POLA TRANFORMASI GELOMBANG DENGAN MENGGUNAKAN MODEL RCPWave PADA PANTAI BAU-BAU,
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
THE PATTERN OF WAVE TRANSFORMATION USING RCPWave MODEL AT BAU-BAU COAST, SOUTHEAST SULAWESI PROVINCE
Baharuddin1, John I Pariwono2, dan I Wayan Nurjaya2
1)
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
2)
Staf Pengajar Pascasarjana IPB Jurusan Ilmu Kelautan
Email corresponding author: i.wayan.nurjaya@ipb.ac.id
ABSTRACT
When wind-wave generated on deep water propagates into shallow water they will be transformed into several processes such as refraction, shoaling, reflection, diffraction, and finally collapsing. This research has objective to analyze the pattern of wave transformation which propagate into Bau-Bau coastal waters by using RCPWave Model as a numerical model solution to predict wave condition within the surf zone. The model showed that the wave transformation at Bau-Bau Coastal waters was influenced by coastal morphology and characteristic that was more open to the west (to the open sea) than to the east coast (bordered by Buton Strait). Wave transformation occurred from both sides, either from west or east side. When wave were broken at the western coast the wave high from west and east were 1.9 m and 0.5 respectively. At the eastern coast were 1.0 m and 0.7 m. The highest wave high occurred at head land or peninsula.
Keywords:wave transformation, RCPWave, Bau-Bau Coast, refraction, shoaling,
reflection, diffraction and collapsing
ABSTRAK
Gelombang yang dibangkitkan oleh angin yang merambat dari perairan dalam menuju perairan dangkal (pantai) mengalami transformasi (perubahan) dari sifat dan parameter gelombang seperti proses refraksi, shoaling, refleksi, difraksi sampai terjadi pecah. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pola transformasi gelombang yang merambat ke pantai Bau-Bau dengan menggunakan model RCPWave sebagai solusi numerik yang dapat memperkirakan kondisi gelombang dalam surf zone. Berdasarkan model RCPWave, pola transformasi gelombang (perubahan karakteristik dan sifat-sifat gelombang) oleh proses refraksi, shoaling dan difraksi sampai terjadinya gelombang pecah disebabkan bentuk dan karakteristik pantai Bau-Bau yakni terdiri dari pantai yang menghadap arah barat (pantai barat) yang lebih terbuka (laut bebas) dan pantai yang menghadap arah utara (pantai timur) yang semi terbuka (Teluk dan Selat Buton). Transformasi gelombang dari arah barat dan timur laut dapat terbentuk pada kedua arah pantai, dimana tinggi gelombang pecah pada pantai barat mencapai 1,9 m dan 0,5 m, sedangkan pada pantai timur mencapai 1,0 m dan 0,7 m. Tinggi gelombang pecah yang besar terjadi pada pantai/garis kontur yang menjorok keluar (daerah tanjung dan
submarine ridge).
I. PENDAHULUAN
Gelombang yang paling umum dikaji dalam bidang teknik pantai adalah gelombang yang dibangkitkan oleh angin dan pasang surut. Gelombang angin akan mentransfer energi melalui partikel air sesuai dengan arah hembusan angin. Mekanisme transfer energi ini terdiri dari dua bentuk yakni pertama: akibat variasi tekanan angin pada permukaan air yang diikuti oleh pergerakan gelombang dan
kedua transfer momentum dan energi dari
gelombang frekuensi tinggi ke gelombang frekuensi rendah (periode tinggi dan panjang gelombang besar). Gelombang frekuensi tinggi dapat ditimbulkan oleh angin yang berhembus secara kontinyu.
Tiga faktor yang menentukan
karakteristik gelombang yang
dibangkitkan oleh angin (Davis, 1991) yaitu : (1) lama angin bertiup atau durasi angin, (2) kecepatan angin dan (3) fetch
(jarak yang ditempuh oleh angin dari arah pembangkitan gelombang atau daerah pembangkitan gelombang). Semakin lama angin bertiup, semakin besar jumlah energi yang dapat dihasilkan dalam
pembangkitan gelombang. Demikian
halnya dengan fetch, gelombang yang bergerak keluar dari daerah pembangkitan gelombang hanya memperoleh sedikit tambahan energi.
Gelombang yang merambat dari perairan dalam menuju ke perairan
dangkal (pantai) akan mengalami
perubahan perilaku gelombang
(transformasi) dari sifat dan parameter gelombang seperti proses refraksi,
shoaling, refleksi maupun difraksi akibat
pengaruh karakteristik dan bentuk pantai. Menurut Triatmodjo (1999) pantai selalu menyesuaikan bentuk profilnya sehingga mampu mereduksi energi gelombang yang datang. Penyesuaian bentuk tersebut merupakan respon dinamis alami pantai terhadap laut. Ada dua tipe respon dinamis pantai terhadap gerak gelombang,
yaitu respon terhadap kondisi gelombang normal dan respon terhadap kondisi gelombang badai.
Pantai Bau-Bau merupakan bagian dari perairan Selat Buton yang secara fisik dipengaruhi oleh dinamika oseanografi (pasang surut, gelombang dan arus) dan aliran sungai yang berubah pada setiap musim. Pada umumnya gelombang yang merambat di perairan Bau-Bau dari arah barat dan barat daya lebih besar dibandingkan dengan gelombang dari arah timur dan timur laut. Hal ini disebabkan karena gelombang dari arah barat dan barat daya berasal dari perairan yang lebih terbuka (laut bebas), sedangkan dari arah timur dan timur laut berasal dari perairan yang semi terbuka (Teluk dan Selat Buton).
Makalah ini mengakaji pola
transformasi gelombang akibat pengaruh bentuk dan karakteristik pantai Bau-Bau. Pola transformasi gelombang diselesaikan dengan menggunakan model RCPWave
(Regional Coastal Processes Wave).
Model ini berbasis pada persamaan mild
slope, yang diselesaikan secara numerik
dengan menggambarkan transformasi
lengkap dari gelombang amplitudo kecil yang meliputi fenomena refraksi dan difraksi.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret – Juni 2005 di perairan Pantai Bau-Bau. Titik lokasi dan data yang diamati adalah pasang surut (15 piantan), pemeruman kedalaman, dan
gelombang laut dalam sebagaimana
( X $ Z c c Î Î Î Î Î Î 5 ° 2 8
' 5°2
8 ' 5 ° 2 7
' 5°2
7 ' 5 ° 2 6
' 5°2
6
'
122°35' 122°35'
122°36' 122°36'
122°37' 122°37' 453000 453000 456000 456000 459000 459000 9 3 9 6 0 0
0 93
9 6 0 0 0 9 3 9 9 0 0
0 93
9
9
0
0
0
S E L A
T B U
T O N
B A U - B A U
P. B U T O N
P. MAKASSAR
P. M U N A
Tg. Labuea 20 m 10 m 5 m 5 m 10 m 20 m
20 m10 m 5 m
5 m 10 m
20 m
Su ngai B
au-B au Pelabuhan Î Sungai Garis Pantai Legenda
Kontur Kedalaman Interval 5m
N
Jalan Kota Jalan Lain
c Stasiun Gelombang
Stasiun Pasut
x z
Posisi Banch Mark
$
Z
300 0 300 Meter
Jalur Pemeruman
5
° 5°
4
° 4°
122° 122°
123° 123°
P. M U N A
P. B U T O N
P. SULAWESI
P. K A BA EN A
LA UT FLOR ES
Batas Studi
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Analisis parameter gelombang laut dilakukan dengan menggunakan metode SMB (Sverdrup Munk Bretschneider) (CERC, 1984). Metode ini dikenalkan oleh Sverdrup dan Munk (1947) dan dilanjutkan oleh Bretschneider (1958), yang dibangun berdasarkan pertumbuhan energi gelombang. Kecepatan angin yang
digunakan adalah kecepatan angin
maksimum yang dapat membangkitkan gelombang, yakni kecepatan 10 knot dari arah barat, barat daya, timur dan timur laut, sedangkan arah lain tidak dihitung karena berasal dari darat. Data
angin yang diperoleh dari SM
Betoambari (jarak lokasi SM sekitar 3 km dari lokasi studi) tersebut terlebih dahulu dikoreksi/ditransformasi menjadi data angin yang dapat membangkitkan gelombang. Analisis yang digunakan adalah mengikuti petunjuk dari CHL (2002).
Parameter gelombang perairan
dalam dari metode SMB adalah:
Tinggi gelombang signifikan:
2
3 0,5
*
1, 6 10 A
s
U
H x F
g dan g U H A s 2 243 .
0 ; untuk F* > 2 x 104 (fully
developed waves)
Periode puncak signifikan gelombang:
1/ 3
0, 2857 A
s
U
T F
g dan 8.13
A s
U T
g ;
untuk F* > 2 x 104 m (fully developed
waves)
Durasi pertumbuhan gelombang:
g U F
t 2/3 A
8 ,
68 dan
g U x
t 4 A
10 15 ,
7 ;
untuk F* > 2 x 104 m (fully developed
waves)
Dalam hal ini, eff2
A gF F
U = fetch tak
berdimensi; UA = faktor tegangan angin;
t = durasi pertumbuhan gelombang
(detik); Feff = panjang fetch efektif (m);
Analisis pola transformasi
gelombang diselesaikana dengan
menggunakan RCPWave sebagai solusi numerik dalam penyelesaian proses transformasi gelombang yakni untuk proses refraksi dan difraksi (Bruce et al., 1986). Model ini berisi suatu algoritma
yang dapat memperkirakan kondisi
gelombang dalam surf zone, sehingga model gelombang pecah dapat dibuat pada dua dimensi horizontal.
Aplikasi program ini dengan
memasukkan model input data berupa tinggi, periode, dan arah gelombang laut dalam (Ho, To, dan θo). Model input juga
memasukkan spesifikasi kontur
kedalaman dasar pada grid (matriks). Variabel sudut gelombang lokal, sudut gelombang air dalam dan sudut kontur kedalaman dalam model ini didefinisikan pada Gambar 2.
Berdasarkan bentuk pantai Bau-Bau yakni pantai yang menghadap arah barat (pantai barat yakni dari pantai bagian kiri jeti) dan arah utara (pantai timur yakni dari pantai bagian kanan jeti), sehingga input data kedalaman pada program disesuaikan dengan hal tersebut. Arah
gelombang dari barat dan barat daya dalam program besar sudutnya masing-masing 45o dan 0o (arah garis pantai barat sebagai patokan sumbu y), sedangkan untuk arah timur laut dan timur masing-masing –45o dan 0o (arah garis pantai timur sebagai patokan sumbu y). Jumlah grid yang digunakan sebanyak [65,65], karena semakin banyak grid yang dibuat maka semakin besar tingkat ketelitiannya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Karakteristik Gelombang
Analisis karakteristik gelombang (tinggi, periode, durasi, kecepatan, dan panjang gelombang) setiap bulan selama tahun 1991 – 2005 berdasarkan metode SMB, maksimum terjadi pada musim barat (Desember – Februari), bulan pertama musim peralihan I (Maret) dan bulan terakhir musim peralihan II (Nopember), sedangkan pada musim timur (Juni – Agustus) dan sebagian musim peralihan I dan II (April – Mei dan September – Oktober) karakteristik gelombangnya lebih kecil.
Positif θC
Negatif θC
Positif
Negatif θo
θ
θo
θ
x - A
X
IS
y - AXIS
Kontur Batimetri Darat
Laut
Gambar 2. Definisi sudut dalam model. (Keterangan: θo = sudut gelombang laut dalam;
θ = sudut gelombang lokal; θc = sudut kontur daerah off-shore; di = kontur kedalaman
ke-i, i = 1,2,3,... dst).
d1< d2< d3< d4
d1
d2
d3
Tabel 1 Hasil prediksi karakteristik gelombang selama tahun 1991 – 2005.
o
UA
(m/det)
Feff
(m) F*
Hs
(m)
Ts
(det)
t
(jam)
Co
(m/det)
Lo
(m)
Jum (%)
Barat 7,2–12,6 22.328 1.383–
4.283 0,6–1,0 3,4–4,1 3,0–3,7 5,3–6,4
17,9 –
26,0 31,2
Barat Daya 8,611,8 – 21.409 1.515–
2.850 0,6–0,9 3,6–3,9 3,0–3,4 5,5–6,2
19,6 –
24,2 15,2
Timur 3,7–11,3 4.965 379–3.609 0,1–0,4 1,6–3,0 1,2–1,7 2,6–3,7 4,2 – 8,9 46,4
Timur Laut 4,2–9,3 5.859 620–3.188 0,2–0,4 1,8–3,0 1,3–1,8 2,8–3,7 5,2 – 8,7 7,2
Hasil prediksi selama tahun 1991 –
2005 dari arah angin yang
membangkitkan gelombang disajikan pada Tabel 1, dimana dari arah timur laut dan timur parameter gelombang yang terbentuk lebih kecil dibandingkan dengan arah barat daya dan barat. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
faktor yang mempengaruhi dan
membangkitkan gelombang seperti kecepatan angin, durasi, arah angin, dan
fetch (CHL 2002). Angin yang
berhembus di atas permukaan laut menimbulkan tegangan pada permukaan laut, dimana semakin lama angin bertiup, semakin besar pula energi yang dapat
membangkitkan gelombang (Davis,
1991).
Perbedaan faktor tegangan angin (UA) dan panjang fetch (Feff)
mempengaruhi tinggi dan periode
gelombang signifikan (Hs dan Ts).
Meskipun faktor tegangan angin yang diperoleh dari koreksi kecepatan angin darat menjadi angin laut dari keempat arah angin perbedaanya kecil (lihat Tabel 1), akan tetapi perbedaan panjang fetch -nya sangat berpengaruh dimana arah barat daya dan barat yang berhadapan dengan laut bebas lebih besar bila dibandingkan dengan arah timur laut dan timur yakni pada daerah Selat Buton dan teluk, sehingga tinggi dan periode gelombang signifikan untuk arah barat daya dan barat lebih besar dibandingkan dengan arah timur laut dan timur. Hal yang sama juga terjadi pada durasi pertumbuhan gelombang (t). Hal ini
disebabakan karena panjang fetch
membatasi waktu yang diperlukan
gelombang untuk terbentuk akibat energi yang ditransfer angin juga terpengaruh, sehingga fetch berpengaruh terhadap tinggi, periode dan durasi pertumbuhan gelombang, selain faktor tegangan angin (CERC, 1984). Nilai fetch tak berdimensi (F*) dari keempat arah angin belum mencapai kondisi fully developed seas
(F* < 2x104), yakni kondisi dimana tinggi
dan periode gelombang mencapai nilai maksimum (Ningsih, 2000).
Hasil pengukuran gelombang di lapangan dan prediksi dari metode SMB berdasarkan konversi data angin pada jam yang sama selama 3 kali pengamatan yakni tanggal 29 – 31 Maret 2005, sebagaimana disajikan pada Tabel 2 menunjukkan hasil ketelitian yang cukup baik. Perbedaan terjadi pada arah datang gelombang yakni antara 5 – 10o, hal ini terjadi karena pengukuran angin berada 51 m di atas permukaan laut, sehingga arah angin yang berhembus di atas permukaan laut dapat berbeda dengan arah gelombang yang dibangkitkannya. Menurut CHL (2002), karena adanya gesekan dengan permukaan laut dan perbedaan temperatur antara air dan udara, sehingga kecepatan dan arah angin berubah sesuai dengan perbedaan elevasi
antara keduanya (angin/udara dan
yang berada pada elevasi 100 – 1000 m dan daerah dimana tegangan konstan yang berada pada elevasi 10 – 100 m.
3.2. Pola Transformasi Gelombang Berdasarkan Model RCPWave
Gelombang yang merambat dari laut dalam (deep water) menuju pantai
mengalami perubahan bentuk yang
disebabkan oleh proses transformasi seperti refraksi dan shoaling karena pengaruh perubahan kedalaman laut, difraksi, dan refleksi. Berkurangnya kedalaman laut menyebabkan semakin berkurangnya panjang dan kecepatan gelombang serta bertambahnya tinggi
gelombang. Pada saat kelancipan
gelombang (steepnes) mencapai batas maksimum, gelombang akan pecah
dengan membentuk sudut tertentu
terhadap garis pantai.
Berdasarkan bentuk pantai dan arah
angin yang dapat membangkitkan
gelombang pada lokasi penelitian, maka pola transformasi disesuaikan dengan kondisi tersebut, yakni dari arah barat, barat daya, timur dan timur laut. Pola transformasi ini dihasilkan dari model
program RCPWave, kemudian
divisualisasikan melalui gambar (peta), sebagaimana disajikan berturut-turut untuk setiap arah pada Gambar 3 – Gambar 6, Dalam gambar tersebut juga
disajikan bentuk kontur puncak
gelombangnya. Sedangkan untuk gambar
3 Dimensi kontur gelombangnya
disajikan pada Gambar 7 – Gambar 10. Berdasarkan dari gambar tersebut terlihat adanya pola transformasi gelombang seperti refraksi, shoaling dan difraksi. Pola refraksi terjadi karena adanya perubahan kedalaman, pada laut dalam gelombang tidak mengalami perubahan (lihat bentuk panah pada Gambar 3 – 6 , yakni merupakan garis ortogonal gelombang), akan tetapi di laut transisi dan dangkal, kontur kedalaman
sangat mempengaruhi karakteristik
gelombang.
Pola transformasi dari setiap arah gelombang berbeda, dimana untuk arah datang gelombang dari pantai barat yakni arah barat hampir tegak lurus kontur kedalaman pada pantai barat dan sejajar pada pantai timur dan dari arah barat daya sejajar pantai barat. Sedangkan arah datang gelombang dari pantai timur yakni dari arah timur sejajar kontur kedalaman pada pantai barat dan arah timur laut tegak lurus pada pantai timur dan sejajar pantai barat.
Akibat perbedaan tersebut
menyebabkan gelombang tidak semua akan sampai di pantai, tergantung besar dan arah datang gelombang. Dimana untuk arah gelombang dari barat dan timur laut dapat terbentuk pada semua pantai, sedangkan dari arah timur hanya terbentuk pada pantai timur dan sebagian kecil pada pantai barat, demikian halnya juga dari arah barat daya hanya terbentuk pada pantai barat.
Tabel 2. Perbandingan hasil antara prediksi dan pengukuran karakteristik gelombang di pantai Bau-Bau.
Tangg al
o UA
(m/d et)
Feff
(m) F*
Hs (m) Ts (m) T
(Ja m)
Co (m/s) Lo (m) C
go (m/det) Pre
d La
p Pred
La p
Pre d
L ap
Pre d
La p
Pre d
La p
Pre d
La p 29/3/0
5 27
0 26
2 5,66
223
28 6841 0,43
0,3
6 3,1
3,
2 4,0 4,9 5,0
15, 3
16,
0 2,4
2, 5 30/3/0
5 29
0 28
0 4,29
223 28
1190
3 0,33
0,3
0 2,9
3,
0 4,4 4,5 4,7
12, 7
14,
0 2,2
2, 3 31/3/0
5 30 35 6,67
585
9 1290 0,26
0,2
2 2,1
2,
4 1,5 3,3 3,5 7,0 7,9 1,7
Î Î Î Î Î Î 453600 453600 454500 454500 455400 455400 456300 456300 457200 457200 458100 458100 9 3 9 5 1 0
0 93
9 5 1 0 0 9 3 9 6 0 0
0 93
9 6 0 0 0 9 3 9 6 9 0
0 93
9 6 9 0 0 9 3 9 7 8 0
0 93
9
7
8
0
0
B A U - B A U
Su ng ai B au-B au N Legenda Darat Jalan Kota Jalan Lain Sungai Pelabuhan Î Garis Pantai
200 0 200 Meter
Tinggi Gelombang (m) < 0,4 0,4 - 0,6 0,6 - 0,8 0,8 -1,0
1,0 - 1,2 1,2 - 1,4 > 1,4 Kontur Kedalaman 1m dan 5m
S E L A
T B U
T O N
Tinggi Gelombang 1 meter Vektor Gelombang
Gambar 3. Pola transformasi dan kontur puncak gelombang dari arah barat.
Î Î Î Î Î Î 453600 453600 454500 454500 455400 455400 456300 456300 457200 457200 458100 458100 9 3 9 5 1 0
0 93
9 5 1 0 0 9 3 9 6 0 0
0 93
9 6 0 0 0 9 3 9 6 9 0
0 93
9 6 9 0 0 9 3 9 7 8 0
0 93
9 7 8 0 0 Sung ai B au-B au
B A U - B A U S E
L A T
B U T O
N N Legenda Darat Jalan Kota Jalan Lain Sungai Pelabuhan Î Garis Pantai
200 0 200 Meter
Tinggi Gelombang (m)
< 0,2 0,2 - 0,4 0,4 - 0,6 0,6 - 0,8
0,8 - 1,0 1,0 - 1,2 > 1,2 Kontur Kedalaman 1m dan 5m
Tinggi Gelombang 1 meter Vektor Gelombang
Î Î Î Î Î Î 453600 453600 454500 454500 455400 455400 456300 456300 457200 457200 458100 458100 9 3 9 5 1 0
0 93
9 5 1 0 0 9 3 9 6 0 0
0 93
9 6 0 0 0 9 3 9 6 9 0
0 93
9 6 9 0 0 9 3 9 7 8 0
0 93
9 7 8 0 0 Sung ai Bau
-B au
B A U - B A U
S E L A T
B U T
O N
N Legenda Darat Jalan Kota Jalan Lain Sungai Pelabuhan Î Garis Pantai
200 0 200 Meter
Tinggi Gelombang (m) Kontur Kedalaman 1m dan 5m
Tinggi Gelombang 0,4 meter Vektor Gelombang
0 0 - 0,1 0,1 - 0,2 0,2- 0,3
0,3 - 0,4 0,4 - 0,5 > 0,5
Gambar 5. Pola transformasi dan kontur puncak gelombang dari arah timur.
Î Î Î Î Î Î 453600 453600 454500 454500 455400 455400 456300 456300 457200 457200 458100 458100 9 3 9 5 1 0
0 93
9 5 1 0 0 9 3 9 6 0 0
0 93
9 6 0 0 0 9 3 9 6 9 0
0 93
9 6 9 0 0 9 3 9 7 8 0
0 93
9
7
8
0
0
Tinggi Gelombang (m) Su
ng ai B
au-B
au
B A U - B A U
N Legenda Darat Jalan Kota Jalan Lain Sungai Pelabuhan Î Garis Pantai
200 0 200 Meter
Tinggi Gelombang (m) Kontur Kedalaman 1m dan 5m
Tinggi Gelombang 0,4 meter Vektor Gelombang
0,2 - 0,3 0,3 - 0,4 0,4 - 0,5
> 0,6
< 0,2 0,5 - 0,6
S E L A
T B U
T O N
Gambar 6. Pola transformasi dan kontur puncak gelombang dari arah timur laut.
Pantai barat dengan bentuk kontur kedalaman gabungan antara submarine
ridge (kontur yang menjorok ke luar) dan
submarine canyon (kontur yang menjorok
ke dalam) terlihat adanya perubahan garis ortogonal gelombang dari arah barat dan barat daya yakni garis yang tegak lurus dengan garis puncak gelombang dan
perubahan cepat rambat gelombang terjadi di sepanjang garis puncak gelombang yang
bergerak dengan membentuk sudut
terhadap kontur, karena bagian dari gelombang di laut dalam bergerak lebih cepat dari pada bagian laut yang lebih dangkal. Perubahan tersebut menyebabkan
puncak gelombang membelok dan
berusaha untuk sejajar dengan garis kontur kedalaman (CERC, 1984). Perubahan tersebut juga berpengaruh terhadap tinggi gelombang, dengan menganggap periode konstan, tinggi gelombang mula-mula menurun di perairan transisi dan dangkal namun di perairan yang sangat dangkal tinggi gelombang membesar sampai terjadi pecah (Latief, 1994), hal ini terlihat jelas pada Gambar 7–10. Proses ini dikenal sebagai shoaling yakni proses pembesaran tinggi gelombang karena pendangkalan kedalaman (Subandono dan Budiman, 2005).
Perubahan arah gelombang
menghasilkan konvergensi (penguncupan) pada garis kontur/pantai yang menjorok ke laut, tanjung maupun bangunan pantai (jeti dan pelabuhan) yang terjadi karena perbedaan sudut yang besar antara kontur kedalaman dan sudut datang gelombang
dan divergensi (penyebaran) pada garis
kontur/pantai yang menjorok ke dalam.
Daerah yang mengalami konvergensi
umumnya menyebabkan tinggi gelombang pecah yang lebih besar (lihat tandah panah/vektor gelombang dalam gambar lebih besar) jika dibandingkan dengan daerah divergensi (vektor gelombangnya terlihat lebih kecil). Proses konvergensi
dan divergensi akan berpengaruh pula
pada besaranya distribusi energi
gelombang dan pola arus yang terjadi di sepanjang pantai (Komar, 1998).
Khusus konvergensi pada jeti tinggi gelombang pecah dari arah barat dan timur laut sangat besar dibanding daerah lain. Faktor ini disebabkan letak bangunan jeti sangat menjorok keluar dengan panjang kurang lebih 250 m dan
lebar 38 m, sehingga arah gelombang dari barat dan timur laut yang datang tegak lurus, langsung menghantam bangunan jeti, akan tetapi tinggi gelombang di belakangnya berkurang sebagaimana disajikan pada Gambar 7 dan Gambar 10.
Jeti berfungsi sebagai
pemecah/peredam gelombang, dapat
mempengaruhi arah dan tinggi
gelombang, dimana arah gelombang akan membelok di sekitar ujung jeti dan
masuk di daerah terlindung di
belakangnya, selain itu pada bagian
gelombang yang mengenai jeti,
energinya sebagain terdisipasi dan sebagian lagi akan direfleksikan. Fenomena ini dikenal dengan difraksi gelombang, yakni suatu proses dimana energi gelombang menyebar secara lateral sepanjang puncak gelombang
(Komar, 1998; Ningsih, 2000).
Selanjutnya dijelaskan oleh
Triatmodjo (1999) transfer energi ke
daerah terlindung menyebabkan
terbentuknya gelombang di daerah
tersebut, meskipun tidak sebesar
gelombang di luar jeti. Pola puncak gelombang yang terdifraksi di belakang jeti membelok dan mempunyai bentuk busur dengan tinggi gelombang yang berkurang secara eksponensial pada jarak yang semakin jauh dari jeti.
Berdasarkan hasil model
RCPWave tinggi gelombang pada setiap arah berbeda, dimana untuk arah barat tinggi gelombang pecahnya bisa mencapai 1,9 m (data input gelombang maksimum dengan H=1,0 m dan t=4,1 det), arah barat daya mencapai 1,8 m (data input gelombang maksimum dengan H=0,9 m dan t=3,9 det), arah timur mencapai 0,7 m (data input
gelombang maksimum dengan H=0,4 m
Pantai yang menghadap arah utara (pantai timur), garis puncak gelombang dari arah barat daya semakin sejajar dengan garis kontur kedalaman dan tinggi gelombangnya juga semakin kecil akibat pola refraksi besar dan cepat rambat gelombang menurun,
sehingga gelombang tidak dapat
mencapai pantai. Selain itu adanya jeti
(bagian kanan profil 4) dapat meredam gelombang datang, sehingga tinggi gelombang berkurang pada jarak yang semakin jauh dari jeti. Sedangkan dari
arah barat, gelombangnya masih
terbentuk karena pola perubahan
refraksinya lebih kecil dibandingkan dari arah barat daya, sebagai akibat perbedaan arah dan kontur kedalaman.
Gambar 7. Tiga Dimensi kontur puncak gelombang maksimum dari arah barat.
Gambar 9. Tiga Dimensi kontur puncak gelombang dari arah timur.
Gambar 10. Tiga Dimensi kontur puncak gelombang dari arah timur laut.
IV. KESIMPULAN
Tinggi dan periode gelombang di perairan dalam yang dibangkitkan oleh
angin pada perairan Bau-Bau
menunjukkan dari arah barat daya dan barat lebih besar yakni untuk tinggi gelombang berkisar (0,6 – 0,9 m dan 0,6
– 1,0 m) dan periodenya berkisar (3,4 – 3,9 detik dan 3,4 – 4,1 detik) dibandingkan dari arah timur laut dan
arah barat (pantai barat) yang lebih terbuka (laut bebas) dan pantai yang menghadap arah utara (pantai timur) yang semi terbuka (Teluk dan Selat Buton). Transformasi gelombang dari arah barat dan timur laut dapat terbentuk pada kedua arah pantai, dimana tinggi gelombang pecah pada pantai barat bisa mencapai 1,9 m dan 0,5 m, sedangkan pada pantai timur mencapai 1,0 m dan 0,7 m. Akan tetapi dari arah barat daya hanya terjadi pada pantai barat dengan tinggi gelombang pecah 1,8 m, demikian halnya juga dari arah timur hanya terjadi
pada pantai timur dengan tinggi
gelombang pecah 0,7 m, sedangkan pada pantai barat sangat kecil (< 0,3 m).
DAFTAR PUSTAKA
Bruce, A. E, A. C. Mary, and D. P. Mark. 1986. Coastal Proesses Numerical
Modeling System Report 1.
RCPWave-A Linear Wave
Propagation Model For
Engineeringg Use. Washington:
U.S. Army Coastal Engineering Research Center.
[CERC] Coastal Engineering Research Center. 1984. Shore Protection
Manual Volume I, Fourth Edition.
Washington: U.S. Army Coastal Engineering Research Center. [CHL] Coastal Hydraulic Laboratory.
2002. Coastal Engineering
Manual, Part I-VI. Washington
DC: Department of the Army. U.S. Army Corp of Engineers.
Davis, R. A. Jr. 1991. Oceanography; An
Introduction to the Marine
Environment, New Jersey: WCB
Publisher International Published. Komar, P. D. 1998. Beach Processes
and Sedimentation, Second Edition.
New Jersey: Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs.
Latief, H. 1994. Gelombang Laut.
Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Ningsih, N. S. 2000. Gelombang Laut.
Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Subandono, D. dan Budiman. 2005.
Tsunami. Bogor: Penerbit Buku
Ilmiah Populer.
Sverdrup, H.V. and W.H. Munk, 1946. Empirical and theoritical relations between wind, sea and swell,
Trans. Amer. Geophys. Union,
27:823-827