PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS KECIL
DI KOTA TERNATE
AISYAH BAFAGIH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil di Kota Ternate” adalah karya saya sendiri dibawa bimbingan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis.
AISYAH BAFAGIH. The Small Pelagic Fishery Resource Management in Ternate. Under direction of ERNAN RUSTIADI, MENNOFATRIA BOER, and ALEX S W RETRAUBUN
The potentially-resources of capture fishery in Ternate is a considered superior commodity for fishermen as it has a mechanism of directive marketing, effective and efficient of distribution between neighboring-area which it would turn of a considerable-gain. The potential resources of capture fishery bring importance to development of social and economical in Ternate. Generally, this is turn in the next for the society as a whole, and specifically for the fishermen, to gain the social and economical significance relate to equity, growth, and sustainability.
This study aims to assess the potential resources of fisheries in term of following matters: small pelagic fish in Ternate associated with determination of technical factors into sustainable yields, the influence of fishing gear used to impact of its potential, and also the production gained from its supporting factors. In this study, it was also looked for the feasibility of the fishing gear which can be concluded and then be developed to increase the fishermen income. This study is especially useful in providing data and information for the government to prepare the management strategies in fisheries potency and the production factors also for feasibility of the fishing effort in Ternate.
Data collection consists of: field data covering structured-quetionary with respondents were fishermen whereas data and information of capture production collected between 2003-2010 from DKP Ternate. Data were analyzed with regression analisis. The discussion then is based on data interpretation from the result and theoretical approaches from the same other study on similar object.
The MSY value from analysis of the Schaefer model based-on fishing effort and the catch showed that the sustainable fishing were 10.999,674 tons/year whereas the fishing effort were 11.150,173 of fishing gear units. The regression of technically-production factors between fishing gear of Pole and Line (huhate) and Purse Seine (pajeko) showed that the catch is very influential on the amount of labor, day fishing operations, the amount of fuel as well as the capacity of the vessel size. The mathematically feasibility-calculation for business showed that both of the fishing gear are profitable and feasible to be developed.
Keyword: MSY, Ternate, Pelagic-fish, Huhate, Pajeko
AISYAH BAFAGIH. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil di Kota Ternate. Komisi Pembimbing ERNAN RUSTIADI, MENNOFATRIA BOER, dan ALEX S W RETRAUBUN
Potensi sumberdaya perikanan tangkap di kota Ternate merupakan komoditi unggulan bagi masyarakat nelayan, karena komoditi ini memiliki mekanisme pemasaran langsung, efektif dan efisien ke wilayah sekitarnya, yang tentunya memberikan keuntungan yang cukup besar. Menyadari akan besarnya potensi sumberdaya perikanan khususnya di Kota Ternate yang berarti mempunyai peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi wilayah. Hal ini akan memberikan manfaat sosial dan ekonomi kepada masyarakat secara keseluruhan, dan yang lebih penting lagi adalah untuk masyarakat nelayan. Dengan demikian, diharapkan akan dicapainya keadilan (equity), pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan (sustainability).
Tujuan penelitian adalah mengkaji tingkat potensi sumberdaya perikanan tangkap, khususnya ikan pelagis kecil, di Kota Ternate yang dihubungkan dengan faktor-faktor teknis untuk mengetahui potensi lestari. Kemudian alat tangkap yang digunakan mempunyai pengaruh terhadap dampak dari potensi yang dimiliki dan faktor-faktor pendukung produksi terhadap hasil produksi yang dicapai. Selain itu mencari tahu kelayakan usaha dengan menggunakan alat tangkap ini sehingga dapat disimpulkan untuk dikembangkan demi meningkatkan pendapatan nelayan. Penelitian ini sangat bermanfaat dalam hal penyediaan data dan informasi kepada pemerintah dalam rangka menyusun strategi pengelolaan potensi perikanan tangkap dan faktor-faktor produksi serta kelayakan usaha perikanan tangkap di Kota Ternate.
Pengumpulan data terbagi menjadi beberapa bagian yakni pengambilan data langsung di lapangan dengan melakukan amatan serta menggunakan quisioner terstruktur dengan respondennya adalah para nelayan, pengambilan data dan informasi tentang hasil produksi dari tahun 2003-2010 diperoleh dari DKP Kota Ternate. Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis regresi pada aplikasi excel dan soft ware SPSS. Interpretasi data dilakukan berdasarkan fenomena yang diperoleh dari hasil penelitian dan pendekatan teoritis berdasarkan informasi dari penelitian – penelitian yang memiliki objek kajian yang sama.
Nilai MSY yang diperoleh dari analisis dengan model Schaefer terhadap upaya tangkap (effort) dan hasil tangkapan (catch) menunjukkan penangkapan lestari sebesar 10.999.564 ton/tahun dengan upaya penangkapan sebesar 11.150,173 unit alat tangkap. Faktor-faktor teknis produksi dari perhitungan regresi untuk alat tangkap pole and line (huhate) dan purse seine (pajeko) menunjukkan hasil tangkapan sangat berpengaruh terhadap jumlah tenaga kerja, hari operasi penangkapan, jumlah bahan bakar serta kapasitas ukuran kapal. Kelayakan usaha yang didapat dari perhitungan matematis menunjukkan kedua alat tangkap ikan ini menguntungkan dan layak untuk dikembangkan.
@ Hak Cipta milik IPB Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar.
PELAGIS KECIL DI KOTA TERNATE
AISYAH BAFAGIH
Tesis
Sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kota Ternate
Nama : Aisyah Bafagih
NRP : C 225010431
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Anggota Anggota
Prof.Dr.Ir. Alex S.W Retraubun, M.Si
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
PRAKATA
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan memiliki karakteristik spesifik yang sarat dengan biodeversitas ekologis dan membutuhkan sentuhan teknologi. Aspek ekologis merupakan salah satu dimensi utama pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan disebabkan karena pola pengelolaan tersebut sangat mempengaruhi keberlanjutan ketersediaan sumberdaya alam, khususnya yang bersifat dapat pulih (renewable resources).
Komoditi perikanan laut khususnya perikanan tangkap merupakan komoditi unggulan bagi masyarakat nelayan khususnya di Kota Ternate, karena komoditi ini memiliki mekanisme pemasaran langsung, efektif dan efisien kewilayah sekitarnya, yang tentunya memberikan keuntungan yang cukup besar. Besarnya potensi sumberdaya perikanan khususnya di Kota Ternate mempunyai peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi wilayah. Hal ini akan memberikan manfaat sosial dan ekonomi kepada masyarakat secara keseluruhan, terutama bagi masyarakat nelayan, dalam rangka mewujudkan keadilan (equity), pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan (sustainability).
Hasil dari kegiatan lapangan menunjukkan bahwa nilai MSY yang diperoleh telah melebihi penangkapan lestari sehingga perlu ada perhatian pengelolaan secara baik dan terpadu agar tidak terjadi konflik antara kepentingan stakeholder. Dari penggunaan peralatan penangkapan menunjukkan adanya hubungan yang nyata dengan faktor teknis penunjang penangkapan serta layak dikembangkan sebagai usaha dalam skala yang lebih besar untuk peningkatan pendapatan nelayan.
RIWAYAT HIDUP
Aisyah Bafagih, S.Pi. Lahir di Ternate pada Tanggal 27 April 1972. Merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara, pasangan Bapak H. Taher Achmad Bafagih dan Ibu Ayu Syech Bubakar. Penulis menamatkan pendidikan SD hingga SMA di Kota Ternate. Pada Tahun 1991 penulis diterima sebagai Mahasiswa Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan (PSP) di Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado dan tamat pada Tahun 1996.
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala yang telah diberikan baik berkah, karunia, rakhmat yang tak terhingga sampai saat ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi M.Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr.Ir Mennofatria Boer DEA serta Prof. Dr. Ir Alex S W Retraubun, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang terus membimbing penulis dalam waktu yang cukup lama dan kesabarannya dalam pembimbingan sampai saat ini.
Penghargaan dan ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung dan tidak langsung berturut-turut kepada DIRJEN DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional RI, atas kesempatan beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) yang telah diberikan; pimpinan dan staf SPs IPB terutama program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) atas layanan dan kerjasamanya selama ini; Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) atas dukungan dan bantuannya; Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perikanan (THP) Fakultas Pertanian atas motivasinya; para dosen dilingkup Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Maluku Utara; rekan-rekan pekerja di Forum Studi Halmahera (FOSHAL) yang tak pernah lelah memberi motivasi untuk menyelesaikan studi. Untuk kalian semua penulis ucapkan terima kasih.
xxi
2.1 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia ... 5
2.2 Sumberdaya Ikan Pelagis ... 6
2.3 Model Bioekonomi Perikanan……… ... 10
2.4 Nilai Ekonomi dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ... 12
2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 13
2.6 Kondisi Umum Lokasi Penelitian………. ... 17
2.6.1 Geografis dan Administrasi Pemerintahan ... 17
2.6.2 Penduduk dan Ketenagakerjaan ... 19
2.6.3 Gambaran Perekonomian dan Struktur Sosial ... 21
2.6.4 Gambaran Sumberdaya Perikanan ... 23
3 METODE PENELITIAN……… ... 37
3.4.2 Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan ... 42
3.4.3 Analisis Fungsi Produksi……….. ... 43
3.4.4 Analisis Kelayakan Usaha……… ... 46
4 HASIL DAN PEMBAHASAN……….. ... 51
4.1 Keragaan Perikanan Tangkap Wilayah Kota Ternate ... 51
4.1.1 Rumah Tangga Perikanan (RTP) ... 51
4.1.2 Armada Penangkapan ... 51
4.1.3 Alat Tangkap ... 52
4.1.4 Produksi Penangkapan ... 54
4.2. Produksi Surplus Stok Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil ... 57
4.2.1 Model Schaefer………. ... 58
4.2.2 Model CYP ... 62
4.3 Faktor-Faktor Produksi ... 65
4.3.2 Alat Tangkap Purse Seine ... 70
4.4 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap ... 75
4.5 Strategi Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kota Ternate ... 77
5 SIMPULAN DAN SARAN……… ... 81
5.1 Kesimpulan……… ... 81
5.2 Saran……….. ... 82
DAFTAR PUSTAKA……… ... 83
xxiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan
pelagis di Indonesia ... 6
2 Banyaknya desa pantai dan bukan pantai serta luas wilayah per
kecamatan di Kota Ternate ... 18
3 Jumlah penduduk, kepadatan rumah tangga dan rasio jenis kelamin
di Kota Ternate menurut kecamatan………. ... 20
4 Persentase penduduk usia 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan
tahun 2008 di Kota Ternate……….. ... 20
5 Jumlah angkatan kerja yang bekerja dirinci menurut sektor lapangan
usaha di Kota Ternate……….. ... 20
6 PDRB Kota Ternate menurut lapangan usaha atas dasar harga
berlaku tahun 2006 – 2009 ... 22
7 Spesifikasi kapal pole and line di Kota Ternate……... ... 24
8 Spesifikasi Kapal purse seine di Kota Ternate……….. ... 29
9 Perkembangan jumlah RTP dan jumlah kapal di Kota Ternate 2005 –
2009 ... 51
10 Perkembangan jumlah armada penangkapan menurut ukuran kapal
(GT) di Kota Ternate 2005 – 2009... 52
11 Perkembangan jumlah armada alat tangkap di Kota Ternate 2005 –
2009 ... 53
12 Perkembangan jumlah trip operasi penangkapan ikan masing-masing
alat tangkap di Kota Ternate 2005-2009 ... 54
13 Perkembangan produksi hasil perikanan di Kota Ternate ... 55
14 Perkembangan produksi tahunan menurut jenis alat tangkap Kota
Ternate 2005-2009 ... 56
15 Perkembangan volume produksi menurut jenis ikan dominan di Kota
16 Hasil produksi per unit upaya penangkapan ikan menggunakan alat
pole and line di Kota Ternate 2003-2010 ... 58
17 Effort, produksi actual dan produksi lestari perikanan pelagis kecil di
Kota Ternate ... 61
18 Produksi, upaya optimal dan rente ekonomi pada pengelolaan
perikanan Kota Ternate ... 62
19 Total produksi actual, total effort standart dan produktifitas alat
tangkap standart di Kota Ternate ... 63
20 Produksi, effort, nilai logaritma CPUE pada waktu t+1 dan logaritma CPUE pada saat t serta jumlah effort pada waktu t dan t+1 perikanan
tangkap di Kota Ternate ... 64
21 Parameter biologi dan ekonomi perikanan kota Ternate ... 64
22 Tingkat biomass, produksi, upaya optimal dan rente ekonomi perikanan pelagis kecil dari berbagai rezim pengelolaan di Kota
Ternate ... 65
23 Rataan hasil analisis usaha perikanan tangkap selama 1 tahun ... 76
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Komposisi Sumberdaya Ikan menurut Jumlah Produksi (Ton) di
Kota Ternate Tahun 2003 - 2010 ... 87
2 Komposisi Sumberdaya Ikan menurut Kelompok Jenis Sumberdaya . 88 3 Hasil Standarisasi Produksi dan Effort tahun 2003……. ... 89
4 Hasil Tangkapan berdasarkan Alat Tangkap di Kota Ternate……….. ... 90
5 Perhitungan untuk Estimasi MSY F opt/ F MSY dengan Model Schaefer dengan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya dari perikanan Pole and Line di Perairan Kota Ternate……… ... 91
6 Hasil Nilai Duga Penentuan FOpt 7 Hasil Analisi Bioekonomi berdasarkan Produksi Actual ... 93
dan MSY Hasil Penelitian ... 92
8 Hasil Analisis Bioekonomi Effort Aktual ... 94
9 Hasil Analisis Bioekonomi CPUE ... 95
10 Hasil Analisis Bioekonomi Effort Standart ... 96
11 Hasil Perhitungan yang ditabelkan ... 97
12 Hasil Analisis Bioekonomi MEY,MSY dan OA Model Schaefer ... 98
13 Hasil Analisis Bioekonomi Perbandingan atas Rezim ... 99
14 Data Observasi Lapangan Alat Tangkap Pole and line………. .. 101
15 Data Observasi Lapangan Alat Tangkap Purse Seine……... ... 102
16 Hasil Perhitungan Pole and Line dengan SPSS……….. ... 103
17 Hasil Perhitungan Purse Seine dengan SPSS……… .. 104
18 Deskripsi dan Analisis Biaya Unit Penangkapan Pole and Line (Huhate) di Kota Ternate……….. ... 106
20 Deskripsi dan Analisis Biaya Unit Penangkapan Purse Seine
(Pajeko) di Kota Ternate ... 110
21 Cash Flow Analisis Biaya Unit Penangkapan Purse Seine di Kota
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah
daratatan 1,9 juta km2 , wilayah laut sekitar 5,8 juta km2
Sumberdaya perikanan pelagis merupakan salah satu bagian terpenting dari
potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia dan merupakan bahan konsumsi
dalam negeri. Sumberdaya perikanan laut tersebut perlu dijaga kelestariannya agar
dapat dimanfaatkan secara terus menerus dan dapat juga dinikmati oleh generasi
yang akan datang. Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan
sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga
menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya
tetap terjaga.
, jumlah pulau 17.508
buah dengan panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yaitu
81.000 km. Dengan kondisi ini membuat Indonesia memiliki potensi sumberdaya
perikanan laut yang sangat besar.
Besarnya potensi sumberdaya perikanan mempunyai peranan penting dalam
pembangunan sosial dan ekonomi wilayah. Hal ini memberikan manfaat sosial
dan ekonomi kepada masyarakat secara keseluruhan,terutama bagi masyarakat
nelayan, dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara keadilan (equity),
pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan (sustainability).
Komoditi perikanan laut khususnya perikanan tangkap merupakan komoditi
unggulan bagi masyarakat nelayan khususnya di Kota Ternate, karena komoditi
ini memiliki mekanisme pemasaran langsung, efektif dan efisien ke wilayah
sekitarnya, yang tentunya memberikan keuntungan yang cukup besar.
Untuk memperoleh keuntungan dengan memperhatikan kelestarian
sumberdaya perikanan pelagis di Kota Ternate, maka perlu dilakukan suatu usaha
pendekatan yang memperhatikan aspek biologis dan ekonomis, sehingga nelayan
dalam melakukan aktifitasnya dapat memperoleh keuntungan secara maksimal
tetapi sumberdaya ikan tetap lestari. Clark (1985) in Purwanto (2002),
mengungkapkan bahwa pendekatan bioekonomi adalah pendekatan yang
memadukan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan
pendekatan bioekonomi untuk mengestimasi aspek biologi, dan ekonomi dalam
melakukan usaha penangkapan ikan.
Diberlakukannya UU nomor 32 tahun 2004 yang memberikan otonomi
pengelolaan sumberdaya kepada Pemerintah Daerah membawa angin segar bagi
upaya demokratisasi dan pemerataan kemakmuran nasional. Momentum otonomi
ini merupakan peluang bagi daerah Maluku Utara khususnya Kota Ternate untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat lokal secara langsung melalui pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan lautan secara proporsional dan terkendali tanpa
mengabaikan aspek keberlanjutan serta hakikat keterkaitan dengan berbagai
kepentingan antar wilayah. Status kontemporer sumberdaya manusia, lingkungan
(sumberdaya alam dan ekosistem), dan pola formulasi kebijakan pembangunan di
Kota Ternate menjadi tantangan tersendiri bagi semua pihak untuk mewujudkan
mekanisme pemanfaatan dan konservasi sumberdaya yang mensejahterakan
masyarakat tanpa melupakan pemihakan pada kelestarian lingkungan.
1.2. Perumusan Masalah
Potensi sumberdaya pesisir dan laut yang terdapat di Kota Ternate,
khususnya perikanan pelagis kecil belum sepenuhnya dikelola secara optimal.
Pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis kecil tersebut merupakan fenomena
rumit dan unik dalam pembangunan ekonomi, karena mempunyai sifat akses
terbuka (open access), dimana setiap orang dapat memanfaatkannya. Akses
terbuka tersebut akan mengakibatkan terjadinya pengurasan (depletion)
sumberdaya perikanan, lebih-lebih karena pengelolaan yang kurang jelas lembaga
pengaturnya dan lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Berarti
karakteristik sumberdaya perikanan yang bersifat akses terbuka akan semakin
terbuka, sehingga terjadi pengurasan terutama dari pengusaha perikanan domestik
yang bermodal besar, disamping pencurian yang dilakukan nelayan dan
pengusaha perikanan asing.
Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka peran pemerintah
daerah sangat penting dalam menggali potensi lokal sebagai sumber keuangan
dalam pembiayaan pembangunan daerahnya secara mandiri. Untuk itu pemerintah
Kota Ternate melakukan upaya pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan
secara optimal sehingga diharapkan dengan peningkatan PAD tersebut, secara
langsung dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat di Kota Ternate.
Sumberdaya perikanan yang seharusnya menjadi sektor unggulan bagi
beberapa wilayah di Kota Ternate, diharapkan akan memberikan sumbangan dan
merangsang kemajuan perekonomian wilayah yang bersangkutan. Hal ini
dimungkinkan apabila pengelolaan sumberdaya dilakukan secara berkelanjutan,
yaitu dengan mengurangi pengurasan (depletion) dan mempertahankan tangkap
lestari (sustainable yield) sumberdaya perikanan.
Pada saat kajian stok ikan lebih didasarkan pada pendekatan biologi dan
belum ada dilakukan pendekatan ekonomi (Maximum Economic Yield, MEY),
maka adanya estimasi potensi dan status pemanfaatan mengenai suatu jenis usaha
perikanan melalui suatu bentuk pendekatan bio-ekonomi yang memadukan antara
aspek ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologis
yang menentukan produksi dan suplai ikan sangat diperlukan.
Pada tingkat kesetimbangan antara permintaan ikan dengan penawaran
akan menghasilkan nilai maksimum secara bioekonomi sebagai tingkat
keuntungan maksimum bagi nelayan. Tingkat produksi optimal tersebut bukan
tingkat terbaik bagi pihak pembeli ataupun pihak nelayan secara sendiri-sendiri
namun adalah tingkat terbaik bagi masyarakat atau pengguna milik umum
(common property). Dengan permasalahan-permasalahan di atas, maka timbul
beberapa pertanyaan penelitian yaitu:
1. Apakah sumberdaya ikan di Kota Ternate masih layak untuk
dieksploitasi ?
2. Bagaimana upaya yang optimal dalam melakukan usaha penangkapan
ikan?
3. Berapa produksi yang optimal dalam usaha penangkapan ikan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengestimasi Maximum Sustainable Yield (MSY) sumberdaya
2. Mengestimasi Effort Maximum Sustainable Yield (EMSY), Effort Maximum Economic Yield (EMEY), Maximum Economic Yield (MEY), Effort Open Access (EOA), Catch Open Access (COA
3. Menentukan hubungan antara potensi sumberdaya dengan
faktor-faktor produksi yang berperan dalam pengoperasian alat tangkap pada
perikanan pelagis kecil.
) dalam usaha
perikanan pelagis kecil di Kota Ternate.
4. Mengetahui gambaran kelayakan finansial usaha penangkapan
berdasarkan jenis alat tangkap pada perikanan pelagis kecil di Kota
Ternate.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi nelayan / masyarakat perikanan dapat digunakan sebagai informasi
agar memperhatikan pengeksploitasian sumberdaya hayati laut ke arah
berimbang lestari.
2. Bagi instansi yang terkait, sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan
kebijakan dalam mengupayakan manajemen pengelolaan sumberdaya
perikanan tangkap dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan dengan
mempertimbangkan faktor bioekonominya.
3. Bagi mahasiswa, sebagai acuan bagi kajian dan pengembangan keilmuan
yang bersifat akademis dan dapat digunakan sebagai acuan untuk
2.1 Pemanfataan Sumberdaya Perikanan Laut di Indonesia
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang didukung oleh
sumberdaya manusia, modal, teknologi dan informasi, yang mencakup seluruh potensi
di lautan maupun di perairan daratan yang dapat didayagunakan untuk kegiatan usaha
perikanan (Setyohadi 1997). Pengelolaan sumberdaya perikanan laut dihadapkan pada
tantangan-tantangan yang timbul karena faktor-faktor yang menyangkut perkembangan
penduduk, perkembangan sumberdaya dan lingkungan, perkembangan teknologi dan
ruang lingkup internasional.
Sumberdaya perikanan laut termasuk pada kriteria sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui, namun demikian pemanfaatan sumberdaya ini harus tetap rasional untuk
menjaga kesinambungan produksi dan kelestarian sumbernya. Sumberdaya hayati laut
yang telah dimanfaatkan oleh perikanan meliputi ikan (Pisces), kelompok Udang
(Crustacea), binatang berkulit lemak (molusca) dan rumput laut. Sebagai suatu negara
yang terletak didaerah tropis, Indonesia tergolong dalam perikanan multi species.
Sumberdaya perikanan dikelompokkan menjadi kelompok sumberdaya perikanan
Demersal dan Pelagis (Dahuri et al. 2001).
Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia belum optimal, dimana
tingkat pemanfaatan untuk ikan-ikan pelagis kecil baru sekitar 35 %, ikan demersal baru
dimanfaatkan 27% sedangkan untuk Cakalang sekitar 51% dan Tuna 54%. Tingkat
pemanfaatan Udang dikategorikan cukup tinggi yaitu sekitar 79% yang telah
dimanfaatkan, sementara untuk jenis sumberdaya Cumi dan Sotong baru sekitar 37%
yang telah dimanfaatkan (Ayodhyoa et al. 1995).
FAO (1997) melaporkan bahwa potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia
adalah sebesar 5.649.600 ton dengan porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil (small
pelagic) yaitu sebesar 4.041.800 ton atau 18,30 % dan perikanan Skipjack sebesar
295.000 ton (5,22 %). Tabel 1 menyajikan estimasi potensi, produksi dan tingkat
pemanfaatan sumberdaya perikanan laut khususnya pelagis besar di kawasan perairan
Tabel 1 Estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Indonesia
Wilayah Potensi Produksi Pemanfaatan
(103 ton/tahun) (103 ton/tahun) %
Selat Malaka 27,67 35,27 >001
Laut Cina Selatan 66,08 35,16 53,21
Laut Jawa 55 137,82 >001
Selat Makassar & Laut Flores 193,6 85,1 43,96
Laut Banda 104,12 29,1 27,95
Laut Seram & Teluk Tomini 106,57 37,46 35,17 Laut Sulawesi & Samudera Pasifik 175,26 153,43 87,54
Laut Arafura 50,86 34,55 67,93
Samudera Hindia 386,26 188,28 48,74
Perairan Indonesia 1.165.36 736.17 63.17
Sumber: Pengkajian stok ikan di perairan Indonesia tahun 2001
2.2. Sumberdaya Ikan Pelagis
1) Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Deskripsi morfologi dan meristik cakalang dari berbagai samudera menunjukkan
bahwa hanya ada satu spesies cakalang yang tersebar di seluruh dunia yaitu Katsuwonus
pelamis (Waldron & King 1963) diacu in Taeran (2007). Klasifikasi cakalang menurut
FAO (1991) adalah sebagai berikut:
Filum: Chordata
Badan memanjang, gelendong dengan penampang melintang bundar. Kepala
bagian atas sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Sirip dada pendek, badan
kurang bersisik. Pangkal ekor ramping dengan plat tulang yang kuat. Kepala dan badan
bagian atas biru kehitaman, bagian bawah abu-abu keperakan dan sirip-sirip kehitaman.
Hidup diperairan pantai dan oseanis, ukurannya dapat mencapai 100 cm, tersebar luas di
perairan tropis dan sub tropis (Paristiawady 2006 in Taeran 2007).
Khususnya di kawasan timur Indonesia, ikan Cakalang tersebar di wilayah
perairan terutama laut Maluku, Laut Banda, laut Seram dan laut Sulawesi. Perairan
khusus jenis ikan cakalang. Populasi cakalang yang dijumpai memasuki perairan timur
Indonesia terutama mengikuti arus. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh
yang lebih besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu
perairan (Uktolseja et al. 1991). Selanjutnya Nontji (2002), menyatakan bahwa faktor
pembatas yang penting bagi keberadaan ikan cakalang di suatu perairan adalah suhu dan
salinitas. Telah diketahui bahwa cakalang hidup di perairan lapisan permukaan dengan
suhu 16-32˚C dan salinitas 32-36‰.
Lokasi penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) ditentukan oleh
musim yang berbeda untuk setiap perairan. Penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis) secara umum dapat dilakukan sepanjang tahun. Hasil yang diperoleh berbeda
dari musim ke musim bervariasi pula menurut lokasi penangkapan. Musim dengan hasil
lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan musim dengan hasil penangkapan
lebih sedikit disebut musim paceklik (Nikijuluw 2002).
2) Ikan Tongkol (Euthynnus sp)
Secara umum Tongkol terdiri dari 2 genus dan 5 spesies dan diklasifikasikan
sebagai berikut (Collete & Nauen 1983 in Taeran 2007).
Filum: Chordata
Kelas: Pisces
Ordo: Percomorphi
Subordo: Scombroidea
Famili: Scombridae
Genus: Euthynnus auxis
Species:E.Affinis; E.Alletteratus; E.Lineatus; A.thazard; A.rochei
Ciri morfologi tongkol (Euthynnus affinis) adalah badan memanjang dan
penampang melintang agak bundar. Bentuk kepala bagian atas sampai awal dasar sirip
punggung agak cembung. Sirip dada pendek, ujung sirip tidak melewati bagian depan
area yang kurang bersisik. Kepala dan badan atas biru tua kehitaman, bagian bawah
abu-abu keperakan. Daerah yang kurang bersisik diatas garis rusuk dengan garis-garis
bergelombang menyilang kehitaman. Sirip perut dan dubur keputihan. Sirip ekor, sirip
mencapai 100 cm, tersebar luas di bagian tengah Indo Pasifik (Paristiwady 2006 in
Taeran 2007).
Sedangkan ciri morfologi tongkol (Auxis thazard) adalah badan memanjang
dengan penampang melintang bundar. Bentuk kepala bagian atas sampai setelah mata
hampir lurus, sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Sirip dada pendek,
ujung sirip melewati bagian depan area yang kurang bersisik. Kepala dan badan bagian
atas biru tua kehitaman, bagian bawah abu-abu keperakan. Daerah yang kurang bersisik
diatas garis rusuk dengan garis-garis menyilang kehitaman. Sirip punggung, dada, perut
dan dubur keputihan. Sirip ekor kehitaman. Hidup di perairan pantai dan oseanis, dapat
mencapai 58 cm, tersebar luas di perairan tropis dan sub tropis (Paristiwady 2006 in
Taeran 2007).
3) Ikan Layang (Decapterus sp)
Lima jenis Layang yang umum ditemukan di perairan Indonesia yakni
Decapterus russelli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus macrosoma,
dan Decapterus maruadsi. Namun dari kelima spesies ikan layang hanya Decapterus
russelli yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari
kepulauan Seribu hingga pulau Bawean dan Pulau Masalembo. Decapterus lajang
hidup di perairan yang dangkal seperti di laut Jawa (termasuk Selat Sunda, Selat
Madura, dan Selat Bali) Selat Makassar, Ambon dan Ternate. Decapterus macrosoma
banyak dijumpai di Selat Bali dan Pelabuhan Ratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan
yang berukuran besar, hidup dilaut dalam dan tertangkap pada kedalaman 1000 meter
atau lebih (Nontji 2002).
Ikan Layang tergolong ikan stenohaline (diatas 30‰) yang suka pada perairan
dengan salinitas 32‰ - 34‰. Sebagai ikan pelagis yang suka berkumpul dan
bergerombol, pemakan zooplankton serta senang pada perairan yang jernih, banyak
tertangkap pada perairan sejauh 20-30 mil dari pantai (Hardenberg 1937 in Taeran
2007).
Ciri morfologi Layang (Decapterus russelli) adalah badan memanjang, panjang
kepala lebih besar daripada tinggi badan, panjang moncong lebih besar daripada garis
tanda mata, maxilla bagian belakang tidak mencapai bagian depan mata, garis rusuk
yang lurus dengan 30-31 sisik tebal. Kepala dan badan bagian atas biru tua, bagian
keputihan. Hidup diperairan pantai dengan ukuran dapat mencapai 27 cm (Paristiwady
2006 in Taeran 2007).
Ciri dari Decapterus macrosoma adalah badan memanjang seperti cerutu.
Bagian atas berwarna biru kehijauan, bagian bawah berwarna putih perak, sirip-siripnya
kuning pucat, satu totol hitam pada bagian atas penutup insang dan pangkal sirip dada.
Ukuran panjangnya dapat mencapai 40 cm). Klasifikasi ikan layang menurut Direktorat
Jenderal Perikanan 1979 adalah sebagai berikut (Direktorat Jenderal Perikanan 1979 in
Taeran 2007:
Filum: Chordata
Kelas: Pisces
Ordo: Percomorphi
Subordo: Percoidea
Famili: Carangidae
Genus: Decapterus
Species: D.russelli; D.kurroides; D.lajang; D.macrosoma; D.maruadsi.
4) Ikan Kembung (Rastrelliger sp)
Ikan Kembung dibagi atas dua jenis yakni kembung lelaki (Rastrelliger
kanagurta) dan kembung perempuan (Rastelliger brachysoma). Kembung lelaki
mempunyai tubuh yang lebih langsing, dan biasanya terdapat diperairan yang agak jauh
dari pantai. Kembung perempuan sebaliknya mempunyai tubuh yang lebih lebar dan
lebih pendek, dijumpai di perairan dekat pantai.
Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu, badan tinggi
dan agak pipih, kepala bagian atas hingga mata hampir lurus sampai awal dasar sirip
punggung agak cembung. Panjang kepala sama atau lebih kecil daripada tinggi badan.
Sirip dada pendek, kepala dan badan bagian atas kehijauan, bagian bawah putih
keperakan. Pada kembung perempuan terdapat bercak-bercak di badan yang membentuk
garis kehitaman memanjang. Sedangkan Kembung lelaki dibadan bagian atas terdapat
strip kehitaman memanjang. Klasifikasi ikan Kembung adalah sebagai berikut
(Paristiwady 2006 in Taeran 2007):
Filum: Chordata
Ordo: Perchomorphi
Subordo: Scombroideae
Famili: Scombridae
Genus: Rastrelliger
Species: R.branchysoma; R.kanagurta
Ikan Kembung lelaki (Rastreliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan
yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 32‰, sedangkan
kembung perempuan (Rastreliger branchysoma) dijumpai di perairan dekat pantai
dengan kadar garam lebih rendah (Nontji 2002). Penyebaran utama ikan kembung
(Rastreliger spp) adalah Kalimantan di perairan barat, timur dan selatan serta Malaka,
sedangkan daerah penyebarannya mulai dari pulau Sumatera bagian barat dan timur,
Pulau Jawa bagian utara dan selatan, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian utara dan selatan,
Maluku dan Irian Jaya (Direktorat Jenderal Perikanan 1979 in Taeran 2007). Jenis ikan
ini biasanya ditangkap menggunakan sero, jala lompa dan sejenisnya, kadang-kadang
masuk trawl, jaring insang lingkar dan pukat cincin.
5) Ikan Julung-Julung (Hemirchamphus sp)
Bentuk badan memanjang dengan rahang atas pendek membentuk paruh
sedangkan rahang bawah panjang dan membentuk segitiga. Sirip-sirip tidak mempunyai
jari-jari keras. Sirip punggung dan sirip dubur terletak jauh dibelakang, sirip dada
pendek. Garis rusuk terletak dibadan bagian bawah (Paristiwady 2006 in Taeran 2007).
Daerah penyebaran terdapat diperairan pantai,lepas pantai, terutama Indonesia
timur (laut Flores, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda) dan
perairan yang berbatasan dengan Samudera Indonesia. Tergolong ikan pelagis lapisan
atas. Penangkapan dengan soma antoni, jala oras, jala buang, soma giob (Direktorat
Jenderal perikanan 1979 in Taeran 2007).
2.3. Model Bioekonomi Perikanan
Salah satu pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah
bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan manfaat
ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga.
Pada perikanan terbuka (open access) dimana terdapat kebebasan bagi nelayan
menangkap sebanyak mungkin sebelum didahului oleh nelayan lainnya. Kecenderungan
ini menyebabkan usaha tidak lagi didasarkan pada efisiensi ekonomi. Oleh karena itu
pengembangan upaya penangkapan ikan terus dilakukan hingga pendapatan nelayan
sama dengan biaya penangkapan ikan, atau harga ikan setara dengan rata-rata biaya
penangkapannya. Dengan kata lain TR (penerimaan total) sama dengan TC (biaya
total). Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan bionomic dalam
kondisi akses terbuka dimana nelayan atau pelaku perikanan tidak mendapatkan
keuntungan (Soemokaryo, 2001).
Pada kondisi akses terbuka (tidak ada pengaturan) setiap tingkat effort E > EO
akan menimbulkan biaya yang lebih besar dari penerimaan, sehingga menyebabkan
effort berkurang sampai kembali ke titik E = EO. Sebaliknya, jika terjadi kondisi
dimana E < EO
Hasil tangkapan dan upaya penangkapan merupakan hal yang sangat penting
dalam manajemen penangkapan. Menurut Suyedi (2001), hasil tangkapan per unit upaya
(CpUE) adalah ; 1) suatu indeks kelimpahan suatu stok ikan yang dikaitkan dengan
tingkat eksploitasinya, 2) CpUE dan jumlah penangkapan sangat berguna untuk
menentukan apakah suatu eksploitasi sumberdaya perikanan sudah dalam keadaan
penangkapan yang berlebih atau dalam taraf under exploited.
, penerimaan akan lebih besar dari biaya. Dalam kondisi akses terbuka,
hal ini akan menyebabkan entry pada industry perikanan. Entry ini akan terus terjadi
sampai manfaat ekonomi terkuras sampai titik nol (Fauzi dan Anna, 2005)
Perkembangan fishing ground menyebabkan sumberdaya ikan semakin menurun
baik alat tangkap yang berukuran besar maupun yang berukuran kecil. Dimana kapasitas
dari masing-masing alat tangkap berbeda dalam operasi penangkapan ikan. Seperti
Catch per Unit Effort (CpUE) dari alat tangkap pole and line, purse seine dan gillnet
serta alat tangkap lainnya berbeda dengan kapasitasnya. Tetapi setiap ikan dapat
didominasi penangkapannya oleh alat tangkap tertentu, sehingga belum tentu alat
tangkap yang besar kapasitasnya akan mendominasi hasil tangkap dari alat tangkap lain.
Dari hal tersebut maka sangat penting dilakukan suatu standarisasi alat tangkap ikan
pelagis bila dilihat dari CpUE masing-masing alat tangkap.
Standarisasi alat tangkap adalah untuk menyatukan suatu effort kedalam bentuk
satu satuan yang dianggap standart. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan satuan
Yield), yaitu suatu kondisi dimana stok ikan dipertahankan pada kondisi keseimbangan
(Setyohadi, 1995).
2.4. Nilai Ekonomi dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan
keadaan antar suatu wilayah. Perbedaan ini erat kaitannya dengan kondisi dan potensi
wilayah tersebut dilihat dari segi biogeofisik, sosial, ekonomi, dan budaya serta
kelembagaan dan sekaligus mengindikasikan adanya keterbatasan yang dihadapi oleh
setiap wilayah dalam upaya memacu pembangunannya. Perbedaan ini menuntut adanya
strategi pengelolaan sumberdaya dalam pembangunan di setiap wilayah yang bersifat
spesifik (Kusnadi 2002).
Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus berbasis pada potensi
sumberdaya domestik, terutama sektor primer, seperti perikanan serta
sektor-sektor sekunder dan tersier sebagai pendukung. Artinya masing-masing wilayah
memiliki berbagai fungsi sesuai potensi yang dimiliki. Sehingga pengembangan usaha
tersebut yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif tersebut dapat tumbuh
dan berkembang mendukung aktifitas dan perkembangan ekonomi wilayah.
Keunggulan tersebut meliputi produksi, produktifitas maupun luasan produksi,
pemasaran, penduduk, tenaga kerja, dan akses terhadap fasilitas infrastruktur.
Salah satu tolok ukur yang relatif mudah digunakan dan bisa dijadikan persepsi
bersama dalam penilaian sumberdaya ekonomi perikanan adalah dengan memberikan
harga (price tag) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya dan
lingkungan. Dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut nilai ekonomi dari
sumberdaya alam.
Secara umum nilai ekonomi merupakan pengukuran jumlah maksimum
seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa lainnya. Menurut Cuningham, nilai
ekonomi produk perikanan adalah melalui pembelian dan penjualan dipasar dengan
harga sebagai ukuran nilai per unit. Jika harga ikan konstan, maka permintaan akan
mengalami kenaikan. Sedangkan apabila harga mengalami penurunan, maka produk
perikanan cenderung dialihkan ke wilayah yang mempunyai kemampuan membeli yang
besar (Fauzi 2005). Sebagaimana dalam ekonomi produksi, pengelolaan sumberdaya
perikanan membutuhkan faktor produksi, seperti tenaga kerja, kapal, peralatan tangkap
Beberapa usaha di atas dimaksudkan untuk peningkatan produktifitas
sumberdaya perikanan serta mencapai keuntungan ekonomi yang maksimum. Dengan
demikian perlu pengembangan melalui perluasan usaha tangkapan, perbaikan teknologi
penanganan pasca panen, pemasaran dan transportasi, hasil produksi perikanan dan
pembangunan infrastruktur, seperti tempat pendaratan ikan (landing place), tempat
pelelangan ikan (TPI), serta fasilitas pendingin dan lain-lainnya. Sehingga diharapkan
secara kumulatif, pengembangan usaha tersebut akan menciptakan berbagai peluang
serta spasial multiplier yang lebih besar dalam pembangunan dan pengembangan
wilayah seperti peningkatan produk lokal dan permintaan lokal, penyerapan tenaga
kerja, serta aktifitas sektor jasa baik formal maupun informal.
2.5. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang unik yaitu open acces sehingga
dalam pemanfaatannya mengalami overfishing. Sumberdaya laut tersebut meliputi
berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan, moluska, rumput laut dan sebagainya.
Untuk memanfaatkan potensi sumberdaya tersebut dilakukan eksploitasi dengan
penangkapan. Untuk daerah-daerah tertentu tingkat eksploitasinya telah melebihi dari
sumberdaya yang tersedia (overfishing). Oleh karena itu diperlukan suatu usaha
pengelolaan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan.
Dalam Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, dijelaskan bahwa
pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya yang dilakukan bertujuan mencapai
kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus
menerus.
Menurut Gulland (1982), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi:
1. Tujuan yang bersifat fisik-biologik, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan dalam
level maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield = MSY)
2. Tujuan yang bersifat ekonomik, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari
pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari
perikanan.
3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal,
misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik
Dwiponggo (1983) in Pranggono (2003) mengatakan, tujuan pengelolaan sumberdaya
perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, antara lain:
1. Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem
penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.
2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berkelanjutan.
3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nutfah) yang mempengaruhi ciri-ciri,
sifat dan bentuk kehidupan.
4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industi
yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab.
Badrudin (1986) in Lembaga Penelitian UNDIP (2000) menyatakan bahwa prinsip
pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Pengendalian jumlah upaya penangkapan: tujuannya adalah mengatur jumlah alat
tangkap sampai pada jumlah tertentu
2. Pengendalian alat tangkap: tujuannya adalah agar usaha penangkapan ikan hanya
ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai umur dan ukuran tertentu.
Berdasarkan prinsip tersebut maka Purnomo (2002), menyatakan bahwa pengelolaan
sumberdaya perikanan harus memiliki strategi sebagai berikut:
1. Membina struktur komunitas ikan yang produktif dan efisien agar serasi dengan
proses perubahan komponen habitat dengan dinamika antar populasi.
2. Mengurangi laju intensitas penangkapan agar sesuai dengan kemampuan produksi
dan daya pulih kembali sumberdaya ikan, sehingga kapasitas yang optimal dan
lestari dapat terjamin.
3. Mengendalikan dan mencegah setiap usaha penangkapan ikan yang dapat
menimbulkan kerusakan-kerusakan maupun pencemaran lingkungan perairan
secara langsung maupun tidak langsung.
Bentuk-bentuk manajemen sumberdaya perikanan menurut Sutono DHS (2003) dapat
ditempuh dengan beberapa pendekatan antara lain:
1) Pengaturan Musim Penangkapan
Pendekatam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim
penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya
ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk
ikan dewasa. Bila salah satu siklus tersebut terpotong, misalnya karena
penangkapan, maka sumberdaya ikan tidak dapat melangsungkan daur hidupnya.
Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ikan. Oleh karena itu
diperlukan suatu pengaturan musim penangkapan. Untuk pengaturan musim
penangkapan ikan perlu diketahui terlebih dahulu sifat biologi dari sumberdaya
ikan tersebut. Sifat biologi dimaksud meliputi siklus hidup, lokasi dan waktu
terdapatnya ikan, serta bagaimana reproduksi. Pengaturan musim penangkapan
dapat dilaksanakan secara efektif bila telah diketahui musim ikan dan bukan musim
ikan dari jenis sumberdaya ikan tersebut. Selain itu juga perlu diketahui musim ikan
dari jenis ikan yang lain, sehingga dapat menjadi alternatif bagi nelayan dalam
menangkap ikan. Kendala yang timbul pada pelaksanaan kebijakan pengaturan
musim penangkapan ikan adalah 1). Belum adanya kesadaran nelayan tentang
pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada, 2). Lemahnya
pengawasan yang dilakukan oleh aparat, 3). Hukum diberlakukan tidak konsisten,
4). Terbatasnya sarana pengawasan.
2) Penutupan Daerah Penangkapan
Kebijakan penutupan dilakukan apabila pada daerah tersebut sudah mendekati
kepunahan. Penutupan daerah penangkapan dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan untuk berkembang
biak sehingga populasinya dapat bertambah. Dalam penentuan suatu daerah
penangkapan untuk ditutup, maka perlu dilakukan penelitian tentang stok
sumberdaya ikan yang ada pada daerah tersebut meliputi dimana dan kapan
terdapatnya ikan serta karakteristik lokasi yang akan dilakukan penutupan untuk
penangkapan. Penutupan daerah penangkapan ikan juga dapat dilakukan terhadap
daerah-daerah yang merupakan habitat vital seperti daerah berpijah (spawning
ground) dan daerah asuhan/pembesaran (nursery ground). Penutupan daerah ini
dimaksudkan agar telur-telur ikan, larva dan ikan yang kecil dapat bertumbuh.
Untuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapan ikan, diperlukan
regulasi dan pengawasan yang ketat oleh pihak terkait seperti dinas perikanan dan
kelautan setempat bekerjasama dengan Angkatan Laut, Polisi Air dan Udara
(POLAIRUD) dan Stakeholders (nelayan).
Kebijakanan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektifitas alat
tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan stok ikan berdasarkan
struktur umur dan dan ukuran ikan. Dengan demikian ikan yang tertangkap telah
mencapai ukuran yang sesuai. Sementara ikan-ikan yang kecil tidak tertangkap
sehingga memberikan kesempatan untuk dapat bertumbuh. Contoh penerapan
pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap, adalah:
1) Penentuan ukuran minimum mata jaring (mezh size) pada alat tangkap gill net,
purse seine dan pancing lingkar seperti pukat dan lain-lain.
2) Penentuan ukuran mata pancing pada long line
Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan selektifitas alat
tangkap, peran nelayan sangat penting. Hal ini disebabkan aparat sulit untuk
melakukan pengawasan karena banyaknya jenis alat tangkap (multigears) yang
beroperasi di Indonesia. Kendala lain dalam kebijakan ini yaitu diperlukan biaya
yang tinggi untuk modifikasi alat tangkap yang sudah ada di nelayan. Sehingga
perlunya peran masyarakat untuk memodifikasi alat sesuai dengan lokasinya
dengan aturan yang ada.
4) Pelarangan Alat Tangkap
Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap
didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat yang menyebabkan terjadinya
penurunan populasi ikan dan yang paling buruk yaitu punahnya ikan. Seperti
penangkapan ikan dengan menggunakan bom, potas, cyanida. Seringkali
pelanggaran terhadap peraturan penggunaan alat atau bahan berbahaya tidak
ditindak sesuai aturan yang ada sehingga nelayan tersebut tidak jera. Hal ini
menyebabkan pelaksanaan peraturan tersebut tidak efektif. Oleh karena itu
efektifitas pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pelarangan alat
tangkap ini sangat tergantung dengan penerapan aturan yang berlaku dan harus
konsisten.
Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan pendekatan pelarangan alat
tangkap juga perlu adanya keterlibatan secara aktif dari nelayan dan masyarakat
pesisir sebagai pengawas. Pengawasan yang dilakukan oleh nelayan dan
melakukan penangkapan dengan alat yang membahayakan dan merusak ekosistem
sumberdaya perikanan.
5) Kuota Penangkapan
Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota penangkapan adalah
upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap (Total Allowble Catch =
TAC). Kuota penangkapan diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan
penangkapan ikan yang melakukan penangkapan di Perairan Indonesia. Untuk
menjaga kelestarian sumberdaya ikan, maka nilai TAC harus dibawah Maximum
Sustainable Yield (MSY). Implementasi dari kuota dengan TAC adalah:
1) Penentuan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atau suatu jenis ikan
diperairan tertentu, kemudian diumumkan kepada semua nelayan sampai usaha
penangkapan mencapai total TAC yang ditetapkan maka aktifitas penangkapan
terhadap jenis ikan tersebut dihentikan dengan kesepakatan bersama.
2) Membagi TAC kepada semua nelayan dengan keberpihakan kepada nelayan
sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial.
3) Membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sehingga TAC tidak
terlampaui.
6) Pengendalian Upaya Penangkapan
Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pengendalian upaya
penangkapan didasarkan pada hasil tangkapan maksimum agar dapat menjamin
kelestarian sumberdaya ikan. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan membatasi
jumlah alat tangkap, jumlah armada maupun jumlah trip penangkapan. Untuk
menentukan batas upaya penangkapan perlu adanya data time series yang akurat
tentang jumlah hasil tangkapan dan jumlah upaya penangkapan di suatu daerah
penangkapan. Mekanisme pengendalian upaya penangkapan yang paling efektif
yaitu dengan membatasi izin usaha penangkapan ikan pada suatu daerah
2.6. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
2.6.1. Geografis dan Administrasi Pemerintahan
(78,4 km2), Pulau Tifure (22,1 km2), Pulau Maka (0,5 km2), Pulau Mano (0,05 km2) dan
Pulau Gurida (0,05 km2), tiga pulau terakhir disebut Gura Mangofa atau pulau tidak berpenghuni. Pulau-pulau tersebut terletak dalam lingkup yang bergerak melalui
kepulauan Filiphina, Sangihe Talaud dan Minahasa dan dilengkapi dengan lengkung
Sulawesi dan Pulau Sangihe. Secara geografis, Kota Ternate berada diantara 30 Lintang Utara sampai 30 Lintang Selatan dan 1240 sampai 1270
* Sebelah Utara dengan Laut Maluku.
Bujur Timur berbatasan dengan
(BPS Kota Ternate 2006-2009) :
* Sebelah Selatan dengan Laut Maluku.
* Sebelah Timur dengan Selat Halmahera, dan
* Sebelah Barat dengan Laut Maluku.
Sejak tahun 2001, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah serta dengan
adanya perkembangan dan kemajuan daerah Kota Ternate pada umumnya dan juga
adanya tuntutan aspirasi masyarakat serta untuk memperpendek rentang kendali
pemerintahan, maka Kota Ternate telah dimekarkan menjadi 7 kecamatan yang terdiri
atas 77 kelurahan dimana 79,22% atau 61 kelurahan berada dikawasan pesisir/pantai,
diantaranya:
• Kecamatan Ternate Utara : 17 Kelurahan
• Kecamatan Ternate Selatan : 12 Kelurahan
• Kecamatan Ternate Tengah : 14 Kelurahan
• Kecamatan Pulau Ternate : 13 Kelurahan
• Kecamatan Pulau Moti : 6 Kelurahan
• Kecamatan Pulau Batang Dua : 6 Kelurahan
• Kecamatan Pulau Hiri : 6 Kelurahan
Tabel 2 Banyaknya desa pantai dan bukan pantai serta Luas wilayah per kecamatan di KotaTernate.
No Kecamatan Desa Pantai Desa bukan Pantai Luas km2
1 Pulau Ternate 16 1 72,58
Pembagian wilayah Kota Ternate berdasarkan topografi cukup bervariasi namun
dalam berbagai publikasi dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori yaitu kategori rendah
yakni ketinggian dari 0 - 499 m dimana dari kategori ini sekitar 67 kelurahan atau 83%,
kategori sedang dengan ketinggian 500 – 599 m berjumlah 6 kelurahan atau 10%
sedangkan yang termasuk ketegori tinggi dengan ketinggian diatas 700 m berjumlah 4
kelurahan atau 7%. Sedangkan musim di wilayah Kota Ternate beriklim tropis sehingga
keadaan iklimnya sangat dipengaruhi oleh iklim laut yang biasanya heterogen sesuai ciri
indikasi umum iklim tropis. Di wilayah ini juga mengenal dua musim yaitu musim
utara-barat dan musim timur-selatan yang biasanya diselingi dengan dua kali masa
pancaroba setiap tahun. Melalui stasiun Meteorologi dan Geofisika Ternate, selama
tahun 2008 diperoleh informasi tentang klimatologi yaitu temperatur rata-rata 26,700
2.6.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan
C,
kelembaban nisbi rata-rata 84%, tingkat penyinaran 54% dan kecepatan angin rata-rata
8,6 km/jam dengan kecepatan maksimum mutlak rata-rata 33,2 km/jam.
Penduduk di Kota Ternate berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2009
sebanyak 182.109 jiwa, yang terdiri dari Kecamatan Pulau Ternate 16.373 jiwa atau
8,99%, Kecamatan Ternate Selatan 61.785 jiwa atau 33,93%, Kecamatan Ternate Utara
sebanyak 42.374 jiwa atau 23,27%, Kecamatan Ternate Tengah sebanyak 53.997 jiwa
atau 29.65%, Kecamatan Pulau Batang Dua sebanyak 2.896 jiwa atau
1,59%,Kecamatan Pulau Moti 4.681 jiwa atau 4,30% dan Kecamatan Pulau Hiri
sebanyak 1.683 jiwa atau 28%. Kota Ternate yang memiliki luas wilayah 250,85 km2 mempunyai kepadatan penduduk rata-rata 484 jiwa/km2. Kecamatan Ternate Selatan merupakan wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan dengan
keenam kecamatan lainnya yakni sekitar 3.178 jiwa/km2 sementara keenam kecamatan masing-masing; Ternate Utara 2.992 km2, Pulau Ternate 2,915 jiwa/km2, Pulau Moti 225 jiwa/km2, Pulau Batang Dua 190 km2, dan Pulau Hiri 243 km2
Rasio jenis kelamin penduduk Kota Ternate adalah 103. Hal ini memberikan
gambaran bahwa jumlah penduduk lelaki di Kota Ternate lebih banyak dibandingkan
penduduk perempuan. Bila dilihat per kecamatan, Pulau Moti dan Pulau Batang Dua
memiliki komposisi penduduk laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan perempuan
dengan rasio sebesar 99,7 dan 99,6. Sedangkan hasil registrasi penduduk tahun 2009 di (BPS Kota Ternate
Kota Ternate menunjukkan jumlah rumah-tangga sebanyak 36.720 rumah-tangga
dengan rataan anggota rumah-tangga sebanyak lima orang, sedangkan untuk
masing-masing kecamatan besarnya bervariasi, antara 3 sampai dengan 6 jiwa per rumah-tangga
(BPS Kota Ternate 2009).
Tabel 3 Jumlah penduduk, kepadatan, rumahtangga dan rasio jenis kelamin di Kota Ternate menurut kecamatan
Sumber : BPS Kota Ternate Dalam Angka, 2009.
Tingkat partisipasi angkatan kerja di Kota Ternate berdasarkan hasil SUSENAS
tahun 2008 sekitar 46,18%. Hal ini mengindikasikan bahwa dari 100 penduduk usia 15
tahun keatas sebanyak 46 orang diantaranya adalah merupakan angkatan kerja.
Tabel 4 Persentasi penduduk usia 15 tahun keatas menurut jenis kegiatan tahun 2008 di Kota Ternate
Sumber : BPS Dalam Angka, 2009.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa pada tahun 2009 sektor pertanian termasuk di
dalamnya sub sektor perikanan mempunyai jumlah tenaga kerja terbanyak. Jumlah
tenaga kerja yang bekerja di sektor ini sebanyak 51.561 jiwa atau 72,54% dengan laju
kenaikan sebesar 0,17. Kemudian diikuti oleh sektor perdagangan dan sektor jasa yang
masing-masing sebesar 6.751 jiwa dan 5.438 jiwa atau 9,50% dan 7,65%. Struktur
perekonomian tersebut menggambarkan bahwa penduduk di Kota Ternate sebagian
besar mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan nelayan meskipun banyak juga
dan wirausaha (BPS Kota Ternate 2009). Untuk jelasnya tabel tentang angkatan kerja
yang bekerja dirinci menurut sektor lapangan usaha tahun 2008 , rinciannya sebagai
berikut.
Tabel 5 Jumlah angkatan kerja yang bekerja dirinci menurut sektor lapangan usaha di Kota Ternate.
No. Sektor Lapangan Kerja Tahun 2008
Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Ternate, 2010.
2.6.3. Gambaran Perekonomian dan Struktur Sosial
lndikator utama dalam mengukur pertumbuhan perekonomian suatu wilayah
adalah dengan melihat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tabel 6
memperlihatkan PDRB Kota Ternate pada tahun 2008 atas dasar harga konstan sebesar
516.574 juta rupiah atau meningkat sebesar 7,92% (BPS Kota Ternate 2009).
Struktur perekonomian lebih didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sektor jasa, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor industri pengolahan
serta sektor pertanian. Hal ini terlihat dari kontribusi masing-masing sektor tersebut
terhadap pembentukan PDRB tahun 2008 atas dasar harga konstan didominasi oleh
sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 66.918 juta rupiah atau 33,20%, begitu
juga PDRB tahun 2009 dimana sektor tertinggi masih didominasi oleh sektor
perdagangan, hotel dan restoran sebesar 68.946 juta rupiah atau 33,58%, sedangkan
sektor pertanian pada tahun yang sama menduduki urutan kelima yakni sebesar 22.937
juta rupiah atau 15,58% (BPS Kota Ternate 2009).
Sementara itu laju pertumbuhan sektor-sektor ekonomi daerah Kota Ternate
tahun 2008 pada umumnya bervariasi. Laju pertumbuhan ekonomi sektoral di Kota
Ternate pada periode 2006-2008 mengalami peningkatan dari -0.93 menjadi 2,83. Bila
menurut harga konstan 2007 terdapat pada sektor pengangkutan dan komunikasi atau
6,84%, dan pada tahun ini sektor yang memiliki pertumbuhan tertinggi terdapat pada
perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan pada tahun 2008 sektor pengangkutan dan
komunikasi kembali menjadi sektor yang memiliki pertumbuhan tertinggi yakni sebesar
4,98%, diikuti oleh sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 4,84%, dan yang terendah
terdapat pada sektor pertambangan dan penggalian sebesar 0,63%.
Tabel 6 PDRB Kota Ternate menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2006-2009
No Sektor
Tahun (%)
2006 2007 2008
1. Pertanian 64.756 76.963 108.284
2. Pertambangan dan Penggalian 5.111 5.761 7.373
3. Industri Pengolahan 31.343 34.049 37.925
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 7.645 8.114 10.508
5. Bangunan 27.686 30.032 39.906
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 166.854 187.741 199.348 7. Pengangkutan dan Komunikasi 77.338 89.648 114.500 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 32.824 36.794 55.764
9. Jasa-jasa 104.365 115.658 121.272
Produk Domestik Regional Bruto 517.921 585.660 694.884
Sumber : BPS Kota Ternate, 2008.
Kondisi sosial Kota Ternate dapat terlihat dari tingkat pendidikan, kesehatan,
penerapan keluarga berencana dan kondisi sosial lainnya. Untuk pendidikan jumlah
sekolah yang terdapat di wilayah Kota Ternate secara umum cukup memadai
dibandingkan dengan wilayah lainnya dimana jumlah sekolah dasar negeri maupun
swasta sebanyak 104 unit dan tersebar merata di setiap kecamatan, sekolah menengah
berjumlah 26 unit dimana belum tersebar secara merata dan hanya terpusat pada
daerah-daerah tertentu, sedangkan sekolah menengah umum berjumlah 15 unit dan menengah
kejuruan 7 unit. Selain jenjang pendidikan dasar dan menengah, di kota ini juga terdapat
enam perguruan tinggi. Sementara itu rasio murid-guru untuk jenjang pendidikan dasar
adalah 19 murid per seorang guru di SD Negeri dan 22 murid per seorang guru di SD
Swasta. Untuk SLTP Negeri tercatat 16 murid per seorang guru dan 14 murid per
seorang guru di SLTP Swasta, sedangkan untuk pendidikan menengah atas tercatat rasio
17 murid per seorang guru untuk SMU Negeri dan 13 murid per seorang guru untuk
Bidang kesehatan mencakup pengembangan sumberdaya manusia melalui
program pembangunan kesehatan dengan mengutamakan upaya pelayanan kesehatan
masyarakat. Untuk memperlancar pelaksanaan program dimaksud maka sejak tahun
2008 tercatat sebanyak 8 buah Rumah Sakit, 8 buah Puskesmas, 13 unit Puskesmas
Pembantu, 1 buah Rumah Bersalin dan ditunjang dengan 162 unit Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu).
Berkaitan dengan kondisi kesehatan, terdapat upaya penerapan penurunan angka
kelahiran melalui keluarga berencana dengan cara mendorong kesadaran masyarakat
dalam pemakaian alat kontrasepsi keluarga berencana yang mana dari tahun ke tahun
semakin nampak hasilnya, sesuai dengan kebijakan yang berkaitan dengan kuantitas
penduduk berdasar keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara jumlah penduduk
dan daya dukung dan daya tampung serta kondisi perkembangan sosial ekonomi dan
sosial budaya. Pada tahun 2006/2008 terjadi realisasi melebihi yang ditargetkan yaitu
sebesar 94,1% dari target semula 1.000 pasangan. Sedangkan tahun sebelumnya 2005
pencapaian peserta KB baru, hanya 68% dari yang ditargetkan (34.248 pasangan) dan
pada tahun 2007/2008 pencapaian peserta KB baru melebihi target 10,13% (BPS Kota
Ternate 2009).
Kondisi sosial lainnya yang cukup berperan yakni kehidupan beragama dalam
kehidupan sosial yang sangat berkaitan dengan budaya masyarakat, dimana sebagian
besar masyarakat di Kota Ternate adalah pemeluk agama Islam. Secara umum pemuka
adat yang terpilih di daerah ini adalah tokoh agama Islam yang terpandang dan disegani
masyarakat. Kepatuhan masyarakat pada agama Islam dapat dilihat pada beberapa
elemen yakni peranan para ulama yang tidak dipisahkan dari tempat peribadatan yang
digunakan sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan dan aktivitas lainnya.
2.6.4. Gambaran Sumberdaya Perikanan
Kota Ternate dengan luas wilayah lautan yang lebih besar yaitu 69.031% yang
jika dibandingkan dengan luas daratan yang hanya 30.969% mengandung beraneka
ragam sumberdaya hayati laut. Ketersediaan sumberdaya laut yang ada memungkinkan
terjadinya aktifitas di bidang perikanan dan hal ini dapat dilihat dengan beragamnya
jumlah alat tangkap, jumlah armada dan peningkatan produksi hasil tangkapan dari
penangkapan yang ada di Kota Ternate masih dapat digolongkan bersifat tradisional dan
dalam usaha skala kecil.
1. Unit Penangkapan pole and line (huhate) a. Kapal Ikan
Spesifikasi umum kapal pole and line yang beroperasi di Kota Ternate
dirincikan pada tabel 7. Konstruksi dan tata letak kapal pole and line adalah terdiri atas
bagian haluan yang terdapat tempat duduk untuk para pemancing yang disebut flying
deck dan plat form. Flying deck adalah dek yang menjorok keluar dari bagian haluan
kapal dan plat form adalah berupa sayap yang menonjol dari dek kesisi-sisi kapal. Pada
bagian ini juga terdapat pila-pila yaitu penyangga yang berfungsi sebagai pijakan atau
tumpuan para pemancing. Water spayer atau penyemprot air terdapat pada bagian depan
dan samping pada pila-pila kapal berperan sangat penting saat pemancingan yaitu untuk
mengaburkan penglihatan ikan terhadap mata pancing ataupun pemancing. Pada bagian
haluan juga terdapat tempat penyimpanan alat tangkap dan jaring yang akan digunakan
untuk penangkapan umpan. Berikut ini tabel mengenai spesifik kapal pole and line di
Kota Ternate.
Tabel 7 Spesifikasi kapal pole and line di Kota Ternate
Spesifikasi Keterangan
Tipe Kapal F.R.P. 15 GT
Bahan utama Fibre glass Reinforced Plastic
Panjang 12,7 meter
Lebar 2,7 meter
Dalam 1,2 meter
Isi kotor 6,69 GRT
Isi bersih 4,02 GRT
Mesin penggerak Yanmar 6 CHE, 105 PK
Kecepatan maksimum 14 knot
Daya jelajah 60 jam
Isi tangki 1.100 liter
Pemakaian bahan bakar 16,2 liter/ jam
Kapasitas palkah 4 – 5 ton
Sumber : Hasil wawancara dengan nelayan, 2010
Pada bagian tengah kapal terdapat dua buah bak umpan sebagai tempat
penampungan umpan hidup, empat buah palkah sebagai tempat penampungan dan
sehingga digunakan sebagai palkah penampung hasil tangkapan. Pada bagian anjungan
terdapat ruang ABK dan ruang kemudi yang didalamnya terdapat beberapa alat navigasi
dan komunikasi yang sederhana seperti kompas, peta, teropong dan sebuah radio
komunikasi. Pada bagian bawah terdapat ruang mesin dan bagian buritan terdapat ruang
dapur dan sedikit ruang yang selalu digunakan ABK kapal untuk belajar memancing
bagi pemancing pemula.
b. Alat Tangkap
Konstruksi alat tangkap pole and line terdiri atas joran (pole), tali (line) dan
mata pancing (hook). Joran yang digunakan nelayan terbuat dari bambu dengan tingkat
kelenturan yang cukup tinggi. Panjang joran dan tali yang digunakan nelayan bervariasi
antara 2 - 4 m dan 1,5 – 3 meter sesuai dengan keinginan pemancing untuk
mempermudah pemancingan dan disesuaikan dengan besarnya kapal. Pada umumnya
panjang pole and line yang berkisar 3,5 – 5 meter digunakan oleh pemancing bagian
haluan dan panjang pole and line yang berkisar 6 – 7 meter digunakan oleh pemancing
bagian samping atau buritan.
Umumnya tali pemancing yang digunakan nelayan perikanan cakalang di
Ternate terdiri atas tiga bagian yaitu tali kepala (head line), tali utama (main line) dan
tali pengikat (string line). Panjang tali kepala berkisar 0,3 – 0,5 meter dari bahan
kuralon yang ujung satunya diikatkan pada joran dan ujung satunya lagi diikatkan pada
tali utama. Tali utama yang panjangnya bervariasi antara 1 – 3 meter terbuat dai bahan
polyethylen (PE), salah satu ujungnya diikatkan pada ujung tali kepala secara tetap dan
salah satu ujungnya diikatkan pada tali pengikat dengan simpul yang dapat dilepas. Hal
tersebut dimaksud untuk dapat dilepaskan setelah selesai melakukan pemancingan dan
akan dipasang lagi apabila akan memulai pemancingan.
Panjang tali pengikat berkisar 0,3 – 0,4 meter terbuat dari bahan nylon
monofilament diikatkan pada ujung simpul tali utama dan mata pancing yang diberi
lobang. Mata pancing yang digunakan tidak berkait balik dan terbuat dari baja dengan
maksud agar ikan yang tertangkap akan lebih mudah terlepas dari mata pancing jika
disentak dan mata pancing tidak mudah berkarat. Pada mata pancing dipasangkan bulu
ayam atau tali rafia yang berwarna-warni dengan maksud agar mengelabui penglihatan