• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NISWAH AFIFAH 108101000050

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

ii

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Desember 2012

Niswah Afifah, NIM : 108101000050

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA PROSES FINISHING MEUBEL KAYU DI WILAYAH CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012.

120 halaman, xvi halaman, 6 lampiran

ABSTRAKSI

Dermatitis kontak akibat kerja adalah penyakit kulit dimana pajanan di tempat kerja merupakan faktor penyebab utama serta faktor kontributor. Penyebabnya adalah pajanan substansi dari luar tubuh, baik substansi iritan maupun substansi allergen. Pekerja proses finishing meubel kayu menggunakan bahan kimia berupa dempul, zat pewarna, sanding sealer, melamic clear, dan hidrogen peroksida yang meningkatkan risiko dermatitis kontak.

.Berdasarkan studi pendahuluan pada 15 pekerja proses finishing meubel kayu, didapatkan 9 orang (60%) mengalami dermatitis kontak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit) yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. Jenis penelitian ini adalah epidemiologi analitik dengan pendekatan cross sectional study. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling dengan jumlah sampel 82 orang. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner, lembar pemeriksaan dokter, daily activity recall dan lembar observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 33 orang (40.2%) pekerja proses finishing meubel kayu mengalami dermatitis kontak yang berlokasi di punggung tangan, telapak tangan, sela jari tangan, dan pergelangan tangan. Analisis bivariat yang dilakukan dengan uji chi square, t-test independent, dan mann-whitney menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan dermatitis kontak adalah usia (pvalue : 0.000), masa kerja (pvalue : 0.000), riwayat atopi (pvalue : 0.009), dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04).

Untuk mengurangi risiko dermatitis kontak, disarankan bagi pengelola untuk menyediakan sarana dan prasarana personal hygiene yang baik dan alat pelindung diri (sarung tangan) yang sesuai. Pekerja diharuskan untuk menggunakan sarung tangan saat bekerja dan menjaga personal hygiene dengan baik.

(4)

iii FINISHING PROCESS WORKERS OF WOOD FURNITURE AT EAST CIPUTAT IN 2012

120 pages, xvi pages, 6 attachments

ABSTRACT

Occupational contact dermatitis is a skin disease where exposure in the workplace become a major factor as well as a contributing factor. The cause is exposure to substances from outside the body, both the irritant substance and allergen. Finishing prosses workers of wood furniture uses chemicals such as wood filler, wood stain, sanding sealer, melamic clear, and hydrogen peroxide which increases the risk of contact dermatitis. Based on the preliminary study on 15 finishing prosses workers, obtained that 9 (60%) of workers were contact dermatitis.

This study aimed to determine the factors (long-term contact, contact frequence, age, period of empolyment, history of allergy, history of atopy, and history of previous skin disease) related with the incidence of contact dermatitis on finishing process workers of wood furniture at East Ciputat in 2012. This study is a kind of analytic epidemiology with cross sectional study approach. Sampling was carried out by total sampling method with a total sample of 82 people. Instruments of this research are a questionnaire, the doctor's examination sheet, daily activity recall and observation sheet.

The results of this study indicated that 33 people (40.2%) of finishing process workers in wood furniture were suffered from contact dermatitis and most were located on the back of the hands, palms, between fingers, and wrists. Bivariate analyzes were conducted with chi square, independent t-test, and mann whitney test showed that the variables related with contact dermatitis on finishing process workers of wood furniture are age (pvalue: 0.000), period of employment (pvalue: 0.000), a history of atopy (pvalue: 0.009), and a history of previous skin disease (pvalue: 0.04).

To reduce the risk of contact dermatitis in finishing prosses workers, manager of wood furniture have to provide facilities and infrastructure of personal hygiene and suitable gloves. Then workers are suggested to use the gloves while working and maintaining a good personal hygiene.

(5)
(6)
(7)

vi

Nama : Niswah Afifah

Tempat, Tanggal, Lahir : Jakarta, 30 Juli 1990

Alamat : Jalan Warung Jati Timur 2 B No : 64 RT : 005 RW : 04 Kelurahan : Kalibata

Kecamatan : Pancoran Kotamadya : Jakata Selatan

Kode Pos : 12740

Agama : Islam

Golongan Darah : AB

No. Telepon : (021) 7981425 / 085694924393

Email : niezniswah@gmail.com

Riwayat Pendidikan

1994 – 1996 : TK Darul Hikmah, Jakarta Selatan 1996 – 2002 : SDI An Nizomiyah, Jakarta Selatan

(8)

vii

ِمي ِحَرلا

ِنمْحَرلا

ِها

ِمْسِب

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya skripsi yang berjudul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan kelulusan program studi SI Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam pelaksanaan dan pembuatan skripsi ini, penulis telah dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karenanya penulis ingin sekali mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Keluarga tercinta, Mama dan Ayah yang selalu memberikan nasihat dan semangat agar selalu menjadi orang yang mengamalkan ilmunya. Serta kakak dan adik-adikku yang senantiasa mendukung setiap kegiatan yang dilakukan. 2. Prof. Dr. dr. MK Tajudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS sebagai Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah membuka jalan pengetahuan Kesehatan Masyarakat yang luas.

4. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku pembimbing pertama dan penanggung jawab peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang secara tulus dan sabar membimbing dan memberikan semangat selama penyusunan skripsi. 5. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes selaku pembimbing kedua skirpsi. Terima

(9)

viii

kesah & suka-duka selama penyusunan skripsi ini.

7. Astrianda, Sofia Septiani, Novia Zulfa Hanum, dan Riska Ferdian. Terima kasih banyak atas informasi dan dukungan yang sangat berharga selama ini. 8. Sahabat-sahabat tercinta di Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, K3 dan Gizi, semoga keberkahan selalu menyertai langkah kita.

9. Ebi Nurhardianto, terima kasih banyak atas partisipasinya dalam membantu penyusunan skripsi ini.

Jakarta, Desember 2012

(10)

ix 1. Manfaat Bagi Pengelola ... 11

2. Manfaat Bagi Peneliti ... 11

F. Ruang Lingkup ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Industri Meubel Kayu 1. Pengertian Meubel Kayu ... 13

2. Proses Produksi Industri Meubel Kayu ... 13

(11)

x

a. Dermatitis Kontak Iritan ... 18

b. Dermatitis Kontak Alergik ... 19

4. Gejala Klinis ... 20

a. Dermatitis Kontak Iritan ... 21

b. Dermatitis Kontak Alergik ... 22

5. Patofisiologi a. Anatomi Kulit ... 24

b. Mekanisme Terjadinya Dermatitis Kontak ... 29

6. Diagnosis a. Anamnesa ... 32

b. Pemeriksaan Klinis ... 33

c. Pemeriksaan Penunjang ... 33

7. Epidemiologi Dermatitis Kontak ... 36

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak 1. Bahan Kimia ... 39

(12)

xi

17.Personal Hygiene ... 54

D. KerangkaTeori ... 56

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep ... 58

B. Definisi Operasional ... 63

C. Hipotesis ... 66

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 67

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 67

C. Populasi dan Sampel ... 67

D. Instrumen Penelitian 1. Lembar Pemeriksaan Fisik ... 71

2. Daily Activity Recall ... 71

3. Self Administered Questionnaire ... 71

4. Lembar Observasi ... 72 A. Gambaran Lokasi Penelitian ... 76

(13)

xii

2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak pada Pekerja Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu

di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012 ... 78

C. Analisis Bivariat ... 82

1. Hubungan Antara Lama kontak dengan Dermatitis Kontak ... 85

2. Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak ... 85

3. Hubungan Antara Usia dengan Dermatitis Kontak ... 86

4. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak ... 86

5. Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak ... 86

6. Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak ... 87

7. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak ... 87

BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian ... 89

B. Kejadian Dermatitis Kontak... 90

C. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak ... 95

1. Hubungan Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak ... 95

2. Hubungan Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak ... 98

3. Hubungan Usia dengan Dermatitis Kontak ... 102

4. Hubungan Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak ... 104

5. Hubungan Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak ... 106

6. Hubungan Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak ... 109

7. Hubungan Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak 111 BAB VII SIMPULAN & SARAN A. Simpulan ... 115

B. Saran ... 116

(14)

xiii

Tabel 2.1 Iritan dan Allergen Pekerja Yang Umum ... 40 Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 63 Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ... 70 Tabel 5.1 Gambaran Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses Finishing

Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012... 78 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Variabel Faktor-Faktor (lama kontak,

frekuensi kontak, usia, dan masa kerja) pada Pekerja Proses

Finishing Meubel Kayu ... 79 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Variabel Faktor-Faktor (Riwayat alergi,

riwayat atopi, riwayat penyakit kulit) pada Pekerja

Proses Finishing Meubel Kayu ... 79 Tabel 5.4 Hubungan Faktor – Faktor (Lama kontak dan Usia) dengan

Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses Finishing

Meubel Kayu ... 83 Tabel 5.5 Hubungan Faktor – Faktor (Frekuensi kontak dan Masa Kerja)

dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses

Finishing Meubel Kayu ... 84 Tabel 5.6 Hubungan Faktor – Faktor (Riwayat alergi, Riwayat atopi,

Riwayat penyakit kulit, dan Personal hygiene) dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses

Finishing Meubel Kayu ... 84

(15)

xiv

(16)

xv

(17)

xvi Lampiran 2 Lembar Observasi

Lampiran 3 Lembar Pemeriksaan Fisik Lampiran 4 Daily Activity Recall

(18)

1 A. Latar Belakang

Penyakit kulit akibat kerja adalah penyakit kulit yang diakibatkan oleh pajanan substansi kimiawi di lingkungan tempat kerja. Penyakit kulit akibat kerja atau yang didapat saat melakukan pekerjaan banyak penyebabnya antara lain, agen sebagai penyebab penyakit kulit tersebut yang berupa agen fisik, kimia, maupun, biologis (Roebidin, 2008). Walaupun tidak menyebabkan kematian, penyakit kulit sangat mengganggu bagi kenyamanan penderitanya. Oleh karena itu, penyakit kulit merupakan faktor yang sangat penting untuk terjadinya penurunan produktifitas kerja dan meningkatnya angka cuti sakit. Secara klinis, penyakit kulit akibat kerja dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu dermatitis kontak dan dermatitis non-ekzema (Harrianto, 2008).

(19)

Dermatitis kontak iritan terjadi pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis kontak alergik hanya sekitar 10-20% (Keefner, 2004).

Dermatitis kontak merupakan penyakit akibat kerja yang paling sering ditemukan, kira-kira 40% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah penyakit kulit dermatitis kontak (W.J. Cunliffe dalam Harianto, 2008). Gangguan kesehatan berupa dermatitis kontak akibat kerja akan mengurangi kenyamanan dalam melakukan tugas dan akhirnya akan mempengaruhi proses produksi, secara makro akan mengganggu proses pembangunan secara keseluruhan. Menurut Fregert (1988), beberapa pekerjaan yang mempunyai risiko terjadi dermatitis kontak adalah petani, industri mebel dan petukangan kayu, pekerja bangunan, tukang las dan cat, salon dan potong rambut, tukang cuci, serta industri tekstil. Kemudian referensi lain mengemukakan bahwa pekerjaan dengan risiko besar untuk terpapar bahan iritan yaitu pemborong, pekerja industri mebel, pekerja rumah sakit (perawat, cleaning services, tukang masak), penata rambut, pekerja industri kimia, pekerja logam, penanam bunga, dan pekerja di gedung (Perdoski, 2009).

(20)

bahwa di negara maju, dermatitis kontak ditemukan lebih dari 90% dari seluruh kasus penyakit kulit akibat kerja (Harrianto, 2008). Biro Statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa penyakit kulit menduduki sekitar 24% dari seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan (Lestari dkk, 2007). Sedangkan di Jerman, angka insiden dermatitis kontak iritan adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009). Bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh S.Lan dkk, ditemukan bahwa 3.8% pekerja dari 479 pekerja industri meubel di Singapura mengalami penyakit dermatitis kontak.

(21)

(40 orang) pekerja industri otomotif yang menggunakan bahan kimia mengalami dermatitis.

Penelitian yang dilakukan pada pekerja penebang kayu di Palembang, 30% pekerja mengalami dermatitis kontak dan 11,8% pekerja perusahaan kayu lapis di Palembang menderita dermatitis kontak (Siregar, 1996). Laporan dari poliklinik perusahaan pembuatan triplek (plywood) di Kalimantan, menemukan 10% pekerjanya mengalami penyakit kulit akibat kerja. Sedangkan hasil penelitian Astono & Sudardja (2002) yang dilakukan pada pekerja industri plywood di Kalimantan Selatan, menemukan bahwa 35% (696 orang) dari 2000 sampel mengalami penyakit kulit, dan 21,3% (148 orang) diantaranya mengalami dermatitis kontak. Kejadian dermatitis kontak didukung oleh berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya (Ruhdiyat, 2006)

(22)

mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985;Rietschel, 1985). Dermatitis kontak umumnya terjadi pada pekerja yang kontak dengan bahan kimia iritan ataupun allergen pada berbagai bidang pekerjaan.

Pekerja meubel kayu adalah pekerja yang menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan baku/utama dalam proses produksinya serta menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional (Depkes, 2002). Kayu yang merupakan bagian dari struktur tumbuh-tumbuhan tersusun dari zat organik, sehingga debu kayu dapat digolongkan ke dalam debu organik. Disamping itu, beberapa golongan kayu yang digunakan dalam pembuatan meubel, mengandung substansi kimia yang dapat memberikan efek alergi dan toksik pada manusia seperti kayu johar, kayu ebony, kayu rengas, kayu kasasi, sehingga debu dan getah kayu tersebut dapat menimbulkan dermatitis, konjungtivitis, asma rinitis dan lain-lain (Purnomo, 2007 dalam Yunus, 2010). Kayu digunakan dalam pembuatan meubel melalui berbagai tahapan proses sehingga menjadi meubel yang layak.

Pada dasarnya, proses pembuatan meubel dari kayu melalui lima proses utama yaitu proses penggergajian kayu, penyiapan bahan baku, proses penyiapan komponen, proses perakitan dan pembentukan (bending), dan proses penyelesaian akhir (Yunus, 2010). Dalam melaksanakan proses penyelesaian akhir meubel yang terdiri dari (1) pengamplasan / penghalusan permukaan meubel, (2) pendempulan lubang dan sambungan dengan dempul, (3) pemutihan meubel dengan H

(23)

(5) pengecatan dengan “wood stain” atau bahan pewarna yang lain, dan (6)

pengkilapan dengan menggunakan melamic clear (Depkes, 2002), pekerja menggunakan berbagai jenis bahan kimia yang dapat menimbulkan dermatitis kontak pada pekerja. Hal tersebut diperkuat dengan pelaksanaan studi pendahuluan terlebih dahulu.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 15 pekerja proses finishing meubel kayu di Kecamatan Ciputat Timur, ditemukan bahwa 9 orang (60%) pekerja meubel kayu yang melakukan keseluruhan proses finishing atau penyelesaian akhir mengalami dermatitis kontak. Dengan ciri spesifik sebagai berikut, 9 orang (60%) mengalami gatal-gatal, 5 orang (33.3%) kemerahan, 3 orang (20%) ditemukan adanya tonjolan isi air yang gatal, 4 orang (27%) perih, 3 orang (20%) kulit tangan mengelupas dan 33.3% (5 orang) ditemukan adanya bentol/tonjolan padat yang gatal. Hasil studi pendahuluan diperoleh dari wawancara yang diperkuat dengan pemeriksaan oleh dokter. Berdasarkan observasi lapangan di ketahui bahwa 15 orang (100%) pekerja proses finishing meubel kayu tidak menggunakan alat pelindung diri yang berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaannnya.

(24)

merupakan kawasan yang lebih dulu terkenal sebagai pusat meubel kayu dibandingkan dengan 3 wilayah lain di Jakarta yakni Kemang, Klender, dan Pondok Pinang (Aljihad, 2012). Kemudian hasil penelitian ini akan digunakan sebagai data based pelaksanaan program intervensi di wilayah sekitar Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta dimana diketahui bahwa Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah terletak di wilayah kecamatan Ciputat Timur.

Berdasarkan latar belakang yang diperkuat dengan hasil studi pendahuluan mengenai dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak yang dialami para pekerja proses finishing meubel kayu. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dilakukannya penelitian. Sehingga peneliti bermaksud meneliti mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Kecamatan Ciputat Timur. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat dilakukan tindakan preventif untuk mencegah kejadian dermatitis kontak pada pekerja industri meubel kayu.

B. Rumusan Masalah

(25)

ditemukan bahwa 9 pekerja (60%) proses finishing meubel kayu yang melakukan keseluruhan proses finishing/penyelesaian akhir mengalami dermatitis kontak. Berdasarkan observasi lapangan di ketahui bahwa 100% (15 orang) pekerja proses finishing meubel kayu tidak menggunakan APD (sarung tangan) saat melakukan pekerjaannnya. Sehingga perlu adanya penelitian untuk mengetahui apa sajakah faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

2. Bagaimana gambaran (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya dan personal hygiene) pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

3. Apakah ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

4. Apakah ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

(26)

6. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

7. Apakah ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

8. Apakah ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

9. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit kulit yang ada sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

(27)

dan personal hygiene) pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

c. Diketahuinya hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

d. Diketahuinya hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

e. Diketahuinya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

f. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

g. Diketahuinya hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

h. Diketahuinya hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.

(28)

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Pengelola Meubel Kayu

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman pengelola meubel kayu mengenai penyakit kulit akibat kerja dermatitis kontak yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, sehingga pengelola dan pekerja dapat melakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya penyakit kulit akibat kerja yaitu dermatitis kontak. 2. Manfaat Bagi Peneliti

Sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh peneliti dan peneliti lain mengenai dermatitis kontak serta sebagai sarana dalam mengaplikasikan teori yang telah dipelajari semasa kuliah khusunya mengenai penyakit kulit akibat kerja dermatitis kontak. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai data based pelaksanaan program intervensi dermatitis kontak pada pekerja.

F. Ruang Lingkup

(29)
(30)

13 A. Gambaran Umum Industri Meubel Kayu

1. Pengertian Meubel Kayu

Meubel kayu adalah istilah yang digunakan untuk perabot rumah tangga yang berfungsi sebagai tempat penyimpan barang, tempat duduk, tempat tidur, tempat mengerjakan sesuatu dalam bentuk meja atau tempat menaruh barang di permukaannya, misalnya meubel kayu sebagai tempat penyimpan biasanya dilengkapi dengan pintu, laci dan rak, contoh lemari pakaian, lemari buku dan lain-lain. Meubel kayu dapat terbuat dari kayu, bambu, logam, plastik dan lain sebagainya. Meubel kayu sebagai produk artistik biasanya terbuat dari kayu pilihan dengan warna dan tekstur indah yang dikerjakan dengan penyelesaian akhir yang halus. Menurut Depkes RI (2002), industri meubel kayu adalah pekerja sektor informal yang menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan baku/utama dalam proses produksinya serta menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional.

2. Proses Produksi Meubel Kayu

(31)

a. Penggergajian Kayu

Bahan baku kayu tersedia dalam bentuk kayu gelondongan sehingga masih perlu mengalami penggergajian agar ukurannya menjadi lebih kecil seperti balok atau papan. Pada umumnya, penggergajian ini menggunakan gergaji secara mekanis atau manual dan juga menimbulkan bising.

b. Penyiapan Bahan Baku

Proses ini dilakukan dengan menggunakan gergaji baik dalam bentuk manual maupun mekanis, kampak, parang, dan lain-lain. Proses ini juga menghasilkan debu terutama ukuran yang besar karena menggunakan mata gergaji atau alat yang lainnya yang relatif kasar serta suara bising. c. Penyiapan Komponen

Kayu yang sudah dipotong menjadi ukuran dasar bagian meubel, kemudian dibentuk menjadi komponen-komponen meubel sesuai yang diinginkan dengan cara memotong, meraut, mengamplas, melobang, dan mengukir, sehingga jika dirakit akan membentuk meubel yang indah dan menarik.

d. Perakitan dan Pembentukan

(32)

e. Finishing/Penyelesaian Akhir

Kegiatan yang dilakukan pada penyelesaian akhir ini meliputi: (1) Pengamplasan / penghalusan permukaan meubel, (2) pendempulan lubang dan sambungan, (3) pemutihan meubel dengan H

2O2, (4) pemlituran atau “sanding sealer”, (5) pengecatan dengan “wood stain” atau bahan pewarna yang lain, dan (6) pengkilapan dengan menggunakan melamic clear. Pada bagian ini menimbulkan debu kayu dan bahan kimia serta pewarna yang tersedia di udara, seperti H

2O2, sanding sealer, melamic clear, dan wood stain yang banyak menguap dan beterbangan di udara, terutama pada penyemprotan yang menggunakan sprayer.

f. Pengepakan

Proses pengepakan sebenarnya bukan lagi bagian pembuatan meubel karena sebelum masuk proses ini meubel telah selesai. Tahap ini merupakan langkah penyiapan meubel untuk dipasarkan dan hanya ditemukan terutama pada industri meubel sektor formal.

B. Dermatitis Kontak 1. Definisi

(33)

lagi pada masyarakat industri. Dalam era industrialisasi saat ini, terdapat kecendrungan untuk semakin banyak menggunakan bahan-bahan industri, yang merupakan substansi allergen dan iritan, sehingga menyebabkan kenaikan prevalensi dermatitis kontak. Di negara maju, penyakit kulit ini ditemukan lebih dari 90% dari seluruh kasus penyakit kulit akibat kerja (Harrianto, 2008).

Menurut Djuanda (1987), Dermatitis kontak ialah dermatitis karena kontaktan eksternal yang menimbulkan fenomen sensitisasi atau toksik. Sedangkan menurut John, SC (1998) dalam Occupational Dermatology, dermatitis kontak akibat kerja didefinisikan sebagai penyakit kulit dimana pajanan di tempat kerja merupakan faktor penyebab yang utama serta faktor kontributor. Menurut Permana (2010), tangan merupakan lokasi tersering terkena dermatitis. Lebih dari sepertiga penyakit kulit akibat kerja berlokasi ditangan (Wilde dkk, 2008).

2. Jenis Dermatitis Kontak

Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2003).

a. Dermatitis kontak akibat iritasi

(34)

disebabkan oleh substansi iritan yang kuat seperti asam dan basa konsentrasi tinggi dapat menyebabkan derma kontak iritan akut, tetapi bila disebabkan oleh substansi iritan yang lemah seperti deterjen dan air, menifestasinya sebagai dermatitis kontak irtasi kronik.

Dermatitis kontak akibat iritasi merupakan jenis yang paling umum dijumpai di antara penyakit kulit akibat kerja lainnya, meliputi kira-kira dua pertiga kasus penyakit kulit akibat kerja. Penyakit ini lebih sering terjadi di industri yang berkaitan dengan pekerjaan yang basah (berkaitan dengan air) seperti catering, penyepuhan elektrik, dan industri yang banyak menggunakan bahan deterjen (Harrianto, 2008).

b. Dermatitis kontak alergi

(35)

Manifestasinya mungkin akut, subakut, atau kronik tergantung sensitvitas individu (Harrianto, 2008).

3. Etiologi

Banyak agen yang dapat menyebabkan dermatitis kontak. Beberapa contohnya yaitu, sekret serangga, lipas, dan sebagainya serta getah tumbuh-tumbuhan dapat menimbulkan dermatitis venenata, yang berbentuk linier. Bahan kimia terdapat dalam banyak bahan. Soda dalam sabun, zat-zat detergen (misalnya lisol), desinfektan dan zat warna (untuk pakaian, sepatu) dapat mengakibatkan dermatitis. Dermatitis akibat kerja, misalnya di perusahaan batik, percetakan, pompa bensin, bengkel, studio poto, salon kecantikan, pabrik karet, pabrik plastik, dan sebagainya. Pada dermatitis akibat kerja seringkali nampak pula fisura, skuama, dan paronikia sebagai akibat iritasi kronik (Djuanda, 1987).

a. Dermatitis Kontak Iritan

(36)

Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Pada orang dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998). b. Dermatitis Kontak Alergik

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2003).

(37)

Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit.

Dupuis dan Benezra membagi jenis-jenis hapten berdasarkan fungsinya yaitu:

1) Asam, misalnya asam maleat. 2) Aldehida, misalnya formaldehida.

3) Amin, misalnya etilendiamin, para-etilendiamin. 4) Diazo, misalnya bismark-coklat, kongo- merah. 5) Ester, misalnya Benzokain

6) Eter, misalnya benzil eter 7) Epoksida, misalnya epoksi resin

8) Halogenasi, misalnya DNCB, pikril klorida. 9) Quinon, misalnya primin, hidroquinon. 10)Logam, misalnya Ni2+, Co2+,Cr2+, Hg2+. 11)Komponen tak-larut, misalnya terpentin 4. Gejala Klinis

(38)

a. Dermatitis Kontak Iritan

1) Dermatitis kontak iritan akut

Penyebabnya iritan kuat, biasanya karena kecelakaan. Kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel, atau bula. Luas kelainan umumnya sebatas daerah yang terkena, berbatas tegas. Pada umumnya, kelainan kulit muncul segera, tetapi ada sejumlah bahan kimia yang menimbulkan reaksi akut lambat, misalnya podofilin, antralin, asam fluorohidrogenat, sehingga dermatitis kontak iritan akut lambat. Kelainan kulit baru terlihat setelah 12-24 jam atau lebih. Contohnya adalah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih pada esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sorenya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.

2) Dermatitis kontak iritan kronis

(39)

berminggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting.

Dermatitis iritan kumulatif ini merupakan dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan. Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian. Banyak pekerjaan yang berisiko tinggi yang memungkinkan terjadinya dermatitis kontak iritan kumulatif, misalnya: mencuci, memasak, membersihkan lantai, kerja bangunan, kerja di bengkel, dan berkebun.

b. Dermatitis Kontak Alergik

(40)

ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003).

Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia karet tertentu (phenyl-isopropyl-p-phenylenediamine) bisa menyebabkan dermatitis purpura, dan derivatnya dapat megakibatkan dermatitis granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat disebabkan oleh parfum dan kosmetik (Fregert, 1998).

Gejala klinis dermatitis kontak alergik yang dijelaskan pada tiap fase (Sularsito & Subaryo, 1994 dalam Trihapsoro, 2003) :

1) Fase akut.

Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya kontak dengan bahan penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul bervariasi ada yang ringan ada pula yang berat. Pada yang ringan mungkin hanya berupa eritema dan edema, sedang pada yang berat selain eritema dan edema yang lebih hebat disertai pula vesikel atau bula yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi. Lesi cenderung menyebar dan batasnya kurang jelas. Keluhan subyektif berupa gatal. 2) Fase Sub Akut

(41)

3) Fase Kronis

Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari fase akut yang hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi, papula, skuama, terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi, krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini sulit sembuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak dikenal.

5. Patofisiologi a. Anatomi Kulit

(42)

Gambar 2.1 Anatomi Kulit

Sumber : http://www.pustakasekolah.com/struktur-dan-anatomi-kulit.html

Kulit merupakan indera peraba. Kulit adalah alat indera kita yang mampu menerima rangsangan temperatur suhu, sentuhan, rasa sakit, tekanan, tekstur, dan lain sebagainya. Pada kulit terdapat reseptor yang merupakan percabangan dendrit dari neuron sensorik yang banyak terdapat di sekitar ujung jari, ujung lidah, dahi, dll (Yusri, 2011). Kulit secara garis besar tersusun atas 3 lapisan utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapisan subkutis (hipodermis) dengan penjelasan sebagai berikut (Wasitaatmadja, 1987). :

1) Lapisan Epidermis

(43)

a) Stratum Korneum

Lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berupa menjadi keratin (zat tanduk).

b) Stratum Lusidum

Terdapat langsung dibawah lapisan stratum korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki.

c) Stratum Granulosum

Merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki.

d) Stratum Spinosum

(44)

yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus bizzozero. Diantara sel-sel spinosum terdapat pula sel langerhans. Sel-sel stratum spinosum mengandung banyak glikogen.

e) Stratum Basale

Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun vertikel pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengadakan mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu : (1) Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma

basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan yang lain oleh jembatan antar sel.

(2) Sel pembentuk melanin atau clear cell merupakan sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen (melanosomes).

2) Lapisan Dermis

(45)

dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni :

a) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.

b) Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol kea rah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksilisin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis.

3) Lapisan Subkutis

(46)

darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama tergantung pada lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan.

b. Mekanisme terjadinya dermatitis kontak 1) Dermatitis Kontak Iritan

Dermatitis kontak iritan timbul setelah pemaparan tunggal atau pemaparan berulang pada agen yang sama. Beberapa mekanisme dapat menjadi penyebab terjadinya dermatitis kontak iritan. Pertama, bahan kimia mungkin merusak sel dermal secara langsung dengan absorpsi langsung melewati membrane sel kemudian merusak sistem sel.

(47)

dan mempengaruhi saraf (sehingga terasa sakit); leukotrien meningkatkan permeabilitas vaskuler di daerah tersebut (sehingga meningkatkan jumlah air dan terlihat bengkak) serta berefek kemotaktik kuat terhadap eosinofil, netrofil, dan makrofag. Mediator pada inflamasi akut adalah histamine, serotonin, prostaglandin, leukotrien, sedangkan pada inflamasi kronis adalah IL1, IL2, IL3,

TNFα2. Reaksi ini bukanlah akibat imun spesifik dan tidak

membutuhkan pemaparan sebelumnya agar iritan menampakan reaksi.

(48)

2) Dermatitis Kontak Alergik

Dermatitis Kontak Alergi merupakan reaksi inflamasi pada dermal akibat paparan allergen yang mampu mengaktifasi sel T, yang kemudian migrasi menuju tempat pemaparan. Tempat pemaparan biasanya daerah tubuh yang kurang terlindungi, namun allergen uroshiol yang terbawa dalam partikulat asap rokok mampu mempengaruhi tempat-tempat yang secara umum terlindungi. Selain itu, urosiol dapat aktif lama hingga 100 tahun, Penampakan dermatitis kontak alergik biasanya tidak langsung terlihat pada daerah tersebut sesaat setelah pemaparan karena allergen melibatkan reaksi imunologis yang membutuhkan beberapa tahap dan waktu.

(49)

antigen kemudian sel limfosit berproloferasi menghasilkan sel T limfosit tersensitisasi.

Setelah sistem imun tersensitisasi, maka dengan pemaparan selanjutnya akan menginduksi hipersensitifitas tertunda tipe IV, yang merupakan reaksi yang dimediasi oleh sel dan membutuhkan waktu 24-48 jam atau lebih. Dermatitis yang tertangani dan tidak tertangani, secara alami akan sembuh dalam 10-21 hari, karena adanya sistem imun (Crowe M.A & James W.D, 2001, dalam Sumantri, dkk, 2008). 6. Diagnosis

Terdapat tiga metode diagnosis yang dilakukan dalam mengidentifikasi dermatitis kontak. Metode-metode tersebut yaitu dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan juga pemeriksaan penunjang (Utomo, 2007).

a. Anamnesis

Agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan anamnesis dermatitis kontak akibat kerja perlu diperhatikan kategori-kategori sebagai berikut : 1) Penyakit ini muncul pada saat masa kerja yang terpajan oleh bahan

iritan atau setelah masa kerja dalam waktu yang tidak terlalu jauh. 2) Penyakit ini muncul pertama kali di daerah yang paling banyak

terpajan. Biasanya memberikan karakteristik tertentu.

(50)

4) Penyakit ini akan berubah atau hilang ketika sudah tidak terpajan lagi. 5) Penyakit ini akan segera muncul kembali jika pajanan dimulai lagi. 6) Morfologi dari penyakit ini akan konsisten sesuai dengan pajanannya. 7) Rekan kerja yang terkena pajanan juga akan mengalami penyakit

yang sama.

(The Chief Adviser Factories, 1965 dalam Utomo, 2007) b. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis dilakukan untuk melihat tanda-tanda yang muncul akibat dermatitis kontak pada kulit. Pada umumnya dermatitis kontak terjadi di daerah yang terpajan, tetapi tidak menutup kemungkinan lesi meluas ke area lain yang tidak terpajan secara langsung. Sebagian dermatitis muncul di daerah tangan dan lengan yaitu sebesar 90% di tangan. Karena tangan paling sering digunakan dalam pekerjaan. Pada awalnya dermatitis menyerang pada bagian epidermis yang tipis yaitu pada dorsum manus dan sela jari. Untuk bahan iritan yang bersifat airborne (fume, vapour) dapat menyerang dan menimbulkan kelainan di wajah, dahi, telinga, dan leher (Cohen, 1999).

c. Pemeriksaan Penunjang

(51)

Salah satu jenis pemeriksaan penunjang adalah dengan patch test (Firdaus, 2002).

Ketika suatu dermatitis kontak diindikasikan sebagai dermatitis kontak alergik biasanya digunakan patch test untuk mengetahui apakah penyakit itu adalah dermatitis kontak akibat kerja atau bukan. Uji berdasarkan teori yang menyatakan bahwa akan muncul eczematous dermatitis akut atau kronik jika diberikan agen sensitizing. Caranya dengan menempelkan (biasanya di punggung ataupun di lengan atas) material yang dianggap memberikan efek pada areal yang tidak terinfeksi selama 48 jam akan menyebabkan reaksi inflamasi. Jika hasil uji positif maka pekerja tersebut memilki alergi terhadap material yang diujikan (Cohen, 1999).

(52)

diuji bila diduga karena penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, sendal, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet/air. Lalu ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5-10 orang), untuk menyingkirkan kemungkinan iritasi.

Hal yang harus diperhatikan dalam uji tempel adalah :

1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat maka dapat terjadi reaksi "angry back" atau "excited skin", reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya makin memburuk.

2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan, sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes kecuali karena diduga urtikaria kontak.

3) Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemuadian dibaca; pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.

(53)

agar punggung selalu kering, setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.

5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang mempunyai riwayat urtikaria dadakan, karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis.

6) Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal (Bantas, 2009. Materi Presentasi Mata Ajar Anatomi Fisiologi).

7. Epidemiologi Dermatitis Kontak

Di Amerika Serikat, 90% klaim kesehatan akibat kelainan kulit pada pekerja diakibatkan oleh dermatitis kontak. Konsultasi dengan dokter kulit akibat dermatitis adalah sebesar 4-7%. Di Skandinavia yang telah lama memakai uji tempel sebagai standar, terlihat insiden dermatitis kontak lebih tinggi dari pada Amerika. Biro Statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa penyakit kulit menduduki sekitar 24% dari seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan (Lestari dkk, 2007). Sedangkan di Jerman, angka insiden dermatitis kontak iritan adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009).

(54)

sebesar 4.45%. Di RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang Kalimantan Barat pada tahun 1991-1992 dijumpai insiden dermatitis kontak sebanyak 17.76%. Sedangkan di RS. Dr. Pirngadi Medan insiden dermatitis kontak pada tahun 1992 sebanyak 37.54% tahun 1993 sebanyak 34.74% dan tahun 1994 sebanyak 40.05%. Dari data kunjungan pasien baru di RS. Dr. Pringadi Medan, selama tahun 2000 terdapat 3897 pasien baru di poliklinik alergi dengan 1193 pasien (30.61%) dengan diagnosis dermatitis kontak (Nasution dkk, 1994 dalam Sumantri dkk, 2008).

Dari bulan Januari hingga Juni 2001 terdapat 2122 pasien alergi dengan 645 pasien (30.40%) menderita dermatitis kontak. Walaupun demikian, kasus dermatitis kontak sebenarnya diperkirakan 10-50 kali lipat dari data statistik yang terlihat karena adanya kasus yang tidak dilaporkan. Selain itu perkiraan yang lebih besar tersebut juga diakibatkan oleh semakin meningkatnya perkembangan industri (Keefner, 2004 dalam Sumantri dkk, 2008)

(55)

ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009).

Berdasarkan jenis kelamin, dermatitis kontak iritan secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik (Hogan, 2009). Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi akibat kontak dengan bahan-bahan di tempat pekerjaan mencapai 25% dari seluruh dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) (Trihapsoro, 2003). Angka kejadian ini sebenarnya 20-50 kali lebih tinggi dari angka kejadian yang dilaporkan (National Institute of Occupational Safety and Health, 2006).

(56)

(40 orang) pekerja industri otomotif yang menggunakan bahan kimia mengalami dermatitis.

Penelitian yang dilakukan pada pekerja penebang kayu di Palembang, 30% pekerja mengalami dermatitis kontak dan 11,8% pekerja perusahaan kayu lapis di Palembang menderita dermatitis kontak (Siregar, 1996). Laporan dari poliklinik perusahaan pembuatan triplek (plywood) di Kalimantan, menemukan 10% pekerjanya mengalami penyakit kulit akibat kerja. Sedangkan hasil penelitian Astono & Sudardja (2002) yang dilakukan pada pekerja industri plywood di Kalimantan Selatan, menemukan bahwa 35% (696 orang) dari 2000 sampel mengalami penyakit kulit, dan 21,3%(148 orang) diantaranya mengalami dermatitis kontak.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak 1. Bahan Kimia

(57)

Tabel 2.1 Iritan dan Allergen Pekerja yang Umum

Sabun/Detergen/Air 11,9 Damar 6

Cairan Patri 7,8 Makanan 2,3

Damar 4,8 Cairan Patri 1,4

Lain-lain 4,8 - -

Sumber : Goh CL, 1987

Bahaya bahan kimia adalah korosif dan racun. Bahan kimia dapat menyebabkan jaringan kulit iritas sampai cedera atau korosi pada permukaan logam, namun sering terjadi adalah cedera korosi yang merusak jaringan lunak baik kulit maupun mata. Iritasi kulit merupakan derajat cedera korosif dengan derajat ringan. Menurut Cohen & Rice (2004) dalam Ruhdiat (2006), bahan kimia selalu dan merupakan penyebab terbesar terjadinya dermatitis kontak akibat kerja.

Pada proses finishing meubel kayu, bahan kimia yang umum digunakan adalah sebagai berikut (Joyce, 1987):

a. Wood Filler

(58)

b. Wood Stain

Fungsi utama Wood Stain adalah mewarnai kayu sesuai dengan warna natural kayunya. Kandungan dalam wood stain adalah solven dan zat pewarna. Alkohol dan acetone base juga terkandung didalamnya sebagai bahan yang tahan terhadap sinar uv.

c. Cat Dasar

Cat dasar atau sering disebut Sanding Sealer merupakan satu tahapan aplikasi untuk melindung lapisan pewarnaan kayu oleh stain. Formulanya adalah acrilic Solvent Base yang biasanya diaplikasikan dengan campuran thinner.

Selain itu, pada proses pemutihan meubel lama yang akan dilakukan finishing ulang, bahan yang digunakan umumnya adalah hidrogen peroksida ataupun soda api. Kedua bahan tersebut jika terkena kulit dapat menimbulkan iritasi begitu pula dengan pelarut yang ada dikandungan cat-cat yang digunakan. Kemudian pada proses pengkilapan digunakan sanding melamic clear yang mengandung resin.

(59)

dapat menyebabkan dermatitis yang merusak pelindung alamiah kulit. Pelarut menutupi permukaan lemak, lemak pada stratum korneum dan fraksi lemak pada membran sel. Pelarut juga dapat menyebabkan kerusakan stratum korneum (RH. Adam, 1993 dalam Cholis, 1995).

Serbuk kayu yang dihasilkan oleh kayu juga merupakan pencetus timbulnya dermatitis kontak, karena serbuk kayu merupakan salah satu bahan iritan yang dapat menyebabkan kejadian dermatitis kontak (Strait, 2001; Djuanda, 2003). Adanya kandungan substansi kimia dari getah tumbuh-tumbuhan yang ada dalam serbuk kayu dapat menyebabkan dermatitis kontak (Djuanda, 1987).

Kontak dengan bahan kimia, selain menyebabkan iritasi juga dapat menyebabkan reaksi alergi pada kulit yang merugikan dengan sensitisasi sistem kekebalan tubuh yang dihasilkan dari kontak bahan kimia atau struktur bahan kimia yang serupa sebelumnya. Contoh bahan yang menyebabkan reaksi alergi yaitu formaldehid, kromium, nikel, dan fenoliat. 2. Lama Kontak

(60)

semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit maka akan semakin luas dan dalam penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit, yang akan mencetuskan reaksi peradangan/iritasi kulit yang lebih luas dan berat (Agius R, 2004; Cohen dan Rice R.H, 2004).

Berdasaran penelitian Nuraga dkk (2008), proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak 8 jam adalah 73.1%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak <8 jam adalah sebesar 22.2%. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama kontak maka semakin besar pula resiko kejadian dermatitis yang dialami pekerja.

3. Frekuensi Kontak

Frekuensi kontak adalah jumlah berapa kalinya kontak dengan bahan kimia. Frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak jenis alergi, yang mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis yang berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional. Oleh karena itu upaya menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja adalah dengan menurunkan frekuensi kontak dengan bahan kimia (Cohen, 1999 dalam Nuraga dkk, 2008).

Berdasarkan penelitian Ruhdiat (2006), proporsi pekerja yang

mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≥5 kali/hari sebesar

(61)

dengan frekuensi kontak <5 kali/hari adalah sebesar 79.4% dengan nilai pvalue 0.004. Dan hasil penelitian Nuraga, dkk (2008) menemukan bahwa Kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak 15x terjadi pada dermatitis kontak akut sebanyak 14 responden (100%), sub akut 17 responden (81%) dan kronis 4 responden (80%) dengan nilai p= 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak.

4. Usia

Usia merupakan salah satu faktor yang dapat memperparah terjadinya dermatitis kontak. Pekerja dengan usia tua memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi terkena dermatitis kontak dibanding pekerja yang lebih muda. Hal ini terkait dengan kondisi kulit mereka (Cohen, 1999). Pada pekerja yang lebih tua terjadi peningkatan kerentanan terhadap bahan iritan dan kegagalan dalam pengobatan, sehingga timbul dermatitis kontak (Cronin, 1980). Pada pekerja dengan usia yang lebih tua, ketebalan kulit pun semakin berkurang, sehingga lapisan kulit menipis dan menyebabkan mudahnya bahan kimia masuk ke dalam lapisan kulit yang lebih dalam lagi.

5. Jenis Kelamin

(62)

Journal dalam Suryani (2011), terdapat perbedaan antara kulit pria dan wanita, perbedaan tersebut dilihat dari jumla folikel rambut, kelenjar sebaceous atau kelenjar keringat dan hormone. Kulit pria mempunyai hormon yang dominan yaitu androgen yang dapat menyebabkan kulit pria lebih banyak berkeringat dan ditumbuhi banyak bulu, sedangkan kulit wanita lebih tipis daripada kulit pria sehingga lebih rentan terkena penyakit kulit.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Trihapsoro (2003), pada pasien rawat jalan RSUP H. Adam Malik Medan, ditemukan bahwa proporsi pasien perempuan yang menderita dermatitis kontak sebesar 72.5% sedangkan pria hanya sebesar 27.5%. Hal tersebut menujukkan bahwa perempuan lebih beresiko tekena dermatitis kontak disbanding laki-laki. 6. Jenis Pekerjaan

(63)

Berdasarkan penelitian Lestari (2007) menunjukkan bahwa pada dua jenis proses kerja yaitu proses realisasi dan proses pendukung memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak. Pada proses realisasi terlihat bahwa pekerja yang terkena dermatitis kontak sebesar 60.4%, sedangkan pekerja proses pendukung, pekerjanya lebih banyak tidak terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (68,8%) dari total pekerja 32 orang.

7. Masa Kerja

Masa kerja adalah kurun waktu atau lamanya pekerja bekerja disuatu tempat tertentu. Masa kerja juga dapat mempengaruhi terhadap terjadinya penyakit dermatitis. Hal ini berhubungan dengan lama kontak dan frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia, sehingga pekerja yang lebih lama bekerja lebih risiko terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang masih baru. Menurut Djuanda dan Sularsito (2007), semakin sering pekerja menglami kontak dengan bahan kimia, maka semakin tinggi kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak serta meningkatkan keparahan penyakitnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa pekerja dengan masa kerja yang lebih lama cenderung lebih sering kontak dengan bahan kimia.

8. Ras

(64)

masing-masing. Kulit putih lebih rentan terhadap dermatitis dibandingkan dengan orang kulit hitam. Orang kulit hitam lebih tahan terhadap lingkungan industri karena kulinya kaya akan melanin. Mereka jarang terkena tumor kulit akibat radiasi ultra violet, kurang peka terhadap debu kimia, dan bahan pelarut alkali (Gilles L, 1990 dalam Florence, 2008).

9. Tekstur Kulit

Kulit merupakan indera peraba. Kulit adalah alat indera kita yang mampu menerima rangsangan temperatur suhu, sentuhan, rasa sakit, tekanan, tekstur, dan lain sebagainya. Pada kulit terdapat reseptor yang merupakan percabangan dendrit dari neuron sensorik yang banyak terdapat di sekitar ujung jari, ujung lidah, dahi, dll (Bantas, 2009. Materi Presentasi Mata Ajar Anatomi Fisiologi). Kulit merupakan bagian terluar yang melapisi manusia dimana berfungsi untuk melindungi organ-organ internal. Kulitlah yang pertama kali terkena eksposur dari luar seperti sinar matahari, udara, minyak, sabun, cat, dan sejenisnya. Oleh karena itu kulit sangat riskan mengalami inflamasi dan kerusakan akibat pengaruh zat yang mengenainya (Permana, 2010).

(65)

10.Pengeluaran Keringat

Keringat adalah air yang dikeluarkan oleh kelenjar keringat pada kulit manusia. Kandungan utama dalam keringat adalah natrium klorida (bahan utama garam dapur) selain bahan lain (yang mengeluarkan aroma) seperti 2-metilfenol (o-kresol) dan 4-metilfenol (p-kresol). Pada manusia, keringat dikeluarkan untuk mengatur suhu tubuh (detikhealth.com, 2012).

Keringat melindungi kulit dengan cara mengencerkan dan menghanyutkan bahan iritan. Keringat dapat pula mengubah bahan-bahan yang larut dalam air menjad bentuk lain dan mempermudah absorpsi melalui pori-pori kulit (Gilles L, 1990 dalam Florence, 2008). Kulit yang tidak tidak berketingat cenderung memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi terhadap dermatitis kontak karena kulit yang tidak berkeringat cenderung kering. Kekeringan pada kulit memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit lebih mudah kena dermatitis (Cohen 1999). Vichy (2004) dalam Ruhdiat (2006) juga menyatakan bahwa kulit yang lebih kering akan lebih rentan terkena dermatitis kontak.

11.Musim

(66)

diri/membersihkan diri dengan air setelah kontak dengan bahan kimia (Gilles L, 1990 dalam Florence, 2008).

12.Riwayat Alergi

Riwayat alergi adalah reaksi tubuh manusia yang berlebihan terhadap benda asing tertentu atau bahan yang bersifat allergen. Pengertian lain adalah reaksi terhadap berbagai rangsangan/zat dari luar tubuh misalnya seperti debu, obat, atau makanan, yang pernah dialami oleh pekerja. Dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan dsengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan melihat sejarah dermatologi termasuk riwayat penyakit pada keluarga, aspek pekerjaan, sejarah alergi (misalnya alergi terhadap obat-obatan tertentu),dan riwayat lain yang berhubungan dengan dermatitis (Putro, 1985 dalam Utomo, 2007). Reaksi sensitifitas allergen sangat bervariasi tergantung pada faktor genetik seseorang. Demikian pula sensitifitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang berbeda-beda (Dewan K3 Nasional, 1982).

(67)

13.Riwayat Atopi

Atopik merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat didalam lingkungan kehidupan manusia (Harijono, 2006). Menurut Djuanda, 2002 atopik merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang cenderung diturunkan atau familial. Sindrom atopik disini meliputi dermatitis atopik (DA), rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda, 2002). Pengertian lain menyebutkan bahwa atopi adalah reaksi seseorang terhadap allergen sangat bervariasi tergantung factor genetik, demikian pula sensitifitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang berbeda (Cohen, 1999).

Hasil penelitian Ruhdiat (2006) menyebutkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat atopi sebesar 94%, sedangkan yang tidak memiliki riwayat atopi sebesar 79%. Nuraga dkk (2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan memilki riwayat atopi adalah sebesar 79%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat atopi adalah sebesar 71.4%. Hal tersebut menujukkan bahwa pekerja denga riwayat atopi lebih beresiko terkena dermatitis kontak.

14.Riwayat Penyakit Kulit sebelumnya

(68)

yang pekerja derita sebelumnya dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pekerja menderita dermatitis kontak kembali (riwayat berulang) (Lestari dan Utomo, 2007). Di Indonesia, umunya pekerja telah bekerja pada lebih dari satu tempat kerja. Hal ini menyebabkan adanya kemungkinan bahwa pekerja yang telah mengalami dermatitis pada pekerjaan sebelumnya terbawa ke tempat kerja yang baru. Menurut Cahyawati dan Budiono (2011), riwayat penyakit digunakan sebagai salah satu dasar penentuan apakah suatu penyakit terjadi akibat penyakit terdahulu, sehingga riwayat penyakit sangat penting dalam proses penyembuhan seseorang. Sedangkan menurut Jeyaratnam & Koh (1996) pekerja yang pernah mengalami riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan meninggalkan bekas seperti kulit yang mengelupas, lecet, atau tergores dapat menjadi faktor predisposisi dermatitis kontak.

(69)

bekerja pada tempat tertentu dikarenakan reaksi iritan ataupun sensitivasi (Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, 1982).

15.Suhu dan Kelembaban

Pengalaman yang disepakati oleh para ahli di Indonesia menyatakan bahwa daerah cuaca nyaman seperti itu adalah 24 – 26 0C suhu kering. Juga perbedaan di antara suhu di dalam dan di luar ruangan sebaiknya tidak melebihi 5 0C ( Suma’mur,1989 ). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No 1405 tahun 2002, suhu ruangan lingkungan kerja adalah sekitar 180C-280C, sedangkan kelembabannya adalah 40% - 60%.

Menurut Sedarmayanti (1996), bahwa temperatur yang terlampau dingin akan mengakibatkan gairah kerja menurun. Sedangkan temperatur yang terlampau panas, dapat mengakibatkan timbulnya kelelahan tubuh yang lebih cepat dan dalam bekerja cenderung membuat banyak kesalahan. Berdasarkan beberapa penelitian, suhu dan kelembaban berpengaruh dalam kejadian dermatitis kontak, karena semakin rendahnya suhu dan kelembaban lingkungan kerja maka semakin berpotensi menyebabkan dermatitis kontak selain didukung oleh faktor lain.

(70)

lingkungan kerja <65% adalah sebesar 87%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan kelembaban udara lingkungan

kerja ≥65% adalah sebesar 0%.

16.Pemakaian APD

Alat pelindung diri adalah peralatan keselamatan yang harus digunakan oleh pekerja yang berada di area kerja yang berbahaya. APD yang digunakan untuk bahan kimia berbahaya umunya adalah sarung tangan. Diperkirakan hampir 20% kecelakaan yang menyebabkan cacat adalah tangan, kemampuan kerja akan sangat berkurang. Kontak dengan bahan kimia kaustik beracun, bahan-bahan biologis, sumber listrik, benda yang suhunya sangta dingi atau sangat panas dapat menyebabkan iritasi pada tangan. APD tangan dikenal dengan sebutan safety gloves dengan berbagai jenis penggunaannya. Untuk melindungi tangan dari bahan kimia adalah sarung tangan vinyl dan neoprene. Nugraha dkk (2008) mengungkapkan bahwa kebiasaan memakai alat pelindung diri (APD) diperlukan untuk melindungi pekerja dari kontak dengan bahan kimia. Pekerja yang selalu menggunakan sarung tangan dengan tepat akan menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja baik jumlah maupun lama perjalanan dermatitis kontak (Susanti, 2010).

(71)

hasil nilai signifikan sebesar 0,012 (<0,05) maka secara statistik ada hubungan antara pemakaian alat pelindung diri dengan penurunan kejadian dermatitis kontak iritan. Diperoleh pula nilai Rasio Prevalensi RP = 0,48(< 1) hal ini berarti bahwa pemakaian alat pelindung diri (sarung tangan) merupakan faktor preventif dan bukan faktor resiko dari terjadinya dermatitis kontak iritan. Lestari dkk (2007), menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan pemakaian APD yang kurang baik adalah sebesar 51.8%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan pemakaian APD yang baik adalah sebesar 41.7%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara pemakaia APD dengan kejadian dermatitis kontak.

17.Personal Hygiene

(72)

kebiasaan pekerja membersihkan dirinya setelah bekerja seperti mencuci tangan dan mencuci pakainnya setelah bekerja (Lestari & Utomo, 2007).

Menurut Cohen (1999) kebiasaan mencuci tangan yang jelek akan menyebabkan kontak dengan bahan kimia yang lebih lama yang akan menyebabkan kerugian kulit, sehingga kebiasaan mencuci merupakan upaya preventif bermakna namun sangat tergantung pada kualitas mencuci tangan dan kemudahan menjangkau fasilitas sarana pencuci tangan. Mencuci tangan dengan baik adalah dengan menggunakan air bersih yang mengalir. Menurut Koh dan Goh (1996), larutan pelarut seperti thinner dan kerosene dapat pula mengakibatkan dermatitis kontak iritan kumulatif bila sering digunakan secara salah sebagai pembersih kulit

Penelitian Ruhdiat (2006) menemukan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene kadang-kadang adalah sebesar 85%. Kemudian penelitian Utomo (2007), menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan personalhygiene yang kurang baik adalah sebesar 51.8% (P1), sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan personalhygiene yang baik adalah sebesar 41.7%. Hal tersebut menunjukkan adanya korelasi yang positif antara dermatitis kontak dengan personal hygiene.

D. Kerangka Teori

(73)
(74)

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Hipp, 1985 dalam Utomo, 2007; Rietschel, 1985 dalam Utomo, 2007; Siregar (1996); Djuanda & Sularsito, 2002

1. Bahan kimia 2. Lama Kontak 3. Frekuensi Kontak 4. Usia

5. Jenis Kelamin 6. Jenis Pekerjaan 7. Masa Kerja 8. Ras

9. Tekstur kulit

10.Pengeluaran Keringat 11.Musim

12.Riwayat Alergi 13.Riwayat Atopik 14.Riwayat penyakit

kulit yang ada sebelumnya 15.Suhu 16.Kelembaban 17.Personal Hygiene 18.Pemakaian APD

(75)

58 A. Kerangka Konsep

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Faktor-faktor yang termasuk dalam kerangka konsep mengacu kepada teori-teori dari para ahli yaitu Larry.L.Hipp (1985), Rietschel (1985), Siregar (1996) dan Djuanda & Sulartiso (2002). Menurut para ahli tersebut, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dermatitis kontak adalah bahan-bahan kimia, lama kontak, frekuensi kontak, usia, jenis kelamin, ras, tekstur kulit (ketebalan), keringat, personal hygiene, musim, jenis pekerjaan, riwayat atopi, riwayat alergi, penyakit kulit yang ada sebelumnya, suhu, kelembaban, dan pemakaian APD. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Lama Kontak

Gambar

Tabel 2.1 Iritan dan Allergen Pekerja Yang Umum ................................................
Gambar 2.1 Anatomi Kulit ......................................................................................
Gambar 2.1 Anatomi Kulit
Tabel 2.1 Iritan dan Allergen Pekerja yang Umum
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bandhek dialect as the dominant or standard language affects the judgment of Javanese speakers towards Ngapak speakers’ language expressions as ngerti basa and ora ngerti

Tempat &amp; tgl. Inggris) : ……… ……… Dengan ini mengajukan permohonan untuk dapat didaftar sebagai peserta Seminar Proposal Tugas Akhir.. Atas perhatiannya, saya

Hasil analisis hubungan antara lama pemakaian jilbab dengan kejadian dermatitis seboroik pada mahasiswi Fakultas Kedokteran UNIMUS diperoleh bahwa ada sebanyak 43

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh komunikasi antar pribadi sponsor dan kualitas kerja anggota jaringan Tianshi di Bengkulu, maka ada beberapa saran yang

Pemberian penguatan ( reinforcement ) pada pelaksanaan pendidikan agama Islam dirasa perlu dilakukan oleh SMPN I Kepanjen dengan tujuan meningkatkan perhatian siswa

Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository Universitas Jember Digital Repository

digunakan sebagai instrumen akhir untuk mengukur variabel perilaku self efficacy. Konstelasi Hubungan

[r]