SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh :
FITRIA NURSYARIFAH
NIM. 1110046100168
K O N S E N T R A S I P E R B A N K A N S Y A R I A H PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Nama : Fitria Nursyarifah
NIM : 1110046100168
Prodi : Muamalat (Perbankan Syariah) Fakultas : Syariah dan Hukum
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan mempertanggung jawabkannya.
4. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau tanpa izin pemilik karya.
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya ini.
Jika dikemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah melalui pembuktian yang dapat dipertanggung jawabkan, ternyata memang ditemukan bukti bahwa saya melanggar pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 13 Maret 2015
Muamalah. Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015 M./1436 H. xiii + 86 halaman + 15 lampiran.
Masalah utama skripsi ini adalah bagaimana pemahaman para petani desa Simpar mengenai gadai dalam Islam dan bagaimana praktik gadai sawah yang para petani lakukan dalam perspektif fikih muamalah. Tujuan penelitiannya adalah mengetahui pemahaman para petani desa Simpar mengenai gadai dalam Islam dan mengetahui praktik gadai sawah yang para petani lakukan dalam perspektif fikih muamalah.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan normatif dan empiris, jenis penelitiannya adalah deskriptif-studi kasus, sumber dan kriteria data yang digunakan adalah primer dan sekunder, pengumpulan data dilakukan dengan cara interviu, observasi dan teknik dokumenter, serta teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Kesimpulan skripsi ini adalah mayoritas petani desa Simpar tidak memahami gadai dalam Islam dan praktik gadai sawah yang biasa terjadi di kalangan petani desa Simpar ada 2 jenis yaitu gadai biasa dan gadai gantung. Ditinjau dari perspektif fikih muamalah kedua akad ini hukumnya tidak sah karena syarat yang berkaitan dengansighat(ijab kabul) tidak terpenuhi. Selain itu, praktik gadai sawah tersebut termasuk kegiatan eksploratif karena sangat menguntungkan penerima gadai dan sangat merugikan penggadai.
Kata kunci : Gadai, sawah, fikih muamalah
Pembimbing : Dr. Hasanuddin, M.Ag
vi
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda mulia
Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliaulah kita dapat saling
kenal-mengenal menjalin ukhuwah Islamiyyah.
Selanjutnya, berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini, secara pribadi
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
2. Ketua Program Studi Muamalat, Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag.,
MH. dan sekretaris Program Studi Muamalat, Bapak Abdurrauf, Lc., MA.
3. Bapak Dr. Hasanuddin, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.
4. Bapak Jaeni, S.E. selaku sekretaris desa Simpar, yang telah meluangkan
waktunya dan memberikan data-data yang penulis butuhkan.
5. Pengurus perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
bantuannya berupa pinjaman buku-buku baik selama penulisan skripsi
vii
7. Bapak Suhendi, Bapak Saepuddin, Ibu Tati, Bapak Winata dan Bapak
Ugan selaku pelaku gadai yang bersedia memberikan penjelasan tentang
transaksi gadainya.
8. Orang tua tercinta Ibu Nuraisyah. S, S.Pd.I. dan Bapak Saripudin atas
kasih sayang dan do’a yang tak pernah usai untuk penulis.
9. Aa Supandi, S.S.atas bantuan material maupun spiritualnya.
10. Dan keluarga besar Perbankan Syariah 2010 dan 2011 atas
kebersamaannya dalam perjuangan menuntut ilmu dan menyelesaikan
tugas akhir, serta pihak-pihak terkait lainnya yang telah mendukung
penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT jualah penulis berdoa semoga mereka
mendapat balasan yang mulia. Dengan segala kelemahan dan kelebihan semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridai setiap langkah kita. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.
Jakarta, 22 Jumadil Awal 1436 H. 13 Maret 2015 M.
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...1
B. Identifikasi Masalah...3
C. Pembatasan Masalah...4
D. Perumusan Masalah...4
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian...4
F. Metode Penelitian...5
1. Pendekatan Penelitian...5
2. Jenis Penelitian...5
3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian...6
4. Teknik Pengumpulan Data ...7
5. Subjek dan Objek Penelitian...8
6. Teknik Pengolahan Data...9
7. Metode Analisis Data...10
G. Sistematika Penulisan...10
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Akad……….12
B. Gadai dalam KUH Perdata………...14
ix
4. Hukum Akad...21
5. Hak dan Kewajiban dalam Gadai...23
6. Penambahan Utang dan Penambahan Barang Gadai...24
7. Bertambahnya Barang Gadai...25
8. Resiko Kerusakan Barang Gadai...26
9. Penjualan Barang Gadai...26
10. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai...27
11. Riba dalam Gadai...34
12. Pembiayaan Barang Gadai...34
13. Pengambilalihan Barang Gadai...34
14. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai...35
15. Pembatalan Akad Gadai...37
16. Berakhirnya Akad Gadai...38
D. Kerangka Konsep...39
E. Tinjauan (review) Studi Terdahulu...39
BAB III GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR A. Letak Geografis...45
[image:10.595.139.513.103.564.2]x
3. Jumlah Penduduk Menurut Agama...48
4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian...48
5. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan....50
D. Sarana dan Prasarana...51
1. Sarana...51
2. Prasarana Kesehatan...51
3. Prasarana Pendidikan...52
4. Prasarana Ibadah...52
5. Prasarana Umum...53
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Identitas Sumber Data...55
B. Pemahaman Petani terhadap Gadai dalam Hukum Islam...56
C. Tata Cara Gadai Sawah Petani Desa Simpar...56
D. Pendapat Tokoh Agama...63
E. Analisis Fikih Muamalah terhadap Praktik Gadai Sawah Petani Desa Simpar...65
1. Tujuan Akad...65
xi
Gadai...68
6. Bertambahnya Barang Gadai...70
7. Resiko Kerusakan Barang Gadai...70
8. Penjualan Barang Gadai...70
9. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai...71
10. Riba dalam Gadai...73
11. Pembiayaan Barang Gadai...73
12. Pengambilalihan Barang Gadai...74
13. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai...74
14. Pembatalan Akad Gadai...74
15. Berakhirnya Akad Gadai...75
16. Aspek Keadilan dalam Akad...75
17. Analisis Ekonomi terhadap praktik gadai sawah petani desa Simpar……….75
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...81
B. Saran...82
xii
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Menurut Usia...47
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Menurut Agama...48
Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian...49
Tabel 3.5 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan...50
Tabel 3.6 Sarana...51
[image:13.595.152.510.115.396.2]Tabel 3.7 Prasarana Kesehatan ...51
Tabel 3.8 Prasarana Pendidikan...52
Tabel 3.9 Prasarana Ibadah...53
Tabel 3.10 Prasarana Umum...53
xiii
Ilustrasi 4.1 Gadai Sawah Biasa...58
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gadai (rahn) merupakan salah satu bentuk muamalat yang diperbolehkan dalam Islam, ia merupakan salah satu cara manusia untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya manakala dalam keadaan susah dengan cara
meminjam uang dan menyerahkan jaminan, karena manusia sebagai makhluk
sosial tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Bahkan
menurut pakar fikih kasus gadai pertama dalam Islam dilakukan sendiri oleh
Rasulullah SAW yaitu ketika beliau menggadaikan baju besinya untuk
membeli gandum kepada seorang Yahudi di Madinah. Di sisi lain gadai juga
bisa menjadi sarana beribadah yaitu tolong menolong dalam kebaikan
manakala ada orang lain yang sedang kesusahan, dengan cara meminjamkan
uang dan menerima barang jaminannya.
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberi pedoman bagi
umatnya baik dari segi akidah, akhlak, maupun syariah. Termasuk masalah
gadai telah diatur di mana dalam pelaksanaannya diharamkan adanya unsur
riba dan kezaliman.
Dalam Islam, gadai telah diatur mulai dari syarat dan rukunnya, tata
caranya, hak dan kewajiban para pihak yang bergadai hingga hukum
Para petani dan buruh tani desa Simpar yang jumlahnya mencapai 25
persen dari total penduduk desa Simpar1 sering melakukan transaksi gadai
sawah. Penulis telah mengamati ada beberapa penerima gadai (murtahin) yang melakukan pemanfaatan/penggarapan sawah gadai secara berlebihan yaitu
tanpa mengenal batas waktu hingga penggadai (rahin) mampu membayar pinjamannya. Dalam hukum Islam hal ini dapat dianggap sebagai riba dan
kezaliman. Pemanfaatan sawah gadai secara berlebihan tersebut bisa terjadi
karena kurangnya pemahaman para pelaku gadai mengenai hukum Islam, atau
mereka telah mengetahui dan memahami hukum Islam namun eggan
melaksanakannya, kendati masyarakat desa Simpar seluruhnya beragama
Islam dan 0,3 persennya merupakan tokoh agama.2
Umat Islam berkewajiban mempelajari ilmu tentang segala sesuatu yang
akan dilakukannya agar terhindar dari hal-hal yang haram. Sebagaimana
disebutkan dalam kitabTaʻlimul Mutaʻ allim:
Artinya: Orang muslim wajib mempelajari ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tugas/kondisi dirinya, apapun wujud tugas/kondisi itu”.3
Namun hal ini cenderung diabaikan oleh orang muslim terutama masyarakat
awam, termasuk oleh masyarakat desa Simpar khususnya dalam transaksi
gadai sawah.
1
Data Lapangan 2015. 2
Ibid.
3
Melihat kondisi tersebut, nampaknya ada permasalahan mendasar yang
membutuhkan perhatian dan penelitian serta dibuatkan pemecahan
masalahnya, oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis Skripsi dengan
judul PRAKTIK GADAI SAWAH PETANI DESA SIMPAR
KECAMATAN CIPUNAGARA KABUPATEN SUBANG DALAM
PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH
B. Identifikasi Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang dapat diidentifikasi
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman para petani tentang gadai?
2. Apa tujuan para petani melakukan gadai sawah?
3. Apakah para petani memahami hukum Islam mengenai gadai?
4. Apakah praktik gadai para petani sudah memenuhi syarat dan
rukunnya?
5. Apakah praktik gadai para petani mengandung riba dan kezaliman?
6. Kepada siapa para petani menggadaikan sawahnya?
7. Digunakan untuk apa hasil gadai sawahnya?
8. Apakah gadai sawah memberikan keuntungan atau kerugian bagi
C. Pembatasan Masalah
Pembahasan gadai sawah mempunyai cakupan yang luas, tetapi dalam
penelitian ini pembahasannya dibatasi dengan hal-hal berikut ini:
1. Praktik gadai sawah dibatasi pada kegiatan praktik gadai sawah yang
dilakukan petani desa Simpar kecamatan Cipunagara kabupaten
Subang.
2. Hukum gadai sawah dibatasi pada hukum gadai sawah dalam fikih
muamalah.
3. Waktu penelitian dilakukan pada Januari-Februari 2015.
D. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pemahaman para petani tentang gadai dalam Islam?
2. Bagaimana praktik gadai sawah para petani dalam perspektif fikih
muamalah?
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman para petani mengenai gadai
dalam Islam.
2. Untuk mengetahui praktik gadai sawah para petani dalam perspektif
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu fikih
muamalah khususnya tentang gadai di kalangan masyarakat.
2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi dalam
rangka pemikiran dan khazanah ekonomi syariah khususnya dalam
bidang fikih muamalah.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini termasuk pendekatan normatif dan empiris,
dimana praktik gadai sawah petani desa Simpar dianalisis berdasar
norma-norma Islam tentang gadai.
2. Jenis Penelitian
Dilihat dari segi level analisis, penelitian ini termasuk penelitian
deskriptif, yakni penelitian yang diarahkan untuk memberikan
gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat,
mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian
deskriptif cenderung tidak perlu mencari atau menerangkan saling
hubungan dan menguji hipotesis.4
Selain itu ditinjau dari masalah penelitian yang diselidiki, teknik dan
alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu penelitian
dilakukan, penelitian ini termasuk penelitian studi kasus. Menurut
4
Maxfield penelitian studi kasus adalah penelitian tentang status subjek
penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari
keseluruhan personalitas.5Dalam hal ini penulis menyelidiki pemahaman
dan praktik gadai sawah para petani secara sistematis dan akurat di desa
Simpar.
3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Sumber data primer yang terdiri dari :
(1) Narasumber, yakni orang yang dijadikan subjek penelitian,
dalam hal ini adalah para petani yang melakukan gadai sawah dan
tokoh agama.
(2) Informan, yakni orang yang memberikan informasi
mengenai situasi dan kondisi objektif daerah yang diteliti, dalam
hal ini adalah perangkat desa.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang digunakan yaitu dokumen-dokumen
yang ada di kantor desa yang menggambarkan keadaan wilayah dan
masyarakat desa Simpar.
Adapun kriteria data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kualitatif yang berupa:
5
a. Data primer
Data primer yang digunakan adalah data yang diperoleh dari hasil
wawancara dan observasi yang penulis lakukan terhadap penggadai,
penerima gadai, tokoh agama dan perangkat desa.
b. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan adalah data hasil dari penelusuran
penulis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi tentang
keadaan wilayah dan masyarakat desa Simpar.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan berikut :
a. Wawancara/interviu
Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul data)
kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau
direkam dengan alat perekam (tape recorder).6 Penulis melakukan wawancara terhadap penggadai, penerima gadai, tokoh agama dan
perangkat desa dengan mengacu pada pedoman wawancara yang telah
dibuat dan menggunakan alat bantu perekam (recorder).
b. Observasi
Menurut Arikunto observasi merupakan suatu teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian secara teliti
6
serta pencatatan secara sistematis.7 Penulis melakukan pengamatan
terhadap penggadai dan penerima gadai yang melakukan penggarapan
sawah dengan menggunakan metode observasi non partisipan dimana
penulis tidak terlibat dalam aktivitas penggarapan sawah, hanya
sebagai pengamat independen. Instrumen yang digunakan adalah
daftar pengecekan pragmen perilaku orang yang diobservasi.
c. Teknik Dokumenter
Teknik dokumenter yaitu cara mengumpulkan data melalui
peninggalan tertulis, seperti arsip, termasuk juga buku tentang teori,
pendapat, dalil atau hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan
masalah penelitian.8Dalam hal ini penulis melakukan pengumpulan
data yang bersumber dari arsip Pendataan Profil Desa Simpar dan
buku-buku serta kitab-kitab fikih yang membahas tentang gadai.
5. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah para pihak yang melakukan akad
gadai sawah seperti penggadai dan penerima gadai, juga pihak terkait
seperti perangkat desa dan tokoh agama. Adapun objek dalam penelitian
ini adalah praktik gadai sawah yang dilakukan petani desa Simpar.
Data penelitian dalam Skripsi ini didasarkan pada hasil wawancara
dengan 8 orang narasumber yang terdiri dari 2 orang penggadai, 3 orang
7
Imam Gunawan, ed.,Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 143.
8
penerima gadai, 2 orang tokoh agama dan 1 orang perangkat desa. Sampel
pelaku gadai dipilih dengan cara purposive sampling, yaitu dipilih berdasar pertimbangan tertentu.9Hal yang penulis pertimbangkan adalah
seringnya melakukan akad gadai sawah sehingga penulis memilih petani
yang sering melakukan gadai sawah di dusunnya masing-masing. Sampel
dipilih 5 orang (1 orang setiap dusun), diharapkan 1 orang tersebut dapat
merepresentasikan dusunnya masing-masing, karena pada umumnya para
petani melakukan gadai sawah dengan cara yang sama sebab sudah
menjadi budaya yang turun temurun.
6. Teknik Pengolahan Data
Data diolah dengan tahapan-tahapan siklus dan interaktif berikut ini :
a. Reduksi Data
Menurut Sugiyono reduksi data adalah kegiatan merangkum,
memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dan
mencari tema dan polanya.10 Pada tahap ini penulis melakukan
penyederhanaan terhadap hasil wawancara (transkrip), observasi dan
teknik dokumenter sebelum dilakukan paparan data.
b. Paparan Data
Pada tahap ini penulis memaparkan data yang telah disederhanakan
hingga menjadi sekumpulan informasi yang tersusun.
9
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi,Metode Penelitian Survai, cet. IV (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 169
10
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Pada tahap akhir ini, penulis menyampaikan keputusan terakhir
dari sekumpulan informasi yang tersusun untuk menjawab fokus
penelitian.
7. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif,
menurut Bogdan & Biklen analisis kualitatif adalah proses pelacakan dan
pengaturan secara sistematis transkip wawancara, catatan lapangan dan
bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman
terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diinterpretasikan temuannya
kepada orang lain.11Dalam hal ini setelah penulis melakukan penelitian,
maka hasil temuannya dianalisis berdasarkan hukum gadai dalam Islam
dalam bentuk kalimat (tidak dengan cara menghitung).
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi terdiri dari lima bab. Tiap-tiap bab terdiri dari sub bab.
Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
11
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN
Sub bab pertama pada bab ini membahas tentang gadai dalam
perspektif fikih muamalah, Sub bab kedua membahas kerangka konsep,
dan sub bab ketiga membahas tinjauan (review) studi terdahulu. BAB III GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR
Bab ini membahas letak geografis, keadaan topografis, keadaan
demografis, sarana dan prasarana desa Simpar.
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
Bab ini menggambarkan identitas sumber data, pemahaman petani
terhadap gadai sawah dalam hukum Islam, tata cara gadai sawah petani
desa Simpar, pendapat tokoh agama dan analisis fikih muamalah
terhadap praktik gadai sawah petani desa Simpar.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran.
Adapun teknik penulisan Skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Akad
Lafal akad, berasal dari lafal Arab al-‘aqd yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Secara terminologi, akad memiliki
arti umum (al-ma’na al-am) dan khusus (al-ma’na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah segala sesuatu yang dikehendaki sendiri, seperti
kehendak wakaf, membebaskan hutang, talak, dan sumpah, maupun yang
membutuhkan pada kehendak dan pihak yang melakukannya seperti jual beli,
sewa menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan. Sedangkan arti khusus akad
adalah pertalian atau keterikatan antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak
syariah (Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan akibat hukum pada objek
akad.1
Akad adalah kontrak antara dua belah pihak, akad mengikat kedua belah
pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk
melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati
terlebih dahulu. Dalam akad, term dancondition-nya sudah ditentukan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka
ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
1
Akad ada 2 macam yaitu:
1. AkadTabarru’
Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan
komersil. Akadtabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam
rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam Bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat
kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada
pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT bukan
dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut
boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad
tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari
akadtabarru’ itu. Contoh akad-akadtabarru’ adalahqard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqf, shadaqah, hadiah,dan lain-lain.
2. AkadTijarah
Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli, dan sewa-menyewa.2
B. Gadai dalam KUH Perdata
Dalam Pasal 1150 KUH Perdata, Gadai merupakan suatu hak yang
diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lainnya atas namanya, dan
yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang
berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah
barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.3 Diserahkannya
jaminan atas pinjaman uang tersebut. Jaminan tersebut akan dikuasai oleh
pemegang gadai selama pelaksanaan gadai sampai ditebusnya jaminan
tersebut oleh penggadai.
Gadai dalam KUH Perdata ialah penguasaan atas barang gadai tanpa
adanya pemanfaatan dari benda jaminan tersebut. Pelaksanaan gadai yang
disebutkan dalam KUH Perdata, pemegang gadai hanya berkuasa dan
berkewajiban untuk menyimpan serta menjaga benda yang dijaminkan tanpa
adanya hak untuk memanfaatkan barang jaminan tersebut.
2
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi IV (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 70.
3
Dalam KUH Perdata, pemegang gadai tidak berhak memanfaatkan barang
gadai apalagi sampai melakukan hubungan hukum dengan pihak lain.4
pemegang gadai hanya berhak menyimpan dan berkewajiban menjaga barang
yang digadaikan itu.
Ketika penggadai tidak mampu membayar tebusan barang gadai dalam
waktu yang telah disepakati maka pemegang gadai akan melakukan lelang,
hasil dari lelang akan digunakan untuk membayar uang yang dipinjam
penggadai dari pemegang gadai.
Waktu lamanya penggadaian telah ditentukan maksimal 7 tahun. Jika telah
lebih dari 7 tahun, maka tanah pertanian yang digadaikan harus dikembalikan
kepada pemilik tanah pertanian tersebut (penggadai) tanpa menuntut uang
tebusan. Hal ini dikarenakan selama 7 tahun penerima gadai telah mengelola
dan menikmati hasil panen dari sawah tersebut.5
C. Gadai dalam Perspektif Fikih Muamalah 1. Pengertian
Gadai (rahn) secara bahasa artinya bisa al-tsubût dan al-dawâm yang artinya tetap, atau ada kalanya berarti al-habsudan al-luzûm yang artinya menahan.6Sedangkan menurut istilah, para ulama fikih mendefinisikan
gadai sebagai berikut :
4
Ibid.
5
Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrarian. 6
a. Ulama Malikiyyah mendefinisikan dengan “harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”.
Menurut mereka, harta yang dapat dijadikan barang jaminan
(agunan) bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta
yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang
jaminan tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga
penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai
jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya
(setifikat sawah).7
b. Ulama Hanafiyyah mendefinisikan dengan “menjadikan sesuatu
(barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak (piutang itu), baik seluruhnya
maupun sebagiannya”.8
c. Ulama Hanabilah mendefinisikan dengan “menjadikan materi
(barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar
utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya
itu”.9
7
Al-Dardir, “Al-Syarh al-Saghir bi Syarh al-Sawi”, dalam Nasrun Haroen,Fiqih Muamalat(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 252.
8
Ibnuʻ Abidin, “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar”, dalam Nasrun Haroen,Fiqih Muamalat(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 252.
9
d. Ulama Syafiʻ iyyah mendefinisikan dengan “menjadikan suatu
benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika
berhalangan dalam membayar utang”.10
Definisi yang diungkapkan ulama Hanafiyyah, Hanabilah dan
Syafiʻ iyyah mengandung pengertian bahwa harta yang boleh dijadikan
jaminan utang hanyalah harta yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat
sebagaimana dikemukakan ulama Malikiyyah, sekalipun sebenarnya
manfaat menurut mereka termasuk dalam pengertian harta.11
2. Dasar Hukum
Hukum gadai adalah mubah, berdasarkan:
a. Alquran
ﻰ ﻠ ﺻ
...
Artinya:“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang”...(QS. al-Baqarah /2: 283) b. Hadits ٌد ﱠﺪ َﺴ ُﻣ ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ : ِﺪ ِﺣ ا َﻮ ْﻟ ا ُﺪ ْﺒ َﻋ ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ : َل ﺎ َﻗ ُﺶ َﻤ ْﻋ ْﻷ ا ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ : : : ﱠﻲ ِﺒ ﱠﻨ ﻟ ا ﱠن َأ َﺻ ﱠﻠ ﻰ ُﷲ . 10 Ibid. 11
Artinya:“Musaddad menyampaikan kepada kami dari Abdul Wahid bahwa al-Aʻ masy berkata:“kami dan Ibrahim pernah membahas tentang hukum gadai dan jaminan dalam akad pemesanan”. Lalu Ibrahim berkata: “al-Aswad menyampaikan kepada kami dari Aisyah bahwa Nabi SAWpernah membeli makanan dari orang Yahudi secara tangguh dan menggadaikan baju besinya kepada orang tersebut”.(HR. Bukhari)12
c. Ijmak ulama ahli fikih sepakat akan diperbolehkannya akad gadai,
baik dalam keadaanhâdir (berada di tempat) maupunsafar (dalam perjalanan).13
d. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
dalam Fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 telah menetapkan
bahwapinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
utang dalam bentuk rahn dibolehkan.14
3. Rukun dan Syarat
Rukun-rukun gadai yaitu :
a. Orang yang berakad (penggadai [rahin] dan penerima gadai [murtahin])
b. Ijab dan kabul (sighat) c. Utang (marhun bih)
d. Harta yang dijadikan jaminan (marhun)
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa rukun gadai hanyalah ijab dan
12
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, ed.,Shahih Bukhari, jilid I, cet. I, Penerjemah Masyhar dan Muhammad Suhadi (Jakarta: Almahira, 2011), h. 566.
13
Ibnu Qudamah, Ed.,al-Mughni, Jilid VI, penerjemah Misbah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 26.
14
kabul. Di samping itu, menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya
akad gadai ini, maka diperlukan adanya penguasaan barang oleh penerima
gadai. Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan
jaminan, dan utang, menurut ulama Hanafiyyah hanya termasuk
syarat-syarat gadai bukan rukunnya.15
Adapun syarat-syarat gadai para ulama fikih menyusunnya sesuai
dengan rukun gadai itu sendiri. Dengan demikian syarat-syarat gadai
adalah sebagai berikut :
a. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap
bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur
ulama adalah orang yang telah balig dan berakal. Sedangkan
menurut ulama Hanafiyyah kedua belah pihak yang berakad tidak
disyaratkan balig, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu
menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad gadai asal mendapat persetujuan dari walinya.
b. Syarat terkait dengan ijab dan kabul, ulama Hanafiyyah
berpendapat bahwa akad gadai sama dengan akad jual beli. Apabila
akad itu dibarengi dengan syarat tertentu maka syaratnya batal
sedangkan akadnya sah. Misalnya, penggadai mensyaratkan
apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum dibayar,
maka jaminan itu diperpanjang 1 bulan. Sementara, jumhur ulama
mengatakan bahwa apabila syarat itu ialah syarat yang mendukung
15
kelancaran akad, maka dibolehkan, tetapi apabila syarat itu
bertentangan dengan tabiat akad gadai, maka syaratnya batal.
Perpanjangan gadai 1 bulan dalam contoh syarat di atas termasuk
syarat yang tidak sesuai dengan tabiat gadai. Karenanya syarat
tersebut dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan misalnya, demi
sahnya akad gadai, pihak penerima gadai meminta agar akad itu
disaksikan oleh 2 orang saksi.
c. Syarat yang terkait dengan utang yaitu (1) merupakan hak yang
wajib dikembalikan kepada penerima gadai, (2) utang itu boleh
dilunasi dengan jaminan, dan (3) utang itu jelas dan tertentu.
d. Syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan jaminan,
menurut ulama fikih syarat-syaratnya adalah (1) barang jaminan itu
boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang, (2) berharga dan
boleh dimanfaatkan, (3) jelas dan tertentu, (4) milik sah penggadai,
(5) tidak terkait dengan hak orang lain, (6) merupakan harta utuh,
dan (7) bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya .16
Disamping syarat-syarat di atas, para ulama fikih sepakat bahwa
akad gadai baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan secara
hukum telah berada di tangan penerima gadaidan uang yang dibutuhkan
telah diterima penggadai. Apabila jaminan itu berupa benda tidak bergerak
seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu yang
diberikan kepada penerima gadai, cukup sertifikatnya saja. Syarat ini oleh
16
para ulama disebut qabd al-marhun bi al-hukm (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh penerima gadai). Syarat ini menjadi penting karena
dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah menyatakan “fa rihânun
maqbûdah” (barang jaminan itu dipegang/dikuasai [secara hukum]). Apabila jaminan itu telah dikuasai oleh penerima gadai, maka akad
gadaibersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu utang
terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat
dilunasi, barang jaminan dapat dijual untuk membayar utang. Apabila
dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan uang, maka wajib
dikembalikan kepada penggadai.17Untuk al-qabd ini para ulama juga mengemukakan beberapa syarat yaitu :
a. Al-qabdharus atas seizin penggadai.
b. Kedua pihak yang melakukan akad gadai cakap bertindak hukum
ketika terjadinyaal-qabd.
c. Barang itu tetap di bawah penguasaan penerima gadai. Syarat
ketiga ini dikemukakan oleh Ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan
Hanabilah, sesuai dengan tuntutan al-Baqarah ayat 283 (fa rihânun maqbûdah).18
4. Hukum Akad
Hukum akad gadai ada 2 yaitu akad yang sah dan akad yang tidak sah.
Akad gadai yang sah adalah akad yang memenuhi syarat-syaratnya.
17
Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbaini,Mughni al-Muhtaj,h. 159.
18
Sedangkan akad gadai yang tidak sah adalah akad yang tidak memenuhi
syarat-syaratnya.
Menurut Ulama Hanafiyyah akad gadai yang tidak sah ada 2 yaitu
akad yang bâtil (batal) dan akad yang fâsid (rusak). Akad yang batal adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan
asal akad, seperti pihak yang menggadaikan tidak memiliki kelayakan dan
kompetensi melakukan akad contohnya orang gila dan dungu. Sedangkan
akad yang rusak adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat yang
berkaitan dengan sifat akad, contohnya barang gadai tertempeli oleh selain
barang gadai. Seperti menggadaikan rumah yang di dalamnya terdapat
barang-barang milik penggadai, namun barang-barang itu tidak termasuk
barang gadaian.
Menurut ulama selain Hanafiyyah akad gadai yang tidak sah hanya ada
1 macam yaitu akad yang batal/rusak, yakni akad yang tidak memenuhi
syarat-syarat sah gadai yang mereka tetapkan dengan perbedaan pendapat
diantara mereka dalam sebagian syarat-syarat tersebut.
Akad gadai yang sah hanya mengikat 1pihak, yaitu hanya bagi
penggadai saja, oleh karena itu penggadai tidak memiliki hak untuk
membatalkan dan menganulirnya, karena baginya akad gadai adalah akad
jaminan utang. Adapun penerima gadai memiliki hak untuk
membatalkannya kapan saja, karena akad gadai baginya adalah untuk
kemaslahatan dan kepentingan dirinya. Akad gadai menurut seluruh
adanyaal-qabd.19
5. Hak dan Kewajiban dalam Gadai
a. Hak Penerima Gadai
(1) Penerima gadai berhak menjual barang gadai apabila penggadai
tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
(2) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang
telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang gadai.
(3) Selama pinjaman belum dilunasi, penerima gadai berhak
menahan barang gadai yang diserahkan oleh penggadai.
b. Kewajiban Penerima Gadai
(1) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau
merosotnya barang gadai yang diakibatkan oleh kelalaiannya.
(2) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk
kepentingan sendiri.
(3) Penerima gadai wajib memberitahukan kepada penggadai
sebelum diadakan pelelangan barang gadai.
c. Hak penggadai :
(1) Penggadai berhak mendapatkan barang gadainya kembali
setelah ia mampu melunasi semua pinjamannya.
(2) Penggadai berhak menuntut ganti rugi atasrusaknya atau
hilangnya barang gadai, apabila itu disebabkan kelalaian
penerima gadai.
19
(3) Penggadai berhak menerima sisa dari hasil penjualan barang
gadai setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya
lainnya.
d. Kewajiban penggadai :
(1) Penggadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimannya
dalam waktu yang telah ditentukan.
(2) Penggadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai
miliknya, apabila dalam waktu yang telah ditentukan penggadai
tidak dapat melunasinya.20
6. Penambahan Utang dan Penambahan Barang Gadai
a. Penambahan Utang
Penambahan utang berartipenggadai meminjam uang lagi kepada
penerima gadai dengan jaminan yang sama. Ada 2 pendapat tentang
hal ini, pertama, menurut Imam Abu Hanifah, Muhammad, Ulama
Hanabilah dan salah satu versi pendapat Imam Syafiʻ i adalah tidak
boleh karena tambahan tersebut merupakan akad gadai baru, atau
karena hal ini berarti menggadaikan barang yang telah digadaikan,
padahal menggadaikan barang yang telah digadaikan hukumnya tidak
boleh, karena barang yang telah digadaikan keseluruhannya telah
terikat dengan utang yang pertama.Kedua, pendapat Imam Malik, Abu
Yusuf, Abu Tsaur, al-Muzani dan Ibnul Mundzir yang
menyatakanboleh. Karena seandainya penggadai memberi tambahan
20
jaminan lagi, maka itu boleh, begitu juga jika penggadai meminta
tambahan utang lagi, makaboleh. Karena tambahan di dalam utang
berarti menghapuskan akad gadai yang pertama dan mengadakan akad
gadai yang baru lagi dengan utang kedua tersebut, dan hal ini adalah
boleh berdasar kesepakatan para ulama.
b. Penambahan Barang Gadai
Penambahan barang gadai adalah memberikan jaminan lagi
disamping jaminan yang telah ada dengan utang yang sama, hal ini
menurut jumhur ulama diperbolehkan karena itu merupakan bentuk
tambahan penguat jaminan yang merupakan tujuan inti dari akad
gadai.21
7. Bertambahnya Barang Gadai
Ada 2 ketentuan untuk barang gadai yang bertambah:
a. Tambahan yang terpisah seperti buah, telur, atau anak binatang
yang jadi dan lahir sesudah barang digadaikan tidak termasuk
barang gadaian, tetapi tetap menjadi milikpenggadai. Maka jika
barang gadaihendak dijual oleh penerima gadai, tambahannya tidak
boleh ikut dijual, sebab tambahan itu tidak ikut digadaikan.
b. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan seperti tambahan gemuk,
tambahan besar, dan anak-anak yang ada di dalam kandungan
adalah termasuk barang gadai. Begitu juga dengan bulu binatang
yang jika di waktu menggadaikan sudah waktunya dipotong tetapi
21
tidak dipotongnya; hal itu menjadi tanda bahwa bulu itu termasuk
barang gadai. Tetapi jika diwaktu menggadaikan belum waktunya
dipotong, maka ia seperti tambahan yang terpisah, tidak termasuk
barang gadai; penggadai berhak memotong dan mengambil bulu itu
apabila tiba waktu memotongnya22.
8. Resiko Kerusakan Barang Gadai
Menurut ulama Hanafiyyah penerima gadai harus menanggung resiko
kerusakan atau kehilangan barang gadai yang dipegangnya, baik barang
gadai hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya. Sedangkan
menurut Ulama Syafiʻiyyah penerima gadai menanggung resiko
kehilangan atau kerusakan barang gadaibilabarang gadaiitu rusak atau
hilang karena disia-siakan olehnya.23
9. Penjualan Barang Gadai
Apabila disyaratkan barang gadai dijual ketika batas waktunya tiba,
maka syarat ini sah dan penerima gadai berhak menjualnya. Pendapat ini
berbeda dengan pendapat Imam Syafiʻ i yang menetapkan atas tidak
sahnya syarat ini. Dan jika barang gadai kembali ke tangan penggadai
dengan kehendak penerima gadai, maka akad gadainya batal.24
Jika di dalam akad gadai disyaratkan bahwa barang gadai harus dijual
kepada penerima gadai ketika tiba waktu pelunasan utang, maka akad
22
Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam, cet. XXVII (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h.311.
23
Abdul Rahman Ghazaly, dkk,Fiqh Muamalat, edisi pertama (Jakarta: Predana Media Grup, 2010), h. 271.
24
gadai tersebut tidak sah, karena adanya tempo waktu. Akad jual belinya
juga tidak sah karena digantungkan pada masa (adataʻ liqnya)25.
10. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai
a. Pengambilan manfaat oleh penggadai
Berikut pendapat beberapa ulama mengenai pengambilan manfaat
barang gadai oleh penggadai:
(1) Ulama Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa penggadai tidak
boleh memanfaatkan barang gadai kecuali atas izin penerima gadai.
Karena al-habsu adalah tertetapkan untuk penerima gadai secara terus menerus yang berarti peggadai dilarang mengambil kembali
barang gadai. Namun jika pemanfaatan terhadap barang gadai tidak
sampai melepaskan pemegangan penerima gadai terhadap barang
gadai, maka diperbolehkan.
(2) Ulama Malikiyyah
Ulama Malikiyyah menetapkantidak boleh bagi penggadai
memanfaatkan barang gadai.Mereka juga menetapkan bahwa
apabila penerima gadai memberikan izin kepada penggadai maka
akad gadai menjadi batal. Karena pemberian izin tersebut dalam hal
ini dianggap sebagai bentuk pelepasan hak penerima gadai terhadap
barang gadai.
25
Namun dikarenakan kemanfaatan-kemanfaatan barang
gadai adalah milik penggadai, maka ia boleh menjadikan penerima
gadai sebagai wakilnya dalam memanfaatkan barang gadai untuk
dirinya, agar kemanfaatan-kemanfaatan barang gadai tidak
tersia-siakan. Oleh karena itu, menurut sebagian ulama Malikiyyah
apabila penerima gadai ternyata menyia-nyiakan kemanfaatan
barang gadai, maka ia menanggung denda biaya sewa standar
selama penyia-nyiaan tersebut. Karena berarti dia telah merugikan
penggadai. Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa
penerima gadai tidak menanggung denda, karena ia memang tidak
berkewajiban memanfaatkan barang gadai untuk kepentingan
penggadai. Sedangkan sebagian ulama lainnya lagi mengatakan
bahwa penerima gadai menanggung denda kecuali jika penggadai
mengetahui bahwa dirinya diperbolehkan memanfaatkan barang
gadai dengan cara seperti di atas, namun ia tidak mengingkari
penyia-nyiaan yang dilakukan penerima gadai tersebut.
(3) Ulama Syafiʻ iyyah
Ulama Syafiʻ iyyah mengatakan bahwa penggadai boleh
memanfaatkan barang gadai dengan semua bentuk pemanfaatan
yang tidak menyebabkan berkurangnya barang gadai. Karena
kemanfaatan barang gadai, perkembangan, dan apa-apa yang
dihasilkan oleh barang gadai adalah milik penggadai dan statusnya
ٍﻞ ِﺗ ﺎ َﻘ ُﻣ ُﻦ ْﺑ ُﺪ ﱠﻤ َﺤ ُﻣ ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ : ك َر ﺎ َﺒ ُﻤ ْﻟ ا ِﻦ ْﺑ ِﷲ ُﺪ ْﺒ َﻋ ﺎ َﻧ َﺮ َﺒ ْﺧ َأ : : ِﷲ ُل ْﻮ ُﺳ َر َل ﺎ َﻗ ﱠﻠَﺻ ﻰ )) : ُﺔ َﻘ َﻔ ﱠﻨ ﻟ ا ((
Artinya:“Muhammad bin Muqatil menyampaikan kepada kami dari Abdullah bin al-Mubarak yang mengabarkan dari Zakaria, dari al-Syaʻ bi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Hewan yang sedang digadaikan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas biaya pemeliharaan (yang dikeluarkan). Hewan yang sedang digadaikan boleh diminum susunya sebagai imbalan atas biaya pemeliharaan (yang dikeluarkan). Setiap yang menunggangi hewan gadaian dan meminum susunya
harus mengeluarkan biaya pemeliharaan.” (HR.
Bukhari)26
(4) Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah berpendapat seperti ulama Hanafiyyah,
yaitu tidak boleh bagi penggadai memanfaatkan barang gadai
kecuali dengan izin atau persetujuan penerima gadai.Kemanfaatan
barang gadai dibiarkan dan tidak diambil-meskipun itu dibenci oleh
agama-apabila penggadai dan penerima gadai tidak bersepakat atas
diizinkannya penggadai memanfaatkan barang gadai.Pendapat ini
juga didasarkan atas kaidah bahwa semua kemanfaatan,
perkembangan, dan hal-hal yang dihasilkan oleh barang gadai ikut
tergadaikan.27
b. Pengambilan manfaat oleh penerima gadai
Berikut pendapat beberapa ulama mengenai pengambilan manfaat
26
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,Shahih Bukhari, h.567. 27
barang gadai oleh penerima gadai:
(1) Ulama Hanafiyyah
Menurut Ulama Hanafiyyah penerima gadai tidak boleh
memanfaatkan barang gadai kecuali dengan izin penggadai.Karena
penerima gadai hanya memiliki hak al-habsu saja bukan memanfaatkan.Dan apabila penggadai memberi izin kepada
penerima gadai, sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa
penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai secara mutlak.
Sebagian lagi melarangnya secara mutlak, karena hal itu sama
dengan riba atau mengandung kesyubhatan riba, sedangkan izin
atau persetujuan tidak bisa menghalalkan riba dan sesuatu yang
mengandung syubhat riba. Dan sebagiannya lagi mengklasifikasi
apabila di dalam akad disyaratkan penerima gadai boleh
memanfaatkan barang gadai, maka tidak bolehkarena itu adalah
riba. Namun jika tidak disyaratkan di dalam akad, maka boleh
karena hal itu berarti adalahtabarru`(derma) dari penggadai untuk penerima gadai.
(2) Ulama Malikiyyah
Ulama Malikiyyah mengklasifikasi apabila utang
dikarenakan akad jual beli atau sejenisnya (akad pertukaran) dan
penggadai mengizinkan kepada penerima gadai untuk
memanfaatkan barang gadai atau penerima gadai mensyaratkan ia
dan pemanfaatan tersebut harus ditentukan batas waktunya dengan
jelas agar tidak mengandung unsur jahalah (ketidakjelasan) yang bisa merusak akad sewa. Karena ini adalah bentuk jual beli dan
sewa, dan ini diperbolehkan. Namun apabila utangdalam bentuk
pinjaman (qard), maka tidak diperbolehkan karena termasuk kategori pinjaman utang yang menarik kemanfaatan.Begitu pula
jika penggadai mengizinkan penerima gadai untuk memanfaatkan
barang gadai secara cuma-cuma (tanpa disyaratkan oleh penerima
gadai) maka tidak diperbolehkan karena termasuk kategori hadiah
midyânyang dilarang oleh Rasulullah SAW. (3) Ulama Syafiʻ iyyah
Ulama Syafiʻ iyyah secara garis besar berpendapat seperti
Ulama Malikiyyah, yaitu penerima gadai tidak boleh
memanfaatkan barang gadai berdasarkan hadits yang menyatakan
bahwa barang gadaian tidak boleh menjadi milik orang yang
memberi pinjaman.
Apabila utang berupa qard dan penerima gadai mensyaratkan sesuatu yang merugikan pihak penggadai, misalnya
apa-apa yang dihasilkan oleh barang gadai atau pemanfaatan
barang gadai adalah untuk penerima gadai, maka syarat tersebut
tidak sah dan menurut pendapat yang lebih kuat akad gadai
tersebut juga tidak sah. Hal ini didasarkan pada haditsyang
Kitabullah, maka syarat tersebut batal dan tidak sah.Alasan lain
atas tidak sahnya syarat tersebut adalah karena bertentangan
dengan apa yang dikehendaki oleh akad gadai, sama seperti
mensyaratkan sesuatu yang merugikan penggadai.
Adapun jika utangdikarenakan akad jual beli secara tidak
tunai dan kemanfaatan tersebut ditentukan atau diketahui, maka
sah mensyaratkan kemanfaatan barang gadai untuk penerima gadai.
Karena itu adalah suatu bentuk penggabungan antara akad jual beli
dengan akad sewa, dan hal itu diperbolehkan.
(4) Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah mengklasifikasi apabila barang gadai
berupa hewan kendaraan atau hewan perah, maka penerima gadai
boleh memanfaatkannya dengan syarat menaikinya atau memerah
susunya disesuaikan dengan kadar nafkah dan biaya kebutuhan
barang gadai yang dikeluarkan oleh penerima gadai. Meskipun
penggadai tidak mengizinkan hal tersebut.
Namun untuk barang gadai selain hewan dansesuatu yang
tidak butuh pembiayaan untuk memberi makan, maka penerima
gadai sama sekali tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa
seizin penggadai. Karena barang gadai,
kemanfaatan-kemanfaatannya, dan apa yang dihasilkannya adalah milik
penggadai. Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yang boleh
Apabila penggadai mengizinkan penerima gadai untuk
memanfaatkan barang gadai, ulama Hanabilah mengklasifikasi:
pertama, jika pemanfaatan tersebut tanpa imbalan (cuma-cuma)
sedangkan utang berupa qard(pinjaman), maka tidak boleh karena termasuk pinjaman utang yang menarik kemanfaatan dan hal itu
diharamkan. Dan jika penerima gadai memanfaatkannya, maka
harus dihitung sebagai bagian dari pembayaran utang penggadai.
Namun apabila penggadaian dikarenakan utang selain qard, maka boleh. Meskipun disertai unsur al-muhâbâh dalam biaya sewa (maksudnya, hal itu dilakukan dengan tujuan tersembunyi untuk
membujuk dan mengambil hati orang yang bersangkutan).
Kedua, Jika pemanfaatan tersebutdengan imbalanajrul mitsli (biaya sewa standar)maka boleh baik utang berupa qard
maupun yang lainnya. Karena di sini berarti penerima gadai tidak
memanfaatkan atas dasarqard, akan tetapi atas dasarijarah(sewa). Namun jika ada unsur al-muhâbâh di dalamnya, maka tidak boleh jika utang berupaqard, dan jika utang bukanqard, maka boleh.
Hadits yang dijadikan dasar oleh Ulama Hanabilah sama
dengan hadits yang dijadikan dalil oleh Ulama Syafiʻ iyyah di atas.
Menurut mereka, susunan kata “zahru yurkabu” dan “laban
al-darriyusyrabu” memang dalam bentuk berita, namun mengandung
arti kalimatinsyâ`seperti pada ayat :
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”.(QS. al-Baqarah/2 : 233)28
11. Riba dalam Gadai
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang piutang, hanya
saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila :
a. Dalam akad gadai ditentukan bahwa penggadaiharus memberikan
tambahan kepada penerima gadaiketika membayar utangnya.
b. Ketika akad ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut
dilaksanakan.
c. Bila penggadai tidak mampu membayar utang hingga waktunya
tiba, kemudian penerima gadai menjual barang gadaidan tidak
memberikan kelebihan harga barang gadai kepada penggadai.29
12. Pembiayaan Barang Gadai
Biaya barang gadai, baik biaya pemeliharaannya maupun biaya
pengembaliannya menjadi tanggungan penggadai. Apabila penerima gadai
mengeluarkan biaya untuk barang gadai dengan izin hakim ketika
penggadai tidak ada di tempat atau enggan mengeluarkan biaya, maka itu
menjadi utang yang harus dibayar oleh penggadai kepada penerima
gadai.30
13. Pengambilalihan Barang Gadai
Islam menghapus tradisi orang-orang Arab yang apabila penggadai
28
Syaikh Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali al-Sayis,Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqih, Penerjemah Ismuha (Jakarta: Bulan Bintang, t.th.), h. 315.
29
Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.111. 30
tidak mampu membayar utangnya, maka barang gadai lepas dari
kepemilikannya dan menjadi hak milik penerima gadai.31 Dalam Hadits
Muawiyah bin Abdullah bin Jaʻ far disebutkan bahwa seorang laki-laki
menggadaikan sebuah rumah di Madinah sampai batas waktu yang
ditentukan, ketika batas waktunya habis dan penerima gadai berkata
“rumah ini menjadi milikku”, maka Rasulullah SAWbersabda:
ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ : : ﻰ )) : ((
Artinya:“Muhammad bin Humaid menyampaikan kepada kami dari Ibrahim bin al-Mukhtar, dari Ishaq bin Rasyid, dari al-Zuhri, dari Saʻ id bin al-Musayyib, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “barang gadaian tidak boleh menjadi milik (orang yangmemberi pinjaman).”(HR. Ibnu Majah)32
14. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai
Jika terjadi perselisihan antara penggadai dan penerima gadai, maka
ketentuannya adalah sebagai berikut:
a. Jika penggadai dan penerima gadai berselisih tentang pokok utang
atau tentang jumlah barang gadai, maka yang dibenarkan adalah
pihak penggadai.
b. Jika penggadai dan penerima gadai berselisih tentang penerimaan
barang gadai dan barang tersebut berada di tangan penggadai, maka
yang dibenarkan adalah penggadai. Namun, jika barang tersebut
berada di tangan penerima gadai, maka yang dibenarkan adalah
31
Ibid., h. 247. 32
penerima gadai.
c. Jika penggadai menuduh penerima gadai telah menggasab barang
gadai dan penggadai mengaku bahwa ia tidak memberikan izin
kepada penerima gadai dalam penerimaan barang tersebut, maka
menurut qaul sahihyang dibenarkan adalah ucapan penggadai. Sebab, pada asalnya izin penerimaan barang tersebut tidak ada, dan
pada asalnya ketetapan akad gadai juga tidak ada.
d. Seandainya penggadai mengaku “saya menyerahkan barang gadai
itu untuk sewa menyewa, untuk pinjam meminjam, untuk titipan”.
Maka yang dibenarkan adalah pengakuan penggadai, menurut qaul asahyang telah disahkan oleh Imam Syafiʻ i.
e. Jika penggadai menyatakan kepada penerima gadai: “Ya, saya
memberi izin kepadamu untuk menerima barang gadaian ini, tetapi
sebelum kamu menerima barang itu saya menarik kembali izin
saya”. Maka menurut qaul sahih, yang dibenarkan adalah penerima gadai.
f. Jika penggadai menyatakan bahwa penerima gadaimengakui
dirinya telah menerima barang gadai itu, kemudian penerima gadai
menyanggah kepada penggadai: “pengakuan saya itu tidak
sebenarnya”. Maka penggadai berhak menuntut sumpah dari
penerima gadai tentang pengakuan tersebut.
g. Jika penerima gadai memberi izin terhadap penjualan barang gadai,
kembali izinnya dengan menyatakan “saya mencabut kembali izin
saya sebelum barang itu dijual”. Di pihak lain, penggadai
menyatakan “kau mencabut izinmu setelah barang ini terjual”.
Maka menurut qaul asahyang dibenarkan adalah pengakuan penerima gadai.
h. Jika penggadai mengingkari sama sekali pencabutan kembali oleh
penerima gadai, maka yang dibenarkan adalah pihak penggadai.
i. Barang siapa mempunyai tanggungan 2 utang, salah satu utang
tersebut berstatus gadaian, lalu ia membayar salah satu utangnya
dengan mengatakan ”saya membayar kepada pihak yang
berpiutang untuk utang saya yang berstatus gadaian”. Menurut
qaulsahih ucapan orang tersebut dibenarkan dengan bersumpah terlebih dahulu, sebab dia sendiri yang lebih tahu tentang niatnya.33
15. Pembatalan Akad Gadai
Penarikan kembali/pembatalan akad gadai bisadilakukan dengan
ucapan ataupuntindakan. Tindakan yang menyebabkan batalnya akad
gadai adalah menggunakan barang gadaidalam bentuk perbuatan yang
dapat menghilangkan status kepemilikan, seperti memerdekakan budak
gadaian, menjual barang gadai, menjadikannya sebagai maskawin atau
upah kerja, meggadaikannya lagi kepada pihak lain atau menghibahkannya
kepada pihak lain.34
33
Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini,Kifâyatul Akhyâr Fii Halli Ghâyatil Ikhtishâr, h. 66.
34
16. Berakhirnya Akad Gadai
Akad gadai selesai/berakhir karena beberapa hal berikut ini:
a. Diserahkannya barang gadai kepada penggadai.
b. Terlunasinya seluruh utang yang ada.
c. Penjualan barang gadai secara paksa yang dilakukan oleh
penggadai atas perintah hakim atau yang dilakukan oleh hakim
ketika penggadai menolak untuk menjual barang gadai.
d. Terbebaskannya penggadai dari utang dengan cara apapun,
misalnya dengan akad hiwalah, dimana penggadai sebagai muhil
dan penerima gadai sebagaimuhal.
e. Pembatalan akad gadai dari pihak penerima gadai atau dengan kata
lain, penerima gadai membatalkan akad gadai yang ada, walaupun
pembatalan tersebut hanya sepihak.
f. Menurut ulama Malikiyyah, akad gadaibatal apabila sebelum
terjadi al-qabd, penggadai meninggal dunia atau jatuh pailit, atau para pihak yang berpiutang lainnya selain penerima gadai menagih
penggadai.
g. Hancurnya barang gadai.
h. Para pihak melakukan pentasarufan terhadap barang gadai dengan meminjamkannya, menghibahkanya atau mensedekahkannya.35
35
D. Kerangka Konsep
Berikut beberapa hal yang dijadikan landasan peneliti dalam memecahkan
masalah yang telah diuraikan sebelumnya:
Ilustrasi 2.1
Kerangka Konsep
E. Tinjauan (review) Studi Terdahulu
Sepanjang pengamatan penulis, berikut penelitian terdahulu yang
membahas gadai di kalangan masyarakat :
1. Pada tahun 2011 telah ditulis skripsi atas nama Sarki (Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan judul “Praktik
Gadai diperbolehkan dalam Islam
Praktik gadai sawah para petani Pemahaman para
petani tentang gadai
Hasil Penelitian
Pendapat Tokoh Agama
Analisis Fikih Muamalah
Gadai di Kalangan Masyarakat Desa Argapura Kecamatan Cigudeg
Kabupaten Bogor dalam Perspektif Hukum Islam”.Penelitian ini
bertujuan menganalisis praktik gadai yang dilakukan masyarakat desa
Argapura dalam kerangka hukum Islam. Penelitian ini menggunakan
penelitian pustaka dan lapangan, teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara, observasi, studi dokumenter dan studi
pustaka. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada 3 jenis gadai yang
sering dilaksanakan masyarakat desa Argapura yaitu gadai kendaraan,
pepohonan, dan tanah (sawah dan kebun), namun tidak ada data yang
valid mengenai barang dan jumlah gadai di desa tersebut. Dan hasil
analisisnya menyatakan bahwa praktik gadai di desa Argapura
mengandung riba dan haram untuk diteruskan karena beberapa hal,
yakni para penerima gadai di desa Argapura bermaksud mencari
keuntungan, tidak terdapat ketentuan waktu kecuali penggadaidapat
melunasi pinjamannya, dan penerima gadai dapat mengambil manfaat
dari barang gadai dengan sepuas-puasnya walaupun tidak
mengeluarkan biaya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
penulis lakukan adalah meneliti praktik gadai dan dianalisis
berdasarkan hukum Islam, perbedaannya praktik gadai yang diteliti
oleh Sarki adalah seluruh praktik gadai yang dilakukan masyarakat
desa Argapura, sedangkan penulis fokus pada praktik gadai sawah
2. Pada tahun 2012 telah ditulis pula skripsi atas nama Kuroh (Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang) dengan judul“Analisis Hukum
Islam terhadap Pemanfaatan Sawah Gadai (Persepsi Ulama Salem
terhadap Praktik Gadai Sawah di Desa Banjaran, Salem, Brebes)”.
Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis persepsi ulama
kecamatan Salemterhadap pemanfaatan sawah gadai yang
dilaksanakan di desa Banjaran, kecamatan Salem, kabupaten Brebes.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah field research, menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi dan wawancara.Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primerberupa hasil wawancara dengan para ulama, penggadaidan
penerima gadai. Sementara sumber data sekunder berupa dokumen,
buku, catatan dan sebagainya. Metode analisis data yang digunakan
adalah metode analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ada 2 kelompok ulama Salemyang
memiliki persepsi berbeda tentang pemanfaatan sawah gadai. Pertama,
kelompok yang memiliki persepsi bahwa pemanfaatan sawah gadai
oleh penerima gadai yang dilaksanakan di desa Banjaran tersebut
diperbolehkan dan tidak termasuk ke dalam kegiatan eksploratif.
Kedua, kelompok yang memiliki persepsi bahwa pemanfaatan sawah
gadai oleh penerima gadai di desa Banjaran tersebut tidak
diperbolehkan meskipun hasil yang diperoleh hanya sedikit saja,
pengambilan manfaat dapat dikategorikan sebagai riba. Persamaan
penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah meneliti
praktik gadai dan dianalisis berdasarkan hukum Islam, perbedaannya
adalah Kuroh hanya memfokuskan pada pemanfaatan sawah gadai di
desa Banjaran, sedangkan penulis meneliti seluruh aspek yang
berhubungan dengan praktik gadai sawah di desa Simpar.
3. Pada tahun 2013 juga telah ditulis skripsi atas nama Nurhabibah
(Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta) dengan judul “Analisis
Dampak Perekonomian dalam Gadai Sawah di Kalangan Petani
Muslim (Studi di Desa Karang Patri Kecamatan Pebayuran Kabupaten
Bekasi)”.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisisdampak perekonomian di kalangan petani muslim yang
menggadaikan sawahnya. Variabel yang menjadi fokusnyaadalah
pendapatan petani sebelum menggadaikan sawah (X1) dan pendapatan
petani sesudah menggadaikan sawah (X2). Data yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari hasilpenyebaran kuesioner dan wawancara
dengan pihak terkait. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
uji validitas dan uji reliabilitas yang menggunakan aplikasi SPSS 17,
juga menggunakan uji wilcoxon untuk mengetahui besar perbedaan suatu data sebelum dan sesudah menggadaikan sawah yang kemudian
diberi ranking. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada dampak
penurunan perekonomian pada petani muslim yang menggadaikan
yaitu 5,510 ≥ 1,645 sehingga hipotesis nol ditolak, hal ini terjadi
karena ketika petani menggadaikan sawahnya, mereka umumnya
mengalami penurunan perekonomian. Tidak hanya dilihat dari
pendapatan yang turun secara finansial, tetapi juga perpindahan
pekerjaan petani yang menggadaikan sawahnya menjadi buruh tani,
TKI, dan sebagainya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
penulis lakukan adalah meneliti para petani muslim yang melakukan
gadai sawah. Adapun perbedaannya adalah Nurhabibah menganalisis
dampak perekonomian yang timbul di kalangan para petani desa
Karang Patri setelah menggadaikan sawahnya dengan metode
kuantitatif, sedangkan penulis menganalisis kesesuaian praktik gadai
sawah para petani desa Simpar dengan fikih muamalah menggunakan
metode kualitatif.
4. Terakhir, pada tahun 2014 telah ditulis skripsi atas nama Syahrul
Munir Abdul Hakim (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta)
dengan judul“Aplikasi Gadai Masyarakat Muslim (Studi pada
Masyarakat RW. 03 Kelurahan Cirendeu Kecamatan Ciputat
Timur)”.Skripsi ini bertujuan untuk mengidentifikasi aplikasi gadai di
kalangan masyarakat muslim RW. 03 kelurahan Cirendeu kecamatan
CiputatTimur kota Tangerang Selatan, disertai dengan analisis
kesesuaian aplikasi gadai tersebut dengansyariat Islam. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kombinasi antara kualitatif dan kuantitatif.
deskriptif analisis. Dengan statistik deskriptif, data disajikan dalam
bentuk tabel dan uraian mengenai hal-hal yang terdapat dalam aplikasi
gadai. Deskriptif analisis memberikan gambarandan informasi
terhadap fakta aplikasi gadai, juga memberikan penilaian berdasarkan
pendapat ulama fikih. Hasil penelitian inimenunjukkan bahwa dalam
transaksi gadai masyarakat muslim kelurahan Cirendeu terdapat
hal-hal yang sejalan dengan pendapat ulama fikih seperti rukun dan
syarat-syarat gadai, penyerahan barang gadai, tanggung jawab rusaknya
barang gadai dan berakhirnya gadai. Adapula yang bertentangan
dengan pendapat ulama fikih seperti imbalan dan pemanfaatan barang
gadai. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis
lakukan adalah meneliti praktik gadai dan dianalisis berdasarkan
hukum Islam, perbedaannya praktik gadai yang diteliti oleh Syahrul
Munir Abdul Hakim adalah seluruh praktik gadai yang dilakukan
masyarakat RW. 03 kelurahan Cirendeu, sedangkan penulis fokus pada
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR
A. Letak Geografis
Secara geografis desa Simpar merupakan bagian dari kecamatan
Cipunagara kabupaten Subang provinsi Jawa Barat dengan batas-batas
wilayah:
1. Sebelah utara : desa Sukadana, kecamatan Compreng
2. Sebelah selatan : desa Jati, kecamatan Cipunagara
3. Sebelah barat : desa Kamarung, kecamatan Pagaden
4. Sebelah timur : desa Kosambi, kecamatan Cipunagara
Luas wilayah desa Simpar adalah 835,415 ha yang terdiri dari:
1. Luas pemukiman : 145,716 ha
2. Luas persawahan : 614,800 ha
3. Luas kuburan : 2,474 ha
4. Luas pekarangan : 68,483 ha
5. Luas taman : 2,526 ha
Adapun jarak desa Simpar dari pusat pemerintahan adalah:
1. Jarak dari kantor desa ke dusun terjauh : 3 km
2. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan: 7 km
3. Jarak dari ibukota kabupaten : 18 km
4. Jarak dari ibukota provinsi : 80 km
Desa Simpar terdiri dari 5 dusun yaitu dusun Simpar, Kacepet, Babakan,
Kunir, dan Lampegan yang terbagi ke dalam 12 RW dan 31