1
THE NEUROMUSCULARELECTRICAL NERVE STIMULATION (NMES)
EFFECTS ON ATLETE’S PHYSICAL PERFORMANCE OF PENCAK SILAT
Totok Budi S, Hadi M, Wahyuni
Physical Therapy Department of Health Sciences Faculty- Muhammadiyah University of Surakarta, Central Java-Indonesia. Email:totokbudis@yahoo.com
SUMMARY
Background
One of the key to successful of coaching athletes are include development of physical and mental in competition. The development of physical consits of endurance abilities, muscle strength, velocity or speed, explosive muscle, agility, flexibility and also balance. The importance of the function of muscle strength in the sport among athletes are to enhance performance and prevent any risk of injury associated with the competition in a game. In Indonesia, NMES has long been used to supplement voluntary muscle contraction in many rehabilitation setting, for example muscle strengthening, maintanance muscle mass and strength during immobilitation. But there is not know whether NMES can be used to increase muscle strength on competitive athletes in sport.
Purpose
To investigate of a 4-weeks NMES training program between two methods; muscle group method and nerve trunk one on the athlete physical performance of pencak silat.
Method
Quasy experiment with pre and post test without control group design. The applications of NMES sessions were carried out 3 times weekly; each sessions consisted of 10 minutes electrical stimulation. Testing was carried out before and after the NMES training program. Data Analysis by SPSS V 16.00 for windows. Handgrip dinamometer and leg dinamometer was used as instrument.
Results
After 4 weeks, there were improvements on athlete physical performance of pencak silat. The improvement on group muscle method consisted of 1) arm muscle power, 2) tigh muscle power, 3)hand-eye coordination, 4) sutle run velocity. While the improvement on nerve trunk method’s group consisted of; 1) arm muscle strength, 2) arm power, 3)hand-eye coordination, 4)foot-eye coordination. NMES can induce motor unit recruitment by non selective so that there is increasing the sum of motor unit recruitment when muscle actively contrax. NMES can activate fast motor units at low force levels. It can improve muscle strength, but final results differ according to the muscle status. For healthy muscle NMES is effective but not more than voluntary training. For impaired muscle, NMES can be more effective than voluntary training. For athetes, NMES is effective for increasing general not necessarily specific strength. The performance of complex movements requiring high levels of neuromuscular coordination can only be obtained if NMES is used in conjuction with voluntary exercise.
Conclusions
3
RINGKASAN
PENERAPAN NEUROMUSKULAR ELECTRICAL STIMULATION (NMES) PADA LATIHAN PENCAK SILAT TERHADAP PENINGKATAN KINERJA PADA ATLET
PPLP DAN PPLM PENCAK SILAT JAWA TENGAH Totok Budi S, Hadi M, Wahyuni
Latar Belakang
Salah satu kunci sukses dalam pembinaan atlet olahraga adalah pengembangan kemampuan fisik dan mental dalam menghadapi kompetisi. Pengembangan kemampuan fisik termasuk di dalamnya kemampuan daya tahan, kekuatan, daya ledak otot, kecepatan, kelincahan, dan keseimbangan. Hal ini penting dilakukan disamping untuk meningkatkan kinerja atlet namun juga untuk mencegah cidera dalam pertandingan. Di Indonesia, pemanfaatan rangsangan lisrik untuk meningkatkan kekuatan otot, memelihara sifat fisiologis otot selama masa immobilisasi sudah sering dilakukan pada pasien di berbagai klinik rehabilitasi. Namun pemanfaatan rangsangan listrik di dunia keolahragaan belum nampak.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan stimulasi elektris NMES pada peningkatkan kinerja atlet pencak silat.
Metode
Penelitian menggunakan metode Quasi Experiment. Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan program SPSS Windows versi 16.0 Analisis data dengan uji Wilcoxon dan uji Mann Whitney. Hasil perlakuan dan kaitan pengaruhnya diketahui dengan menguji perbedaan inter dan antar kelompok.
Hasil
Penemuan utama dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian neuromuskular electrical stimulation (NMES) selama 4 minggu dengan frekuensi 3 kali per minggu mendampingi latihan rutin atlet pencak silat yang dilakukan dengan metode group otot mampu meningkatkan kinerja atlet secara signifikan berupa: 1) daya ledak lengan; 2) daya ledak tungkai; 3) koordinasi mata- tangan; 4)kecepatan shutle run, kecuali pada variabel kekuatan lengan, kekuatan tungkai dan koordinasi mata-kaki. Sedangkan pemberian NMES dengan metode nerve trunk mampu meningkatkan kinerja atlet secara signifikan berupa: 1) kekuatan otot lengan; 2) power lengan; 3) koordinasi mata-tangan; 4) koordinasi mata-kaki, kecuali pada kekuatan tungkai, daya ledak tungkai dan kecepatan shutle run.
Kesimpulan: Pemberian Neuromuskular elektrical stimulasi (NMES) mendampingi latihan
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Prestasi pencak silat Indonesia akhir-akhir ini mengalami kemunduran yang
cukup berarti. Hal ini sesuai realita yang ada pada Kejuaraan Internasional Pencak
Silat Tahun 2002 di Penang, Malaysia, yang semula mampu mendulang medali emas
kurang lebih 80-90 % (9- 11 medali emas) sekarang hanya mampu kira-kira 50 % (6
medali emas) saja. Keberhasilan pembinaan atlet yang benar akan meningkatkan
prestasi atlet. Pembinaan atlet pencak silat mencakup pembinaan fisik dan pembinaan
mental pesilat. Pembinaan fisik dalam mendukung prestasi ditekankan pada
kemampuan-kemampuan daya tahan (endurance), kekuatan otot (muscle strenght),
kecepatan (speed), daya ledak otot (muscle explosive power), ketangkasan (agility),
kelentukan (flexibility), keseimbangan (balance).
Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan kinerja atlet pencak silat.
Latihan konvensional yang sering dilakukan pada latihan pencak silat pada setiap
padepokan atau perguruan pencak silat. Salah satu cara meningkatkan kinerja dapat
dengan cara pemberian stimulasi elektris (Kuprian, 1981; Low, 2000).
Memperhatikan hal tersebut, Fisioterapi yang bertugas menjaga lingkup gerak dan
fungsi tubuh mengambil peranan dalam peningkatan kekuatan otot dengan
menggunakan modalitas yang dimiliki Fisioterapi seperti stretching dan aplikasi
Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES).
B. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Untuk mengetahui pengaruh penerapan stimulasi elektris NMES pada peningkatkan
2 Tujuan Khusus:
Untuk mengetahui perbedaan antara penerapan NMES menggunakan metode grup
otot dengan metode nerve trunk terhadap kinerja atlet pencak silat.
C. Keutamaan Penelitian
Pentingnya fungsi dari kekuatan otot dalam olahraga pencak silat untuk
mencegah adanya risiko terjadinya cidera dan terkait dengan suatu kompetisi
pertandingan pencak silat, hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk
melakukan penelitian ini. Kombinasi stretching dan NMES pada kelompok otot
diharapkan dapat meningkatkan kekuatan otot.
Pada umumnya Stretching adalah suatu bentuk latihan fisik di mana otot
rangka tertentu atau kelompok otot sengaja diulur dalam meningkatkan elastisitas
otot, meningkat kontrol otot dan lingkup gerak sendi. Stretching dianggap faktor
penting dalam mengurangi risiko cidera, serta rehabilitasi otot dan pengembangan
performance atlit yang lebih baik (Maciel and Camara, 2008). Di sisi lain diketahui
bahwa stretching perlu dilakukan sebagai relaksasi awal untuk persiapan melakukan
kontraksi otot maksimal. Ketika otot di stretching, beberapa dari serat otot
memanjang, tapi serat lain mungkin tetap diam. Banyaknya serat otot yang ikut
memanjang inilah yang mempengaruhi terjadinya kontraksi otot maksimal
(Appleton, 2008). Dalam penelitiannya, Nelson et al (2005) menemukan korelasi
antara stretching dan pengaruhnya terhadap kekuatan otot.
Terdapat cara lain untuk meningkatkan kekuatan otot yaitu dengan
menggunakan Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES) yang merupakan satu
dari sekian banyak modalitas yang digunakan oleh profesi Fisioterapi di Indonesia.
NMES adalah aplikasi dari stimulasi listrik untuk sekelompok otot. NMES biasanya
digunakan oleh Fisioterapis sebagai bentuk rehabilitasi otot atau kejadian lain yang
mengakibatkan hilangnya fungsi otot. NMES dapat digunakan untuk memperkuat
3 peningkatan kekuatan otot dengan menggunakan NMES cenderung lebih optimal
pada kondisi non patologis , disbanding kondisi patologis (Adel dan Luykx, 1990).
NMES digunakan untuk memperkuat otot yang sehat atau untuk
mempertahankan massa otot. NMES menggunakan arus listrik yang menyebabkan
satu atau kelompok otot tertentu berkontraksi. Kontraksi otot dengan menggunakan
electrical stimulasi ini dapat meningkatkan kekuatan otot (Laura, 2008). Penelitian
Romero et al (1982), stimulasi kelompok otot quadriceps femuris bilateral pada 18
wanita remaja (9 orang sebagai kelompok eksperimental dan 9 orang lagi sebagai
kelompok kontrol). Stimulasi listrik bergelombang faradik pada 2000 pps dengan 4
detik istirahat, durasi 15 menit dari rangsangan listrik yang diberikan selama jangka
waktu 5 minggu didapatkan hasil kekuatan isometrik naik 31% di kaki non-dominan
dan 21% di kaki dominan (P < 0,05). Pada kelompok kontrol tidak ditemukan
signifikasi berbeda antara pre-post test.
Dalam otot normal, stimulasi elektris membangkitkan kontraksi dengan
eksitasi saraf motorik bukan eksitasi otot secara langsung. Serat saraf motoris normal
hanya memerlukan durasi pulsa pendek untuk bisa mengalami eksitasi atau
depolarisasi, sedangkan tanggap rangsang otot membutuhkan durasi pulsa yang jauh
lebih panjang (Scott et al, 2009). Selanjutnya Holcomb (2006), menunjukkan bahwa
induksi dari kontraksi yang dihasilkan oleh NMES pada saraf motorik dapat
meningkatkan jumlah rekruitmen motor unit. Dia berteori bahwa jika semua motor
unit direkrut, otot dapat melakukan kontraksi maksimal, dan bahwa dengan sesi
pelatihan dari NMES otot akan meningkatkan ketegangan dan mengembangkan
kapasitas kekuatan Ini sejalan dengan pendapat Laura (2008) yang menyatakan
bahwa kontraksi otot yang dihasilkan oleh stimulasi elektris dapat meningkatkan
kekuatan otot. Pemberian NMES melalui elektroda yang menempel langsung pada
kulit dan utamanya pada motor point dari otot-otot yang dirangsang bekerja meniru
impuls potensial aksi yang berasal dari sistem saraf pusat (Currier, 1991). Hal ini
4 Untuk itu perlu dikembangkan penerapan teknologi olahraga berupa stimulasi
elektris. Pendekatan ini dengan tehnik khusus yang mempertimbangkan aspek
anatomi, neurofisiologi, biolistrik dan biomekanika untuk mendukung kapasitas fisik
atlet dalam memperbaiki prestasi. Untuk itu melalui penelitian ini diharapkan dapat
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Pencak silat
Pencak silat sebagai salah satu seni budaya yang diwariskan oleh nenek
moyang bangsa Indonesia telah menyebar ke seluruh pelosok dunia (Maryun
Sudirohadiprojo, 1982; Sucipto, 2001: 27). Bahkan telah dipertandingkan dalam
even-even olahraga baik tingkat nasional, regional maupun tingkat internasional,
seperti PON, SEA GAMES dll.
Ada beberapa pengertian tentang pencak silat diantaranya, menurut pendapat
Abdus Syukur (Maryono, 1998) menyatakan bahwa pencak adalah gerak langkah
keindahan dengan menghindar, yang disertakan gerakan berunsur komedi. Pencak
dapat dipertontonkan sebagai sarana hiburan. Sedangkan, silat adalah unsur teknik
beladiri menangkis, menyerang dan mengunci yang tidak dapat diperagakan di depan
umum.
Sedangkan menurut Mr. Wongsonegoro ketua IPSI yang pertama mengatakan
bahwa: pencak adalah gerakan serang bela, berupa tari dan berirama dengan peraturan
adat kesopanan tertentu, yang bisa dipertunjukan di depan umum. Silat adalah inti
dari pencak, yakni kemahiran untuk perkelahian atau membela diri mati-matian yang
tidak dapat dipertunjukan di depan umum.
Pada akhirnya, PB IPSI beserta BAKIN pada tahun 1975 mendefinisikannya
sebagai berikut: Pencak silat adalah hasil budaya Indonesia untuk membela,
mempertahankan eksistensi (kemandirian) dan integritasnya (kemanunggalan)
terhadap lingkungan hidup/alam sekitarnya untuk mencapai keselarasan hidup guna
6
B. Jenis Gerakan dan Komponen fisik pada Pencak Silat Kategori Tanding
Pada pencak silat kategori tanding jenis gerakan mencakup tendangan,
pukulan, hindaran, tangkisan, bantingan/jatuhan. Dari berbagai jenis gerakan unsur
fisik yang terlibat adalah kecepatan, kekuatan, kelentukan, kelincahan dan ketepatan.
Sedangkan menurut Engkos Kosasih (1993: 54) komponen fisik yang diperlukan
pada cabang olahraga pencak silat adalah pada bahu memerlukan kekuatan otot, daya
tahan otot, agilitas dan kelentukan, pada punggung memerlukan kekuatan otot, pada
dada memerlukan kekuatan otot, daya tahan otot, pada lengan memerlukan kekuatan
otot, daya tahan otot, agilitas dan kelentukan serta power, pada tungkai memerlukan
kekuatan otot, daya tahan otot, agilitas dan kelentukan serta power.
C. Kinerja Fisik Dalam Pencak Silat
Pembinaan atlet yang benar akan meningkatkan prestasi atlet. Pembinaan atlet
pencak silat mencakup pembinaan fisik dan pembinaan mental pesilat. Pembinaan
fisik dalam mendukung prestasi ditekankan pada kemampuan-kemampuan daya tahan
(endurance), kekuatan otot (muscle strenght), kecepatan (speed), daya ledak otot
(muscle explosive power), Ketangkasan (agility), Kelentukan (flexibility),
keseimbangan (balance) (Joko Subroto, 1994; Suharno, 1985: 24; Iwan Setiawan,
1991: 112). Keterpaduan kemampuan-kemampuan yang dimiliki pesilat akan
mempengaruhi ketercapaian target prestasi. Target prestasi pesilat mencakup
perpaduan dari kemampuan elakan/tangkisan, pukulan, tendangan, teknik
menjatuhkan dan teknik penguncian dalam menghadapi lawan tanding di arena
pertandingan.
D. Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES)
Upaya peningkatan kekuatan otot pada olahragawan atau atlet yang biasa
dilakukan umumnya dalam bentuk latihan resistensi. Memperhatikan hal tersebut,
Fisioterapi yang bertugas menjaga lingkup gerak dan fungsi tubuh mengambil
7 dimiliki Fisioterapi seperti stretching dan aplikasi Neuromuscular Electrical
Stimulation (NMES).
Umumnya Stretching adalah suatu bentuk latihan fisik di mana otot rangka
tertentu atau kelompok otot sengaja diulur dalam meningkatkan elastisitas otot,
meningkat kontrol otot dan lingkup gerak sendi. Stretching dianggap faktor penting
dalam mengurangi risiko cidera, serta rehabilitasi otot dan pengembangan kinerja
atlet yang lebih baik (Maciel and Camara, 2008). Di sisi lain diketahui bahwa
stretching perlu dilakukan sebagai relaksasi awal untuk persiapan melakukan
kontraksi otot maksimal. Ketika dilakukan stretching pada otot, beberapa dari serat
otot memanjang, tapi serat lain mungkin tetap diam. Banyaknya serat otot yang ikut
memanjang inilah yang mempengaruhi terjadinya kontraksi otot maksimal(Appleton,
2008). Dalam penelitiannya, Nelson et al (2005) menemukan korelasi antara
stretching dan pengaruhnya terhadap kekuatan otot.
Cara lain untuk meningkatkan kekuatan otot adalah menggunakan
Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES) yang merupakan satu dari sekian
modalitas yang digunakan oleh profesi Fisioterapi di Indonesia. NMES digunakan
untuk memperkuat otot yang sehat atau untuk mempertahankan massa otot. NMES
menggunakan arus listrik yang menyebabkan satu atau kelompok otot tertentu
berkontraksi. Kontraksi otot dengan menggunakan stimulasi elektris ini dapat
meningkatkan kekuatan otot (Laura, 2008). Penelitian Romero et al (1982),
memberikan stimulasi elektris pada kelompok otot quadriceps femuris bilateral pada
18 wanita remaja (9 orang sebagai kelompok eksperimental dan 9 orang lagi sebagai
kelompok kontrol). Stimulasi elektris bergelombang faradik pada 2000 pps dengan 4
detik istirahat, durasi 15 menit dari rangsangan listrik yang diberikan selama jangka
waktu 5 minggu didapatkan hasil kekuatan isometrik naik 31% di kaki non-dominan
dan 21% di kaki dominan (P<0,05). Pada kelompok kontrol tidak ditemukan
signifikasi berbeda antara pre-post test.
Pentingnya fungsi dari kekuatan otot dalam olahraga pencak silat untuk
8 pertandingan pencak silat, hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk
melakukan penelitian ini. Kombinasi stretching dan NMES pada kelompok otot
diharapkan dapat meningkatkan kekuatan otot. Neuromuscular Electrical Stimulation
(NMES) merupakan satu dari sekian banyak modalitas yang digunakan oleh profesi
Fisioterapi di Indonesia. NMES adalah aplikasi dari stimulasi listrik untuk
sekelompok otot. NMES biasanya digunakan oleh Fisioterapis sebagai bentuk
rehabilitasi otot atau kejadian lain yang mengakibatkan hilangnya fungsi otot
(Palmieri et al, 2010). NMES dapat digunakan untuk memperkuat otot yang sehat
atau normal untuk mempertahankan massa otot (Batey, 2006). peningkatan kekuatan
otot dengan menggunakan NMES cenderung lebih optimal pada kondisi non
patologis , dibanding kondisi patologis (Adel dan Luykx, 1990).
Dalam otot normal, stimulasi listrik membangkitkan kontraksi dengan eksitasi
saraf motorik bukan eksitasi otot secara langsung. Serat saraf motoris normal hanya
memerlukan durasi pulsa pendek untuk bisa mengalami eksitasi atau depolarisasi ,
sedangkan tanggap rangsang otot membutuhkan durasi pulsa yang jauh lebih panjang
(Scott et all, 2009). Holcomb (2006) menunjukkan bahwa induksi dari kontraksi yang
dihasilkan oleh NMES pada saraf motorik dapat meningkatkan jumlah rekruitmen
motor unit. Dia berteori bahwa jika semua motor unit direkrut, otot dapat melakukan
kontraksi maksimal, dan bahwa dengan sesi pelatihan dari NMES otot akan
meningkatkan ketegangan dan mengembangkan kapasitas kekuatan. Ini sejalan
dengan pendapat Laura (2008) yang menyatakan bahwa kontraksi otot yang
dihasilkan oleh stimulasi elektris dapat meningkatkan kekuatan otot. Pemberian
NMES melalui elektroda yang menempel langsung pada kulit dan utamanya pada
motor point dari otot-otot yang dirangsang bekerja meniru impuls potensial aksi
yang berasal dari sistem saraf pusat. Hal ini penting sebagai teknik pelengkap bagi
pelatihan olahraga. Stimulasi NMES dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan
sebuah perubahan dalam distribusi serat otot. Terjadinya perubahan terutama
tergantung pada frekuensi yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi motor neuron
9 Dengan kata lain, distribusi serat otot akan beradaptasi dengan fungsi tersebut jika
otot digunakan. Leiber (1992) menunjukkan bahwa otot tipe II/fast twitch dapat
diubah menjadi otot tipe I/slow twitch dengan stimulasi listrik 10Hz. Perubahan
dimulai dengan peningkatan persentase dari mitokondria, aktivitas enzim oksidatif,
kapiler per milimeter persegi, total dan konsumsi aliran darah.
Salah satu arus listrik yang digunakan dalam NMES dengan menggunakan
Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS). Jenis arus TENS untuk
menghasilkan kontraksi otot dibutuhkan fase durasi dan frekuensi yang tepat. Durasi
tahap ini biasa dipergunakan 100-150 μS. Frekuensi dapat disesuaikan menurut jenis
jaringan otot (phasic atau tonik). Frekuensi yang diperlukan oleh sebuah otot atau
grup otot untuk dapat menghasilkan kontraksi tetanik sebagaimana yang terjadi dalam
kontraksi fisiologis dikenal sebagai critical fusion frequency (CFF) yang besarnya
tergantung dari lokasi/regio kelompok otot dan atau jenis otot yang besangkutan yaitu
fasik atau tonik. Untuk otot fasik rentang CFF antara 30 Hz – 100 Hz. Secara umum
frekuensi 50 Hz dapat dipilih untuk menghasilkan kontraksi tetanik yang nyaman
(Adel dan Luykx. 1990). TENS pola Burst mengaktifasi serabut G III, A delta
ergoseptor yang dapat menimbulkan kontraksi otot-otot fasik yang berakhir pada
aktifasi saraf berdiameter kecil non noksius. Intensitas/amplitudo sampai timbul
kontraksi yang nyata yang besaran kontraksinya tergantung dari kondisi otot serta
tujuan pemberian NMES. Sebagai contoh untuk mengoreksi sub-luksasi bahu yang
terjadi NMES diaplikasikan pada otot deltoid posterior dan supraspinatus dengan
durasi 100 – 200 μS dan intensitas yang besarannya sampai menimbulkan kontraksi
otot setara dengan nilai 2 atau 3 dalam Manual Muscle Testing (MMT) sehingga
dihasilkan kontraksi otot fasik yang cukup kuat tetapi nyaman (Parjoto, 2006). Pada
penelitian ini yang akan digunakan adalah jenis arus TENS dengan durasi 100-150 μs, frekuensi 30 Hz – 100 Hz, intensitas kontraksi otot setara dengan nilai 2 atau 3 dalam MMT sehingga dihasilkan kontraksi otot yang cukup kuat tetapi nyaman
10
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain/rancangan penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Quasi Experiment atau eksperimen semu (Pratiknya, 2001). Desain penelitian
dengan pendekatan secara two group with pre and post test design dengan
membandingkan antara kelompok satu dengan perlakuan penambahan NMES
dengan aplikasi origo-insersio (grup otot) dengan kelompok dua dengan NMES
dengan aplikasi nerve trunk.
Rancangannya adalah:
O1 X1 O2
O1 X2 O2
Keterangan:
O1 = nilai kinerja atlet sebelum intervensi
O2 = nilai kinerja atlet setelah intervensi
X1 = perlakuan 1 (NMES metode grup otot)
X2 = perlakuan 2 (NMES metode nerve trunk)
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di PPLP dan PPLM Pencak silat, di
Surakarta, Jawa Tengah. Adapun pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada
periode Juli 2011- Januari 2012.
C. Subyek penelitian
Sebagai subyek adalah seluruh atlet PPLP, dan PPLM Pencak Silat Jawa Tengah
yang mengikuti program pemusatan latihan pada tahun 2011. Jumlah subyek
11
D. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam peneitian ini terdiri atas alat stimulasi elektris NMES seri
Inwubums,, alat pengukur kinerja atlet mencakup kekuatan otot lengan, tungkai
dengan hand grip dinamometer dan leg dynamometer, daya ledak otot dengan bola
medicine dan vertical power jump, kecepatan dengan shutle run, kecepatan reaksi
dengan koordianasi mata -tangan dan mata – kaki dengan bola basket, dan bola sepak.
E. Pengumpulan data
1) Persiapan Subyek Penelitian
Sebelumnya seluruh subjek dilakukan tes sensibilitas halus-kasar dan
tajam-tumpul menggunakan air panas/dingin dan jarum bundel. Setelah
itu informasikan pada sampel gambaran tentang rasa yang ditimbulkan
oleh alat NMES.
2) Prosedur Pelaksanaan pemberian NMES
Peneliti membasahi semua elektroda dengan air. Kemudian memasang
elektroda positif di perut otot (origo) kelompok grup fleksor ektremitas
atas dan bawah, sedangkan elektroda negatif di tendon (insertion) lalu
difiksasi atau diikat dengan perekat agar elektrodanya tidak bergeser.
adalah jenis arus Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)
dengan durasi 100-150 μs, frekuensi 30 Hz–100 Hz, intensitas kontraksi
otot setara dengan nilai 2 atau 3 dalam MMT sehingga dihasilkan
kontraksi otot yang cukup kuat tetapi nyaman dengan waktu pemberian
selama 10 menit. Jika waktu terapi telah habis maka intensitas
diturunkan dan semua elektroda dilepas lalu alat dimatikan.
F. Jadwal pengambilan data
Pelaksanaan penelititan ini dimulai dengan pengisian formulir questioner
yang berisi pernyataan tentang aktifitas fisik dari sampel, dilanjutkan pengukuran
12
G. Teknik Analisis Data
Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan program SPSS
Windows versi 16.0 Analisis data dengan uji Wilcoxon dan uji Mann Whitney.
Hasil perlakuan dan kaitan pengaruhnya diketahui dengan menguji perbedaan
inter dan antar kelompok. Untuk mengetahui peningkatan atau kemajuan dengan
mean diferrent. Batas kemaknaan hasil uji statistik adalah p =0.05 (5%) Bila nilai
p>0.05 artinya tidak bermakna, bila nilai p<0.05 artinya bermakna secara
statistik.
No. Kegiatan Bulan ke-
1 2 3 4 5 6
1. Persiapan awal penelitian:
a. Edukasi atlet
b. Inform concent
c. Pre-test
X
2. Pengumpulan data penelitian:
a. pemberian NMES
b. post-test
X
X X
X
3. Pengolahan data X
13 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil dan Analisis Penelitian 1. Deskripsi Data
Didapatkan 15 atlet laki-laki sebagai subyek penelitian yang memenuhi kriteria
penerimaan penelitian. Selanjutnya dilakukan pemilihan secara purposive menjadi 2
kelompok perlakuan. Kelompok I merupakan kelompok atlet PPLP dengan pemberian
stimulasi elektris metode group otot atau metode origo insersio, sedangkan kelompok II
merupakan kelompok atlet PPLM/Pelatda dengan pemberian stimulasi elektris metode
nerve trunk. Kelompok I berjumlah 8 atlet, untuk kelompok II berjumlah 7 atlet.
Pemberian perlakuan stimulasi elektris selama 4 minggu, dengan frekuensi
seminggu 3 kali. Diawal diberikan pre test dan setelah 4 minggu diberikan post test.
Pada tahap berikutnya dilakukan analisis data. Dari 8 atlet pada kelompok I semua dapat
dilakukan analisis data, sedangkan pada kelompok II dari 7 atlet semua juga dapat
dilakukan analisis data.
2. Karakteristik Subyek Penelitian
Dari 15 atlet subyek penelitian diperoleh karakteristik subyek penelitian sebagai
berikut: rata umur: 19.93 (berkisar: 16 sampai 26), dengan simpangan baku: 3.58,
Rata-rata Berat badan: 56.77 (berkisar: 42 sampai 70), dengan simpangan baku: 8.27, Rata-Rata-rata
Tinggi badan: 167.87 (berkisar: 157 sampai 179), dengan simpangan baku: 6.60, Rata-rata
IMT: 20.05 (berkisar: 16.20 sampai 22.65), dengan simpangan baku: 1.96, Rata-rata pre test
kekuatan otot lengan: 32.40 (berkisar: 18 sampai 47), dengan simpangan baku: 8.03,
Rata-rata pre test kekuatan otot tungkai: 98.87 (berkisar: 51 sampai 140), dengan simpangan baku:
25.16, Rata-rata Pre test power lengan: 7.93 (berkisar: 6.7 sampai 9), dengan simpangan baku
: 0.84, Rata-rata Pre test power tungkai:55.87 (berkisar: 47 sampai 67), dengan simpangan
baku: 5.74, Rata-rata Pre test koordinasi mata-tangan: 38.00 (berkisar: 30 sampai 45), dengan
simpangan baku: 3.95, Rata-rata pre test Koordinasi mata-kaki : 16.07 (berkisar: 12 sampai
19), dengan simpangan baku: 1.91, Rata-rata pre test Shutle run: 8.74 (berkisar: 8.39 sampai
14 Sedangkan rata-rata post test kekuatan otot lengan: 34.53 (berkisar: 20 sampai 52),
dengan simpangan baku: 9.62, Rata-rata post test kekuatan otot tungkai: 105.67 (berkisar: 35
sampai 220), dengan simpangan baku: 43.28, Rata-rata Post test power lengan: 8.74 (berkisar:
6.8 sampai 10), dengan simpangan baku: 0.95, Rata-rata Post test power tungkai: 57.60 (berkisar:
34 sampai 70), dengan simpangan baku: 9.53, Rata-rata Post test koordinasi mata-tangan: 45.13
(berkisar: 32 sampai 57), dengan simpangan baku: 6.94, Rata-rata post test Koordinasi
mata-kaki: 18.27 (berkisar: 14 sampai 23), dengan simpangan baku: 2.60, Rata-rata post test Shutle
run: 8.61 (berkisar: 8 sampai 9.69), dengan simpangan baku: 0.45.
Tabel 1. Data Karakteristik Atlet Pencak Silat PPLP dan PPLM Jawa Tengah Tahun 2011
Karakteristik N Min Maks
Mean(rata-rata)
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu dilakukan pengujian
terhadap prasyarat analisis. Prasyarat analisis dalam penelitian ini meliputi uji normalitas
data dan uji homogenitas varians.
a. Uji normalitas data
Uji normalitas data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang terkumpul
Kolmogorov-15 Smirnov. Untuk pengujian normalitas data ini dengan bantuan computer dengan paket
program statistik SPSS versi 16. Hasil normalitas data disajikan pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Ringkasan Hasil Uji Normalitas Data
Variabel Kelomp
Pre test Koordinasi Mata-tangan I 0.144 0.200 Normal
II 0.228 0.200 Normal
Pre test Koordinasi Mata-kaki I 0.194 0.200 Normal
II 0.182 0.200 Normal
Posttest Koordinasi Mata-tangan I 0.175 0.200 Normal
II 0.182 0.200 Normal
Post test Koordinasi Mata-kaki I 0.162 0.200 Normal
II 0.191 0.200 Normal
Post test Shutle run I 0.198 0.200 Normal
II 0.324 0.025 Tidak Normal
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa p pada variabel pre test power lengan, pre
test shutle run dan post test shutle run adalah < 0.05 yang berarti data memiliki distribusis tidak
normal, sedangkan pada variabel yang lain bersifat normal.
b. Uji homogenitas data
Uji homogenitas data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang terkumpul dalam
varian yang sama. Pengujian homogenitas dilakukan dengan uji Levene dengan bantuan
computer dengan paket program statistic SPSS versi 16. Hasil uji homogenitas data disajikan
16 Tabel 3. Ringkasan Hasil Uji Homogenitas Data
Variabel Levene
Statistik
P Keterangan
Pre test kekuatan lengan 1.368 0.263 Homogen
Pre test kekuatan tungkai 0.125 0.729 Homogen
Pre test Power lengan 1.874 0.194 Homogen
Pre test Power tungkai 0.095 0.763 Homogen
Pre test Koordinasi Mata-tangan 1.814 0.201 Homogen
Pre test Koordinasi Mata-kaki 0.018 0.895 Homogen
Pre test Shutle run 0.790 0.390 Homogen
Post test kekuatan lengan 3.477 0.085 Homogen
Post test kekuatan tungkai 0.014 0.909 Homogen
Post test Power lengan 0.175 0.682 Homogen
Post test Power tungkai 0.422 0.527 Homogen
Post test Koordinasi Mata-tangan 1.580 0.231 Homogen
Post test Koordinasi Mata-kaki 9.626 0.008 Tidak Homogen
Post test Shutle run 0.218 0.648 Homogen
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa p pada variabel post test koordinasi
mata-kaki adalah < 0.05 yang berarti data memiliki variansi yang tidak sama atau data bersifat tidak
homogen, sedangkan pada variabel yang lain bersifat homogen.
Berdasarkan uji normalitas dan homogenitas data ditemukan variabel pre test power
lengan, pre test shutle run, post test shutle run dan post test koordinasi mata kaki dengan nilai p<
0.05 maka untuk pengujian hipotesis statistik dengan pendekatan statistik parametric tidak dapat
dilakukan karena tidak memenuhi kriteria pengujian prasyarat analisis data. Selanjutnya
pengujian hipotesis dilakukan dengan uji statistic non parametric (MannWhitney, Wilcoxon).
4. Pengujian Hipotesis
a. Sebelum Perlakuan
Sebelum diberikan perlakuan, kelompok I dan II dalam penelitian ini diuji perbedaannya
17 Tabel 4. Ringkasan Hasil Uji perbedaan Pre test Kelompok I (PPLP) dan II (PPLM)
Variabel Klp I Klp II Uji Statistik
hitung sebagai berikut : untuk variabel kekuatan otot lengan U hitung: 16.500, dengan p: 0.181,
kekuatan otot tungkai U hitung: 10.500, dengan p: 0.043, power lengan U hitung: 12.000,
dengan p: 0.063, power tungkai U hitung: 17.500, dengan p: 0.223, koordinasi mata-tangan U
hitung: 19.000, dengan p: 0.294, koordinasi mata-kaki U hitung: 14.000, dengan p: 0.100,
Shutle run U hitung: 25.000, dengan p: 0.728. Dari semua variabel diperoleh p > 0.05 (kecuali
pada kekuatan otot tungkai dengan p < 0.05) yang berarti tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara kedua kelompok perlakuan, sehingga dapat dianggap bahwa kedua kelompok
berangkat dari keadaan yang sama, selanjutnya dapat diambil asumsi kedua kelompok dari
18 Tabel 5.Ringkasan Hasil Uji perbedaan Pre test- Post Test Kelompok I
Variabel Pre test Post Test Uji Stat
Dari uji Wilcoxon yang dilakukan pada pre test –post test kelompok I diperoleh Z hitung
sebagai berikut : untuk variabel kekuatan otot lengan Z hitung: -0.914, dengan p: 0.361, kekuatan
otot tungkai Z hitung: -1.400, dengan p: 0.161, power lengan Z hitung: - 2.252, dengan p: 0.024,
power tungkai Z hitung: -2.117, dengan p: 0.034, koordinasi mata-tangan Z hitung: -2.527,
dengan p: 0.012, koordinasi matakaki Z hitung: 1.913, dengan p: 0.056, Shutle run Z hitung:
-2.383, dengan p: 0.017. Dari variabel power lengan, power tungkai, koordinasi mata tangan dan
shuttle run diperoleh p < 0.05 yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna antara pre test dan
post test pada kelompok I.
Sedangkan pada variabel kekuatan lengan dan kekuatan tungkai dan koordinasi
mata-kaki diperoleh p > 0.05 yang berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara pre test dan
post test pada kelompok I pada variabel tersebut.
b) Uji inter Kelompok II
Pada Uji inter kelompok II (PPLM) diperoleh hasil uji statistic sebagai berikut :
Tabel 6. Ringkasan Hasil Uji perbedaan Pre test –Post tes Kelompok II
Variabel Pre Test Post test Uji Statistik
19 Dari uji Wilcoxon yang dilakukan pada pre test –post test kelompok II diperoleh Z hitung
sebagai berikut : untuk variabel kekuatan otot lengan Z hitung: -1.992 dengan p: 0.046, kekuatan
otot tungkai Z hitung: -1.778, dengan p: 0.075, power lengan Z hitung: - 2.388, dengan p: 0.017,
power tungkai Z hitung: -0.742, dengan p: 0.458, koordinasi mata-tangan Z hitung: -2.371,
dengan p: 0.018, koordinasi matakaki Z hitung: 2.058, dengan p: 0.040, Shutle run Z hitung:
-0.338, dengan p: 0.7358. Dari variabel kekuatan otot lengan, power lengan, koordinasi mata
tangan, koordinasi mata kaki diperoleh p < 0.05 yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna
antara pre test dan post test pada kelompok II.
Sedangkan pada variabel kekuatan otot tungkai, power tungkai dan shuttle run diperoleh
p > 0.05 yang berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara pre test dan post test pada
kelompok II pada variabel tersebut.
2) Uji antar kelompok perlakuan
Tabel 7. Ringkasan Hasil Uji perbedaam Pre test Kelompok I dan II
Variabel Klp I Klp II Uji Stat
hitung sebagai berikut : untuk variabel kekuatan otot lengan U hitung: 15.000, dengan p: 0.132,
kekuatan otot tungkai U hitung: 16.500, dengan p: 0.179, power lengan U hitung: 17.000,
dengan p: 0.200, power tungkai U hitung: 18.000, dengan p: 0.245, koordinasi mata-tangan U
hitung: 23.500, dengan p: 0.602, koordinasi mata-kaki U hitung: 28.000, dengan p: 1.000,
Shutle run U hitung: 20.000, dengan p: 0.354. Dari semua variabel diperoleh p > 0.05 yang
20 perlakuan. Dengan makna lain bahwa tidak ada perbedaan pengaruh pada penggunaan metoda
origo-insertio dengan nerve trunk pada kedua kelompok setelah perlakuan.
B. Pembahasan
Penemuan utama dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian neuromuskular
electrical stimulation (NMES) selama 4 minggu dengan frekuensi 3 kali per minggu
mendampingi latihan rutin atlet pencak silat yang dilakukan dengan metode group otot mampu
meningkatkan kinerja atlet berupa: 1) daya ledak lengan; 2) daya ledak tungkai; 3) koordinasi
mata- tangan ; 4) shuttle run. Keempat variabel kinerja atlet mengalami peningkatan yang
signifikan, kecuali pada variabel kekuatan lengan, kekuatan tungkai, dan koordinasi mata-kaki.
Sedangkan pemberian NMES dengan metode nerve trunk mampu meningkatkan kinerja
atlet secara signifikan berupa: 1) kekuatan otot lengan; 2) power lengan; 3) koordinasi
mata-tangan; 4) koordinasi mata – kaki, kecuali pada kekuatan tungkai, daya ledak tungkai dan shutle
run.
Hal di atas menunjukkan bahwa pemberian NMES dapat menjadi alternatif cara untuk
mengembangkan kekuatan otot yang diberikan bersamaan dengan latihan rutin pada atlit pencak
silat. Temuan ini konsisten dengan temuan sebelumnya bahwa pemberian NMES dalam jangka
pendek dapat memberikan efek yang menguntungkan pada kekuatan otot (Maffiuletti et al, 2004,
Harrero et al, 2005).
Temuan ini juga senanda dengan penelitian Brocherie et al (2005) pada pemain hokey es
yang diberikan NMES sebagai tambahan latihan Rutin. Penelian tersebut berhasil membuktikan
bahwa pemberian tambahan NMES sebanyak 3 kali perminggu selama 3 minggu disamping
latihan standar rutin mampu meningkatkan kemampuan kontraksi isokinetik dan konsentrik otot
quadriceps serta meningkatkan kinerja skating pemain hokey es. Peningkatan ini merupakan
akibat penyesuaian saraf yang menerima stimulasi elektris dan peningkatan jumlah motor unit
saat otot berkontraksi (Maffiuletti et al, 2002). Lebih lanjut Maffiuletti mengatakan bahwa
pemberian NMES akan meningkatkan neural drive dari supra spinal yang pada akhirnya akan
meningkatkan jumlah motor unit otot saat berkontraksi dan kekuatan kontraksi otot yang
21 Terjadinya peningkatan kinerja atlet pencak silat ini, seperti diketahui bahwa adaptasi
neural merupakan penjelasan terjadinya perubahan pada kekuatan otot akibat pemberian NMES.
Pada otot sehat NMES dapat meningkatkan kekuatan otot sama seperti yang dihasilkan oleh
kontraksi volunteer, namun tidak bisa lebih besar daripada latihan volunteer. Pada otot yang
sakit, misalnya Quadriceps yang baru saja cedera, termasuk pasca operasi, latihan menggunakan
NMES lebih efektif untuk meningkatkan kekuatan otot dibanding kontraksi volunteer.
Sedangkan pada orang sehat hasil peningkatan kekuatan otot lebih efektif menggunakan
kontraksi volunteer dibanding dengan NMES (Seyri & Maffiuletti, 2011).
Gambar 1. Grafik rerata pre dan post test kelompok I
22 Selanjutnya pemberian NMES akan mempengaruhi rekrutmen motor unit secara random
baik pada jenis slow twitch maupun fast twitch, sehingga NMES dapat digunakan untuk
mengaktivasi motor unit otot tipe cepat (fast twitch) dengan level energy yang rendah (Gregory
& Bickel, 2005). Perbedaan tipe kontraksi otot yang dihasilkan secara volunter dan buatan
dengan NMES disajikan dalam tabel 8 berikut ini (Seyri & Maffiuletti, 2011):
Tabel 8. Perbedaan kontraksi otot volunteer dengan NMES
Voluntary contractions NMES contractions
Selective (slow to fast) Non selective/random (both slow and fast)
Asynchronous Synchronous
Rather dispersed Spatially fixed
Rotation is possible Superficial (close to electrodes)
Complete (at maximal level) Incomplete (even at maximal level)
Konsekuensi dari fenomena ini adalah ketika otot dikontraksikan dengan menggunakan
NMES, otot akan lebih mudah lelah dibandingkan dengan kontraksi volunteer pada intensitas
yang sama. Hal ini menuntut pemberian NMES sebaiknya digabungkan dengan latihan rutin
pada olahraga prestasi. Dalam pencak silat peningkatan daya ledak otot baik lengan maupun
tungkai sangat diperlukan untuk mencapai prestasi yang optimal.
Beberapa penelitian pada cabang olahraga individual maupun kelompok menunjukkan
bahwa pemberian NMES memberikan efek peningkatan kekuatan otot pada kontraksi maksimal,
termasuk pada beberapa olahraga aerobik berupa peningkatan kemampuan melompat dan lari
cepat. Namun demikian penggunaan NMES ini biasanya diaplikasikan tidak secara spesifik
(isometrik secara general), sehingga penggunaan NMES yang berlebihan dapat menyebabkan
hambatan pada koordinasi otot (Holcomb, 2005). Namun demikian kinerja atlet pada gerakan
yang kompleks membutuhkan koordinasi sistem neuromuskular yang baik dan ini dapat dicapai
hanya jika NMES digabungkan dengan latihan teknik/fisik seperti latihan plyometrik (Maffiuletti
et al, 2002). Pada penelitian Mafiuletti, pemberian NMES diberikan sebelum rutinitas dari
latihan fisik dan teknik dimulai. Selengkapnya data penelitian mengenai NMES terhadap
kekuatan otot pada cabang olahraga individual maupun kelompok disajikan dalam tabel 9 berikut
23 Tabel 9. Beberapa penelitian Efek NMES terhadap peningkatan kekuatan otot
Year 1 st author Sport Muscle Weeks
(x/wk
Main findings
1989 Delitto Weightlifting Quadriceps 6(3) ↑ weightlifting
1989 Wolf Tennis Quadriceps 3(4) ↑strength,sprint,
jump
1995 Pichon Swimming Latisimus dorsi 3(3) ↑ strtength,
swimming
1996 Willoughby Basketball Biceps brachii 6(3) ↑strength
1998 Willoughby Track and field Quadriceps 6(3) ↑ strength, jump
2000 Maffiuletti Basketball Quadriceps 4(3) ↑ strength, jump
2002 Malatesta Volley ball Quadriceps, triceps surae 4(3) ↑ strength, jump
2002 Maffiuletti Volleyball Quadriceps, triceps
surae
4(3) ↑ strength, jump
2005 Brocherie Ice hockey Quadriceps ↑ strength, sprint
2007 Babault Rugby Quadriceps, Triceps
surae, Gluteus
6(1-3) ↑ strength, jump
2009 Maffiuletti Tennis Quadriceps 3(3) ↑ strength, sprint
jump
2010 Billot Soccer Quadriceps 5(3) ↑ strength, shoot
Dengan demikian penelitian ini konsisten dengan penelitian lain seperti (Riann,
2010 ) yang meneliti penerapan Neuromuscular Electrical Stimulasi (NMES) dengan
intensitas tinggi pada otot Quadriceps Femoris selama tiga kali per minggu selama
empat minggu dengan elektikal stimulasi (100 pps, 600µs pulse duration, 100 ms train
duration) telah berhasil meningkatkan kekuatan otot dan aktivasi pada pasien yang
telah menjalani reconstriction anterior ligamen cruciatum dan total lutut arthroplasties.
Demikian pula penelitian Maffiuletti (2000), yang menunjukkan adanya
pengaruh yang positif pada pemberian elektrostimulasi terhadap kekuatan otot dan
kemampuan melompat pada pemain basket. Dalam penelitian ini diberikannya
elektrostimulasi selama empat minggu dengan tiga kali perminggu, satu sesi selama 16
menit dengan arus rectangular pulsed 100 Hz intensita 0-100 mA. Pada penelitian
lain, porcari et al (2005), efek diberikan Neuromusculer Electrical Stimulation
(NMES) lima kali perminggu (20-40 menit per sesi) selama delapan minggu dengan
frekuensi 70 Hz , durasi 200 µsec dapat meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot
abdominal.
Diberikannya Neuromusculer Electrical Stimulation (NMES) pada penelitian
pengaruh Neuromusculer Electrical Stimulation (NMES) terhadap peningkatan
24 minggu menggunakan Rusian current dengan frekuensi 90 bps dan duty cycle 15:45
dengan pemasangan pada grup otot telah mengakibatkan peningkatan kekuatan otot
dengan cepat (Helcomb, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa program
Electromyostimulation (EMS) pada exstensor knee secara signifikan meningkatkan
kekuatan isokinetic dan Perfomance skating pada kelompok pemain hoki es selama
tiga minggu dengan tiga kali per minggu selama 12 menit per sesi, dengan 4-s durasi
dan frekuensi 85 Hz dipasang secara grup otot (Babault et al, 2004). Sedangkan
penelitian Bergquist et al (2010),Neuromuskuler Electrical Stimulation dengan durasi
100 dan intensitas 20 Hz selama 10 menit, tiga kali dalam seminggu selama empat
minggu diaplikasikan di nerve trunk terbukti dapat meningkatkan kekuatan ototi
triseps
C. Kelemahan dan Keterbatasan Penelitian
Peneliti tidak dapat sepenuhnya mengendalikan ataupun mengontrol aktivitas latihan
keseharian atlet sebagai subyek penelitian baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga
dapat mempengaruhi biasnya perlakuan. Jumlah subyek yang kecil, dan terbatas pada atlet
pencak silat sehingga generalisasi hasil terbatas pada kelompok atlet tersebut. Jumlah sampel,
situasi dan kondisi yang berbeda tentu akan mempengaruhi hasil. Untuk itu penerapan pada