• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik gadai sawah desa simpar Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang dalam pesepektif fikih muamalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Praktik gadai sawah desa simpar Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang dalam pesepektif fikih muamalah"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh :

FITRIA NURSYARIFAH

NIM. 1110046100168

K O N S E N T R A S I P E R B A N K A N S Y A R I A H PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

Nama : Fitria Nursyarifah

NIM : 1110046100168

Prodi : Muamalat (Perbankan Syariah) Fakultas : Syariah dan Hukum

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan mempertanggung jawabkannya.

4. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau tanpa izin pemilik karya.

5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya ini.

Jika dikemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah melalui pembuktian yang dapat dipertanggung jawabkan, ternyata memang ditemukan bukti bahwa saya melanggar pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 13 Maret 2015

(5)
(6)

Muamalah. Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015 M./1436 H. xiii + 86 halaman + 15 lampiran.

Masalah utama skripsi ini adalah bagaimana pemahaman para petani desa Simpar mengenai gadai dalam Islam dan bagaimana praktik gadai sawah yang para petani lakukan dalam perspektif fikih muamalah. Tujuan penelitiannya adalah mengetahui pemahaman para petani desa Simpar mengenai gadai dalam Islam dan mengetahui praktik gadai sawah yang para petani lakukan dalam perspektif fikih muamalah.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan normatif dan empiris, jenis penelitiannya adalah deskriptif-studi kasus, sumber dan kriteria data yang digunakan adalah primer dan sekunder, pengumpulan data dilakukan dengan cara interviu, observasi dan teknik dokumenter, serta teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif.

Kesimpulan skripsi ini adalah mayoritas petani desa Simpar tidak memahami gadai dalam Islam dan praktik gadai sawah yang biasa terjadi di kalangan petani desa Simpar ada 2 jenis yaitu gadai biasa dan gadai gantung. Ditinjau dari perspektif fikih muamalah kedua akad ini hukumnya tidak sah karena syarat yang berkaitan dengansighat(ijab kabul) tidak terpenuhi. Selain itu, praktik gadai sawah tersebut termasuk kegiatan eksploratif karena sangat menguntungkan penerima gadai dan sangat merugikan penggadai.

Kata kunci : Gadai, sawah, fikih muamalah

Pembimbing : Dr. Hasanuddin, M.Ag

(7)

vi

atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan

dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda mulia

Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliaulah kita dapat saling

kenal-mengenal menjalin ukhuwah Islamiyyah.

Selanjutnya, berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini, secara pribadi

penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.

2. Ketua Program Studi Muamalat, Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag.,

MH. dan sekretaris Program Studi Muamalat, Bapak Abdurrauf, Lc., MA.

3. Bapak Dr. Hasanuddin, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.

4. Bapak Jaeni, S.E. selaku sekretaris desa Simpar, yang telah meluangkan

waktunya dan memberikan data-data yang penulis butuhkan.

5. Pengurus perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan

bantuannya berupa pinjaman buku-buku baik selama penulisan skripsi

(8)

vii

7. Bapak Suhendi, Bapak Saepuddin, Ibu Tati, Bapak Winata dan Bapak

Ugan selaku pelaku gadai yang bersedia memberikan penjelasan tentang

transaksi gadainya.

8. Orang tua tercinta Ibu Nuraisyah. S, S.Pd.I. dan Bapak Saripudin atas

kasih sayang dan do’a yang tak pernah usai untuk penulis.

9. Aa Supandi, S.S.atas bantuan material maupun spiritualnya.

10. Dan keluarga besar Perbankan Syariah 2010 dan 2011 atas

kebersamaannya dalam perjuangan menuntut ilmu dan menyelesaikan

tugas akhir, serta pihak-pihak terkait lainnya yang telah mendukung

penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT jualah penulis berdoa semoga mereka

mendapat balasan yang mulia. Dengan segala kelemahan dan kelebihan semoga

skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada

umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridai setiap langkah kita. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.

Jakarta, 22 Jumadil Awal 1436 H. 13 Maret 2015 M.

(9)

viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Identifikasi Masalah...3

C. Pembatasan Masalah...4

D. Perumusan Masalah...4

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian...4

F. Metode Penelitian...5

1. Pendekatan Penelitian...5

2. Jenis Penelitian...5

3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian...6

4. Teknik Pengumpulan Data ...7

5. Subjek dan Objek Penelitian...8

6. Teknik Pengolahan Data...9

7. Metode Analisis Data...10

G. Sistematika Penulisan...10

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Akad……….12

B. Gadai dalam KUH Perdata………...14

(10)

ix

4. Hukum Akad...21

5. Hak dan Kewajiban dalam Gadai...23

6. Penambahan Utang dan Penambahan Barang Gadai...24

7. Bertambahnya Barang Gadai...25

8. Resiko Kerusakan Barang Gadai...26

9. Penjualan Barang Gadai...26

10. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai...27

11. Riba dalam Gadai...34

12. Pembiayaan Barang Gadai...34

13. Pengambilalihan Barang Gadai...34

14. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai...35

15. Pembatalan Akad Gadai...37

16. Berakhirnya Akad Gadai...38

D. Kerangka Konsep...39

E. Tinjauan (review) Studi Terdahulu...39

BAB III GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR A. Letak Geografis...45

[image:10.595.139.513.103.564.2]
(11)

x

3. Jumlah Penduduk Menurut Agama...48

4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian...48

5. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan....50

D. Sarana dan Prasarana...51

1. Sarana...51

2. Prasarana Kesehatan...51

3. Prasarana Pendidikan...52

4. Prasarana Ibadah...52

5. Prasarana Umum...53

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Identitas Sumber Data...55

B. Pemahaman Petani terhadap Gadai dalam Hukum Islam...56

C. Tata Cara Gadai Sawah Petani Desa Simpar...56

D. Pendapat Tokoh Agama...63

E. Analisis Fikih Muamalah terhadap Praktik Gadai Sawah Petani Desa Simpar...65

1. Tujuan Akad...65

(12)

xi

Gadai...68

6. Bertambahnya Barang Gadai...70

7. Resiko Kerusakan Barang Gadai...70

8. Penjualan Barang Gadai...70

9. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai...71

10. Riba dalam Gadai...73

11. Pembiayaan Barang Gadai...73

12. Pengambilalihan Barang Gadai...74

13. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai...74

14. Pembatalan Akad Gadai...74

15. Berakhirnya Akad Gadai...75

16. Aspek Keadilan dalam Akad...75

17. Analisis Ekonomi terhadap praktik gadai sawah petani desa Simpar……….75

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...81

B. Saran...82

(13)

xii

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Menurut Usia...47

Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Menurut Agama...48

Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian...49

Tabel 3.5 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan...50

Tabel 3.6 Sarana...51

[image:13.595.152.510.115.396.2]

Tabel 3.7 Prasarana Kesehatan ...51

Tabel 3.8 Prasarana Pendidikan...52

Tabel 3.9 Prasarana Ibadah...53

Tabel 3.10 Prasarana Umum...53

(14)

xiii

Ilustrasi 4.1 Gadai Sawah Biasa...58

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gadai (rahn) merupakan salah satu bentuk muamalat yang diperbolehkan dalam Islam, ia merupakan salah satu cara manusia untuk memenuhi

kebutuhan sehari-harinya manakala dalam keadaan susah dengan cara

meminjam uang dan menyerahkan jaminan, karena manusia sebagai makhluk

sosial tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Bahkan

menurut pakar fikih kasus gadai pertama dalam Islam dilakukan sendiri oleh

Rasulullah SAW yaitu ketika beliau menggadaikan baju besinya untuk

membeli gandum kepada seorang Yahudi di Madinah. Di sisi lain gadai juga

bisa menjadi sarana beribadah yaitu tolong menolong dalam kebaikan

manakala ada orang lain yang sedang kesusahan, dengan cara meminjamkan

uang dan menerima barang jaminannya.

Islam sebagai agama yang sempurna telah memberi pedoman bagi

umatnya baik dari segi akidah, akhlak, maupun syariah. Termasuk masalah

gadai telah diatur di mana dalam pelaksanaannya diharamkan adanya unsur

riba dan kezaliman.

Dalam Islam, gadai telah diatur mulai dari syarat dan rukunnya, tata

caranya, hak dan kewajiban para pihak yang bergadai hingga hukum

(16)

Para petani dan buruh tani desa Simpar yang jumlahnya mencapai 25

persen dari total penduduk desa Simpar1 sering melakukan transaksi gadai

sawah. Penulis telah mengamati ada beberapa penerima gadai (murtahin) yang melakukan pemanfaatan/penggarapan sawah gadai secara berlebihan yaitu

tanpa mengenal batas waktu hingga penggadai (rahin) mampu membayar pinjamannya. Dalam hukum Islam hal ini dapat dianggap sebagai riba dan

kezaliman. Pemanfaatan sawah gadai secara berlebihan tersebut bisa terjadi

karena kurangnya pemahaman para pelaku gadai mengenai hukum Islam, atau

mereka telah mengetahui dan memahami hukum Islam namun eggan

melaksanakannya, kendati masyarakat desa Simpar seluruhnya beragama

Islam dan 0,3 persennya merupakan tokoh agama.2

Umat Islam berkewajiban mempelajari ilmu tentang segala sesuatu yang

akan dilakukannya agar terhindar dari hal-hal yang haram. Sebagaimana

disebutkan dalam kitabTaʻlimul Mutaʻ allim:

Artinya: Orang muslim wajib mempelajari ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tugas/kondisi dirinya, apapun wujud tugas/kondisi itu”.3

Namun hal ini cenderung diabaikan oleh orang muslim terutama masyarakat

awam, termasuk oleh masyarakat desa Simpar khususnya dalam transaksi

gadai sawah.

1

Data Lapangan 2015. 2

Ibid.

3

(17)

Melihat kondisi tersebut, nampaknya ada permasalahan mendasar yang

membutuhkan perhatian dan penelitian serta dibuatkan pemecahan

masalahnya, oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis Skripsi dengan

judul PRAKTIK GADAI SAWAH PETANI DESA SIMPAR

KECAMATAN CIPUNAGARA KABUPATEN SUBANG DALAM

PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH

B. Identifikasi Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang dapat diidentifikasi

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman para petani tentang gadai?

2. Apa tujuan para petani melakukan gadai sawah?

3. Apakah para petani memahami hukum Islam mengenai gadai?

4. Apakah praktik gadai para petani sudah memenuhi syarat dan

rukunnya?

5. Apakah praktik gadai para petani mengandung riba dan kezaliman?

6. Kepada siapa para petani menggadaikan sawahnya?

7. Digunakan untuk apa hasil gadai sawahnya?

8. Apakah gadai sawah memberikan keuntungan atau kerugian bagi

(18)

C. Pembatasan Masalah

Pembahasan gadai sawah mempunyai cakupan yang luas, tetapi dalam

penelitian ini pembahasannya dibatasi dengan hal-hal berikut ini:

1. Praktik gadai sawah dibatasi pada kegiatan praktik gadai sawah yang

dilakukan petani desa Simpar kecamatan Cipunagara kabupaten

Subang.

2. Hukum gadai sawah dibatasi pada hukum gadai sawah dalam fikih

muamalah.

3. Waktu penelitian dilakukan pada Januari-Februari 2015.

D. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman para petani tentang gadai dalam Islam?

2. Bagaimana praktik gadai sawah para petani dalam perspektif fikih

muamalah?

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman para petani mengenai gadai

dalam Islam.

2. Untuk mengetahui praktik gadai sawah para petani dalam perspektif

(19)

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu fikih

muamalah khususnya tentang gadai di kalangan masyarakat.

2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi dalam

rangka pemikiran dan khazanah ekonomi syariah khususnya dalam

bidang fikih muamalah.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini termasuk pendekatan normatif dan empiris,

dimana praktik gadai sawah petani desa Simpar dianalisis berdasar

norma-norma Islam tentang gadai.

2. Jenis Penelitian

Dilihat dari segi level analisis, penelitian ini termasuk penelitian

deskriptif, yakni penelitian yang diarahkan untuk memberikan

gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat,

mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian

deskriptif cenderung tidak perlu mencari atau menerangkan saling

hubungan dan menguji hipotesis.4

Selain itu ditinjau dari masalah penelitian yang diselidiki, teknik dan

alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu penelitian

dilakukan, penelitian ini termasuk penelitian studi kasus. Menurut

4

(20)

Maxfield penelitian studi kasus adalah penelitian tentang status subjek

penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari

keseluruhan personalitas.5Dalam hal ini penulis menyelidiki pemahaman

dan praktik gadai sawah para petani secara sistematis dan akurat di desa

Simpar.

3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Sumber data primer yang terdiri dari :

(1) Narasumber, yakni orang yang dijadikan subjek penelitian,

dalam hal ini adalah para petani yang melakukan gadai sawah dan

tokoh agama.

(2) Informan, yakni orang yang memberikan informasi

mengenai situasi dan kondisi objektif daerah yang diteliti, dalam

hal ini adalah perangkat desa.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yang digunakan yaitu dokumen-dokumen

yang ada di kantor desa yang menggambarkan keadaan wilayah dan

masyarakat desa Simpar.

Adapun kriteria data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

kualitatif yang berupa:

5

(21)

a. Data primer

Data primer yang digunakan adalah data yang diperoleh dari hasil

wawancara dan observasi yang penulis lakukan terhadap penggadai,

penerima gadai, tokoh agama dan perangkat desa.

b. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan adalah data hasil dari penelusuran

penulis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi tentang

keadaan wilayah dan masyarakat desa Simpar.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan berikut :

a. Wawancara/interviu

Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan

pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul data)

kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau

direkam dengan alat perekam (tape recorder).6 Penulis melakukan wawancara terhadap penggadai, penerima gadai, tokoh agama dan

perangkat desa dengan mengacu pada pedoman wawancara yang telah

dibuat dan menggunakan alat bantu perekam (recorder).

b. Observasi

Menurut Arikunto observasi merupakan suatu teknik pengumpulan

data yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian secara teliti

6

(22)

serta pencatatan secara sistematis.7 Penulis melakukan pengamatan

terhadap penggadai dan penerima gadai yang melakukan penggarapan

sawah dengan menggunakan metode observasi non partisipan dimana

penulis tidak terlibat dalam aktivitas penggarapan sawah, hanya

sebagai pengamat independen. Instrumen yang digunakan adalah

daftar pengecekan pragmen perilaku orang yang diobservasi.

c. Teknik Dokumenter

Teknik dokumenter yaitu cara mengumpulkan data melalui

peninggalan tertulis, seperti arsip, termasuk juga buku tentang teori,

pendapat, dalil atau hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan

masalah penelitian.8Dalam hal ini penulis melakukan pengumpulan

data yang bersumber dari arsip Pendataan Profil Desa Simpar dan

buku-buku serta kitab-kitab fikih yang membahas tentang gadai.

5. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah para pihak yang melakukan akad

gadai sawah seperti penggadai dan penerima gadai, juga pihak terkait

seperti perangkat desa dan tokoh agama. Adapun objek dalam penelitian

ini adalah praktik gadai sawah yang dilakukan petani desa Simpar.

Data penelitian dalam Skripsi ini didasarkan pada hasil wawancara

dengan 8 orang narasumber yang terdiri dari 2 orang penggadai, 3 orang

7

Imam Gunawan, ed.,Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 143.

8

(23)

penerima gadai, 2 orang tokoh agama dan 1 orang perangkat desa. Sampel

pelaku gadai dipilih dengan cara purposive sampling, yaitu dipilih berdasar pertimbangan tertentu.9Hal yang penulis pertimbangkan adalah

seringnya melakukan akad gadai sawah sehingga penulis memilih petani

yang sering melakukan gadai sawah di dusunnya masing-masing. Sampel

dipilih 5 orang (1 orang setiap dusun), diharapkan 1 orang tersebut dapat

merepresentasikan dusunnya masing-masing, karena pada umumnya para

petani melakukan gadai sawah dengan cara yang sama sebab sudah

menjadi budaya yang turun temurun.

6. Teknik Pengolahan Data

Data diolah dengan tahapan-tahapan siklus dan interaktif berikut ini :

a. Reduksi Data

Menurut Sugiyono reduksi data adalah kegiatan merangkum,

memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dan

mencari tema dan polanya.10 Pada tahap ini penulis melakukan

penyederhanaan terhadap hasil wawancara (transkrip), observasi dan

teknik dokumenter sebelum dilakukan paparan data.

b. Paparan Data

Pada tahap ini penulis memaparkan data yang telah disederhanakan

hingga menjadi sekumpulan informasi yang tersusun.

9

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi,Metode Penelitian Survai, cet. IV (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 169

10

(24)

c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Pada tahap akhir ini, penulis menyampaikan keputusan terakhir

dari sekumpulan informasi yang tersusun untuk menjawab fokus

penelitian.

7. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif,

menurut Bogdan & Biklen analisis kualitatif adalah proses pelacakan dan

pengaturan secara sistematis transkip wawancara, catatan lapangan dan

bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman

terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diinterpretasikan temuannya

kepada orang lain.11Dalam hal ini setelah penulis melakukan penelitian,

maka hasil temuannya dianalisis berdasarkan hukum gadai dalam Islam

dalam bentuk kalimat (tidak dengan cara menghitung).

G. Sistematika Penulisan

Penulisan Skripsi terdiri dari lima bab. Tiap-tiap bab terdiri dari sub bab.

Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah,

pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

11

(25)

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN

Sub bab pertama pada bab ini membahas tentang gadai dalam

perspektif fikih muamalah, Sub bab kedua membahas kerangka konsep,

dan sub bab ketiga membahas tinjauan (review) studi terdahulu. BAB III GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR

Bab ini membahas letak geografis, keadaan topografis, keadaan

demografis, sarana dan prasarana desa Simpar.

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

Bab ini menggambarkan identitas sumber data, pemahaman petani

terhadap gadai sawah dalam hukum Islam, tata cara gadai sawah petani

desa Simpar, pendapat tokoh agama dan analisis fikih muamalah

terhadap praktik gadai sawah petani desa Simpar.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran.

Adapun teknik penulisan Skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

(26)

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Akad

Lafal akad, berasal dari lafal Arab al-‘aqd yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Secara terminologi, akad memiliki

arti umum (al-ma’na al-am) dan khusus (al-ma’na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah segala sesuatu yang dikehendaki sendiri, seperti

kehendak wakaf, membebaskan hutang, talak, dan sumpah, maupun yang

membutuhkan pada kehendak dan pihak yang melakukannya seperti jual beli,

sewa menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan. Sedangkan arti khusus akad

adalah pertalian atau keterikatan antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak

syariah (Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan akibat hukum pada objek

akad.1

Akad adalah kontrak antara dua belah pihak, akad mengikat kedua belah

pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk

melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati

terlebih dahulu. Dalam akad, term dancondition-nya sudah ditentukan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka

ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.

1

(27)

Akad ada 2 macam yaitu:

1. AkadTabarru’

Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan

komersil. Akadtabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam

rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam Bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat

kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada

pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT bukan

dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut

boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad

tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari

akadtabarru’ itu. Contoh akad-akadtabarru’ adalahqard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqf, shadaqah, hadiah,dan lain-lain.

2. AkadTijarah

(28)

Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli, dan sewa-menyewa.2

B. Gadai dalam KUH Perdata

Dalam Pasal 1150 KUH Perdata, Gadai merupakan suatu hak yang

diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan

kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lainnya atas namanya, dan

yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil

pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang

berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang

tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah

barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.3 Diserahkannya

jaminan atas pinjaman uang tersebut. Jaminan tersebut akan dikuasai oleh

pemegang gadai selama pelaksanaan gadai sampai ditebusnya jaminan

tersebut oleh penggadai.

Gadai dalam KUH Perdata ialah penguasaan atas barang gadai tanpa

adanya pemanfaatan dari benda jaminan tersebut. Pelaksanaan gadai yang

disebutkan dalam KUH Perdata, pemegang gadai hanya berkuasa dan

berkewajiban untuk menyimpan serta menjaga benda yang dijaminkan tanpa

adanya hak untuk memanfaatkan barang jaminan tersebut.

2

Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi IV (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 70.

3

(29)

Dalam KUH Perdata, pemegang gadai tidak berhak memanfaatkan barang

gadai apalagi sampai melakukan hubungan hukum dengan pihak lain.4

pemegang gadai hanya berhak menyimpan dan berkewajiban menjaga barang

yang digadaikan itu.

Ketika penggadai tidak mampu membayar tebusan barang gadai dalam

waktu yang telah disepakati maka pemegang gadai akan melakukan lelang,

hasil dari lelang akan digunakan untuk membayar uang yang dipinjam

penggadai dari pemegang gadai.

Waktu lamanya penggadaian telah ditentukan maksimal 7 tahun. Jika telah

lebih dari 7 tahun, maka tanah pertanian yang digadaikan harus dikembalikan

kepada pemilik tanah pertanian tersebut (penggadai) tanpa menuntut uang

tebusan. Hal ini dikarenakan selama 7 tahun penerima gadai telah mengelola

dan menikmati hasil panen dari sawah tersebut.5

C. Gadai dalam Perspektif Fikih Muamalah 1. Pengertian

Gadai (rahn) secara bahasa artinya bisa al-tsubût dan al-dawâm yang artinya tetap, atau ada kalanya berarti al-habsudan al-luzûm yang artinya menahan.6Sedangkan menurut istilah, para ulama fikih mendefinisikan

gadai sebagai berikut :

4

Ibid.

5

Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrarian. 6

(30)

a. Ulama Malikiyyah mendefinisikan dengan “harta yang dijadikan

pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”.

Menurut mereka, harta yang dapat dijadikan barang jaminan

(agunan) bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta

yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang

jaminan tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga

penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai

jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya

(setifikat sawah).7

b. Ulama Hanafiyyah mendefinisikan dengan “menjadikan sesuatu

(barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin

dijadikan sebagai pembayar hak (piutang itu), baik seluruhnya

maupun sebagiannya”.8

c. Ulama Hanabilah mendefinisikan dengan “menjadikan materi

(barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar

utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya

itu”.9

7

Al-Dardir, “Al-Syarh al-Saghir bi Syarh al-Sawi”, dalam Nasrun Haroen,Fiqih Muamalat(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 252.

8

Ibnuʻ Abidin, “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar”, dalam Nasrun Haroen,Fiqih Muamalat(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 252.

9

(31)

d. Ulama Syafiʻ iyyah mendefinisikan dengan “menjadikan suatu

benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika

berhalangan dalam membayar utang”.10

Definisi yang diungkapkan ulama Hanafiyyah, Hanabilah dan

Syafiʻ iyyah mengandung pengertian bahwa harta yang boleh dijadikan

jaminan utang hanyalah harta yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat

sebagaimana dikemukakan ulama Malikiyyah, sekalipun sebenarnya

manfaat menurut mereka termasuk dalam pengertian harta.11

2. Dasar Hukum

Hukum gadai adalah mubah, berdasarkan:

a. Alquran

ﻰ ﻠ ﺻ

...

Artinya:“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang”...(QS. al-Baqarah /2: 283) b. Hadits ٌد ﱠﺪ َﺴ ُﻣ ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ : ِﺪ ِﺣ ا َﻮ ْﻟ ا ُﺪ ْﺒ َﻋ ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ : َل ﺎ َﻗ ُﺶ َﻤ ْﻋ ْﻷ ا ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ : : : ﱠﻲ ِﺒ ﱠﻨ ﻟ ا ﱠن َأ َﺻ ﱠﻠ ﻰ ُﷲ . 10 Ibid. 11

(32)

Artinya:“Musaddad menyampaikan kepada kami dari Abdul Wahid bahwa al-Aʻ masy berkata:“kami dan Ibrahim pernah membahas tentang hukum gadai dan jaminan dalam akad pemesanan”. Lalu Ibrahim berkata: “al-Aswad menyampaikan kepada kami dari Aisyah bahwa Nabi SAWpernah membeli makanan dari orang Yahudi secara tangguh dan menggadaikan baju besinya kepada orang tersebut”.(HR. Bukhari)12

c. Ijmak ulama ahli fikih sepakat akan diperbolehkannya akad gadai,

baik dalam keadaanhâdir (berada di tempat) maupunsafar (dalam perjalanan).13

d. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

dalam Fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 telah menetapkan

bahwapinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan

utang dalam bentuk rahn dibolehkan.14

3. Rukun dan Syarat

Rukun-rukun gadai yaitu :

a. Orang yang berakad (penggadai [rahin] dan penerima gadai [murtahin])

b. Ijab dan kabul (sighat) c. Utang (marhun bih)

d. Harta yang dijadikan jaminan (marhun)

Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa rukun gadai hanyalah ijab dan

12

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, ed.,Shahih Bukhari, jilid I, cet. I, Penerjemah Masyhar dan Muhammad Suhadi (Jakarta: Almahira, 2011), h. 566.

13

Ibnu Qudamah, Ed.,al-Mughni, Jilid VI, penerjemah Misbah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 26.

14

(33)

kabul. Di samping itu, menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya

akad gadai ini, maka diperlukan adanya penguasaan barang oleh penerima

gadai. Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan

jaminan, dan utang, menurut ulama Hanafiyyah hanya termasuk

syarat-syarat gadai bukan rukunnya.15

Adapun syarat-syarat gadai para ulama fikih menyusunnya sesuai

dengan rukun gadai itu sendiri. Dengan demikian syarat-syarat gadai

adalah sebagai berikut :

a. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap

bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur

ulama adalah orang yang telah balig dan berakal. Sedangkan

menurut ulama Hanafiyyah kedua belah pihak yang berakad tidak

disyaratkan balig, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu

menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad gadai asal mendapat persetujuan dari walinya.

b. Syarat terkait dengan ijab dan kabul, ulama Hanafiyyah

berpendapat bahwa akad gadai sama dengan akad jual beli. Apabila

akad itu dibarengi dengan syarat tertentu maka syaratnya batal

sedangkan akadnya sah. Misalnya, penggadai mensyaratkan

apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum dibayar,

maka jaminan itu diperpanjang 1 bulan. Sementara, jumhur ulama

mengatakan bahwa apabila syarat itu ialah syarat yang mendukung

15

(34)

kelancaran akad, maka dibolehkan, tetapi apabila syarat itu

bertentangan dengan tabiat akad gadai, maka syaratnya batal.

Perpanjangan gadai 1 bulan dalam contoh syarat di atas termasuk

syarat yang tidak sesuai dengan tabiat gadai. Karenanya syarat

tersebut dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan misalnya, demi

sahnya akad gadai, pihak penerima gadai meminta agar akad itu

disaksikan oleh 2 orang saksi.

c. Syarat yang terkait dengan utang yaitu (1) merupakan hak yang

wajib dikembalikan kepada penerima gadai, (2) utang itu boleh

dilunasi dengan jaminan, dan (3) utang itu jelas dan tertentu.

d. Syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan jaminan,

menurut ulama fikih syarat-syaratnya adalah (1) barang jaminan itu

boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang, (2) berharga dan

boleh dimanfaatkan, (3) jelas dan tertentu, (4) milik sah penggadai,

(5) tidak terkait dengan hak orang lain, (6) merupakan harta utuh,

dan (7) bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya .16

Disamping syarat-syarat di atas, para ulama fikih sepakat bahwa

akad gadai baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan secara

hukum telah berada di tangan penerima gadaidan uang yang dibutuhkan

telah diterima penggadai. Apabila jaminan itu berupa benda tidak bergerak

seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu yang

diberikan kepada penerima gadai, cukup sertifikatnya saja. Syarat ini oleh

16

(35)

para ulama disebut qabd al-marhun bi al-hukm (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh penerima gadai). Syarat ini menjadi penting karena

dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah menyatakan “fa rihânun

maqbûdah” (barang jaminan itu dipegang/dikuasai [secara hukum]). Apabila jaminan itu telah dikuasai oleh penerima gadai, maka akad

gadaibersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu utang

terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat

dilunasi, barang jaminan dapat dijual untuk membayar utang. Apabila

dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan uang, maka wajib

dikembalikan kepada penggadai.17Untuk al-qabd ini para ulama juga mengemukakan beberapa syarat yaitu :

a. Al-qabdharus atas seizin penggadai.

b. Kedua pihak yang melakukan akad gadai cakap bertindak hukum

ketika terjadinyaal-qabd.

c. Barang itu tetap di bawah penguasaan penerima gadai. Syarat

ketiga ini dikemukakan oleh Ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan

Hanabilah, sesuai dengan tuntutan al-Baqarah ayat 283 (fa rihânun maqbûdah).18

4. Hukum Akad

Hukum akad gadai ada 2 yaitu akad yang sah dan akad yang tidak sah.

Akad gadai yang sah adalah akad yang memenuhi syarat-syaratnya.

17

Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbaini,Mughni al-Muhtaj,h. 159.

18

(36)

Sedangkan akad gadai yang tidak sah adalah akad yang tidak memenuhi

syarat-syaratnya.

Menurut Ulama Hanafiyyah akad gadai yang tidak sah ada 2 yaitu

akad yang bâtil (batal) dan akad yang fâsid (rusak). Akad yang batal adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan

asal akad, seperti pihak yang menggadaikan tidak memiliki kelayakan dan

kompetensi melakukan akad contohnya orang gila dan dungu. Sedangkan

akad yang rusak adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat yang

berkaitan dengan sifat akad, contohnya barang gadai tertempeli oleh selain

barang gadai. Seperti menggadaikan rumah yang di dalamnya terdapat

barang-barang milik penggadai, namun barang-barang itu tidak termasuk

barang gadaian.

Menurut ulama selain Hanafiyyah akad gadai yang tidak sah hanya ada

1 macam yaitu akad yang batal/rusak, yakni akad yang tidak memenuhi

syarat-syarat sah gadai yang mereka tetapkan dengan perbedaan pendapat

diantara mereka dalam sebagian syarat-syarat tersebut.

Akad gadai yang sah hanya mengikat 1pihak, yaitu hanya bagi

penggadai saja, oleh karena itu penggadai tidak memiliki hak untuk

membatalkan dan menganulirnya, karena baginya akad gadai adalah akad

jaminan utang. Adapun penerima gadai memiliki hak untuk

membatalkannya kapan saja, karena akad gadai baginya adalah untuk

kemaslahatan dan kepentingan dirinya. Akad gadai menurut seluruh

(37)

adanyaal-qabd.19

5. Hak dan Kewajiban dalam Gadai

a. Hak Penerima Gadai

(1) Penerima gadai berhak menjual barang gadai apabila penggadai

tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.

(2) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang

telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang gadai.

(3) Selama pinjaman belum dilunasi, penerima gadai berhak

menahan barang gadai yang diserahkan oleh penggadai.

b. Kewajiban Penerima Gadai

(1) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau

merosotnya barang gadai yang diakibatkan oleh kelalaiannya.

(2) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk

kepentingan sendiri.

(3) Penerima gadai wajib memberitahukan kepada penggadai

sebelum diadakan pelelangan barang gadai.

c. Hak penggadai :

(1) Penggadai berhak mendapatkan barang gadainya kembali

setelah ia mampu melunasi semua pinjamannya.

(2) Penggadai berhak menuntut ganti rugi atasrusaknya atau

hilangnya barang gadai, apabila itu disebabkan kelalaian

penerima gadai.

19

(38)

(3) Penggadai berhak menerima sisa dari hasil penjualan barang

gadai setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya

lainnya.

d. Kewajiban penggadai :

(1) Penggadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimannya

dalam waktu yang telah ditentukan.

(2) Penggadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai

miliknya, apabila dalam waktu yang telah ditentukan penggadai

tidak dapat melunasinya.20

6. Penambahan Utang dan Penambahan Barang Gadai

a. Penambahan Utang

Penambahan utang berartipenggadai meminjam uang lagi kepada

penerima gadai dengan jaminan yang sama. Ada 2 pendapat tentang

hal ini, pertama, menurut Imam Abu Hanifah, Muhammad, Ulama

Hanabilah dan salah satu versi pendapat Imam Syafiʻ i adalah tidak

boleh karena tambahan tersebut merupakan akad gadai baru, atau

karena hal ini berarti menggadaikan barang yang telah digadaikan,

padahal menggadaikan barang yang telah digadaikan hukumnya tidak

boleh, karena barang yang telah digadaikan keseluruhannya telah

terikat dengan utang yang pertama.Kedua, pendapat Imam Malik, Abu

Yusuf, Abu Tsaur, al-Muzani dan Ibnul Mundzir yang

menyatakanboleh. Karena seandainya penggadai memberi tambahan

20

(39)

jaminan lagi, maka itu boleh, begitu juga jika penggadai meminta

tambahan utang lagi, makaboleh. Karena tambahan di dalam utang

berarti menghapuskan akad gadai yang pertama dan mengadakan akad

gadai yang baru lagi dengan utang kedua tersebut, dan hal ini adalah

boleh berdasar kesepakatan para ulama.

b. Penambahan Barang Gadai

Penambahan barang gadai adalah memberikan jaminan lagi

disamping jaminan yang telah ada dengan utang yang sama, hal ini

menurut jumhur ulama diperbolehkan karena itu merupakan bentuk

tambahan penguat jaminan yang merupakan tujuan inti dari akad

gadai.21

7. Bertambahnya Barang Gadai

Ada 2 ketentuan untuk barang gadai yang bertambah:

a. Tambahan yang terpisah seperti buah, telur, atau anak binatang

yang jadi dan lahir sesudah barang digadaikan tidak termasuk

barang gadaian, tetapi tetap menjadi milikpenggadai. Maka jika

barang gadaihendak dijual oleh penerima gadai, tambahannya tidak

boleh ikut dijual, sebab tambahan itu tidak ikut digadaikan.

b. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan seperti tambahan gemuk,

tambahan besar, dan anak-anak yang ada di dalam kandungan

adalah termasuk barang gadai. Begitu juga dengan bulu binatang

yang jika di waktu menggadaikan sudah waktunya dipotong tetapi

21

(40)

tidak dipotongnya; hal itu menjadi tanda bahwa bulu itu termasuk

barang gadai. Tetapi jika diwaktu menggadaikan belum waktunya

dipotong, maka ia seperti tambahan yang terpisah, tidak termasuk

barang gadai; penggadai berhak memotong dan mengambil bulu itu

apabila tiba waktu memotongnya22.

8. Resiko Kerusakan Barang Gadai

Menurut ulama Hanafiyyah penerima gadai harus menanggung resiko

kerusakan atau kehilangan barang gadai yang dipegangnya, baik barang

gadai hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya. Sedangkan

menurut Ulama Syafiʻiyyah penerima gadai menanggung resiko

kehilangan atau kerusakan barang gadaibilabarang gadaiitu rusak atau

hilang karena disia-siakan olehnya.23

9. Penjualan Barang Gadai

Apabila disyaratkan barang gadai dijual ketika batas waktunya tiba,

maka syarat ini sah dan penerima gadai berhak menjualnya. Pendapat ini

berbeda dengan pendapat Imam Syafiʻ i yang menetapkan atas tidak

sahnya syarat ini. Dan jika barang gadai kembali ke tangan penggadai

dengan kehendak penerima gadai, maka akad gadainya batal.24

Jika di dalam akad gadai disyaratkan bahwa barang gadai harus dijual

kepada penerima gadai ketika tiba waktu pelunasan utang, maka akad

22

Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam, cet. XXVII (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h.311.

23

Abdul Rahman Ghazaly, dkk,Fiqh Muamalat, edisi pertama (Jakarta: Predana Media Grup, 2010), h. 271.

24

(41)

gadai tersebut tidak sah, karena adanya tempo waktu. Akad jual belinya

juga tidak sah karena digantungkan pada masa (adataʻ liqnya)25.

10. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai

a. Pengambilan manfaat oleh penggadai

Berikut pendapat beberapa ulama mengenai pengambilan manfaat

barang gadai oleh penggadai:

(1) Ulama Hanafiyyah

Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa penggadai tidak

boleh memanfaatkan barang gadai kecuali atas izin penerima gadai.

Karena al-habsu adalah tertetapkan untuk penerima gadai secara terus menerus yang berarti peggadai dilarang mengambil kembali

barang gadai. Namun jika pemanfaatan terhadap barang gadai tidak

sampai melepaskan pemegangan penerima gadai terhadap barang

gadai, maka diperbolehkan.

(2) Ulama Malikiyyah

Ulama Malikiyyah menetapkantidak boleh bagi penggadai

memanfaatkan barang gadai.Mereka juga menetapkan bahwa

apabila penerima gadai memberikan izin kepada penggadai maka

akad gadai menjadi batal. Karena pemberian izin tersebut dalam hal

ini dianggap sebagai bentuk pelepasan hak penerima gadai terhadap

barang gadai.

25

(42)

Namun dikarenakan kemanfaatan-kemanfaatan barang

gadai adalah milik penggadai, maka ia boleh menjadikan penerima

gadai sebagai wakilnya dalam memanfaatkan barang gadai untuk

dirinya, agar kemanfaatan-kemanfaatan barang gadai tidak

tersia-siakan. Oleh karena itu, menurut sebagian ulama Malikiyyah

apabila penerima gadai ternyata menyia-nyiakan kemanfaatan

barang gadai, maka ia menanggung denda biaya sewa standar

selama penyia-nyiaan tersebut. Karena berarti dia telah merugikan

penggadai. Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa

penerima gadai tidak menanggung denda, karena ia memang tidak

berkewajiban memanfaatkan barang gadai untuk kepentingan

penggadai. Sedangkan sebagian ulama lainnya lagi mengatakan

bahwa penerima gadai menanggung denda kecuali jika penggadai

mengetahui bahwa dirinya diperbolehkan memanfaatkan barang

gadai dengan cara seperti di atas, namun ia tidak mengingkari

penyia-nyiaan yang dilakukan penerima gadai tersebut.

(3) Ulama Syafiʻ iyyah

Ulama Syafiʻ iyyah mengatakan bahwa penggadai boleh

memanfaatkan barang gadai dengan semua bentuk pemanfaatan

yang tidak menyebabkan berkurangnya barang gadai. Karena

kemanfaatan barang gadai, perkembangan, dan apa-apa yang

dihasilkan oleh barang gadai adalah milik penggadai dan statusnya

(43)

ٍﻞ ِﺗ ﺎ َﻘ ُﻣ ُﻦ ْﺑ ُﺪ ﱠﻤ َﺤ ُﻣ ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ : ك َر ﺎ َﺒ ُﻤ ْﻟ ا ِﻦ ْﺑ ِﷲ ُﺪ ْﺒ َﻋ ﺎ َﻧ َﺮ َﺒ ْﺧ َأ : : ِﷲ ُل ْﻮ ُﺳ َر َل ﺎ َﻗ ﱠﻠَﺻ ﻰ )) : ُﺔ َﻘ َﻔ ﱠﻨ ﻟ ا ((

Artinya:“Muhammad bin Muqatil menyampaikan kepada kami dari Abdullah bin al-Mubarak yang mengabarkan dari Zakaria, dari al-Syaʻ bi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Hewan yang sedang digadaikan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas biaya pemeliharaan (yang dikeluarkan). Hewan yang sedang digadaikan boleh diminum susunya sebagai imbalan atas biaya pemeliharaan (yang dikeluarkan). Setiap yang menunggangi hewan gadaian dan meminum susunya

harus mengeluarkan biaya pemeliharaan.” (HR.

Bukhari)26

(4) Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah berpendapat seperti ulama Hanafiyyah,

yaitu tidak boleh bagi penggadai memanfaatkan barang gadai

kecuali dengan izin atau persetujuan penerima gadai.Kemanfaatan

barang gadai dibiarkan dan tidak diambil-meskipun itu dibenci oleh

agama-apabila penggadai dan penerima gadai tidak bersepakat atas

diizinkannya penggadai memanfaatkan barang gadai.Pendapat ini

juga didasarkan atas kaidah bahwa semua kemanfaatan,

perkembangan, dan hal-hal yang dihasilkan oleh barang gadai ikut

tergadaikan.27

b. Pengambilan manfaat oleh penerima gadai

Berikut pendapat beberapa ulama mengenai pengambilan manfaat

26

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,Shahih Bukhari, h.567. 27

(44)

barang gadai oleh penerima gadai:

(1) Ulama Hanafiyyah

Menurut Ulama Hanafiyyah penerima gadai tidak boleh

memanfaatkan barang gadai kecuali dengan izin penggadai.Karena

penerima gadai hanya memiliki hak al-habsu saja bukan memanfaatkan.Dan apabila penggadai memberi izin kepada

penerima gadai, sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa

penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai secara mutlak.

Sebagian lagi melarangnya secara mutlak, karena hal itu sama

dengan riba atau mengandung kesyubhatan riba, sedangkan izin

atau persetujuan tidak bisa menghalalkan riba dan sesuatu yang

mengandung syubhat riba. Dan sebagiannya lagi mengklasifikasi

apabila di dalam akad disyaratkan penerima gadai boleh

memanfaatkan barang gadai, maka tidak bolehkarena itu adalah

riba. Namun jika tidak disyaratkan di dalam akad, maka boleh

karena hal itu berarti adalahtabarru`(derma) dari penggadai untuk penerima gadai.

(2) Ulama Malikiyyah

Ulama Malikiyyah mengklasifikasi apabila utang

dikarenakan akad jual beli atau sejenisnya (akad pertukaran) dan

penggadai mengizinkan kepada penerima gadai untuk

memanfaatkan barang gadai atau penerima gadai mensyaratkan ia

(45)

dan pemanfaatan tersebut harus ditentukan batas waktunya dengan

jelas agar tidak mengandung unsur jahalah (ketidakjelasan) yang bisa merusak akad sewa. Karena ini adalah bentuk jual beli dan

sewa, dan ini diperbolehkan. Namun apabila utangdalam bentuk

pinjaman (qard), maka tidak diperbolehkan karena termasuk kategori pinjaman utang yang menarik kemanfaatan.Begitu pula

jika penggadai mengizinkan penerima gadai untuk memanfaatkan

barang gadai secara cuma-cuma (tanpa disyaratkan oleh penerima

gadai) maka tidak diperbolehkan karena termasuk kategori hadiah

midyânyang dilarang oleh Rasulullah SAW. (3) Ulama Syafiʻ iyyah

Ulama Syafiʻ iyyah secara garis besar berpendapat seperti

Ulama Malikiyyah, yaitu penerima gadai tidak boleh

memanfaatkan barang gadai berdasarkan hadits yang menyatakan

bahwa barang gadaian tidak boleh menjadi milik orang yang

memberi pinjaman.

Apabila utang berupa qard dan penerima gadai mensyaratkan sesuatu yang merugikan pihak penggadai, misalnya

apa-apa yang dihasilkan oleh barang gadai atau pemanfaatan

barang gadai adalah untuk penerima gadai, maka syarat tersebut

tidak sah dan menurut pendapat yang lebih kuat akad gadai

tersebut juga tidak sah. Hal ini didasarkan pada haditsyang

(46)

Kitabullah, maka syarat tersebut batal dan tidak sah.Alasan lain

atas tidak sahnya syarat tersebut adalah karena bertentangan

dengan apa yang dikehendaki oleh akad gadai, sama seperti

mensyaratkan sesuatu yang merugikan penggadai.

Adapun jika utangdikarenakan akad jual beli secara tidak

tunai dan kemanfaatan tersebut ditentukan atau diketahui, maka

sah mensyaratkan kemanfaatan barang gadai untuk penerima gadai.

Karena itu adalah suatu bentuk penggabungan antara akad jual beli

dengan akad sewa, dan hal itu diperbolehkan.

(4) Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah mengklasifikasi apabila barang gadai

berupa hewan kendaraan atau hewan perah, maka penerima gadai

boleh memanfaatkannya dengan syarat menaikinya atau memerah

susunya disesuaikan dengan kadar nafkah dan biaya kebutuhan

barang gadai yang dikeluarkan oleh penerima gadai. Meskipun

penggadai tidak mengizinkan hal tersebut.

Namun untuk barang gadai selain hewan dansesuatu yang

tidak butuh pembiayaan untuk memberi makan, maka penerima

gadai sama sekali tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa

seizin penggadai. Karena barang gadai,

kemanfaatan-kemanfaatannya, dan apa yang dihasilkannya adalah milik

penggadai. Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yang boleh

(47)

Apabila penggadai mengizinkan penerima gadai untuk

memanfaatkan barang gadai, ulama Hanabilah mengklasifikasi:

pertama, jika pemanfaatan tersebut tanpa imbalan (cuma-cuma)

sedangkan utang berupa qard(pinjaman), maka tidak boleh karena termasuk pinjaman utang yang menarik kemanfaatan dan hal itu

diharamkan. Dan jika penerima gadai memanfaatkannya, maka

harus dihitung sebagai bagian dari pembayaran utang penggadai.

Namun apabila penggadaian dikarenakan utang selain qard, maka boleh. Meskipun disertai unsur al-muhâbâh dalam biaya sewa (maksudnya, hal itu dilakukan dengan tujuan tersembunyi untuk

membujuk dan mengambil hati orang yang bersangkutan).

Kedua, Jika pemanfaatan tersebutdengan imbalanajrul mitsli (biaya sewa standar)maka boleh baik utang berupa qard

maupun yang lainnya. Karena di sini berarti penerima gadai tidak

memanfaatkan atas dasarqard, akan tetapi atas dasarijarah(sewa). Namun jika ada unsur al-muhâbâh di dalamnya, maka tidak boleh jika utang berupaqard, dan jika utang bukanqard, maka boleh.

Hadits yang dijadikan dasar oleh Ulama Hanabilah sama

dengan hadits yang dijadikan dalil oleh Ulama Syafiʻ iyyah di atas.

Menurut mereka, susunan kata “zahru yurkabu” dan “laban

al-darriyusyrabu” memang dalam bentuk berita, namun mengandung

arti kalimatinsyâ`seperti pada ayat :

(48)

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”.(QS. al-Baqarah/2 : 233)28

11. Riba dalam Gadai

Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang piutang, hanya

saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila :

a. Dalam akad gadai ditentukan bahwa penggadaiharus memberikan

tambahan kepada penerima gadaiketika membayar utangnya.

b. Ketika akad ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut

dilaksanakan.

c. Bila penggadai tidak mampu membayar utang hingga waktunya

tiba, kemudian penerima gadai menjual barang gadaidan tidak

memberikan kelebihan harga barang gadai kepada penggadai.29

12. Pembiayaan Barang Gadai

Biaya barang gadai, baik biaya pemeliharaannya maupun biaya

pengembaliannya menjadi tanggungan penggadai. Apabila penerima gadai

mengeluarkan biaya untuk barang gadai dengan izin hakim ketika

penggadai tidak ada di tempat atau enggan mengeluarkan biaya, maka itu

menjadi utang yang harus dibayar oleh penggadai kepada penerima

gadai.30

13. Pengambilalihan Barang Gadai

Islam menghapus tradisi orang-orang Arab yang apabila penggadai

28

Syaikh Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali al-Sayis,Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqih, Penerjemah Ismuha (Jakarta: Bulan Bintang, t.th.), h. 315.

29

Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.111. 30

(49)

tidak mampu membayar utangnya, maka barang gadai lepas dari

kepemilikannya dan menjadi hak milik penerima gadai.31 Dalam Hadits

Muawiyah bin Abdullah bin Jaʻ far disebutkan bahwa seorang laki-laki

menggadaikan sebuah rumah di Madinah sampai batas waktu yang

ditentukan, ketika batas waktunya habis dan penerima gadai berkata

“rumah ini menjadi milikku”, maka Rasulullah SAWbersabda:

ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ : : ﻰ )) : ((

Artinya:“Muhammad bin Humaid menyampaikan kepada kami dari Ibrahim bin al-Mukhtar, dari Ishaq bin Rasyid, dari al-Zuhri, dari Saʻ id bin al-Musayyib, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “barang gadaian tidak boleh menjadi milik (orang yangmemberi pinjaman).”(HR. Ibnu Majah)32

14. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai

Jika terjadi perselisihan antara penggadai dan penerima gadai, maka

ketentuannya adalah sebagai berikut:

a. Jika penggadai dan penerima gadai berselisih tentang pokok utang

atau tentang jumlah barang gadai, maka yang dibenarkan adalah

pihak penggadai.

b. Jika penggadai dan penerima gadai berselisih tentang penerimaan

barang gadai dan barang tersebut berada di tangan penggadai, maka

yang dibenarkan adalah penggadai. Namun, jika barang tersebut

berada di tangan penerima gadai, maka yang dibenarkan adalah

31

Ibid., h. 247. 32

(50)

penerima gadai.

c. Jika penggadai menuduh penerima gadai telah menggasab barang

gadai dan penggadai mengaku bahwa ia tidak memberikan izin

kepada penerima gadai dalam penerimaan barang tersebut, maka

menurut qaul sahihyang dibenarkan adalah ucapan penggadai. Sebab, pada asalnya izin penerimaan barang tersebut tidak ada, dan

pada asalnya ketetapan akad gadai juga tidak ada.

d. Seandainya penggadai mengaku “saya menyerahkan barang gadai

itu untuk sewa menyewa, untuk pinjam meminjam, untuk titipan”.

Maka yang dibenarkan adalah pengakuan penggadai, menurut qaul asahyang telah disahkan oleh Imam Syafiʻ i.

e. Jika penggadai menyatakan kepada penerima gadai: “Ya, saya

memberi izin kepadamu untuk menerima barang gadaian ini, tetapi

sebelum kamu menerima barang itu saya menarik kembali izin

saya”. Maka menurut qaul sahih, yang dibenarkan adalah penerima gadai.

f. Jika penggadai menyatakan bahwa penerima gadaimengakui

dirinya telah menerima barang gadai itu, kemudian penerima gadai

menyanggah kepada penggadai: “pengakuan saya itu tidak

sebenarnya”. Maka penggadai berhak menuntut sumpah dari

penerima gadai tentang pengakuan tersebut.

g. Jika penerima gadai memberi izin terhadap penjualan barang gadai,

(51)

kembali izinnya dengan menyatakan “saya mencabut kembali izin

saya sebelum barang itu dijual”. Di pihak lain, penggadai

menyatakan “kau mencabut izinmu setelah barang ini terjual”.

Maka menurut qaul asahyang dibenarkan adalah pengakuan penerima gadai.

h. Jika penggadai mengingkari sama sekali pencabutan kembali oleh

penerima gadai, maka yang dibenarkan adalah pihak penggadai.

i. Barang siapa mempunyai tanggungan 2 utang, salah satu utang

tersebut berstatus gadaian, lalu ia membayar salah satu utangnya

dengan mengatakan ”saya membayar kepada pihak yang

berpiutang untuk utang saya yang berstatus gadaian”. Menurut

qaulsahih ucapan orang tersebut dibenarkan dengan bersumpah terlebih dahulu, sebab dia sendiri yang lebih tahu tentang niatnya.33

15. Pembatalan Akad Gadai

Penarikan kembali/pembatalan akad gadai bisadilakukan dengan

ucapan ataupuntindakan. Tindakan yang menyebabkan batalnya akad

gadai adalah menggunakan barang gadaidalam bentuk perbuatan yang

dapat menghilangkan status kepemilikan, seperti memerdekakan budak

gadaian, menjual barang gadai, menjadikannya sebagai maskawin atau

upah kerja, meggadaikannya lagi kepada pihak lain atau menghibahkannya

kepada pihak lain.34

33

Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini,Kifâyatul Akhyâr Fii Halli Ghâyatil Ikhtishâr, h. 66.

34

(52)

16. Berakhirnya Akad Gadai

Akad gadai selesai/berakhir karena beberapa hal berikut ini:

a. Diserahkannya barang gadai kepada penggadai.

b. Terlunasinya seluruh utang yang ada.

c. Penjualan barang gadai secara paksa yang dilakukan oleh

penggadai atas perintah hakim atau yang dilakukan oleh hakim

ketika penggadai menolak untuk menjual barang gadai.

d. Terbebaskannya penggadai dari utang dengan cara apapun,

misalnya dengan akad hiwalah, dimana penggadai sebagai muhil

dan penerima gadai sebagaimuhal.

e. Pembatalan akad gadai dari pihak penerima gadai atau dengan kata

lain, penerima gadai membatalkan akad gadai yang ada, walaupun

pembatalan tersebut hanya sepihak.

f. Menurut ulama Malikiyyah, akad gadaibatal apabila sebelum

terjadi al-qabd, penggadai meninggal dunia atau jatuh pailit, atau para pihak yang berpiutang lainnya selain penerima gadai menagih

penggadai.

g. Hancurnya barang gadai.

h. Para pihak melakukan pentasarufan terhadap barang gadai dengan meminjamkannya, menghibahkanya atau mensedekahkannya.35

35

(53)

D. Kerangka Konsep

Berikut beberapa hal yang dijadikan landasan peneliti dalam memecahkan

masalah yang telah diuraikan sebelumnya:

Ilustrasi 2.1

Kerangka Konsep

E. Tinjauan (review) Studi Terdahulu

Sepanjang pengamatan penulis, berikut penelitian terdahulu yang

membahas gadai di kalangan masyarakat :

1. Pada tahun 2011 telah ditulis skripsi atas nama Sarki (Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan judul “Praktik

Gadai diperbolehkan dalam Islam

Praktik gadai sawah para petani Pemahaman para

petani tentang gadai

Hasil Penelitian

Pendapat Tokoh Agama

Analisis Fikih Muamalah

(54)

Gadai di Kalangan Masyarakat Desa Argapura Kecamatan Cigudeg

Kabupaten Bogor dalam Perspektif Hukum Islam”.Penelitian ini

bertujuan menganalisis praktik gadai yang dilakukan masyarakat desa

Argapura dalam kerangka hukum Islam. Penelitian ini menggunakan

penelitian pustaka dan lapangan, teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah wawancara, observasi, studi dokumenter dan studi

pustaka. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada 3 jenis gadai yang

sering dilaksanakan masyarakat desa Argapura yaitu gadai kendaraan,

pepohonan, dan tanah (sawah dan kebun), namun tidak ada data yang

valid mengenai barang dan jumlah gadai di desa tersebut. Dan hasil

analisisnya menyatakan bahwa praktik gadai di desa Argapura

mengandung riba dan haram untuk diteruskan karena beberapa hal,

yakni para penerima gadai di desa Argapura bermaksud mencari

keuntungan, tidak terdapat ketentuan waktu kecuali penggadaidapat

melunasi pinjamannya, dan penerima gadai dapat mengambil manfaat

dari barang gadai dengan sepuas-puasnya walaupun tidak

mengeluarkan biaya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang

penulis lakukan adalah meneliti praktik gadai dan dianalisis

berdasarkan hukum Islam, perbedaannya praktik gadai yang diteliti

oleh Sarki adalah seluruh praktik gadai yang dilakukan masyarakat

desa Argapura, sedangkan penulis fokus pada praktik gadai sawah

(55)

2. Pada tahun 2012 telah ditulis pula skripsi atas nama Kuroh (Fakultas

Syariah IAIN Walisongo Semarang) dengan judul“Analisis Hukum

Islam terhadap Pemanfaatan Sawah Gadai (Persepsi Ulama Salem

terhadap Praktik Gadai Sawah di Desa Banjaran, Salem, Brebes)”.

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis persepsi ulama

kecamatan Salemterhadap pemanfaatan sawah gadai yang

dilaksanakan di desa Banjaran, kecamatan Salem, kabupaten Brebes.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah field research, menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi dan wawancara.Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

Data primerberupa hasil wawancara dengan para ulama, penggadaidan

penerima gadai. Sementara sumber data sekunder berupa dokumen,

buku, catatan dan sebagainya. Metode analisis data yang digunakan

adalah metode analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa ada 2 kelompok ulama Salemyang

memiliki persepsi berbeda tentang pemanfaatan sawah gadai. Pertama,

kelompok yang memiliki persepsi bahwa pemanfaatan sawah gadai

oleh penerima gadai yang dilaksanakan di desa Banjaran tersebut

diperbolehkan dan tidak termasuk ke dalam kegiatan eksploratif.

Kedua, kelompok yang memiliki persepsi bahwa pemanfaatan sawah

gadai oleh penerima gadai di desa Banjaran tersebut tidak

diperbolehkan meskipun hasil yang diperoleh hanya sedikit saja,

(56)

pengambilan manfaat dapat dikategorikan sebagai riba. Persamaan

penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah meneliti

praktik gadai dan dianalisis berdasarkan hukum Islam, perbedaannya

adalah Kuroh hanya memfokuskan pada pemanfaatan sawah gadai di

desa Banjaran, sedangkan penulis meneliti seluruh aspek yang

berhubungan dengan praktik gadai sawah di desa Simpar.

3. Pada tahun 2013 juga telah ditulis skripsi atas nama Nurhabibah

(Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta) dengan judul “Analisis

Dampak Perekonomian dalam Gadai Sawah di Kalangan Petani

Muslim (Studi di Desa Karang Patri Kecamatan Pebayuran Kabupaten

Bekasi)”.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan

menganalisisdampak perekonomian di kalangan petani muslim yang

menggadaikan sawahnya. Variabel yang menjadi fokusnyaadalah

pendapatan petani sebelum menggadaikan sawah (X1) dan pendapatan

petani sesudah menggadaikan sawah (X2). Data yang digunakan dalam

penelitian ini diperoleh dari hasilpenyebaran kuesioner dan wawancara

dengan pihak terkait. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan

uji validitas dan uji reliabilitas yang menggunakan aplikasi SPSS 17,

juga menggunakan uji wilcoxon untuk mengetahui besar perbedaan suatu data sebelum dan sesudah menggadaikan sawah yang kemudian

diberi ranking. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada dampak

penurunan perekonomian pada petani muslim yang menggadaikan

(57)

yaitu 5,510 ≥ 1,645 sehingga hipotesis nol ditolak, hal ini terjadi

karena ketika petani menggadaikan sawahnya, mereka umumnya

mengalami penurunan perekonomian. Tidak hanya dilihat dari

pendapatan yang turun secara finansial, tetapi juga perpindahan

pekerjaan petani yang menggadaikan sawahnya menjadi buruh tani,

TKI, dan sebagainya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang

penulis lakukan adalah meneliti para petani muslim yang melakukan

gadai sawah. Adapun perbedaannya adalah Nurhabibah menganalisis

dampak perekonomian yang timbul di kalangan para petani desa

Karang Patri setelah menggadaikan sawahnya dengan metode

kuantitatif, sedangkan penulis menganalisis kesesuaian praktik gadai

sawah para petani desa Simpar dengan fikih muamalah menggunakan

metode kualitatif.

4. Terakhir, pada tahun 2014 telah ditulis skripsi atas nama Syahrul

Munir Abdul Hakim (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta)

dengan judul“Aplikasi Gadai Masyarakat Muslim (Studi pada

Masyarakat RW. 03 Kelurahan Cirendeu Kecamatan Ciputat

Timur)”.Skripsi ini bertujuan untuk mengidentifikasi aplikasi gadai di

kalangan masyarakat muslim RW. 03 kelurahan Cirendeu kecamatan

CiputatTimur kota Tangerang Selatan, disertai dengan analisis

kesesuaian aplikasi gadai tersebut dengansyariat Islam. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kombinasi antara kualitatif dan kuantitatif.

(58)

deskriptif analisis. Dengan statistik deskriptif, data disajikan dalam

bentuk tabel dan uraian mengenai hal-hal yang terdapat dalam aplikasi

gadai. Deskriptif analisis memberikan gambarandan informasi

terhadap fakta aplikasi gadai, juga memberikan penilaian berdasarkan

pendapat ulama fikih. Hasil penelitian inimenunjukkan bahwa dalam

transaksi gadai masyarakat muslim kelurahan Cirendeu terdapat

hal-hal yang sejalan dengan pendapat ulama fikih seperti rukun dan

syarat-syarat gadai, penyerahan barang gadai, tanggung jawab rusaknya

barang gadai dan berakhirnya gadai. Adapula yang bertentangan

dengan pendapat ulama fikih seperti imbalan dan pemanfaatan barang

gadai. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis

lakukan adalah meneliti praktik gadai dan dianalisis berdasarkan

hukum Islam, perbedaannya praktik gadai yang diteliti oleh Syahrul

Munir Abdul Hakim adalah seluruh praktik gadai yang dilakukan

masyarakat RW. 03 kelurahan Cirendeu, sedangkan penulis fokus pada

(59)
[image:59.595.127.514.137.486.2]

BAB III

GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR

A. Letak Geografis

Secara geografis desa Simpar merupakan bagian dari kecamatan

Cipunagara kabupaten Subang provinsi Jawa Barat dengan batas-batas

wilayah:

1. Sebelah utara : desa Sukadana, kecamatan Compreng

2. Sebelah selatan : desa Jati, kecamatan Cipunagara

3. Sebelah barat : desa Kamarung, kecamatan Pagaden

4. Sebelah timur : desa Kosambi, kecamatan Cipunagara

Luas wilayah desa Simpar adalah 835,415 ha yang terdiri dari:

1. Luas pemukiman : 145,716 ha

2. Luas persawahan : 614,800 ha

3. Luas kuburan : 2,474 ha

4. Luas pekarangan : 68,483 ha

5. Luas taman : 2,526 ha

Adapun jarak desa Simpar dari pusat pemerintahan adalah:

1. Jarak dari kantor desa ke dusun terjauh : 3 km

2. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan: 7 km

3. Jarak dari ibukota kabupaten : 18 km

4. Jarak dari ibukota provinsi : 80 km

(60)

Desa Simpar terdiri dari 5 dusun yaitu dusun Simpar, Kacepet, Babakan,

Kunir, dan Lampegan yang terbagi ke dalam 12 RW dan 31

Gambar

GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR
Tabel 3.8 Prasarana Pendidikan.................................................................52
GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR
Tabel 3.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari murtahin selaku pihak yang melaksanakan perjanjian dalam pelaksanaan gadai sawah di Desa Dadapayam telah sesuai atau sah menurut pandangan hukum

Maka peneliti bertujuan untuk mendiskripsikan secara jelas terkait masalah pelaksanaan gadai sawah di Desa Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang, untuk

Praktik Gadai Motor Berstatus Sewa Beli Di Dusun Ngenden Desa Banaran Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo pada praktiknya penggadai (rahīn) mendatangi

Praktik Pemanfaatan Barang Jaminan Tanah Oleh Penerima Gadai Dalam Perjanjian Hutang Piutang di Desa Sendangharjo Lamongan Praktik gadai tanah sawah yang di lakukan oleh masyarakat

Maka peneliti bertujuan untuk mendiskripsikan secara jelas terkait masalah pelaksanaan gadai sawah di Desa Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang, untuk

Dari hasil penelitan yang dilakukan bahwa pemanfaatan tanah sawah gadai yang terjadi dalam praktek gadai tanah di dalam masyarakat Desa Bajur Kecamatan Waru Kabupaten

Abstrak: Praktik akad gadai yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Mempura Kabupaten Siak adalah gadai lahan/sawah. Mereka menyebut sebagai gadai, namun

Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Tanah Pertanian dan Pemanfaatannya oleh Penerima Gadai di Desa Gununganyar Kecamatan Soko Kabupaten Tuban. Analisis hukum