✏ ✗ ✤✙ ✏ ✩ ✗ ✒ ✗ ✤ ✭ ✛ ✚ ✮ ✗ ✔ ✗ ✓ ✯ ✛ ✣✗ ✒ ✏ ✗✒✘ ✗ ✚ ✗ ✰ ✛ ✚ ✜ ✓✜ ✓✑ ✗ ✚
iv ABSTRAK
Achla Ilfana, 1111016100036, Perbedaan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi antara Siswa yang Menggunakan Model Problem Based Learning (PBL) dan
Group Investigation (GI), Skripsi, Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model problem based learning (PBL) dan group investigation (GI). Penelitian dilakukan di SMAN 1 Parung Tahun Pelajaran 2015/2016 dengan metode quasi experiment yang menggunakan two group pretest-posttest design. Pengambilan sampel menggunakan tekhnik sampel acak kelas. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas X MIA 2 berjumlah 36 orang sebagai kelas eksperimen I (kelas yang menggunakan pembelajaran PBL) dan siswa kelas X MIA 1 berjumlah 36 orang sebagai kelas eksperimen II (kelas yang menggunakan pembelajaran GI). Instrumen penelitian berupa soal essay sebanyak 12 soal, lembar observasi siswa dan lembar observasi guru. Pengujian statistik dari kedua kelas tersebut menggunakan uji-t, diperoleh hasil thitung sebesar 0.12 dan ttabel sebesar 1.99.
Hal ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel (0.12<1.99) sehingga H0 diterima pada taraf signifikan α = 0.05. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan keterampilan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model problem based learning (PBL) dan group investigation (GI).
v ABSTRACT
Achla Ilfana, 1111016100036, Differences of High Order Thinking Skill Between Students Using Problem Based Learning Model (PBL) and Group Investigation Model (GI), BA Thesis, Biology Education Study Program, Department of Natural Science Education, Faculty of Tarbiya and Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.
The aim of this research is to determine the differences of high order thinking skill between students using problem based learning model (PBL) and group investigation model (GI). This research was conducted at SMAN 1 Parung in academic year 2015/2016 with quasi experimental method by using two group pretest posttest design. Samples were taken by simple random sampling technique. The samples of this research were 36 students from class X MIA 2 as the first experimental class (used problem based learning model) and the 36 students from class X MIA 1 as the second experimental class (used group investigation model). The research instrument was an essay consists of 12 questions, observation sheet for students, and observation sheet for teacher. Statistical testing of these two classes using t-test, obtained result tcount 0.12 and ttable 1.99. This suggest that tcount < ttable (0.12<1.99) so H0 is accepted at the significance level α = 0.05. The result of this research indicate that there were no difference high order thinking skill between students using problem based learning model (PBL) and group investigation model (GI).
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya serta
karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis. Shalawat serta salam semoga
selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga juga
para sahabat-sahabat beliau dan mudah-mudahan termasuk pula kita selaku
umatnya. Sehingga dengan Ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi yang berjudul Perbedaan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
antara Siswa yang Menggunakan Model Problem Based Learning (PBL) dan
Group Investigation (GI).
Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu tugas akhir untuk memenuhi
persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Program S1 pada Program
Studi Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sepenuhnya penulis menyadari bahwa
penyelesaian skripsi ini bukan semata-mata atas usaha sendiri, melainkan bantuan
dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan
ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, selaku dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta.
2. Baiq Hana Susanti, M.Sc selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Alam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Yanti Herlanti, M. Pd, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Biologi
Jurusan Ilmu Pendidikan Alam UIN Syarif Hidyataullah Jakarta.
4. Nengsih Juanengsih, M.Pd, selaku dosen pembimbing I yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini dengan
penuh kesabaran.
5. Eny S. Rosyidatun, S.Si, MA, selaku dosen pembimbing II yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini dengan
vii
6. Ikhwan Setiawan, S.Pd selaku Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Parung dan
Dra. Musarofah, M.Pd, selaku guru bidang studi Biologi yang telah
memberikan izin dan kesempatan untuk melaksanakan penelitian skripsi.
7. Teristimewa kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda Drs. Sirril Wafa, MA
dan Ibunda Dra. Linitaria, yang selalu mencurahkan kasih sayang dan doanya
yang tak pernah terhenti untuk kesuksesan penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Doa, didikan, nasihat, dan semangat yang
diberikan senantiasa menjadi pengobat rasa lelah dan pemicu untuk
senantiasa melakukan yang terbaik dan berusaha meraih yang terbaik untuk
membuat ayah dan mama bangga dan bahagia. Semoga Allah selalu
menyayangi dan melindungi keduanya.
8. Adik-adikku tercinta, Imtiyaz Fawa’ida dan Alvin Nawal Syarof serta keluarga tercinta yang senantiasa telah memberikan doa, motivasi, serta
keceriaan pada penulis.
9. Yody Tistanto, SH, yang sudah menemani dan melengkapi perjalanan hidup
penulis, terimakasih untuk kasih sayang, doa, bantuan serta motivasi yang
selama ini selalu tercurah untuk penulis.
10. Sahabat-sahabat tersayang, Yulia Rahmawati, S.Pd, Attika Fadillah, S.IKom,
Isti Anggraini, Tri Dewi Putri, Qorina Oktaviani, Nurhasanah, Andini Puji
Lestari, dan Rika Herlianisa Fitri, terimakasih untuk dukungan, doa,
pengalaman, serta candatawanya selama ini.
11. Teman-teman satu perjuangan di Pendidikan Biologi 2011 A dan B,
terimakasih atas dukungan dan doanya.
12. Seluruh keluarga besar SMA Negeri 1 Parung khususnya kepada siswa kelas
X MIA 1 dan X MIA 2 yang telah bersedia bekerjasama selama penelitian.
13. Teman-teman yang membantu selama proses penelitian, Muti, Kak Amel,
Fatimah, Dian, Intan, Kak Marlina, Isti, dan Miryanti.
14. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan Muti, Fitri, Egi, Qori.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu baik secara langsung
viii
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis
khususnya.
Jakarta, Mei 2016
ix DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Perumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II DESKRIPSI TEORITIS A. Deskripsi Teoritis ... 9
1. Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 9
a. Pengertian Berpikir ... 9
b. Teori Perkembangan Kemampuan Berpikir ... 10
c. Konsep Kemampuan Berpikir ... 10
d. Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 11
x
a. Pengertian Model Pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) ... 14
b. Ciri-ciri Problem Based Learning (PBL) ... 16
c. Langkah-langkah Problem Based Learning (PBL) ... 18
d. Tahapan Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) ... 18
e. Keunggulan dan Kelemahan Problem Based Learning (PBL) ... 19
3. Model Pembelajaran Group Investigation (GI) ... 20
a. Pengertian Model Pembelajaran Group Investigation (GI) ... 20
b. Ciri-ciri Group Investigation (GI) ... 23
c. Langkah-langkah Group Investigation (GI) ... 24
d. Tahapan Pembelajaran Group Investigation (GI) ... 25
e. Keunggulan dan Kelemahan Group Investigation (GI) .... 26
4. Tinjauan Konsep Archaebacteria dan Eubacteria ... 27
a. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Konsep Archaebacteria dan Eubacteria ... 27
b. Kajian Konsep Archaebacteria dan Eubacteria ... 28
B. Kajian Penelitian yang Relevan ... 29
C. Kerangka Pikir ... 31
D. Perumusan Hipotesis ... 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian... 34
B. Metode Penelitian ... 35
C. Populasi dan Sampel ... 37
D. Teknik Pengambilan Data ... 37
E. Instrumen Penelitian ... 38
1. Tes Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 38
xi
F. Prosedur Penelitian ... 41
G. Kalibrasi Instrumen ... 42
1. Uji Validitas ... 43
2. Uji Reliabilitas ... 43
3. Taraf Kesukaran ... 44
4. Daya Pembeda ... 44
H. Teknik Analisis Data ... 45
1. Uji Prasyarat Analisis Data ... 45
a. Uji Normalitas ... 45
b. Uji Homogentitas ... 46
2. Teknik Pengujian Hipotesis ... 47
3. Uji N-Gain ... 47
I. Hipotesis Statistik ... 48
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 49
1. Hasil Pretest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 49
2. Hasil Posttest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 51
3. Hasil N-Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi... 54
4. Hasil Penilaian Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 56
5. Hasil Analisis Data Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran ... 58
6. Hasil Analisis Data Lembar Observasi Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa... 59
7. Hasil Uji Prasyarat Analisis ... 60
a. Uji Normalitas ... 60
b. Uji Homogenitas ... 61
8. Hasil Uji Hipotesis... 62
a. Hasil Uji Hipotesis Pretest ... 62
b. Hasil Uji Hipotesis Posttest ... 63
xii
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 66
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 72
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kategori pada Dimensi Proses Kognitif dan Proses-proses Kognitif
terkait ... 12
Tabel 2.2 Tahapan Problem Based Learning ... 18
Tabel 2.3 Tahapan Group Investigation... 25
Tabel 2.4 KI dan KD Konsep Archaebacteria dan Eubacteria... 27
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 34
Tabel 3.2 Desain Penelitian... 36
Tabel 3.3 Kisi-kisi Instrumen Tes Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi ... 38
Tabel 3.4 Kisi-kisi Instrumen Lembar Observasi Kegiatan Siswa ... 39
Tabel 3.5 Kisi-kisi Instrumen Lembar Observasi Kegiatan Guru... 40
Tabel 3.6 Kriteria Penafsiran Validitas Instrumen ... 43
Tabel 3.7 Kriteria Penafsiran Reliabilitas Instrumen ... 43
Tabel 3.8 Interpretasi Tingkat Kesukaran ... 44
Tabel 3.9 Interpretasi Daya Pembeda ... 45
Tabel 3.10 Kriteria N-Gain ... 48
Tabel 4.1 Data Pretest Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 49
Tabel 4.2 Hasil Pretest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Berdasarkan Jenjang Taksonomi Bloom Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 50
Tabel 4.3 Hasil Pretest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Berdasarkan Sub-Konsep Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 51
Tabel 4.4 Data Posttest Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 52
Tabel 4.5 Hasil Posttest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Berdasarkan Jenjang Taksonomi Bloom Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 52
Tabel 4.6 Hasil Posttest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Berdasarkan Sub-Konsep Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 53
xiv
Tabel 4.8 Persentase N-Gain pada Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II . 54
Tabel 4.9 Hasil N-Gain Berdasarkan Jenjang Taksonomi Bloom Kelas
Eksperimen I dan Eksperimen II ... 55
Tabel 4.10 Hasil N-Gain Berdasarkan Sub-Konsep Kelas Eksperimen I dan
Eksperimen II ... 56
Tabel 4.11 Hasil Penilaian LKS Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 57
Tabel 4.12 Data Hasil Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran di Kelas
Eksperimen I ... 58
Tabel 4.13 Data Hasil Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran di Kelas
Eksperimen II ... 59
Tabel 4.14 Data Hasil Observasi Proses Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi 60
Tabel 4.15 Hasil Uji Normalitas ... 61
Tabel 4.16 Hasil Uji Homogenitas ... 61
Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Uji Hipotesis Pretest ... 61 Tabel 4.18 Hasil Perhitungan Uji Hipotesis Pretest Berdasarkan Jenjang
Taksonomi Bloom ... 63
Tabel 4.19 Hasil Perhitungan Uji Hipotesis Posttest ... 64 Tabel 4.20 Hasil Perhitungan Uji Hipotesis Posttest Berdasarkan Jenjang
Taksonomi Bloom ... 64
Tabel 4.21 Hasil Perhitungan Uji Hipotesis N-Gain ... 65
Tabel 4.22 Hasil Perhitungan Uji Hipotesis N-GainBerdasarkan Jenjang
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen I 77
Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen II 119
Lampiran 3. Lembar Kerja Siswa (LKS) Kelas Eksperimen I... 163
Lampiran 4. Lembar Kerja Siswa (LKS) Kelas Eksperimen II ... 190
Lampiran 5. Kisi-kisi Instrumen Tes ... 206
Lampiran 6. Analisis Butir Soal ... 221
Lampiran 7. Nilai Pretest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 228
Lampiran 8. Hasil Pretest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Berdasarkan Sub-Konsep Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 232
Lampiran 9. Nilai Posttest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 236
Lampiran 10. Hasil Posttest Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Berdasarkan Sub-Konsep Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 240
Lampiran 11. N-Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 244
Lampiran 12. N-Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Berdasarkan Jenjang Taksonomi Bloom Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 246
Lampiran 13. N-Gain Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Berdasarkan Sub-Konsep Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 248
Lampiran 14. Hasil Penilaian LKS Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II 250
Lampiran 15. Lembar Observasi Kegiatan Siswa ... 262
Lampiran 16. Lembar Observasi Kegiatan Guru ... 352
Lampiran 17. Data Hasil Observasi Kegiatan Siswa di Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II ... 364
xvii
Lampiran 19. Uji Normalitas Posttest ... 378
Lampiran 20. Uji Normalitas N-Gain ... 380
Lampiran 21. Uji Homogenitas Pretest ... 382
Lampiran 22. Uji Homogenitas Posttest ... 383
Lampiran 23. Uji Homogenitas N-Gain ... 384
Lampiran 24. Uji Hipotesis Pretest ... 385
Lampiran 25. Uji Hipotesis Posttest ... 386
Lampiran 26. Uji Hipotesis N-Gain ... 387
Lampiran 27. Uji Hipotesis Pretest Berdasarkan Jenjang Taksonomi Bloom 388 Lampiran 28. Uji Hipotesis Posttest Berdasarkan Jenjang Taksonomi Bloom 391 Lampiran 29. Uji Hipotesis N-GainBerdasarkan Jenjang Taksonomi Bloom 394 Lampiran 30. Hasil Angket Siswa Kelas Eksperimen I dan Eksperimen II . 397 Lampiran 31. Lembar Hasil Wawancara Guru ... 398
Lampiran 32. Dokumentasi Foto Penelitian... 400
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belajar adalah mengkonstruksi pengetahuan, yang di dalamnya siswa
berusaha memahami pengalaman-pengalaman mereka.1 Belajar merupakan aktivitas yang dilakukan siswa yang bersifat kompleks sehingga menghasilkan
suatu perubahan sikap dan penambahan pengetahuan. Selama prosesnya, belajar
yang dilakukan siswa di sekolah dibantu dan difasilitasi oleh seorang guru.
Seorang guru yang profesional memahami apa yang diajarkannya,
menguasai bagaimana mengajarkannya dan yang tidak kalah pentingnya
menyadari benar mengapa dia menetapkan pilihan terhadap kegiatan belajar
mengajar tersebut.2 Kualitas pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan profesional guru, terutama dalam memberikan kemudahan belajar kepada peserta
didik secara efektif, dan efisien.3
Pelaksanaan proses pendidikan untuk menciptakan suasana belajar yang
aktif dan tidak membosankan harus dilaksanakan oleh pendidik secara terencana,
bagaimana menciptakan keaktifan siswa, suasana kelas yang menyenangkan dan
tidak monoton, melulu menggunakan metode ceramah, semua merupakan tugas
mulia yang diemban oleh seorang pendidik demi meningkatkan kualitas proses
belajar. Belakangan ini, semakin banyak pengelola institusi pendidikan yang
menyadari perlunya pendekatan pembelajaran yang berpusat pada pemelajar
(Learner centered).4 Oleh karena itu, tugas calon pendidik masa depan yang profesional harus dapat menjadikan pelajaran yang sebelumnya tidak menarik dan
1
Lorin W. Anderson dan David R. Karthwohl, Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom, Terj. dari A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives
oleh Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. 1, h. 98.
2
Syafruddin Nurdin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), Cet. 3, h. 22.
3
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. 4, h. 13.
4
2
membosankan sehingga menjadi menarik dan menyenangkan, yang dirasakan sulit
menjadi mudah, dan yang tadinya tak bermakna menjadi bermakna.
Kreatifitas pendidik yang kurang maksimal memberikan dampak besar
terhadap motivasi belajar siswa sehingga tidak merangsang keterampilan dan
bakat siswa dalam berpikir. Sejauh ini masih banyak ditemukan pembelajaran IPA
khususnya mata pelajaran Biologi yang cenderung text book oriented. Kelas masih terfokus pada guru sebagai sumber pengetahuan (teacher centered) dan metode pembelajaran konvensional masih menjadi pilihan utama strategi pembelajaran.5 Metode konvensional masih mendominasi cara guru dalam menyampaikan materi
ajar. Kebiasaan model belajar yang seperti ini yang menjadi penyebab kurangnya
motivasi belajar bagi siswa. Sehingga, keterampilan berpikir siswa menjadi tidak
terlatih untuk selalu berpikir di level yang tinggi atau kritis.
Galbreath mengemukakan bahwa, pada abad pengetahuan, modal
intelektual, khususnya kecakapan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking), merupakan kebutuhan sebagai tenaga kerja yang handal.6 Untuk menciptakan generasi muda yang demikian, maka tugas pendidik menjadi sangat berperan
dalam mengasah keterampilan berpikir siswa agar dapat bermanfaat bagi
kehidupannnya yang mendatang. Menurut Rosnawati, keterampilan berpikir
tingkat tinggi (High Order Thinking – HOTS) adalah keterampilan yang lebih dari sekedar mengingat, memahami dan mengaplikasikan.7 Dalam taksonomi bloom, mengingat merupakan kategori proses kognitif yang paling rendah yaitu C1,
dilanjutkan dengan memahami (C2) satu level di atas mengingat, kemudian C3
yaitu megaplikasikan.
5Agus G. Widiantara, I Wayan Lasmawan, dan Ni Ketut Suarni, “Determinasi Penerapan
Model Pembelajaran Inkuiri Sosial terhadap Sikap Sosial dan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Singaraja”, e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Dasar, Vol. 3, 2013, h. 2, diakses dari http://pasca.undiksha.ac.id/e-journal/index.php/jurnal_pendas/article/view/536/328, pada tanggal 15 November 2015.
6
Ida Bagus Putu Arnyana, “Pengaruh Penerapan Strategi Pembelajaran Inovatif pada Pelajaran Biologi Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA”, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3, Th. XXXIX, 2006, h. 241, diakses dari
http://pasca.undiksha.ac.id, pada tanggal 7 September 2015.
7Ulfa Luthfiana Al „Azzy dan Eddy Budiono, “Penerapan Strategi
Brain Based Learning
Kategori-kategori pada dimensi proses kognitif merupakan
pengklasifikasian proses-proses kognitif siswa secara komperhensif yang terdapat
dalam tujuan-tujuan di bidang pendidikan.8 Anderson dan Krathwohl merevisi taksonomi dengan mengklasifikasikan enam proses kognitif yang dapat dipelajari
siswa yaitu (1) mengingat, (2) memahami, (3) mengaplikasikan, (4) menganalisis,
(5) mengevaluasi, dan (6) menciptakan. Enam kategori dimensi kognitif tersebut
merupakan tingkatan dari keterampilan kognitif terendah hingga tertinggi yang
dapat dicapai siswa. Kategori-kategori ini merentang dari proses kognitif yang
paling banyak dijumpai dalam tujuan-tujuan di bidang pendidikan, yaitu
Mengingat, kemudian Memahami dan Mengaplikasikan, ke proses-proses kognitif yang jarang dijumpai, yakni Menganalisis, Mengevaluasi, dan Mencipta.9
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan berpikir
yang hanya menuntut siswa untuk mengingat, memahami, dan mengaplikasikan
suatu materi pelajaran dapat digolongkan ke dalam kategori Low Order Thinking
(LOT), sedangkan High Order Thinking (HOT) merupakan keterampilan yang lebih dari sekedar mengingat, memahami dan mengaplikasikan, yakni
menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Jadi, untuk mengasah keterampilan
berpikir tingkat tinggi siswa yang tidak hanya sekedar menuntut siswa mengingat,
memahami, dan mengaplikasikan, maka dibutuhkan pendidik yang kreatif dan
inovatif menyusun atau menggabungkan strategi pembelajaran yang menarik dan
menyenangkan sehingga siswa secara terarah dapat mengolah pola pikirnya
menjadi lebih aktif berpikir dan selalu terjadi gejolak konflik kognitif pada pola
pikirnya.
Johnson, Krulik dan Rudnick menyebutkan bahwa berpikir tingkat tinggi
terdiri dari berpikir kritis dan berpikir kreatif. Berpikir kritis adalah aktivitas
mental dalam hal memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis
asumsi, mengevaluasi, memberi rasional, dan melakukan penyelidikan.
8
Anderson dan Krathwohl, Op. Cit., h. 43.
9
4
Sedangkan berpikir kreatif adalah aktivitas mental yang menghasilkan ide-ide
yang orisinil, berdaya cipta, dan mampu menerapkan ide-ide.10
Keterampilan siswa dalam mengolah daya pikirnya tidak terlepas dari
peran seorang guru. Guru harus dapat memvariasikan metode-metode dan model
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dan
materi yang akan dipelajari. Selain itu, pembelajaran yang selama ini berpusat
pada guru harus diubah menjadi pembelajaran berpusat pada siswa. Sehingga
pengetahuan akan didapat oleh siswa sendiri, dan diharapkan tidak hanya sekedar
mengingat, memahami dan mengaplikasikan, namun pembelajaran yang didapat
menjadi lebih bermakna.
Sekolah yang sudah mampu mencetak generasi dengan keterampilan
berpikir yang tinggi juga sudah banyak ditemukan. Pembelajaran yang aktif
dengan aspirasi dan pendapat para siswa menuntunnya membangun sebuah
pengetahuan baru yang orisinil. Hal ini juga tidak terlepas dari peran seorang guru
profesional dalam implementasinya terhadap kurikulum.
SMAN 1 Parung merupakan salah satu sekolah di wilayah kabupaten
Bogor yang dalam proses pembelajarannya telah menggunakan kurikulum 2013.
Sekolah ini menerapkan proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif.
Berdasarkan hasil wawancara dengan sekolah menunjukkan bahwa pembelajaran
dilaksanakan dengan metode diskusi dan praktikum. Sedangkan model
pembelajaran yang biasa dilakukan adalah model inkuiri yaitu dengan siswa
melakukan praktikum.11
Kreatifitas guru dalam memfasilitasi proses pembangunan keterampilan
berpikir tingkat tinggi siswa terkadang tidak ditunjang dengan penggunaan variasi
model pembelajaran. Memvariasikan model belajar dapat menambah pengalaman
dan wawasan tersendiri bagi siswa, sehingga sebagai pendidik, guru dapat
10 Ida Bagus Putu Arnyana, “Pengaruh Penerapan Model PBL Dipandu Strategi
Kooperatif terhadap Kecakapan Berpikir Kritis Siswa SMA pada Mata Pelajaran Biologi”, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 4, Th. XXXVIII, 2005, h. 648, diakses dari http://pasca.undiksha.ac.id/images/img_item/724.doc, pada tanggal 2 Desember 2015.
11
membandingkan peningkatan keterampilan berpikir siswa berdasarkan model
pembelajaran yang digunakan.
Strategi pembelajaran perlu diterapkan untuk mengantisipasi
masalah-masalah tersebut untuk mengintegrasikan keterampilan berpikir siswa dengan
pembelajaran Biologi. Dalam hal ini, strategi yang dimaksud adalah model
pembelajaran.
Mata pelajaran biologi secara umum terlihat hanya berisi teori dan konsep,
namun ternyata tidak hanya sebatas itu, jika digali lebih dalam, konten biologi
sangat erat kaitannya dengan kehidupan karena proses biologi terjadi dalam
lingkungan kehidupan. Jadi, tidak hanya sekedar teori dan konsep, biologi juga
harus memahami dan memecahkan masalah. Hal ini dapat diperoleh dari
pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang membantu siswa
untuk menemukan masalah dari suatu peristiwa yang nyata, mengumpulkan
informasi melalui strategi yang telah ditentukan sendiri untuk mengambil
keputusan pemecahan masalahnya yang kemudian akan dipresentasikan dalam
bentuk unjuk kerja.12
Keterampilan siswa dalam mengolah data dan keterampilan berkomunikasi
dapat diperoleh melalui model pembelajaran Group Investigation (GI). Model pembelajaran kooperatif tipe group investigation dapat dipakai guru untuk mengembangkan kreativitas siswa, baik secara perorangan maupun kelompok.13 Menurut Mafune, model pembelajaran kooperatif dirancang untuk membantu
terjadinya pembagian tanggung jawab ketika siswa mengikuti pembelajaran dan
berorientasi menuju pembentukan manusia sosial.14
Kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa masih sangat rendah terutama
dalam pelajaran biologi, dalam bayangan siswa, biologi merupakan pelajaran yang
12 Muchamad Afcariono, “Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa pada Mata Pelajaran Biologi”, Jurnal Pendidikan Inovatif, Vol. 3, No. 2, 2008, h. 65, diakses dari https://jurnaljpi.files.wordpress.com/2009/09/vol-3-no-2-muchamad-afcariono.pdf, pada tanggal 4 Oktober 2015.
13
Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), Ed. 2, Cet. 5, h. 222.
14
6
hanya butuh ingatan dan hafalan yang kuat, sehingga tidak terjadi konflik kognitif
pada diri siswa. Selain itu, pembelajaran yang berpusat pada guru tidak akan
memberi kontribusi pada kemampuan siswa dalam mengolah pikirannya secara
kritis sehingga tidak akan bisa membangun pemahaman dan pengetahuannya
terhadap lingkungan di sekitarnya. Untuk itu, inovasi yang bisa mengubah
kebiasaan teacher oriented ialah dengan menjadikan pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Konsep bakteri pada bab Archaebacteria dan Eubacteria dapat digunakan
untuk melatih berpikir tingkat tinggi siswa. Hal ini dikarenakan, bakteri
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Permasalahan terkait
bakteri sering ditemui oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Bakteri merupakan
organisme yang bermanfaat bagi manusia namun di sisi lain, bakteri juga
merupakan organisme yang merugikan. Selain itu, konsep bakteri juga erat
kaitannya dengan modal sebagai tenaga kerja handal yang cakap dalam berpikir
tingkat tinggi, salah satunya adalah tenaga ahli pada bidang kedokteran. Dengan
demikian, konsep Archaebacteria dan Eubacteria dapat memfasilitasi siswa untuk
melatih kemampuan berpikir tingkat tingginya.
Merencanakan proses pembelajaran sebelum melakukan kegiatan belajar
sangat penting. Menyusun strategi inovatif yang dapat merangsang siswa untuk
mengolah kemampuan berpikirnya menjadi lebih kritis dan aktif yang mendasari
untuk berpikir tingkat tinggi. Mengubah model pembelajaran yang biasanya
berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa dan menggunakan berbagai
variasi model pembelajaran sehingga menjadi menarik dan menyenangkan bagi
siswa. Oleh karena itu, penulis mencoba melakukan penelitian dengan judul
“Perbedaan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi antara Siswa yang
Menggunakan Model Problem Based Learning (PBL) dan Group Investigation (GI)”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas ada beberapa masalah yang
1. Kurangnya variasi model pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan
keterampilan berpikir siswa.
2. Kurang berkembangnya keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa.
3. Model Problem Based Learning (PBL) dan Group Investigation (GI) dianggap sebagai solusi untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
4. Belum banyak penelitian untuk melihat perbedaan keterampilan berpikir
tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model Problem Based Learning
(PBL) dan Group Investigation (GI).
C. Pembatasan Masalah
Dari latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka penelitian ini
dibatasi pada;
1. Pembelajaran biologi dalam penelitian ini dibatasi pada materi bakteri.
2. Keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dalam penelitian ini dinilai
mencakup ranah kognitif C4 – C6 yaitu menganalisis, mengevaluasi dan
mencipta.
3. Pendekatan pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran
Problem Based Learning (PBL) dan Group Investigation (GI).
4. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah bab Archaebacteria dan
Eubacteria.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah
dikemukakan, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:
8
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan berpikir
tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model Problem Based Learning
(PBL) dan Group Investigation (GI).
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
yang terlibat dalam pembelajaran biologi baik siswa, guru, penulis, maupun
peneliti lain.
1. Bagi Siswa
Melatih siswa untuk meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tingginya
yang meliputi kemampuan analisis, evaluasi, dan kreasi, sehingga dapat dengan
mandiri menyelesaikan masalah-masalah biologi.
2. Bagi Guru
Menjadi masukan bagi para guru untuk lebih kreatif dan inovatif dalam
merencanakan dan melaksanakan proses belajar mengajar agar terciptanya
suasana kelas yang aktif dan menyenangkan sehingga membantu siswa mengasah
kemampuan berpikirnya.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini berguna bagi peneliti untuk menganalisis perbedaan
keterampilan berpikir tingkat tinggi antara siswa yang menggunakan model
9
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoritis
1. Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
a. Pengertian Bepikir
Menurut Jhon Dewey, definisi berpikir yaitu, 1) berpikir adalah “aliran kesadaran” yang muncul dan hadir setiap hari, mengalir tanpa terkontrol, termasuk bermimpi dan melamun, 2) berpikir adalah imajinasi atau kesadaran.
Pada umumnya imajinasi ini muncul secara tidak langsung atau tidak bersentuhan
langsung dengan sesuatu yang sedang dipikirkan, 3) berpikir semakna dengan
keyakinan. Dalam pengertian ini, sangat kontras dengan tingkat pengetahuan dan
kepercayaan yang diekspresikan.1
Berpikir merupakan cikal bakal ilmu yang sangat kompleks.2 Berpikir yaitu menggunakan abstraksi-abstraksi atau “ideas”.3 Berpikir itu adalah meletakkan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan kita.4 Berpikir adalah proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya.5
Pengertian berpikir berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dipaparkan
di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir merupakan suatu proses yang lebih
bersifat aktif daripada sekedar mengingat dan memahami, proses yang melibatkan
penggunaan akal untuk mengaitkan atau menghubungkan konsep-konsep,
gagasan, pengalaman yang akan menghasilkan sebuah pengetahuan baru.
Proses berpikir dapat diklasifikasikan ke dalam tiga langkah, yaitu, 1)
pembentukan pengertian dari informasi yang masuk, 2) pembentukan pendapat
1
Momon Sudarma, Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kreatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), Ed. 1, Cet. 1, h. 38.
2
Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Berpikir, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. 1, h. 2.
3
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali, 1986), Ed. 1, Cet. 2, h. 54
4
Ibid.
5
10
dengan membanding-bandingkan pengetahuan yang ada sehingga terbentuk
pendapat-pendapat, 3) penarikan kesimpulan.6 b. Teori Perkembangan Kemampuan Berpikir
Berdasarkan pandangan Piaget, struktur pengetahuan deklaratif merupakan
hasil pembentukan yang bergantung pada tindakan (interaksi individu dengan
lingkungannya), sehingga individu harus belajar mengolah tindakannya. Untuk
dapat bertindak, diperlukan pengetahuan prosedural yang dapat menuntunnya.7 Menurut Piaget, setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya
menurut tahapan yang teratur. Piaget membuat skema tentang bagaimana
seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahap-tahap perkembangan yang
terbagi dalam empat periode utama, yaitu tahap sensori motor (0-2 tahun), pra
operasional (2–7 tahun), operasional konkret (7-11 tahun), dan operasional formal
(11-seterusnya).8
Pembagian tahapan perkembangan pengetahuan prosedural berdasarkan
umur oleh piaget, dapat menjadi tuntunan bagi guru untuk menyesuaikan porsi
dan cara mengajar yang dapat merangsang dan mengembangkan kemampuan
berpikir peserta didik sesuai dengan umurnya dan tingkatan sekolahnya.
c. Konsep Kemampuan Berpikir
Beberapa pakar dalam bidang psikologi menyatakan pengertian
kemampuan berpikir. Menurut Bayer (1984), berpikir adalah upaya manusia untuk
membentuk konsep, memberi sebab atau membuat penentuan. Kemudian menurut
Freankel (1980), berpikir merupakan pembentukan pengalaman dan penyusunan
keterangan dalam bentuk tertentu. Sedangkan menurut Moore dan Parker (1986),
kemampuan berpikir adalah keyakinan berlandaskan tindakan yang cermat dan
6
Ibid., h. 55-57.
7Nunik Hidayati, “Penerapan Metode Praktikum dalam Pembelajaran
Kimia untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Tingkat Tinggi Siswa Pada Materi Pokok Kesetimbangan Kimia Kelas XI SMK Diponegoro Banyuputih Batang”, Skripsi pada Program Studi Ilmu Pendidikan Kimia, Fakultas Tarbiyah, IAIN Walisongo, Semarang, 2012, h. 15, diakses dari
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/141/jtptiain--nunikhiday-7022-1-skripsi.pdf, pada tanggal 5 September 2015.
8
disengaja dalam menerima, menolak dan menangguhkan suatu keputusan
berhubungan dengan suatu dakwaan.9
Kemampuan berpikir adalah keyakinan berlandaskan tindakan yang
cermat hasil dari upaya manusia dalam membentuk konsep, memberi sebab atau
membuat penentuan berdasarkan pengalaman dan penyusunan keterangan dalam
bentuk tertentu.
d. Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
Peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi telah menjadi salah satu
prioritas dalam pembelajaran eksakta dalam sekolah.10 Hal ini didasari atas proses belajar teacher oriented dan text book oriented pada umumnya, sehingga peserta didik lagi-lagi tidak terbiasa untuk berpikir lebih dalam untuk mencari sebuah
solusi. Dengan demikian, keterampilan berpikir terutama berpikir tingkat tinggi
harus dikembangkan dan menjadi bagian dari pelajaran IPA khususnya biologi
sehari-hari. Dengan pendekatan ini, keterampilan berpikir dapat dikembangkan
dengan cara membantu peserta didik menjadi problem solver yang lebih baik. Berpikir tingkat tinggi dapat diklasifikasikan menjadi berpikir kritis dan
kreatif. Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan
sistematis dalam menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan, memberikan
keyakinan, menganalisis asumsi pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu
kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian (originality) dan ketajaman pemahaman (insight) dalam mengembangkan sesuatu (generating).11 Dalam hal ini, Taksonomi Bloom juga dapat dijadikan acuan bagi seorang guru dalam
menyusun soal-soal untu mengevaluasi kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta
didik.
Sebagai konsekuensi dari pemilihan tipe problem solving yang demikian selanjutnya mengharuskan guru menetapkan bobot materi jika menggunakan
Taksonomi Bloom yang direvisi haruslah bertipe setidaknya C4 (menganalisis)
9
Iskandar, Psikologi Pendidikan: Sebuah Orientasi Baru, (Ciputat: Gaung Persada Press, 2009), Cet. 1, h. 87.
10
Hidayati, Op. Cit., h. 16.
11
Nana Sy. Sukmadinata dan Erliany Syaodih, Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi,
12
dan jika mungkin sampai C6 (mengkreasi) yang mendorong peserta didik berpikir
tingkat tinggi dan kritis. Untuk menunjang itu guru tidak mungkin asal
memindahkan materi dalam buku paket tetapi harus menyeleksi materi dari buku
bahkan harus mencari rujukan lain yang lebih berbobot. Sudah saatnya dalam
konteks ini guru meninggalkan cara memilih materi pelajaran yang bertumpu pada
buku paket.12
Anderson dan Karthwohl menyusun kategori dimensi proses kognitif dan
proses-proses kognitif dalam orientasi berpikir tingkat tinggi, yaitu dari tipe
[image:30.595.114.519.245.626.2]C4-C6 dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Kategori pada Dimensi Proses Kognitif dan Proses-proses Kognitif
terkait13
Kategori Proses Proses Kognitif dan Contohnya
4.MENGANALISIS – memecah-mecah materi jadi bagian-bagian
penyusunannya dan menentukan hubungan-hubungan antar bagian itu dan
hubungan antara bagian-bagian tersebut dan keseluruhan struktur atau tujuan.
4.1. Membedakan
4.2. Mengorganisasi
4.3. Mengatribusikan
(Membedakan antara bilangan yang
relevan dan bilangan yang tidak relevan
dalam soal matematika dan cerita)
(Menyusun bukti-bukti dalam cerita
sejarah jadi bukti-bukti yang mendukung
dan menentang suatu penjelasan historis)
(Menunjukkan sudut pandang penulis
suatu esai sesuai dengan pandangan
politik si penulis)
5. MENGEVALUASI – Mengambil keputusan berdasarkan kriterian dan/atau
12 Lewy, dkk, “Pengembangan Soal untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Tingkat
Tinggi Pokok Bahasan Barisan dan Deret Bilangan di Kelas IX Akselerasi SMP Xaverius Maria Palembang”, h. 15, diakses dari http://eprints.unsri.ac.id/820/1/2_Lewy_14-28.pdf, pada tanggal 27 Desember 2014.
13
Lorin W. Anderson dan David R. Karthwohl, Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen: Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom, Terj. dari A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives
Kategori Proses Proses Kognitif dan Contohnya
standar
5.1. Memeriksa
5.2. Mengkritik
(Memeriksa apakah
kesimpulan-kesimpulan seorang ilmuwan sesuai
dengan data-data amatan atau tidak)
(Menentukan suatu metode terbaik dari
dua metode untuk menyelesaikan suatu
masalah)
6. MENCIPTA – Memadukan bagian-bagian untuk membentuk sesuatu yang
baru dan koheren atau untuk membuat suatu produk yang orisinal
6.1. Merumuskan
6.2. Merencanakan
6.3. Memproduksi
(Merumuskan hipotesis tentang
sebab-sebab terjadinya suatu fenomena)
(Merencanakan proposal penelitian
tetang topik sejarah tertentu)
(Membuat habitat untuk spesies tertentu
demi suatu tujuan)
Proses berpikir dihubungkan dengan pola perilaku yang lain dan
memerlukan keterlibatan aktif pemikir. Proses berpikir ini bertahap dari pola
berpikir tingkat paling rendah (C1-C3) hingga pola berpikir tingkat tinggi.
Karakteristik keterampilan berpikir tingkat tinggi meliputi, 1) menggunakan
kemampuan berpikir tinggi, 2) menginterpretasi, menganalisis, atau memanipulasi
informasi, 3) mengkritik tentang informasi, ide atau pendapat, 4) membuat
kesimpulan, membuat perkiraan, mengajukan pemecahan masalah, mencipta,
membuat pilihan, mengungkapkan pendapat, membuat keputusan dan
menghasilkan sesuatu yang baru.14
14 Hilda Karli, “Model Pembelajaran untuk Mengembangkan Keterampilan Berpikir”,
14
2. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
a. Pengertian Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (PBL) pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1970-an di Universitas Mc. Master fakultas kedokteran Kanada. Sebagai satu
upaya menemukan solusi dalam diagnosis dengan membuat
pertanyaan-pertanyaan sesuai situasi yang ada.15
Problem Based Learning (PBL) merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara
ilmiah.16 Model pembelajaran berbasis masalah merupakan seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah, materi, dan pengaturan diri.17 Terdapat beberapa garis besar dari proses pembelajaran menggunakan model PBL, yakni
diantaranya PBL merupakan aktivitas belajar yang di dalamnya terdapat
tahapan-tahapan kegiatan yang harus dilakukan siswa, PBL pada akhir pembelajaran
menuntut siswa menyelesaikan masalah dan menarik sebuah kesimpulan, selama
proses penyelesaian masalah tersebut, siswa aktif berpikir secara ilmiah sehingga
kemamapuan berpikirnya dapat berkembang.
Problem based learning (PBL) atau pembelajaran berbasis masalah adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai
konteks bagi peserta didik untuk belajar cara berpikir kitis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang
penting dari materi pelajaran.18 Pembelajaran berbasis masalah menggunakan masalah pada dunia nyata bahkan mungkin masalah yang selalu muncul pada
15
Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), Ed. 2, Cet. 5, h. 242.
16
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2010), Ed. 1, Cet. 7, h. 214.
17
Paul Eggen dan Don Kauchak, Strategi dan Model Pembelajaran: Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir, Terj. Dari Strategie and Models for Teachers: Content and Thinking Skills oleh Satrio Wahono, (Jakarta: PT Indeks, 2012), Ed. 6, Cet. 1, h. 307.
18Sudarman, “
Problem Based Learning: Suatu Model Pembelajaran untuk Mengembangkan Kemampuan Memecahkan Masalah”, Jurnal Pendidikan Inovatif, Vol. 2, No. 2,
2007, h. 69, diakses dari
kehidupan sehari-hari, agar peserta didik dapat lebih mudah mengkonstruk
pengetahuan. Dengan kata lain, PBL menggunakan masalah sebagai stimulus
untuk mendapatkan informasi yang diperlukan agar peserta didik dapat
memahami konsep yang diajarkan dengan cara mencari solusi dari masalah
tersebut. Masalah-masalah yang diberikan di awal pembelajaran akan mengasah
rasa kengintahuan siswa sebelum mempelajari suatu konsep.
Problem based learning (PBL) merupakan metode instruksional yang menantang peserta didik agar mau belajar untuk mencari solusi masalah yang
nyata. Masalah ini menimbulkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis
peserta didik atas materi pembelajaran.19 Dari masalah yang diberikan, siswa bekerjasama dalam kelompok, mencoba memecahkan masalah dengan
pengetahuan yang dimiliki dan sekaligus mencari informasi-informasi baru yang
relevan untuk solusinya.20
Beberapa kemampuan yang dapat dilatih dengan pembelajaran berbasis
masalah adalah, 1) menjadi lebih ingat dan meningkat pemahamannya atas materi
ajar, 2) Meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan, 3) Mendorong untuk
berpikir, 4) Membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan sosial, 5)
membangun kecakapan belajar, 6) memotivasi siswa.21
Problem based learning (PBL) menuntut siswa untuk aktif melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan permasalahan dan guru berperan sebagai
fasilitator atau pembimbing. Pembelajaran akan dapat membentuk kemampuan
berpikir tingkat tinggi (high order thinking) dan meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis.22
Para ahli PBL berpendapat bahwa PBL menyediakan lingkungan yang efektif
bagi para profesional masa depan yang perlu untuk mengakses pengetahuan di
berbagai disiplin ilmu. Kemampuan yang dapat ditingkatkan dengan model PBL
19
M. Taufiq Amir, Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan, (Jakarta: Kencana, 2013), Ed. 1, Cet.3, h. 21.
20
Ibid., h. 22.
21
Ibid., h. 27-29.
22
Ridwan Abdullah Sani, Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013,
16
yakni, 1) mentransfer konsep pada permasalahan baru, 2) integrasi konsep, 3)
ketertarikan belajar, 4) belajar mandiri, 5) keterampilan belajar.23
Proses belajar PBL mengangkat isu-isu yang seringkali terjadi dalam
lingkungan sekitar, dari masalah yang sederhana hingga masalah yang kompleks
dapat disajikan dalam model pembelajaran PBL. Hal ini bertujuan untuk
mendorong peserta didik belajar mengintegrasikan informasi yang didapat
berdasarkan rasa keingintahuannya dan mengolahnya hingga didapatkan solusi
dari berbagai permasalahan yang muncul di awal proses belajar. Masalah-masalah
yang dimunculkan dalam PBL akan menjadi tantangan bagi peserta didik untuk
lebih mengembangkan keterampilan berpikir kritis sehingga mampu
menyelesaikan masalah secara efektif. Dengan demikian, model pembelajaran
PBL dikatakan merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa,
sedangkan pendidik atau guru hanya berperan sebagai fasilitator yang membantu
siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
b. Ciri-ciri Problem Based Learning (PBL)
Pembelajaran berdasarkan masalah memiliki karakteristik yaitu, 1)
pengajuan pertanyaan atau masalah, pembelajaran berdasarkan masalah
mengorganisasi pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang keduanya
penting secara sosial dan secara pribadi bermakna bagi siswa, 2) berfokus pada
kaitan antar disiplin ilmu, masalah yang diselidiki telah dipilih benar-benar nyata
agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak hal, 3)
penyelidikan autentik, pembelajaran berdasarkan masalah melakukan
penyelidikan nyata terhadap masalah nyata, 4) produk atau hasil karya yang
dihasilkan dan dipamerkan, pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa
untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata dan peragaan yang
menjelaskan atau mewakili bentuk pemecahan masalah yang mereka temukan, 5)
kerjasama, pembelajaran berbasis masalah juga dicirikan oleh adanya kerjasama
antar siswa, dalam bentuk berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama
23Geoffrey R. Norman & Henk G. Schmidt, “
antar siswa dapat memberikan motivasi untuk bekerja bersama dalam tugas-tugas
yang lebih kompleks. Pembelajaran berdasarkan masalah digunakan untuk
merangsang berpikir kritis dalam penyelesaian suatu masalah yang diangkat. 24 Savoie dan Hughes menyatakan bahawa pembelajaran berbasis masalah
memiliki beberapa karakteristik yaitu, 1) belajar dimulai dengan suatu
permasalahan, 2) permasalahan yang diberikan harus berhubungan dengan dunia
nyata siswa, 3) mengorganisasikan pembelajaran permasalahan, bukan disiplin
ilmu, 4) memberikan tanggung jawab yang besar dalam membentuk dan
menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, 5) menggunakan
kelompok kecil, 6) menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah
dipelajarinya dalam bentuk produk dan kinerja.25
Menurut Tan ada beberapa ciri-ciri utama yang perlu ada di dalam
pembelajaran berbasis masalah meliputi, 1) masalah digunakan sebagai awal
pembelajaran, 2) masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang
disajikan secara mengambang (ill-structured), 3) masalah biasanya menuntut perspektif majemuk. Solusinya menuntut siswa menggunakan dan mendapatkan
konsep dari beberapa bab perkuliahan (SAP) atau lintas ilmu ke bidang lainnya, 4)
masalah membuat siswa tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di ranah
pembelajaran yang baru, 5) sangat mengutamakan belajar mandiri, 6)
memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja.
Pencarian, evaluasi serta penggunaan pengetahuan ini menjadi kunci penting, 7)
pembelajarannya kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Siswa bekerja dalam
kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan, dan melakukan presentasi.26
Berdasarkan beberapa karakteristik PBL di atas, sangat jelas bahwa
pembelajaran model PBL selalu diawali dengan adanya masalah yang akan
selanjutnya akan dicari sendiri solusinya oleh peserta didik, di mana dalam proses
tersebut, peserta didik berkesempatan untuk mengkonstruk pengetahuan yang
didapatnya.
24
Richard I. Arends, Learning to Teach, (New York: McGraw-Hill, 2007), Ed. 7, p. 381.
25
Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Ed. 1, Cet. 2, h. 91-92.
26
18
c. Langkah-langkah Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (PBL) dengan segala keunggulan dan kelemahannya, bukan merupakan alternatif pengganti model pembelajaran yang
pasti dalam menghadapi segala permasalahan yang muncul. PBL merupakan salah
satu alternatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran di antara berbagai
macam alternatif model pembelajaran lain. Menurut John Dewey ada 6 langkah
dalam PBL yaitu, 1) merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan
masalah yang akan dipecahkan, 2) menganalisis masalah, yaitu langkah siswa
meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang, 3) merumuskan
hipotesis, yaitu langkah siswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan
sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, 4) mengumpulkan data, yaitu
langkah siswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk
pemecahan masalah, 5) pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau
merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang
diajukan, 6) merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa
menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil
pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.27
d. Tahapan Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning terdiri dari 5 tahapan utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan
[image:36.595.110.515.281.758.2]penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima tahapan tersebut dijelaskan pada
Tabel 2.2.28
Tabel 2.2 Tahapan Problem Based Learning
Tahap Tingkah Laku Guru
Tahap-1
Memberikan orientasi
tentang permasalahannya
kepada siswa
Guru membahas tujuan pembelajaran,
mengajukan fenomena atau demonstrasi atau
cerita untuk memunculkan masalah, dan
memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan
mengatasi masalah.
27
Sanjaya, Op. Cit., h. 217.
28
Tahap Tingkah Laku Guru
Tahap-2
Mengorganisasikan siswa
untuk meneliti
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang terkait
dengan permasalahannya.
Tahap-3
Membantu investigasi
mandiri dan kelompok
Guru mendorong siswa untuk mendapatkan
informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen,
dan mencari penjelasan dan solusi.
Tahap-4
Mengembangkan dan
mempresentasikan hasil
karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan hasil karya yang tepat, seperti
laporan dan membantu mereka untuk
menyampaikannya kepada orang lain.
Tahap-5
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
mengatasi masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi
terhadap investigasinya dan proses-proses yang
mereka gunakan.
e. Keunggulan dan Kelemahan Problem Based Learning (PBL)
Keunggulan dan kelemahan PBL sebagai berikut:
1) Keunggulan
PBL memiliki beberapa keunggulan yaitu, a) merupakan tekhnik yang
cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran, b) menantang kemampuan
siswa serta memberikan kepuasan untuk menentukan pengetahuan baru bagi
siswa, c) meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa, d) membantu siswa
bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam
kehidupan nyata, e) membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan
barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan serta
mendorong untuk melakukan evaluasi baik terhadap hasil maupun proses
belajarnya, f) memperlihatkan kepada peserta didik bahwa mata pelajaran apapun
pada dasarnya merupakan cara berpikir kritis dan sesuatu yang harus dimengerti
oleh peserta didik bukan hanya sekedar belajar dari buku dan guru, g) melalui
20
mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan
kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru, i)
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang
mereka miliki dalam dunia nyata, j) mengembangkan minat siswa untuk secara
terus menerus belajar.29
Menurut Yatim Riyanto kelebihan PBL yaitu, a) peserta didik dapat
belajar, mengingat, menerapkan dan melanjutkan proses belajar secara mandiri.
Prinsip-prinsip membelajarkan seperti ini tidak bisa dilayani melalui pembelajaran
tradisional yang banyak menekankan pada kemampuan menghapal, b) peserta
didik diperlakukan sebagai pribadi yang dewasa. Perlakuan ini memberikan
kebebasan kepasa peserta didik untuk mengmplementasikan pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki untuk memecahkan masalah. 30 2) Kelemahan
PBL juga memiliki beberapa kelemahan yaitu, a) manakala siswa tidak
memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang
dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk
mencoba, b) keberhasilan pembelajaran berdasarkan masalah membutuhkan
cukup waktu untuk persiapan, c) tahapan pemahaman mengapa mereka berusaha
untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan
belajar apa yang ingin mereka pelajari.31
3. Model Pembelajaran Group Investigation (GI)
a. Pengertian Model Pembelajaran Group Investigation (GI)
Strategi belajar kooperatif GI dikembangkan oleh Sholomo Sharan dan
Yael Sharan di Universitas Tel Aviv, Israel.32 Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) merupakan model pembelajaran yang sesuai dengan paradigma
29
Sanjaya, Op. Cit., h. 220.
30
Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, (Jakarta: Kencana, 2014), Ed. 1, Cet. 4, h. 286.
31
Sanjaya, Op. Cit., h. 221.
32
konstruktivis.33 Artinya, peserta didik dapat mengolah pengetahuannya sendiri secara dinamis sehingga pengetahuan yang didapat menjadi bermakna.
Menurut Tsoi, melalui model GI pembelajar berinteraksi dengan banyak
informasi sambil bekerja secara kolaboratif dengan lainnya dalam situasi
kooperatif untuk menyelidiki permasalahan, perencanaan dan melakukan
presentasi, dan mengevalusi hasil pekerjaan mereka.34 Selain menuntut siswa untuk berpikir lebih tinggi, GI juga melatih kemampuan verbal peserta didik saat
berinteraksi dengan kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurhadi dkk yang
menyatakan bahwa model pembelajaran GI menuntut siswa untuk memiliki
kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun keterampilan proses
kelompok (Group Process Skills).35
Implementasi dari model belajar GI, guru membagi kelas menjadi
kelompok-kelompok dengan anggota 5-6 siswa yang heterogen. Kelompok di sini
dapat dibentuk dengan mempertumbangkan keakraban persahabatan atau minat
yang sama dalam topik tertentu.36
Belajar dalam kelompok, identik dengan metode diskusi yang sering
terjadi pada proses pembelajaran sekarang ini. Pembelajaran Group Investigation
tidak hanya sekedar model pembelajaran secara diskusi pada umumnya, namun
juga menuntut siswa untuk terlibat langsung dan aktif dalam proses pembelajaran
mulai dari perencanaan sampai cara mempelajari suatu topik melalui investigasi.37
33Ni L. Sudewi, dkk, “Studi Komparasi Penggunaan Model Pembelajaran
Problem Based Learning (PBL) dan Kooperatif Tipe Group Investigation (GI) Terhadap Hasil Belajar Berdasarkan Taksonomi Bloom”, Jurnal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA, Vol. 4, 2014, h. 3, diakses dari http://pasca.undiksha.ac.id/e-journal/index.php/jurnal_ipa/article/viewFile/1112/858, pada tanggal 20 Oktober 2015.
34
Ibid.
35 Wahyu Wijayanti, dkk, “Pegaruh Model Pembelajaran Group Investigation (GI)
Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Mejayan Kabupaten Madiun”, Jurnal Pendidikan Geografi Universitas Negeri Malang, Vol. 2, No. 1, 2013, h. 2,
diakses dari
http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel2405E92B2C971A74C4C2BDB5B724F6E4.pdf, pada tanggal 13 Januari 2016.
36
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), Ed. 1, Cet. 3, h. 79.
37Melina Oktaviani, dkk, “Perbandingan Model Pembelajaran Group Investigation (GI)
http://jurnal-22
Dengan demikian, maka peserta didik dapat lebih bebas dalam bereksplorasi,
sehingga pengalaman belajar yang diperoleh dapat merangsang kemampuan
berpikir peserta didik secara lebih aktif dan dinamis.
Model pembelajaran GI dirancang untuk membimbing siswa
mendefinisikan masalah, mengeksplorasi berbagai masalah, mengumpulkan data
yang relevan, mengembangkan dan mengetes hipotesis.38 Asumsi yang digunakan sebagai acuan dalam pengembangan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation, yaitu (1) untuk meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dapat ditempuh melalui pengembangan proses kreatif menuju suatu kesadaran dan
pengembangan alat bantu yang secara eksplisit mendukung kreativitas, (2)
komponen emosional lebih penting daripada intelektual, yang tak rasional lebih
penting daripada yang rasional dan (3) untuk meningkatkan peluang keberhasilan
dalam memecahkan suatu masalah harus lebih dahulu memahami komponen
emosional dan irrasional.39
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa melalui model GI,
peserta didik dapat terlibat langsung dan aktif dalam proses pembelajaran mulai
dari perencanaan sampai cara mempelajari suatu topik, suasana belajar yang
tercipta akan lebih efektif, kerjasama kelompok dalam pembelajaran akan
mendorong semangat siswa untuk lebih berani dalam mengemukakan pendapat
dan berbagi informasi dengan teman lainnya dalam membahas materi
pembelajaran.
Model pembelajaran GI memiliki beberapa manfaat, antara lain
memperbaiki cara pengajaran guru dari yang berpusat pada guru menjadi berpusat
pada siswa. Investigasi yang dilaksanakan secara berkelompok memungkinkan
siswa melakukan berbagai pengalaman belajar seperti, mengemukakan dan
menjelaskan segala hal yang bersumber dari pikiran mereka sendiri, membuka diri
online.um.ac.id/data/artikel/artikel958544ADB59C7E8CFA77641BCEBAB254.pdf, pada tanggal 16 September 2015.
38
Wijayanti, dkk, Op. Cit., h. 2.
39
terhadap hal yang dipikirkan oleh teman, meningkatkan tanggung jawab siswa
dalam belajar, serta meningkatkan prestasi.40 b. Ciri-ciri Group Investigation (GI)
Menurut Sharan, karakteristik GI antara lain investigasi, interaksi,
penafsiran, dan motivasi intrinsik. Adapun penjabarannya sebagai berikut.41
Investigasi dimulai ketika guru memberikan masalah yang menantang dan
rumit kepada kelas. Di tengah-tengah berlangsungnya penelitian mereka untuk
mencari jawaban masalah, siswa membangun pengetahuan yang mereka peroleh,
bukannya menerima apa yang diberikan guru kepada mereka. Proses investigasi
menekankan inisiatif siswa, dibuktikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang
mereka ajukan, dengan sumber-sumber yang mereka temukan, dan jawaban yang
mereka rumuskan. Siswa mencari informasi dan gagasan dengan bekerjasama
dengan rekan mereka dan menggabungkannya bersama pendapat, informasi,
gagasan, ketertarikan dan pengalaman yang masing-masing mereka bawa ketika
mengerjakan tugas. Bersama-sama mereka menempa informasi dan gagasan ke
dalam pengetahuan baru melalui proses penafsiran.
Interaksi diantara siswa penting bagi investigasi kelompok. ini adalah
kendaraan yang dengannya siswa saling memberikan dorongan, saling
mengembangkan gagasan satu sama lain, saling membantu untuk memfokuskan
perhatian mereka terhadap tugas, dan bahkan saling mempertentangkan gagasan
dengan menggunakan sudut pandang yang bersebrangan.
Pada saat para siswa menjalankan penelitian, mereka secara individual,
berpasangan, dan dalam bentuk kelompok kecil, mereka mengumpulkan banyak
sekali informasi dari berbagai sumber berbeda. Secara berkala, mereka bertemu
dalam anggota kelompok mereka untuk bertukar informasi dan gagasan.
Bersama-sama mereka mencoba membuat penafsiran atas hasil penelitian mereka.
Penafsiran atas temuan-temuan yang mereka gabung merupakan proses negosiasi
40 Neilna Yuli E, dkk, “Model Pembelajaran Group Investigation (GI) Terhadap
Kemampuan Berpikir Analisis”, 2014, h. 3, diakses dari http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel686DACB69F017D040DB7DF819EA6AE34.pdf, pada tanggal 19 November 2015.
41
24
antara tiap-tiap pengetahuan pribadi siswa dengan pengetahuan baru yang
dihasilkan, dan antara tiap-tiap siswa dengan gagasan dan informasi yang
diberikan oleh anggota lain dalam kelompok itu. Dalam konteks ini, penafsiran
merupakan proses sosial-intelektual yang sesungguhnya.
Siswa diundang untuk menghubungkan masalah-masalah yang akan
mereka selidiki berdasarkan keingintahuan, pengetahuan dan perasaan mereka,
investigasi kelompok sehingga dapat meningkatkan minat pribadi mereka untuk
mencari informasi yang mereka perlukan. Penyelidikan mereka mendatangkan
motivasi kuat lain yang muncul dari interaksi mereka dengan orang lain.
c. Langkah-langkah Group Investigation (GI)
Menurut Trianto, langkah-langkah GI adalah sebagai berikut.42
Langkah pertama yaitu memilih topik. Siswa memilih berbagai subtopik
khusus di dalam suatu daerah masalah umum yang biasanya diterapkan oleh guru.
Selanjutnya diorganisasikan menjadi dua sampai enam anggota tiap kelompok
menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi tugas. Komposisi kelompok
hendaknya heterogen secara akademis maupun etnis.
Langkah kedua yaitu perencanaan kooperatif. Siswa dan guru
merencanakan prosedur pembelajaran, tugas dan tujuan khusus konsisten dengan
subtopik yang telah dipilih dari tahap pertama.
Langkah ketiga yaitu implementasi. Siswa melaksanakan rencana yang
telah mereka kembangkan di dalam tahap kedua. Kegiatan pembelajaran
hendaknya melibatkan ragam aktivitas dan keterampilan yang luas dan hendaknya
mengarahkan siswa kepada jenis-jenis sumber