• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagaimana proses pendasaran norma-norma moral dalam KITAB SUCI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bagaimana proses pendasaran norma-norma moral dalam KITAB SUCI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1. Bagaimana proses pendasaran norma-norma moral dalam KITAB SUCI? Mengenai norma moral, KS & agama itu erat hubungannya.

Hukum PL: - Taurat Hukum Sinai - Ajaran Kesusilaan para nabi Hukum PB: - Kristosentris

- Sakramentologis

Simpul: @ Moral KS sifatnya indikatif (karya Allah)-imperatif (jwb Manusia-kodrat akal budi); dalam kerangka prkembangan karya keselamatan

@ Dasar Ontologis: kodrat manusia disucikan; sbg ajakan bagi yang berdosa (soal hukuman & kerahiman Allah)

Makna bagi pendasaran moral Gereja: ikut perkembangan Zaman itu penting mengingat Hukum KS hrs disesuaikan dengan perkembangan zaman. Demikian Gereja ikut penafsiran Yesus, utk beri arti baru thd PL. Sumbangan KS: - beri beda antara keyakinan & nilai relevansi utk moral & argumentasi penilaian.

- Berupa pengaruh iman pd keyakinan nilai beri arti dasar utk dukung kesusilan. Batasannya:

$ faktor konkrit: - KS bukan buku pegangan moral –tak memuat moral sistematis - dalam KS banyak norma-2 moral

- KS tak jwb soal-2 lain dari kondisi-2 lain.

$ Berkaitan dengan 2 kalimat moral: - Argumentatif: capai putusan moral ( temukan isi norma moral konkrit) - Parainetis: hampir mendominasi KS

2. Soal Hukum Kodrat (Bab 21), apa maksudnya?

3. Soal argumentasi moral (Bab 23)?

4. (Bab 24): Jelaskan peranan & tugas Gereja dalam pembentukan norma-norma moral! Teologi bukanlah ilmu privat belaka, melainkan diwujudkan dalam pangkuan Gereja dan merupakan fungsi Gereja. Karena Gereja hidup dari iman akan karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus, maka menyelami Wahyu Allah serta konsekuensinya termasuk kehidupan Gereja sebagai persekutuan beriman.

I. Peran Gereja sebagai keseluruhan

Kehendak Allah merupakan konsekuensi dari kabar gembira tentang Basileia yang tercetuskan dalam cinta kasih. Adapun cinta kasih itu harus dikonkretisir untuk kita sekarang ini. tugas konkretisasi itu adalah tugas Gereja sebagai keseluruhan.

A. Tugas Gereja

Tugas Gereja dalam hal konkretisasi kabar gembira untuk kehidupan moral bukanlah tugas baru, melaikan sudah dilakukan sejak awal mulanya dan senantiasa dilakukannya hingga sekarang.

1. Karya konkretisasi oleh Gereja Purba a. Praktek Gereja purba

Kebutuhan konkretisasi kabar gembira untuk kehidupan moral umat kristiani sudah dirasakan pada awal Gereja yang memulai pembentukan norma-norma.

b. Daya paradikmatis karya konkretisasi Gereja Purba

Konkretisasi berarti penyesuaian menurut tempat dan waktu. Maka tidaklah mengherankan bila hasil konkretisasi Gereja sering kali tidak sesuai untuk zaman kita. Tetapi usaha Gereja Purba itu mempunyai daya paradikmatis untuk Gereja dewasa ini. daya paradikmatis itu tidak terbatas pada soal melanjutkan tugas pembentukan norma-norma, melainkan cara Gereja melakukannya sejauh mengenai kesetiaan pada ajaran Kristus di satu pihak, dan menolong manusia dilain pihak.

2. Tugas konkretisasi oleh Gereja dewasa ini pada umumnya a) Menghindari defaitisme dan triumphalisme

(2)

 Triumphalisme: sikap yang mengira bahwa Gereja mempunyai wewenang dalam segala hal dan juga mempunyai keahlian untuk memecahkan segala masalah. Triumphalisme terdapat terutama pada kaum rohaniwan.

 Paham Gereja yang berat sebelah dan memperkirakan kemungkinan/kemampuan Gereja terlalu tinggi, kurang melihat batas-batas kemampuan/kompetensi Gereja, terutama bila yang dimaksudkan dengan istilah Gereja: Jabatan Pemimpin.

b) Memperhatikan unsur-unsur lokal

Bagi kita berarti Gereja harus memperhatikan keadaan di Indonesia. Sikap demikian biasanya dirumuskan sebagai adaptasi, Indonesianisasi.

Kesukaran: tradisi Gereja beserta tradisinya berasal dari barat dan mencerminkan pemikiran barat. Banyak pengertian mungkin diungkapkan dengan kata-kata yang sama tetapi isinya lain. Salah satu hal yang berbeda dengan pemikiran barat ialah soal sikap terus terang dibarat dan perasaan sungkan di timur.

B. Tugas seluruh Gereja

1. Pengalaman iman seluruh Gereja a. Ajaran Vatikan II (LG art.12)

KV II menekankan peranan sensus fidei(=perasaan iman) seluruh umat. Beberapa hal yang perlu ditomjolakn dalam hubungan dengan tugas Gereja membentuk norma-norma moral:

- Gereja sebagai keseluruhan sebagai subyek iman

- Perasaan iman (sensus fidei) yang lebih berhubungan dengan penghayatan iman daripada melulu soal pengetahuan iman.

- Daripadanya harus dibedakan kesepakatan iman

- Perkaranya yaitu iman dan kesusilaan. b. Arti pengalaman iman seluruh Gereja

Pengalaman iman yang otentik dari seluruh Gereja tidak bolah diabaikan begitu saja oleh pimpinan bila merumuskan norma-norma moral yang biasanya merupakan suatu tahap terakhir (sementara) perkembangan perasaan dan pengalaman seluruh Gereja. 2. Tugas-tugas yang disusun

a. Pencaharian norma “dari bawah”: dalam tahap pertimbangan

Dalam pewartaan moral kita berhadapan dengan kebenaran yang harus dihayati dan diverifikasikan dalam kehidupan. Hal ini berarti bahwa harus ada semacam pencaharian/pembentukan norma-norma “dari bawah” dari umat kristiani. Yang penting ialah keyakinan yang ada dalam kelakuan faktis dan dihayati.

b. Pengambilan keputusan oleh pimpinan: tahap terakhir sementara

Tahap pengambilan keputusan disebut tahap terakhir sementara karena moral berkat segi dinamisnya harus merupakan moral yang terbuka untuk koreksi dan perkembangan selanjutnya. Walaupun tahap pengambilan keputusan menjadi bagian jabatan penggembalaan atau pengajaran, namun keputusan haruslah mencerminkan perasaan/pengalaman iman umat seluruhnya.

II. Kompetensi/tugas khas jabatan pengajaran/penggembalaan A. Iman dan kesusilaan

1. Hubungan antara iman dan kesusilaan a. Ungkapan “Fides Et Mores”

Dalam tradisi ungkupan “mores” mempunyai arti yang luas.

 DS 1501: mores = kebiasaan

 Yang dimaksudkan sungguh-sungguh moral bukan hanya kebiasaan atau disiplin, tetapi melihat konteksnya.

b. Proses pengaruh timbal balik antara fides dan mores

Hubungan erat antara fides dan mores berarti proses pengaruh timbal balik. Proses manusiawi dalam bidang moral dapat mempengaruhi paham iman, memperdalamnya juga. ,oral dapat menjadi pencetus iman. Sebaliknya moral berdasarkan, berispirasikan pada iman yang dapat mengubah keseluruhannya, memberikan konteks religius.

2. Pengeterapan iman pada moral (LG art.25)

Para pengajar yang otentik yaitu diberi wewenang Kristus yang mewartakan kepada umat yang dipercayakan kepada mereka iman yang harus dipercayai dan diterapkan pada kesusilaan.

a. Fungsi kritis iman

(3)

b. Iman meneguhkan isi dan memperdalam motivasi/pendasan moral

Jabatan pengajaran bertugas menjamin nilai-nilai yang diteguhkan dan diperdalam motivasi/pendasarannya oleh iman. Tetapi nilai-nilai itu tidak memperoleh sifat absolut hanya karena dijamin oleh jabatan pengajaran. Contoh: perceraian.

B. Beberapa pembedaan

1. Jabatan penggembalaan dan jabatan pengajaran a. Pembedaan

- Jabatan pengajaran, LG art.25 berkisar pada kebenaran yang diwahyukan.

- Mengikat teologis, minta persetujuan, pengiyaan.

- Jabatan penggembalaan, LG art. 27, dalam arti luas merangkum jabatan pengajaran.

- Dalam arti sempit, sejauh dibedakan dengan jabatan pengajaran, berkisar pada tata tertib (disiplin) Gereja, kehidupan Gereja.

b. Hubungan

Jabatan penggembalaan dan pengajaran tidak bolah dipisahkan. Jabatan pengajaran merupakan bagian dari jabatan penggembalaan, artinya: dalam fungsi penggembalaan. 2. Otentik-privat/dapat - tak dapat sesat/interpretasi

a. Otentik-privat/dapat - tak dapat sesat

 Otentik dibedakan dari privat. Berasal dari bahasa hukum. Maksud: diberi kuasa Kristus. Jadi, ajaran resmi, bukan privat.

 Dapat - tak dapat sesat

Pasangan pengertian dalam kategori yang lain dari pasangan otentik-privat. b. Prinsip interpretasi ajaran Gereja

Beberapa aturan menafsirkan pernyataan Gereja:

- Stricte, tak boleh diperluas. Latarbelakang paham tidak ikut dirumuskan.

- Konteks historis harus diperhatikan: Sitz im Leben - bagaimana?

- Jenis sastra perlu juga diperhatikan: apa yang dimaksudkan?

- Macam-macam petunjuk: apakah pernyataan itu langsung keluar dari ajaran yang tak dapat sesat? Hanya aplikasi ajaran yang tidak diajukan dengan wewenang yang tak dapat sesat? Melulu disipliner?

III. Kompetensi/tugas Gereja berhubungan dengan hukum kodrat dan hubungan positif A. Kompetensi/tugas Gereja berhubungan dengan hukum kodrat

1. Kompetensi Gereja

Gereja mempunyai kompetensi dalam perkara hukum kodrat dikalangan katolik tidak diragukan, hanya ditanyakan sifat kompetensi itu serta jangkauannya.

a. Termasuk wewenang jabatan penggembalaan atau pengajaran?

- Jacob David: kompetensi Gereja dalam hal hukum kodrat merupakan wewenang jabatan penggembalaan, bukan jabatan pengajaran.

- Jabatan pengajaran berkisar pada Wahyu dan apa yang erat hubungannya dengan Wahyu, maka Gereja dapat menyatakan ajaran tertentu sebagai tak dapat disesuaikan dengan wahyu, demikian pula interpretasi tertentu dari hukum kodrat sebagai tak dapat disesuaikan dengan ajaran wahyu, jadi fungsi memberi batas negatif. Selebihnya, konkritisasi hukum kodrat wewenang jabatan penggembalaan yang memberi petunjuk-petunjuk dan lebih bersifat disipliner. Gereja sendiri lebih memandang interpretasi hukum kodrat sebagai pelaksanaan jabatan pengajarannya. b. Alasan-alasan kompetensi Gereja

 Karena hukum kodrat diteguhkan Wahyu

 Karena hukum kodrat berhubungan secara organis dengan Wahyu

 Karena hukum kodrat dikandung Wahyu

 Karena hukum kodrat disempurnakan Wahyu (Misalnya: Kodbah Di Bukit)

 Karena hukum kodrat merupakan bagian integral moral Wahyu. 2. Tugas Gereja

a. Memberi kesaksian tentang paham yang benar tentang manusia

Justru karena teologi Kristiani yakin mempunyai paham yang benar dan luhur tentang manusia, kita bertugas memberi kesaksian kepada dunia tentang paham manusia yang luhur yang sering menjadi dasar norma-norma.

b. Memberi kesaksian tentang segi-segi religius kehidupan

Gereja merupakan instansi di tengah dunia yang mempunyai tujuan transenden, mengatasi dunia, memberi kesaksian tentang arti terakhir hidup manusia dan segala sesuatu.

(4)

Hukum kodrat membutuhkan konkritisasi, sering kali sampai pada bentuk undang-undang supaya efektif.

1. Dalam Gereja sendiri

Perintah-perintah Gereja nerupakan peraturan yang dikeluarkan jabatan penggembalaan. Timbul dalam abad pertengahan sehubungan dengan praktek pengakuan dosa dari unsur-unsur hukum abad Gerejawi. Bentuk dewasa ini: merayakan hari-hari wajib, Ekaristi mingguan, puasa dan pantang, pengakuan dosa tahunan, komuni paskah, dll yang berasal dari Katekismus Petrus Kanisius tahun 1555.

a. Maksud dan arti perintah-perintah Gereja

“Ubi societas, ibi lex”: di mana ada masyarakat, di sana ada hukum.

Kehidupan Kristiani tidak mengenal batas ke-atas, artinya mengandung dinamika menuju ke tingkat yang lebih sempurna. Tetapi manusia juga lemah dan membutuhkan bimbingan. Perlu diperhatikan bahwa perintah-perintah Gereja meskipun berasal dari kehendak Gereja, namun tidak sembarangan melulu karena kehendak, melainkan mempunyai dasar dalam perkaranya sendiri, artinya: bukan hanya baik karena perintah, melainkan juga diperintahkan oleh Gereja karena baik. b. Masalah Pastoral

perintah Gereja itu pertolongan bagi umat Katolik, terutama yang lemah, tetapi juga mengandung bahaya salah paham. Bahaya legalisme yang keluar dari kebutuhan akan kepastian: bahaya macat pada pemenuhan lahiriah peraturan tanpa dihayati sungguh-sungguh.

2. Sumbangan Gereja untuk pembentukan hukum positif negara

Umat Katolik hidup dalam negara dan masyarakat yang diatur oleh undang-undang (hukum positif) yang tidak jarang bersentuhan dengan soal-soal agama dan moral. Maka Gereja tak dapat acuh-tak acuh terhadap pembentukan hukum positif dalam negara. Tetapi Gereja secara langsung tidak mempunyai tugas dalam urusan negara.

a. Pada umumnya

Gereja dapat bertindak secara resmi sebagai instansi keagamaan atau wakil kelompok penganut agama tertentu. Tetapi Gereja juga dapat mempengaruhi tata peraturan masyarakat atau negara lewat/dalam anggota-anggotanya yang sekaligus adalah warganegara/masyarakat.

b. Pada khususnya

Campur tangan Gereja diharapkan bila hak-hak asasi manusia dilanggar. Selain itu hendaknya diperhatikan hubungan antara hukum dan moral.

Misalnya: fungsi hukum pidana bukanlah menghukum segala yang apa dianggap bertentangan dengan moral, melainkan harus berpedoman pada kesejahteraam umum.

5. Mengenai Hati Nurani (Bab 28), hanya jelaskan soal arti & sifatnya di bagian sistematis?

HATI NURANI (HN)

Apakah yang dimaksud dengan conscientia habitualis dan conscientia actualis?

Apa yang diterjemahkan dengan “HN” sebetulnya menyangkut dua hal: 1. Conscientia habitualis/Synderesis

Adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum dan pertama. Ini suatu yang habitual, yakni berupa kemudahan/kesediaan untuk mengenal prinsip-prinsip yang pertama yang evident.

Dapat juga dikatakan sebagai sikap natural yang mengarahkan manusia pada apa yang objektif benar dan baik, yang pada akhirnya pada Allah sendiri. Budi manusia mengakui apa yang baik (bonum) sebagai tujuan, dan digerakkan kepadanya oleh cinta akan apa yang baik itu dalam kehendak. Di sinilah dinamika synderesis:kesatuan budi dan kehendak dalam lubuk hati manusia.

Sumbangan/peranan synderesis:

(5)

- Menciptakan dalam lubuk hati manusia ajakan untuk mengungkapkan

keterarahannya kepada tujuan terakhir (Allah sendiri) dengan perbuatan-perbuatan konkret yang baik.

2. Conscientia actualis

Hakekatnya: pengetrapan synderesis (conscientia habitualis) untuk situasi konkret di sini sekarang ini. ada dua aspek yang dibahas: proses pengambilan keputusan dan keputusan itu sendiri.

Pengambilan keputusan:

Pada umumnya, dalam hal-hal biasa, pengambilan keputusan terjadi hampir secara “otomatis” atau dengan sendirinya tanpa pertimbangan terlalu lama. Hanya bila timbul kesulitan karena keadaan yang luar biasa maka pengambilan keputusan membutuhkan proses pertimbangan yang lebih masak.

Prosesnya  bila ada hal yang tidak jelas, budi akan mempertimbangkan pro dan kontra. Kemudian HN akan menentukan keputusan terakhir untuk suatu situasi konkret yang dihadapi. Biasanya melalui silogisme, tapi bisa juga melalui unsur intuitif, emosi dan afektif. Proses ini termasuk suatu yang personal-formal sehingga tanggung jawab moral dibebankan sepenuhnya pada pribadi.

Keputusan/perintah HN (dictamen conscientiae):

Pada dasarnya merupakan sesuatu dari budi, tetapi tak selalu berarti pertimbangan tapak demi tapak dari budi, melainkan dapat juga berarti pengertian yang lebih bersifat intuitif.

Uraikan juga macam-macam sifat HN yang bisa muncul berkaitan dengan kedua aspek HN itu!

Sifat-sifat conscientia habitualis:

Bila dipandang dari sudut kepekaannya terhadap nilai-nilai moral bisa dibagi dalam 2 kelompok: kurang peka (per defectum) dan terlalu peka (per excessum).

HN yang ideal seharusnya tidak terlalu dan tidak kurang, tetapi tepat: conscientia tenera (halus, tajam) dan vigilans (waspada, berjaga-jaga).

- punya kecakapan (habitus) untuk mengenal (punya pandangan yang tajam) mengenai perbedaan-perbedaan yang halus, bukan hanya dalam penilaian budi, melainkan juga dalam reaksi total dari pribadi manusia.

- Sekaligus disertai suatu kewaspadaan, yaitu kesediaan untuk menyatakan reaksi terhadap nilai-nilai moral.

Selain yang ideal itu, ada juga ketimpangan-ketimpangannya: a. yang berkaitan dengan kekurang pekaan

1. HN yang kurang peka Dibedakan:

(i) Conscientia lata (luas) : cenderung menyempitkan tuntutan moral, dan meluaskan ruang kebebasan.

(ii) Conscientia laxa : cenderung untuk memperbolehkan apa yang terlarang walau tanpa alasan yang cukup, atau menganggap remeh apa yg besar. Bisa diperinci:

- Conscientia cauteriata : menekan keputusan HN sejati atau melunakkannya terutama untuk diri sendiri.

- Conscientia pharisaica : ketat dalam hal-hal remeh, tapi lembek dalam banyak hal berat.

2. HN yang tumpul dan buta

(6)

HN tumpul terjadi bila tingkat kekurangpekaan itu begitu parah sehingga dikatakan sudah tumpul (tumpul=pernah cukup tajam). Bila belum pernah tajam/peka, berarti buta sama sekali.

Ketumpulan dan kebutaan dapat menyeluruh, dapat pula sektoral. Dapat individual, dapat pula kolektif.

b. Yang berkaitan dengan “terlalu peka” Dikenal dua tipe:

1. Conscientia angusta (sempit) : disposisi habitual untuk menilai lebih keras/ketat

daripada yang sewajarnya.

2. Conscientia scrupulosa: pikiran objektif penuh ketakutan, terlalu takut untuk melakukan kesalahan, dalam hal kecil sekalipun.

Jelaskan ajaran moral katolik mengenai daya wajib HN! Jelaskan pula prinsip-prinsip daya wajib HN dalam keadaan tertentu, khususnya mengenai conscientia erronea dan conscientia dubi!

Prinsip-prinsip mengenai daya ikat/wajib HN dalam keadaan-keadaan tertentu:

Dalam kehidupan, HN sering berada dalam keadaan-keadaan tertentu yang kemudian menimbulkan soal mengenai bagaimana daya ikat/wajib HN dalam keadaan-keadaan tersebut. Terutama 2 keadaan: HN sesat dan HN ragu-ragu.

Prinsip umum: conscientia vera (HN benar)dan certa (HN pasti) sbg norma terdekat dan ideal! Norma moral subyektif seharusnya ialah conscientia vera dan HN yg pasti. Semua manusia punya kewajiban untuk punya HN yang demikian.

Soal kepastian: tidak dituntut pasti 100%, melainkan kepastian moral dalam arti luas. Tiap pribadi wajib berusaha mendapatkan conscientia certa. Namun, ini tak boleh ditafsirkan terlalu ketat, sebab tak jarang suatu masalah belum dapat dijernihkan secara total, sementara keputusan tak dapat ditangguhkan.

Soal conscientia erronea (HN sesat):

Tradisi dan ajaran Gereja seperti dalam KV II mengakui dan menegaskan daya wajib HN sesat (HN bisa tersesat, tapi tanpa kehilangan martabatnya).

Kesesatan HN terletak dalam ketidakselarasan antara pemberian arti tertentu pada karya tertentu sejauh arti itu in se (obyektif) di satu pihak, dan di lain pihak apa artinya bagiku (subyektif). Dkl, ketidakselarasan antara norma obyektif dan subyektif. Contoh: HN pribadi yang melarang berdoa di muka patung karena dianggap penyembahan berhala

(kesalahannya:pemberian arti mengenai arti doa di muka patung). Soal conscientia dubia (HN ragu-ragu):

Prinsip moral tradisional: tak boleh berbuat bila HN ragu-ragu. Orang tak boleh ambil risiko (bahaya) berbuat dosa.

Tapi, bagaimana kalau harus memutuskan? Pemecahannya:

- secara langsung :dengan konsultasi pada ahli atau dalam buku, atau dengan penyelidikan sendiri.

- Secara tak langsung: melalui prinsip-prinsip refleksi: 1. hukum yang diragukan tidak mengikat.

2. dalam keragu-raguan orang harus berpegangan pada apa yang dibenarkan oleh presumsi.

(7)

5. dalam keragu-raguan orang harus menguntungkan si tertuduh. 6. dalam keragu-raguan presumsi berada pada pihak pembesar.

7. dalam keragu-raguan orang harus menilai/memutuskan menurut apa yang biasanya terjadi.

8. dalam keragu-raguan orang harus berpegangan pada sah-nya perbuatan.

9. dalam keragu-raguan hal-hal yang menguntungkan harus diperluas, dan hal-hal yang tidak disukai harus dipersempit.

10. dalam keragu-raguan orang harus berpegangan pada/mempertahankan yang paling kecil.

Semua prinsip itu dapat diringkas menjadi satu prinsip: Dalam keragu-raguan orang harus berpegangan pada apa yang dibenarkan oleh presumsi.

Dua ekstrim yg harus dihindari: laxisme dan rigorisme.

Soal kasus perpleksif (=berbuat atau tidak, ini atau itu, selalu tampak salah). Jalan keluarnya:

- menunda keputusan

- bila tak dapat ditunda, maka boleh pilih “minus malum”

- bila ini pun tak bisa ditentukan, orang bebas memilih salah satu dari kemungkinan-kemungkinan.

6. Jelaskan norma umum dari situasi konkrit (Bab 29)?

1. Norma Umum dan Situasi Konkret dalam Tradisi Moral Katolik

Salah satu tugas hati nurani terletak dalam menyampaikan norma umum untuk situasi konkret manusia. Namun, bagaimanakah hubungan antara norma umum dan situasi konkret itu? berikut ini persoalan tentang norma umum dan situasi konkret berikut pemecahannya dalam moral tradisional.

a. Persoalan norma umum dan situasi konkret dalam moral tradisional

Moral tradisional sudah melihat adanya ketegangan antara norma umum dan situasi. Namun, ketengan itu dilihat dengan kurang mendalam dan kurang luas.

1) Gambaran lazim tentang hubungan norma umum dan tradisi konkret dalam tradisi Hubungan keduanya dapat diungkapakan dalam istilah “pengetrapan” norma umum pada kasus, yang hanya merupakan satu dari ribuan “situasi” yang mungkin. Kasus dapat ditampung oleh norma umum. Kasus bukan sesuatu yang unik, melainkan sebagian kecil dari garis besar yang umum.

2) Kasuistik dan metode silogisme deduktif

Dengan hubungan yang demikian, maka metode teologi moral itu bersifat kasuistis dengan silogisme deduktif.

 Mayor: dalam situasi/kondisi ini harus dilakukan X. (situasi ini itu abstrak. Sehingga diandaikan ada rumusan pengertian umum dalam kalimat umum)  Minor: menyatakan adanya situasi/kondisi tsb (hit et nunc).

 Conslusio: mengubah mayor menjadi imperatif konkret yang jelas. Berdasarkan gambaran ini, hati nurani hanya dipandang sebagai fungsi yang mengenakan norma umum pada kasus konkret.

(8)

Dalam moral tradisional terdapat teori tentang fontes moralitatis

(sumber/prinsip2 kesusilaan perbuatan konkret). Salah satu dari tiga hal yang dibahas dalam hal itu adalah “circumstantiae” (keadaan2  seperti apa, apa, di mana, bagaimana, dengan apa, mengapa, dan bilamana). Ajaran ini dapat dilihat sebagai sarana moral tradisional untuk memperhatikan situasi konkret dari suatu perbuatan konkret.

2) Prudentia (kebijaksanaan) dan Epikeia.  Prudentia

- adalah kecakapan menemukan yang tepat/benar secara moral dalam situasi konkret.

- Juga merupakan sikap batin yang membuat manusia

siap/cakap/terlatih utk mengenal dan melakukan apa yang benar dari sudut moral.

- Bukanlah melulu kemampuan budi, melainkan juga kesediaan kehendak untuk menjelaskan dan mendesak secara inspiratif perbuatan yang tepat dalam situasi tertentu.

- Dalam skolastik (Thomas), prudentia bertugas sebagai penuntun keutamaan2 kardinal, dan juga mengkoordinir perbuatan,

menyesuaikannya dengan situasi.

- Segi-segi prudentia: pertimbangan, konsultasi, penilaian terhadap situasi secara menyeluruh.

 Epikeia (aequitas)

- Prinsip yang bertugas untuk menjembatani jurang yang ada antara hukum-hukum umum dan situasi konkret serta perbuatan2 yang terikat olehnya.

- Dilakukan dengan cara memberikan penafsiran sewajarnya thd hukum.

- Bila ketaatan hukum secara harafiah justru berlawanan dengan maksud hukum itu sendiri, maka orang tersebut dapat dibebaskan dari daya wajib hukum (berdasarkan penafsiran epikeia).

- Epikeia mengandaikan dan membutuhkan prudentia. 2. Tanggapan Kritis Para Teolog Moral tentang Pemecahan Tradisional

Pemecahan tradisional ini tidak memuaska, karena kemungkinan-kemungkinannya yang terbatas dan meninggalkan kesan setengah-setengah. Oleh karena itu, muncullah macam-macam usaha banyak aliran yang mencoba memperbaiki hal ini.

a. Pemecahan-pemecahan tradisional seperi metode deduktif dan kasuistis, ajaran tradisional tentang keadaan-keadaan dan prudentia- epikeia dikritisi oleh para teolog moral. Mereka melihat kelemahan-kelemahan metode dan ajaran itu, dan berusaha memperbaikinya. Kritiknya: deduktif kurang memperhatikan faktor real dari bawah 9mengabaikan faktor real konkret yang unik dalam setiap persoalan). Kasusitik realitas tidak selalu berupa kasus, terlebih melihat objeknya, yakni manusia yang sangat beragam. Memberikan kesan yang salah tentang moral kristiani sejati. Ajaran ttg keadaan2 direvisi, terutama yang berkaitan dengan soal malitia intrinseca perbuatan. Terlalu materialistis objektivistis. Prudentia-epikeia tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan moral tanpa adanya revisi moral secara keseluruhan. b. Muncul etika situasi

1) Merupakan suatu aliran (cara berpikir) yang muncul secara bertahap sebagai reaksi atas ketidakpuasan terhadap moral tradisional beserta akibat-akibat yang dimunculkannya.

(9)

 Salah satunya dikemukakan oleh A. Hesnard moral katolk mengakibatkan dunia mnejadi sakit, merintangi manusia dalam mengembangkan kepribadian, mencintai sesama, dan mendapatkan rasa aman. Dunia jadi diliputi ketakutan.

 Beberapa hal yang menindas kepribadian: moral katolik berarti hidup terikat sangsi2/ancaman2, reglementasi kehidupan, netralisasi desakan2, frustasi keinginan2, degenerasi tanggung jawab,

depersonalisasi situasi yang dijadikan kasuistik abstrak.

 Di sini moral katolik dilihat bersifat: negatif, infantil, legalistis, dan repressif.

3) Timbulnya aliran etika situasi

 Muncul tokoh-tokoh yang mengajukan gagasan yang mendekati pemikiran etika situasi.

 Non-katolik: Protestan dan aliran-aliran filsafat.

 Katolik: dasar-dasar menculnya etika situasi: 1) ruwetnya kehidupan manusia, 2) ketidakpastian beragam norma moral yang ada, 3) filsafat eksistensialisme ekstrim, 4) sikap protestan yang menjauhi hukum umum.

4) Segi-segi etika situasi

 Segi positif: 1) kritik terhadap etika essensial 2) manusia pribadi unik  etika situasi melihat “keunikan” manusia.

 Segi negatif: 1) tidak mengakui norma umum?  karena melihat manusia sebagai “unik” 2) melebihkan keunikan situasi

5) Usaha untuk menampung etika situasi  Etika eksistensial

 Kesusilaan konkret bukan hanya kasus kesusilaan umum  Individualitas unik juga menjadi sasaran kehendak Tuhan  Penerapan etika eksistensial:

- Kasuistik yang tidak memberikan pemecahan - Bidang-bidang lain.

3. Prinsip-prinsip yang Ditekankan Mengenai Hubungan antara Norma dan Situasi a. Tuhan yang konkret – panggilan yang konkret

1) Tuhan sebagai ens concretissimum (pribadi yg sangat konkret) menuntut manusia tidak melulu pada umumnya.

2) Panggilan-Nya konkret untuk manusia yg konkret dan meminta jawaban cinta yang konkret. Dalam hal ini jawaban moral tidak dapat ditampung secara tuntas hanya oleh norma umum.

b. Norma umum

1) Moral Katolik tetap mempertahankan jalan untuk mengetahui kehendak Allah melalui norma umum. Di sini, tugas teologi moral adalah mempelajarinya secara sistematis. Dalam praktiknya sebagai ilmu, teologi moral membahas moral dalam pengertian-pengertian umum. Norma umum ini tidak ditentang oleh etika eksistentsial, tetapi justru dilengkapi olehnya.

(10)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Adapun hasil penelitian ini menemukan bahwa kesalahan berbahasa dalam pidato mahasiswa yang berperan menjadi calon kepala daerah Kabupaten Blora lima bidang

[r]

Setelah anak diimunisasi kekebalan sebenarnya sudah ada dan daya tahan tubuh jadi lebih tinggi, sehingga sakit yang dideritanya tak bakal separah seperti bila tidak

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, maka motivasi untuk meneliti permasalahan dalam penelitian ini adalah untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi

Kaitannya dengan tindakan diskresi yang dilakukan oleh penyidik terhadap suatu perkara pidana, diskresi tidak hanya mengedepankan hukum pidana secara formil yang sangat kaku

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar matematika dengan menggunakan media batang cuisenaire pada siswa kelas II SDN

Jurnal ilmiah adalah sebuah publikasi yang diterbitkan secara berkala oleh suatu organisasi profesi atau institusi akademik yang memuat artikel- artikel yang merupakan