DINAMIKA ETNOSENTRISME
PRIA ETNIS TIONGHOA YANG MENJALANI
PERKAWINAN CAMPUR
S K R I P S I
OLEH:
EMMA FAUZIAH SARAGIH
0 3 1 3 0 1 0 7 4
F A K U L T A S P S I K O L O G I
U N I V E R S I T A S S U M A T E R A U T A R A
M E D A N
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Januari 2008
Emma Fauziah Saragih
Dinamika Etnosentrisme pada Pria Etnis Tionghoa yang Menjalani Perkawinan Campur
(ix + 165; 10 tabel, 6 gambar, 3 lampiran )
Etnosentrisme merupakan suatu sumber utama perbedaan budaya dalam bentuk sikap. Setiap individu atau kelompok individu cenderung memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kriteria kelompok sendiri, memandang kelompok sendiri sebagai pusat alam semesta yang mempengaruhi interaksi interklutural. Di Indonesia, salah satu kelompok yang memiliki etnosentrisme yang tinggi adalah etnis Tionghoa, terutama Tionghoa di kota Medan. Akan tetapi, fakta lapangan menunjukkan ada beberapa pria etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur.
Dalam penelitian ini ingin digambarkan alasan pria etnis Tionghoa melakukan perkawinan campur, serta dinamika etnosentrisme dalam dirinya sebagai akibat dari proses akulturasi selama menjalani perkawinan campur.
Untuk mendapat jawaban ini, digunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala tingkah laku individu menurut pengalaman subjektifnya, sebab variabel etnosentrisme ini dan pengalaman akulturasi dalam menjalani perkawinan campur bersidat sangat subjektif dan sangat tergantung pada pangalaman dan perasaan individu yang mengalaminya. Dalam pengumpulan data digunakan teknik wawancara mendalam yang tidak terstruktur da observasi yang sifatnya non-partisipan. Partisipan dalam penelitian ini adalah pria etnis Tionghoa yang menjalani perkawinan campur dengan karakteristik kedua orang tua berasal dari etnis Tionghoa serta beragama Khong Hu Cu atau Buddha.
KATAPENGANTAR
Alhamdulillah…….Akhirnya tiba juga giliran untuk menuliskan bagian
ini. Puji syukur kepada Engkau ya Allah, karena rahmat Mu lah skripsi ini dapat
diselesaikan. Jujur saja, dari sekian banyak halaman dalam skripsi ini, bagian
inilah yang paling ingin aku tulis. Setiap mahasiswa yang bernasib sama
denganku pastinya mengakui bahwa pada halaman inilah semua suka duka selama
proses penyelesaian penelitian dapat dituangkan secara legal. Istilah ilmiahnya
halaman untuk `ajang katarsis` lah.
Tidak dapat disangkal selama proses penyelesaian penelitian ini
dibutuhkan usaha keras dan kesabaran. Selain itu, semuanya tidak akan
terselesaikan tanpa bantuan, dukungan serta do`a orang-orang disekitarku.
Ucapan terima kasih yang setulusnya ku persembahkan kepada:
1. Ibu Dr. Irmawati, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi USU dan penguji
seminar (terima kasih atas masukan judulnya ya, Bu)
2. Ibu Rika Eliana, Psi. selaku dosen pembimbing penelitian, terima kasih
banyak atas kesabaran serta waktu yang ibu berikan selama membimbing
saya.
3. Ibu Arliza Juariani Lubis, M. Si. selaku pembimbing akademik, terima kasih
atas dukungan dan masukannya ya, Bu.
4. Ibu Dra. Sri Mulyani, terima kasih atas masukan dan pinjaman bukunya ya,
5. Kak Silvi `99 dan kak Ama `00, makasih banyak atas masukan dan
pinjaman skripsinya ya, Kak. Kak Etenk `99, makasih banyak atas pinjaman
printer nya ya, kak.
6. Nah, di bagian ini khusus untuk teman-teman seperjuangan
- Pertama, khusus buat teman-teman `GANG-DEAD-LINE` yang ngebet
banget pengen masuk dalam daftar ucapan terima kasih, Veni alias Indun
alias Zipo, makasih banget Po, udah menyediakan waktu jadi tukang ojek
selama nyari sampel. Ntar ongkos bensin ku ganti pake chunky deh, hehe.
Buat Devi alis upil alias Devil, thanks udah bersedia menampung diriku
selama ambil data. Biaya makan, air, listrik, penginapan, dll, tagih ke Veni
aja, ya. Buat Nina `bobok`, thanks atas do`a ente, moga ente jadi dokter
yang berguna bagi nusa dan bangsa (ceile….). Buat Ade alias nyak
Kunyil, thanks atas dukungannya, moga ente jadi istri dan ibu yang baik.
Bertemu dan bersahabat dengan kalian membuat hidupku dipenuhi
tantangan dan `kegilaan`. For the last, buat gang kita, And all for one, one
for all, semoga ajang `dead-line`dan begadang tidak mendarah daging
selamanya, Amiiiiiiiin!!!!!
- Buat teman-teman seangkatan, Frans, makasih sms, do`a dan
dukungannya. Corry dan Naomi (keep figthing friend!!!!), Rio (jangan
kebanyaan baca komik! Ingat De-O, hehe), Bobby, Indra, Nina Ginting,
Suryati, Inanda, dan yang lainnya yang tidak dapat kusebut satu persatu,
terima kasih atas dukungan kalian semua, tanpa kalian halaman ini tidak
- Untuk teman-teman di Persona, kak Lisa, Kak Isra, Ipul, Laras, Susi,
Momo, Oni, Aci, makasih atas do`a dan dukungan kalian.
7. Buat kak Diana, makasih udah bersedia nyari sampel buat aku. Buat bang
Ilal dan satpam-satpam Griya Marelan, makasih atas informasi tentang
sampelnya.
8. Terima kasih banyak buat para partisipan dan pasangannya yang
meluangkan waktu untuk diwawancarai (maaf ya Pak, Bang, Kak, Bu, saya
tidak berani mencantumkan nama, ntar melanggar kode etik lagi).
9. Buat teman-teman dan pelanggan di taman bacaan SPIRIT, tempat
nongkrong berbagi stress dan kegilaan, Bang Simon (Kurem), Bang Jimmy
(Jimbo), Bang Richad (Bang-Chad), Bang Pavly, Bang Willy, Kak Lilis,
Kak Ipah, Kak Lina, Kak Gina, Era, (thanks atas info tentang Tionghoanya),
Putri, Bang Aswin, Nurul, atas `kick-kapan sidang Ma????` dan do`anya,
and hidup SPIRIT!!!!!.
10. Terima kasih buat doa dan sms teman-teman serta senior dan junior di
SMUN-4 Pematang siantar, Kak Ika, Kak Noeq, Kak Rais, Radhiyatul
(Atoel), Rudi (Gusdur), Didik, Fedrika, Ria Poel dan anak-anak Pramuka.
11. Buat keluarga besar di Gunting Saga, Opung, Tulang dan Nantulang , Bapak
dan Ibu, serta saudara-saudara sepupuku, trima kasih atas do`a dan
dukungannya. Tulang Am, Nantulang Ita dan Nenek dan Bang Wiwid yang
bersedia menemani dan mencari sampel penelitianku.
12. Buat Bang Karim dan Kak Elly, trima kasih atas do`a dan dukungannya.
menjaga dan menjadi sahabat keluargaku. Buat Eka, Rika (Icha), dan Jaka,
makasih atas moment indah saat bermain dengan kalian yang lucu-lucu.
Kenakalan dan kepolosan kalian telah mewarnai jalan hidupku Jadilah anak
yang berbakti buat orang tua kalian.
13. Tiga belas bukanlah angka sial. Pada poin terkahir ini aku sengaja
menempatkan orang-orang yang paling penting dan berarti dalam hidupku,
yang membuatku merasa sebagai orang yang paling beruntung. Ayah dan
Bunda, tidak ada benda apapun di dunia ini yang dapat membayar kasih dan
do`a kalian pada ananda. Kak Juli, Bang Baby, dan adikku Indra, tak ada
orang yang dapat menggantikan kalian sebagai saudara bagiku. Bertengkar
dan bermain dengan kalian membuatku merasa hidup ini jauh lebih
bemakna. Terima kasih atas suka dan duka yang kurasakan bersama kalian,
aku tidak mampu membayangkan hidupku tanpa kalian sebagai keluargaku.
Akhir kata, terima kasih atas semua pihak yang membantu, tanpa kalian
karya ini tidak akan bermakna. Dengan ikhlas penulis menerima saran dan kritik
yang membangun untuk menyempurnakan karya ini.
Medan, Januari 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
DAFTARTABEL ... vii
DAFTARGAMBAR ... ix
BAB I PENDAHULUAN I. A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1
I. B. PERUMUSAN MASALAH ... 15
I. C. TUJUAN PENELITIAN ... 16
I. D. MANFAAT PENELITIAN ... 16
I. E. SISTEMATIKA PENULISAN ... 17
BAB II LANDASAN TEORI II.A. ETNOSENTRISME ... 19
II. A. 1. Definisi Etosentrisme ... 19
II. A. 2. PembentukanEtnosentrisme ... 21
II. B. ETNIS TIONGHOA ... 25
II. B. 1. Etnis Tionghoa di Kota Medan ... 25
II. B. 2. AjaranyangDianutEtnisTionghoa ... 28
II. B. 3. Nilai-Nilai Kekeluargaan Etnis Tionghoa (Familiisme) 29 II. C. PERKAWINAN CAMPUR ... 32
II. C. 1. Definisi Perkawinan Campur ... 32
BAB III METODE PENELITIAN
III. A. PENDEKATAN KUALITATIF ... 39
III. B. METODE PENGUMPULAN DATA ... 40
III. C. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA ... 41
III. D. PARTISIPAN PENELITIAN ... 42
III. E. PROSEDUR PENELITIAN ... 43
III. F. PROSEDUR ANALISIS DATA ... 45
BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI IV. A. DESKRIPSI DATA ... 48
IV. A. 1. Partisipan I ... 48
IV. A. 2. Partisipan II ... 51
IV. A. 3. Partisipan III ... 55
IV. B. REKONSTRUKSI DATA ... 57
IV. B. 1. Data Observasi ... 59
IV. B. 1. 1. Partisipan I ... 59
IV. B. 1. 2. Partisipan II ... 65
IV. B. 1. 3. Partisipan III ... 69
IV. B. 2. Data Wawancara ... 70
IV. B. 2. 1. Partisipan I ... 70
IV. B. 2. 2. Partisipan II ... 85
IV. B. 2. 3. Partisipan III ... 126
IV. C. PEMBAHASAN ... 136
V. C. 2. Gambaran Etnosentrisme Partisipan sebelum mnajalani
Perkawinan campur ... 137
V. C. 3. Dinamika Etnosentrisme Partisipan selama menjalani
Perkawinan Campur ... 145
BAB V KESIMPUILAN DISKUSI DAN SARAN
V. A. KESIMPULAN ... 130
V. B. DISKUSI ... 138
V. C. SARAN ... 141
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Gambaran Umum Partisipan I ... 48
Tabel 2: Gambaran Umum Partisipan II ... 52
Tabel 3: Gambaran Umum Partisipan III ... 55
Tabel 4: Gambaran Umum Partisipan ... 136
Tabel 5: Gambaran Etnosentrisme Partisipan I sebelum menjalani Perkawinan campur ... 138
Tabel 6: Gambaran Etnosentrisme Partisipan II sebelum menjalani Perkawinan campur ... 140
Tabel 7: Gambaran Etnosentrisme Partisipan III sebelum menjalani Perkawinan campur ... 143
Tabel 8: Dinamika Etnosentrisme Partisipan I selama menjalani Perkawinan campur ... 146
Tabel 9: Dinamika Etnosentrisme Partisipan II selama menjalani Perkawinan campur ... 148
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Skema landasan teori penelitian ... 18
Gambar 2: Hubungansegitiga dalam ajaran Konfusianisme ... 30
Gambar 3: Skema proses akulturasi dalam perkawinan campur ... 35
Gambar 4: Faktor-faktor yang mempengaruhi proses akulturasi ... 36
Gambar 5: Skema Rekonstruksi Data ... 58
BAB I
PENDAHULUAN
I. A. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya
keragaman budaya. Keragaman tersebut terlihat dari perbedaan keyakinan agama,
bahasa dan etnis (suku bangsa). Keragaman etnis memang indah dan menjadi
kekayaan bangsa yang sangat berharga, namun dibaliknya terkandung pula
potensi konflik yang besar. Hal ini terjadi karena masyarakat terbagi ke dalam
kelompok-kelompok berdasarkan identitas kultural mereka. Mereka melakukan
identifikasi kultural (cultural dentification) yang akan memunculkan identitas
etnis. Menurut Roger dan Steinfatt (dalam Turnomo, 2005) identitas etnis inilah
yang akan menentukan individu-idividu yang termasuk ke dalam ingroup dan
outgroup.
Menurut Hariyono (1993), pada umumnya individu memiliki solidaritas
yang tinggi terhadap ingroupnya, sebaliknya memiliki perasaan antagonisme dan
antipati terhadap outgroup. Disadari atau tidak setiap individu atau kelompok
individu sering menganggap kelompoknya sendiri (ingroup) sebagai yang terbaik
dibandingkan kelompok lainnya (outgroup).
Menurut Sumner (dalam Lubis, 1999) adanya perbedaan sikap terhadap
ingroup dan outgroup ini disebabkan oleh sifat dasar dari individu sebagai
makhluk individualistik yang cenderung mengikuti naluri biologis untuk
segalanya dan superior dibandingkan kelompok lain. Individu akan menilai
budaya lain berdasarkan standar budayanya, khususnya dalam hal bahasa,
perilaku, adat istiadat (customs), dan agama. Kecenderungan ini oleh Sumner
disebut sebagai etnosentrisme.
Zastrow (dalam Lubis, 1999) menambahkan bahwa setiap kelompok etnis
memiliki keterikatan etnis yang tinggi melalui etnosentrisme, yaitu suatu
kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok
budayanya sebagai suatu yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk
mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Etnosentrisme ini
akan membimbing para anggotanya untuk memandang kebudayaan mereka
sebagai yang terbaik dan lebih unggul dibandingkan kebudayaan lainnya. Selain
itu, etnosentrisme juga menyebabkan munculnya prasangka bahwa kelompok lain
adalah orang barbar, kafir dan tidak mempunyai peradaban.
Hogg (2003) menambahkan bahwa di dalam etnosentrisme terdapat unsur
stereotip. Stereotip inilah yang membuat individu atau kelompok individu
melakukan generalisasi (biasanya bersifat negatif) pada kelompok lain dengan
mengabaikan perbedaan individual.
Menurut Sutrisna (2005), di Indonesia, etnis yang dianggap memiliki
etnosentrisme yang cukup kental adalah etnis Tionghoa. Dimanapun mereka
berada, mereka cenderung menunjukkan etnosentrisme. Menurut Siswono Judo
Husudo (dalam Tarmizi, 1997) etnosentrisme inilah yang menyebabkan sulitnya
terjadi proses pembauran etnis Tionghoa. Etnosentrisme ini dapat dilihat dari
1. Masih banyak etnis Tionghoa yang tinggal secara eksklusif di wilayah
tertentu.
2. Cenderung memprioritaskan etnis Tionghoa dalam merekrut tenaga kerja
3. Membeda-bedakan etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi dalam
masalah bisnis.
4. Tidak menunjukkan solidaritas dan kebersamaan sosial dengan penduduk
pribumi dalam bertetangga
5. Sebagian dari etnis Tionghoa belum bersedia mengembangkan rasa
identitas nasional secara utuh
6. Masih ada yang menggunakan bahasa Tionghoa dalam percakapan
sehari-hari dan masih memegang adat istiadat serta tradisi nenek moyang, tidak
berusaha untuk menguasai bahasa Indonesia dengan benar.
7. Masih ada di antara mereka yang merasa lebih unggul dibandingkan
dengan kelompok etnis yang lain dalam masyarakat”
Mallory (dalam Lubis, 1999) menambahkan bahwa etnis Tionghoa juga
cenderung hidup dalam komunitas yang segregatif (menyendiri dan terpisah)
dalam area pemukiman sendiri. Menurut Pelly (dalam Lubis 1999), dari hasil
beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemukiman eksklusif kelompok etnis ini
berfungsi sebagai kepompong yang dimanfaatkan sebagai benteng etnis. Adanya
benteng etnis akan memperkuat kecenderungan untuk memisahkan diri dari
kelompok lain sehingga sulit terjadi komunikasi dan interaksi sosial dengan
Fakta lain yang menunjukkan keeksklusivan ini dapat dilihat pada
beberapa iklan lowongan pekerjaan yang ada di beberapa media massa. Beberapa
perusahaan mengajukan syarat mampu berbahasa Hokkien dalam iklannya. Secara
tidak langsung syarat ini akan mengeleminir para pencari kerja yang tidak mampu
berbahasa Hokkien atau dengan kata lain para pencari kerja yang bukan beretnis
Tionghoa (Harian Analisa, Kamis, 14 Juni 2007). Sutrisna (2005) menatakan
bahwa kondisi ini disebabkan adanya sistem bisnis etnis Tionghoa yang
melibatkan ikatan personal yang berbasis kultural kekeluargaan daripada ikatan
formal legal. Etnis Tionghoa terikat oleh jalinan kekeluargaan yang dinamakan
bamboo-network. Jaringan bisnis ini semakin kuat karena melibatkan sistem
kekerabatan melalui transfer kecakapan dan rahasia dagang yang dimonopoli
secara turun temurun. Hal ini juga didukung oleh pernyataan salah seorang
partisipan dalam penelitian ini.
“Itu karna udah sifatnya kek gitu. Orang Cina ini kan biasanya kalo ada bisnis dia maunya sama yang Cina juga. Kek ibaratnyalah, kek pamanku, punya bengkel dia nanti kan, mau dia nanti yang neruskannya itu anak-anaknya juga, kalo nggak ada nanti di panggilnya anak-anak saudaranya.”
Selain itu, fakta lapangan menunjukkan bahwa pada beberapa perusahaan
milik etnis Tionghoa terdapat sistem penggajian yang berbeda pada karyawan
yang bukan berasal dari etnis Tionghoa. Adi (bukan nama sebenarnya), salah
seorang karyawan di perusahaan swasta mengaku digaji lebih rendah dari pada
rekannya yang beretnis Tionghoa walaupun memiliki jabatan yang sama.
tahulah awak kalo di kantor itu dibeda-bedakan juga. Padahal kerjanya sama ajanya....”
Eksklusivitas etnis Tionghoa ini menimbulkan pandangan negatif di
kalangan masyarakat lainnya. Coppel (dalam Wibowo, 2000) mengidentifikasi
beberapa karakter mengenai etnis Tionghoa yang berkembang dalam masyarakat
pribumi:
1. Etnis Tionghoa dianggap sebagai sebuah bangsa (ras) yang terpisah, yaitu
bangsa Cina
2. Posisi etnis Tionghoa yang diuntungkan dalam struktur sosial (pada masa
pemerintaan Belanda) dianggap sebagai faktor yang membuat mereka
menjadi kuat dalam bidang perekonomian menjadi sumber
ketidaksenangan masyarakat
3. Struktur sosial diskriminatif selama penjajahan Belanda melahirkan
persepsi bahwa etnis Tionghoa memiliki sikap arogan, memandang rendah
masyarakat Indonesia asli, cenderung eksklusif dan mempertahankan
nilai-nilai budayanya dimanapun mereka berada
4. Etnis Tionghoa dilihat sebagai kelompok yang hanya mementingkan
kepentingannya sendiri, khususnya kepentingan ekonomi
Taher (dalam Turnomo, 2005) menambahkan bahwa munculnya masalah
yang berkaitan dengan etnis Tionghoa juga disebabkan oleh faktor kultural.
Kebudayaan Cina merupakan kebudayaan tertua di dunia. Salah satu kebanggaan
bagi orang Tionghoa adalah kemampuan mereka berkembang di suatu tempat,
orang Tionghoa cenderung chauvinistik, sering memandang rendah kebudayaan
lain.
Namun, berdasarkan beberapa penelitian dan literatur diperoleh informasi
bahwa tidak semua etnis Tionghoa memiliki etnosentrisme yang kental. Menurut
Setiono (2007), masyarakat Tionghoa yang ada di Sumatera Utara, Jambi, Riau,
Bangka-Belitung, dan Kalimantan Barat, memiliki karakteristik berbeda
dibandingkan etnis Tionghoa di daerah lainnya. Walaupun dilahirkan di
Indonesia, masyarakat Tionghoa di daerah-daerah ini masih kental memelihara
budaya Tionghoa dan setiap hari menggunakan bahasa Tionghoa atau dialek asal
kampungnya.
Pernyataan Setiono ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh M.
Rajab Lubis (1995) pada etnis Tionghoa di kota Medan. Dari penelitian yang
dilakukannya diperoleh hasil bahwa etnis Tionghoa di kota Medan memiliki
motivasi yang rendah dalam hal berafiliasi terhadap etnis setempat. Mereka juga
lebih sering berkomunikasi menggunakan bahasa Tionghoa baik di rumah
maupun di tempat-tempat umum.
Penelitian yang dilakukan oleh Suwardi Lubis (1999) juga mendukung hal
ini. Dari penelitiannya terhadap beberapa etnis di kota Medan (termasuk etnis
Tionghoa) diperoleh hasil bahwa komunikasi intraetnis lebih efektif dari pada
antar etnis. Didirikannya sekolah pembauran di kota Medan oleh Dr. Sofyan Tan
juga di latarbelakangi oleh eksklusivisme etnis Tionghoa di kota ini. Berikut
pendapat Dr. Sofyan Tan tentang etnis Tionghoa di Medan:
dalam; Alasan ketegangan ini sangat kompleks. Seperti halnya kebanyakan Cina perantauan di Asia Tenggara, komunitas ini bekerja keras, berhasil, dan mendominasi bisnis di negara tersebut. Banyak yang merasa lebih tinggi dibandingkan dengan tetangganya, dan menolak untuk berasimilasi "ke bawah." Kendali etnik Cina terhadap ekonomi telah memicu kecemburuan dan kebencian dari pribumi Indonesia. Kenyataan lain yang tak membantu, kebanyakan suku Cina cenderung terpadu erat, walaupun keturunan dari kebanyakan warga Indonesia keturunan Cina ini datang beberapa generasi yang lampau. Bertahan dengan bahasa dan adatnya, komunitas ini memberikan kesan sombong dan tertutup. Misalnya, perusahaan swasta Cina sangat jarang sekali mempekerjakan buruh pribumi.”
Selain hal di atas, ada beberapa pendapat dari etnis Tionghoa sendiri (etnis
Tionghoa di luar kota Medan) mengenai etnis Tionghoa Medan yang diperoleh
dari milis Tionghoa (tionghoa-net@yahoogroups.com). Pendapat tersebut antara
lain:
“ Suka tidak suka, benar atau tidak, fakta yg tdk bisa disangkal adalah bahwa stereotip Tionghoa negatif turut disumbangkan oleh Tionghoa Medan secara signifikan. Di antara kalangan orang Tionghoa pun stereotip ini telah terbentuk. Sebutan "Cimed" atau "Cina Medan" adalah sebuah konotasi negatif yg sudah "terkenal" sampai di Papua. Ini karena apa? Banyak yg bilang karena perilaku orang2 Tionghoa asal Medan yg cenderung menghalalkan segala cara dlm berbisnis, termasuk bisnis judi gelap yg kebanyakan dilakukan oleh Tionghoa2 asal Medan. Pergaulan Tionghoa Medan dgn pribumi yg sering dipersepsi tdk harmonis karena Tionghoa Medan yg cenderung memandang rendah pribumi, sikap yg dibawa2 terus sampai ke daerah2 rantaunya, terutama di Jakarta dan kota2 besar lainnya memperkuat prasangka negatif terhadap Tionghoa secara keseluruhan. Suka tidak suka, benar atau tidak, di kalangan Tionghoa sendiri banyak yg tdk suka dgn sikap2 yg dipertontonkan oleh Tionghoa2 asal Medan.”
(Sumber: Daniel H.T., 2007)
medan rata2 memang kaya/sangat berada, jadi nggak mau mingle ama. Tapi kalau chinese jawa/sunda pasti pada pinter ngomong jawa/sunda.” (Sumber: ”Holy uncle ”, 2007)
“ Mungkin sejak kecil, saya mendapat image atau gambaran yang kurang positive tentang saudara2 kita warga keturunan tionghoa ini (tionghoa medan). Baik mungkin itu dari keluarga, lingkungan sekitar dan temen sepermainan. Kesannya mereka sombong dan tidak suka bergaul dengan anak2 lainnya. Image ini terus terbawa sampai saya berkelana ke Medan untuk melanjutkan es-em-a. Saat saya di Medan, jarang sekali ketemu saudara2 keturunan tionghoa ini yang bisa berbahasa Indonesia atau melayu dengan lancar. Kadang saya merasa tidak nyaman saat mendengar mereka berbicara dalam bahasa tionghoa atau apa pun di tempat2 umum. They speak loudly. Mungkin ini kesalahan saya juga, itu kan hak meraka. Even sampai sekarang, saya ada teman tionghoa yang satu lab yang berasal dari Medan, dia tidak lancar berbicara Indonesia. Dan akhirnya saya malah menggunakan inggris tiap kali berkomunikasi dengan dia. Satu lagi yang unik mengenai kebiasaan orang-orang tionghoa di Medan, kalo kita melihat rumah dengan banyak jeruji besi mulai dari pintu sampai jendela, bisa dipastikan bahwa itu adalah rumah orang tionghoa. Maaf, sekali,,rumahnya seperti penjara, semuanya dijeruji besi. Sekali lagi saya mohon maaf kalo ada pembaca Koki yang merupakan keturunan tionghoa dari Medan. Ini hanya pengalaman pribadi saya, dan mudah2an thing’s changed now.
Mengenai attitude saudara2 keturunan tionghoa dari Medan, belakangan saya tau dari sesama teman tionghoa sewaktu saya kuliah di Bandung. Entah karena alasan apa, temen2 tionghoa Medan kurang bisa diterima oleh temen2 tionghoa yang dari Jawa. Mungkin salah satunya karena temen2 tionghoa Jawa tidak bisa berbicara dalam bahasa mandarin, atau kanton apa pun itu.
Di sini saya mempunyai teman dekat yang juga keturunan tionghoa. Lucunya dari temen saya ini, orang tuanya bilang ke dia kalo dia diijinkan nikah dengan wanita mana saja, baik keturunan atau pribumi asal tidak dengan keturunan tionghoa dari Medan… hehehehe.. Keadaannya berbalik hampir 180 derajat dari semua image tentang orang tionghoa yang saya temui di Medan.
Di pulau Jawa, khususnya di Bandung, temen2 keturunan tionghoa sangat terbuka dalam bergaul, dan walau pun mereka sadar kadang didiskriminasi, tapi tetep saja mereka berusaha bergaul dan bersosialisasi dengan temen2 dari daerah lain. Dan yang membuat saya terkagum-kagum, mereka bisa berbahasa daerahnya dengan lancar. Yang dari jawa barat bisa ngomong sunda, yang dari jawa lain bisa ngomong jawa medok.”
“Keturunan Cina yang besar di Jawa pada zaman Soeharto udah gak bisa ngomong Chinese lagi. Dulu waktu saya kuliah di Michigan saya punya banyak teman CIMED (Cina Medan). Tapi susah kalau kumpul kumpul sama mereka, nggak ngerti mereka itu ngomong apa, soalnya mereka ngomong hokkien, lalu kalau kumpul-kumpul sama teman-teman yang dari Singkawang, Pontianak juga susah, mereka pada omong Tio Chiu (kalo nggak salah). Saya merasa asing di lingkungan mereka.”
(Sumber: Harry Lukman , 2007, pria keturunan Tionghoa yang besar di Jawa dan saat ini tinggal di Washington DC, dalam Harian Kompas, Cyber Media Community).
Gambaran di atas jelas menunjukkan adanya etnosentrisme pada etnis
Tionghoa (khususnya di kota Medan). Etnosentrisme ini tentu saja tidak muncul
dengan sendirinya. Sebagai suatu bentuk sikap, etnosentrisme pada diri individu
dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang yang dianggap penting,
media massa, dan lain-lain (Azwar, 1995). Menurut Hariyono (1993), baik secara
sadar maupun tidak sadar, etnosentrisme terbentuk melalui proses sosialisasi dan
internalisasi yang diajarkan kepada anggota suatu kelompok sosial bersama
dengan nilai-nilai kebudayaannya.
Kebudayaan dan kehidupan masyarakat Tionghoa dipengaruhi oleh sistem
kepercayaan yang berasal dari ajaran Budhisme, Taoisme dan Konfusinisme.
Ajaran yang paling berpengaruh dalam kehidupan dan kebudayaan etnis Tionghoa
adalah ajaran Konfusius. Konfusius mengajarkan suatu tradisi yang baik, dimana
orang-orang yang mengikuti ajaran ini akan hidup lebih baik. Orang ”liar” akan
beradab bila mengikuti tradisi ini. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Konfusius
mengarah pada pemupukan etnosentrisme, dimana orang-orang Tionghoa akan
memandang dirinya lebih superior dan orang di luar kelompoknya inferior dan
Ajaran Konfusius menitikberatkan pada etika dan moralitas dalam keluarga yang
diharapkan mentradisi secara turun-temurun. Keluarga merupakan tempat anak
bersosialisasi pertama kali. Di dalam keluarga anak akan menerima nilai-nilai
yang diajarkan orang tuanya. Terlebih lagi ajaran tersebut menyangkut kedudukan
setiap anggota keluarga, sehingga memungkinkan sosial kontrol yang kuat dalam
menginternalisasi nilai budaya pada anak. Oleh karena itu ajaran Konfusius
tentang nilai-nilai kekeluargaan dapat tertanam kuat dimanapun ia berada.
Kuatnya nilai-nilai kekeluargaan ini dapat membentuk ingroupfeeling yang kuat,
yang menyebabkan etnis Tionghoa tertutup dari pengaruh outgroup apalagi
menerima anggota outgroup melalui perkawinan campur (dalam Hariyono, 1993),
seperti yang dikemukakan oleh Lin, wanita etnis Tionghoa dari kota Medan yang
pernah berpacaran dengan pria yang berbeda etnis dengannya:
“....putuslah. Nggak mungkinlah dikasih. Mama papa mana mungkin ngasih. Abangku pun kemaren pas tahu, ngamuklah, Ma, mana di kasih, awas kalo ku lihat ko jalan sama dia ya, makanya backstreet lah dulu. Sekarang sama yang chinese baru beranilah. Pernah juga kubawa ke rumah. Orang Cina memang kek gitu, Ma. Kalo apa sama yang nggak chinese mana boleh, kalo kawin harus sama yang chinese juga. Kalo nggak, kalo berani ya kawin lari. Dari pada dibilang nggak berbakti kan, durhaka, ya udah putuslah...”
Pendapat Lin di atas tidak jauh berbeda dengan pendapat kebanyakan
orang Tionghoa tentang perkawinan campur. Biasanya mereka bersikap negatif
terhadap perkawinan campur dan cenderung melakukan perkawinan dengan orang
yang berasal dari etnis Tionghoa juga. Namun, berdasarkan fakta di lapangan (di
perkawinan dengan orang yang berasal dari etnis lain. Bagaimana mungkin hal ini
terjadi pada etnis Tionghoa yang dikatakan memiliki etnosentrisme yang kental?
Menurut Hogg (2003), tidak mungkin seorang individu atau suatu
kelompok individu hidup dan berkembang dalam suatu isolasi. Setiap individu
atau kelompok mau tidak mau harus melakukan kontak dengan individu atau
kelompok lain. Tidak dapat dihindari, pasti ada moment ketika seseorang harus
keluar dari kelompoknya untuk berinteraksi dengan pihak lain, sekalipun
kelompok tersebut adalah kelompok yang eksklusif seperti halnya komunitas etnis
Tionghoa.
Menurut Gerungan (1993), lambat laun seseorang akan keluar dari
kelompok keluarga atau lingkungan tempat tinggalnya untuk belajar atau bekerja
di suatu tempat. Di tempat yang baru ini, individu akan menemukan kelompok
baru baik dengan latar belakang budaya yang sama ataupun tidak. Kelompok baru
ini akan menjadi membership-group yang baru. Dalam kondisi ini, individu tidak
mungkin menghindari kontak dan interaksi dengan anggota yang lain. Dapat
dipastikan dari interaksi ini individu akan memperoleh pengalaman baru yang
akan mempengaruhi pola pikirnya. Menurut Matsumoto dan Juang (2004), dari
interaksi ini ada kemungkinan akan muncul rasa saling tertarik, jatuh cinta,
bahkan perkawinan campur.
Menurut Baron dan Byrne (2000), persamaan memang penting dalam
memilih pasangan hidup, namun ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
mudah menemukan pasangan yang sama dengan diri kita, namun secara praktik
kata lain, selalu ada masalah perbedaan. Oleh karena itu, pasangan harus belajar
menerima dan menyesuaikan diri dengan perbedaan yang ada di antara mereka.
Kedua, banyaknya faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan selain karena
persamaan. Menjadi hal umum bahwa sebuah hubungan dapat dimulai, walaupun
ada perbedaan, namun karena ada faktor seperti daya tarik fisik, ketertarikan
seksual, kekayaan dan lain-lain. Seperti pengakuan Ace, pria etnis Tionghoa yang
berusia 52 tahun juga melakukan perkawinan campur dengan wanita beretnik
Jawa setelah sebelumnya bercerai dengan istrinya yang beretnik Tionghoa.
Berikut penuturan Ace mengenai alasannya melakukan perkawinan campur:
“...Sekarang ace sama orang Jawa. Ace punya istri sekarang nggak macem-macem kayak dulu. Ini perempuan Jawa lebih penurut, nggak banyak tingkah. Jauh kalo sama yang pertama dulu. Suka ribut, suka ngatur-ngatur. Nggak pulang tanyanya macam-macam. Bikin pusing. Jadi istri kok ngatur-ngatur. Apa kata orang kalo bini yang ngatur-ngatur suami. Ribut terus, cere. Anak-anak ikut dia, saya sendiri, cari lagi, dapat ini, perempuan orang Jawa punya. Saya lihat ini perempuan, orang Jawa, punya pribadi halus, nggak galak-galak loh. Mau nurut lah. Beda sama yang dulu. Payahlah kalo udah cerita dulu....”
Menurut Skinner, G. W. (dalam Sarwono, 2003), hasil penelitian yang
dilakukannya menunjukkan bahwa kebanyakan pria Tionghoa yang melakukan
perkawinan campur dengan wanita pribumi memiliki tujuan untuk meneruskan
dan mempertahankan keturunan.
Muncul pertanyaan bagaimana caranya dua individu yang berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda, menjalani rumah tangganya? Kadang-kadang,
walaupun perbedaan antara pasangan terlihat jelas, masing-masing pihak percaya
perkawinan. Dalam interaksi akan terjadi proses saling mempengaruhi antara
pihak-pihak yang berinteraksi (Baron, 1991).
Hogg (2003) juga mengatakan bahwa ketika seseorang memasuki suatu
kelompok (dalam hal ini yang dimaksud ádalah pria Tionghoa yang melakukan
perkawinan campur), tidak mungkin baginya untuk menghindari kontak dengan
anggota kelompok tersebut (keluarga pasangan). Sebab perkawinan bukanlah
semata-mata penyatuan antara dua individu, melainkan dua keluarga. Kontak
dengan keluarga pasangan kemudian akan mempengaruhi pemikiran dan
perilakunya. Proses kontak dan interaksi inilah yang disebut sebagai akulturasi.
Yang menjadi permasalahan sekarang ádalah sejauh mana akulturasi
tersebut akan mempengaruhinya serta perubahan seperti apa yang akan terjadi.
Menurut Warnaen (dalam Sarwono, 2003), kontak juga berpengaruh, baik
terhadap dimensi stereotip maupun terhadap persepsi kesamaan. Semakin banyak
terjadi kontak (dengan keluarga pasangan), isi stereotip semakin jelas dan
beragam, tapi preferensi etnis tidak selalu menjadi semakin positif, bahkan bisa
menjadi semakin negatif dan mungkin tidak berubah dengan adanya kontak yang
lebih beragam. Keduanya (pasangan yang melakukan kawin campur) mungkin
akan melihat satu sama lain sangat berbeda, melebihi perbedaan sebenarnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Yen berikut ini:
Menurut Hogg (2003) selain menjadi pengalaman berharga dan
mengkibatkan perubahan yang bermanfaat, akulturasi ini juga dapat menimbulkan
ancaman bahkan kebencian yang mengarah kepada konflik atau disebut dengan
istilah stress acculturation. Stress akulturasi ini merupakan suatu respon yang
dialami individu selama proses akulturasi berlangsung. Untuk mengatasi hal ini
individu perlu melakukan adaptasi secara psikologis dan sosiokultural. Berry
(2006) juga menambahkan bahwa pada dasarnya dalam proses akulturasi ini ada
empat strategi yang dapat dipilih oleh pihak yang berakulturasi. Pertama, asimilási
yaitu kondisi dimana individu atau kelompok individu tidak mempertahankan
identitas budayanya tetapi mengambil budaya lain. Kedua, integrasi yaitu kondisi
dimana individu atau kelompok individu mempertahankan budayanya dan pada
saat yang sama tetap menjalin hubungan dengan budaya lain Ketiga, separatis
yaitu kondisi yang terjadi ketika individu mempertahankan budayanya dan
menolak budaya lain. Keempat, marginalisasi yang terjadi ketika hanya sedikit
kemungkinan untuk mempertahankan budaya sendiri dan gagal menjalin
hubungan dengan budaya lain. Strategi mana yang dipilih akan menentukan
seberapa besar perubahan yang terjadi individu. Hasil akhir dari adaptasi ini akan
mempengaruhi aspek-aspek yang ada dalam diri individu termasuk etnosentrisme
yang dimilikinya. Dalam penelitian ini, individu yang dimaksud adalah dimaksud
adalah pria etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur. Sebab, etnis
Tionghoa menganut paham patrilineal, dimana prialah yang berperan sebagai
pemimpin dalam rumah tangga serta mengatur dan menentukan jalannya rumah
campur, bagaimana dia menilai dan beradaptasi dengan budaya pasangannya yang
berbeda, serta bagaimana dinamika etnosentrisme yang terjadi sebagai dampak
dari proses akulturasi yang terjadi selama menjalani perkawinan campur membuat
peneliti tertarik untuk menelitinya.
I. B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan beberapa literatur diperoleh informasi bahwa salah satu etnis
di Indonesia yang memiliki etnosentrisme tinggi adalah etnis Tionghoa,
khususnya etnis Tionghooa yang berada di kota Medan. Jika seseorang memiliki
etnosentrisme yang tinggi, maka kecil kemungkinan baginya untuk menerima
kebudayaan lain sebagai sesuatu yang benar apalagi sampai melakukan
perkawinan campur. Akan tetapi bedasarkan fakta di lapangan (kota Medan)
ternyata ada beberapa orang Tionghoa yang melakukan perkawinan campur.
Bertitik tolak dari fenomena ini, peneliti tertarik untuk meneliti lebih
lanjut dengan menggunakan partisipan pria etnis Tionghoa Medan yang
melakukan perkawinan campur. Dengan demikan, perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Alasan apa yang melatarbelakangi partisipan melakukan perkawinan
campur. Apakah dengan melakukan perkawinan campur berarti partisipan
tidak memiliki etnosentrisme?
2. Bagaimana dinamika etnosentrisme yang terjadi dalam diri partisipan yang
melakukan perkawinan campur jika dikaitkan dengan proses akulturasi
I. C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pengalaman pria etnis
Tionghoa yang menjalani perkawinan campur, apa alasannya melakukan
perkawinan campur serta bagaimana dinamika etnosetrisme dalam dirinya selama
berlangsungnya proses akulturasi sebagai dampak dari kontak dengan keluarga
pasangan yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengannya.
I. D. MANFAAT PENELITIAN I. D. 1. Manfaat Teoritis
1. Menjadi masukan dan sumber informasi bagi ilmu Psikologi, khususnya di
bidang sosial, mengenai dinamika etnosentrisme yang terjadi pada pria
etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur, konflik-konflik yang
muncul selama proses terjadinya proses akulturasi dalam perkawinan
tersebut.
2. Menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih
jauh mengenai perkawinan campur, etnosentrisme, akulturasi.
I. D. 2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang bagaimana
individu yang berasal dari dua latar belakang budaya yang berbeda (pria etnis
Tionghoa dan pasangannya) menegosiasikan identitas kultural mereka dalam
sebuah ruang sosial (rumah tangga) yang memungkinkan mereka untuk selalu
I. E. SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini disusun berdasarkan suatu sistematika penulisan yang teratur
sehingga lebih mudah untuk dipahami. Pada Bab I akan dikemukakan mengenai
pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Pada Bab II akan di utarakan mengenai landasan teori yang terdiri dari
teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah
teori mengenai etnosentrisme, etnis Tionghoa , perkawinan campur, dan akulturasi
budaya.
Bab III membahas mengenai metode penelitian kualitatif yang digunakan,
termasuk di dalamnya metode pengambilan data, partisipan penelitian, alat bantu
yang digunakan, prosedur penelitian dan metode analisis data.
Bab IV membahas analisis data dari hasil observasi dan wawancara yang
dilakukan. Bab V berisi kesimpulan, diskusi dan saran. Dalam bab ini akan
dijelaskan mengenai kesimpulan dari penelitian, diskusi mengenai hasil
ABSTRAK
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Januari 2008
Emma Fauziah Saragih
Dinamika Etnosentrisme pada Pria Etnis Tionghoa yang Menjalani Perkawinan Campur
(ix + 165; 10 tabel, 6 gambar, 3 lampiran )
Etnosentrisme merupakan suatu sumber utama perbedaan budaya dalam bentuk sikap. Setiap individu atau kelompok individu cenderung memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kriteria kelompok sendiri, memandang kelompok sendiri sebagai pusat alam semesta yang mempengaruhi interaksi interklutural. Di Indonesia, salah satu kelompok yang memiliki etnosentrisme yang tinggi adalah etnis Tionghoa, terutama Tionghoa di kota Medan. Akan tetapi, fakta lapangan menunjukkan ada beberapa pria etnis Tionghoa yang melakukan perkawinan campur.
Dalam penelitian ini ingin digambarkan alasan pria etnis Tionghoa melakukan perkawinan campur, serta dinamika etnosentrisme dalam dirinya sebagai akibat dari proses akulturasi selama menjalani perkawinan campur.
Untuk mendapat jawaban ini, digunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala tingkah laku individu menurut pengalaman subjektifnya, sebab variabel etnosentrisme ini dan pengalaman akulturasi dalam menjalani perkawinan campur bersidat sangat subjektif dan sangat tergantung pada pangalaman dan perasaan individu yang mengalaminya. Dalam pengumpulan data digunakan teknik wawancara mendalam yang tidak terstruktur da observasi yang sifatnya non-partisipan. Partisipan dalam penelitian ini adalah pria etnis Tionghoa yang menjalani perkawinan campur dengan karakteristik kedua orang tua berasal dari etnis Tionghoa serta beragama Khong Hu Cu atau Buddha.
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menjelaskan dan
mendukung data penelitian. Diantaranya adalah teori mengenai etnosentrisme,
etnis Tionghoa, dan perkawinan campur. Secara skematis uraian dalam Bab ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.
Skema landasan teori penelitian
BAB II LANDASAN
TEORI
2.Ajaran yang Dianut Etnis Tionghoa B. ETNIS
TIONGHOA
2. Pembentukan Etnosetrisme A.ETNOSENTRISME
1. Definisi Etnosentrisme
2.Alasan Melakukan PerkawinanCampur C. PERKAWINAN
CAMPUR
1.Definisi Perkawinan Campur 3. Nilai-Nilai Familiisme 1. Etnis Tionghoa di kota
II. A. ETNOSENTRISME II. A. 1. Definisi Etnosentrisme
Menurut Sumner (dalam Lubis, 1999), manusia pada dasarnya adalah
seorang individualistik yang cenderung mengikuti naluri biologi untuk
mementingkan diri sendiri, sehingga menghasilkan hubungan di antara manusia
yang bersifat antagonistik (pertentangan). Kerjasama antara individu dalam
masyarakat umumnya bersifat antagonistic cooperation. Akibatnya manusia
mementingkan diri dan kelompoknya sendiri karena menganggap folkways nya
lebih baik dari pada orang atau kelompok lain. Lahirlah rasa in group atau we
groups yang berlawanan dengan rasa out group yang bermuara pada
etnosentrisme. Individu menilai kelompok lain berdasarkan pada budayanya,
khususnya dalam hal bahasa, perilaku, adat, dan agama.
Sikap in group pada umumnya mempunyai faktor simpati dan solidaritas
yang tinggi, serta selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota
kelompoknya. Sedangkan sikap terhadap out group selalu ditandai dengan
antagonisme dan antipati. Perasaan in group dan out group merupakan suatu dasar
sikap yang oleh JBAF Mayor Polak disebut sebagai etnosentrisme (Hariyono,
1993).
Menurut Harris (1985), etnosentrisme merupakan kecenderungan bahwa
individu menganggap kelompoknya lebih baik dibandingkan kelompok lain yang
Pandangan di atas walaupun dijelaskan secara antropologis tapi cukup
menjelaskan adanya ingroup dan out group. Dari sudut pandang Psikologi Sosial,
etnosentrisme dapat dijelaskan oleh beberapa ahli yang akan muncul berikut ini:
Menurut Coleman dan Cressey (1984) orang yang berasal dari suatu
kelompok etnis cenderung melihat budaya mereka sebagai yang terbaik.
Kecenderungan ini disebut sebagai etnosentrisme, yaitu kecenderungan untuk
memandang norma dan nilai yang dianut seseorang sebagai hal yang mutlak dan
digunakan sebagai standar untuk menilai dan mengukur budaya lain.
Zastrow (dalam Lubis, 1999) mengatakan bahwa setiap kelompok etnis
memiliki keterikatan etnis yang tinggi melalui etnosentrisme. Etnosentrisme
merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam
kelompok budayanya sebagai suatu yang mutlak dan digunakan sebagai standar
untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain.
Etnosentrisme membimbing para anggota kelompok untuk memandang
kebudayaan mereka sebagai yang terbaik, terunggul daripada kebudayaan lainnya.
Etnosentrisme juga menyebabkan prasangka yang memandang kelompok lain
sebagai orang barbar, kafir, dan tidak mempunyai peradaban.
Levine dan Campbell (dalam Scott, 1998) mendefinisikan etnosentrisme
sebagai sikap atau pandangan dimana nilai-nilai yang berasal dari budaya sendiri
digunakan untuk menilai budaya lain yang memiliki nilai-nilai yang berbeda.
Individu menilai budayanya secara objektif dan secara otomatis menggunakannya
Taylor, Peplau dan Sears (2000) menyatakan bahwa etnosentrisme
mengacu pada suatu kepercayaan bahwa in group nya lebih baik atau superior dari
pada out group. Hal ini dapat mempengaruhi evaluasi yang dilakukan anggota
kelompok tersebut sebagai individu.
Hogg (2003) menambahkan bahwa etnosentrisme melibatkan atribusi
internal dan eksternal. Individu yang etnosentris akan menilai hal-hal positif pada
in group dan hal-hal negatif pada out group secara internal. Sebaliknya, hal-hal
negatif pada in group dan hal-hal positif pada out group akan diatribusi secara
eksternal.
Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
etnosentrisme adalah kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai
dalam kelompok budayanya sebagai yang terbaik dan digunakan sebagai standar
untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan lain. Etnosentrisme
ini melibatkan atribusi internal dan eksternal yang menciptakan jurang pemisah
dengan kebudayaan lain, sehingga tidak memungkinkan terjadinya komunikasi
dan kontak sosial yang harmonis.
II. A. 2. Pembentukan Etnosentrisme
Karena etnosentrisme merupakan salah satu bentuk sikap, maka
pembentukan etnosentrisme sama halnya dengan pembentukan sikap. Sikap
terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial
mengandung arti lebih daripada sekedar kontak sosial dan hubungan antar
individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi
terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku individu
(Azwar, 1998).
Dalam interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap
berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (1998) adalah pengalaman
pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi
atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosi dalam diri individu.
Menurut Gerungan (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan
perubahan sikap ini adalah faktor internal dan eksternal individu.
a. Faktor-faktor internal
Pengamatan dalam komunikasi melibatkan proses pilihan di antara
seluruh rangsangan objektif yang ada di luar diri individu. Pilihan
tersebut berkaitan erat dengan motif-motif yang ada dalam diri
individu. Selektivitas pengamatan berlangsung karena individu tidak
dapat mengamati semua stimulus yang ada.
b. Faktor-faktor eksternal
Sikap dapat dibentuk dan diubah berdasarkan dua hal, yaitu karena
interaksi kelompok dan komunikasi
Gerungan juga menambahkan apabila sikap sudah terbentuk dalam diri
manusia, maka hal tersebut menentukan pola tingkah lakunya terhadap
objek-objek sikap. Pembentukan sikap ini tidak terjadi dengan sendirinya, namun
luar kelompok. Pengaruh dari luar kelompok ini belum cukup untuk merubah
sikap sehingga membentuk sikap baru.
Salter (2002) menyatakan bahwa seseorang yang tumbuh dalam suatu
budaya dan menyerap nilai serta perilaku akan mengembangkan pemikiran
berdasarkan budayanya. Individu kemudian akan menilai budaya lain berdasarkan
budayanya. Individu yang etnosentris akan melihat budaya lain dari sisi
perbedaannya saja. Perbedaan ini dinilai salah olehnya. Walaupun demikian, ada
kemungkinan bagi orang yang etnosentris untuk mengadopsi budaya lain dan
mengabaikan budayanya. Hal ini terjadi jika budaya lain itu lebih superior dari
budayanya.
Salter juga menambahkan bahwa etnosentrisme terjadi bila masing-masing
budaya bersikukuh dengan identitasnya dan menolak untuk bercampur dengan
budaya lain. Etnosentrisme juga terjadi bila kelompok etnis mempunyai ketakutan
tertentu dalam hal inferioritas dan superioritas. Inferioritas tidak memungkinkan
percampuran kebudayaan karena akan menghilangkan identitas budaya. Biasanya
ini dialami oleh suku-suku minoritas, seperti Badui, Samin, dan Tionghoa.
Menurut Hariyono (1993) etnosentrisme terbentuk melalui proses
sosialisasi dan internalisasi yang diajarkan pada anggota suatu kelompok sosial
bersama dengan nilai-nilai kebudayaannya, baik sadar maupun tidak sadar.
Keluarga merupakan tempat sosialisasi anak pertama kali yang akan memudahkan
anak untuk menerima nilai-nilai yang diterima dari orang tuanya. Terlebih lagi
kalau ajaran tersebut menyangkut tentang kedudukan setiap anggota keluarga,
menginternalisasi nilai kepada anak. Pada tingkat kelompok, kuatnya
nilai-nilai kekeluargaan pada etnis Tionghoa menyebabkan ia mempunyai identifikasi
yang kuat untuk menyebut dirinya sebagai suatu kelompok sosial tertentu (in
group). Sebagai bangsa yang dulu pernah mengalami masa peradaban yang tinggi,
etnis Tionghoa akan mengukur dan membandingkan etnis lain dengan
menggunakan perangkat nilai-nilai kebudayaannya sendiri. Adanya anggapan
bahwa orang Tionghoa terkenal dengan sifatnya yang rajin, ulet, tekun dan
terampil terutama dalam bidang industri dan perdagangan juga dapat
menumbuhkan in groupfeeling yang kuat yang akan menimbulkan etnosentrisme.
Etnosentrisme ini akan membuat jurang pemisah dengan bangsa (kelompok) lain,
sehingga tidak memungkinkan terjadinya komunikasi dan kontak sosial yang
harmonis. Dalam pergaulan mereka akan menampakkan diri dalam kehidupan
yang eksklusif, antara lain hidup dan bertempat tinggal secara berkelompok
dengan sesama etnis.
Keeksklusivan yang mengarah pada etnosentrisme tampak dalam berbagai
aspek kehidupan. Menurut Siswono Judo Husudo (dalam Tarmizi, 1997)
etnosentrisme pada etnis Tionghoa tampak dalam beberapa hal yaitu:
1. Banyak etnis Tionghoa yang masih tinggal secara eksklusif dalam suatu
wilayah tertentu.
2. Cenderung memprioritaskan etnis Tionghoa dalam merekrut tenaga kerja
3. Membeda-bedakan etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi dalam
4. Tidak menunjukkan solidaritas dan kebersamaan sosial dengan penduduk
pribumi dalam bertetangga
5. Sebagian dari etnis Tionghoa belum bersedia mengembangkan rasa
identitas nasional secara utuh
6. Masih ada yang menggunakan bahasa Tionghoa dalam percakapan
sehari-hari dan masih memegang adat istiadat serta tradisi nenek moyang,
tidak berusaha untuk menguasai bahasa Indonesia dengan benar.
7. Masih ada di antara mereka yang merasa lebih unggul dibandingkan
dengan kelompok etnis yang lain dalam masyarakat
II. B. ETNIS TIONGHOA
II. B. 1. Etnis Tionghoa di Kota Medan
Etnis Tionghoa di Indonesia berperan penting dalam perjalanan sejarah
Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Sejak
berdirinya Partai Tionghoa Indonesia, beberapa orang Tionghoa seperti Kho Sien
Hoo bergabung dengan gerakan kemerdekaan. Setelah Negara Indonesia
terbentuk, maka secara otomatis etnis Tonghoa yang berkewarganegaraan
Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup Indonesia
dan sejajar dengan suku-suku lain (dalam Liem, 2000).
Di kota Medan keberadaan etnis Tionghoa dimulai pada abad ke-15, ketika
armada perdagangan Cina datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur untuk
melakukan hubungan dagang. Hubungan ini berlangsung dalam waktu yang
cukup lama, sehingga sebagian pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera
wilayah ini melaporkan bahwa pada saat itu jumlah orang Tionghoa di Sumatera
Timur sedikit sekali. Tetapi, pada tahun 1876 Resden Belanda melaporkan bahwa
dalam waktu 53 tahun, seluruh perdagangan talah dikuasai mereka (Pelly, dalam
Lubis, 1995)
Pelly juga menambahkan bahwa jumlah etnis ini kemudian bertambah
ketika Belanda mendatangkan tenaga kerja dari negeri Cina karena merasa tidak
cocok dengan pribumi. Tahun 1879, tercatat Belanda berhasil mendatangkan4.000
kuli dari Cina dan meningkat menjadi 18.352 orang pada tahun 1888. Setelah
kontrak kerjanya habis, para buruh ini kemudian bermukim di kota-kota, dan
akhirnya bekerja sebagai pedagang, pemilik toko, petani kecil, nelayan dan
penjual barang bekas. Para etnis Tionghoa yang ada di kawasan pantai Timur
Sumatera ini terdiri dari beberapa kelompok, yaitu:
1. Kelompok Puntis atau Kanton
Kelompok ini berasal dari propinsi Kwantung. Sebagian besar bekerja
sebagai tukang besi, perabot (furniture), jahit dan tekstil.
2. Kelompok Hakka dan Khe
Sebagian besar dari kelompok ini bekerja sebagai pengusaha toko,
pedagang rotan dan tukang kaleng.
3. Kelompok Hoekloe
Kelompok ini terdiri dari suku Teochinu dan Hailhokhong. Sebagian besar
4. Kelompok Hailam
Sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan tukang
masak.
5. Kelompok Amoy dan Hokkian
Di tanah Deli maupun Jawa kelompok ini terkenal sebagai pedagang.
6. Kelompok suku yang lebih kecil yang berasal dari propinsi Luitsiu dan
Koatsiu
Biasanya mereka disebut sebagai orang Luichius dan Caochow serta Hock.
Sebagian besar mereka adalah orang-orang miskin di Belawan dan Bagan
Siapi-api.
Lubis (1995) menyatakan bahwa banyak orang mengatakan bahwa etnis
Tionghoa Medan memiliki karakteristik yang berbeda dengan etnis Tionghoa lain
yang ada di Indonesia. Misalnya saja dalam hal bahasa. Dari penelitian yang
dilakukannya, Lubis menemukan bahwa etnis Tionghoa Medan cenderung lebih
sering menggunakan bahasa Tionghoa ketika berkomunikasi baik di dalam rumah
maupun di luar rumah.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Chandra Sukma Dewi (dalam Lubis,
1995) diperoleh hasil bahwa dominannya penggunaan bahasa Tionghoa
disebabkan karena kurangnya interaksi dengan pribumi, masih menganggap
Indonesia sebagai tempat perantauan, dan masih kuatnya orientasi terhadap negeri
leluhur. Lubis menambahkan bahwa kecenderungan penggunaan bahasa Tionghoa
oleh sesama etnis Tionghoa dimanapun mereka berada adalah untuk
diantara mereka menggunakan bahasa Tionghoa. Keadaan ini jauh berbeda
dengan etnis Tionghoa di kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta,
Padang, dan lain-lain yang pada umumnya telah menggunakan bahasa daerah
sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam berkomunikasi baik dengan sesama
etnis Tionghoa maupun dengan etnis setempat.
II. B. 2. Ajaran yang Dianut Etnis Tionghoa
Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh
sistem kepercayaannya. Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa adalah Budha,
Taoisme, dan Konfusionisme. Menurut Nio Joe Lan (dalam Lubis, 1999) ketiga
kepercayaan ini biasanya dipuja bersama dalam perkumpulan Sam Kauw Hwee
(Perkumpulan Tiga Agama atau Budha Tri Dharma). Biasanya dalam kepercayaan
itu ditambah pula dengan kepercayaan dan pemujaan kepada orang-orang suci
yang dianggap Dewa atau Dewi.
Diantara tiga ajaran di atas, yang paling berpengaruh pada kehidupan etnis
Tionghoa adalah ajaran Konfusianisme. Hal ini dapat dipahami karena di negeri
asalnya (Tiongkok) ajaran ini telah dianut selama lebih dari dua abad atau dua
ribu tahun lamanya dan telah menjadi tradisi yang sengaja dicipta dan
dicita-citakan oleh Konfusius untuk membangun negerinya. Selama Dinasti Han (205
SM-220 SM) ajaran Konfusius telah menjadi ajaran agama negara. Pada dasarnya
Konfusius mengajarkan tentang moralitas yang harus dimiliki oleh setiap orang.
Kunci ini dipakai Konfusius untuk mengatur hubungan antar manusia dalam
hidup bermasyarakat. Konfusius ingin menciptakan suatu tradisi yang baik,
Dari sinilah Konfusius beranggapan bahwa orang yang ”liar” akan menjadi
beradab apabila ia mengikuti tradisi yang diciptakannya. Bangsa yang ”liar” akan
menjadi beradab apabila telah menganut ajarannya. Semua bangsa di luar Cina
yang belum menganut ajarannya dianggap sebagai bangsa yang liar. Oleh karena
itu, Cina yang sudah menganut ajarannya adalah bangsa yang beradab. Dari
sinilah muncul anggapan bahwa sebagai bangsa yang beradab, melahirkan rasa
superior pada bangsa Cina. Sedangkan bangsa yang belum beradab adalah bangsa
yang inferior. Anggapan ini muncul demikian ekstrim karena keyakinannya yang
begitu kuat bahwa tradisi yang diciptakannya adalah sangat sempurna, sehingga
orang yang mengkuti ajarannya akan sempurna pula (Hariyono, 1993; Lubis;
1999).
II. B. 3. Nilai-Nilai Kekeluargaan Etnis Tionghoa (Familiisme)
Menurut Hariyono (1993) nilai-nilai kekeluargaan dalam etnis Tionghoa
sangat dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme. Konfusianisme mengajarkan agar
segala sesuatu dilakukan dan ditujukan pada kepentingan keluarga baik nuclear
family (keluarga inti) maupun extended family. Ada kalanya extended family
berperan sebagai socialcontrol terhadap nilai-nilai yang dijalankan oleh keluarga
inti. Nilai-nilai ini berkaitan dengan nilai tentang rasa hormat, etos kerja,
perkawinan, nilai-nilai pemujaan (kepada leluhur), sebutan kekeluargaan dan
penggunaan nama keluarga. Secara umum, nilai-nilai ini terbagi atas:
1. Seorang anak harus berbakti kepada orang tua (Hao)
Dalam keluarga Tionghoa, ayah mempunyai peranan dan
pemimpin dalam upacara pemujaan pada leluhurnya. Semua anggota
keluarga harus menghormatinya. Ayah berhak merendahkan bahkan
mengusir bahkan mengucilkan anak yang tidak menghormatinya.
Konfusius mengajarkan bahwa setiap anak harus menunjukkan rasa
baktinya kepada orang tua dengan berbagai macam cara. Apabila orang
tuanya masih ada, ia harus dapat merawat dan menyenangkannya. Apabila
mereka telah tiada, ia harus melakukan pemujaan sebagai rasa baktinya.
Segala hal yang dilakukan untuk menyenangkan dan merawat mereka
tentunya memerlukan banyak biaya. Untuk itu si anak diwajibkan untuk
bekerja keras, seperti kutipan perkataan Konfusius berikut (dalam
Hariyono, 2003):
”Meskipun ayah dan ibumu telah meninggal dunia, tetapi kalau kamu dapat bekerja dengan baik, hal ini akan mengharumkan nama baik kedua orang tuamu, dan segala cita-citamu dapat tercapai. Sebaliknya, bila kamu tidak bekerja dengan baik, maka akan memberi aib bagi kedua orang tuamu, dan kamu tidak akan mencapai cita-citamu.”
Oleh Konfusius ajaran ini disebut sebagai sebagai `hubungan segitiga`,
yaitu hubungan antara Konfusianisme, keluarga, dan kerja. Hubungan ini
mempunyai kaitan erat satu sama lainnya yang dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.
Hubungan segitiga dalam ajaran Konfusianisme
Keluarga
Konfusius
Secara umum ada lima cara yang menunjukkan rasa bakti anak
kepada orang tuanya:
a. Harus menunjukkan rasa hormat pada orang tua
b. Harus menyenangkan orang tua
c. Merasa cemas ketika orang tua sakit
d. Menunjukkan rasa duka cita mendalam ketika berkabung
e. Penyelengarakan suatu upacara harus meriah.
2. Pemujaan kepada leluhur
Pemujaan terhadap leluhur merupakan tindak lanjut dari rasa
hormat anak pada orang tua. Pemujaan ini dapat dilakukan dalam bentuk
upacara tradisional dengan cara menyembahyangi abu leluhur yang
biasanya diwariskan pada anak sulung laki-laki. Biasanya upacara ini
dilaksanakan pada saat Imlek (tahun baru Cina), Ceng Beng (ziarah ke
makam leluhur), Cit Gwee (sembahyang arwah yang tidak
disembahyangkan keluarganya) dan hari-hari lainnya.
3. Nama keluarga
Penggunaan nama keluarga (marga) akan menimbulkan rasa in group
feeling yang kuat antara sesama anggota keluarga, karena memberikan
identitas tersendiri sebagai bagian dari suatu kelompok.
4. Sebutan kekeluargaan
Sebutan kekeluargaan pada etnis Tionghoa juga menimbulkan in group
II. C. PERKAWINAN CAMPUR II. C. 1. Definisi Perkawinan Campur
Kebudayaan merupakan sistem aturan-aturan yang dinamis, dibentuk oleh
kelompok untuk menjamin keberlangsungan hidup, meliputi sikap, nilai,
keyakinan, norma, dan perilaku. Kebudayaan dikomunikasikan antar generasi,
relatif stabil, namun berpotensi untuk berubah (Matsumoto & Juang, 2004).
Koentjaraningrat (1983) menyatakan bahwa ada tujuh unsur yang terdapat
dalam kebudayaan, yaitu:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencarian hidup
7. Sistem teknologi dan peralatan
Menurut Hogg (2003) kebudayaan muncul dan dipertahankan melalui
interaksi manusia. Kelompok budaya tidak hidup dalam suatu isolasi, namun
melakukan kontak dengan orang lain. Ketika seseorang bertemu dengan budaya
lain, tidak mungkin baginya untuk menghindari kontak. Dalam kontak terjadi
proses pembelajaran mengenai budaya lain yang disebut dengan akulturasi.
Kontak yang terjadi akan menghasilkan perubahan dalam pemikiran dan perilaku
Menurut Redfield (dalam Berry, dkk., 2006) akulturasi merupakan suatu
fenomena yang muncul ketika kelompok individu yang berbeda budaya
melakukan kontak yang mengakibatkan perubahan pada budaya asal salah satu
kelompok atau keduanya. Ada empat cara atau strategi yang dapat dilakukan
individu dalam proses akulturasi (Berry 2006; Hogg, 2003), yaitu:
1. Asimilasi: ketika seseorang tidak mempertahankan identitas budayanya
atau home culture (HC) tetapi mengambil budaya lain atau dominant
culture (DC).
2. Integrasi: terjadi ketika individu mempertahankan budayanya (HC) dan
pada saat yang sama tetap menjalin hubungan dengan budaya lain
(DC).
3. Separatis: terjadi ketika individu mempertahankan budayanya (HC) dan
menolak budaya lain (DC).
4. Marginal: terjadi ketika hanya sedikit kemungkinan untuk
mempertahankan budaya sendiri (HC) dan gagal menjalin hubungan
dengan budaya lain (DC).
Menurut Hogg (2003) selain menjadi pengalaman berharga dan
mengkibatkan perubahan yang bermanfaat, kontak interkultural juga dapat
menimbulkan ancaman bahkan kebencian yang mengarah kepada konflik atau
disebut dengan istilah stress acculturation. Berry (2006) mengatakan bawa stress
acculturation menimbulkan kecemasan, depresi bahkan psikopatologi. Berry juga
menambahkan bahwa dengan adaptasi secara psikologis dan sosiokultural maka
Dalam hal ini individu yang mengalami stress akulturasi dianggap memiliki
potensi untuk menghadapi stressor dalam kehidupannya dan mampu beradaptasi.
Proses akulturasi di atas juga dapat terjadi dalam perkawinan campur
(perkawinan antara dua individu yang berasal dari etnis yang berbeda). Menurut
Cohen (dalam Hariyono, 1993) perkawinan campur merupakan perkawinan yang
terjadi antara individu dari kelompok etnis yang berbeda yang dikenal dengan
istilah amalgamation. Menurut Sunarto (2004) dalam hubungan perkawinan
berlaku aturan eksogami dan endogami. Eksogami merupakan sistem yang
melarang perkawinan dengan anggota kelompok, sedangkan endogami merupakan
sistem yang mewajibkan perkawinan dengan anggota kelompok. Dengan
demikian perkawinan campur yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda tergolong ke dalam perkawinan eksogami. Proses
penyesuaian antara pasangan yang melakukan perkawinan campur dapat disebut
sebagai proses akulturasi. Secara skematis proses ini dapat digambarkan sebagai
Gambar 3:
Skema proses akulturasi dalam perkawinan campur
Berry (2006) menyebutkan bahwa proses akulturasi ini sendiri juga di
pengaruhi oleh faktor-faktor yang ada sebelum dan selama terjadinya akulturasi.
Faktor-faktor ini adalah usia, jenis kelamin, lingkungan, religion, serta dukungan
sosial. Dalam penelitian ini proses tersebut akan digambarkan dalam bentuk
skema berikut:
-Integrasi - Separatis
Gambar 4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses akulturasi dalam perkawinan campur
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan campur
adalah bersatunya jiwa, kepribadian, sifat dan perilaku dua insan berlawanan jenis
yang berbeda etnis/latar belakang budaya untuk disyahkan secara resmi sebagai
pasangan suami istri. Dalam perkawinan campur ini terjadi proses akulturasi
budaya antara pasangan yang mungkin menimbulkan konflik (stres akulturasi).
Melalui adaptasi secara psikologis dan sosiokultural segala hal yang berkaitan
dengan pasangannya serta latar belakang yang berbeda dapat diterima untuk
II. C. 2. Alasan Melakukan Perkawinan Campur
Kartini Kartono (1992) menyebutkan beberapa motivasi dan alasan
seseorang melakukan perkawinan:
1. Distimulir oleh dorongan-dorongan romantik
2. Keinginan untuk memperoleh kemewahan hidup
3. Ambisi untuk mencapai status sosial yang lebih baik
4. Keinginan untuk memperoleh kepuasan seks dari pasangan
5. Keinginan untuk lepas dari kungkungan orang tua
6. Keinginan untuk memiliki anak
7. Keinginan untuk mengabadikan nama leluhur
Porterfield (dalam Jeter dan Kris, 1982) menyebutkan ada enam alasan
seseorang melakukan perkawinan campur:
1. Seseorang mungkin melakukan perkawinan campur dengan alasan idealisme
2. Seseorang bersifat kosmopolitan atau memilih teman secara personal bukan
alasan budaya.
3. Seseorang melakukan perkawinan campur untuk menentang otoritas orang
tua baik secara sadar ataupun tidak sadar.
4. Seseorang melakukan perkawinan campur karena tertarik secara
Hyt Sze (dalam Martin & Nakayama, 2000) menyatakan bahwa secara
natural, perkawinan campur dilakukan atas dasar cinta. Profesor Char (dalam
Jeter dan Kris, 1982) menyatakan alasan atau motif seseorang melakukan
perkawinan campur adalah:
1. Karena nilai cinta. Cinta adalah ikatan yang sehat antara dua orang
walaupun berbeda secara kultural.
2. Jiwa petualang seseorang yang ingin tampil beda dan menyukai sesuatu
yang baru seperti halnya kepribadian pada pasangan dalam perkawinan
campur. Kebutuhan ini dapat disebabkan oleh narsistik atau tujuan untuk
mendapat perhatian
3. Alasan praktis, seperti untuk meningkatkan status sosial atau kekayaan
4. Ekspresi kepuasan dan ketidakpuasan orang tua tentang perkawinan menjadi
motif melakukan perkawinan dengan tujuan melakukan pemberontakan
BAB III
METODE PENELITIAN
III. A. PENDEKATAN KUALITATIF
Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Poerwandari, 2001), masalah-masalah
dalam ilmu sosial dapat dijawab melalui dua pendekatan yaitu positivistik dan
fenomenologis. Kedua pendekatan ini sebenarnya harus dipahami sebagai
pendekatan yang saling melengkapi dan dihargai dengan karakteristik dan
kekuatan masing-masing. Dalam pandangan fenomenologis, pengetahuan dan
pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu terhadap
pengalaman dan kehidupannya sehari-hari.
Menurut Hogg (2003) etnosentrisme melibatkan atribusi secara internal
dan eksternal terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ing group dan out group.
Individu yang etnosentris cenderung menggunakan kebudayaannya untuk menilai
kebudayaan lain. Kebudayaan sendiri dianggap sebagai yang paling benar,
sementara kebudayaan lain dianggap sebagai sesuatu yang salah. Sikap seperti ini
akan menjadi hambatan dalam proses interaksi dengan orang yang berasal dari
kelompok lain.
Berdasarkan beberapa literatur diperoleh informasi bahwa salah satu etnis
di Indonesia yang memiliki etnosentrisme adalah etnis Tionghoa (khususnya di
kota Medan). Jika seseorang memiliki etnosentrisme yang tinggi, maka kecil
benar apalagi sampai melakukan perkawinan dengan individu yang berbeda latar
belakang budayanya. Namun fakta dilapangan (di kota Medan) menunjukkan
bahwa ada beberapa orang Tionghoa yang melakukan perkawinan campur.
Bagaimana hal ini dapat terjadi dan bagaimana dinamika etnosentrisme yang
dimiliki oleh etnis Tionghoa tersebut selama menjalani perkawinan campur
tergantung pada pengalaman dan perasaan individu tersebut. Untuk menggali hal
ini, cara yang dapat dilakukan adalah melakukan penelitian kualitatif.
Lagipula, menurut Bogdan dan Taylor (dalam Poerwandari, 2001), salah
satu kekuatan pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana
subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan
diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang
dipaksakan.
III. B.METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang umum digunakan dalam pendekatan
kualitatif adalah observasi dan wawancara, diskusi kelompok terfokus, analisis
terhadap karya (tulisan, film, karya seni lain), analisis dokumen, analisis catatan
pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup (Poerwandari, 2001).
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah
observasi dan wawancara.
III. B. 1. Wawancara
Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2001), wawancara adalah