FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI USIA 0-6 BULAN DI
KELURAHAN HELVETIA TIMUR
TESIS
Oleh HENI TRIANA 107032123/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
FACTORS RELATING TO THE GRANTING INFANT FORMULA MILK AT AGE IN 0-6 MONTHS
HELVETIA KELURAHAN EAST
THESIS
By HENI TRIANA 107032123/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI USIA 0-6 BULAN DI
KELUARAHAN HELVETIA TIMUR
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh HENI TRIANA 107032123/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI USIA 0-6 BULAN DI KELURAHAN
HELVETIA TIMUR Nama Mahasiswa : Heni Triana
Nomor Induk Mahasiswa : 107032123
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Drs. Heru Santosa, M.S, Ph.D) (Drs. Tukiman, M.K.M Ketua Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 31 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Drs. Heru Santosa, M.S, Ph.D Anggota : 1. Drs. Tukiman, M.K.M
PERNYATAAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN SUSU FORMULA PADA BAYI USIA 0-6 BULAN DI
KELURAHAN HELVETIA TIMUR
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2012
ABSTRAK
Rendahnya cakupan ASI eksklusif di Kecamatan Helvetia berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota medan sebesar 0,00% dan tingginya pemberian susu formula kepada bayi umur 0-6 bulan. Hal ini terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan di Kelurahan Helvetia Timur. Jenis penelitian ini adalah retrospective study. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu di kelurahan Helvetia Timur yang mempunyai bayi 0-6 bulan berjumlah 256 orang.Sampel sebanyak 191 orang dan diambil secara convinience sampling.Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan chi-squarepada α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil uji eksak fisher di peroleh nilai P= 0,583 > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara umur dengan pemberian susu formula. hasil uji statistik chi square diperoleh nilai P=0,002< 0,05 artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square di peroleh nilai P=0,007 < 0,05 artinya ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chisquare diperoleh nilai P= 0,010 < 0,05 artinya ada hubungan pekerjaan ibu dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square di peroleh nilai P= 0,027 < 0,05 artinya ada hubungan antara penghasilan dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square diperoleh nilai P= 0,296 >0,05 artinya tidak ada hubungan antara jumlah tanggungan dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square diperoleh nilai P=0,011 < 0,05 artinya ada hubungan lingkungan sanak saudara dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square diperoleh nilai P= 0,047 < 0,05 artinya ada hubungan antara tempat bersalin dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square di peroleh nilai P = 0,045 > 0,05 artinya ada hubungan antara media informasi dengan pemberian susu formula.
Disarankan kepada tenaga kesehatan perlu meningkatkan pemahaman ibu tentang pentingnya pemberian Asi ekslusif pada bayi melalui penyuluhan atau pendidikan kesehatan kepada ibu untartinya ada hubungan antara pendidikan dengan pemberian susu formula, uk meningkatkan cakupan pemberian Asi ekslusif pada bayi, diharapkan ibu untuk tidak memberikan susu formula pada bayi dengan umur 0-6 bulan dan kepada ibu untuk lebih meningkatkan pengetahuan tentang manfaat pemberian ASI ekslusif pada bayi sampai umur 6 bulan.
ABSTRACT
The low coverage of exclusive breast feeding in the District of Helvetia and a high of 0,00% formula feeding to infants age 0-6 months. This is related to factor sassociated with formula feeding in infant saged 0-6 months.
This study aimstodetermine the factors associated with formula feeding in infants aged 0-6 months in the Village of East Helvetia. This type of researchis aretrospective study. The population in thi sstudy wereall mothersin the village of East Helvetia has a baby 0-6 months amounted to 256 people. Sample of 191 people and taken convenience sampling. Data obtained through interviews using questionnaires, were analyzed bychi-square at theα=5%.
The results showed that the results obtained by fisher's exact test p-value = 0.583> 0.05 means that there is no relationship between age and formula feeding. The test results obtained chi square statistic p-value = 0.002 <0.05 means that there is a relationship between knowledge with formula feeding, the results obtained by chi-square statistical test p-value = 0.007 <0.05 means that there is a relationship between maternal education with formula feeding, results chi-square statistical test obtained p-value = 0.010 <0.05 means that there is a relationship work with formula feeding mothers, the results obtained by chi-square statistical test p-value = 0.027 <0.05 means that there is a relationship between income formula feeding, the results of statistical tests obtained chi square p-value = 0.296> 0.05 means that there is no relationship between the number of dependents with formula feeding, the results obtained by chi-square statistical test p-value = 0.011 <0.05 means that there is a relationship between the environment relative to formula feeding, results chi-square statistical test obtained p-value = 0.047 <0.05 means that there is a relationship between place of birth with formula feeding, the results obtained by chi-square statistical test p value = 0.045> 0.05 means that there is a relationship with the media with formula feeding
It is recommended to health professionals need to improve understanding of theim portance of mothers exclusively breast milkto infant sthrough counseling or health education to mothers to improve the cover age of exclusive breast feeding in infants, mother sare expected not to give formula in infant sto age 0-6 months and them other to further improve the knowledge about the benefit sof exclusive breast feeding in infants up to age 6 months.
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Susu Formula pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Kelurahan Helvetia Timur ”.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi Magister Ilmu Kesehatan
Masyarakat Jurusan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat
dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral maupun material dari banyak pihak.
Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
5. Drs. Heru Santosa, M.S, Ph.D, sebagai ketua komisi pembimbing yang dengan
waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis
selesai.
6. Drs. Tukiman, M.K.M selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh
perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu
untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
7. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes sebagai
komisi penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan
masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
8. Kepala Puskesmas Helvetia Kota Medan dan jajarannya yang telah berkenan
memberikan kesempatan kepada penulis untuk memberikan izin sampai selesai
penelitian ini.
9. Lurah Kelurahan Helvetia Timur dan jajarannya yang telah berkenan
memberikan kesempatan kepada penulis untuk memberikan izin sampai selesai
penelitian ini.
10. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi Magister Ilmu KesehataMasyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu perilaku, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
11. Ketua Stikes Flora Medan yaitu dr. H. Muara P Lubis, Sp.OG yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan pendidikan pada
Program Studi Megister Ilmu Kesehatan masyarakat Universitas Sumatera Utara.
12. Kaprodi DIII Keperawatan yaitu Bapak dr. Martua Lubis, M.Sc yang setiap saat
13. Rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi
Kesehatan dan Ilmu Perilaku tahun 2010, terima kasih atas semangat
kebersamaan selama menjalani perkuliahan semoga kita masih bisa menjalin
silaturahmi di masa mendatang.
14. Orang tua penulis ayahanda Almarhum Thamrin A malik dan Ibunda Tengku
Darnawati terima kasih atas kasih sayang doa dan dukungan baik moril maupun
materil kepada penulis
15. Mertua penulis ayahanda H. M. Syofan dan Ibunda Sarni yang telah memberikan
dukungan dan semangat kepada penulis.
16. Secara khusus buat Suami ku tercinta Ibrahim AMP dan anaku tersayang Jihan
Fatika yang telah memberikan pengertian, semangat dan dukungannya semoga
ALLAH SWT membalas semuanya dengan kebahagian dan suka cita.
Kiranya penelitian ini mampu memberikan manfaat yang sebesar – besarnya
pada berbagai pihak yang berkepentingan. Penulis menyadari atas segala
keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi
pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi
penelitian selanjutnya.
Medan, Oktober 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Heni Triana, lahir pada tanggal 8 Agustus 1977 di Langsa, anak ketiga dari
tujuh bersaudara dari pasangan Ayahanda Alm. Thamrin A. Malik dan Ibunda T.
Darnawati.
Pendidikan formal penulis dimulai dari Sekolah Dasar di sekolah Dasar
Negeri Desa Gohor Kecamatan Wampu, selesai Tahun 1989, Sekolah Menengah
Pertama di MTs Bustanul Ulum Langsa, selesai tahun 1992, Sekolah Menengah Atas
di MAN I Tanjung Pura, selesai Tahun 1995, Akademi Keperawatan Flora Medan,
selesai Tahun 1998, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,
selesai Tahun 2003.
Penulis mulai bekerja sebagai staf pengajar di Akademi Keperawatan Flora
Medan tahun 1999 sampai sekarang.
Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku , Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2010 dan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Hipotesis ... 8
1.5. Manfaat Penelitian ... 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1. Konsep Dasar Perilaku ... 9
2.1.1. Pengertian Perilaku ... 9
2.1.2. Bentuk Perilaku ... 9
2.1.3. Proses Adopsi Perilaku ... 14
2.1.4. Perilaku Kesehatan ... 15
2.1.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku ... 16
2.2. Konsep Dasar Susu Formula ... 17
2.2.1. Pengertian Susu Formula ... 17
2.2.2. Klasifikasi Susu Formula ... 17
2.2.3. Komposisi Susu Formula dan Kekurangannya Dibandingkan ASI ... 19
2.2.4. Manfaat ASI Eksklusif Dibandingkan Bahaya Susu Formula ... 22
2.2.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan Susu Susu Formula ... 25
2.3. Landasan Teori ... 26
2.4. Kerangka Konsep ... 27
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 28
3.1. Jenis Penelitian ... 28
3.3. Populasi dan Sampel ... 28
3.3.1. Populasi ... 28
3.3.2. Sampel ... 29
3.3.2.1. Besar Sampel ... 29
3.3.2.2. Kriteria Eksklusi Sampel ... 29
3.3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel ... 30
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 30
3.4.1. Data Primer ... 30
3.4.2. Data Sekunder ... 30
3.5. Validitas dan Reliabilitas ... 31
3.5.1. Validitas ... 31
3.5.2. Reliabilitas ... 32
3.6. Variabel dan Defini Operasional ... 33
3.6.1. Variabel Bebas ... 33
3.6.2. Variabel Terikat ... 36
3.7. Metode Pengukuran ... 36
3.8. Metode Analisis Data ... 37
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 38
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 38
4.1.1. Distribusi Penduduk Helvetia Timur Berdasarkan Lingkungan ... 38
4.1.2. Distribusi Jumlah Bayi Helvetia Timur Berdasarkan Kelompok Umur ... 39
4.1.3. Distribusi Kunjungan Bayi Melakukan Pemeriksaan di Posyandu Helvetia Timur …... ... 40
4.1.4. Sarana Pendukung Kesehatan di Helvetia Timur... 40
4.2. Analisis Univariat ... 41
4.2.1. Umur ... 41
4.2.2. Pengetahuan ... 41
4.2.3. Pendidikan ... 44
4.2.4. Pekerjaan ... 44
4.2.5. Penghasilan Keluarga ... 45
4.2.6. Jumlah Tanggungan ... 45
4.2.7. Lingkungan Sanak Saudara ………... ... 46
4.2.8. Tempat Bersalin ... 46
4.2.9. Media Informasi ... 46
4.2.10. Pemberian Susu Formula ... 47
4.2.11. Pemberian Susu Formula Berdasarkan Umur Bayi ... 47
4.2.12. Hasil Wawancara Mendalam Khusus Pada Ibu yang Memberikan Susu Formula pada Bayi ... 48
BAB 5. PEMBAHASAN ... 55
5.1. Hubungan Umur dengan Pemberian Susu Formula di Kelurahan Helvetia Timur... 55
5.2. Hubungan Pengetahuan dengan Pemberian Susu Formula di Kelurahan Helvetia Timur ... 56
5.3. Hubungan Pendidikan dengan Pemberian Susu Formula di Kelurahan Helvetia Timur ... 59
5.4. Hubungan Pekerjaan dengan Pemberian Susu Formula di Kelurahan Helvetia Timur ... 62
5.5. Hubungan Penghasilan Keluarga dengan Pemberian Susu Formula di Kelurahan Helvetia Timur ... 64
5.6. Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Pemberian Susu Formula di Kelurahan Helvetia Timur ... 65
5.7. Hubungan Lingkungan Sanak Saudara dengan Pemberian Susu Formula di Kelurahan Helvetia Timur ... 67
5.8. Hubungan Tempat Bersalin dengan Pemberian Susu Formula di Kelurahan Helvetia Timur ... 68
5.9. Hubungan Media Informasi dengan Pemberian Susu Formula di Kelurahan Helvetia Timur ... 70
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
6.1. Kesimpulan ... 73
6.2. Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 75
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1
3.2
Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan ...
Hasil Uji Reliabilitas Variabel Pengetahuan ...
31
33
3.7 Variabel, Cara, ALat, Skala dan Hasil Ukur ... 36
4.1
4.2
4.3
Distribusi Penduduk di Kelurahan Helvetia Timur Berdasarkan Lingkungan ...
Distribusi Jumlah Bayi Helvetia Timur Berdasarkan Kelompok Umur ...
Distribusi Jumlah Bayi Helvetia Timur Berdasarkan Kelompok Umur ...
39
39
40
4.4 Distribusi Frekuensi Umur Responden di Kelurahan Helvetia
Timur ... 41
4.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu tentang Pemberian Susu
Formula pada Bayi Usia 0-6 bulan ... 42
4.6 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu yang Mempunyai Bayi
6-11 Bulan di Kelurahan Helvetia Timur ... 44
4.7 Distribusi Frekuensi Pendidikan Ibu yang Mempunyai Bayi
6-11 Bulan di Kelurahan Helvetia Timur ... 44
4.8 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Ibu yang Mempunyai Bayi
6-11 Bulan di Kelurahan Helvetia Timur ... 44
4.9 Distribusi Frekuensi Penghasilan Keluarga Ibu yang
Mempunyai Bayi 6-11 Bulan di Kelurahan Helvetia Timur ... 45
4.10 Distribusi Frekuensi Jumlah Tanggungan Keluarga Ibu yang
4.11 Distribusi Frekuensi Lingkungan Sanak Saudara Responden
di Kelurahan Helvetia Timur ... 46
4.12 Distribusi Frekuensi Tempat Bersalin Responden di
Kelurahan Helvetia Timur ... 46
4.13 Distribusi Frekuensi Media Informasi Responden di
Kelurahan Helvetia Timur ... 47
4.14 Distribusi Frekuensi Pemberian Susu Formula Responden di
Kelurahan Helvetia Timur ... 47
4.15 Distribusi Frekuensi Pemberian Susu Formula Berdasarkan
Umur Bayi di Kelurahan Helvetia Timur ... 48
4.16 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Susu Formula Berdasarkan Umur Bayi di Kelurahan Helvetia
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.3. Modifikasi Teori L. Green tentang Faktor-faktor yang
Memengaruhi Terjadinya Suatu Perilaku……….…………... 26
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 79
2. Master Data Validitas dan Reliabilitas ... 85
3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 86
4. Master Data Penelitian ... 88
5. Hasil Uji Statistik ... 102
ABSTRAK
Rendahnya cakupan ASI eksklusif di Kecamatan Helvetia berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota medan sebesar 0,00% dan tingginya pemberian susu formula kepada bayi umur 0-6 bulan. Hal ini terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan di Kelurahan Helvetia Timur. Jenis penelitian ini adalah retrospective study. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu di kelurahan Helvetia Timur yang mempunyai bayi 0-6 bulan berjumlah 256 orang.Sampel sebanyak 191 orang dan diambil secara convinience sampling.Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan chi-squarepada α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil uji eksak fisher di peroleh nilai P= 0,583 > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara umur dengan pemberian susu formula. hasil uji statistik chi square diperoleh nilai P=0,002< 0,05 artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square di peroleh nilai P=0,007 < 0,05 artinya ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chisquare diperoleh nilai P= 0,010 < 0,05 artinya ada hubungan pekerjaan ibu dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square di peroleh nilai P= 0,027 < 0,05 artinya ada hubungan antara penghasilan dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square diperoleh nilai P= 0,296 >0,05 artinya tidak ada hubungan antara jumlah tanggungan dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square diperoleh nilai P=0,011 < 0,05 artinya ada hubungan lingkungan sanak saudara dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square diperoleh nilai P= 0,047 < 0,05 artinya ada hubungan antara tempat bersalin dengan pemberian susu formula, hasil uji statistik chi square di peroleh nilai P = 0,045 > 0,05 artinya ada hubungan antara media informasi dengan pemberian susu formula.
Disarankan kepada tenaga kesehatan perlu meningkatkan pemahaman ibu tentang pentingnya pemberian Asi ekslusif pada bayi melalui penyuluhan atau pendidikan kesehatan kepada ibu untartinya ada hubungan antara pendidikan dengan pemberian susu formula, uk meningkatkan cakupan pemberian Asi ekslusif pada bayi, diharapkan ibu untuk tidak memberikan susu formula pada bayi dengan umur 0-6 bulan dan kepada ibu untuk lebih meningkatkan pengetahuan tentang manfaat pemberian ASI ekslusif pada bayi sampai umur 6 bulan.
ABSTRACT
The low coverage of exclusive breast feeding in the District of Helvetia and a high of 0,00% formula feeding to infants age 0-6 months. This is related to factor sassociated with formula feeding in infant saged 0-6 months.
This study aimstodetermine the factors associated with formula feeding in infants aged 0-6 months in the Village of East Helvetia. This type of researchis aretrospective study. The population in thi sstudy wereall mothersin the village of East Helvetia has a baby 0-6 months amounted to 256 people. Sample of 191 people and taken convenience sampling. Data obtained through interviews using questionnaires, were analyzed bychi-square at theα=5%.
The results showed that the results obtained by fisher's exact test p-value = 0.583> 0.05 means that there is no relationship between age and formula feeding. The test results obtained chi square statistic p-value = 0.002 <0.05 means that there is a relationship between knowledge with formula feeding, the results obtained by chi-square statistical test p-value = 0.007 <0.05 means that there is a relationship between maternal education with formula feeding, results chi-square statistical test obtained p-value = 0.010 <0.05 means that there is a relationship work with formula feeding mothers, the results obtained by chi-square statistical test p-value = 0.027 <0.05 means that there is a relationship between income formula feeding, the results of statistical tests obtained chi square p-value = 0.296> 0.05 means that there is no relationship between the number of dependents with formula feeding, the results obtained by chi-square statistical test p-value = 0.011 <0.05 means that there is a relationship between the environment relative to formula feeding, results chi-square statistical test obtained p-value = 0.047 <0.05 means that there is a relationship between place of birth with formula feeding, the results obtained by chi-square statistical test p value = 0.045> 0.05 means that there is a relationship with the media with formula feeding
It is recommended to health professionals need to improve understanding of theim portance of mothers exclusively breast milkto infant sthrough counseling or health education to mothers to improve the cover age of exclusive breast feeding in infants, mother sare expected not to give formula in infant sto age 0-6 months and them other to further improve the knowledge about the benefit sof exclusive breast feeding in infants up to age 6 months.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemberian air susu ibu (ASI) sangat penting bagi tumbuh kembang yang
optimal baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi. Oleh karena itu, pemberian
ASI perlu mendapat perhatian para ibu dan tenaga kesehatan agar proses menyusui
dapat terlaksana dengan benar (Afifah, 2007). Selain itu, pemberian ASI dapat
menurunkan risiko kematian bayi. Kita ketahui bahwa Angka Kematian Bayi (AKB)
merupakan salah satu indikator kesehatan di suatu negara. Data SDKI tahun 2007
menunjukkan AKB di Indonesia cukup tinggi yaitu 34/1000.
Di negara berkembang, lebih dari 10 juta bayi meninggal dunia per tahun, 2/3
dari kematian tersebut terkait dengan masalah gizi yang sebenarnya dapat
dihindarkan. Penelitian di 42 negara berkembang menunjukkan bahwa pemberian
ASI secara eksklusif selama 6 bulan merupakan intervensi kesehatan masyarakat
yang mempunyai dampak positif terbesar untuk menurunkan angka kematian balita,
yaitu sekitar 13% (Sentra Laktasi Indonesia, 2007).
Masih menurut Sentra Laktasi Indonesia (2007), pemberian makanan
pendamping ASI yang benar dapat menurunkan angka kematian balita sebesar 6%.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, perilaku memberikan ASI secara eksklusif pada
bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan dapat menurunkan angka kematian 30.000 bayi di
Walaupun bayi umur 0-6 bulan mengalami pertumbuhan yang pesat, namun
sebelum mencapai usia 6 bulan, sistem pencernaan bayi belum mampu berfungsi
dengan sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna makanan selain ASI. ASI
merupakan gizi bayi terbaik, sumber makanan utama dan paling sempurna bagi bayi
usia 0-6 bulan. ASI mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan seorang bayi yaitu
energi, laktosa, lemak, protein, mineral, immunoglobulin, lisosin dan laktoferin.WHO
merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif selama 4-6 bulan.Namun pada
tahun 2001, setelah melakukan telah artikel penelitian secara sistemik dan
berkonsultasi dengan para pakar, WHO merevisi rekomendasi ASI eksklusif tersebut
dari 4-6 bulan menjadi 6 bulan (Fikawati dan Syafiq, 2010).
ASI terbukti melindungi anak terhadap berbagai penyakit infeksi seperti diare,
ISPA, dan lain-lain. Meningkatnya pemberian ASI di seluruh dunia diperkirakan
dapat menurunkan angka kematian akibat ISPA sebanyak 40% sampai 50% pada
anak berusia <18 bulan (Oddy,dkk, 2002). Di Amerika, 400 bayi meninggal per tahun
akibat muntah mencret. Sebanyak 300 bayi diantaranya adalah bayi yang tidak
disusui. Kematian meningkat 23,5 kali pada bayi susu formula. Menurut Vic yang
dikutip Roesli (2008), kemungkinan bayi akan mengalami mencret 17 kali lebih
banyak pada bayi yang menggunakan susu formula.
Menurut Hop yang di kutip Novianda (2011), hasil penelitian di Vietnam
terlihat bahwa lamanya ASI eksklusif berhubungan dengan prevalensi diare dan
ISPA.Pada anak dengan ASI eksklusif kurang dari 3 bulan, diare muncul lebih awal
eksklusif lebih dari 3 bulan.Pada anak yang mendapat ASI eksklusif, diare muncul
lebih jarang dan bila terjadi diare mempunyai dampak negatif yang lebih sedikit pada
status gizi si anak untuk kehilangan berat badan dan terganggu pertumbuhan
linearnya lebih kecil. Penelitian Wijayanti (2010) di Puskesmas Gilingan, Bajarsari
Surakarta menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI
eksklusif dengan penurunan kejadian diare pada bayi. Penelitian Ariefudin,dkk
(2010) menunjukkan bayi yang tidak diberi ASI eksklusif lebih banyak yang
mengalami ISPA dibandingkan bayi yang diberikan ASI eksklusif.
Berdasarkan pengamatan peneliti di lingkungan peneliti tinggal dan melalui
berita-berita di surat kabar dan televisi, kesadaran akan pentingnya ASI eksklusif bagi
bayi semakin banyak disadari oleh para wanita. Namun data di kelurahan Helvetia
Timur menunjukkan semakin sedikit ibu yang memberikan ASI eksklusif pada
bayinya dan menggantinya dengan susu formula.
Penggunaan susu formula berisiko tercemar berbagai virus, tetapi
kebalikannya ASI mengandung antibodi terhadap berbagai jenis virus, antara lain
poliovorus, coxsakievirus, echovirus, influenza virus, reovirus, respiratory syncytial
virus (RSV), rotavirus dan rhinovirus. Telah terbukti bahwa ASI menghambat
pertumbuhan virus-virus tersebut, misalnya kolostrum yang terdapat dalam ASI
mempunyai aktivitas menetralisasi terhadap RSV. Virus ini mengancam jiwa dan
sering sebagai penyebab bayi dirawat di beberapa negara berkembang. Bayi yang
mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat susu formula (7% vs 28%) (Tumbelaka
dan Karyanti, 2012).
Di Inggris, berdasarkan data yang didapat pada tahun 2000, sebanyak 30%
ibu-ibu di Inggris sama sekali tidak memberikan ASI kepada bayinya dan sebanyak
58% menukar secara penuh dengan susu formula pada saat bayi usia 4-10 minggu
(Novianda, 2011). Menurut data SDKI 1997-2007, di Indonesia hampir semua anak
pernah memperoleh ASI (96%), namun persentase pemberian ASI semakin menurun
dengan bertambahnya umur (Fikawati dan Syafiq, 2010).
Target pencapaian ASI eksklusif menurut Indonesia Sehat adalah 80%
(Fikawati dan Syafiq, 2010). Program-program atau kebijakan-kebijakan telah
dilakukan pemerintah untuk mencapai target ini seperti Kebijakan ASI Eksklusif dan
Inisiasi Menyusui Dini. Angka ini terlihat terlalu tinggi karena trend ASI eksklusif
justru menurun. Data SDKI 1997-2007 memperlihatkan terjadinya penurunan
prevalensi ASI eksklusif dari 40,2% pada tahun 1997 menjadi 39,5% dan 32% pada
tahun 2003. Perbandingan target yang ditetapkan dengan hasil yang dicapai
menunjukkan seakan-akan apa yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan
prevalensi ASI eksklusif tidak atau kurang berhasil, yaitu prevalensi pemberian ASI
eksklusif justru menurun.
Salah satu prakondisi yang menyebabkan pemberian ASI eksklusif menurun
adalah masih kurangnya pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan. Khususnya
ibu-ibu yang mempunyai bayi dan tidak menyusui bayi secara eksklusif. Kurangnya
ASI eksklusif dibuktikan oleh banyak penelitian, seperti penelitian The American
Academy of Pediatrics (2005) dan Ozelci, dkk (2006) dalam Rachmadewi (2009)
yang menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menjadi kendala yang dihadapi
dalam praktek ASI eksklusif adalah kurangnya pengetahuan ibu.
Berdasarkan data dari DepKes RI tahun 2008 dalam Profil Kesehatan
Indonesia 2007 bahwa wilayah Sumatera Utara tergolong memiliki persentase
terendah (30,31%) untuk perkotaan dan 30,01% untuk pedesaan setelah propinsi
Maluku (25,22%) di daerah perkotaan dan 19,35% di daerah pedesaan. Berdasarkan
DepKes RI angka tersebut masih di bawah angka indikator Indonesia Sehat 2010.
Di Propinsi Sumatera Utara angka cakupan ASI eksklusif pada tahun 2007
sebesar 33% dan mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka cakupan
tahun 2006 sebesar 36% (Dinkes Prop.Sumut, 2007). Kota Medan dengan wilayah
kerja 39 puskesmas dan 40 pustu yang tersebar di 21 kecamatan mempunyai angka
cakupan ASI eksklusif pada tahun 2006 sebesar 4,8%, tahun 2007 sebesar 1,8% dan
pada tahun 2008 cakupan ASI eksklusif sebesar 3,04% (DinKes Kota Medan, 2009).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan Kota Medan
Tahun 2010, kecamatan yang cakupan ASI eksklusifnya terendah adalah Kecamatan
Helvetia (0,00%). Padahal target angka cakupan ASI eksklusif di kecamatan Helvetia
yang telah ditetapkan begitu tinggi. Target angka cakupan ASI eksklusif untuk tahun
2010 (65%).
Rendahnya cakupan ASI eksklusif ini diiringi dengan peningkatan pemberian
formula meningkat dari 16,7% dari tahun 2002 menjadi 27,9 % pada tahun 2003.
Menurut WHO yang dikutip dalam Roesli (2008), susu formula adalah susu yang
sesuai dan bisa diterima sistem tubuh bayi. Susu formula yang baik tidak
menimbulkan gangguan saluran cerna seperti diare, muntah atau kesulitan buang air
besar. Gangguan lainnya seperti batuk, sesak, dan gangguan kulit.Penelitian yang
dilakukan oleh Kerkhof (2003) yang dikutip dalam Roesli (2008) pada 76 anak di
Belanda dengan penyakit alergi kulit dan 228 anak tanpa penyakit alergi kulit
menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif hanya 3 bulan pertama terbukti
memiliki efek perlindungan terhadap penyakit kulit.
Baik tenaga kesehatan maupun masyarakat luas masih banyak yang berpikir
bahwa susu formula memiliki kualitas gizi yang sama baiknya atau bahkan lebih baik
dari ASI, sehingga sering kita dengar, sebagian masyarakat mengatakan dengan
bangga bahwa buah hatinya minum susu dengan merk tertentu dimana semakin mahal
harga sebuah produk susu formula maka semakin tinggi derajat orangtua di mata
masyarakat. Faktanya ternyata susu formula memiliki risiko tinggi terhadap masa
depan kesehatan anak manusia. Bukan sekedar risiko jangka pendek dan menengah,
namun yang perlu diperhatikan adalah risiko jangka panjang dari penggunaan susu
formula. Kontroversi susu formula berbakteri mencuat sejak Institut Pertanian Bogor
(IPB) melakukan penelitian tentang bakteri E.sakazakii pada tahun 2006 dan
menemukan kontaminasi pada beberapa susu formula.
Selain faktor pengetahuan ibu, atau kurangnya informasi yang ibu dapat
juga menyebabkan ibu-ibu di perkotaan umumnya, memberikan susu formula, karena
susu formula merupakan alternatif tercepat yang mereka pilih untuk mengatasi
kebutuhan bayi selama mereka bekerja, hal ini menjadi kendala tersendiri bagi
kelangsungan pemberian ASI eksklusif (Depkes RI, 2002). Konsumsi susu formula
juga tampaknya sangat erat berhubungan dengan tempat melahirkan. Diantara ibu-ibu
yang melahirkan di rumah, tidak lebih dari 9% menerima/membeli sampel susu
formula atau menerima informasi mengenai susu formula. Sedangkan ibu-ibu yang
melahirkan anaknya di rumah bidan, klinik bersalin atau rumah sakit di perkotaan
(78%) hampir sepertiganya menerima sampel gratis susu formula, seperempat
membeli sampel dan 6-8% hanya menerima informasi. Di pedesaan, 35% ibu-ibu
yang melahirkan pada fasilitas-fasilitas seperti diatas dan hanya 10% menerima
sampel gratis, 25% membeli sampel dan 10% menerima informasi mengenai susu
formula. Sedangkan untuk ibu-ibu yang melahirkan di puskesmas (11% di perkotaan
dan 4% di pedesaan) proporsinya sedikit lebih rendah (Novianda, 2011).
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan pada
penelitian ini adalah apakah ada faktor-faktor yang berhubungan (umur, pengetahuan,
pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga, jumlah tanggungan, lingkungan, tempat
bersalin, media informasi) dengan pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian susu
formula pada bayi usia 0-6 bulan di kelurahan Helvetia Timur.
1.4. Hipotesa
Faktor umur, pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga,
jumlah tanggungan, lingkungan, tempat bersalin, media informasi berhubungan
dengan pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan di kelurahan Helvetia
Timur.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Untuk Institusi Pendidikan
Sebagai bahan kepustakaan dan masukan yang berarti dan bermanfaat bagi
mahasiswa FKM USU.
1.5.2. Untuk Dinas Kesehatan Kota Medan
Sebagai informasi terbaru bagi Dinas Kesehatan Kota Medan untuk
penyusunan program kesehatan berikutnya.
1.5.3. Untuk Peneliti Selanjutnya
Sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya tentang pemakaian susu
formula pada bayi dengan disain penelitian yang berbeda dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Perilaku 2.1.1. Pengertian Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku manusia adalah semua tindakan atau
aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, baik
yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati. Dari segi biologis,
perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup yang
bersangkutan). Sedangkan dari segi kepentingan kerangka analisis, perilaku adalah
apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut baik dapat diamati secara langsung
maupun tidak langsung.
2.1.2. Bentuk Perilaku
Teori Bloom (1908) yang dikutip dalam Notoatmodjo (2010) membedakan
perilaku dalam 3 domain perilaku yaitu : kognitif (cognitive), afektif (affective) dan
psikomotor (psychomotor). Untuk kepentingan pendidikan praktis, teori ini kemudian
dikembangkan menjadi 3 ranah perilaku yaitu :
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indra manusia. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
a. Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif (Notoatmodjo, 2007), tercakup
dalam 6 tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Contoh : dapat
menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak kita
2. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan suatu materi tersebut secara benar. Contoh : dapat
menjelaskan mengapa harus makan makanan bergizi
3. Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
Contoh : dapat menggunakan rumus-rumus statistik dalam
perhitungan-perhitungan hasil penelitian
4. Analisis (analysis), yaitu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Contoh :
dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan dan sebagainya
5. Sintesis (synthesis), merupakan kemampuan untuk meletakkan atau
baru. Contoh : dapat menyusun, dapat merencanakan dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada
6. Evaluasi (evaluation), tingkat pengetahuan yang berkaitan dengan
kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
materi atau objek. Contoh : dapat membandingkan antara anak yang cukup
gizi dengan yang kekurangan gizi
b. Cara memperoleh pengetahuan. Menurut Notoatmodjo (2002) ada 2 cara
memperoleh pengetahuan, yaitu :
1. Cara tradisional atau non ilmiah
a. Cara coba-salah (trial and error), memperoleh pengetahuan dari cara
coba atau dengan kata yang lebih dikenal “trial and error”
b. Cara kekuasaan atau otoritas. Kebiasaan ini bisa diwariskan turun
temurun dari generasi ke generasi berikutnya
c. Berdasarkan pengalaman pribadi. Pengalaman adalah guru yang
terbaik, mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan
sumber pengetahuan atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuam
2. Cara modern.
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini
lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian
ilmiah atau lebih populer disebut metodologi penelitian (research
2. Sikap (attitude)
Masih menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respon
yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dapat
disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Alport (1954)
yang dikutip Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok yaitu :
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend tobehave)
Newcomb (1998), salah seorang psikolog sosial menyatakan bahwa sikap
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Dengan kata lain, fungsi sikap merupakan (reaksi
terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau
reaksi tertutup. Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari beberapa tingkatan
yaitu :
a. menerima (receiving), yaitu sikap dimana seseorang atau subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek)
b. menanggapi (responding), yaitu sikap memberikan jawaban atau tanggapan
c. menghargai (valuing), yaitu sikap dimana subjek atau seseorang memberikan
nilai yang positif terhadap objek atau stimulus. Dalam arti membahasnya
dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi orang lain
merespon
d. bertanggungjawab (responsible), sikap yang paling tinggi tindakannya adalah
bertanggungjawab terhadap apa yang diyakininya
3. Tindakan (practice)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk
bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam bentuk tindakan. Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu tindakan diperlukan faktor pendukung atau suatu
kondisi yang memungkinkan, seperti fasilitas atau sarana dan prasarana. Setelah
seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan
penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia
akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai
baik). Inilah yang disebut praktik (practice) kesehatan (Notoatmodjo, 2005)
Menurut Notoatmodjo (2010), praktik atau tindakan ini dapat dibedakan
menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yakni :
a. Praktik terpimpin (guided response), yaitu apabila subjek atau seseorang telah
melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan
panduan, contoh : seorang ibu memeriksakan kehamilannya tetapi masih
b. Praktik secara mekanisme (mechanism), yaitu apabila subjek atau seseorang telah
melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis. Misal : seorang anak
secara otomatis menggosok gigi setelah makan, tanpa disuruh ibunya
c. Adopsi (adoption), yaitu suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang.
Artinya apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi
sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.
Misalnya menggosok gigi, bukan sekedar gosok gigi, melainkan dengan
teknik-teknik yang benar.
2.1.3. Proses Adopsi Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2007), dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang
tidak didasari pengetahuan. Penelitian Roger (1974) mengungkapkan bahwa sebelum
orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yakni :
1. Awareness : orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek)
terlebih dahulu
2. Interest : orang mulai tertarik kepada stimulus
3. Evaluation : orang mulai menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya
4. Trial : orang mulai mencoba perilaku baru
5. Adoption : orang tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
2.1.4. Perilaku Kesehatan
Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skiner (1997), maka perilaku
kesehatan (health behaviour) adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek
yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang memengaruhi
sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan
kesehatan. Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau
kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat
diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari
penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari
penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Oleh sebab itu perilaku
kesehatan ini pada garis besarnya dikelompokkan menjadi dua yakni (Notoatmodjo,
2010) :
1. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Oleh sebab itu perilaku
ini disebut perilaku sehat (healthy behaviour). Contoh : makan dengan gizi
seimbang.
2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk
memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya. Oleh sebab itu
perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking
behaviour). Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas
2.1.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2010), faktor penentu atau determinan perilaku
manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor,
baik internal maupun eksternal (lingkungan). Dari berbagai determinan perilaku
manusia, banyak ahli telah merumuskan teori-teori atau model-model terbentuknya
perilaku. Masing-masing teori, konsep atau model tersebut dapat diuraikan seperti
berikut.
Berdasarkan pengalaman empiris di lapangan, disimpulkan bahwa garis
besarnya perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek, yakni aspek fisik, psikis, dan
sosial. Salah satu teori yang terkenal tentang terbentuknya perilaku adalah ”Teori
Precede-Procede” (1991), yaitu teori yang dikembangkan oleh Lawrence Green,
yang dirintis sejak tahun 1980. Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari
tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor
pokok, yaitu faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (
non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang
dirangkum dalam akronim PRECEDE : Predisposing, Enabling, dan Reinforcing
Causes in Educational Diagnosis and Evaluation. Precede adalah merupakan fase
diagnosis masalah. Sedangkan PROCEDE : Policy, Regulatory, Organizational
Construct in Educational and Environmental Development, adalah merupakan arahan
dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi pendidikan (promosi) kesehatan.
Apabila Precede merupakan fase diagnosis masalah, maka Proceed adalah merupakan
2.2. Konsep Dasar Susu Formula 2.2.1. Pengertian Susu Formula
Menurut WHO, susu formula adalah susu yang sesuai dan bisa diterima
sistem tubuh bayi. Susu formula yang baik tidak menimbulkan gangguan saluran
cerna seperti diare, muntah atau kesulitan buang air besar.
Susu formula bayi juga merupakan cairan atau bubuk dengan formula tertentu
yang diberikan pada bayi. Susu formula berfungsi sebagai pengganti ASI. Susu
formula memiliki peranan yang penting dalam makanan bayi karena seringkali
digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi bagi bayi. Oleh karena itu komposisi
susu formula yang diperdagangkan dikontrol dengan hati-hati. Oleh FDA (Food and
Drugs Association) atau BPOM Amerika mensyaratkan produk ini harus memenuhi
standar ketat tertentu.
Menurut Pudjiadi (2002) susu formula adalah susu yang dibuat dari susu sapi
atau susu buatan yang diubah komposisinya sehingga dapat dipakai sebagai pengganti
ASI. Sedangkan menurut FKUI (2005), susu formula disebut juga dengan susu
buatan, oleh karena minuman buatan ini fungsinya sebagai pengganti susu ibu.
2.2.2. Klasifikasi Susu Formula
Umumnya susu formula untuk bayi yang beredar di pasaran berasal dari susu
sapi yang diolah dengan membawa segera susu sapi ke kamar susu untuk dilakukan
penyaringan agar kuman atau kotoran yang terdapat di dalamnya tidak berkesempatan
untuk berkembang, setelah susu sapi dari beberapa sapi disatukan sampai menjadi air
selama 2-3 jam yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri sehingga
susu bisa bertahan lama dan setelah proses pendinginan maka susu dimasukkan
kedalam botol-botol untuk dikirim kepada konsumen.
Klasifikasi susu formula dapat dibedakan :
1. Menurut Usia (Supartini, 2004)
a. Starting formula, formula ini diberikan pada 6 bulan pertama usia bayi sampai
dengan usia 1 tahun sebagai pelengkap jenis makanan lain
b. Formula adaptasi, formula ini diberikan dengan komposisi mendekati ASI
sebagai adaptasi
c. Formula lanjutan, formula ini diberikan setelah bayi berusia diatas 6 bulan
sebagai makanan tambahan
d. Medical formula (formula khusus), formula ini khusus diberikan untuk bayi
dengan kondisi khusus, seperti bayi prematur, bayi dengan kelainan metabolik
kongenital, atau bayi dengan intoleransi terhadap formula biasa
2. Menurut Jenis (FKUI, 2005)
a. Menurut rasa : manis, misalnya susu sapi yang diencerkan sendiri, SGM,
S26,Almiron, Meiji Manis, Entamil, Vitalac, dan lain-lain
b. Menurut pH cairan : diasamkan (acidified, acidulated) dan tidak diasamkan
(non acidified, non acidulated) contoh dan sifat serupa dengan pengganti Asi
yang manis.
c. Menurut kadar nutrien, yaitu :
2. Rendah lemak, misalnya Heldon
3. Dengan lemak yang terdiri atas asam lemak dengan rantai 8-10 (middle
chain triglycerides atau MCT), misalnya Protagen, terutama untuk bayi
dengan BBLR.
d. menurut sumber protein : dibuat dari kacang kedelai misalnya Sobee, Isomil.
Umumnya bahan makanan itu tidak berasal dari susu sapi dan digunakan
untuk bayi yang alergik terhadap susu sapi
e. menurut maksud penggunaan : dimaksudkan untuk makanan bagi bayi dengan
gangguan penyerapan atau kelainan metabolik bawaan (inborn error of
metabolist) misalnya Lifenalac untuk bayi dengan fenilketonuria, Portagen
untuk gangguan pencernaan pada fibrosis sufika, Nutramigen Sobee, Isomil
untuk bayi dengan galaktosemik, dan sebagainya
f. menurut penggolongan berdasarkan komposisi nutrien : yaitu adapted formula
yang mempunyai komposisi nutrien serupa ASI (contohnya Vitalac, S26,
Nutrilon) dan complete formula, yaitu formula lain yang mengandung lengkap
nutrien (contohnya : SGM,Lactogen, entamil, Morinaga).
2.2.3. Komposisi Susu Formula dan Kekurangannya Dibandingkan ASI
Sama halnya dengan ASI, susu formula juga mengandung zat-zat gizi yang
dibutuhkan bayi seperti lemak, protein, karbohidrat,mineral, dan vitamin. Susu
formula juga mengandung kandungan zat tambahan lain seperti DHA. Penambahan
ini dibolehkan karena zat tambahan tersebut merupakan zat-zat mikro (Novianda,
Meskipun pembuatan susu formula dibuat semirip mungkin dengan ASI, tetap
saja susu formula tidak sebaik ASI. Menurut Purwanti (2002), ASI mengandung lebih
dari 200 unsur pokok antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, faktor
pertumbuhan, hormon enzim, zat kekebalan dan sel darah putih. Semua zat ini
terdapat dalam kadar yang proporsional dan seimbang satu dengan yang lainnya.
1. Protein dalam ASI. ASI mengandung protein lebih rendah dari susu formula,
tetapi protein ASI ini mempunyai nilai nutrisi yang tinggi (lebih mudah dicerna).
Adapun keistimewaan protein ASI antara lain :
Rasio protein whey : kasein = 60:40 dan susu formula rasio 20:80. Hal ini
menguntungkan bayi karena pengendapan dari protein whey lebih halus daripada
kasein sehingga protein whey lebih mudah dicerna.
a. ASI mengandung alfa lactabumin sedang susu formula mengandung beta
lactaglobulin dan bovine serum albumin yang sering menyebabkan alergi
b. ASI mengandung asam amino esensiil taurin yang tinggi dan penting untuk
pertumbuhan retina dan konjugasi bilirubin (protein otak)
c. Kadar metionin dalam ASI lebih rendah dari susu formula, sedangkan sistin
lebih tinggi. Hal ini sangat menguntungkan karena enzim sistationase yaitu
enzim yang akan mengubah metionin menjadi sistin pada bayi sangat rendah /
tidak ada. Sistin ini merupakan asam amino yang sangat penting untuk
2. Karbohidrat dalam ASI
Karbohidrat utama ASI adalah laktosa. ASI mengandung lebih banyak laktosa
dibandingkan susu formula lainnya atau sekitar 20-30% lebih banyak dari susu
formula. Hal ini sangat menguntungkan karena :
a. laktosa diperlukan untuk pertumbuhan otak
b. laktosa meningkatkan penyerapan kalsium yang sangat penting untuk
pertumbuhan tulang
c. laktosa juga meningkatkan pertumbuhan bakteri usus yang baik yaitu
lactobacillus bifidus
d. laktosa oleh fermentasi diubah menjadi asam laktat , ini memberikan suasana
asam dalam usus bagi bayi sehingga akan memberikan keuntungan yaitu :
menghambat pertumbuhan bakteri yang patologis, memacu pertumbuhan
mikroorganisme yang memproduksi asam organik dan mensintesis vitamin,
memudahkan terjadinya pengendapan ca-caseinat serta memudahkan absorbsi
mineral kalsium, fosfor dan magnesium
e. laktosa juga relatif tidak larut sehingga waktu proses digesti di dalam usus
bayi lebih lama tetapi dampak diabsorbsi dengan baik oleh usus bayi.
3. Lemak dalam ASI
Kadar lemak dalam ASI dan susu formula relatif sama,merupakan sumber kalori
yang utama bagi bayi, sumber vitamin yang larut dalam lemak (A,D,E dan K) dan
sumber asam lemak yang esensial. Keistimewaan lemak dalam ASI dibandingkan
a. Bentuk emulsi lebih sempurna. Hal ini disebabkan karena ASI mengandung
enzim lipase yang mengubah trigliserida menjadi digliserida dan kemudian
menjadi monogliserida sebelum pemecahan di usus terjadi
b. Kadar asam lemak tak jenuh dalam ASI 7-8 kali lebih tinggi dibandingkan
dalam susu formula. Kadar asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam kadar
yang tinggi yang terpenting adalah : rasio asam linoleic sama dengan oleic
yang cukup akan memacu absorbsi lemak, kalsium dan adanya garam kalsium
dari asam lemak ini akan memacu perkembangan otak bayi dan mencegah
terjadinya hipokalsemia.
2.2.4. Manfaat ASI Eksklusif Dibandingkan Bahaya Susu Formula
ASI eksklusif atau lebih tepatnya pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi
hanya diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu,
air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubuk
susu, biskuit, bubur nasi dan tim (Rusli, 2012). Ibu-ibu yang memilih untuk
memberikan ASI eksklusif merupakan langkah yang tepat. Banyak hal positif yang
dapat dirasakan oleh bayi dan ibu. Memberikan ASI eksklusif berarti keuntungan
untuk semua, bayi akan lebih sehat, cerdas dan berkpribadian baik, ibu akan lebih
sehat dan menarik. Sementara bayi yang diberi susu formula sangat rentan terserang
penyakit.
Berikut ini deretan penyakit yang mengintai bayi susu formula berdasarkan
1. Infeksi saluran pencernaan (muntah, mencret). Bayi menjadi muntah-mencret dan
mencret menahun. Di Amerika , 400 bayi meninggal per tahun akibat muntah
mencret, 300 diantaranya adalah bayi yang tidak disusui. Kematian meningkat
23,5 kali pada bayi susu formula. Kemungkinan mencret 17 kali lebih banyak
pada bayi susu formula
2. Infeksi saluran pernafasan. Di negara maju, bayi yang diberi susu formula
mengalami penyakit saluran pernafasan 3 kali lebih parah dan memerlukan rawat
inap di rumah sakit dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI eksklusif selama 4
bulan
3. Meningkatkan risiko alergi . Berdasarkan penelitian pada anak-anak di Finlandia,
semakin lama diberi ASI, semakin rendah kemungkinan bayi menderita penyakit
alergi, penyakit kulit (eksim), alergi makanan dan alergi saluran nafas.
4. Meningkatkan risiko serangan asma. Sebuah penelitian yang melibatkan 2184
anak yang dilakukan oleh Rumah Sakit Anak di Toronto menemukan bahwa
risiko asma dan kesulitan bernafas 50% lebih tinggi terjadi pada bayi yang diberi
susu formula dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI selama 9 bulan atau
lebih
5. Menurunkan perkembangan kecerdasan kognitif. Penelitian Richards et al (2002)
yang dikutip dalam Roesli (2008) yang menguji 1736 anak menunjukkan hasil
bahwa anak ASI secara bermakna menunjukkan hasil pendidikan yang lebih baik.
6. Meningkatkan risiko kegemukan (obesitas). Penelitian Von Kries R (1999) yang
dikutip dalam Roesli (2008) pada 6650 anak Jerman usia sekolah yang berumur
5-14 tahun memberi gambaran bahwa pemberian ASI terbukti menjadi faktor
pelindung terhadap obesitas. Efek perlindungannya menjadi lebih besar ketika
bayi diberi secara eksklusif
7. Meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Penelitian Singhal
A,dkk (2001) yang dikutip dalam Roesli (2008) di Inggris menunjukkan mereka
yang mendapat susu formula bayi sangat awal atau susu formula secara rutin,
tekanan darahnya lebih tinggi daripada mereka yang mendapat ASI selama masa
bayi.
8. Meningkatkan risiko kencing manis (diabetes). Penelitian Kuehne,dkk (2004)
yang dikutip dalam Roesli (2008) di Lithuania menunjukkan bayi yang terlalu
awal mengenalkan susu formula, makanan padat dan susu sapi terbukti
meningkatkan kejadian kencing manis (diabetes) tipe I di masa depannya.
9. Meningkatkan risiko kanker pada anak. Tidak mendapat ASI diketahui dapat
meningkatkan risiko terkena kanker. Penelitian Dundaroz R, dkk (2002) yang
dikutip dalam Roesli (2008) menemukan bahwa kerusakan genetik tingkat
signifikan terjadi pada bayi berusia 9-12 bulan yang tidak diberi ASI. Para
penelitinya berspekulasi bahwa hal ini mungkin berperan pada perkembangan
kanker di masa kanak-kanak atau dimasa depannya.
10.Meningkatkan risiko penyakit menahun. Penelitian Davis MK (2001) yang
tipe I, celiac (usus besar), beberapa kanker di masa kanak-kanak dan penyakit
infeksi pada bayi yang diberikan makanan formula
11.Meningkatkan risiko infeksi yang berasal dari susu formula yang tercemar.
Wabah necroting enterocolitis (NEC) di Belgia pada 2001 oleh Van Acker, dkk
yang dikutip dalam Roesli (2008) terlacak pada susu formula bayi yang tercemar
Enterobacter sakazakii. Sejumlah 12 bayi menderita NEC selama wabah tersebut
dan 2 bayi meninggal.
2.2.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan Susu Formula
Soetjiningsih (1997) menyebutkan bahwa beberapa faktor-faktor yang
memengaruhi penggunaan susu formula adalah :
1. Perubahan sosial budaya :
a. Ibu-ibu bekerja atau kesibukan lainnya
b. Meniru teman,tetangga atau orang terkemuka yang memberikan susu botol
c. Merasa ketinggalan zaman jika tidak menyusui bayinya dengan susu botol
2. Faktor psikologis:
a. Takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita
b. Tekanan batin
3. Faktor fisik : ibu sakit, misalnya mastitis, panas dan sebagainya
4. Faktor kurangnya petugas kesehatan, sehingga masyarakat kurang mendapat
penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI
6. Penerangan yang salah justru datangnya dari petugas kesehatan sendiri yang
menganjurkan penggantian ASI dengan susu formula
[image:47.612.127.523.202.491.2]2.3.Landasan Teori
Gambar 2.3. Modifikasi Teori L. Green tentang Faktor-faktor yang Memengaruhi Terjadinya Suatu Perilaku
Faktor Predisposisi : 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Keyakinan 4. Kepercayaan 5. Nilai-Nilai
Faktor Pemungkin : 1. Adanya Puskesmas 2. adanya Obat-obatan 3. Adanya Sarana Kesehatan
Faktor Penguat :
1. Sikap dan Perilaku Petugas Kesehatan 2. Undang-Undang Kesehatan
3. Peraturan-Peraturan Tentang Kesehatan
2.4. Kerangka Konsep
Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian
Dari gambar diatas diketahui bahwasanya faktor predisposisi yaitu faktor-
faktor yang dapat mempermudah terjadinya perilaku pada diri seseorang atau
masyarakat terhadap pemberian susu formula adalah (Umur, Pengetahuan,
Pendidikan, Pekerjaan, Penghasilan keluarga.) dan faktor pemungkin perilaku
(Jumlah tanggungan, Tempat bersalin, Media informasi) dan faktor penguat
(Lingkungan) dari ketiga faktor ini berhubungan dengan pemberian susu formula. Faktor Predisposisi :
1. Umur 2. Pengetahuan 3. Pendidikan 4. Pekerjaan
5. Penghasilan Keluarga
Faktor Pemungkin: 1. Jumlah Tanggungan 2. Tempat Bersalin 3..Media Informasi
Faktor penguat : 1 Lingkungan
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan disain retrospective study yang bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian susu formula pada
bayi usia 0-6 bulan di Kelurahan Helvetia Timur.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Helvetia yang
berlokasi di Jl. Sultan Oloan, Kelurahan Helvetia Timur Medan. Alasan pemilihan
lokasi ini adalah karena berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Kotamadya Medan,
kecamatan yang cakupan ASI eksklusifnya terendah adalah Kecamatan Helvetia
dimana cakupan ASI Eksklusifnya hanya mencapai 0,00% dan penelitian tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian susu formula pada bayi usia 0-6
bulan di kelurahan tersebut belum pernah dilakukan.
Penelitian ini telah dilakukan selama bulan Mei 2012 pada saat jam kerja di
Kelurahan Helvetia Timur 2012.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu di kelurahan Helvetia Timur
yang mempunyai bayi 6-11 bulan. Jumlah ibu-ibu yang memiliki bayi 6-11 bulan di
3.3.2. Sampel
3.3.2.1.Besar Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus besar sampel
berdasarkan uji hipotesis menurut Lameshow,dkk (1997) :
dimana :
n = besar sampel
Z1-α
Z
= nilai distribusi normal baku (tabel z ) pada α = 1,96
1-β
P
= nilai distribusi normal baku (tabel z) pada β = 1,64
0
Pa = perkiraan proporsi pemberian susu formula di populasi = 0,7
= perkiraan proporsi pemberian susu formula oleh ibu pada bayinya = 0,6
P0
= 0,6 – 0,7 = -0,10
– Pa = perkiraan selisih proporsi yang diteliti dengan proporsi di populasi
= 190,44 ≈ 191
3.3.2.2. Kriteria Eksklusi Sampel
1. Ibu yang melahirkan bayi yang lahir prematur
2. Ibu yang melahirkan bayi dengan berat < 2500 gr atau BBLR
3. Ibu yang ketika melahirkan bayinya memiliki gangguan kesehatan pada
Setelah dilakukan kriteria eksklusi pada sampel maka jumlah populasi pada
penelitian ini sebesar 234 orang.
3.3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah convinience sampling,
dimana subjek dijadikan sampel karena kebetulan dijumpai di tempat dan waktu
bersamaan pada pengumpulan data. Pengambilan sampel dilakukan di Kelurahan
Helvetia Timur. Semua sampel yang dijumpai memenuhi kriteria sampel yang telah
ditetapkan diambil semua hingga memenuhi besar sampel minimal (Sastroasmoro,
2002).
3.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini mencakup data primer dan data
sekunder.
3.4.1. Data Primer
Data yang dikumpulkan langsung dengan wawancara menggunakan
kuesioner.
3.4.2. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari Puskesmas Helvetia berupa jumlah seluruh ibu yang
mempunyai bayi usia 6-11 bulan, literatur dan jurnal kesehatan yang berhubungan
dengan penelitian ini. Data sekunder meliputi : gambaran lokasi penelitian, jumlah
3.5. Validitas dan Reliabilitas 3.5.1. Validitas
Menurut Azwar (1997) uji validitas kuesioner diuji pada kuesioner dengan
menggunakan uji Korelasi Pearson, yang tujuannya untuk mengetahui sejauhmana
suatu ukuran atau nilai yang menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan suatu
alat ukur dengan cara mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total
variabel menggunakan rumus teknik Korelasi Pearson product moment (r), dengan
ketentuan:
1. Jika nilai r-hitung> r-tabel, maka dinyatakan valid
2. Jika nilai r-hitung< r-tabel, maka dinyatakan tidak valid
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada ibu di kelurahan Helvetia Barat
yang mempunyai bayi 0-6 bulan sebanyak 30 orang dengan asumsi karakteristik ibu
di kelurahan Helvetia Timur dan kelurahan Helvetia Barat relatif sama
Berdasarkan hasil uji validitas variabel pengetahuan terlihat hasil korelasi
diketahui bahwa semua item mempunyai korelasi > 0,361 maka dapat dikatakan
bahwa item alat ukur tersebut valid dan dapat digunakan dalam pengumpulan data
[image:52.612.112.528.610.699.2]penelitian, dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut :
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan
No Variabel Corrected Item-Total Correlation Keterangan 1 Pengetahuan
Item1 0,908 Valid
Item2 0,859 Valid
Item3 0,935 Valid
Tabel 3.1 (Lanjutan)
Item5 0,826 Valid
Item6 0,492 Valid
Item7 0,935 Valid
Item8 0,826 Valid
Item9 0,559 Valid
Item10 0,492 Valid
Item11 0,601 Valid
Item12 0,621 Valid
Item13 0,908 Valid
Item14 0,419 Valid
Item15 0,601 Valid
Item16 0,621 Valid
Item17 0,866 Valid
Item18 0,601 Valid
Item10 0,621 Valid
Item20 0,876 Valid
3.5.2. Reliabilitas
Masih menurut Azwar (1997) reliabilitas data merupakan indeks yang
menunjukkan sejauhmana suatu alat pengukur dapat menunjukkan ketepatan dan
dapat dipercaya dengan menggunakan metode Cronbach’s Alpha, yaitu menganalisis
reliabilitas alat ukur dari satu kali pengukuran dengan ketentuan :
1. jika nilai r-Alpha≥ r-tabel maka dikatakan reliabel
2. jika nilai r-Alpha < r-tabel maka dikatakan tidak reliable
Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel pengetahuan terlihat nilai
cronbach’s alpha > 0,361 maka kuesioner tersebut dikatakan reliabel, dapat dilihat
[image:53.612.116.528.141.377.2]Tabel 3.2. Hasil Uji Reliabilitas Variabel Pengetahuan
No Variabel Cronbach’s Alpha Keterangan
1 Pengetahuan 0,763 Reliabel
3.6. Variabel dan Definisi Operasional 3.6.1. Variabel Bebas
1. Umur adalah jumlah tahun hidup responden pada saat wawancara yang
dihitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir responden.
Kategori Umur : 0 = 20-35 tahun
1 = > 35 tahun (Manuaba, 1998)
Kriteria umur ini dibuat dengan asumsi bahwa kelompok umur tersebut
merupakan umur yang beresiko tinggi pada ibu.
2. Pengetahuan adalah tingkat pengetahuan ibu akan pengertian susu formula,
kandungan susu formula dibandingkan ASI, manfaat ASI di bandingkan susu
formula dan dampak pemberian susu formula.
Kategori Pengetahuan :0 = Buruk, apabila total skor responden < 76%
1 = Baik, apabila total skr responden ≥ 76%
(Nursalam, 2011)
Untuk mengukur tin