKI bertujuan

untuk “membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada gotong royong, usaha

bersama, tujuan kita ialah memperbaharui masyarakat.”48

Pembaharuan masyarakat yang dimaksud adalah pembaharuan ke arah masyarakat baru yang berbeda dengan watak masyarakat kolonial dan

liberal-47

Ibid., hlm. 353.

(38)

kapitalistik. Dalam pengertian lain, masyarakat yang dikehendaki oleh pembaharuan melalui UUD susunan BPUPKI adalah masyarakat baru yang berwatak nasional dan bersendikan keadilan sosial. Berkenaan dengan sendi keadilan sosial Bung Karno menyatakan secara tegas bahwa:

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang terhormat. Kita telah menentukan di dalam sidang yang pertama, bahwa kita menyetujui kata keadilan sosial dalam preambule. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme.... Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet menuliskan, bahwa manusia bukan saja mempunyai hak kemerdekaan suara, kemerdekaan hak memberi suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau misalnya tidak ada social rechtsvaardigheids yang demikian itu? Buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yeng berisi

droits de l’homme et du citoyen” itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham dan liberalisme dari padanya.49

Pernyataan Bung Karno itu menunjukkan, bahwa UUD yang dirancang oleh BPUPKI adalah UUD yang berwatak melawan terhadap sistem kapitalisme-liberalisme yang bersendikan asas individualisme. Watak perlawanan tersebut bahwa UUD yang dirancang oleh BPUPKI adalah UUD berwatak revolusioner bertujuan hendak mengubah secara hebat sistem kapitalistik-liberal yang dipraktekkan kolonial Belanda selama menjajah Indonesia.

(39)

itulah tumbuh kesadaran bahwa untuk mengakhiri praktek kolonial Belanda harus dilakukan dengan mengikis kapitalisme-liberalisme.

Secara yuridis, liberalisme berlaku di Hindia Belanda sejak ditetapkan Konstitusi 1840 dan 1848 (Regeringsreglement 1840 dan 1848). Kedua konstitusi tersebut merupakan hasil perjuangan kaum liberal yang mewakili kepentingan pengusahan modern di Belanda. Melalui perubahan konstitusi mereka menuntut penguatan sistem parlementer dengan perluasan hak pilih untuk Staten Generaal dan wewenangnya baik sebagai badan legislatif maupun badan yang mengawasi Kroon melalui pertanggungjawaban Menteri-menteri. Aliran ini tidak puas dengan kebijaksanaan Koning dan Menteri-menterinya yang sebelum 1840 umumnya dikuasai oleh kaum konservatif yang hendak mempertahankan Koning yang luas, baik di dalam negeri Belanda maupun di negeri jajahannya. Kedua aliran ini pada hakikatnya menganggap daerah-daerah jajahan sebagai objek eksploitasi negara-induk. Hanya saja aliran konservatif menghendaki eksploitasi negara (staatsexploitatie) yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda – seperti Cultuurstelsel, sedangkan aliran liberal menghendaki agar eksploitasi kekayaan di daerah jajahan dilakukan atas inisiatif swasta atau partikelir. Inisiatif swasta itu dilakukan melalui penanaman modal partikelir di daerah-daerah jajahan sebagai dasar bagi perkembangan perusahaan transport, dagang, industri, dan bank. Dalam pandangan aliran liberal, pemerintah Hindia Belanda harus dikembangkan sebagai alat pelindung modal swasta itu.50

Sejak berlakunya Konstitusi 1848, aliran liberal makin besar pengaruhnya di negeri Belanda. Pada saat itu pula terwujudlah sistem parlementer di Belanda. Perkembangan ini diikuti dengan perkembangan dalam hukum agraria yang

50

(40)

memungkinkan pihak swasta memperoleh konsesi (Eigendom, Opstal, Erfpacht) yang luas atas tanah-tanah milik Hindia Belanda dan tanah-tanah kosong. Berdasarkan hukum agraria baru itu, sejak 1879 diperluas penanaman modal asing dan perkembangan industri pertanian (gula, karet, kopi, teh, dan lain-lain) secara besar-besaran. Kemudian dengan Wet 23 Mei 1899 dibuka peluang bagi modal asing untuk mengembangkan perusahaan-perusahaan pertambangan (batu bara, minyak, emas, dan lain-lain).

Perkembangan-perkembangan ekonomi kapitalis-liberal itu mengakibatkan terjadinya eksploitasi kekayaan alam Indonesia oleh bangsa Belanda. Hasilnya adalah kemakmuran yang dirasakan oleh negeri Belanda, sementara penduduk jajahan di Hindia Belanda mengalami kesengsaraan. Ketidakadilan seperti itu ditentang oleh para pendiri negara sehingga mereka menghendaki agar negara Indonesia merdeka tidak mempraktekan paham kapitalisme-liberal agar terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jalan pertama ke arah itu dilakukan dengan menyusun UUD yang bersendikan asas keadilan sosial sehingga dapat dibangun masyarakat baru yang lebih adil dan sejahtera.

(41)

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, akhirnya UUD yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI ditetapkan oleh PPKI sebagai UUD Negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai UUD 1945. Penetapan oleh PPKI itu diwarnai dengan perubahan mendasar berkenaan dengan dasar negara. Kesepakatan anggota BPUPKI yang dirumuskan dalam Piagam Jakarta

tertanggal 22 Juni 1945 yang berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan

syari’at Islam bagi para pemeluknya” ternyata diubah atas usul Bung Hatta menjadi

“Ketuhahan Yang Maha Esa” sebagaimana dikenal dewasa ini.

Sekalipun demikian, perubahan dasar negara itu tidak mengubah gagasan revolusi Indonesia yang bersifat nasional dan sosial dalam UUD 1945. Dalam konteks itulah, kemudian keluar ungkapan Bung Karno yang menyatakan bahwa UUD 1945 adalah Revolutiegrondwet.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Pada tanggal 17 Agustus 1945 terjadi peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Peristiwa tersebut dimulai dengan pidato singkat dari Soekarno yang dilanjutkan dengan membacakan teks Proklamasi yang sangat singkat.. Teks proklamasi yang ditandatangani oleh dwi-tunggal Soekarno-Hatta itu berbunyi:

Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17-8-‘05

(42)

Teks proklamasi tersebut merupakan pernyataan yang jelas mengenai dekolonisasi Indonesia dari negara kolonial Belanda. Pernyataan kemerdekaan itu memang tidak dengan sendirinya menunjukkan terpenuhinya syarat-syarat yuridis dari keberadaan suatu negara sebagaimana diatur dalam Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara tahun 1933 (Montevideo Convention on Rights and Duties of States, 26 Desember 1933). Sebagaimana diketahui secara yuridis suatu negara diakui eksistensinya apabila memiliki: (a) a permanent population; (b) a defined territory; (c) government; dan (d) capacity to enter into relations with the other states.

Namun, proklamai kemerdekaan Indonesia itu mempunyai makna yuridis bagi proses dekolonisasi negara Indonesia. Pernyataan kemerdekaan itu menjadi produk hukum pertama yang menandai berdirinya negara Indonesia sekaligus mengakhiri kolonialisme di Indonesia. Teks proklamasi kemerdekaan itu sendiri sangat pendek sehingga tidak tampak adanya unsur-unsur negara sebagaimana dipersyaratkan dalam Konvensi Montevideo 1933. Tetapi, secara semiotik, teks tersebut bukan berdiri sendiri melainkan terkait dengan teks-teks lain. Karenanya, sekalipun pernyataan kemerdekaan itu pendek tetapi mengandung konsekuensi yuridis yang lain.

Pertama, frase “Kami bangsa Indonesia” merujuk pada sejumlah teks atau

(43)

menunjuk pada satu penduduk yang permanen (a permanent population) sebagaimana dipersyaratkan dalam Konvensi Montevideo 1933. Konsekuensinya, pada saat proklamasi itu dibacakan sudah terdapat penduduk yang permanen.

Kedua, frase “Kami bangsa Indonesia” juga merujuk pada wilayah tertentu, yakni wilayah Hindia Belanda. Gagasan tentang “bangsa Indonesia” adalah produk

dari pergerakan nasional Indonesia yang bertujuan untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari kolonialisme Belanda. Karena itu, frase “Kami bangsa Indonesia”

dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia menunjuk pada wilayah Hindia Belanda sebagai implikasi dari terjadinya dekolonisasi wilayah Hindia Belanda dari

kolonialisme Belanda. Dengan demikian, frase “Kami bangsa Indonesia” secara tidak

langsung menunjuk pada suatu wilayah tertentu sebagaimana dipersyaratkan dalam Konvensi Montevideo 1933.

Keterkaitan antara frase “Kami bangsa Indonesia” dengan wilayah Hindia

Belanda ini sangat penting mengingat wilayah yang diduduki Jepang bukan hanya Hindia Belanda melainkan meliputi hampir seluruh wilayah Asia Tenggara dan Asia

Timur. Dengan mengembalikan frase “Kami bangsa Indonesia” kepada konteks

kolonialisme Belanda, maka kemerdekaan yang dimaksud dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hanya meliputi kemerdekaan tanah Hindia Belanda dari pendudukan Jepang. Dengan demikian, kemerdekaan yang dimaksud bukan kemerdekaan seluruh wilayah pendudukan Jepang yang meliputi wilayah di luar Hindia Belanda.

(44)

diungkapkan oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer Pendudukan Jepang) dalam nasihatnya kepada BPUPKI pada tanggal 28 Mei 1945 sebagai berikut:

Mendirikan Negara Indonesia berarti terlepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan yang hina selama + 300 tahun di bawah pemerintahan Belanda dan mendirikan suatu Negara pada tanah yang subur, yang telah bebas dan yang mewarisi turun-menurun dari nenek moyang, untuk bangsa Indonesia.51

Berdasarkan nasihat Gunseikan tersebut jelas bahwa kemerdekaan yang hendak diberikan kepada bangsa Indonesia adalah kemerdekaan dalam kaitan dengan kolonialisme Belanda. Pemerintah pendudukan Jepang sendiri telah melakukan serangkaian upaya dekolonisasi tanah Hindia Belanda dari pengaruh kolonialisme Belanda di antaranya dengan memberlakukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional untuk menggantikan bahasa Belanda. Pemberlakukan bahasa Indonesia tersebut merupakan salah satu momentum penting dalam proses kemerdekaan bangsa Indonesia karena berhasil mewujudkan salah satu kandungan Sumpah Pemuda untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia.

Dengan demikian, frase “Kami bangsa Indonesia” mengandung implikasi

(45)

Makna dekolonisasi yang terkandung dalam pernyataan frase “Kami bangsa

Indonesia” itu sangat fundamental dalam perspektif teori pascakolonial. Frase “Kami

bangsa Indonesia” bukan saja merupakan perlawannan atas kolonialisme yang

berlangsung di tanah Indonesia, tetapi juga menunjukkan pembedaan sekaligus penegasian atas kolonialisme di Indonesia. Frase tersebut menjadi tanda yang menyatakan batas yang tegas antara negara kolonial Hindia Belanda dan negara nasional Indonesia. Dengan posisinya tersebut, frase “Kami bangsa Indonesia”

menjadi situasi batas yang membedakan antara era kolonial dan era nasional.

Dalam perspektif posmodern, situasi itu sering disebut sebagai “dilema tanda

-tangan” (signature dilemma) untuk menunjukkan situasi batas antara era kolonial dan era nasional pada saat proklamasi ditandatangani dan dibacakan. Situasi batas tersebut menimbulkan dilema karena pada saat bersamaan terdapat situasi sekaligus antara era

kolonial dan era nasional. Dalam konteks frase “Kami bangsa Indonesia” berartipada saat bersamaan masih berlaku masa kolonial dan masa nasional sekaligus. Ini berarti pada saat bersamaan negara Indonesia belum dan telah terbentuk sekaligus.

Situasi batas seperti itu membuat Proklamasi Kemerdekaan menjadi produk hukum yang melahirkan negara Indonesia sekaligus merupakan produk hukum pertama yang dibuat oleh negara Indonesia. Dalam perspektif Hans Kelsen,

Gambar

Gambar 1:Susunan Ketatanegaraan Hindia Belanda berdasarkan

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, Muatan materi amandemen UUD 1945 baik yang menyangkut perubahan kekuasaan eksekutif, legislative, yudikatif maupun haak asasi maanusia secara teoritis normatif sejalan

UUD 1945 setelah perubahan telah merubah sistem ketatanegaraan Indonesia yang sebelumnya pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan dengan menerapkan prinsip cheks

berfungsi sebagai dasar negara tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yang dengan jelas menyatakan, “...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan

Kemudian secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 dalam Kalimat:…”Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar

Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI

Untuk menyempurnakan UUD 1945 perlu dilakukan perubahan komprehensif yang bukan hanya mendesain penguatan DPD dalam dua kamar (bikameral system) yang efektif, tetapi yang

Kedua, Muatan materi amandemen UUD 1945 baik yang menyangkut perubahan kekuasaan eksekutif, legislative, yudikatif maupun haak asasi maanusia secara teoritis normatif sejalan

Pasca Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang kemudian lazim disebut sebagai