• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterlibatan Masyarakat Desa Hutan Di Daerah Pesisir Dalam Mengembangkan Biofuel Nyamplung (Calophyllum Inophyllum) Berkelanjutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keterlibatan Masyarakat Desa Hutan Di Daerah Pesisir Dalam Mengembangkan Biofuel Nyamplung (Calophyllum Inophyllum) Berkelanjutan"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

KETERLIBATAN MASYARAKAT DESA HUTAN DI DAERAH

PESISIR DALAM MENGEMBANGKAN

BIOFUEL

NYAMPLUNG

(

Calophyllum inophyllum)

BERKELANJUTAN

BAMBANG URIPNO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keterlibatan Masyarakat Desa Hutan Di Daerah Pesisir Dalam Mengembangkan Biofuel Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Berkelanjutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

BAMBANG URIPNO. Keterlibatan Masyarakat Desa Hutan di Daerah Pesisir dalam Mengembangkan Biofuel Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Berkelanjutan. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING, MARGONO SLAMET, dan SITI AMANAH.

Krisis energi dunia pada era dekade terakhir telah berdampak nyata pada dinamika harga bahan bakar minyak (BBM). Ketika harga minyak dunia melambung di atas harga 100 $ US per barel telah mendorong penelitian dan pengembangan energi alternatif, antara lain Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel. Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menetapkan target produksi biofuel tahun 2025 sebesar lima persen dari total kebutuhan energi nasional. Namun ketika harga minyak turun sampai 50 $ US per barel tetap saja harga BBM berfluktuasi.

Satu implementasi kebijakan energi nasional diwujudkan untuk kedaulatan energi melalui Program Desa Mandiri Energi (DME). Program yang dicanangkan oleh Presiden RI pada tahun 2007 dimaksudkan untuk mempromosikan diversifikasi energi, energi baru terbarukan dan menyediakan energi dari sumberdaya lokal. Pada saat pelaksanaan penelitian, Program DME sudah berjalan lebih dari satu tahun.

Penelitian ini berupaya merancang strategi penyuluhan yang baik untuk pengembangan silvoindustri biofuel nyamplung melalui: (1) menguraikan proses dan perkembangan demplot DME Nyamplung, (2) menganalisis keterlibatan masyarakat desa hutan di lokasi demplot dalam mendukung difusi adopsi silvoindustri biofuel nyamplung, dan (3) menganalisis kesiapan desa demplot DME Nyamplung menjadi DME.

Responden penelitian adalah masyarakat Desa Buluagung dan Desa Patutrejo berjumlah 62 orang, mereka dipilih karena pernah terlibat dalam pembangunan DME BBN Demplot Nyamplung; seperti mantan (bekas pekerja proyek) pengada biji, mantan karyawan persemaian, mantan peserta pelatihan budidaya nyamplung dan mantan peserta pelatihan operator pabrik. Responden terpilih ialah tokoh kunci (pemimpin formal maupun informal) di dua desa penelitian. Jumlah populasi peserta sebanyak 100 orang responden di setiap desa. Responden penelitian seluruhnya, yang dipilih secara purposive proportional dari setiap desa, atau 31 persen dari populasi.

Penelitian dilaksanakan dengan metode survei menggunakan kuesioner disertai observasi. Wawancara semi terstruktur digunakan untuk memperoleh data dari informan terkait. Focused Group Discussion (FGD) di tingkat desa juga dilakukan untuk mengkonfirmasi data dan triangulasi untuk memverifikasi data. Peubah penelitian terdiri atas: (1) Karakteristik inovasi teknologi biofuel nyamplung (2) peranan demplot DME nyamplung (3) fasilitasi tokoh masyarakat dalam mendukung silvoindustri biofuel nyamplung (4) karakteristik individual dan sosial-ekonomi responden.

(5)

berhasil karena belum dapat menunjukkan sebagai usaha yang menguntungkan. Keterlibatan masyarakat dalam implementasi demplot tergolong tinggi meskipun belum secara menyeluruh pada lapisan masyarakat. Diketemukan kedua Demplot DME nyamplung belum berhasil karena karakteristik inovasi biofuel nyamplung termasuk kerumitan tinggi dalam arti tidak mudah diserap masyarakat. Untuk memperoleh keberhasilan, maka peran penyuluh dan tokoh masyarakat sebagai pendamping sangat diperlukan. Modal sosial masyarakat cukup kuat untuk berpartisipasi, meskipun kapasitas sumber daya manusia (SDM) lembaga DME dan lembaga LDME masih perlu ditingkatkan.

Strategi terpilih untuk mengembangkan silvoindustri biofuel nyamplung di desa pasca demplot untuk menuju desa mandiri energi adalah: 1) penguatan manajemen LDME pasca demplot, 2) pendampingan bisnis hutan rakyat, dan 3) revitalisasi kebijakan sebagai bentuk dukungan pemerintah dalam silvoindustri bioenergi nyamplung. Dukungan kebijakan sangat memungkinkan dengan memaksimalkan peran pemerintah desa sejalan dengan kemandirian desa yang dipayungi UU Desa No. 6 tahun 2014. Merevitalisasi dukungan pemerintah pusat dapat dilakukan kebijakan Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan. Kebijakan yang memihak pada terwujudnya desa mandiri energi diantaranya berupa: penguatan lembaga Lembaga Desa Masyarakat Hutan (LDMH) atau Lembaga Desa Mandiri Energi (LDME), penelitian dan pengembangan inovasi teknologi nyamplung, meningkatkan produktivitas hutan tanaman nyamplung rakyat dengan adanya insentif dari pemerintah, fasilitasi penyuluh fungsional atau swadaya Kehutanan, dukungan investasi, dan dukungan dana termasuk Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan kehutanan.

(6)

SUMMARY

BAMBANG URIPNO. The Involvement of Forest Village Community in Coastal Area to Sustain Biofuel Nyamplung Development. Supervised by LALA M. KOLOPAKING, MARGONO SLAMET, and SITI AMANAH.

The world energy crisis in the last decade has shown a significant effect on dynamic price of the fuel supply (BBM). The increase of world fuel price increased up to US $100 per barrel has made research and development of alternatif energy such as biofuel. To boost the energy alternative development, such as phyto fuel (BBN) or biofuel, President RI Decree No. 5 year 2006 regarding National Energy Policy has determined biofuel production target for the year 2025 as 5 percent from the needs. However, when the world fuel price decreased down to US $50 per barrel, the fuel price is still unstable.

National energy policy implemented in the form of Desa Mandiri Energy (DME) programme was proclaimed by President in 2007. DME is potential to promote energy diversification, to boost the new energy quote and to provide energy from local resources. During the research implementation, the Program of Independent Energy Village (DME) had undergone more than one year.

The aim of the research is to formulate appropriate strategies of extension for developing Nyamplung bio-fuel silvo-industry, through: (1) analysing the process and the development of Nyamplung DME demplot during implemen-tation, (2) analysing the participation of the forest community surrounding the location in supporting the diffusion-adoption of nyamplung bio-fuel silvo-industry, and (3) analysing the level of readiness of the village in order to be the demplot of Nyamplung DME.

The research respondents are the community in Buluagung and Patutrejo Villages involved in the Nyamplung demplot of BBN DME. They are the workers who were involved in the project activities, in the seed providing processes and in the seedling activities. They are also the participants who attended previous training on Nyamplung cultivitation, and the participants who were involved in the training of factory operator. The total population of respondents is 100 (one hundred) people in each village. The other respondents are key people (both formal and informal leaders) from the two villages. The total sample of this research is 62 (sixty two) respondents, appointed through purposive proportional on each village, or through sample intensity of 31 percent.

This research implements the method of questionaire survey and direct observation. Semi-structured interview is also implemented for the purpose of obtaining data from the informant. FGD (Focus Group Discussion) in the village is also implemented in order to confirm data and triangulation for data verification. The research variable consists of: (1) the characteristics of Nyamplung bio-fuel technology innovation, (2) the role of Nyamplung DME Demplot, (3) the facilitation activities of the key people in supporting the Nyamplung bio-fuel silvo-industry, and (4) the characteristics of individual and socio-economy of the respondents.

(7)

to be beneficial. The involvement of community in the demplot is categorised as high, although the involvement does not reach the whole level of community. The characteristics of Nyamplung bio-fuel innovation is categorised as high technology in which the roles of extension workers and the key people are demanded. The social capital to support the program is considered high although the capacity of the community and LDME still needs improvement.

Selected strategies to develop biofuels silvoindustri nyamplung in villages of post-village plots to realize the self-energy are: 1) strengthening the management of post-demplot LDME, 2) mentoring the community forests business, and 3) revitalizing the policy as a form of government support in bioenergy silvoindustri nyamplung. It is possible for the policy support to maximize the role of village government in line with the independence of the village which is pedestrianized by Village Act 6 of 2014. Revitalizing the central government support can be carried out by the policy of the Ministry of Energy and the Ministry of Forestry. The policy in favor of the establishment of such energy independent village includes strengthening LDMH/LDME institutions, establising research and development nyamplung technological innovation, increasing productivity of nyamplung people plantations with incentives from the government, facilitating extension of functional or non-forestry, investment support, and financial support, including CSR from forestry companies.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

KETERLIBATAN MASYARAKAT DESA HUTAN DI DAERAH

PESISIR DALAM MENGEMBANGKAN

BIOFUEL

NYAMPLUNG

(

Calophyllum inophyllum)

BERKELANJUTAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)

ii

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS

Guru Besar Bidang Kebijaksanaan Kehutanan Departemen Manajemen Hutan, Fahutan-IPB.

2. Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi Staf Pengajar FEMA-IPB. Pelaksanaan : Jum’at, 15 Agustus 2014.

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr Ir Bambang Tri Hartono

Kepala Pusat Litbang Produktivitas Hutan

Badan Penelitan dan Pengembangan Kehutanan Kementrian Kehutanan.

2. Prof (R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM, APU

Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Kementrian Kesehatan/Staf Pengajar FEMA-IPB.

(11)
(12)

iv

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan ke hadlirat Allah Yang Maha Kuasa, seru sekalian alam, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah pengembangan energi alternatif berkelanjutan, dengan judul Keterlibatan Masyarakat Desa Hutan Di Daerah Pesisir Dalam Mengembangkan Biofuel Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Berkelanjutan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lala M Kolopaking, MS, Bapak Prof Dr R Margono Slamet, MSc dan Ibu Dr Ir Siti Amanah, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu hingga tersusunnya disertasi ini. Kepada Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS dan Ibu Dr Ir Ninuk Purnaningsih, MSi selaku penguji luar komisi pada sidang tertutup. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Bambang Tri Hartono dari Kementerian Kehutanan dan Bapak Prof(R) Dr Ign Djoko Susanto, SKM, APU selaku penguji pada sidang terbuka, atas pertanyaan kritis yang disampaikan, kepada Kepala Desa Buluagung dan Kepala Desa Patutrejo beserta jajarannya selama pengumpulan data.

Terima kasih kepada isteriku Jeany Dewi dan anak-anakku Martha dan Dimas, atas segala doa dan kasih sayangnya; juga kepada papah dan mamah, mas Heru dan mbak Ida serta adik-adik sekalian yang selalu memotivivasi penulis. Kepada teman teman Erwin, Suherdi dan Gamin Gessa yang banyak membantu penyelesaian disertasi diucapkan terima kasih.

Kepada Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan serta Kepala Pusat Diklat Kehutanan, penulis mengucapkan terima kasih untuk kesempatan dan bea siswa yang diberikan. Terima kasih pula kepada pimpinan Sekolah Pacasarjana IPB dan jajarannya serta Ketua Prodi Ilmu Penyuluhan Pembangunan atas pelayaanan dalam studi ini hingga mencapai doktor.

Kepada segenap pihak yang berkenan mendukung pelaksanaan penelitan ini dalam berbagai bentuk, semoga kerjasama yang erat dapat dibangun dan ditingkatkan diwaktu yang akan datang. Semua dukungan yamg diberikan adalah bagian penting dari penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat atas budi baik yang diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015

(13)

v

DAFTAR ISI

RINGKASAN ii

SUMMARY iv

PRAKATA iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

DAFTAR SINGKATAN vii

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 9

Manfaat Penelitian 9

Ruang Lingkup Penelitian 10

2. REVIEW KONSEP DAN PENELITIAN TERDAHULU 15

Keterlibatan Masyarakat 15

Falsafah, Konsep dan Prinsip Penyuluhan Pembangunan 30 Nyamplung Sebagai Bahan Baku Silvoindustri Biofuel 33

Metode dan Strategi Penyuluhan 37

Difusi, Adopsi dan Inovasi 37

3. PROSES PERENCANAAN DAN PERKEMBANGAN DEMPLOT BIOFUEL NYAMPLUNG DI DESA BULUAGUNG DAN DI DESA PATUTREJO 42

Pendahuluan 42

Tujuan Penelitian 45

Metode Penelitian 45

Hasil dan Pembahasan 46

Simpulan 54

4. KETERLIBATAN MASYARAKAT PADA DEMPLOT DESA MANDIRI ENERGI BAHAN BAKAR NABATI (BIOFUEL) NYAMPLUNG

(Calophyllum inophyllum) 55

Pendahuluan 55

Tujuan Penelitian 58

Metode Penelitian 58

Hasil dan Pembahasan 65

Simpulan 85

5. TINGKAT KESIAPAN DESA DEMPLOT MENJADI DME

SILVOINDUSTRI BIOFUEL NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) 86

(14)

vi

Tujuan Penelitian 87

Metode Penelitian 87

Hasil dan Pembahasan 88

Simpulan 93

6. STRATEGI PENYULUHAN PENGEMBANGAN SILVOINDUSTRI

BIOFUEL NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) BERKELANJUTAN 94

7. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 103

Simpulan 103

Implikasi Kebijakan 100

DAFTAR PUSTAKA 104

LAMPIRAN 114

RIWAYAT HIDUP 120

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Dugaan Luasan Tegakan Hutan Nyamplung di Indonesia 6 Tabel 2 Comparing and Constrasting Approach to Participatory

Development 20

Tabel 3 Tumbuhan Penghasil Minyak Lemak Paling Potensial 34 Tabel 4 Unsur-Unsur Kebudayaan* di Desa Demplot 49 Tabel 5 Kondisi Demografi Kedua Desa Penelitian 49 Tabel 6 Perkembangan Demplot Biofuel Nyamplung 54 Tabel 7 Peubah Teramati, Definisi Operasional, Parameter Pengukuran

dan Kategori Pengukuran 62

Tabel 8 Sebaran Umur Responden Penelitian 65

Tabel 9 Kekosmopolitan Responden Peserta DME Nyamplung 67 Tabel 10 Karakteristik Nyamplung Sebagai Inovasi Energi Terbarukan 67 Tabel 11 Peranan Demplot DME Nyamplung Menurut Responden 69 Tabel 12 Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Petani Demplot Biofuel 70 Tabel 13 Fasilitasi Pendampingan Masyarakat Desa Buluagung dan Desa

Patutrejo 71

Tabel 14 Keterlibatan Masyarakat Mendukung Pembangunan Silvoindustri

Biofuel Nyamplung 72

(15)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Tebaran Tegakan Nyamplung 5

Gambar 2 Grafik Sebaran Tegakan Nyamplung di Indonesia 8

Gambar 3 Kategori Partisipasi Masyarakat 16

Gambar 4 Siklus Pemberdayaan Masyarakat menuju Kemandirian 22 Gambar 5 Bentuk Percabangan, Daun, Bunga dan Buah Nyamplung 36 Gambar 6 Kerangka Studi Hubungan antar Peubah Penelitian 57 Gambar 7 Partisipasi Masyarakat Menurut Uphoff 76

Gambar 8 Korelasi Rank Spearman antar Peubah 78

Gambar 9 Matriks Analisis SWOT 93

Gambar 10 Temuan-temuan dan Strategi Pengembangan Silvoindustri 94 Gambar 11 Revitalisasi Kebijakan Pengembangan Silvoindustri Biofuel

Nyamplung Berkelanjutan 100

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Hasil Ujicoba 115 Lampiran 2 Tumbuhan Indonesia Penghasil Minyak Lemak 116

Lampiran 3 Panduan Pengumpulan Data Sekunder 118

Lampiran 4 Hasil Pengolahan Data Hubungan Antar Peubah 119

DAFTAR SINGKATAN

BBM Bahan Bakar Minyak

BBN Bahan Bakar Nabati atau Biofuel BPS Badan Pusat Statistik

CSR Corporate Social Responsibility Demplot Demonstration plot

DME Desa Mandiri Energi

FAME methyl/ester asam lemak atau Biodiesel FGD Focus Group Discussion

HET Harga Eceran Tertinggi

LDME Lembaga Desa Mandiri Energi LDMH Lembaga Desa Masyarakat Hutan

RAPBN Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(16)
(17)

1

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis energi dunia pada era dekade terakhir telah berdampak nyata pada dinamika harga bahan bakar minyak (BBM), yang memberatkan kehidupan masyarakat. Bahan bakar minyak seperti premium, solar, dan minyak tanah untuk konsumsi non-industri atau konsumsi non-transportasi masih harus disubsidi pemerintah sehingga negara harus mengimpor BBM. Tidak mengherankan apabila nilai subsidi untuk BBM bernilai sangat besar dan terus bertambah besar yaitu sebesar Rp 80 triliun pada tahun 2004, Rp 89 triliun pada tahun 2005 dan Rp 106 triliun tahun 2006. Pada asumsi makro RAPBN tahun 2012 nilai subsidi BBM dialokasikan Rp 123.6 triliun, kemudian sesuai perubahan RAPBN-P diperbaiki menjadi Rp 137 triliun.

Ketersediaan BBM dalam jumlah yang cukup dan dengan harga yang terjangkau sangat diperlukan masyarakat, baik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun kebutuhan mencari nafkah. Pasokan BBM yang terbatas menyebabkan masyarakat harus rela antri untuk mendapatkan BBM. Tidak terhitung ongkos tenaga dan waktu yang terbuang percuma. Bahkan tidak jarang mereka harus membeli BBM dengan harga jauh diatas harga eceran tertinggi (HET). Harian Kompas beberapa kali melaporkan bahwa di daerah pesisir Provinsi Lampung nilai solar bisa mencapai Rp 25 000,- per liter, padahal HET solar Rp 4 500,- per liter. Bahkan di Kabupaten Wamena, Provinsi Papua, harga minyak tanah bisa mencapai 10 kali lipat dari HET.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2010 dalam kurun waktu 15 tahun terakhir jumlah orang miskin hanya turun 4.4 persen dari 17.7 persen pada tahun 1995 menjadi 12.49 persen di tahun 2010 atau sekitar 30 juta jiwa yang dihitung dari katagori miskin absolut nasional diukur dari besar pendapatan. Apabila menggunakan standar garis kemiskinan internasional yaitu pendapatan perkapita sebesar 2 dollar AS per hari, jumlah penduduk miskin masih sebanyak 42 persen, atau hampir 100 juta orang.

Kebutuhan energi terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia, yang rata-rata dari tahun 2000 s.d tahun 2010 sebesar 4.2 persen per tahun (BPS 2010), dan pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata 6.0 persen per tahun (Kemenko Perekonomian 2010). Namun, cadangan minyak bumi kita tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan di masa mendatang. Sehingga, ketika harga minyak dunia melambung di atas harga 100 $ US per barel telah mendorong penelitian dan pengembangan energi alternatif, antara lain Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel. Demikian juga ketika harga minyak dunia turun sampai 50 $ US per barel, tetap saja harga BBN berfluktuasi.

Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menetapkan target produksi biofuel tahun 2025 sebesar lima persen dari total kebutuhan energi nasional. Kementerian Kehutanan memperoleh mandat untuk aktif menyediakan bahan baku biofuel. Satu implementasi kebijakan energi nasional diwujudkan dalam bentuk program Desa Mandiri Energi (DME), yang dicanangkan oleh Presiden pada tahun 2007.

(18)

2

Difinisi DME adalah desa yang memproduksi dan menggunakan energi baru terbarukan untuk memenuhi dan menyediakan 60 persen dari energi yang dibutuhkan untuk keperluan sendiri dan lokasinya remote (Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008). Program DME bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi di pedesaan melalui pengembangan berbagai jenis teknologi dan pendekatan yang berkaitan dengan energi baru terbarukan, yaitu mulai dari penelitian dan pengembangan, uji coba lapangan, dan penyebarluasan penggunaan teknologi yang telah matang dalam skala yang luas. Program DME merupakan program yang sangat potensial dalam mempromosikan diversifikasi penyediaan energi, meningkatkan kuota energi baru terbarukan, dan menyediakan energi yang bersumber dari sumberdaya lokal, khususnya untuk daerah-daerah yang belum berkembang dan terpencil.

Kriteria dasar pemilihan DME dengan Bahan Bakar Nabati atau biofuel meliputi: (a) ada masyarakat yang ingin mengembangkan, (b) ada sumberdaya bahan baku energinya, (c) ada teknologi yang dikembangkan, (d) harus ada investasi (dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat) dan (e) harus ada sistem penunjang berupa pendampingan masyarakat.

Pada pustaka energi, terdapat beberapa jenis pengganti energi minyak bumi yang pernah ditawarkan. Jenis energi tersebut antara lain berupa tenaga baterai (fuel cells), panas bumi (geothermal), tenaga laut (ocean power), tenaga matahari (solar power), tenaga angin (wind power), batu bara, gas nuklir (nuclear), fusi, biomassa (biomass), dan bahan bakar nabati (biofuel). Selain sifatnya dapat diperbaharui (renewable), energi alternatif juga ramah lingkungan, dan -sampai pada tingkat tertentu- biaya produksinya lebih murah (Prihardana, 2006).

Baru-baru ini, biodiesel telah digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel alternatif. Biodiesel terbuat dari sumber daya terbarukan seperti minyak nabati. Banyak peneliti melakukan penelitian menggunakan bahan baku minyak nabati bukan untuk dikonsumsi dari beberapa biji seperti jarak (Jatropha curcas), karet (Hervea brasiliensis), Jojoba (Simmondsia chinensis), Mahua (Madhuca indica), dan polanga (Calophyllum inophyllum). Kemiri (Aluerites moluccana) tumbuh secara alami di wilayah timur Indonesia, kini dibudidayakan di provinsi-propinsi bahagian timur Indonesia sebagai tanaman tahunan (Suprihastuti et al. 2009).

Bahan Bakar Nabati (BBN) atau Biofuel adalah semua bahan bakar yang berasal dari minyak nabati yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar; baik dalam bentuk ester (biodiesel) atau anhydrous alkohol (bioetanol), maupun minyak nabati murni (bio-oil, pure plant oil, atau PPO). Melalui beberapa persyaratan dan perlakuan tertentu, biodiesel dapat menggantikan solar, bioetanol dapat menggantikan premium, dan bio-oil atau kerosin dapat mengganti atau campuran minyak tanah. Produk BBN lainnya biobutanol, yang menghasilkan energi lebih banyak, penguapan lebih sedikit, dan dapat disalurkan melalui pipa dengan aman; masih dalam proses penelitian dan pengembangan.

(19)

3 Biodiesel dapat digunakan di setiap mesin diesel kalau dicampur dengan diesel mineral. Lebih dari seratus tahun yang lalu, mesin motor diesel pertama digerakkan menggunakan bahan bakar biodiesel dari kacang tanah. Di beberapa negara maju, kalangan produsen biodiesel memberikan garansi untuk penggunaan 100 persen biodiesel (B-100). Kebanyakan kalangan produsen kendaraan bermotor membatasi rekomendasi mereka untuk penggunaan biodiesel sebanyak 15 persen dicampur dengan diesel mineral (B-15). Kebanyakan negara Eropa telah mengunakan campuran biodiesel 5 persen (B-05) secara luas dan tersedia di banyak stasiun bahan bakar.

Di Amerika Serikat, lebih banyak dari 80 persen truk komersial dan bis kota beroperasi menggunakan diesel, karena itu produksi dan penggunaan biodiesel di Amerika Serikat bertumbuh sangat cepat, dari sekitar 25 juta galon per tahun pada 2004 menjadi 78 juta galon pada awal 2005. Pada akhir 2006, produksi biodiesel diperkirakan menjadi 1 milyar galon (Library of Parliament 2006).

Biofuel menawarkan kemungkinan memproduksi energi dengan tanpa meningkatkan kadar karbon di dalam atmosfer, karena berbagai tanaman yang digunakan untuk memproduksi biofuel dapat mengurangi kadar karbondioksida di atmosfer; tidak seperti bahan bakar fosil yang mengembalikan karbon yang tersimpan di bawah permukaan tanah selama jutaan tahun ke udara. Dengan begitu biofuel lebih bersifat carbon neutral dan sedikit meningkatkan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Selain itu volumenya yang 600 kali lebih kecil dibanding gas sehingga kepadatan energi lebih besar, mudah dibawa, dan relatif sulit terbakar ketimbang gas.

Para pendukung biofuel mengklaim telah memiliki solusi yang lebih baik untuk meningkatkan dukungan politik dan kalangan industri, dengan percepatan implementasi biofuel generasi kedua berbahan baku dari sejumlah tanaman yang tidak digunakan untuk konsumsi manusia maupun hewan, di antaranya cellulosic biofuel. Proses produksi biofuel generasi kedua menggunakan berbagai tanaman khusus untuk energi, di antaranya limbah biomassa seperti tangkai gandum, jagung, kayu, dan tanaman lainnya. Biofuel generasi kedua (2G) juga menggunakan teknologi yang mengubah biomassa padat menjadi bentuk energi cair (Pinto 2009).

Memproduksi etanol dari selulosa masih merupakan sebuah permasalahan teknis yang sulit dipecahkan. Berbagai hewan ternak pemamah biak (seperti sapi dan domba) memakan rumput lalu menggunakan proses pencernaan, yang berkaitan dengan pemanfaatan enzim. Prosesnya berlangsung dengan lamban dan berulang-ulang untuk menguraikannya menjadi glukosa (Nielsen 2008).

Dewasa ini biofuel telah diproduksi secara besar-besaran di banyak negara, sebagai reaksi atas tingginya harga BBM internasional serta teknologi hasil litbang yang intensif. Brazil dan Amerika Serikat merupakan negara yang memproduksi sekitar 70 persen bioethanol dunia yaitu 44.7 juta liter pada tahun 2005. Brazil memproduksi bioethanol dari tanaman atau tetes tebu sedangkan Amerika Serikat memproduksi bioethanol terutama dari tanaman Jagung.

(20)

4

dimana Jerman Barat telah mewajibkan penggunaan campuran biodiesel secara luas untuk transportasi di seluruh negeri (Library of Parliament 2006).

Keragaman situasi dan kondisi wilayah di Indonesia memerlukan adanya pola penyediaan energi yang berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya, antara lain tergantung kepada kondisi alam dan kondisi sumberdaya setempat, baik di lingkungan perkotaan maupun di masyarakat pedesaan. Di kota-kota besar telah menjadi mode bagaimana sampah dikembangkan untuk menghasilkan energi listrik. Di tempat pembuangan sampah akhir di Bantar Gebang Bekasi misalnya, belum lama ini dikabarkan secara luas melalui berbagai media masa, telah dioperasikannya delapan unit pembangkit listrik berbahan baku sampah, dengan total kapasitas terpasang 10.5 megawatt dan produknya telah masuk ke sistem kelistrikan Jawa dan Bali yang dikelola PLN. Nantinya, listrik yang dialirkan itu mencapai 26 megawatt.

Mengantisipasi kelangkaan energi, berbagai lembaga riset baik milik pemerintah maupun kalangan dunia usaha bahkan milik perseorangan di seluruh Indonesia; terus berpacu untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan, mulai dari pellet kayu, ganggang laut, sampai memanfaatkan minyak jelantah dari tumbuhan dan lemak hewan menjadi energi. Beberapa diantaranya yang sudah berhasil kemudian di populerkan oleh majalah Trubus edisi khusus Agustus 2008 adalah biopremium dengan kandungan 5 persen etanol asal tetes tebu yang dijual di SPBU Rampai, Malang, Jawa Timur; etanol asal singkong yang digunakan secara terbatas di Bandung; pengganti solar atau biodiesel dari jarak pagar, alpukat, dan sorgum di beberapa tempat di pulau Jawa.

Di pedesaan pada umumnya tidak sukar mencari lahan; seperti di lahan pekarangan, di tepi jalan-jalan desa, bantaran tepian sungai, lahan kritis, dan lahan gundul atau terlantar. Lahan-lahan tersebut dapat dijadikan sumberdaya alam untuk memproduksi energi alternatif berbahan baku nabati secara terus-menerus tanpa perlu takut habis, sepanjang matahari masih terbit.

Indonesia memiliki berbagai jenis tumbuhan yang sangat potensial sebagai bahan baku industri energi atau bahan bakar biodiesel dan bioetanol. Jika dapat dimanfaatkan dengan maksimal, maka negeri ini sangatlah mungkin suatu saat

menjadi “Timur Tengah”-nya bioenergi. Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, pemanfaatan minyak kelapa sawit ini telah dimanfaatkan menjadi salah satu produk biodiesel. Namun hal tersebut juga mengalami beberapa kendala seperti yang dijabarkan oleh (Rist et al. 2010). “Meskipun mengakui bahwa terjadi implikasi lingkungan yang serius dari ekspansi kelapa sawit di Indonesia, dan tambahan konsekuensi lainnya terhadap kehidupan dari dampak kegiatan tersebut, ekspansi di masa mendatang mungkin tak terelakkan. Pertanyaannya adalah bukan salah satu dari kelapa sawit atau tidak, tetapi bagaimana kita bisa memaksimalkan manfaat pembangunan dan meminimalkan dampak negatif sosial dan lingkungan, kita harus terus mencari skenario produksi alternative yang dapat memungkinkan secara ekologis dan pengembangan kelapa sawit sosial yang berkelanjutan”.

(21)

5 jenis tumbuhan, diantaranya Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) (Tatang et al. 2005). Nyamplung merupakan tumbuhan asli Indonesia (endemic), yang banyak terdapat di daerah pesisir berpasir dan berhumus. Kelebihan nyamplung sebagai bahan baku BBN adalah (1) bijinya mempunyai rendemen minyak lemak sangat tinggi, dapat mencapai 74 persen dan (2) pemanfaatannya menjadi biofuel tidak berkompetisi dengan pangan.

Potensi alami tumbuhan nyamplung di seluruh Indonesia sampai sekarang belum dapat diketahui secara tepat. Sungguhpun demikian, berdasarkan pada penafsiran Citra Satelit Landsat ETM 7+ (Baplan Dephut 2003) luas tumbuhan nyamplung alam diduga mencapai total luasan areal 252.300 ha, baik yang berada di luar maupun di dalam kawasan hutan (Gambar 1). Sedangkan total luasan lahan yang potensial untuk menjadi areal budidaya hutan tanaman nyamplung, baik yang berada di luar maupun di dalam kawasan hutan, seluruhnya mencapai luasan sekitar 480.700 hektar (lihat Gambar 2 dan Tabel 1).

Kementerian Kehutanan tahun 2010 telah menyusun buku Rencana Aksi Pengembangan Energi Alternatif Berbasis Tanaman Nyamplung, dengan arahan lokasi meliputi sembilan Provinsi, yaitu Provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Gorontalo, Maluku Tengah, dan Papua. Ruang lingkup kegiatan persiapan meliputi pengembangan demplots DME di Jawa dan di Sulawesi (Kabupaten: Purworejo, Banyuwangi, Pandeglang, dan Selayar), dengan pengaturan pasokan buah nyamplung pada tahap awal berasal dari hutan alam dan dari hutan tanaman Perum Perhutani; sampai pasokan buah nyamplung dari hutan rakyat sudah dapat dimanfaatkan.

Gambar 1 Peta Tebaran Tegakan Nyamplung Alam Keterangan:

Indikasi bertegakan alam Nyamplung >500 ha Sumber Data:

Peta Dasar Tematik Kehutanan skala 1:250.000

(22)

6

Berbeda dengan bahan bakar minyak (BBM) dari fosil yang terbentuk alami selama ratusan juta tahun, produksi BBN lebih ditekankan kepada budidaya energi (energy farming) dan bukan berburu energi (energy hunting). Energy farming mengandung pola pikir lebih mengedepankan pengumpulan dan penyimpanan energi yang berasal dari cahaya sinar matahari (green energy) dan dapat diperbaharui dengan sendirinya (self sustainable), dan tentu saja tidak akan merusak lingkungan karena bebas polusi (Timnas BBN 2008).

Tabel 1 Dugaan Luasan Tegakan Hutan Nyamplung di Indonesia

No. Wilayah Fungsi/Letak

Luasan Lahan Potensial untuk Budidaya Nyamplung (hektar) Bertegakan

Nyamplung

Tanah Kosong dan Belukar

Total

1. Sumatera Luar Kawasan 6.800 24.600 31.400

Dalam Kawasan 7.400 16.800 24.200

2. Jawa Luar Kawasan 14.200 41.400 55.600

Dalam Kawasan 2.200 3.400 5.600

3. Bali dan Nusa Tenggara

Luar Kawasan 13.500 1.300 14.800

Dalam Kawasan 15.700 4.700 20.400

4. Kalimantan Luar Kawasan 21.700 39.400 61.100

Dalam Kawasan 10.100 19.200 29.300

5. Sulawesi Luar Kawasan 5.600 6.100 11.700

Dalam Kawasan 3.100 5.900 9.000

6. Maluku Luar Kawasan 21.100 30.800 51.900

Dalam Kawasan 8.400 9.700 18.100

7. Papua Barat Luar Kawasan 5.300 8.100 13.400

Dalam Kawasan 28.000 34.900 62.900

8. Papua Luar Kawasan 9.400 5.000 14.400

Dalam Kawasan 79.800 16.400 96.200

9. Wilayah lainnya Luar Kawasan 78.200 118.300 196.500

Dalam Kawasan 177.100 107.100 284.200

Total 252.300 225.400 480.700

Sumber: Rencana Aksi Pengembangan Nyamplung Kementerian Kehutanan

(23)

7 Silvoindustri BBN/biofuel nyamplung masih belum dapat dilakukan dalam skala pemanfaatan karena dijumpai beberapa kendala. Perolehan buah nyamplung sebagai bahan baku, masih mengandalkan dari hutan alam dan hutan produksi Perum Perhutani yang kualitas maupun kuantitasnya terbatas. Sementara di lain pihak, teknologi pengolahan biji nyamplung menjadi biofuel belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat setempat, sehingga partisipasi masyarakat desa hutan di daerah pesisir belum seperti yang diharapkan (Balitbang Kehutanan 2010).

Keberlanjutan program penyediaan energi melalui pembangunan DME berbasis nyamplung sangat ditentukan oleh peranserta masyarakat desa hutan di daerah pesisir yang bersangkutan. Keterlibatan masyarakat dalam silvoindustri nyamplung memerlukan kebijakan dan strategi penyuluhan yang tepat. Melalui penyuluhan, diharapkan masyarakat dapat lebih menyadari potensi nyamplung, merasakan adanya kebutuhan untuk terlibat dalam silvoindustri, dan dapat mendayagunakan nyamplung sebagai bahan baku energi.

Berkaitan dengan hal-hal di atas, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Kementerian Kehutanan selaku focal point DME Nyamplung, pada tahun 2009 membangun dua Demontration Plots (demplot) DME berbasis Nyamplung dengan sumber pembiayaan dari Dana Stimulus Fiskal APBN pada Kementerian ESDM. Demplot DME Nyamplung dimaksud berlokasi di (1) Desa Buluagung, Kecamatan Siliragung, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, dan (2) di Desa Patutrejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.

Pembangunan demplot DME berbasis nyamplung yang dibangun di Desa Buluagung dan di Desa Patutrejo memiliki alasan penting baik dari segi modal maupun dari segi sumber daya yang dimiliki kedua daerah tersebut. Desa Buluagung dan Desa Patutrejo memiliki potensi bahan alami biofuel berupa biji nyamplung yang tersedia banyak di kedua desa tersebut. Dari segi sumber daya manusia kedua desa ini memiliki potensi ketenagakerjaan yang memadai dilihat dari usia produktif yang tersedia. Adanya teknik yang mudah dipelajari, akan membuat masyarakat terbuka untuk menerima teknologi baru.

Program pembangunan Demplot DME berbasis Nyamplung meliputi paket-paket kegiatan sebagai berikut: (1) pembangunan pabrik pengolah biodiesel mini (mini plant compact) dengan kapasitas terpasang sebesar 250 liter, (2) pembangunan persemaian nyamplung kapasitas 11.000 batang, (3) penanaman sebanyak 20.000 batang nyamplung (termasuk penanaman dengan bibit dari semai alami atau kongkoa), (4) pelatihan budidaya nyamplung dan pelatihan operator pabrik, dan (5) pada tahap awal, penyediaan bahan baku (buah Nyamplung) berasal dari hutan tanaman Perum Perhutani, sebelum hutan tanaman rakyat dapat berfungsi optimal menghasilkan buah.

(24)

8

(25)

9

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengembangan demplot nyamplung. Dari hasil analisis tersebut, dibandingkan dengan teori dan konsep penyuluhan dalam merancang strategi penyuluhan yang baik untuk pengembangan silvoindustri biofuel nyamplung. Secara rinci, tujuan penelitian meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Menguraikan proses dan perkembangan demplot DME Nyamplung dalam penyuluhan

2. Menganalisis keterlibatan masyarakat desa hutan di lokasi demplot dalam mendukung difusi adopsi silvoindustri biofuel nyamplung,

3. Menganalisis kesiapan desa demplot DME Nyamplung menjadi Desa Mandiri Energi.

Kebaruan (Novelty)

Keterlibatan masyarakat desa hutan di daerah pesisir memerlukan dukungan dan partisipasi aktif dari segenap pihak terkait. Sejauh ini belum ada penelitian mengenai partisipasi masyarakat untuk mendukung pembangunan silvoindustri biodiesel nyamplung. Kebaruan ini termasuk kebaruan tipe-1 atau invention (Sukardi 2009).

Kajian ini juga menemukan bahwa pelibatan masyarakat desa sebaiknya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan pihak kehutanan dan penyuluhan di daerah. Temuan kedua yang mengedepankan pelibatan unsur daerah, menurut Sukardi (2009) merupakan kebaruan tipe-2 (improvement), yang menguatkan teori Patton and Miller (1993).

Menurut Sukardi (2009) keterkaitan silvoidustry sebagai bagian integral pembangunan di daerah merupakan kebaruan tipe-3 (refutation). Berdasarkan kriteria kebaruan yang harus fokus (specific), terdepan (advance), dan ilmiah (scholar) maka penelitian ini memenuhi ketiga kriteria tersebut. Fokus perhatian keahlian baru yaitu pada kebijakan pemberdayaan masyarakat untuk persoalan DME di daerah pesisir. Hal ini penting karena mengingat masih sangat terbatas penelitian yang mengkaitkan pemberdayaan dalam silvoindustri dan penyuluhan di daerah pesisir.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam menyusun konsep strategi penyuluhan pembangunan silvoindustri nyamplung berbasis masyarakat desa hutan di daerah pesisir. Kemudian melalui transferability; strategi penyuluhan pembangunan tersebut diharapkan dapat diimplementasikan di tempat lain, yang situasi kondisi geografis-ekologis-sosial-ekonominya mirip.

(26)

10

(self help) dan belajar terus menerus (life long learning) memenuhi kebutuhan hidupnya dengan efektif, efisien dan produktif sehingga lebih menguntungkan dan berkelanjutan. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan bagi pengambil keputusan di Kementerian Kehutanan, di Kementrian ESDM dan di Pemerintahan Daerah dalam merumuskan strategi penyuluhan pembangunan pengembangan energi alternatif dari bahan bakar nabati (BBN) khususnya Nyamplung, dengan didukung keterlibatan masyarakat desa hutan di daerah pesisir.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian perilaku (behavioral research) di bidang penyuluhan pembangunan, dengan fokus melakukan pengamatan terhadap perilaku individu dan perilaku masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan Desa Mandiri Energi (DME) Bahan Bakar Nabati (BBN) Nyamplung. Demplot DME berbasis biofuel nyamplung yang akan diteliti sudah berumur 2 tahun, akan tetapi silvoindustri biofuel nyamplung belum berkembang seperti yang diharapkan. Diduga terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan hal ini, salah satunya adalah faktor kesiapan dan kesediaan dari masyarakat Desa Buluagung dan Desa Patutrejo mengembangkan pengusahaan silvoindustri biofuel nyamplung setelah dibangunnya Demplot.

Pada penelitian ini dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang membentuk keterlibatan masyarakat untuk kemudian diuji hubungannya sehingga diperoleh pemahaman situasi yang lebih baik. Subyek penelitian ini adalah kelompok pemanfaat langsung (primary stakeholders/user groups) bahan bakar nabati nyamplung. Fokus Penelitian ini adalah mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi besaran keterlibatan masyarakat Desa Hutan di Buluagung dan di Desa Patutrejo dalam memenuhi kebutuhan energi secara mandiri, setelah dibangunnya Demplot DME Berbasis Nyamplung.

Pada penelitian sebelumnya Doni (2008) mengungkapkan keterlibatan masyarakat dalam program Keluarga Berencana (KB) misalnya, dapat menjadi contoh dari program pembangunan yang berhasil. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat sasaran telah mengetahui manfaat inovasi KB, memiliki kebutuhan nyata untuk memanfaatkan inovasi, dan adanya kesempatan untuk berpartisipasi. Pelibatan masyarakat yang dimaksud, terkait dengan perumusan kebijakan, strategi, dan teknik yang digunakan maupun kemudahan dalam perolehan aset.

Selanjutnya Utama (2010) menyampaikan bahwa rendahnya dinamika kelompok tani hutan dipengaruhi oleh (1) kurang efektifnya kepemimpinan kelompok, (2) kurang kondusifnya dukungan lingkungan terhadap peningkatan kehidupan petani hutan, dan (3) kurangnya kemampuan tenaga Mandor Perum Perhutani sebagai pendamping masyarakat.

(27)

11 Teori difusi inovasi sebenarnya didasarkan atas teori pada abad ke 19 dari seorang ilmuwan Perancis, Gabriel Tarde. Dalam bukunya yang berjudul “The

Laws of Imitation” (1930), Tarde mengemukakan suatu teori kurva S dari adopsi inovasi, dan pentingnya komunikasi interpersonal. Tarde juga memperkenalkan gagasan mengenai opinionleadership, yakni ide yang menjadi penting di antara para peneliti efek media beberapa dekade kemudian. Tarde melihat bahwa beberapa orang dalam komunitas tertentu merupakan orang yang memiliki ketertarikan lebih terhadap ide baru dan hal-hal teranyar, sehingga mereka lebih berpengetahuan dibandingkan dengan yang lainnya. Orang-orang ini dinilai bisa memengaruhi komunitasnya untuk mengadopsi sebuah inovasi.

Inovasi merupakan suatu ide, praktik, atau obyek yang dianggap baru oleh manusia atau unit adopsi lainnya. Teori ini meyakini bahwa sebuah inovasi terdifusi ke seluruh masyarakat dalam pola yang bisa diprediksi. Beberapa kelompok orang akan mengadopsi sebuah inovasi segera setelah mereka mendengar inovasi tersebut. Sedangkan beberapa kelompok masyarakat lainnya membutuhkan waktu lama untuk kemudian mengadopsi inovasi tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh sejumlah orang, maka hal itu dapat dikatakan exploded atau meledak.

Rogers (1983) dan sejumlah ilmuwan komunikasi dan pendidikan lainnya telah mengidentifikasi adanya 5 kategori pengguna inovasi:

1. Inovator: adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi.

2. Pengguna awal: adalah kelompok orang yang lebih lokal dibanding banyak opini kelompok inovator. Kategori adopter inovasi seperti ini menghasilkan lebih banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi baru.

3. Mayoritas awal: kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup bermanfaat.

4. Mayoritas akhir: kelompok yang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi suatu inovasi sebelum mereka mengambil suatu keputusan. Terkadang, tekanan dari anggota kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan faktor ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi.

(28)

12

memiliki pemikiran yang sama dengan pemikiran mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi baru lainnya, dan menganggap mereka sudah ketinggalan zaman.

Inovasi dapat berupa suatu gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu inovasi dianggap sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:

1. Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ”baru” dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.

2. Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenal-kan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.

3. Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.

4. Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1983) memiliki relevansi dan argumen yang cukup nyata dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang peubah yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Peubah yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents).

Lestari (1994) dalam disertasinya berjudul “Hubungan Status Sosial

(29)

13 Akshan (1998) dalam disertasinya berjudul “Proses Adopsi dan Difusi

Inovasi Pemberian Makanan Tambahan Bayi” mengungkapkan bahwa Penyuluh

dan ibu-ibu: (1) tidak melakukan penyesuaian inovasi Makanan Tambahan Bayi (MTB) terhadap situasi lapangan karena cukup mudah mempraktikannya, (2) saluran komunikasi antarpribadi berperan kuat pada seluruh tahapan proses adopsi difusi inovasi MTB sedangkan saluran bidan desa/penyuluh gizi berperan kuat sampai tahap berminat sedangkan saluran media massa berperan kuat hanya sampai pada tahap keputusan (3) Jenis-jenis informasi yang digunakan ibu-ibu dalam semua tahap proses adopsi inovasi MTB lebih bervariasi di pedesaan (4) tingkat adopsi difusi inovasi MTB secara nyata ditentukan oleh pendidikan, pendapatan rumah tangga, persepsi ibu-ibu tentang keterlibatan pemimpin masyarakat dan norma pangan masyarakat, sedangkan status pekerjaan, status keluarga dan sikap ibu-ibu terhadap pangan dan persepsi ibu tentang keinovatifan masyarakat secara nyata belum menunjukan pengaruhnya terhadap tingkat adopsi inovasi tersebut.

Fardiaz (2008) dalam tesisnya berjudul “Pengaruh Karakteristik Petani

terhadap Tingkat Pengambilan Keputusan Inovasi dalam Usaha Sayuran Organik” menyebutkan bahwa menurut petani responden bertani organik lebih menguntungkan daripada bertani secara konvensional, secara ekonomis juga menguntungkan, maupun secara praktis mekanismenya tidak terlalui rumit. Petani menunjukan respon positif terhadap inovasi.

Sanday (2011) menyimpulkan bahwa pendirian silvoindustri biodiesel nyamplung sebagai sumber energi alternatif pengganti atau adiktif BBM di Kabupaten Banyuwangi secara teknoekonomi potensial; dengan persyaratan kapasitas produksi 288.000 liter per tahun, margin 5 persen dan harga jual sebesar Rp. 6.500,- per liter, dan ditunjang hasil sampingan dari pemanfaatan limbah. Industri biodiesel nyamplung menjadi tidak layak apabila terjadi kenaikan harga bahan baku lebih dari 60 persen atau penurunan harga jual sebesar 20,8 persen.

Belum ada penelitian yang mengkaji secara khusus aspek keterlibatan masyarakat desa hutan dalam pembangunan DME BBN Nyamplung berkaitan dengan faktor penyediaan inovasi teknologi silvoindustri biofuel nyamplung, ada atau tidaknya program penyuluhan pembangunan, fasilitasi penyuluh dan tokoh masyarakat, kecepatan difusi adopsi inovasi teknologi biofuel nyamplung, serta ketersediaan sarana dan prasarana yang diperlukan.

Hasil analisis dari peubah-peubah bebas dan peubah tak bebas, kemudian disintesis menjadi konsep strategi penyuluhan dalam pembangunan silvoindustri biofuel Nyamplung yang merupakan kebaruan (novelty) dari penelitian ini. Dirancang pula dengan mengakomodasikan pandangan antroposentris kelompok masyarakat pemanfaat utama BBN nyamplung sebagai basis perekat dan rekayasa sosial terkait dengan pembangunan DME.

(30)

14

(31)

15

2 REVIEW KONSEP DAN PENELITIAN TERDAHULU

Beberapa konsep terkait teori keterlibatan masyarakat dan teori penyuluhan termasuk strateginya direview pada bab ini sebagai landasan berfikir dan merumuskan strategi. Hasil-hasil penelitian mengenai perkembangan bioenergi berbahan baku nyamplung juga dikemukakan pada bab ini.

Keterlibatan Masyarakat

Paradigma Pembangunan Kehutanan

Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan meletakkan paradigma baru pembangunan kehutanan, menggeser paradigma timber management atau dikenal sebagai perkebunan kayu menjadi paradigma forest resource management atau yang kemudian lebih dikenal sebagai forest ecosystem management. Sebagai model dikenal pula sebagai resource based management, yang bertumpu kepada forest community based development. Paradigma baru tersebut memberi peluang dan ruang gerak yang lebih luas kepada masyarakat desa hutan untuk terlibat mengelola dan memanfaatkan hasil hutan (Pusbinluhhut 2000).

Paradigma forest ecosystem management merupakan model pengelolaan hutan yang muthahir, yang muncul karena didorong oleh adanya perkembangan yang pesat ilmu lingkungan, ilmu sosial dan isu politik lingkungan yang sering disuarakan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hutan dipandang sebagai suatu sistem yang berkaitan antara sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem lingkungan. Oleh sebab itu, pengelolaan hutan hendaknya terkait dengan sistem lainnya, sehingga perencanaan yang hendak dilakukan mencakup perencanaan pembangunan wilayah. Pada tahap ini pengelolaan hutan semata-mata ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Implementasi paradigma baru pembangunan kehutanan tersebut dijabarkan secara luas dan menyeluruh, antara lain melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014. Pada Renstra tersebut ditetapkan visi Kementerian

Kehutanan dalam penyelenggaraan pembangunan kehutanan adalah “Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat yang Berkeadilan”, salah satu dari 6 Kebijakan Prioritas adalah Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan.

Partisipasi Masyarakat

Partisipasi disebut pula sebagai suatu disiplin baru dari administrasi pembangunan. Selener (1997) dalam Ife dan Tesoriero (2008), membedakan kategori partisipasi masyarakat menjadi empat katagori yaitu:

(1) sebagai domestikasi, kekuasaan dan kontrol kegiatan berada di tangan perencana, administrator, elit lokal, ilmuwan atau professional. Domestikasi diraih dengan teknik partisipasi semu yaitu dengan memanipulasi masyarakat melakukan kegiatan yang menurut anggapan dari pihak luar tadi sangat penting dan bukannya memberdayakan partisipannya,

(2) sebagai bantuan atau paternalism, kekuasaan dan kontrol tetap ada di tangan pihak luar atau elit. Partisipan menerima informasi, nasehat, bantuan, dan diperlakukan sebagai objek pasif yang tidak mampu mengambil peranannya.

(32)

16

Mereka hanya sekedar diberi informasi mengenai kegiatan, dan tidak mempengaruhi pengambilan keputusan atau kontrol mengenai manfaat, (3) sebagai kooperasi melibatkan masyarakat bekerjasama dengan pihak luar.

Keputusan diambil melalui dialog antara partisipan dan pihak luar. Partisipan aktif terlibat dalam pelaksanaan. Kekuasaan dan kontrol dipegang bersama, dari bawah ke atas (bottom up) dan tidak dari atas ke bawah (top-down), (4) sebagai pemberdayaan adalah pendekatan dimana masyarakat sepenuhnya

memegang kekuasaan dan kontrol program atau kelembagaan, berikut pengambilan keputusan dan administrasi.

Secara visual kategori partisipasi menurut Selener (1997) dalam Ife dan Tesoriero (2008) sebagaimana Gambar 3.

Manipulasi (manipulation)

Domestikasi (domestication)

Partisipasi Semu (pseudo-participation) Terapi

(theraphy) Informasi (informing)

Konsultasi (consultation)

Penentraman

(placation) Bantuan

(assistencialism) Kemitraan

(partnership) Delegasi Kekuasaan

(delegated power)

Ko-operasi

(cooperation) Partisipasi Asli (genuine participation) Kontrol Masyarakat

(citizen control)

Pemberdayaan (empowernment)

Sumber: D. Selener (1997) Gambar 3 Kategori Partisipasi Masyarakat

Isworo (2001) mengemukakan alasan pentingnya melibatkan masyarakat dalam pembangunan, sebagai berikut:

1. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir dari pembangunan, sehingga partisipasi masyarakat merupakan suatu dalil logis.

2. Parisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam pengambilan keputusan yang penting.

3. Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik bagi arus informasi tentang sikap, aspirasi dan kebutuhan serta kondisi daerah. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya suatu pembangunan.

4. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari di mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki.

5. Partisipasi memperluas zona (kawasan) penerimaan proyek pembangunan. 6. Partisipasi dapat memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada

masyarakat.

[image:32.595.76.484.0.810.2]
(33)

17 8. Partisipasi menyediakan lingkungan kondusif bagi aktualisasi potensi manusia

maupun bagi pertumbuhan manusia secara kualitatif.

9. Partisipasi merupakan suatu cara efektif untuk membangun kemampuan masyarakat agar lebih mampu mengelola pembangunan guna memenuhi kebutuhan khas daerah.

10.Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri.

Konsep partisipasi masyarakat telah menjadi lintasan sejarah panjang dari pembangunan di berbagai negara. Hal ini berarti pemerintah di berbagai negara telah menyadari akan pentingnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam implementasi kegiatan dan keberhasilan pembangunan; yang sekaligus menjadi jaminan bagi keberlangsungan manfaat pembangunan.

Terdapat dua pendapat yang berbeda dalam cara memandang partisipasi masyarakat namun saling melengkapi. Pertama, partisipasi dipandang sebagai suatu alat untuk meningkatkan efisiensi kegiatan pembangunan. Pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa apabila masyarakat dilibatkan, maka lebih besar peluangnya mereka akan sepakat dan memberikan dukungan serta dorongan kepada kegiatan pembangunan tersebut. Pandangan kedua, partisipasi dipandang sebagai hak rakyat. Tujuannya adalah untuk menginisiasi mobilisasi masyarakat menuju terciptanya aksi bersama, pemberdayaan masyarakat, pembangunan serta penguatan kelembagaan (Pretty 1995).

Adanya partisipasi semu (pseudo participation) sangat tidak dikehendaki dalam kegiatan pembangunan, oleh karena partisipasi semacam itu tidak akan memberi arti bagi masyarakat petani dalam memanfaatkan hasil pembangunan, dan berarti pula bahwa masyarakat petani di pedesaan tidak atau belum dapat diberdayakan dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya (Bappenas, 2003). Sebaliknya apabila partisipasi masyarakat petani sudah menunjukkan perubahan terhadap bentuk partisipasi sesungguhnya, yang dapat dibuktikan dengan hasil kajian sosial ekonomi melalui perolehan data kualitatif-deskriptif dari aktivitas dan perilaku masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa program pembangunan dengan partisipasi masyarakat petani sangat berkaitan.

Sampai saat ini belum ada definisi ideal mengenai apa yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pandangan para peneliti, akademisi dan praktisi mengenai partisipasi masyarakat dapat berbeda karena pemahaman partisipasi berkaitan dengan berbagai latar belakang ideologi yang berbeda. Secara harfiah kata partisipasi bermakna ikut serta, yang diambil dari

kata “take a part” atau “have a share” (Webster Dictionary 1997).

(34)

18

Apabila partisipasi masyarakat memperlakukan manusia sebagai tuan (subyek) dari pembangunan, maka kegiatan mobilisasi masyarakat cenderung memperlakukan manusia sebagai kuli (obyek) dari pembangunan; baik yang bersifat sosial, ekonomi maupun politik, dengan perkataan lain menganjurkan masyarakat sebagai tumbal pembangunan. Dalam konteks partisipasi masyarakat pedesaan, yaitu petani dan nelayan dalam pembangunan, adalah masalah sejauh manakah partisipasi itu dapat membawa perbaikan yang mendasar terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan menyangkut dua tipe yang prinsipnya berbeda (Koentjaraningrat, 1992), yaitu: (1) partisipasi dalam aktivitas bersama proyek pembangunan khusus, dan (2) partisipasi sebagai individu di luar aktivitas bersama dalam pembangunan. Pada tipe partisipasi pertama, masyarakat diajak, dipersuasi, diperintahkan dan atau dipaksa oleh penguasa untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tenaga atau hartanya kepada proyek pembangunan yang khusus, biasanya bersifat fisik. Apabila masyarakat ikut serta berdasarkan keyakinannya bahwa proyek akan bermanfaat baginya, mereka akan berpartisipasi dengan semangat dan dengan spontanitas yang besar, tanpa mengharap upah yang tinggi. Sebaliknya, jika masyarakat yang diperintah atau dipaksa oleh pengusaha untuk ikut menyumbangkan tenaga dan harta benda kepada proyeknya, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat kerja rodi. Pada tipe partisipasi kedua tidak ada proyek aktivitas bersama yang khusus, tetapi terdapat proyek pembangunan, yang biasanya tidak bersifat fisik dan memerlukan partisipasi masyarakat tidak atas perintah atau paksaan dari orang lain, tetapi atas dasar kemauan dari mereka sendiri.

Kadarsih (2010) menyampaikan, salah satu faktor penting yang menjadi kunci keberhasilan dari kegiatan rehabilitasi hutan adalah peran dan keterlibatan masyarakat sekitar hutan, mengingat bahwa upaya memelihara dan mengelola hutan secara efektif, efisien dan produktif hanya dapat dicapai jika masyarakat dan stakeholders lainnya telah memiliki informasi, pemahaman dan visi yang sama dalam mengelola sumberdaya hutan. Oleh karenanya pelibatan kelompok masyarakat lokal yang pernah mengikuti suatu kegiatan pembangunan, sangat diperlukan untuk keberlanjutan kegiatan rehabilitasi hutan yang terkait. Mereka tidak hanya telah membantu pada tahapan awal pembangunan, tetapi juga dapat diandalkan untuk mendukung kegiatan lanjutan dari proyek pembangunan rehabilitasi hutan.

Pembangunan Partisipatif Masyarakat

Menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat desa hutan berkaitan dengan pembangunan pedesaan, pada awalnya bukan suatu pekerjaan yang mudah karena menyangkut perubahan dari sikap mental dan budaya, yang kemungkinan sudah melembaga dalam masyarakat bersangkutan (Khairudin 1992). Berkenaan dengan hal tersebut, pendapat Ife dan Tesoriero (2008) dapat dipergunakan sebagai titik tolak bagaimanakah menggerakkan partisipasi masyarakat; dimana menggerakkan partisipasi masyarakat hendaknya dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut:

(35)

19 2. Kegiatan-kegiatan yang ditawarkan kepada masyarakat, oleh setiap anggota masyarakat dirasakan akan memberikan suatu perbedaan yang nyata bagi kehidupannya atau membawa perubahan yang lebih baik.

3. Apapun bentuk partisipasi dari setiap anggota masyarakat harus tetap diberi nilai apresiasi yang tinggi.

4. Tersedianya peluang atau kesempatan bagi setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi dan apapun bentuk partisipasi tersebut harus didukung.

5. Struktur dan proses kegiatan bukan merupakan sesuatu yang masih asing bagi anggota-anggota masyarakat. Artinya harus memiliki kompatibilitas yang tinggi dengan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

Hartoyo (1996) berpendapat bahwa implementasi dari suatu kegiatan, proyek dan atau program pembangunan yang keberhasilan dan keberlanjutan manfaatnya memerlukan adanya partisipasi masyarakat, haruslah memperhatikan adanya tiga hal penting sebagai berikut:

1. Adanya kegiatan yang dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat.

2. Kegiatan tersebut harus memiliki tujuan, yaitu menciptakan kehidupan yang lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.

3. Kegiatan tersebut sangat memerlukan partisipasi nyata seluruh masyarakat. Bentuk-bentuk partisipasi tersebut adalah kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai bentuk partisipasi antara lain: a) ikut mengajukan usul-usul mengenai suatu rencana kegiatan, b) ikut serta bermusyawarah dalam mengambil keputusan tentang alternatif program yang paling baik, c) ikut serta dalam melaksanakan apa yang telah diputuskan, termasuk memberi uraian, kritik atau sumbangan materiil, dan d) ikut serta memantau dan mengawasi kegiatan pelaksanaan keputusan yang telah ditetapkan (Hidayati, 2009).

Keberhasilan manajemen partisipasi juga ditunjukkan dalam penyuluhan pertanian di Iran. Hasil penelitian ini menunjukkan petani percaya bahwa tiga komponen manajemen partisipasi telah membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas, dan secara langsung berdasarkan statistik menunjukkan adanya hubungan antara ketiga komponen (manajemen partisipasi, penyuluhan pertanian, serta penyuluh). Selain itu hasil menunjukkan penyuluh percaya manajemen partisipasi lebih baik dari pendidikan individu. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penyuluh di Iran mendorong petani lebih besar dalam manajemen partisipasi dan juga, penyuluh memandang manajemen partisipatif sebagai gaya yang layak. Temuan menegaskan bahwa tinggi kualifikasi penting di manajemen partisipasi. Oleh karena itu, penyuluhan pertanian baik secara individu maupun dalam tim, adalah komponen penting yang baru bagi strategi perusahaan (Lawler, 1993).

(36)

20

demikian, kemitraan antara perencana, masyarakat setempat dan terkait langsung lembaga harus ditetapkan (Wannasilpa, 2011).

[image:36.595.88.484.242.624.2]

Pembangunan partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan agen perubahan dari luar (external change agent approach) dimana pendekatan umum dilakukan dengan melibatkan anggota masyarakat (community members) untuk membuat perubahan positif (positive change). Pada pendekatan ini pihak luar berperan sebagai: 1) pelatih. 2) organisator, maupun sebagai 3) katalisator sebagaimana pendekatan perbandingan yang dijelaskan Joshua Prokopy and Paul Castelloe (1999) (Tabel 2).

Tabel 2 Comparing and Constrasting Approach to Participatory Development Approach to

Participatory Development

General Approach to Development

External Change

Agent’s Role Indigenous Change Agent’s Role

Animation Rurale Indigenous change agent

receives training from external NGO

Trainer of Animators Indigenous change agent of Animator breath life into the community

External Change Agent Approach

External change agent works with community

members to “spark”

positive change

1) Trainer of change agents

2) Organizer 3) Catalyst of action

No specific indigenous worker identified; rather, external agent works with groups in the community which then produce grassroots leaders and active citizens.

Participatory Rural Appraisal (PRA)

Collaborative research for action by indigenous and external change agents

Collaborative researcher and catalyst of

community action

Indigenous change agents become: 1)Co-researchers 2)Co-planners 3)Grassroots leaders

Popular Education Participatory learning and action

1) Co-learners 2) Co-teachers 3) Co-planners 4) Grassroots leaders

Indigenous change agents become: 1)Co-learners 2)Co-teachers 3)Co-planners 4)Grassroots leaders

Participatory Research

Collaborative research and action for change

Popular educator, and co-laborer in collaborative or participatory research Indigenous change agents become: 1)Co-researcher 2)Co-planner 3)Grassroots leaders

Community Organizing

External change agents organizes positive change effort

1) Organizer 2) Advocate 3) Trainer

4) Catalyst of action

Indigenous change agents become: 1)Grassroots leaders 2)Active citizens

Source: Prokovy and Castelloe , 1992.

Pemberdayaan Masyarakat

(37)

21 mencapai hubungan terminal, agar klien tidak tergantung agen pembaharu dan percaya diri (Rogers dan Shoemaker, 1981).

Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan masyarakat lebih berdaya, berkekuatan dan berkemampuan. Kaitannya dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo (1999) menyatakan terdapat beberapa ciri warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan kedepan), (2) mampu mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memi-liki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (5) bertanggung jawab atas tindakannya.

Kemandirian masyarakat dapat terbentuk melalui alur proses dan siklus pemberdayaan tertentu. Honadle dan Vant (2006) memberikan gambaran suatu alur proses dan siklus pemberdayaan dari masyarakat setempat menuju kepada kemandirian di tingkat komunitas (Gambar 4). Komunitas dapat diberdayakan dengan pemberian stimulus dari kombinasi sumber daya eksternal dan sumber daya internal, disampaikan sampai masyarakat berkemampuan untuk melakukan aktivitas yang dapat dikuasainya.

Berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan masyarakat, pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok maupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat mendorong individu, kelompok dan komunitas untuk menentukan sendiri apa yang akan dilakukan dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya sehingga muncul kesadaran dan kekuasaan penuh dalam membentuk masa depannya.

Konsep pemberdayaan telah diterima secara meluas dan dipergunakan dalam banyak kegiatan pembangunan di negara kita, tentu saja dengan pengertian dan persepsi yang berbeda satu dengan yang lain. Konteks lahirnya konsep pemberdayaan masyarakat adalah sebagai jawaban atau reaksi terhadap teori-teori pembangunan yang tidak berpihak kepada kaum lemah, miskin dan tidak berdaya. Konsep pemberdayaan masyarakat sesungguhnya berusaha

Gambar

Tabel 1   Dugaan Luasan Tegakan Hutan Nyamplung di Indonesia
Gambar 2   Grafik Sebaran Tegakan Nyamplung di Indonesia
Gambar 3   Kategori Partisipasi Masyarakat
Tabel 2   Comparing and Constrasting Approach to Participatory Development
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun diantara kedua bangsa mempunyai pola pertumbuhan yang relatif sama, namun pada estimasi geometri terdapat perbedaan pada kedua spesifikasi

Pembuatan gula tumbu dengan metode fosfatasi pada semua perlakuan dalam penelitian ini menghasilkan kadar sukrosa yang tidak berbeda secara nyata dan berada

Agnes kekasih Afgan merasa tidak terima dengan pengkhianatan yang telah Afgan lakukanK. Agnes menilai perlakukan Afgan terlalu

Ukuran yang telah ditetapkan untuk purse seine bertali kerut dengan alat bantu penangkapan ikan (rumpon atau cahaya) dan ikan target tongkol atau cakalang memiliki panjang

Penduduk menyerahkan Kartu Keluarga kepada bagian administrasi , kemudian bagian administrasi melakukan pembuatan Surat Keterangan Berkelakuan Baik sesuai dengan

Suatu penelitian telah dilakukan di stasion perubahan Balai Penelitian Ternak, Ciawi untuk mengamati aktivitas reproduksi (birahi, ovulasi, kadar hormon progesteron dan

Sistem pendukung keputusan dapat digunakan untuk menentukan tenaga kerja dengan menerapkan metode SAW (Simple Additive Weighting), dengan cara mencari penjumlahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kualitas sistem informasi dan kualitas informasi mempunyai pengaruh positif secara tidak langsung terhadap kinerja perusahaan