Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
APRILIA FARCHATAENI NIM. 1112044100041
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iv
ABSTRAK
Nama Aprilia Farchataeni. NIM 1112044100041 TRADISI TUMPLEK
PONJEN DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT JAWA (Studi Etnografi di Desa Kedungwungu Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah). Program Studi Hukum Keluarga Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. Xi + 69 Halaman.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui interaksi tradisi Tumplek Ponjen dengan
Hukum Islam dan interaksi antara tradisi Tumplek Ponjen dengan Hukum Positif.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnografis, yang mana mengharuskan peneliti berpartisipasi secara langsung dalam masyarakat, Fokus penelitian di Desa Kedungwungu Kecamatan Jatinegara Tegal.
Sedangkan untuk teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer yang diperoleh dari wawancara dan sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, majalah, jurnal-jurnal, dll..Pengumpulan data yang dilakukan penulis untuk mendapatkan dan memahami gambaran serta realita yang ada, penulis menggunakan teknik pengumpulan data tersebut dari data yang telah terkumpul kemudian penulisan analisis dengan menggunakan metode deskriptif.
Berdasarkan data hasil penelitian, dapat penulis simpulkan bahwa tradisi tumplek ponjen dapat dilestarikan karena tradisi tumplek ponjen sebagai symbol identitas bangsa.Meskipun harus tetap dilestarikan, akan tetapi harus ada penyaringan dan penyesuaian dengan fikih agar tidak ada pertentangan antara adat dengan fikih
dan dalam hokum positif, adat mengenai tradisi tumplek ponjen ini dapat
diberlakukan selama belum ada perundang-undangan yang mengatur.
Kata Kunci : Tradisi perkawinan, adat Jawa, Tumplek Ponjen
v
ميحرلا نمحرلا ه مسب
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang telah
memberikan penulis banyak sekali rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat seiring salam semoga selalu tercurahkan kepada
junjungan baginda Nabi Muhammad SAW, Nabi terakhir serta manusia yang paling
mulia.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah banyak
membantu penulis baik dari segi moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA Rektor Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Halim M. Ag., Ketua program Studi dan sekaligus dosen
pembingbing yang senantiasa ikhlas meluangkan waktunya untuk memberi
arahan, koreksi, serta kesabaran yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi
ini.
4. Arip Purqon MA, Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga yang selalu
vi
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang dengan sabar telah memberikan ilmu kepada penulis.
6. Perpustakaan utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu
dalam menyediakan bahan-bahan referensi skripsi ini.
7. Bapak Muchari S.Pd.I, Bapak KH. Ismail dan Bapak Nawawi yang telah
meluangkan waktu dan fikirannya untuk menjadi narasumber skripsi ini.
8. Secara khusus penulis mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada
Ayahanda Fathullah dan Ibunda Lutfiyah yang telah memberikan dukungan
moril dan materil, yang senantiasa dengan tulus memberikan motivasi dan
bimbingan serta mendoakan penulis.
9. Terimakasih kepada adiku Muhamad Toriq Farhan yang selalu memberikan
motivasi dan dukungan serta doa kepada penulis untuk terus menjadi contoh
yang baik. Kepada saudara sepupu Fikri, mba Mae, Syukur, Awi,. Kepada wa
H. Nuheri, wa Muflikhatun, om Jamil, om Fathur, tante Khikmah, om Nas
terimakasih atas segala motivasinya untuk membangun semangat penulis.
10.Teman seperjuangan Peradilan Agama 2012, khususnya kelas PA.A Iffah,
Sarifah, Fida, mba Aisyah, Nafis, Deza, Putri, Nisa, Septian, Roni, Hilmi dan
lainnya yang tidak bias disebutkan satu persatu yang telah memberikan
semangat untuk penulis.
11.Sahabat Nanik Maulidah, yang sudah menjadi teman, saudara dan menjadi
vii
12.Sahabat-sahabati Fakultas Syariah dan Hukum, Ulfah, Husnul, Wahid, Sayid,
Faisol, Awal, Noval Imas, Azka, Ita, Aya, Dinda, Iis, Putri, Vivin dan lainnya
yang penulis tidak bias sebutkan satu persatu yang telah memberikan
pengalaman dan semangat untuk penulis.
13.KBPA (Keluarga Besar Peradilan Agama), PMII (Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia) Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, IRMAFA (Ikatan
Remaja Masjid Fathullah), HMPS SAS (Himpunan Mahasiswa Program Studi
Hukum Keluarga) 2015, IMT (Ikatan Mahasiswa Tegal), IPPNU (Ikatan
Pelajar Putri Nahdlatul Ulama) Tangerang Selatan, IPPNU Pusat, KNPI
(Komite Nasional Pemuda Indonesia) Tangerang Selatan dan KKN AKRAB
yang telah memberikan penulis pengalaman yang tidak terlupakan.
14.Teimakasih juga kepada kepada semua yang telah berjasa membantu dalam
pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namun
tidak mengurangi rasa terimakasih penulis yang sebesar-besarnya.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat sebagai amal ibadah dan semoga
skripsi ini dapat bermanfaat.
Ciputat, 3 Oktober 2016
Penulis
viii
LEMBARAN PERNYATAAN ………..…...……….……… iii
ABSTRAK ………...………...…………. iv
PENGANTAR ………..………..……….. v
DAFTAR ISI ………..………... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………. 1
B. Identifikasi Masalah ………... 5
C. Perumusan dan Pembatasan Masalah……….………. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….………... 6
E. Tinjauan Penelitian Terdahulu……….………... 7
F. Kerangka Teori……….………. 11
G. Metode Penelitian……….………. 15
H. Sistematika Pembahasan……….………….. 17
BAB II TEORI MASLAHAH MURSALAH DAN ‘URF A. Pengertian Maslahah Mursalah………..…. 18
B. Syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah………...……….. 26
C. Pengertian‘Urf……….. 29
D. Macam-macam‘Urf…………...……….…………. 31
E. Kedudukan ‘UrfSebagai Metode Istinbath Hukum…………... 35
BAB III PROFIL DESA KEDUNGWUNGU A. Sejarah dan Kondisi Geografis………...……... 36
ix
DENGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Interaksi Tradisi Tumplek Ponjen di Desa Kedungwungu dengan
Adat ……….. 56
B. Interaksi Tradisi Tumplek Ponjen di Desa Kedungwungu dengan Hukum Islam ……… 58
C. Interaksi Tradisi Tumplek Ponjen di Desa Kedungwungu dengan Hukum Positif ………... 62
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………... 63
B. Saran-saran ………... 64
DAFTAR PUSTAKA………...……….. 65
LAMPIRAN-LAMPIRAN……….………... 69
1. Surat Lembar Pembimbing skripsi
2. Surat Permohonan Data Wawancara
3. Surat Keterangan Desa
4. Struktur Organisasi Desa
5. Hasil Wawancara
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragaman. Baik
itu etnik, budaya, adat maupun agama. Untuk yang terakhir, agama di Indonesia
lahir dan berkembang dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnya.
Selanjutnya norma ini mulai menyapa dalam institusi masyarakat. Masyarakat
muslim, diatur perilakunya oleh hukum Islam. Baik itu yang berkaitan dengan
hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. Titik fungsional hukum Islam terus
menerus membentuk struktur sosial masyarakat msulim dalam menjalani
kehidupan sosialnya.1 Karena harus ada norma yang harus dipatuhi dalam
kehidupan bersama, norma-norma melekat kuat sebagai fakta didalam realitas.2
Norma-norma tersebut dibuat menjadi hukum didalam kehidupan bersama
ditengah masyarakat, hukum adat yang kongkritisasi dari pada kesadaran hukum.
Karena hukum akan efektif apabila mempunyai basis sosial yang relatif kuat.
Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat secara sukarela.3
Kebudaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
1
Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional,
(Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012),h. 11 2
Hans Kelsen, Dasar-dasar Hukum Normatif, Penerjemah Nurulita Yusron, (Bandung: Nusa Media, 2009), Cet. II, h. 214
3
dengan belajar.4 Kebudayaan Jawa merupakan salah satu bagian dari kebudayaan
yang ada di Indonesia. Kebudayaan Jawa dengan keanekaragamannya banyak
mengilhami masyarakat Jawa dalam tindakan maupun perilaku keberagamannya.
Masyarakat Jawa memiliki keunikan tersandiri. Dalam segala tindakannya
biasanya tidak lepas dari mengikuti tradisi atau kebiasaan yang dianut oleh para
leluhurnya. Keunikannya dapat dilihat mulai dari kepercayaan masyarakat,
bahasa, kesenian, dan tradisinya.5
Masyarakat Jawa adalah salah satu etnis yang sangat bangga dengan
dengan budayanya meskipun kadang-kadang mereka tidak begitu faham dengan
kebudayaannya. Budaya Jawa penuh dengan simbol sehingga dikatakan budaya
Jawa adalah budaya simbolis. Sebagai contoh adalah pada prosesi perkawinan
Jawa. Dalam pengertian ini simbol-simbol sangat berkaitan erat dengan kehidupan
masyarakat Jawa, suatu kehidupan yang mengungkapkan perilaku dan perasaan
manusianya melalui berbagai upacara adat.6
Perkawinan adat Jawa terkenal dengan kerumitan acaranya, mulai dari
praperkawinan, prosesi perkawinan, sampai pascaperkawinan digelar, mereka
mengadakan perilaku tertentu menurut kebiasaan setempat. Upacara perkawinan
dianggap penting bagi masyarakat Jawa karena makna utama dari upacara
perkawian adalah pembentukan somah baru (keluarga baru, rumah baru) yang
4
Koenjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990),h. 180 5
Clifford Geetz, Abangan, Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h. 13
6
mandiri. Selain makna tersebut, perkawinan juga dimaknai sebagai jalan
pelebaran tali persaudaraan.7
Dalam masyarakat Jawa, perkawinan adat rasanya sulit dilepaskan dari
memori komunitas masyarakat. Kalangan mayoritas muslim pada masyarakat
Jawa, umumnya masih erat memegang tradisi-tradisi pendahulu atau leluhurnya.
Apabila tradisi leluhurnya dianggap memberikan manfaat dan memberikan nilai
positif bagi masyarakat, tradisi itu masih dipertahankan.
Tradisi perkawinan adat Jawa menggunakan model kebogiron misalnya,
masih sering dapat dijumpai. Tradisi ini ketika prosesi temu manten diiringi
dengan berbagai macam musik tradisional jawa berupa gong, slenthem, bonang,
penerus, saron, peking, gender, demung dan kendang. Saat ini untuk meyiasati
musik pengiring kebogiroan ketika temu manten di Kabupaten Tegal, diantaranya
dalam bentuk CD (compact disk) atauflash disk.
Kehidupan ideal yang didambakan oleh siapapun adalah kehidupan yang
berbudaya dan memiliki akar tradisi yang harmonis, baik secara fisik maupun
psikis, sehingga dengan budaya dan tradisi tersebut akan tercipta juga pola
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang harmonis dengan dinamika hidup
yang tinggi untuk mencapai keluhuran peradaban dan kemanusiaan.8 Di antara
tradisi dan kebudayaan bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih
dipertahankan oleh sebagian masyarakat, terutama masyarakat Jawa tengah yaitu
tradisi perkawinan Tumplek Ponjen. Keanekaragaman upacara tradisi perkawinan
7
Hildred Geertz, Keluarga Jawa, terj. Hersri, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), h. 58 8
Tumplek Ponjen, di dalamnya terdapat keyakinan tertentu yang menunjukkan adanya daya serap yang berbeda dari kekuatan tradisi setempat.
Seperti halnya adat istiadat budaya Jawa, upacara Tumplek Ponjen
merupakan hasil perilaku dari manusia yang lebih mengarah pada sistem religi
Jawa. Hasil dari kekuatan cipta, rasa dan karsa manusia digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka berke-Tuhanan. Artinya masyarakat
Jawa dengan kesadaran yang tinggi mengakui adanya Tuhan yang telah
menciptakan dunia, alam semesta dan isinya. Menyadari akan hal itu dalam
keyakinan terhadap roh, maka dalam rangka sistem religinya masyarakat jawa
tidak mengabaikan roh yang dimaksud sebagai sesama makhluk Tuhan.
Pemahamannya dalam melaksanakan persembahan syukur terhadap Tuhan,
masyarakat Jawa menciptakan suasana hening, aman tanpa gangguan dari siapa
pun. Yang paling utama keikhlasan terhadap Tuhan, karena hanya kepada Tuhan
Yang Maha Esa kita menyembah, bersyukur dan memohon.
Tradisi perkawinan Tumplek Ponjenini merupakan momen penting bagi
orang tua yang akan menikahkan anaknya yang terakhir. Adat ini sebagai wujud
syukur atas selesainya tugas orang tua. prosesi Tumplek Ponjen ini dilakukan pada
saat sungkeman, orang tua akan memberikan kantong yang berisis biji-bijian
(beras kuning, kedelai, jagung) dan sejumlah uang yang di berikan oleh orang tua
dan sanak keluarganya dalam satu kantong tersebut. Setelah selesai, orang tua
menyebar udhik-udhik yang berada dalam kantong, yang kemudian diperebutkan
Salah satu daerah di Jawa Tengah yang hingga saat ini menggunakan
Tradisi perkawinan Tumplek Ponjen tersebut adalah Desa Kedungwungu
Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal, yang dalam prosesi perkawinannya
masih mempertahankan tradisi tersebut. Dari sudut pandang etnografis, tradisi
yang masih dipertahankan hingga saat ini tentunya mempunyai makna filosofis
yang terkandung didalamnya, maka dari itu, atas pertimbangan tersebut penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “Tradisi Tumplek Ponjen
Dalam Perkawinan Masyarakat Adat Jawa (Studi di Desa Kedungwungu
Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah)”.
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas penulis dapat mengidentifikasi
beberapa masalah yang ada dalam bahasan ini. Masalah-masalah tersebut
diantaranya adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan tradisi dan Tumplek Ponjen?
2. Darimana asal-usul tradisi tersebut?
3. Bagaimana tatacara pelaksanaan tradisi dan Tumplek Ponjen?
4. Bagaimana masyarakat menjaga agar budaya itu tetap ada?
5. Bagaimana pandangan hukum islam tentang tradisi dan Tumplek Ponjen?
6. Bagaimana pandangan hukum positif dengan tradisi Tumplek Ponjen ?
7. Bagaimana realisasi antara adat dan Islam?
C. Batasan dan Rumusan Maslah
Dalam skripsi ini perlu adanya pembatasan masalah agar lingkup
bahasannya tidak terlalu luas dan melebar. Adapun batasan masalah dalam
skripsi ini adalah mengenai persoalan tradisi Tumplek Ponjen yang ada di
Desa Kedungwung Kabupaten Tegal, tatacara pelaksanaan tradisi perkawinan
dan pandangan Islam mengenai adat tersebut.
2. Rumusan Masalah
Sesungguhnya dalam Islam tidak terdapat pembeda ataupun
pengkhususan dalam hal pelaksanaan perkawinan bagi setiap orang. Namun
dalam masyarakat Desa Kedungwungu Kabupaten Tegal terdapat
pengkhususan bagi sebagian orang yang akan melaksasakan perkawinan yaitu
dengan dilaksanakannya upacara Tumplek Ponjen bagi anak bungsu. Oleh
karena itu pertanyaan penelitiannya adalah:
a. Bagaimanainteraksi antara tradisi Tumplek Ponjendi Desa Kedungwungu
dengan Hukum Islam ?
b. Bagaimanainteraksi antara traadisi Tumplek Ponjen di Desa
Kedungwungu dengan Hukum Positif ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan suatu penelitian adalah mengungkapkan secara jelas apa
yang ingin dicpai dalam penelitian yang akan dilakukan. Dari definisi
tersebut, maka tujuan peneliti adalah:
a. Untuk mengetahui interaksi antara tradisi Tumplek Ponjen di Desa
b. Untuk mengetahui interaksi antara tradisi Tumplek Ponjen di Desa Kedungwungu dengaan Hukum Positif.
2. Kegunaan Penelitian
Sejalan dengan terciptanya tujuan tersebut diharapkan dari hasil
penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut :
a. Secara Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu karya tulis
ilmiah yang dapat menambah khazanah keilmuan khususnya dibidang
Ilmu Hukum Keluarga dan umumnya pada Ilmu Pengetahuan.
b. Secara Praktis
Memberikan pencerahan kepada masyarakat luas khususnya
kepada masyarakat Desa Kedungwungu Kabupaten Tegal mengenai
Tradisi Tumplek Ponjen dan dapat mengokohkan keyakinan terhadap
hukum islam.
E. Tinjauan Terdahulu
Tinjauan terdahulu yang dimaksud adalah melihat data-data skripsi
tahun-tahun sebelumnya dengan tujuan menganalisis skripsi yang berkaitan dengan
judul atau permasalahan penyusun. Dari sekian banyak skripsi yang penyusun
temukan, diantara penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah sebagai
berikut:
Tabel I.0
NO Penelitiaan terdaahulu Penelitian Sekaraang
1 Judul
Penelitian
1. Setyo Nur Kuncoro
Tradisi Upacara
Tradisi Tumplek
Perkawinan Adat
Kearaton Surakarta,
Fakultas Syariah,
Universitas Islam
Negri Malang, 2014
2. India Rama Winona,
Tata Upaacaara Perkawinan dan Hantaran pengantin Bekasri Lamongan,
Fakultas Teknik,
Universitas Surabaya,
Vol 2 No. 2 tahun
2013
3. Ismiya Hadiana,
Makna Filosofi Galam rituaal Pengantin Jawa di Rembang, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitaas Negri
Semaarang, 2010
4. Sri Haryono Eko
setyawan, Proses
Perkaawinan Adat Jawa dalam Prespektif Hukum Islam, Fakultas Hukum, Universitaas
Sebelaas Maret
Surakarta, 2010
Perkawinan
Masyarakat Adat
2 Fokus
Penelitian
1. Fokus pada upacara
perkawinan adaat
keraton
2. Fokus pada tata cara
perkawinan daan
hantaara pengantin
3. Fokus pada makna
filosofi dalam ritual
pengantin jawa
4. Fokus padaProses
Perkaawinan Adat
Jawa dalam Prespektif
Hukum Islam
Fokus pada tradisi
tumplek ponjen
3 Subjek Objek
penelitian
1. Masyarakat Desa
Kauman, Pasar
Kliwon, Surakarta
2. Masyarakat Bekasri
Lamongan
3. Masyaraakat
Rembang
4. Hukum Islam
Masyaraakat Desa
Kedungwungu,
KecamatanJatinegaara,
Kabupaten Tegal
4 Metode
Penelitian
1. Penelitian lapangan
2. Penelitian lapangan
3. Penelitian lapangan
4. Penelitian Hukum
Normaatif
Penelitian lapangan
5 Tujuan
Penelitian
1. Mengetaahui prosesi
upacara perkawinan
adat keraton Surakarta
pada mmmasyarakat
Mengetahui hubungan
tradisi tumplek ponjen
dengan Hukum Islam
Kauman, Pasar
Kliwon, Surakarta.
2. Mendeskripsikan
tahapaan tata
upacaara, jenis
hantaran dan makna
hantaran.
3. Mengetahui tata caraa
pelaksanaan dan
makna nilaai-nilai
filosofi yang
terkandung dalam
ritual pengantin jawaa
di rembang
4. Untuk mengetahui
Proses Perkaawinan
Adat Jawa dalam
Prespektif Hukum
Islam
Dari beberapa skripsi daan jurnal wacana yang ditulis di atas baik yang
ditulis oleh Setyo Nur Kuncoro, maupun yang di tulis oleh yang lainnya, dapat
disimpulkan bahwa meskipun skripsi dan jurnal di atas membahas tentang
permasalahan adat Jawa, tetapi topik yang diangkat merupakan berbeda dengan
apa yang akan di angkat oleh penulis, beda halnya dengan sekripsi yang penulis
bahas, meskipun tema utamanya adalah adat Jawa, tetaapi cakupan yang penulis
Jawa. Dengan demikian jelas terdapat perbedan aantara topik yang penulis bahas
dengan penulis di atas.
F. Kerangka Teori
Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam, pengaruh adat-sosio cultural
suatu masyarakat terhadap pembentukan hukum islam sangatlah kuat. Hal ini
terlihat pada hasil ijtihad para imam madzhab, seperti imam Maliki banyak
dipengaruhi adat masyarakat kota Madinah, seperti imam Syafi‟I banyak
dipengaruhi adat masyarakat Bahdad pada qaul qodim-nya dan masyarakat Mesir
pada qoul jadid-nya.
Hukum islam mengakomodir adat suatu masyarakat sebagai sumber
hukum selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nash al-Qur‟an maupun
as-Sunnah. Hal ini dapat dipahami bahwa adat yang diterima adalah adat yang
tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Dalam skripsi ini penulis akan menggunakan analisa „urf karena bahasan
di sini banyak meneliti adat istiadat pada masyarakat yang sangat beragam,
penulis akan menggunakan hukum islam untuk masuk kepada permasalahan. Dan
analisa maslahah mursalah untuk mengambil manfaatdan menolak kemudharatan
dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara‟.
1. „Urf
Secara bahasa „urf berarti mengetahui, kemudia dipakai untuk arti sesuatu
seehat.9„urfmerupakan sesuatu yang dikenal di kalangan umat manusia dan selalu diikuti, baik „urf perkataan maupun „urf perbuatan.10
Hukum Islam bersifat universal, sehingga ia mengatur segala aspek
kehidupan manusia. Namun bagaimanapun hukum Islam tidak terlepas dari
pengaruh budaya atau adat dari suatu daerah.
Qaidah ini sumber dari firman Allah SWT yang tertuang dalam QS.
AL-A‟raf (7): 157
)
فارعاا
157:7/
)
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisimereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), merekaitulah orang-orang beruntung”.
Ayat ini menjelaskan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang
berkembang dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hukum, apabila
adat kebiasaan itu dinilai baik (tidak bertentangan dengan hukum), dan membawa
kemaslahatan ummat.
9
A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970),h. 77 10
Adat yang baik adalah kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan akal sehat
dan sejalan dengan hati nurani dan dalam penerapannya sulit untuk ditolak
sebagai suatu hukum yang berlaku.
Adat kebiasaan yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang telah
mafhum di tengah-tengah masyarakat karena berulangkali dilaksanakan, sehingga
menjadi norma hukum dalam masyarakat yang bersangkutan.
Adat yang bertentangan dengan sumber-sumber pokok hukum islam,
dengan sendirinya ditolak sebagai dari sumber isnpirasi pembentukan hukum
islam. Adat kebiasaan yang telah lama mentradisi dan diterima sebagai sumber
apabila sebuah kebenaran-apalagi secara substansial cocok dengan al-Quran dan
as-Sunnah akan berpeluang dijadikan hujjahdalam pembentukan hukum islam.
Adat atau „urf dihargai sebagai sumber apabila terdapat 3 syarat yang
harus ada, yaitu:
a. „Urf itu tidak berlawanan dengan nas yang tegas, maksudnya adat itu
tidak bertentangan dengan hukum.
b. Apabila adat itu sudah menjadi adat yang terus menerus berlaku dan
berkembang dalam masyarakat.
c. „Urf itu merupakan adat yang umum, karena hukumnya umum tidak dapat
ditetapkan dengan „urf yang khas.11
2. Maslahah mursalah
Maslahah mursalah menurut istilah para ahli ilmi ushul fiqih adalah suatu kemaslahatn di mana syari‟ tidak mensyriatkan suatu hukum untuk merealisir
11
suatu kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukan atas pengakuannya
atau pembatalannya. Maslahat ini disebut mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil
yang mengakuinya atau dalil membatalkannya. Contohnya adalah kemaslahatan
yang karenanya para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, pencetakan mata
uang, penetapan tanah pertanian di tangan pemiliknya dan memungut pajak
terhadap tanah itu di daerah yang mereka taklukan, atau lainnya yang termasuk
kemaslahatan yang dituntut oleh keadaan-keadaan darurat, berbagai kebutuhan,
atau berbagai kebaikan, namun belum disyariatkan hukumnya, dan tidak ada
bukti syara‟ yang menunjukkan terhadap pengakuannya atau pembatalannya.12
Jumhur ulama ummat Islam berpendapat,bahwasannya maslahah mursalah
adalah hujjah syar‟iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan
bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijmak, atau
qiyas, ataupun istihsan, disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh
kemaslahatan umum. Pembentukan hukum ersebut atas dasar kemaslahatan ini
tidak boleh ditingguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara‟.13
Alasan ulama tentang bolehnya berdalil dengan maslahah mursalah di
antaranya adalah Allah mengutus rasul-rasul bertujuan untuk kemaslahatan atau
kemanfaatan manusia. Demikian juga Allah menurunkan syariatnya adalah untuk
kemaslahatan manusia. Sedangkan maslahah mursalah sama juga tujuannya.
Oleh karena itu, Syekh Ibnu Taimiyah berkata bahwa apabila seseorang
mendapat kesulitan dalam memeriksa hukum sesuatu, apakah hukumnya mubah
12
Abdul Wahhab Khallafah, Ilmu Ushul Fiqih, (semarang: Dina Utama, 1994, Cet. Ke-1), h. 116
13
atau haram, maka lihatlah maslahat (kebaikan) dan mafsadah (kerusakan)
sebagai dasar.14
G. Metode Penelitian
1. Jenis pendekatan penelitian
Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif15 dengan pendekatan etnografi yaitu melihat dan mengamati secara
langsung kehidupan masyarakat Desa Kedungwungu Kabupaten Tegal yang
melakukan tradisi Tumplek Ponjen.
2. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer yang diperoleh secara langsung oleh penulis melalui
observasi dan wawancara langsung kepada tokoh adat dan ulama serta
kesaksian secara lisan atau tercatat dari pelaku tradisi atau masyarakat
umum yang mengetahui tradisi Tumplek Ponjen.
b. Data Sekunder
Data sekunder yang berhubungan dengan permasalahan serta
mendukung dalam proses penulisan penelitian ini antara lain;
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, ataupun hasil penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
14
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. Ke-1, h.161 15
Disebut penelitian kualitatif apabila jenis data dan analisa data yang digunakan bersifat naratif, dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang menggunakan penalaran. Yayan Sopyan,
Cara pengumpulan data yang dilakukan penulis untuk mendapatkan dan
memahami gambaran serta realita yang ada, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Wawancara
Penulis akan melakukan wawancara dengan beberapa tokoh adat
di desa Kedungwungu Kabupaten Tegal beserta beberapa tokoh ulama
2. Observasi
Penulis akan melakukan observasi langsung pada warga yang
melakukan pernikan dengan adat Tumplek Ponjen di Desa
Kedungwungu Kabupaten Tegal
3. Analisis Data
Penulis menggunakan metode deskriptif (deskriptive tesearch) dalam
proses analisa data
Adapun teknik penulisan merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan
SkripsiFakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.16
H. Sistematika Pembahasan
Bagian ini adalah upaya untuk mempermudah pembahasan dan penulisan
skripsi, oleh karena itu penulis menyusun suatu sistematika penulis seperti yang
dijelaskan di bawah ini.
16
Pembahasan pertama menguraikan tentang latar belakang masalah,
identifikasi maslah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu,
metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab I ini merupakan landasam
pemikiran dari sebuah penelitian, fungsina adalah untuk menguraikan dan
menjelaskan bab-bab selanjutnya. Kemudian pada pembahasan yang kedua
menguraikan tentang mashlahah musrsalahdan „urf.
Pada pembahasan yang ke tiga penulismenguraikan tentang profil Desa
Kedungwungu Kabupaten Tegal. Kemudian pada pembahasan yang keempat,
merupakan pembahasan dari hubungan tradisi tumplek ponjen dengan hukum
islam dan hukum positif.Selanjutnyapada pembahasan yang terakhiryaitu penutup
yang berisikan kesimpulan dari permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab-
18
Untuk memahami maslahah mursalah secara baik, terlebih dahulu perlu
diketahui makna dalam kajian ushul fiqih, secara etimologis “maslahah
mursalah” terdiri atas dua suku kata, yaitu maslahah dan mursalah.
Secara etimologi, kata maslahahberasal dari kata „salaha’ atau „saluha’
yang berarti baik. Kata ini adalah antonim dari kata „fasad’ yang berarti rusak.
Dengan demikian maslahahadalah kebalikan dari kata mafsadah (kerusakan).
Kata maslahahitu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata masalih.
Pengarang kamus “Lisan al-Arab” menjelaskan pengertian maslahat dari dua
arah, yaitu maslahah yang mempunyai arti „al-shalah’ dan maslahah sebagai
bentuk tunggal (mufrad) dari kata „al-mashalih’ semuanya mengandung arti
adanya manfaat baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan
kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan.1
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa maslahah
mempunyai arti “sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan guna”
sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat kepentingan.2
Dalam arti yang umum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik
dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan dan
ketenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak
1 Rachmat Syafe‟i.
Ilmu Ushul Fiqi, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet. Ke-1), h.117.
2
kemudharatan atau kerusakan. Sehingga setiap yang mengundang manfaat patut
disebut maslahah.
Sedangkan kata mursalah merupakan bentuk isim maf’ul dari kata:
arsala-yursilu-irsal yang artinya: „adam al-taqyid (tidak terikat) atau yang berarti juga: al-mutlaqah (bebas atau lepas).3
kemudian pengertian maslahah secara terminologi, terdapat beberapa
definisi maslahah yang dikemukakan ulama ushul fiqih, tetapi seluruh definisi
tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Ghazali misalnya,
mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah “mengambil manfaat
dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara‟.4
Tujuan syara‟ yang harus dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang
melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek
tujuan syara‟ tersebut maka dinamakan maslahah, dan upaya untuk menolak
segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara‟
tersebut juga dinamakan maslahah.5
Dalam kaitan dengan ini, Imam al-Syathibi mengatakan bahwa
kemaslahatan tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan
akhirat, karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara
kelima tujuan syara‟ termasuk kedalam konsep maslahah. Dengan demikian,
3
Ahmad Mukri Aji, Pandangan al-Ghazali Tentang maslahah mursalah, Jurnal Ahkam, IV, 08, (Jakarta:2002), h.38.
4 Ma‟ruf Amin,
Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Paramuda Advertising, 2008, Cet. Ke-1), h. 152.
5Ma‟ruf Amin,
menurut al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus
bertujuan untuk kemaslahatan diakhirat.6
Sedangkan definisimaslahah menurut said Ramdhan al-Buthi adalah:
م س ف م يد ظفح م دا عل ميكحلا عراشلا ا دصق يتلا ةعف ملا : ةح صملا
ق ط م لا ما م ست م ل قع
ا ي اميف يترت
Artinya:”al-maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’i untuk para
hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri akal, keturunan dan harta
mereka sesuai dengan ukuran tertentu diantaranya.”
Dari definisi tersebut, tampak yang menjadi tolak ukur maslahah adalah
tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syar’i. Inti kemaslahatan yang ditetapkan
syar’i adalah pemeliharaan lima hal pokok (kulliyat- al-Khamasah), semua bentuk
tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan kelima aspek ini adalah
maslahah. Begitu pula segala upaya yang berbentuk tindakan menolak
kemudharatan terhadap kelima hal ini juga disebut maslahah.7
Sifat dasar dari maqasid al-syari’ah adalah pasti, dan kepastian disini
merujuk pada otoritas maqasid al-syari;ah itu sendiri. Dengan demikin eksistensi
maqasid al-asyari’ahpada setiap ketentuan hukum syariat menjadi hal yang tidak
terbantahkan baik yang bersifat perintah wajib atau larangan.8
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa al-Ghazali mengajukan
teori maqhasid as-ayari’ah ini dengan membatasi pemeliharaan syariah pada
6
Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, Al-Muafaqat fi Ushul al-Syariah, (t,t:Dar ibn Affan, 1997) cet, ke-1 jilid 2,h. 17-18. Lihat juga Ma’ruf Amin, fatwa dalam sistem hukum Islam, (Jakarta:Paramuda Advertising, 2018, Cet. Ke-1),h. 153.
7
Firdaus, Ushul Fiqih Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensi, (Jakarta:Zikrul Hakim,2004, Cet, ke-1), h. 81.
8
kulliat al-khamsah.Konsep pemeliharaan tersebut dapat diimplementasikan dalam
dua metode: pertama preventif (bersifat mencegah), dalam metode konstruktif,
kewajiban-kewajiban Agama dan berbagai aktifitas sunat yang baik dilakukan
dapat dijadikan contoh dalam metode ini. Sedangkan berbagai larangan pada
semua perbuatan bisa dijadikan sebagai contoh preventif kedua metode tersebut
bertujuan mengukuhkan elemen maqhasid al-syari’ah sebagai jalan menuju
kemaslahatan.
Dari beberapa definisi tentang maslahah dengan rumusan yang berbeda
tersebut dapat disimpulkan bahwa maslahah itu adalah sesuatu yang dipandang
baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan
kerusakan pada manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.9
Sedangkan secara teminologi ada beberapa rumusan definisi yang berbeda
tentang maslahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan
berdekatan pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah:
1. Al-Ghazali merumuskan maslahah mursalah sebagai berikut: “Apa-apa
(maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nas
tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”
2. Abdul Wahab Khalaf memberi rumusan berikut:
“Maslahah Mursalahialah masalah yang tidak ada dalil syara’ datang untuk
mengakuinya atau menolaknya.”10
3. Muhammad Abu Zahra memberi definisi:
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Ke-2), h. 325.
10
“Maslahah yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan tidakada petunjuk
tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.”11
Dalam kaitannya dengan ini Wahbah Zuhaili.12 Mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan maslah mursalah adalah beberapa sifat yang sejalan dengan
tindakan dengan tujuan syara’, tetapi tidak ada dalil tertentu dai syara yang
membenarkan atau menggugurkan, dan dengan ditetapkan hukum padanya akan
tercapai kemaslahatan dan tertolak kerusakan dari padanya, sejalan dengan hal ini
Ahmad Munif Suratmaputra13 juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
maslahah mursalah adalah maslahat yang sejalan dengan tindakan syara’ dan tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkanya.
Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat diterik kesimpulan tentang
hakikat dari maslahat mursalah tersebut, sebagai berikut:
a. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat
mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia
b. Apa yang baik menurut akal itu, juga selarn dan sejalan dengan tujuan syara’
dalam menetapkan hukum
c. Apa yang baik menurut akal dan selaras juga dengan tujuan syara’ tersebut
tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang mengakuinya.14
Pada perkembangan selanjutny penggunaan term maslahah mursalah telah
terjadi dikalangan ulama Ushul Fiqih. Sebagian ulama ada yang menyebutkan
11MuhamadAbu Zahrah penerjemah Saefullah Ma’sum dkk,
Ushul Fiqih,(Jakarta:Pustaka Firdaus, 2008 Cet. Ke-11), h.427.
12
Wahabah Zuhaili, Ushul Fiqih al Islam, (Bairut:Dar al-Fikr, 1986),h. 757. 13
Ahmad Munif Suramaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali Masalahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, Cet. Ke-1), h. 71.
14
dengan istilah: al-munasib al-mursal, al-istidlal al-mursal,al-Qiyas al-Maslahi,
sedangkan Imam al-Ghazali dengan nama “al-istislah”.15
Para ulama ushil fiqh sepakat menyatakan bahwa maslahah al-mu’tabarah
dapat dijadikan sebagai dalil hukum dalam menetapkan hukum. Kemaslahatan
seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Adapun mengenai maslahah mursalah
pada prinsipnya jumhur ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam
menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya
mereka berbeda pendapat.16
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah
mursalah sebagai dalil disyariatkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum.
Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang
dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan „illat (motivasi hukum) dalam
penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut
digunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Misal jenis sifat yang
dijadikan motivasi dalam suatu hukum adalah dalam sebuah Hadits diterangkan
)“Rasulullah saw melarang pedagang menghambat para petani di perbatasan kota
dengan maksud untuk membeli barang mereka, sebelum para petani itu
memasuki pasar”). Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari”kemudharatan
bagi petani” dengan terjadinya penipuan harga oleh para pedagang yang membeli
barang petaini tersebut dibatas kota, dan menolak kemudharatan itu merupakan
konsep al-maslahah al-mursalah.
15 Rachmat Syafe’I,
Ilmu Ushul Fiqih, h. 118. 16
Dengan demikian Ulama Hanafiyah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum; dengan syarat sifat kemaslahatan itu
terdapat dalam nash dan ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis
sifat yang didukung oleh nash atau ijma’. Dan penerapan konsep maslahah
al-mursalah dikalangan Hanafiyah terlihat secara luas dalam metode istihsan.17
Ulama Malikiyah dan Hanabillah menerima maslahah mursalah sebagai
dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiwh
yang palin banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah
merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci
seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa
keberadaan dan kualitas maslahah mursalah itu bersifat pasti (qat’i), sekalipun
dalam penerapannya bersifat zanni (relatif).18
Begitu halnya dengan ulama golongan Syafi’iiyah pada dasarnnya, juga
menjadikan maslahah sebagai salah satu dalil syata’, akan tetapi Imam al-Syafi’i
memasukkannya kedalam qiyas, namun salah satu pengikut mazhab ini Imam
al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas
permasalahan maslahah mursalah, walaupun beliau menyebutnya dengan istilah
al-istislah. Dengan demikian, jumhur ulama sebenarnya menerima maslahah mursalah sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan hukum Islam.19
Adapun penggunaan maslahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum jumhur ulama ini didasarkan pada sejumlah alasan sebagai berikut:
17
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, h. 120-121.
18
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, h. 121-122. 19
1. Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum
mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah
berfirmandalamQS. Al-Anbiya (21) :107
ايبناا(
107:21/
)
Artinya: “Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam”.
Ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seluruhnya
dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan
akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan maslahah terhadap hukum-hukum
lain yang juga mengandung kemalshatan adalah legal.
2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat,
zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada
hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3. Jumhur ulama juga beralasan dengan menujuk kepada beberapa perbuatan
sahabat, seperti Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran „Umar bin al
-Khatab, sebagai salah satu kemalshatan untuk melestarikan al-Qur’an dan
menuliskan al-Qur’an pada satu bahasa di zaman „Utsman bin’Affan demi
memelihara tidak terjadinya perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.20
B. Syarat berhujjah dengan Maslahah Mursalah
Ulama dalam memakai dan mempergunakan maslahah mursalah sebagai
hujjah sangat berhati-hati dan memberikan syarat-syarat yang begitu ketat, karena
dikhawatirkan akan menjadi pintu bagi pembentukan hukum syariat menutut
20Ma’ruf Amin,
hawa nafsu dan keinginan perorangan, bila tidak ada batasan-batasan dalam
mempergunkannya. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan.
Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisasi pembentukan hukum
suatu kejadian itu dan dapat mendatangkan keuntungan, manfaat atau
menolak madarat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu
mendatangkankeuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara maslahah
yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini berarti adalah
didasarkan atas maslahah yang bersifat dugaan. Contoh maslahah ini ialah
maslahah yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan
isterinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakiim saja dalam
segala keadaan.
2. Berupa maslahah yang bersifat umum. Bukan maslahah yang bersifat
perorangan. Yang dimaksud dengan ini yaitu, agar dapat direalisir bahwa
dalam pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan manfaat
kepada umat manusia, atau dapat menolak madarat dari mereka, dan bukan
hanya memberikan menfaat kepada seseorang atau beberapa orang saja.
Apabila demikian maka hal tersebut tidak dapat syariatkan sebagai sebuah
hukum.
3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum
atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’ dalam artian bahwa
maslahah tersebut adalah maslahah yang hakiki dan selalu sejalan dengan
4. Diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya
tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan
hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari
kesulitan.21
Imam Ghazali, dalam mempergunakan pemakaian maslahah mursalah sebagai
salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja mempergunakannya
dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang begitu ketat.
Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Maslahah itu haruslah satu dari lima kebutuhan pokok. Apabila hanya kebutuhan kedua atau pelengkap maka tidak dapat dijadikan landasan.
2. Maslahah itu haruslah bersifat sementara, yakni kemaslahatan kaum muslim secara utuh, bukan hanya sebagian orang atau hanya relevan dalam keadaan
tertentu.
3. Maslahahtersebut harus bersifat qath’i )pasti) atau mendekati itu.22
Sedangkan Imam Syatibi tidak mengharuskan hal-hal yang disyaratkan oleh
Imam Ghazali, tetapi mengemukakan tiga hal yang harus diperhatikan dalam
ketika memutuskan hukum berdasarkan maslahah mursalah, yaitu:
1. Harus masuk akal, sehingga ketika disampaikan kepada akal, akal dapat
menerimanya. Namun tidak boleh menyangkut hal-hal ibadah.
2. Secara keseluruhan, harus sesuai dengan tujuan-tujuan syariat, yang mana
tidak menghilangkan satu dasarpun dari dasar-dasar agama, dan satu
21
Abdul Wahab Al-khalaf, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani,2003), h. 145-146. 22
dalilpun dari dalil-dalil yang qath’i. Tetapi ia harus sesuai dengan
maslahat-maslahat yang menjadi tujuan dari syariat, meskipun tidak
ditemukan dalil khusus yang menerangkannya.
3. Maslahah mursalah harus selalu mengacu kepada pemeliharaan hal-hal yang bersifat vital atau menghilangkan kesulitan dan hal-hal membertakan
di dalam agama.23
Selanjutnya Imam Malik, dalam mempergunakan pemakaianmaslahah
mursalah sebagai salah satu metode penetapan hukum, beliau tidak begitu saja mempergunakannya dengan mudah, namun beliau memakai syarat-syarat yang
begitu ketat, syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Adanya kesesuain antara maslahat yang diperhatikan dengan maqasid
al-syariah, dimana maslahat tersebut tidak bertentangan dengan dasar dan
dalil syara’ meskipun hanya satu.
2. Maslahat tersebut berkaitan dengan perkara-perkara yang ma’qulat
)rasional), yang menurut syara’ didasarkan kepada pemeliharaan terhadap
maslahat, sehingga tidak ada tempat untuk maslahat dalam maslahah
ta’abbudiyah dan perkara-perkara syara’ yang sepertinya.
3. Hasil dari maslahah mursalah dikembalikan kepada pemeliharaan
terhadap perkara yang daruri )primer) menurut syara’ dan meniadakan
kesempitan dalam agama.24
23
Yusuf Qardhawi alih bahasa Zuhairi Misraw, M. Imdadun Rahmah. Fikih Taysir Metode Praktis Mempelajari Fikih, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, Cet. Ke-1), h. 91.
Bila diperhatikan syarat-syarat maslahah mursalah diatas terlihat bahwa
ulama yang memakai dan menggunkana maslahah mursalah dalam berhujjah
cukup hati-hati dalam menggunakannya. Karena bagaimanapun juga apa yang
dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapkan suatu hukum dalm hal-hal
yang pada waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.25
C. Pengertian ‘Urf
Dalam literatur ilmu Ushul Fiqih, pengertian adat (al-adah) dan „urf
mempunyai peranan yang cukup signifikan. Kedua kata berasal dari bahasa arab
yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Kata „urf berasal dari kata
„araf yang mempunyai derivasi kata al-ma’ruf yang berarti sesuatu yang
dikenal/diketahui.26 Sedangkan kata adat berasal dari kata„addah yang
mempunyai derivasi kata al-adah yang berarti sesuatu yang diulang-ulang
(kebiasaan).
Arti „urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat, „urf ini sering
disebut sebagai adat.27
Menurut Abdul Wahab Al-khalaf, „urf adalah apa yang dikenal oleh
manusia dan menjadi tradisinya, baik ucapan, perbuatan atau
pantangan-pantangan, dan disebut juga adat. Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan
antara „urf dan adat. Adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia jual beli
25 Wahidul Kahar, “Efektifitas Maslahah Mursalah Dalam Penetapan Hukum syara”, (Thesis. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2003), h. 36.
26
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001), h.363. 27Rahmat Syafe’I,
dengan tukar menukr secara lngsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan,
seperti kebiasaan umat manusia menyebut al-walad secara mutlak berarti anak
laki-laki, bukan anak perempuan, dan kebiasaan mereka untuk mengucapkan kata
daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan menusia menurut derajat
mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’, yang terbentuk
dari kesepakatan para Mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.28
Musthafa Ahmad al-zarqa’ )guru besar fiqih Islam di Universitas „Amman,
Jordania), mengatakan bahwa „urfmerupakan bagian dari adat, karena adat lebih
umum dari „urf. Suatu „urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang
didaerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan „urf bukanlah
kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dikebanyakan adat, tetapi muncul dari
suatu pemikiran dan pengalaman. Yang dibahas para Ulama Ushul Fiqih, dalam
kaitannya dengan salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ adalah
„urfbukan adat.29
D. Macam-Macam ‘Urf
Ahmad Fahmi Abu Sunnah dan Ahmad Musthafa al-Zarqa’ serta para
Ulama Ushul fiqih membagi „urf menjadi tiga macam:30
a. Dari segi objeknya, „urf dibagi kepada:
1. Al-„urf al-lafdzi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan), adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu
dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkpana itulah yang
dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya: kata daging
28
Abdul Wahab Al-khalaf, Ushul Fiqih,(Jakarta: Pustaka Amani,2003), h.117. 29
Nasrun Harun, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 138-139. 30
yang berarti daging sapi; padahal kata daging mencakup seluruh daging
yang ada.
2. Al-„urf al-„amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan
biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka
yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan
masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara khusus.
b. Dari segi cakupannya, „urf dibagi kepada:
1. Al-„urf al-„am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, dalam jula beli
mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil termasuk
dalam harga jual, tenpa akad sendiri dan biaya tambahan.
2. Al-„urf al-khash, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan di daerah tertentu. Misalnya, kebiasaan mengenai penentuan masa garansi
terhadap barang tertentu.
c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, „urf dibagi kepada:
1. Al-„urf al-shahih, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis), tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada
mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pria memberikan hadiah
kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
2. Al-„urf al-fasid, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang
dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang
dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang sesama pedagang.
E. Kedudukan ‘UrfSebagai Metode Istinbath Hukum
Sumber hukum Islam terbagi menjadi dua, manshush (berdasarkan nash)
dan ghairu manshush (tidak berdasarkan nash). Manshush terbagi menjadi dua
yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, Ghairu manshush terbagi menjadi dua yakni
muttaqaf „alaih)ijma’ dan qiyas) dan mukhtalaf fih)istihsan, „urf, istishab,sad ad
-dzarai’, maslahah mursalah, qaul shohabi, dan lain-lain).
„Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada
umumnya, „urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan „urf dikhususkan
lafal yang „amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena „urf pula terkadang
qiyas ditinggalkan.
Para Ulama banyak yang sepakat dan menerima „urf sebagai dalil dalam
mengistinbathkan hukum, selama ia merupakan al-„urf al-shahih dan tidak
bertentangan dengan hukum Islam, baik berkaitan dengan al-„urf al-„amm atau
al-„urf al-khas.
Seorang Mujtahid dalammenetapkan suatu hukum, menurut Imam
al-Qarafi, harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau
menghilangkan suatu kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut.
Seluruh Ulama madzhab, menurut imam Syatibi dan imam Ibnu Qayim
hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang
dihadapi.31
Ada beberapa alasan „urf dapat dijadikan dalil, diantaranya yaitu:32
1. Hadis Nabi yang dinukil oleh Djazuli dalam bukunya yang berbunyi:
م ه د ع ع
ريخ دمحم ق دج ف دا علا
ق يف ع طا زع ه ا اف د عس
ق ريخ احصا
ق دج ف دمحم ق دع دا علا
ق يف ع طا مث دا علا
ق
م رتخ اف دا علا
امف ي د ى ع تاقي يدل
سح ه د ع ف ا اسح م سملا ار
ف اتيس ار ام
ئس ه د ع
) )ي ار طلا ا ر
Artinya : Dari Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa sesungguhnya Allah ada
dalam hati hamba, hati yang paling baik adalah hati Nabi Muhamad, hamba seorang mukmin adalah sebaik-baiknya hati, mereka akan memilih sesuatu yang baik untuk agamanya dan mereka akan berperang demi agamanya, maka apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam, maka hal itu baik pula di sisi Allah dan apa yang dianggap buruk oleh orang-orang islam, maka hal itu buruk pula di sisi Allah. (HR. Thabrani)
Hal ini menunjukkan bahwa segala adat kebiasaan yang dianggap baik
oleh umat Islam adalah baik menurut Allah, karena apabila tidak
melaksanakan kebiasaan tadi, mak akan menimbulkan kesulitan.
Dalam kaitan ini Allah berfirmandalam QS. Al-Hajj (22) : 78
جحلا(
(78:22/
Artinya: “dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam aama suatu
kesempitan”.
31
Nasrun Harun, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 142. 32
2. Hukum Islam di dalam khitab-nya memelihara hukum-hukum Arab yang
maslahat seperti perwalian nikah oleh pria, menghormati tamu dan
sebagainya.
3. Adat kebiasaan manusia baik berupa perbuatan maupun perkataan berjalan
sesuai dengan aturan hidup manusia dan keperluaanya, apabila dia berkata
ataupun berbuat sesuai dengan pengertian dan apa yang biasa berlaku pada
masyarakat.
Adat atau „urf dengan persyaratan-persyaratan terntentu dapat dijadikan
sandaran untuk menetapkan suatu hukum, bahkan di dalan sistem hukum Islam
kita kenal qa’idah kulliyah fiqhiyah yang berbunyi:33
ةمكحم ةعيرش ةداعلا
1. Maksudnya, adat dapat dijadikan hukum untuk menetapkan suatu hukum
syara’
يعرش يلد ت اتاك فرعلا اتلا
2. Sesuatu yang ditetapkan adat atau „urf seperti yang ditetapakan dalil syara’
ةمكحم ةداعلا
3. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum34
Para ulama Ushul fiqih menyatakan bahwa suatu „urf, baru dapat dijadikan
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:35
33
Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih Metode Hukum Islam (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2000), h. 185.
34
1. „urf itu berlaku secara umum, artinya „urf itu berlaku dalam mayoritas kasus
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh
mayoritas masyarkat tersebut.
2. „Urf itu telah masyarakat ketika persoalan yang kan titetapkan hukumnya itu
muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum tiu lebih dahulu
ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3. „Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi.
4. „Urf itu tidak bertentangan dengan nash.
35
37 BAB III
POTRET DESA KEDUNGWUNGU
A. Sejarah dan Kondisi Geografis
Kedungwungu adalah sebuah nama kelurahan yang namanya berasal dari
namakedung dan kayu wungu. Dahulu di desa tersebut terdapat banyak sekali
kedung dan kayu wungu yang menjadi salah satu sumber penghasilan dan sumber
kehidupan.kedung digunakan masyarakat dahulu untuk mencari ikan, airnya
digunakan untuk memasak, mencuci dan mandi, sedangkankayu wugu biasa
digunakan oleh masyarakat desa kedungwungu sebagai salah satu bahan untuk
membut rumah.1
Desa Kedungwungu sebagai salah satu desa di wilayah Kecamatan
Jatinegara, Kabupaten Tegal dan sebagian wilayahnya pun dikelilingi oleh
perbukitan gunung selamet. Dalam Kecamatan Jatinegara terdapat 17 desa2 yang
di mana 8 desa tidak berada dalam wilayah pegunungan dan 9 lainnya termasuk
wilayah pegunungan.
Desa Kedungwungu termasuk dalam wilayah pegunungan yang diapit oleh
bukit yang subur dan pemandangan yang menawan.3 Desa ini terbagi dalam empat
daerah kecil yaitu Dukuh Tampingan, Dukuh Kerajan, Dukuh Magangan dan
Dukuh Jingkang. Desa ini begitu sederhana dengan wilayah yang masih banyak
ditanami padi karena mayoritas masyarakat disini adalah petani.
1
wawancara pribadi dengan bapak Muchari, Kepala Desa Kedungwungu, Kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal, pada tangal 25 Agustus 2016.
2
Kecamatan Jatinegara,diakses pada tanggal 28 Agustus 2008
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Jatinegara,_Tegal. 3
Andri Saputra, Sejarah Desa Kedungwungu diakses pada tanggal 28 Agustus 2008 di
Wilayah Desa Kedugwungu berada dalam wilayah Kecamatan Jatnegara dan salah
satu dari 17 desa, dengan jarak tmpuh terhadap pusat pemerintahan sebagai
berikut:4
Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan : 15 (lima belas) KM.
Jarak dari ibukota kabupaten : 36 (tiga puluh enam) KM.
Jarak dai ibukota provinsi : 205 (dua ratus lima) KM.
Sedangkan batas wilayah Kelurahan/Desa Kedungwung adalah:5
Sebelah utara : Padasari
Sebelah selatan : Mokaha
Sebelah Timur : Argatawang
Sebelah barat : Danareja
Adapun luas wilayah Desa Kedungwungu adalah 5291.9 Ha. Luas wilayah
Desa Kedungwungu menurut jenis tanah sebagian besar adalah tanah darat yaitu;
Tegalan/ladang 556,75 Ha. Pemukiman 34.400