STRATEGI DAKWAH POLITIK BAITUL MUSLIMIN INDONESIA DALAM MENINGKATKAN DUKUNGAN POLITIK PDI PERJUANGAN
Skripsi
DiajukankepadaFakultasIlmuDakwahdanIlmuKomunikasi
UntukMemenuhiPersyaratanMemperoleh
GelarSarjanaKomunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Fahd Riyadi NIM. 108051000132
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Bismillahirrohmanirrohim
Dengan Ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk emmenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di Universitas Islam negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jiak dikemusian hari terbuktibahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Oktober 2013
i
ABSTRAK Fahd Riyadi
Strategi Dakwah Politik Baitul Muslimin Indonesia dalam Meningkatkan Dukungan Politik PDI Perjuangan.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yakni 87,12% penduduk beragama Islam dari 250 juta penduduk dan sekitar 185 juta pemilih yang akan berpartisipasi dalam pemilu, merupakan potensi yang diperebutkan oleh partai-partai politik di Indonesia selain parpol Islam yang memang menjadikan Islam. Hal ini mendorong partai-partai politik di Indonesia yang beasaskan nasionalis mendirikan sayap keagamaan sebagai kendaraan dakwah politiknya. Salah satunya adalah, PDI Perjuangan yang mendirikan Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) sebagai kendaraan dakwah politiknya dalam strategi untuk merebut dukungan politik dari kalangan Islamis di Indonesia. Beberapa hal menarik muncul dari adanya Bamusi tersebut, diantaranya adalah melekatnya stigma, bahwa PDI Perjuangan merupakan partai yang mengusung sekulerisme di Indonesia, dan merupakan partainya orang-orang non kristen, selain itu juga identik dengan kalangan komunis.
Berdasarkan pemaparan diatas, menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mengetahui bagaimanakah strategi dakwah politik Bamusi dalam meraih dukungan dan simpati dari masyarakat Islam. Selain itu, peluang dan hambatan apa sajakah yang dihadapi oleh Bamusi dalam dakwah politiknya. Hal ini menarik untuk diketahui, karena akan memberi kita pada khasanah keilmuan, khususnya komunikasi politik dan dinamika politik di Indonesia yang tak pernah terlepas dari Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.
Dalam kasus penelitian ini, peneliti menguji kasusnya dengan teori disonansi kognitif Leon Festinger, dengan menggunakan metode analisis deskriptif sebagai pisau analisa, dan pendekatan kualitatif dalam menjabarkan objek dan subjek yang diteliti. Pada akhirnya peneliti menemukan jawaban bahwa dalam konstelasi politik di Indonesia, PDI mengalami hambatan politik tertentu, dalam menjangkau kalangan-kalangan Islamis di Indonesia, selain itu ditemukan pula bahwa peran Bamusi dalam membantu usaha untuk menigatkan dulungan pilitik bagi PDI Perjuangan sangat strategis dan krusial, hal ini terlihat dari beberapa agenda politik PDI Perjuangan yang melibatkan Bamusi.
Kesimpulannya, dalam konteks Islam di Indonesia, Islam juga menjadi agenda politisasi massa, dengan membenarkan suatu kebijakan politik sebagai representasi doktrin aqidah. Argumentasi tersebut dirasa sangat relevan, mengingat, Islam bukan hanya sebagai agama saja, melainkan sebagai sekupulan otoritas yang mengatur setiap aturan hidup manusia, termasuk mengatur pilihan politik bagi manusia.
ii
PENGANTAR
Proses dialektika keilmuan yang dijalani penulis selama lima tahun belajar di
Ciputat merupakan moment paling penting dalam menentukan arah masa depan
penulis. Lima tahun ini terasa sangat cepat, dan ini diluar kesadaran karena
sesungguhnya ini sanngat lama, karena biar bagaimanapun proses ini adalah jalan
menuju gerbang masa depan selanjutnya.
Keadiran karya tulis ini menandai lahirnya seorang manusia baru yang telah
mengakhiri masa studi jenjang strata satu, yang kelak berharap diterima di
masyarakat. Maka dari itu, tanda kelahiran ini haruslah sesuatu yang penting dan
dapat bermanfaat bagi dunia profesional yang kelak dimasuki penulis.
Sehingga, sungguh sujud dan syukur kepada Allah SWT yang teah memberi
kesadaran pentingnya pendidikan serta memberikan kekuatan berupa sumberdaya
untuk penulis, sehingga skripsi berjudul “Dakwah Politik Baitul Muslimin Indonesia:
Strategi Meningkatkan Dukungan Politik PDI Perjuangan”. Dapat tersusun dengan segala karunia-Nya.
Beberapa pihak yang ingin penulis abadikan namanya dalam skripsi ini, karena
atas jasa-jasanya, penulis dapat menyelesaikan studi yang telah ditempuh sebelas
semester..
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang juga dosen
pembimibing, Dr.Arief Subhan, MA. Yang selalu santai dan menyempatkan
iii
(Bidang Akademik), Drs. Studi Rizal,MA (Bidang Kemahasiswaan), dan Drs.
Mahmud jalal, MA (Bidang Administrasi).
2. Selurus dosen Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, baik yang sempat
mengajar saya secara langsung atau tidak. Terutama Bapak Gun Gun
Heryanto (pemberi stimulus kajian ilmu komunikasi politik) Bapak Mahmud
Jalal (Senior di Organisasi), Kang Arul (Terimakasih atas masukan mengenai
proposal penelitian), Ibu Bintan Humaera, Ibu Umi Musyarofah.
3. Ketua dan Sekretaris Jurusan KPI yang telah membantu saya memperlancar
kuliah hingga penyelesaian.
4. Yang saya Cintai Ibu (Muviah), Papa (Toto Suryanto), yang telah menjadi
motivasi saya untuk menuntut ilmu ke Jakarta, terimakasih atas doa-doanya.
5. Yang menjadi panutan saya, Om (Edi Kuscayahto), terimakasih atas segala
sumberdaya dan kebaikan yang telah Om berikan terhadap saya, ini adalah
hutang motivasi saya, yang akan saya bayarkan terhadap generasi-generasi di
bawah saya. Sungguh terimakasih.
6. Untuk Hendra Gun (Kakak), Didit Budi Aji Sridadi (Kakak), Dodi Lukito
Husada (Kakak), Hendra Ken (Kakak), Nindiya Kusumastuti Paramita
(Kakak), Aning Wijayanti (Kakak) dan Mbak Ning (Alm) yang selalu suport
saya dan membantu saya ketika mengalami kesulitan dalam menempuh
pendidikan.
8. Narasumber di Pimpinan Pusat baitul Muslimin Indonesia, Ketua Umum PP
Bamusi Prof, Dr. Hamka Haq, MA. Sekjend PP Bamusi Nurmansyah E
Tanjung, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan Pikiran terhadap
penelitian saya.
9. Sahabat dan teman seperjuangan di LS-ADI, Reza, Ipunk, Bibir, Faris, Ipin,
Ede, Bunga, Bagus, dan senior-senior LS-ADI.
10.Sahabat-sahabat saya di KPI D yang telah memberikan pengalaman dan kesan
yang menakjubkan ketika belajar di kelas, ketika jalan-jalan di Bandung,
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK……….... i
KATA PENGANTAR……….. ii
DAFTAR ISI……… v
BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah………... 1
B. BatasandanRumusanMasalah………... 13
1. PembatasanMasalah... 13
2. PerumusanMasalah... 13
C. TujuanPenelitian... 14
D. Manfaat Penelitian... 14
1. Manfaat Akademis... 14
2. Manfaat Praktis... 14
E. Metodologi Penelitian... 15
1. PendekatanPenelitian... 15
2. TeknikPengumpulan Data... 16
3. Waktu Penelitian... 17
4. Sumber Data... 17
F. Tinjauan Pustaka... 17
G. Sistematika Penulisan... 19
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Dakwah Politik... 20
B. TeoriDisonansiKognitif... 23
1. PengaruhDisonansiKognitifPengambilan Keputusan... 22
2. StrategiPersuasiDalamDakwahPolitikatau PenyampaianPesan... 28
3. Prinsip-prinsipUmumPersuasiDalamTeori Disonansi Kognitif... 32
4. PaparanSelektifdanPerhatianSelektif... 35
5. DisonansiKognitifSebagaiUpaya Propaganda Politik... 37
a. Suatumekanismekontrolsosial... 39
BAB III GAMBARAN UMUM A. ProfilBaitulMuslimin Indonesia... 41
1. Sejarah... 41
vi
b. GagasanKebangsaan Said AgilSiradjdalam
MendirikanBamusi... 49
3. Tujuan Bamusi... 50
a. Tujuanumum... 50
b. Tujuan khusus... 50
BAB IV HASIL TEMUAN LAPANGAN A. StrategiDakwahPolitikBaitulMuslimin Indonesia... 51
1. Identifikasi Isu... 51
2. Counter Isu... 52
a. Dikotomi Muslim-Non Muslim dalamPilkada DKIJakarta... 53
b. Isu Gender danSekulerismedalamPilkadaJawa Barat... 60
B. Agenda IdeologidalamDakwahPolitikBamusi... 68
1. DoktrinideologiPDI PerjuangandalamDakwah PolitikBamusi... 70
2. Kanan liberal... 72
C. FaktorPendukungdanPenghambatDakwahPolitik Bamusi... 74
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 76
Munculnyakonflikideologisdalamdakwahpolitik... 79
B. Saran... 80
DAFTAR PUSTAKA... vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia dengan 87,18% atau
sebanyak 207.176.162 juta penduduk dari total populasi1, dan negara demokratis
terbesar ketiga di dunia dengan lebih dari 185 juta pemilih2, merupakan hal potensial
yang diperebutkan oleh partai politik di Indonesia menjelang agenda politik pesta
demokrasi baik itu Pemilu tingkat daerah maupun Pemilu Nasional. Kolaborasi antara
Islam dan demokrasi inilah, Islam menjadi komoditas politik yang paling potensial
guna meraih dukungan politik sebesar-besarnya.
Dalam Islam dikenal sebuah Istilah dakwah, dakwah dapat diartikan sebagai
seruan, ajakan, dan panggilan.3 Dapat pula diartikan mengajak, menyeru, memanggil
dengan lisan ataupun dengan tingkah laku atau perbuatan nyata.4 Atau lebih tegasnya
bahwa dakwah adalah proses penyampaian ajaran Islam dari seseorang kepada orang
lain, baik secara individu maupun secara kelompok. Penyampaian ajaran tersebut
dapat berupa perintah untuk melakukan kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang
dibenci oleh Allah dan Rasulnya (amr ma’ruf nahy al-munkar). Usaha dakwah hendaknya dilakukan secara sadar dengan tujuan untuk terbentuknya individu dan
1
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321 diakses pada 1 Oktober, 2013, pukl 22.11 2
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5380&Itemid=76Diaks es 11 Desember, 2012, pukul 20:27
3
Mahmud Yunus , Kamus Arab- Indonesia ( Jakarta : Yayasan Penyelengara Penerjemah / Penafsiran Al-Quran.1972 ), h. 127.
keluarga yang bahagia (khayr al-usrah) dan masyarakat atau umat yang terbaik (khayr al-ummah) dengan cara taat menjalankan ajaran Islam yang bisa dilakukan melalui bahasa lisan, tulisan, maupun perbuatan/ keteladanan.5
Sehingga, kegiatan dakwah yang sejatinya menjadi domain spiritual dianggap
sangat strategis guna meraih dukungan politik dari kalangan masyarakat luas. Tidak
heran dakwah yang merupakan dari domain ibadah yang merepresentasikan tindakan
hablu minanas antara umat Islam dengan umat Islam lainnya yang memiliki orientasi transeden ataupun ukhrawi ketika dilakukan dalam sebuah agenda politik, maka
dakwah tidak hanya aktivitas transenden, melainkan juga menjadi ajang perebutan
pengaruh dan simpati politik antara partai dan umat Islam.
Diskursus dakwah politik memunculkan kekhawatiran akan terjadinya distorsi
pemetaan antara dakwah dan politik di ranah keagamaan. Politik identik dengan
kekuasaan yang berarti menghalalkan segala cara, sementara dakwah adalah untuk
kebaikan dan perbaikan masyarakat yang jelas tujuan dan misi yang diembannya.
Yang menarik adalah, ditengah merosotnya elektabilitas partai-partai politik
berbasaskan Islam, berdasarkan rilis Lembaga Survei Nasional yang hasil surveinya
dipublikasikan oleh Harian Kompas.com edisi Minggu, 24/03/2013. Dimana Partai
Kedilan Sejahtera (PKS) dengan tingkat elektabilitas hanya 4,6%, Partai Amanat
nasional (PAN) 4,1%, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 4,1%, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) 3,4%, dan Partai Bulan Bintang 0,4%. Perolehan elektabilitas
tersebut jauh berada di bawah partai-partai nasionalis seperti Partai Demokrasi
5
3
Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) yang mencapai 20,5%, Partai Golkar 19,2%,
Partai Gerindra 11,9%, dan partai Hanura 6,2%.6 Bahwa keberadaan Islam yang
dominan tidak hanya menjadi target marketing politik bagi partai-partai politik berbasiskan Islam, atau massa Islam seperti PKS, PKB, PAN, PPP dan PBB. Selain
itu, setiap Parpol berasaskan nasionalis juga memiliki sayap partai yang secara
khusus dibentuk untuk merebut simpati dan dukungan dari massa Islam. Diantara lain
partai-partai tersebut adalah, Partai Demokrat membentuk Ikhwanul Mubaligh,
Partati Golongan Karya (GOLKAR) membentuk Majelis Dakwah Isamiyah, Partai
Nasional Demokrat (NASDEM), Partai GERINDRA membentuk Gerakan Muslim
Indonesia Raya membentuk Majelis Munajat Nasdem, dan PDI Perjuangan
membentuk Baitul Muslimin Indonesia.
Fenomena ini mengingatkan peneliti pada slogan yang popular di era Orde
Baru “Islam Yes, Partai Islam No”, meskipun ini sebuah survey namun, jika melihat
pengalaman pada saat menjelang Pemilu tahun 2009 yang lalu, ketika lembaga survei
merilisnya, mereka tidak percaya, Mereka mengatakan survei tidak objektif dan
kebanyakan berdasarkan pesanan saja7,
Namun meskipun muncul skeptisme dalam menganggapi hasil survei tersebut.
Fenomena kecenderungan elektabilitas partai Islam yang kian menurun ini tentu saja
menjadi peluang bagi partai-partai nasionalis yang memiliki sayap organisasi agama,
untuk meningkatkan elektabilitas politiknya di kalangan pemilih Islamis. Dengan
6
http://nasional.kompas.com/read/2013/03/24/14575253/twitter.com, Diakses 5 Juni, 2013, pukul 19.07 WIB
7
memaksimalkan organisasi sayap keagamaan partai politik untuk lebih proaktif
membuat program-program yang dapat menarik simpatik masyarakat, khususnya
menjangkau pemilih Muslim untuk memenangkan partainya.
Keberadaan dan fungsi sayap organisasi agama di partai politik nasionalis
yang dipercaya dapat meningkatkan tingkat keterpilihan (elektabilitas) parpol
nasionalis diperkuat oleh Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tanjung
yang berpendapat “Untuk memiliki basis politik di Indonesia yang mayoritas
beragama Islam, parpol membutuhkan organisasi Islam.”8
Sependapat dengan
pendapat Akbar Tanjung, Nurul Arifin selaku Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar
menuturkan, “dari pengalaman pemilu sebelumnya, keberadaan organisasi sayap
bercorak keagamaan menyumbang sekitar 30% suara. Ini terlihat banyaknya anggota
DPR dari tokoh organisasi sayap keagamaan di Golkar.”9
Disisi lain, Tjahjo Kumolo
Sekjen PDI Perjuangan berpendapat “Keberadaan Baitul Muslimin, diharapkan juga
bisa menarik anggota baru, terutama dari pemilih muslim yang selama ini masih ada
diluar PDI Perjuangan10.”
Dinamika politik di Indonesia tak pernah lepas dari kontribusi Islam,
khususnya dalam hal ini adalah pada sistem demokrasi di Indonesia. Dengan 255 juta
penduduk dan terlebih 85,2% dari total populasi adalah penduduk yang beragama
Islam. Namun populasi umat Islam yang besar tersebut hanya membawa Islam
8
http://news.detik.com/read/2013/03/30/002022/2207064/10/akbar-tandjung-parpol-perlu-sayap-organisasi-islam. Diakses 5 Juni, 2013. Pukul 16.22 WIB.
9
http://nasional.kompas.com/read/2011/05/10/04152487/Sayap.Agama.Bisa.Tingkatkan.Suara. Diakses pada 5 Juni, 2013. Pukul 16.15 WIB
10
5
sebagai tren yang diterapkan di aspek ekonomi, lifestyle, tetapi tidak menjadi sebuah tren dalam perilaku politik.
Secara teoritis, Islam adalah suatu agama dengan otoritas pengaturan yang
tinggi, yakni suatu sistem keagamaan yang menawarkan aturan-atauran yang rinci
dan komprehensif yang mengurus hampir segala aspek kehidupan manusia. Syariat
merupakan suatu katalog yang komprehensif tentang perintah-perintah dan anjuran
Tuhan yang disediakan sebagai pedoman bagi umat manusia. Dalam sistem
keagamaan “organik” seperti Islam, ekspresi kolektif keagamaan yang utama terdapat
pada struktur-struktur sosial yang mengatur seluruh masyarakat.11
Disisi lain, masyarakat muslim di Indonesia tergolong konservatif, hal ini
terepresentasikan berdasarkan hasil survei yang dirilis Lembaga Survei Indonesia
(LSI) bersama Goethe Institute, Friedrich Naumann Stiftung dan Fur Die Freiheit
bekerjasama dalam program jajak pendapat yang diadakan di 33 provinsi di Indonesia
dengan 1.496 responden yang berusia 15-25 tahun. Penelitian tersebut dimaksud
untuk mengetahui pandangan hidup kaum muda di Indonesia, hasilnya cukup
mencengangkan, dalam publikasi tersebut diketahui bahwa mayoritas Pemuda Islam
di Indonesia yang menggunakan identitas nasional sebagai warga negara hanya
40,8%, sementara yang menggunakan Islam sebagai identitas utamanyamencapai
11
47,5%. Selain itu dalam aspek hukum yang setuju diterapkannya hukum syariah
Islam di Indonesia, yaitu presentasenya cukup tinggi dengan rata-rata diatas 40%.12
Jika ditarik kesimpulan sederhana dari hasil survei diatas cukup untuk
menguatkan argumentasi bahwa di Indonesia sangat potensial bagi partai politik
islam. Namun pada tahapan aplikatif dan realitas di lapangan tidak sesuai dengan
asumsi tersebut. Setidaknya ini terbukti dalam proses politik yang terjadi di
Indonesia. Akan tetapi fenomena tersebut adalah menjadi sebuah indikasi yang kuat
bahwa Islam adalah sebuah peluang politik dan elektoral yang kuat dan potensial.
Pemilih dikalangan Islam diyakini memiliki presentase besar dan digolongkan
kedalam kelompok flying voter (pemilih mengambang) yang belum menentukan pilihannya, terlebih saat ini partai-partai Islam yang diharapkan oleh pemiih Islam
sudah jauh dari arang untuk mewakili aspirasi mereka, hal ini terlihat dari hasil
survei-survei elektabilitas parpol peserta pemilu 2014.
Menyadari hal-hal tersebut, belakangan ini terdapat banyak
organisasi-organisasi sayap keagamaan Islam pada partai nasionalis gencar mengadakan
aktivitas dakwah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Dalam hal ini,
kontent ataupun materi dakwah yang dilakukan oleh organisasi sayap agama partai
politik memuat unsur-unsur politik tertentu, yang bertujuan untuk mempengaruhi
khalayak agar memilih sikap politik tertentu yang dianjurkan dalam dakwah tersebut.
12
7
Begitu strategisnya dakwah sebagai media komunikasi dikalangan umat
Islam, dan media menyebarkan pengaruh. Dimana juga dipertegas oleh HM. Arifin,
M. Pd: Dakwah mengandung pengertian sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam
bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan
berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun
secara kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap
penghayatan serta pengamalan terhadap amalan ajaran agama sebagai message yang disampaikan kepadanya dengan tanpa unsur paksaan.13
Kegiatan dakwah yang sesungguhnya baik dan bermanfaat bagi kemaslahatan
umat dalam memperkuat iman dan taqwa, juga merupakan upaya yang strategis untuk
lebih mendekatkan partai kepada kalangan masyarakat dan memberikan keuntungan
politik bagi partai politik tertentu jika dilakukan oleh oknum partai politik .atau
organisasi yang berafiliasi dengan partai politik. sehingga, hal tersebut membawa
peneliti pada sebuah term atau istilah, yaitu dakwah politik, term menjadi populer manakala, banyak dijumpai kegiatan-kegiatan politik yang menggunakan
simbol-simbol dakwah dalam aktivitas politiknya.
Penggunaan Term dakwah politik diantaranya di ungkapkan Atabik Lutfi, ketua Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) dalam artikelnya yang “Dakwah Politik vs Politik
Dakwah”, dalam hal ini jelas kebenaran ajaran Islam bahwa berpolitik bagian dari
dakwah dan dakwah merupakan tujuan dari berpolitik. Karena Islam tidak hanya
hadir di wilayah kematian, formalitas pertemuan dan wilayah kaku lainnya. Itu semua
13
tidak membutuhkan ijtihad berat untuk mengusungnya. Semua sepakat dan siap
melakukan ajaran Islam pada tataran simbolis demikian.14
Selain itu term dakwah politik juga diungkapkan oleh Din Syamsuddin dalam sebuah wawancara, bahwa dakwah politik, atau dakwah melalui jalur politik, sama
saja mengisi subtansi nilai-nilai agama dalam berpolitik.15 Penegasan yang lebih
spesifik mengenai term dakwah politik, tercantum dalam butir-butir yang terdapat dalam Manhaj Hizbut Tahrir, dimana ditegaskan, bahwa penggabungan dua istilah
yaitu dakwah (da’wah) dan politik (siyasiyah), penggabungan dua unsur istilah tersebut melahirkan sebuah istilah dakwah politik (da’wah siyasiyah) artinya adalah
mengemban dakwah Islam melalui jalur politik, yaitu dakwah dengan metode
melakukan aktivitas politik, demi tercapainya politik dari organisasi.16
Jadi, dengan demikian, dakwah politik juga merupakan sebuah tindakan
kampanye politik, orang sering mempersamakan kampanye dengan propaganda. Hal
ini tidak sepenuhnya salah karena keduanya memang merupakan wujud tindakan
komunikasi yang terencana dan sama-sama ditunjujan untuk mempengaruhi
khalayak17
Disamping itu, Rogers dan Storey (1987) mendefinisikan kampanye sebagai
“serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek
14
http://ikadi.or.id/artikel/opini/71-dakwah-politik-vs-politik-dakwah.html, diakses pada 2 Oktober, 2013, pukul 00.07
15
Tribunnews.com, Din Syamsuddin Beri Nasehat Pada Baitul Muslimin Indonesia, edisi jumat, 6 Januari 2012. Diakses pada: 24 Agustus 2013, pukul 16.35.
16
Manhaj Hizbut Tahrir fi Taghyiir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia), h. 14 17
9
tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada
kurun waktu tertentu”18
. Mengambil kesimpulan bahwa aktivitas-aktivitas organisasi
sayap keagamaan tersebut sebagai upaya kampanye, adalah sebuah pendapat yang
rasional. Bahwa orientasi dari partai politik dalam segala aktivitasnya yang langsung
bersetuhan dengan masyarakat adalah sebuah tindakan kampanye, terlebih aktivitas
tersebut dilakukan pada masa-masa yang disebut dengan tahun politik.
Dari beberapa uraian diatas, yang membahas mengenai peta perpolitikan di
Indonesia secara sederhana dan khusus membahas mengenai oraganisasi sayap agama
partai-partai politik nasionalis. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk meneliti Baitul
Muslimin Indonesia (Bamusi), yang merupakan organisasi sayap keagamaan PDI
Perjuangan.
Baitul Muslimin Indonesia atau yang secara resmi disingkat dengan Bamusi
adalah organisasi sayap keagamaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI
Perjuangan). Pada rencana pendirian Baitul Muslimin Indonesia berangkat dari
gagasan Taufiq Kiemas (alm) dan diinisiatori oleh tokoh-tokoh Islam antara lain Din
Syamsudin, Syafii Ma’arif dan Said Aqil Sirajd. Dan mendapat dukungan penuh dari
Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan. Setelah mendatangi mereka
(Muhammadiyah & NU), maka munculah inisiatif untuk mendirikan organisasi sayap
yang khusus atau untuk menampung dan mengakomodir umat Islam. Tujuan jangka
pendeknya adalah untuk menepis stigma-stigma tersebut yang mengatakan PDI
Perjuangan identik dengan Preman, Non Muslim, dan PKI. Yang betul PDI adalah
18
rumah besar kaum nasionalis di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, dengan
menghadirkan Islam yang bernuansa Indonesia. Itulah misi kehadiran Bamusi,
disamping misi dakwah politik dalam mendukung dan mensukseskan agenda politik
PDI Perjuangan.19
Strategi dakwah yang dilakukan oleh Bamusi tidak jauh berbeda dengan
organisasi-organisasi dakwah lainnya, hanya saja yang paling membedakan adalah
konten-konten dari dakwah bamusi sangat kental dan mengandung unsur politik
tertentu. dalam kajian ilmu dakwah, dapat ditemukan istilah tentang strategi dakwah.
Asmuni Syukir, menjelaskan bahwa Strategi dakwah adalah metode siasat, taktik atau
manuver yang dipergunakan dalam aktivitas dakwah.20
Asmuni menambahkan, strategi dakwah yang dipergunakan dalam usaha
dakwah harus memperhatikan beberapa hal, antara lain: 1) Azas filosofi, yaitu azas
yang membicarakan tentang hal-hal yang erat hubungannya dengan tujuan yang
hendak dicapai dalam proses dakwah; 2) Azas psikologi, yaitu azas yang membahas
tentang masalah yang erat hubungannya dengan kejiwaan manusia. Seorang da’i
adalah manusia, begitu juga sasaran atau objek dakwah yang memiliki karakter
kejiwaan yang unik, sehingga ketika terdapat hal-hal yang masih asing pada diri
mad’u tidak diasumsikan sebagai pemberontakan atau distorsi terhadap ajakan; 3)
Azas sosiologi, yaitu azas yang membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan
situasi dan kondisi sasaran dakwah, misalnya politik masyarakat setempat, mayoritas
19
Majalah Bulanan Baitul Muslimin, Penjaga Gawang Nasionalisme: wawancara Taufiq Kiemas, edisi Juli 2008.
20
11
agama di daerah setempat, filosofi sasaran dakwah, sosio-kultur dan lain sebagainya,
yang sepenuhnya diarahkan pada persaudaraan yang kokoh, sehingga tidak ada sekat
diantara elemen dakwah, baik kepada objek (mad’u) maupun kepada sesama subjek
(pelaku dakwah).21
Baitul Muslimin Indonesia juga dapat diposisikan sebagai lembaga dakwah
PDI Perjuangan yang dianggap cukup strategis dalam menjadi media penghubung
terhadap kalangan Islam, dan memfasilitasi agenda politik, mengingat Bamusi
merupakan underbone parpol, pastilah memiliki agenda politik tertentu, namun dakwah tidaklah hal yang kontraproduktif sekalipun dilakukan dalam rangka agenda
politik.
Mengutip pendapat Moeslim Abdurahman yang dikutip Solo Pos dalam
gagasan artikelnya yang berjudul “Keharusan Dakwah Politik”, dalam bahasa
Moeslim Abdurrahman, tafsir surat Al-Ma’un untuk menyantuni orang-orang miskin tidak cukup hanya dengan mendirikan panti asuhan oleh perorangan atau sekelompok
masyarakat. Mendirikan panti asuhan tersebut memang berdimensi amal saleh bagi
para pendiri dan pengasuhnya. Tapi, jika diletakkan dalam konteks pemberantasan
kemiskinan, model mendirikan panti asuhan tersebut tidak cukup.22
Selain itu, dalam menerapkan strategi dakwah politik, harus mengklasifikasikan
mad’u sesuai dengan konteks yang diharapkan dalam dakwah politik, yaitu adanya
21
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, h. 51. 22
input ataupun reward dari mad’u dalam bentuk dukungan politik. Sebagaimana menurut pedapat M. Arifin Sedangkan M. Arifin membagi masyarakat yang menjadi
objek (sasaran) dakwah sebagai berikut:
“(1) Dilihat dari segi sosiologis, berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota
besar dan kecil serta masyarakat dari daerah marginal di kota besar, (2) dilihat dari segi struktur kelembagaan, berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga, (3) dilihat
dari segi sosia cultural berupa golonga priyayi, abangan dalam masyarakat di Jawa, (4) dilihat dari segi tingkat usia, berupa golongan anak-anak, remaja dan orang tua,
(5) dilihat dari segi okupasional (profesi atau pekerjaan), berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri (administrator), (6) dilihat dari segi
tingkat hidup sosial ekonomi, berupa golongan orang kaya, menengah dan miskin, (7)
dilihat dari segi jenis kelamin (sex), berupa golongan wanita dan pria, (8) dilihat dari
segi khusus berupa golongan mayarakat tuna susila, tuna wisma, tuna rungu, tuna
karya, nara pidana dan sebagainya.23
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun kegiatan tersebut bersifat
dakwah dengan konten-kontenya seperti pengajian, kegiatan bakti sosial dan
sebagainya. Hal-hal tersebut dapatlah diterjemahan sebagai aktivitas kampanye
politik. Jika lembaga ataupun pelaku dibalik aktivitas tersebut berafiliasi dengan
partai politik tertentu.
23
13
Maka dari berbagai uraian dalam latar belakang tersebut, penulis mem Baitul
Muslimin Indonesia sebagai objek penelitian yang diangkat sebagai litian dengan
judul: Strategi Dakwah Politik Baitul Muslimin Indonesia dalam Meningkatkan Dukungan Politik PDI Perjuangan.
B Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pada penelitian ini, peneliti membatasi masalah yang bertujuan untuk
menghindari terjadinya perluasan materi yang akan dibahas. Penelitian ini
dibatasi pada aspek politik dakwah yang merupakan representasi dari
komunikasi politik Baitul Muslimin Indonesia, bagaimanakah Bamusi
menyusun strategi untuk menarik simpati tokoh dan kalangan Islam dan
memberi dukungan terhadap PDI Perjuangan. Dan kegiatan dakwah dan
pengabdian sosial seperti apakah yang diselenggarakan oleh Bamusi sejak
didirikan tahun 2007 hingga tahun 2013.
2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi dakwah politik Baitul Muslimin Indonesia dalam
upaya menarik dukungan politik masyarakat bagi PDI Perjuangan?
2. Apa sajakah peluang dan hambatan bagi Baitul Muslimin Indonesia
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupan domain disiplin Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Adapun
tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep dan strategi dakwah politik Bamusi dalam
membantu PDI Perjuangan meraih dukungan politik dari kalangan Islam,
2. Untuk mengetahui realitas soiologis, teologis, dan politik nasional, khususnya
yang berkaitan dengan dinamika agama dan politik yang dihadapi oleh
Bamusi dan PDI Perjuangan
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan dan
referensi di bidang ilmu dakwah dan komunikasi, khususnya komunikasi
politik Islam yang bermanfaat bagi khasanah keilmuan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, khususnya Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam. Dengan demikian diharapkan pula menjadi stimulus bagi
perkembangan diskursus ilmu komunikasi yang membahas isu mengenai
partai politik dan Islam dalam bingkai demokrasi di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
15
realitas mengenai dinamika partai politik dan Islam, khususnya mengenai
dinamika organisasi sayap keagamaan partai politik dalam aktivitas
komunikasinya, disamping itu penelitian ini juga dapat dimanfaatkan
mehasiswa generasi berikutnya untuk menjadi sumber referensi dan
wawasan, sehingga membantu aktivitas akademis yang konstruksif dan
produktif bagi mahasiswa.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif, dan
menggunakan pisau analisa analisis deskriptif. Yakni sebuah penelitian yang dilalui
dengan melalui tahapan observasi, pengumpulan data yang akurat sesuai realitas dan
dinamika di lapangan disertai wawancara dengan beberapa narasumber yang relevan
dan kompeten. Penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi yang wajar (natural
setting) dan data yang dikumpulkan umumnya bersifat kualitatif.24 Adapun penelitian kualitatif merupakan epenelitian seperti asumsi/dugaan, nilai, dan pendapat dari
peneliti sehingga menjadi jelas dalam hasil akhir penelitian.25
Pada penelitian ini, penulis mencoba menjelaskan tentang bagaimana konsep
dan strategi kampanye Bamusi yang diklasifikasikan sebagai organisasi sayap
keagamaan PDI Perjuangan, menjelang Pemilu 2014 mendatang, adapun pada
24
Jumroni dan Suhaimi, Metode-Metode Penelitian Komunikasi , (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2006), h. 41
25
penelitian ini juga didukung argumentasi-argumentasi dan analisa rasional dan logis
serta diperkuat dengan data-data yang relevan dan memiliki referensi.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti
adalah:
a. Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap
gejala-gejala yang diteliti. Peneliti mengawasi dengan cermat setiap
perkembangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini,
peneliti mengadakan pengamatan dari arsip-arsip organisasi, jurnal, dan
media massa yang berkaitan dengan kasus yang sedang diteliti.
b. Wawancara Dalam sesi wawancara, penulis berusaha mengumpulkan data
dengan melakukan wawancara kepada beberapa narasumber, diantaranya
pengurus pusat Baitul Muslimin Indonesia, seperti Ketua Umum Baitul
Muslimin Indonesia Prof. DR. H. Hamka Haq dan Murmansyah E Tanjung
sebagai Sekjen DPP.
c. Dokumentasi, pada teknik ini aktivitas dokumentasi adalah pengumpulan,
pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi di bidang
pengetahuan; pengumpulan bukti-bukti dan keterangan-keterangan (seperti
berkas organisasi, gambar, kutipan, kliping koran, dan bahan referensi
lain). Pada tahap ini, peneliti akan mengumpulkan, mendokumentasikan
17
3. Waktu Penelitian
Kurun waktu penelitian dilaksanakan pada Juni sampai dengan September, 2013.
4. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti
pada saat penelitian. Untuk itu mengumpulkan data primer dilakukan
dengan mengadakan wawancara, observasi dan penelusuran dokumen
yang akan dilakukan penulis terhadap objek dan subjek penelitian,
yaitu strategi kampanye Baitul Muslimin Indonesia..
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh penulis dari buku, artikel,
dan bahan informasi lainnya yang berkaitan dengan masalah
penelitian. Data yang diperoleh secara tertulis baik sebelum maupun
sesudah penelitian.26
F. Tinjauan Pustaka
Berdasakan tinjauan yang dilakukan oleh penulis pada database pustaka skripsi di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi maupun
Perpustakaan Utama UIN Jakarta, ada beberapa penelitian terdahulu yang membahas
mengenai komunikasi politik partai politik.
26
Diantara beberapa skripsi tersebut, diantaranya adalah skripsi yang berjudul,
Strategi Komunikasi Politik Dalam Perolehan Suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Pada Pemilu Legslatif 2009 di Kabupaten Tegal, oleh Mochammad Rifqi Ridho pada 2011, secara garis besar membahas kampanye calon anggota legislatif
tingkat lokal Tegal.
Kemudian, Komunikasi Politik Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan (DPC-PPP) Kabupaten Bogor Dalam Pilkada Bupati Tahun 2008,
oleh Teddy Khumaedi pada 2009 yang lalu, secara umum membahas perhelatan
Pemilukada di daerah Bogor, dan dinamika komunikasi politik yang dihadapi oleh
PPP.
Meskipun ditemukan banyak skripsi yang objek penelitiannya adalah partai
politik, tidak ditemukan satu skripsi yang berkaitan dengan PDI PERJUANGAN,
partai yang terbanyak diteliti adalah PKS diantara penelitian tersebut, skripsi dengan
judul, Konsep Dakwah dan Politik PKSPada Pemilu Legislatif 2009, oleh Muhammad Rhagyl Indratomo, kampanye iklan PKS pada 2009.
Dan penelitian berikutnya adalah Tipologi Iklan Politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Pada Pemilu 2009 di Televisi, oleh Farah Ramadhan pada tahun 2011. Dalam sripsi ini dijelaskan, mengenai jenis dan klasifikasi maupun tahapan
produkasi iklan politik PKS dalam mensosialisasikan program dan kebijakan
19
Melihat daftar skripsi-skripsi terdahulu, peneliti tidak menemukan adanya penelitian
mengenai PDI perjuangan khususnya Baitul Muslimin Indonesia, maka berdasarkan
pertimbangan diatas, peneliti memiliki minat khusus untuk meneliti Bamusi dan
dinamika dakwah politik yang terjadi dan dilakukan oleh Bamusi. Penelitian ini
sangat penting, dimana selain bermanfaat bagi khasanah keilmuan dalam lingkungan
akademis dan kajian dakwah. Disamping itu penelitian ini berusaha menghadirkan
warna ataupun kajian baru khususnya mengenai dakwah politik.
G. Sistematika Penulisan
Untuk Mempermudah proses penelitian dan pembahasan hasil analisa dalam
skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ke dalam lima bagian
(Bab).
Bab I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang permasalahan secara keseluruhan, dan
merupakan kerangka awal dari skripsi ini. Bab ini berisi: Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi
Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.
Bab II Tinjauan Teoritis
Bab ini berisikan penjelasan mengenai teori-teori yang penulis gunakan untuk
yang diungkapkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957. Terutama bagaimana
managemen kampanye yang dikemukakanoleh Leon Festinger.
Bab III Profil Baitul Muslimin Indonesia
Bab ini menjelaskan mengenai profil dan gambaran umum mengenai Baitul
Muslimin Indonesia, Bab ini terdiri dari: Sejarah singkat Baitul Muslimin Indonesia,
Visi dan misi Baitul Muslimin Indonesia, Struktur kepengurusan di DPP Baitul
Muslimin Indonesia, sejarah partisipasi Baitul Muslimin Indonesia dalam beberapa
agenda politik sebelumnya, seperti Pilkada di beberapa daerah, dan program-program
Baitul Muslimin Indonesia.
Bab IV Analisa Hasil Penelitian
Pada bab ini penulis akan memaparkan hasil penelitian komunikasi politik,
Politik Dakwah Baitul Muslimin Indonesia: Strategi Meningkatakan Dukungan
Politik PDI Perjuangan.
Bab V Penutup
Pada Bab ini berisi kesimpulan dari skripsi yang penulis rangkum. Bab ini
terdiri dari: Kesimpulan dan Saran.
Daftar Pustaka
21
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Dakwah Politik
Dalam Kamus Arab-Indonesia kata Istilah dakwah, dakwah dapat diartikan sebagai
seruan, ajakan, dan panggilan.1 Dapat pula diartikan mengajak, menyeru, memanggil
dengan lisan ataupun dengan tingkah laku atau perbuatan nyata.2 Sedangkan, politik
menurut Isjwara, politik dapat diartikan, salah satu perjuangan untuk memperoleh
kekuasaan atau sebagai teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan; sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik adalah proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara.
Kegiatan dakwah yang sesungguhnya baik dan bermanfaat bagi kemaslahatan
umat dalam memperkuat iman dan taqwa, juga merupakan upaya yang strategis untuk
lebih mendekatkan partai kepada kalangan masyarakat dan memberikan keuntungan
politik bagi partai politik tertentu jika dilakukan oleh oknum partai politik .atau
organisasi yang berafiliasi dengan partai politik. sehingga, hal tersebut membawa
peneliti pada sebuah term atau istilah, yaitu dakwah politik, term menjadi populer manakala, banyak dijumpai kegiatan-kegiatan politik yang menggunakan
simbol-simbol dakwah dalam aktivitas politiknya.
1
Mahmud Yunus , Kamus Arab- Indonesia ( Jakarta : Yayasan Penyelengara Penerjemah / Penafsiran Al-Quran.1972 ), h. 127.
2Masdar Farid Mas’udi,
Penggunaan Term dakwah politik diantaranya di ungkapkan Atabik Lutfi, ketua Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) dalam artikelnya yang diterbitkan oleh laman
Ikadi.or.id dengan “Dakwah Politik vs Politik Dakwah”, ...dalam hal ini jelas kebenaran ajaran Islam bahwa berpolitik bagian dari dakwah dan dakwah merupakan
tujuan dari berpolitik. Karena Islam tidak hanya hadir di wilayah kematian, formalitas
pertemuan dan wilayah kaku lainnya. Itu semua tidak membutuhkan ijtihad berat
untuk mengusungnya. Semua sepakat dan siap melakukan ajaran Islam pada tataran
simbolis demikian.3
Selain itu, term dakwah politik juga diungkapkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam sebuah wawancara, bahwa dakwah politik,
atau dakwah melalui jalur politik, sama saja mengisi subtansi nilai-nilai agama dalam
berpolitik.4 Penegasan yang lebih spesifik mengenai term dakwah politik, tercantum dalam butir-butir yang terdapat dalam Manhaj Hizbut Tahrir, yang merupakan garis
besar haluan organisasi tersebut, di mana ditegaskan, bahwa penggabungan dua
istilah yaitu dakwah (da’wah) dan politik (siyasiyah), penggabungan dua unsur istilah tersebut melahirkan sebuah istilah dakwah politik (da’wah siyasiyah) artinya adalah
mengemban dakwah Islam melalui jalur politik, yaitu dakwah dengan metode
melakukan aktivitas politik, demi tercapainya hasrat dan orientasi politik bagi
organisasi.5
3
http://ikadi.or.id/artikel/opini/71-dakwah-politik-vs-politik-dakwah.html, diakses pada 2 Oktober, 2013, pukul 00.07
4
Tribunnews.com, Din Syamsuddin Beri Nasehat Pada Baitul Muslimin Indonesia, edisi jumat, 6 Januari 2012. Diakses pada: 24 Agustus 2013, pukul 16.35.
5
23
Uraian di atas identik dengan Bamusi, dimana dakwah diimplementasikan
sebagai strategi untuk mensukseskan agenda politik PDI. Bamusi beralasan bahwa
strategi ini tidaklah menyalahi etika ataupun mempergunakan agama demi
kepentingan politik semata, melainkan merupakan bagian dari syiar Islam untuk
menyebarkan suatu hal yang benar.
Jadi, dengan demikian, dakwah politik juga merupakan sebuah aktivitas
dakwah yang mengandung tindakan kampanye atau tujuan politik tertentu, orang
sering mempersamakan kampanye dengan propaganda. Hal ini tidak sepenuhnya
salah karena keduanya memang merupakan wujud tindakan komunikasi yang
terencana dan sama-sama ditunjujan untuk mempengaruhi khalayak6
B. Teori Disonansi Kognitif
Disonansi dalam Kamus Induk Istilah Ilmiah, secara ilmiah dapat disonansi
diartikan dengan variasi bunyi yang kurang sedap didengar (sumbang);
ketidakserasian suara.7 Sedangkan kognisi, dapat diartikan atau dimaknai, istilah
umum yang melingkupi semua cara mengetahui yang serba ragam persepsi,
mengingat, membayangkan, memperhatikan, menilai/menimbang, dan berlogika;
proses pengenalan dan penafsiran lingkungan oleh seseorang; pencapaian
pengetahuan terhadap sesuatau; dan hasil perolehan pengetahuan. Adapun kognitif
6
Antar Venus, Manajemen Kampanye, Paduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), h. 4
7
dalam bentuk kognisi diartikan, kognisi; berdasarkan pada pengetahuan faktual yang
empiris; bersifat sadar dan mengetahui.8
Teori yang diungkapkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 ini
mengemukakan bahwa keyakinan seseorang dapat berubah pada saat mereka sedang
berada pada situasi konflik. Ini dapat terjadi karena pada dasarnya manusia didorong
oleh keinginan untuk selalu berada dalam keadaan psikologis yang seimbang
(konsonan). Jika terjadi ketidak konsonsistenan di antara kepercayaan atau tindakan
yang menimbulkan ketidaknyamanan, maka hal ini disebut sebagai disonansi
kognitif. Semakin besar disonansi maka akan semakin besar pula ketidaknyamanan
yang dirasakan seseorang dan ini akan mendorong manusia untuk mencapai keadaan
yang konsonan atau konsistensi.9
Pada penelitian ini, penulis menggunakan teori disonansi kognitif untuk
mengartikulasikan kajian dakwah politik yang erat kaitannya dalam aktivitas
komunikasi politik. Dan menjelaskan bagaimana pesan-pesan politik itu dapat
ditransmisikan dan diterima melalui saluran situasional pada tempat dan saat
komunikasi itu dilakukan.
Teori disonansi beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan “merupakan
hubungan yang disonan (tidak harmonis) apabila, dengan dengan mempertimbangkan
dua elemen itu sendiri, pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen satunya”
(Festinger, 1957, hlm. 13). Sebagaimana teori-teori konsistensi lainnya, teori ini
8
M. Dahlan Y. Al-Barry, L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah, h. 392. 9
25
berpendapat bahwa disonansi, “karena secara psiologis tidak nyaman, maka akan
memotivasi seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai
harmoni/keselarasan” dan “selain upaya ituorang juga akan secara aktif menilak
situasi-situasai dan informasi sekiranya akan menigkatkan disonansi.”
Dalam disonansi kognitif elemen-elemen yang dipermasalahkan mungkin
adalah (1) tidak relevan satu sama lain, (2) konsisten satu sama lain (dalam istilah
Festinger, harmoni), atau (3) tidak konsisten satu sama lain (disonan/tidak harmonis,
dalam istilah Festinger). Hubungan tidak selalu dikaitkan secara logis dengan
konsistensi atau inkonsistensi. Suatu hubungan bisa saja secara logis konsisten bagi
seseorang yang percaya pada pengamatan ini.10
Beberapa konsekuensi yang lumayan menarik muncul dari teori disonansi,
khususnya di bidang-bidang pengambilan keputusan dan permainan peran (role playing). Fokus buku ini adalah pada cara manusia menggunakan informasi dan teori disonansi penting sekali dalam hal itu.11
1. Pengaruh Disonansi Kognitif dalam Pengambilan Keputusan
Dalam pengambilan keputusan, disonansi diprediksi akan muncul karena alternatif
pilihan yang ditolak berisi informasi-informasi yang akan mengakibatkan ia diterima
dan alternatif pilihan yang dipilih berisi fitur-fitur yang akan mengakibatkan ia
ditolak. Dengan kata lain, semakin sulit keputusan dibuat, maka semakin besar
10
Werner J.Severin - JamesW. Tankard. Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 165
11
disonansi setelah keputusan diambil (disonansi pasca-keputusan). Selain itu, semakin
penting sebuah keputusan, maka semakin besar pula disonansi pasca-keputusan.12
Pendapat mengenai disonansi pasca-keputusan juga diutarakan oleh Keisler,
Collins, dan Miller, mereka berpendapat: Proses pasca-keputusan melipui perubahan
kognitif yang tidak berbeda denga perubahan sikap; efek proses ini benar-benar
sacara sah bisa disamakan dengan perubahan sikap.13
Sementara itu, Antar Venus menguraikan dalam bukunya “Manajemen
Kampanye”, bahwa disonansi bersifat dinamis dan memiliki banyak faktor yang
mempengaruhinya. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi besarnya disonansi
pada seseorang yaitu:
a. Derajat Kepentingan atau seberapa penting isu tertentu bagi orang
tersebut.
b. Besarnya perbandingan disonansi atau kesadaran disonansi seorang
manusia yang berhubunan dengan jumlah kesadarn konsonan yang
dimilikinya.
c. Dasar pemikiran bahwa orang dapat memerintahkan untuk membenarkan
inkonsistensi. Ini berangkat dari alasan yang digunakan untuk
menjelaskan mengapa inkonsistensi bisa terjadi.14
12
Werner J.Severin - JamesW. Tankard. Jr, Teori Komunikasi, h. 166. 13
Werner J.Severin - JamesW. Tankard. Jr, Teori Komunikasi, h 166 14
27
Selain itu dijelaskan pula, bahwa, besarnya disonansi akan menentukan tindakan yang
akan diambil seseorang dan kesadaran mereka untuk mengurangi disonansi. Ada
beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi disonansi, yaitu:
a) Mengubah kognisi
Apabila diantara dua kognisi terdapat ketidakcocokan, maka orang dapat
dengan mudah mengganti salah salah satunya agar konsisten dengan yang
lainnya.
b) Menambah kognisi
Apabila ada dua kognisi menyebabkan besarnya disonansi, in idapat dikurangi
dengan menambah satu atau lebih kognisi yang sesuai atau cocok.
c) Mengubah atau mengganti kepentingan
Antara ketidakcocokan dan kecocokan kognisi harus dipertimbangkan
kepentingannya. Hal ini sangat menguntungkan untuk menukar kepentingan
dari berbagai macam kognisi.
d) Membuat misinterpretasi informasi
Apabila ada ketidaknyamanan karena informasi berlawanan dengan yang
selama ini diyakini, maka akan ada kelegaan dengan menganggap bahwa telah
terjadi kesalahpahaman akan informasi baru tersebut. Ini dilakukan misalnya
dengan menganggap bahwa pemberi informasi tersebut adalah orang yang
e) Mencari informasi pembenaran
Sebuah usaha maksimal untuk membuktikan bahwa kognisi yang selama ini
diyakini adalah sesuatu yang benar. Ini dilakukan dengan meminta pendapat
orang lain yang akan membenarkan kognisi tersebut.15
Teori disonansi kognitif Leon Festinger, yang menguraikan struktur kuasa dan
sikap dalam pengambilan keputusan diklasifikasikan kedalam kategori teori persuasi.
Hal ini diperkuat oleh Antar Venus dalam bukunya, Manajemen Kampanye. Dimana,
teori disonansi kognitif menjadi bagian dari bab. “Menggunkan Teori-Teori Persuasi Dalam Praktik Kampanye”,16
.
2. Strategi persuasi dalam Dakwah Politik atau Penyampaian pesan
Pace, Peterson dan Burnett (1979) mendefinisikan persuasi sebagai “tindakan
komunikasi yang bertujuan untuk membuat komunikan mengadopsi pandangan
komunikator mengenai suatu hal atau melakukan suatu tindakan tertentu”.17 Dari
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persuasi pada prinsipnya adalah setiap
tindakan komunikasi yang ditujukan untuk mengubah atau memperteguh sikap,
kepercayaan dan perilaku khalayak secara sukarela sehingga sejalan dengan apa yang
diharapkan komunikator.
15
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 36-37. 16
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 31 17
29
Pada kenyataannya setiap kegiatan persuasi selalu ditandai denganemat hal
yakni: melibatkan sekurang-kurangnya dua pihak, adanya tindakan mempengaruhi
secara sengaja, terjadinya pertukaran pesan persuasif, dan adanya sukarelawan dalam
menerima atau menolak gagasan ditawarkan. Istilah persuasi sendiri sangat „cair’ dan
mudah berubah. Bila upaya mempengaruhi itu mengndung unsur-unsur
penyimpangan kebenaran isi pesan secara sengaja dan sistematis, maka hal itu disebut
manipulasi. Bila pelaku lebih bersiat memaksa daripada mempengaruhi secara sukarela maka istilah yang digunakan adalah koersi.
Strategi persuasi dalam implementasi teori disonansi kognitif dapat membantu
mengidentifikasi proses-proses yang terjadi ketika pesan-pesan diarahkan untuk
mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak. Strategi tersebut juga dapat memperkaya
pemahaman mengenai tahapan efek yang akan dimunculkan dalam sebuah kegiatan
kampanye maupuan aktivitas komunikasi lain yang bertujuan mempengaruhi sikap
khalayaknya. Bertolak dari teori diatas, Perlof (1993( menyarankan beberapa strategi
persuasi yang dapat digunakan dalam praktik kampanye yakni:
a. Komunikator yang terpercaya
Pesan yang diorganisasikan dan disampaikan dengan baik belum cukup untuk
mempengaruhi khalayak. Diperlukan juga kommunikator yang terpercaya untuk
menyampaikan pesan tersebut. Semua bukti didunika menunjukan bahwa pesan yang
dirancang dan disampaikan denga sempurna tidak akan membawa perubahan perilaku
maka kredibilitas komunikator merupakan hal yang harus diperhatikan agar ia bisa
menjadi pembawa pesan yang dapat dipercaya.18
b. Mengemas pesan sesuai dengan keyakinan khalayak
Fishbein dan Ajzen (Perlof, 1993) mengatakan bahwa pesan akan dapat mempunyai
pengaruh yang besar untuk dapat mengubah perilaku, maupun sukap khalayak jika
dikemas sesuai dengan kepercayaan yang ada pada diri khalayak. Karena dari tujuan
dan tema utama dari kampanye hendaknya dibuat pesan-pesan yang sesuai dengan
kepercayaan khalayak.19 Dalam konteks dinamika Islam dan komunikasi politik
Indonesia, kain sorban dan peci hitam pun sering menjadi pakaian penting para
politisi dan aktivitas komunikasi politik ketika membutuhkan dukungan massa yang
nota-bene mayoritas beragama Islam.
c. Strategi inkonsistensi
Berdasarkan teori disonansi kognitif, memunculkan sebuah pesan yang akan
menimbulkan disonansi kaena tidak cocok dengan apa yang selama ini mereka
percayai. Ketidak cocokan tersebut pada akhirnya akan membawanya berada pada
kondisi yang aman dan membimbingkhalayak agar melakukan perubahan perilaku
sesuai dengan apa yang dianjurkan dalam kampanye.
Salah satu contoh dari strategi ini dapat kita temui pada kampanye anti rokok.
Dahulu, orang yang merokok berpikir bahwa bahaya meroko hanyalah akan menimpa
18
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 43-44 19
31
diri merka sendiri. Konsekuensinya, orang lain tidak punya hak untuk mencampuri
dan melarang kebiasaan orang dalam merokok. Kemudian dimunculkanlah
fakta-fakta hasil penelitian yang menunjukan bahwa asap rokok juga sangat
membahayakan orang yang tidak merokok namun sering terkena asap rokok orang
lain yang dekat dengannya. Pengetahuan ini dapat menimbulkan ketidak nyamanan
pada diri perokok karena merasa merugikan orang lain ataupun anggota keluarganya
yang tidak merokok. Kondisi ini akhirnya membawa mereka untuk mengurangi
kebiasaan merokoknya.20
d. Memunculkan kekuatan diri khalayak
Agar dapat membuat perubahan perilaku yang permanen pada diri khalayak, salah
satu hal yang harus dilakuakn adalah meyakinkan mereka secara personal mempunyai
kekuatan untuk melakukan perubahan tersebut. Khalayak harus disadarkan bahwa
mereka dengan segala kemampuannya pasti akan dapat megubah perilaku kurang
baik menjadi perilaku yang lebih baik seperti yang dianjurkan dalam kampanye.
Keyakinan bahwa seseorang secara personal mempunyai kemampuan untuk
membentuk perilaku yang direkomendasikan disebut dengan persepsi kemampuan
diri (self-efficacy perception). Persepsi kemampuan diri ini berada pada tatran psikologi khalayak, karenanya yang harus dimunculkan dari khalayak adalah
pemikiran bahwa mereka mampu merubah perilaku mereka.21
20
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 47 21
3. Prinsip-prinsip Umum Persuasi dalam Teori Disonansi Kognitif
Persuasi secara ilmiah dapat dimaknai sebagai, proses, kemampuan, atau seni
mempengaruhi, ajakan tindakan atau pendapat orang lain dengan cara-cara dan alasan
atau himbauan intelektual dan perspektif dan meyakinkan. 22Menurut Hogan (1996)
ada sembilan prinsip umum persuasi yang selalu dapat diterapkan dalam praktik
kampanye baik dalam tataran microlevel maupun macrolevel. Berikut adalah prinsip-prinsip tersebut;
a. Prinsip timbal balik. Jika manusia menerima sesuatu yang dipandang
berharga, maka seketika ia akan menganggapi dengan pmemberikan sesuatu.
Contoh dalam kasus ini adalah, konsultasi gratis yang diberikan peerusahaan
kosmetik mengenai perawatan kulit wajah akan membuat konsumen merasa
diperhatikan dan memiliki pengetahuan, yang kemudian akan membawanya
untuk menggunakan produk tersebut. Hal ini bahkan bisa terjadi tanpa adanya
anjuran.
b. Prinsip kontras. Sepasang saudara kembar akan terlihat nyata perbedaannya
jika berdiri berdampingan, apalagi dua benda yang relatif beda satu sama lain.
Mereka akan semakin berbeda jika berdekatan pada ruang dan waktu. Orang
cenderung akan memilih yang terbaik dari dua buah pilihan yang hampir sama
tersebut. Contohnya, perusahaan real estate menwawarkan kepada seseorang berniat membeli rumah seharga 1,7 milyar, dan setelah itu ditawarkan sebuah
22
33
rumah seharga 2 milyar. Jika dua rumah berada dalam lingkungan yang
serupa, semakin mahal rumahnya akan semakin banyak kelebihannya yang
dapat ditawarkan perusahaan tersebut kepada calon konsumen. Prang
cenderung mengingat hal terakhir yang mereka lihat atau diberitahu bahwa hal
tersebut jauh lebih baik dari sebelumnya. Dalam kasus ini, konsumen melihat
yang kedua jauh lebih bagus dan selisih harga tiga ratus juta adalah hal kecil.
Karenanya dalam sebuah brosur biasanya hal yang terbaik dicantumkan pada
posisi akhir den dengan ukuran yang besar.
c. Prinsip karena teman. Orang akan melakukan hampir semua hal yang diminta
oleh seorang teman kepadanya. Ini terjadi karena teman adalah orang yang
disukai dan biasanya rasa suka ini muncul karena teman tersebut juga
mempunyai banyak persamaan dengannya. Semakin banyak komunikator
menunjukan persamaan dengan komunikan (misalnya dalam hal ideologi,
latar belakang, sikap dan sebagainya) maka semakin besar kemungkinan
untuk mempersuai kemungkinan.
d. Prinsip harapan. Orang akan cenderung melakukan sesuatu yang ia percayai
dan ia hormati. Sebuah kampanye garam beryodium untuk menurunkan
jumlah penderita penyakit gondok akan dapat mempengaruhi khalayak yang
memiliki harapan besar kan kesehatannya.
e. Prinsip asosiasi. Manusia cenderung menyukai produk, jasa, atau gagasan
yang didukung oleh oang lain yang disukai atau dihormati. Seseorang yang
menyukai orang lain berhubungan dengan suatu produk, cenderung akan
mengapa banyak kampanye promosi menggunakan selebritis dan tokoh
masyarakat seperti ulama.
f. Prinsip konsistensi. Seseorang yang mempunyai pendiri tertulis atau lisan
dalam sebuah persoalan akan mempunyai kecenderungan yang kuat untuk
membela pendirian itu tanpa peduli bukti-bukti berlawanan yang
menghadangnya. Orang akan melakukan sesuati jika itu sesuai dengan
pendiriannya. Jika yang ditawarkan merupakan sesuatu yang berlawanan,
maka komunikator harus dapat memunculkan nilai-nilai lebih yang akania
peroleh dengan melakukan tindakan tersebut dan jangan langsung mengatakan
bahwa pendirian yang ia miliki harus diubah.
g. Prinsip kelangkaan. Semakin langka sesuatu yang diinginkan, maka akan
semakin besar nilainya. Orang juga akan melakukan sesuatu jika merasa
bahwa kesempatan yang sama tidakakan ia dapatkan pada waktu dan tempat
yang lain. Banyak kampanye promosi yang menggunakan prinsip kelangkaan
untuk meningkatkan penjualan pada periode waktu tertentu. Ini dapat terlihat
dari adanya pesan-pesan seperti “berlaku hanya pada tanggal x hingga tanggal
y”.
h. Prinsip kompromi. Kebanyakan orang cenderung menyetujui ide usul, produk,
atau jasa yang akan dipandang bisa diterima oleh mayoritas orang lain atau
mayoritas anggota kelompoknya. Orang akan menyesuaikan hal-hal yang ia
lakukan dengan norma-norma yang berlaku.
i. Prinsip kekuasaan. Prinsip ini juga merupakan bagian dari inti pembahasan
35
orang lain, semakin besar kemungkinan permintaannya akan dipertimbangkan
dan akan diterima. Kekuasaan dapat menyangkut posisi yang ia miliki dalam
sebuah organisasi atau kemampuan yang ia miliki didalam bidangnya.23
Kesembilan prinsip yang menunjang teori disonansi kognitif tersebut dapat
digunakanuntuk membantu merancang dan melaksanakan berbagai tindakan persuasi
dalam sebuah kampanye atau aktivitas publisitas. Penggunaan masing-masing prinsip
tentunya disesuaikan dengan tujuan serta khalayak sasaran kampanye.
4. Paparan Selektif dan Perhatian Selektif
Teori disonansi sangat menarik perhatian kita di bidang-bidang pencarian dan
penolakan informasi, sering disebut paparan selektif dan perhatian selektif. Teori
disonansi memprediksikan bahwa setiap individu akan menolak informasi yang
mengakibatkan disonansi.24
Beberapa peneliti telah berpendapat bahwa seseorang tidak secara lumrah
memilih atau menolak seluruh pesan (paparan selektif) karena kita sering tidak dapat
menilai isi pesan sebelumnya. Beberapa peneliti lain mengamati bahwa biasanya kita
dikelilingi oleh orang-orang dan media yang setuju dengan kita dalam isu-isu besar
(McGuire, 1968). Sejumlah peneliti berpendapat bahwa banyak orang yang secara
khususakan memperhatikan bagian-bagian sebuah pesan yang tidak bertentangan
dengan sikap, kepercayaan, atau perilaku yag dianutnya (perhatian selektif) dan tidak
23
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 48-49. 24
memperhatikan bagian-bagian sebuah pesan yang sangat bertentangan dengan
posisinya dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan atau disonansi psikologis.
Terdapat banyak bukti bahwa orang akan memperhatikan hal-hal yang tidak
mendukung posisi mereka apabila mereka yakin bahwa hal-hal itu akan mudah
disangkal, tetapi mereka akan menolak informasi yang mendukung posisi mereka bila
informasi itu lemah. Bukti yang kedua tersebut dapat menyebabkan mereka
kehilangan kemantapan pada posisi awal (Brock dan Balloun, 1967; Lowin, 1969;
Kleinhesselink dan Edwards, 1975).25
Dalam sebuah ringkasan penelitian beberapa penulis menyimpulkan bahwa
hanya ada sedikti bukti untuk mendukung hipotesis bahwa seseorang akan menolak
seluruh pesan (paparan selektif) yang bertentangan dengan keyakinan/sikap mereka
(Brehn dan Cohen, 1962; Freedman dan Sears, 1965; Sears, 1968). Para peneliti
menemukan bahwa seseorang yang berupaya mendapatkan hal-hal baru tidak selalu
menolak informasi-pemicu disonansi. Manfaat informasi yang tampak (misalnya,
pembelajaran argumen-argumen kontra “yang tidak masuk akal” dapat mendorong
seseorang untuk memperhatikan informasi-pemicu disonansi. Informasi kontradiktif
yang baru, menarik, penting, relevan secara pribadi, atau menghibur mungkin tidak
akan ditolak. Informasi kontradiktif yang bermanfaat dalam pembelajaran suatu
keterapilan atau pemecahan sebuah masalah mungkin akan diperhatikan. Dengan kata
lain, apabila pesan berisi penghargaan yang jauh melampaui ketidaknyamanan
psikologis atau disonansi yang ditimbulkan, maka mungkin pesan tersebut tidak akan
25
37
ditolak. Orang lebih cenderung memperhatikan hal-hal yang bertentangan dengan
keyakinan, perilaku, atau pilihan mereka yang tidak terlalu kuat. Dengan keyakinan
yang kuat orang yang begitu mantap dengan pandangannya tidak akan menolak
informasi kontradiktif karena mereka dapat dengan mudah manangkalnya. Untuk
pendapat yang berbeda, lihat Freedman dan Sears (1650, yang menyipulkan bahwa
seseorang tidak menolak informasi disonan; dan Mills, (1968), yang berpendapat
bahwa dalam suasana tertentu seseorang tidak menolak informasi kontradiktif.
Keduanya tercantum dalam Abelson et al. (1968), yang memberikan perlakuan yang mendalam dan luas terhadap teori-teori persuasif dan konsistensi.26
5. Disonansi kognitif sebagai upaya propaganda politik
Asal istilah propaganda yang mengacu kepada gejala sosial dapat ditelusuri sampai
setengah milenia yang lalu. Pada tahun 1662 Paus Gregorius XV mebentuk suatu
komisi para kardinal, congregratio de Propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan Kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Secara khas para misioner itu
ditugasi untuk menyebarkan doktrin ini, seorang misioner untuk satu kelompok yang
terdiri atas beberapa ribu pemeluk baru yang diharapkan. Maka dari ini berasal tidak
hanya istilah propaganda, tetapi juga karakteristik utama kegiatannya, yakni
propaganda sebagai komunikasi satu-kepada-banyak. Propagandis adalah seseorang
atau kelompok kecil yang menjangkau khalayak kolektif yang lebih besar.27
26
Werner J. Severin – James W. Tankard. Jr, Teori Komunikasi, h. 169. 27
Selain itu, definisi propaganda yang diutarakan oleh Dan Nimmo dalam
bukunya Komunikasi Politik, bahwa propaganda adalah sebuah aktivitas yang
dilakukan oleh kelompok masadepan, dimana masyarakat masadepan ini memiliki
tiga ciri utama, yaitu (1) komunikasi satu-kepada-banyak, (2) beroprasi terhadap
orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota kelompok, (3)
sebagai mekanisme kontrol sosial dengan menggunakan persuasi untuk mencapai
ketertiban. Jacques Ellul, seorang sosiolog dan filosof Perancis, merangkumkan
ciri-ciri ini dalam mendefinisikan propaganda, yaitu komunikasi tang digunakan oleh
suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakanpartisipasi aktif atau pasif
dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu,
dipersatukan secara psikologismelalui manipulasi psikologis dan digabungkan di
dalam suatu organiasasi.28
Dalam konteks propaganda dakwah politik yang mengkaji tentang partai
politik. Maka, propaganda dapat dicontoh tentang sifat satu-kepada-banyak dari
propaganda politik. Para pembicara keliling pada masa lampau berpidato di depan
kumpulan para partisan mereka; sekarang tradisi itu berlanjut dalam pidato-pidato29,
dan rapat umum partai lainnya.
Seperti yang sudah dikemukakan dalam definisi Ellul, propaganda adalah
suatu alat yang dipergunakan oleh kelompok yang terorganisasi untuk menjangkau
individu-individu yang secara psikologis dimanipulasi dan digabungkan kedalam
28
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, h. 123-124 29
39
suatu organisasi. Bagi Ellul (dan juga bagi sarjana-sarjana yang lain, perkembangan
kelompok itu terjadi secara serempak dengan perkembangan propaganda. Propaganda
adalah suatu gejala kelompok yang erat kaitannya dengan “organisasi dan tindakan –
yang tanpa itu propaganda praktis tidak ada”. “propaganda yang efektif”, demikian
tulis Ellul, “hany dapat bekerja di dalam suatu kelompok, pada prinsipnya di suatu
negara.”30