PICTURE STORY TENTANG BUDAYA KONSUMTIF
TUGAS AKHIR
Program Studi
DIV Komputer Multimedia
Oleh:
Guntur Kresno Ibbowo 11.51016.0027
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INFORMATIKA
TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Terapan Komputer Multimedia
Oleh:
Nama : Guntur Kresno Ibbowo NIM : 11.51016.0027
Program Studi : DIV Komputer Multimedia
FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INFORMATIKA
ix
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 5
1.3 Batasan Masalah ... 5
1.4 Tujuan ... 5
1.5 Manfaat ... 6
BAB II LANDASAN TEORI ... 7
2.1 Perilaku Konsumtif ... 7
2.2 Film ... 10
2.2.1 Pengertian Film... 10
2.2.2 Sejarah dan Perkembangan Film Internasional ... 11
2.3 Klasifikasi Film ... 14
2.3.1 Menurut Jenis Film ... 14
2.4 Film Dokumenter ... 15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 14
3.1 Metodologi Penelitian ... 19
3.2 Pengumpulan Data ... 20
1. Wawancara ... 20
2. Observasi ... 21
3. Literatur ... 22
4. Studi Eksisting ... 23
x
3.7 Perancangan Karya ... 33
3.7.1 Pra Produksi ... 30
3.7.2 Produksi ... 35
3.7.3 Pasca Produksi ... 35
3.8 Pra Produksi ... 34
3.9 Produksi ... 39
3.10 Pasca produksi ... 39
BAB IV IMPLEMENTASI KARYA ... 42
4.1 Produksi ... 42
4.1.1 Shooting ... 42
4.2 Editing dan Color Grading ... 45
xi
Gambar 3.2 Samsara (1992) ... 24
Gambar 3.3 Branded ... 25
Gambar 3.4 Bagan Keyword ... 29
Gambar 3.5 Warna Orange ... 33
Gambar 3.6 Alur Perancangan karya ... 33
Gambar 3.7 Sketsa Poster ... 40
Gambar 3.8 Sketsa Cover DVD ... 40
Gambar 3.9 Sketsa Cakram DVD ... 41
Gambar 4.1 Hasil Pengambilan Gambar ... 43
Gambar 4.2 OnliHasil Gambar Produksi ... 44
Gambar 4.3 Hasil Gambar Produksi 2 ... 45
Gambar 4.4 Pengelompokkan file ... 46
Gambar 4.5 Adobe After effect ... 47
Gambar 4.6 Import File Timelapse ... 48
Gambar 4.7 Penataan dan Pemotongan video ... 49
Gambar 4.8 warp stabilizer ... 50
Gambar 4.9 tab control effect... 50
Gambar 4.10 Skema Warna ... 51
Gambar 4.11 Warna Sebelum Color Grading ... 52
Gambar 4.12 three-way color corrector ... 52
Gambar 4.13 Hasil Proses Color Grading ... 53
Gambar 4.14 Tab rendering ... 54
Gambar 4.15 export Setting ... 55
Gambar 4.12 Poster ... 56
xii
xiii
Tabel 3.2 Analisis Data ... 27
Tabel 3.3 Analisis STP ... 28
Tabel 3.4 Jadwal kerja... 37
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tujuan yang akan dicapai dalam Tugas Akhir ini adalah membuat film
dokumenter bergenre association picture story tentang budaya konsumtif. Hal ini
dilatarbelakangi oleh budaya konsumtif masyarakat yang pada dasarnya membeli
barang hanya untuk memenuhi keinginan dan gaya hidup, bukan lagi untuk
pemenuhan kebutuhan. Budaya konsumtif tersebut merujuk tentang dampak yang
ditimbulkan budaya tersebut. Menurut Pujiastuti, Tamtomo, & Suparno (2007: 16)
perilaku konsumtif mempunyai dampak negatif yaitu memupuk sifat dan gaya hidup
konsumerisme yang menganggap barang-barang sebagai ukuran kesenangan,
kebahagiaan dan harga diri. Sehingga dengan gaya hidup tersebut, orang akan
terdorong untuk membeli barang dan jasa yang sebenarnya belum menjadi
kebutuhannya.
Syamila (2014) dalam website www.kompasiana.com menunjukkan bahwa
data survey yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen pada tahun 2013
terlihat adanya permintaan barang-barang mewah yang cukup signifikan peningkatan
tersebut dari 3.6% menjadi 19% dari total permintaan barang selama tahun 2013.
Kenyataan bahwa subyek dari survey tersebut merupakan kalangan menengah ke
kebawah menjadi konsumtif. Hal tersebut diperkuat dengan jurnal penelitian (Elfina,
2010: 65) menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara gaya hidup brand
minded dengan kecenderungan perilaku konsumtif.
Dalam jajak pendapat lain yang dilakukan kompas (www.print.kompas.com)
disebutkan bahwa mayoritas publik membeli lebih dari satu gadget baru, dapat berupa
telepon seluler, tablet atau laptop. Dapat digambarkan bahwa secara tak langsung
besaran anggaran untuk membeli gadget menjadi cerminan tingkat konsumsi terhadap
barang. Gadget dapat menjadi benda yang dibutukan dalam kehidupan, tetapi bisa
bernilai sebaliknya. Kepemilikan gadget jika lebih dari satu untuk jenis gadget yang
sama bisa cenderung beralaskan keinginan ketimbang kebutuhan. Tak dipungkiri
perilaku konsumtif mengemuka seiring dengan konfirmasi atas kepemilikan barang
yang jumlahnya melebihi kebutuhan serta sebagian publik mengaku
mempertimbangkan faktor mode yaitu membeli gadget yang sedang popular saat itu.
Jean (2009: 34) dalam buku Masyarakat Konsumsi menjelaskan bahwa dalam
masyarakat modern yang konsumtif, objek-objek konsumsi yang berupa komoditi
tidak lagi sekedar memiliki manfaat (nilai guna) dan harga (nilai tukar) seperti
dijelaskan oleh Marx. Lebih dari itu objek konsumsi melambangkan status, prestise,
dan kehormatan (nilai-nilai dan nilai simbol). Nilai tanda dan nilai simbol yang
berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup kemewahan dan kehormatan
adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumen. Jadi masyarakat
modern sekarang ini berperilaku konsumtif tidak hanya untuk sekedar memenuhi
Kotler dalam Elfina (2010; 25) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang
memperngaruhi perilaku konsumtif dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu motivasi, harga diri pengamatan
dan proses belajar, kepribadian dan konsep diri serta gaya hidup. Sedangkan faktor
eksternal diantaranya adalah faktor kebudayaan, kelas sosial, kelompok referensi,
keluarga dan demografi
Definisi film dalam bukunya Kamus Komunikasi menurut Effendy (1989: 209)
menjelaskan bahwa media yang bersifat visual dan audio visual untuk menyampaikan
pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat. Sedangkan definisi
film menurut Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh pusat bahasa pada tahun
2008 menyebutkan bahwa film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk
tempat gambar negativ (yang dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang
dimainkan dalam bioskop). Dalam buku teori komunikasi massa, Film merupakan
bagian dari komunikasi massa yang memiliki fungsi dan peran diantaranya adalah
film to inform, film to educate, film to entertain dan film to persuate (Vivian, 2008:
5). Maka dari itu penulis memilih media film karena film memiliki fungsi to inform,
to educate, to entertain dan to persuade. Film juga memiliki berbagai bentuk salah
satu bentuk diantaranya adalah film dokumenter.
Menurut Fachruddin (2012: 315) dokumenter merupakan film yang
menceritakan sebuah kejadian nyata dengan kekuatan ide kreatornya dalam
merangkat gambar-gambar menarik menjadi istimewa secara keseluruhan. Timothy
masyarakat dan peristiwanya, seringkali mengabaikan struktur naratif yang
tradisional. Menurut Gerzon R. Ayawaila Dokumenter merupakan bentuk film yang
merepresentasikan sebuah realita, dengan melakukan perekaman gambar sesuai apa
adanya. Dalam tugas akhir ini, genre dokumenter yang akan digunakan adalah genre
association picture story.
Association Picture Story merupakan jenis dokumenter yang dipengaruhi oleh
film eksperimental. Sesuai dengan namanya, film ini mengandalkan gambar–gambar
yang tidak berhubungan namun ketika disatukan dengan editing, maka makna yang
muncul dapat ditangkap penonton melalui asosiasi yang terbentuk di benak mereka.
Film yang sangat berpengaruh dalam genre ini adalah A Man With The Movie
Camera karya Dziga Vertov. Gerzon R ayawaila menyebutkan dalam website
kineforum.org Terlihat sekali peranan kamera dalam beberapa karya dokumenter
dengan gaya dan perspektif masing-masing, tetap berusaha mencapai obsesi yang
sama, yaitu merepresentasikan orisinalitas sebuah realita. Dalam komunikasi audio
visual, persyaratan terjadinya komunikasi audio visual yaitu harus dapat dilihat
sekaligus didengar sehingga untuk mengakses informasi yang disampaikan
menggunakan indra penglihatan dan pendengaran. Hal tersebut tidak ditemukan
dalam dokumenter tipe expository yang menggunakan paparan yang menjelaskan.
Maka dari itulah penulis menggunakan genre Association Picture Story sebagai genre
dalam film dokumenter tersebut.
Film dokumenter ini dilatarbelakangi keingintahuan dalam pembuatan Tugas
pembuatan film, maka akan digali fakta langsung dari lokasi untuk mengetahui
kondisi yang sebenarnya. Harapan penelitian ini adalah membuat film dokumenter
bergenre association picture story tentang budaya konsumtif masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik
pokok permasalahan, yaitu Bagaimana membuat film dokumenter bergenre
association picture story yang bercerita tentang budaya konsumtif masyarakat.
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas agar permasalahan tidak menyimpang,
maka batasan masalah yang akan dikerjakan adalah:
1. Film dokumenter ini menceritakan Budaya Konsumtif masyarakat.
2. Dalam film dokumenter ini, yang diambil adalah di kota Surabaya.
3. Subyek dalam film ini adalah remaja.
1.4 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan video dokumenter ini adalah
sebagai berikut:
1. Membuat film dokumenter bergenre association picture story tentang budaya
1.5 Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Genre Association picture story yang digunakan dalam film dokumenter ini
dapat dijadikan referensi untuk memperidah visualisasi dan salah satu trik
untuk membuat penonton tidak bosan ketika melihat film dokumenter.
b. Diharapkan mampu menjadi film yang bukan hanya memberikan informasi
namun juga mengedukasi melalui pesan pesan yang disampaikan secara
verbal maupun non verbal.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan hasil dari film dokumenter ini dapat dijadikan sebagai media yang
akan dijadikan sarana atau nformasi yang mampu membuka pandangan khalayak
7
Untuk mendukung pembuatan karya video dokumenter, maka karya akan
mengunakan beberapa tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka yang akan digunakan
antara lain:
2.1 Perilaku Konsumtif
Lubis (Sumartono, 2002:117) mengatakan perilaku konsumtif adalah perilaku
yang tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena
adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang sudah tidak rasional lagi.
Sedangkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (dalam Sumartono, 2002:117)
mengatakan perilaku konsumtif adalah kencenderungan manusia untuk menggunakan
konsumsi tanpa batas dan manusia lebih mementingkan faktor keinginan dari pada
kebutuhan. Sedangkan Anggasari (dalam Sumartono, 2002:117) mengatakan perilaku
konsumtif adalah tindakan membeli barang-barang yang kurang atau tidak
diperhitungkan sehingga sifatnya menjadi berlebihan. Lebih lanjut Dahlan (dalam
Sumartono, 2002:117) mengatakan perilaku konsumtif yang ditandai oleh adanya
kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal yang dianggap paling
adanya pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh semua keinginan
untuk memenuhi hasrat kesenangan semata-mata.
Kesimpulannya adalah perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku membeli
dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional
dan memiliki kencenderungan untuk mengkonsumsi sesuatu tanpa batas dimana
individu lebih mementingkan faktor keinginan dari pada kebutuhan serta ditandai
oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, pengunaan segala hal yang paling
mewah yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik. Perilaku konsumtif dapat
diartikan sebagai suatu tindakan memakai produk yang tidak tuntas artinya, belum
habis sebuah produk yang dipakai seseorang telah menggunakan produk jenis yang
sama dari merek lainnya atau dapat disebutkan, membeli barang karena adanya
hadiah yang ditawarkan atau membeli suatu produk karena banyak orang memakai
barang tersebut (Sumartono, 2002: 117).
Menurut Sumartono, (2002: 119) indikator perilaku konsumtif yaitu :
1. Membeli produk karena iming-iming hadiah. Individu membeli suatu barang
karena adanya hadiah yang ditawarkan jika membeli barang tersebut.
2. Membeli produk karena kemasannya menarik. Konsumen sangat mudah terbujuk
untuk membeli produk yang dibungkus dengan rapi dan dihias dengan
warna-warna menarik. Artinya motivasi untuk membeli produk tersebut hanya karena
produk tersebut dibungkus rapi dan menarik.
3. Membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi. Konsumen
mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut dan sebagainya
dengan tujuan agar konsumen selalu berpenampilan yang dapat menarik
perhatian yang lain. Konsumen membelanjakan uangnya lebih banyak untuk
menunjang penampilan diri.
4. Membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat atau
kegunaannya). Konsumen cenderung berperilaku yang ditandakan oleh adanya
kehidupan mewah sehingga cenderung menggunakan segala hal yang dianggap
paling mewah.
5. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status. Konsumen mempunyai
kemampuan membeli yang tinggi baik dalam berpakaian, berdandan, gaya
rambut, dan sebagainya sehingga hal tersebut dapat menunjang sifat ekslusif
dengan barang yang mahal dan memberi kesan berasal dari kelas sosial yang
lebih tinggi. Dengan membeli suatu produk dapat memberikan simbol status agar
kelihatan lebih keren dimata orang lain.
6. Memakai produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan.
Konsumen cenderung meniru perilaku tokoh yang diidolakannya dalam bentuk
menggunakan segala sesuatu yang dapat dipakai tokoh idolanya. Konsumen juga
cenderung memakai dan mencoba produk yang ditawarkan bila ia mengidolakan
publik figur produk tersebut.
7. Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan
mencoba suatu produk karena mereka percaya apa yang dikatakan oleh iklan
yaitu dapat menumbuhkan rasa percaya diri.
8. Mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda). Konsumen akan
cenderung menggunakan produk jenis sama dengan merek yang lain dari produk
sebelum ia gunakan, meskipun produk tersebut belum habis dipakainya.
2.2 Film
2.2.1 Pengertian
Film adalah gambar-hidup yang juga sering disebut movie. Film secara kolektif
serin disebut sebagai sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau
gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal
di dunia para sineas sebagai seluloid.
Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang
berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar =
citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat
melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita
sebut dengan kamera.
Film adalah sekedar gambar yang bergerak, adapun pergerakannya disebut
sebagai intermitten movement, gerakan yang muncul hanya karena keterbatasan
kemampuan mata dan otak manusia menangkap sejumlah pergantian gambar dalam
sepersekian
detik. Film menjadi media yang sangat berpengaruh, melebihi media-media yang lain,
penontonnya tidak bosan dan lebih mudah mengingat, karena formatnya yang
menarik.
Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang
merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas
sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau
bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran
melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa
suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi
mekanik, eletronik, dan/atau lainnya;
2.2.2 Sejarah dan Perkembangan Film Internasional
Film yang ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang hingga hari
ini merupakan ‘perkembangan lebih jauh’ dari teknologi fotografi. Perkembangan
penting sejarah fotografi telah terjadi di tahun 1826, ketika Joseph Nicephore Niepce
dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk membuat gambar pada sebuah
lempengan timah yang tebal. Thomas Alva Edison (1847-1931) seorang ilmuwan
Amerika Serikat penemu lampu listrik dan fonograf (piringan hitam), pada tahun
1887 terinspirasi untuk membuat alat untuk merekam dan membuat (memproduksi)
gambar. Edison tidak sendirian. Ia dibantu oleh George Eastman, yang kemudian
pada tahun 1884 menemukan pita film (seluloid) yang terbuat dari plastik tembus
pandang. Tahun 1891 Eastman dibantu Hannibal Goodwin memperkenalkan satu rol
dan dibuat oleh Thomas Alva Edison itu disebut kinetoskop (kinetoscope) yang
berbentuk kotak berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukan.
Lumiere Bersaudara kemudian merancang peralatan baru yang mengkombinasikan
kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu.
Lumiere Bersaudara menyebut peralatan baru untuk kinetoskop itu dengan
“sinematograf” (cinematographe). Peralatan sinematograf ini kemudian dipatenkan
pada tahun 1895. Pada peralatan sinematograf ini terdapat mekanisme gerakan yang
tersendat (intermittent movement) yang menyebabkan setiap frame dari film diputar
akan berhenti sesaat, dan kemudian disinari lampu proyektor. Di masa awal
penemuannya, peralatan sinematograf tersebut telah digunakan untuk merekam
adegan-adegan yang singkat. Misalnya, adegan kereta api yang masuk ke stasiun,
adegan anak-anak bermain di pantai, di taman dan sebagainya.
Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar
berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28
Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia.
Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini sendiri sudah dimulai
jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional
mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama
di dunia.
Sejak ditemukan, perjalanan film terus mengalami perkembangan besar
bersamaan dengan perkembangan atau kemajuan-kemajuan teknologi pendukungnya.
sebutan “film bisu”. Masa film bisu berakhir pada tahun 1920-an, setelah
ditemukannya film bersuara. Film bersuara pertama diproduksi tahun 1927 dengan
judul “Jazz Singer”, dan diputar pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di
New York, Amerika Serikat. Kemudian menyusul ditemukannya film berwarna di
tahun 1930-an. Perubahan dalam industri perfilman jelas nampak pada teknologi yang
digunakan. Jika pada awalnya film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat,
kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem penglihatan mata kita, berwarna
dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat
lebih nyata.
Pada perkembangan selanjutnya, film tidak hanya dapat dinikmati di bioskop
dan berikutnya di televisi, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD (Blue-Ray),
film dapat dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang
ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Dengan perkembangan internet,
film juga dapat disaksikan lewat jaringan superhighway.
Film kemudian dipandang sebagai komoditas industri oleh Hollywood,
Bollywood dan Hongkong. Di sisi dunia yang lain, film dipakai sebagai media
penyampai dan produk kebudayaan. Hal ini bisa dilihat di negara Prancis (sebelum
1995), Belanda, Jerman, dan Inggris. Dampak nya adalah film akan dilihat sebagai
artefak budaya
yang harus dikembangkan, kajian film membesar, eksperimen-eksperimen pun
didukung oleh negara. Kelompok terakhir ini menempatkan film sebagai aset politik
pengawasan departemen penerangan dengan konsep lembaga sensor film.
Bagi Amerika Serikat, meski film-film yang diproduksi berlatar belakang budaya
sana, namun film-film tersebut merupakan ladang ekspor yang memberikan
keuntungan cukup besar.
2.3 Klasifikasi Film 2.3.1 Menurut Jenis Film
1. Film Cerita (Fiksi)
Film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang
dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Kebanyakan atau pada umumnya
film cerita bersifat komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa film
dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton
film itu di gedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu.
Demikian pula bila ditayangkan di televisi, penayangannya didukung dengan
sponsor iklan tertentu pula.
2. Film Non Cerita (Non Fiksi)
Film noncerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya. Film
non cerita ini terbagi atas dua kategori, yaitu :
a. Film Faktual : menampilkan fakta atau kenyataan yang ada, dimana kamera
sekedar merekam suatu kejadian. Sekarang, film faktual dikenal sebagai film
berita (news-reel), yang menekankan pada sisi pemberitaan suatu kejadian
b. Film dokumenter : selain fakta, juga mengandung subyektifitas pembuat yang
diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa, sehingga persepsi
tentang kenyataan akan sangat tergantung pada si pembuat film dokumenter
tersebut.
2.4 Film Dokumenter
Dalam buku yang berjudul “Dokumenter: dari ide sampai produksi”
menjelaskan, film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan atau
mempresentasikan kenyataan (Ayawaila, 2008). Artinya apa yang kita rekam
memang berdasarkan fakta yang ada, namun dalam penyajiannya kita juga dapat
memasukan pemikiran-pemikiran kita.
Hal ini mengacu pada teori-teori sebelumnya dalam buku The Film Studies
Dictionary menyatakan bahwa film dokumenter memiliki subyek yang berupa
masyarakat, peristiwa, atau situasi yang benar-benar terjadi didunia realita dan di luar
dunia sinema (Blandford, Grant, & Hillie, 2001).
Kesimpulannya film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan atau
mempresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter menampilkan kembali fakta
yang ada dalam suatu kehidupan dengan berbagai sudut pandang yang diambil.
Dalam pembuatan film dokumenter gaya atau bentuk dapat dibagi ke dalam tiga
bagian besar. Pembagian ini merupakan ringkasan dari aneka ragam bentuk film
Bila di atas menjelaskan bentuk film dokumenter menurut perkembangan
sejarah, genre dokumenter menjadi dua belas jenis yang di kelompokan lagi menurut
tingkat kepopulerannya, antara lain:
1. Dokumenter Drama
Film jenis ini merupakan penafsiran ulang terhadap kejadian nyata, bahkan selain
peristiwanya hampir seluruh aspek filmnya (tokoh, ruang dan waktu) cenderung
direkonstruksi ulang.
2. Sejarah
Dalam film dokumenter, genre sejarah menjadi salah satu yang sangat kental
aspek referential meaning-nya (makna yang sangat bergantung pada referensi
peristiwanya) sebab keakuratan data sangat dijaga dan hampir tidak boleh ada
yang salah baik pemaparan datanya maupun penafsirannya. Film dokumenter
jenis ini biasanya menjadi acuan tambahan untuk anak-anak sekolah yang kurang
berminat membaca ulang buku sejarah.
3. Ilmu Pengetahuan atau Sains
Film ini dirancang khusus untuk mengajari audience bagaimana mempelajari dan
melakukan berbagai macam hal mereka inginkan, mulai dari bermain gitar
akustik atau gitar blues pada tingkat awal, memasang instalasi listrik, penanaman
bungan yang dijamin tumbuh, menari perut untuk menurunkan berat badan,
bermain rafting untuk mengarungi arung jeram dan sebagainya. Dalam film ilmu
pengetahuan juga dibuat film tentang ilmu alam yang mendekatkan kita kepada
4. Biografi
Sesuai dengan namanya, jenis ini lebih berkaitan dengan sosok seseorang.
Mereka yang diangkat menjadi tema utama biasanya seseorang yang dikenal luas
di dunia atau masyarakat tertentu atau seseorang yang biasa namun memiliki
kehebatan, keunikan ataupun aspek lain yang menarik. Contohnya, potret yaitu
film dokumenter yang mengupas aspek human interest dari seseorang. Plot yang
diambil biasanya adalah hanya peristiwa–peristiwa yang dianggap penting dan
krusial dari orang tersebut. isinya bisa berupa sanjungan, simpati, krtitik pedas
atau bahkan pemikiran sang tokoh.
5. Laporan Perjalanan
Jenis ini awalnya adalah dokumentasi antropologi dari para ahli etnolog atau
etnografi. Namun dalam perkembangannya bisa membahas banyak hal dari yang
paling penting hingga yang ringan, sesuai dengan pesan dan gaya yang dibuat.
Istilah lain yang sering digunakan untuk jenis dokumenter ini adalah travelogue,
travel film, travel documentary dan adventures film. Tayangan ini pun saat ini
menjadi ajang promosi suatu tempat yang sangat populer karena kemasan
acaranya yang sesuai dengan gaya hidup orang masa kini.
6. Association Picture Story
Jenis dokumenter ini dipengaruhi oleh film eksperimental. Sesuai dengan
namanya, film ini mengandalkan gambar–gambar yang tidak berhubungan
namun ketika disatukan dengan editing, maka makna yang muncul dapat
sangat berpengaruh dalam genre ini adalah A Man With The Movie Camera
karya Dziga Vertov. Tahun 1951, Bert Haanstra membuat Panta Rhei (berasal
dari bahasa Yunani yang berarti “semuanya mengalir” dari ucapan Heraclitus)
yang oleh banyak pengamat film dianggap sebagai ‘latihan jari’ – nya Haanstra
setelah sukses membuat Spiegel van Holland (Mirror of Holland). Dalam Panta
Rhei, Haanstra bermain dengan keindahan gambar–gambar riak gelombang,
tetesan air dari daun, flare dari cahaya matahari, lanskap pegunungan serta hutan
dan sebagainya. Gambar–gambar tersebut disusun sedemikian rupa sehingga
menimbulkan asosiasi keindahan.
Dalam bentuk ini, association picture story merupakan salah satu dokumenter
dalam bentuk non-naratif. Dokumenter ini memberi penyampaian berbeda pada
19
Pada bab ini akan dibahas tentang metodologi penelitian dan perancangan karya
dalam proses pembuatan film dokumenter tentang budaya konsumtif masyarakat di
Surabaya.
3.1 Metodologi Penelitian
Pada metodologi penelitian ini diuraikan serta dijelaskan tentang metode yang
akan digunakan dalam pengolahan data serta perancangan dalam pembuatan tugas
akhir ini. Metode penelitian dalam proses pembuatan film ini dilakukan berdasarkan
penelitian dengan tahapan tahapan yaitu perencanaan, analisa, dan implementasi.
Metodologi penelitian menurut Sugiyono (2008:2) adalah cara ilmiah utuk
mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan,
dikembangkan suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat
digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah.
Dalam tugas akhir ini, metodologi penelitian yang akan dipakai yaitu
metodologi kualitatif karena membutuhkan pengujuan secara kualitas sehingga data
dapat diambil langsung di lapangan.Berdasarkan website seputarpengetahuan.com
dijelaskan Metode penelitian kualitatif merupakan sebuah cara yang lebih
permasalahan. Penelitian kualitatif ialah penelitian riset yang bersifat deskriptif dan
cenderung menggunakan analisis serta lebih menonjolkan proses dan makna.
Tujuan dari metodologi ini ialah pemahaman secara lebih mendalam terhadap suatu
permasalahan yang dikaji. Dan data yang dikumpulkan lebih banyak kata ataupun
gambar-gambar daripada angka. Berdasarkan definisi tersebut maka metode yang
akan digunakan dalam perancangan karya ini adalah metode kualitatif karena dalam
penelitian ini memerlukan data yang bersifat deskriptif berupa karakteristik
masyarakat konsumtif, dan karakteristik film dokumenter. Setelah menentukan
metode penelitian, maka langkah selanjutnya adalah teknik pengumpulan data.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Wawancara
Wawancara menurut Sugiyono (2008:72) merupakan pertemuan dua orang untuk
bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan
makna dalam suatu topik tertentu. Dalam kajian ini, wawancara dilakukan
dengan ahli dalam bidangnya masing-masing.
Wawancara dilakukan dengan sosiologSandygo Prinka. S.Sosio.dikarenakan
budaya konsumtif juga dipengaruhi oleh kelas sosial masyarakat. Hasil
wawancara dapat disimpulkan bahwa pola perilaku konsumtif masyarakat terjadi
juga taraf hidup masyarakat. Hal tersebut berdampak pada karateristik individu
yang berperilaku konsumtif yaitu, pola konsumsi yang bersifat foya-foya,
keinginan untuk membeli barang yang tidak perlu. Kesenangan individu. Merasa
kurang puas jika belum membeli barang yang diinginkan dan materialistik.
Masyarakat juga mempertimbangkan harga, merk dan gengsi dalam membeli
suatu barang yang diinginkannya. Iklan atau media massa yang gencar dilakukan
produsen akan mengakibatkan rasa ingin tahu pada masyarkat. Secara tidak
langsung akan rasa ingin tahu masyarakat terobati apabila telah mencoba atau
membeli produk tersebut.
Keyword: Materialistik Harga 2. Observasi
Dalam tugas Tugas Akhir ini, data observasi yang didapat bersumber langsung
dari pengamatan langsung di lapangan. Metode observasi dilakukan untuk
mengenal lebih dalam tentang materi yang akan diteliti.Dengan mengadakan
pengamatan aktif terhadap pusat pusat penjualan barang-barang produksi di
Surabaya.Dari hasil observasi tersebut didapatkan hasil bahwa, masyarakat
membeli barang-barang karena mengejar suatu simbol dari merk, kemewahan
dan gengsi. Dari hasil observasi yang dilakukan diperoleh kata kunci.
Gambar 3.1: Observasi Budaya Konsumtif
(Sumber : Olahan Peneliti)
3. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data dengan cara mencari
referensi, literatur atau bahan-bahan teori yang diperlukan dari berbagai sumber
wacanayang berkaitan dengan pembuatan film dokumenter ini. Dalam tahap ini
materi yang dibutuhkan adalahtentang film dokumenter dan budaya konsumtif.
Berikut merupakan hasil dari studi pustaka atau literatur:
a. Budaya konsumtif
Dalam buku Masyarakat Konsumsi (2009: 34) karangan Jean P Baudrillard
dijelaskan, konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli begitu banyak
komoditas, fungsi kenikmatan, fungsi individual, pembebasan kebutuhan,
pemuasan diri, kekayaan atau konsumsi objek.Dalam masyarakat modern
sekedar memiliki manfaat (nilai guna) dan harga (nilai tukar) seperti
dijelaskan oleh Marx. Lebih dari itu objek konsumsi melambangkan status,
prestise, dan kehormatan (nilai-nilai dan nilai simbol). Nilai tanda dan nilai
simbol yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup kemewahan
dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat
konsumen. Jadi masyarakat modern sekarang ini berperilaku konsumtif tidak
hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan saja, namun untuk meningkatkan
status diri atau kehormatan.
Keyword: Status, ekspresi, gaya hidup. b. Association Picture Story
Dalam website www.filmpelajar.comdijelaskan film-film dalam bentuk
APS sekilas mirip dengan bentuk abstrak, namun sesungguhnya sangatlah
berbeda.Film bentuk APS biasanya menggunakan gambar-gambar yang tidak
memiliki hubungan ruang, waktu ataupun peristiwa, namun memiliki tujuan
yang sama untuk mengarah pada satu tema atau sub-tema penceritaan.
Keyword: tujuan, cerita 4. Studi Eksisting
Dalam pengerjaan film dokumenter, diperlukan sebuah Study Eksisting guna
mengamati karya yang telah ada sebelumnya. Karya yang sudah ada dikaji untuk
memperoleh kelebihan dari tiap karya tersebut untuk diimplementasikan dalam
film dokumenter ini. Dalam hal ini, dipilih film dokumenter bergenre Association
a. Samsara
Gambar 3.2: Samsara (1992) (Sumber : Dokumentasi Peneliti)
Samsara (gambar 3.2) adalah sebuah film dokumenter tanpa narasi, tanpa
aktor, tanpaplot cerita. Film ini menggambarkan segala yang terjadi di bumi
seperti fenomena alam, kehidupan, aktivitas manusia dan juga
teknologi.Dalam film ini, sang sutradara memoles teknik fotografi dan
sinematografi, dengan gerakan lambat, time-lapse, audio sehingga
memumculkan kesan sinematik yang bagus. Hal ini didukung dalam buku
Memahami Film(2008:1) Pratista menjelaskan unsur sinematik merupakan
aspek teknis dalam sebuah film. Unsur sinematik terbagi dalam empat
b. Branded
Gambar 3.3 : Branded (2012) (Sumber: www.images.google.com)
Film ini berlatarbelakang di kota moskow Rusia, dimana dalam cerita nya
mischa sebagai pemilik perusahaan periklanan berusaha memerangi
dominasi kapitalisme berupa restoran cepat saji dengan cara mengiklankan
makanan vegetarian dari investor china. Sebelumnya mischa berusaha
memerangi dengan membuat acara reality show namun berakhir dengan
mischa mengalami hal aneh sehingga dia bisa melihat makhluk-makhluk
aneh. Ketika mischa kembali ke moskow, mischa dapat melihat
makhluk-makhluk diatas restoran yang banyak dikunjungi, semakin banyak
dikunjungi makhluk tersebut semakin besar.
Analisis data eksisting
Table 3.1 Analisis data eksisting
Video Kelebihan Kekurangan
Samsara - Pengambilan gambar sangat bagus
- Warna cenderung datar
Branded - Pemakaian Warna Sesuai mood
-pengambilan gambar kurang menarik
(Sumber: Olahan Peneliti)
Dari analisis data tersebut yang ada pada tabel, disimpulkan bahwa setiap
video memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan dan
kekurangan dari video tersebut akan dijadikan referensi serta bahan acuan
dalam pembuatan karya.
3.3 Analisis Data
Teknis analisis data adalah mengkaji dan memperlajari data yang didapat untuk
dikelompokkan, diurutkan, serta dipilah-pilah sehingga membentuk sebuah
penarikan kesimpulan. Dalam tabel analisa data, data yang telah diperoleh
dikelompokkan berdasarkan materi, kemudian data tersebut dipilah.
Tabel 3.2 Analisis Data
No Materi Sumber Kesimpulan
1 Budaya Komsumtif
-pola perilaku masyarakat
2 Budaya konsumtif pada pusat perbelanjaan di Surabaya
3 Pengertian budaya konsumtif Studi literature buku serta internet.
-Status, - Ekspresi - gaya hidup.
4 Konsep cerita dan pengambilan gambar
Segmentasi dan targeting dari sisi geografis ditujukan untuk masyarakat kota,
karena tema dari tugas akhir ini adalah kehidupan masyarakat modern kota Surabaya.
Dari sisi demografi masyarakat kota Surabaya masih terlalu luas, sehingga lebih
ditargetkan kepada usia remaja sampai dewasa antara 17 – 30 tahun, karena usia
remaja merupakan salah satu pasar yang potensial untuk perilaku konsumtif. sesuai
dengan artikel yang dimuat dalam situs e-psikologi.com, menjelaskan pola konsumsi
seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah
dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh
sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja. Dari sejumlah hasil penelitian, ada
perbedaan dalam pola konsumsi antara pria dan wanita. Juga terdapat sifat yang
berbeda antara pria dan wanita dalam perilaku membeli. Sedangkan positioning
dalam STP ini dimaksudkan untuk menjadi sarana pendukung pengetahuan tentang
budaya konsumtif dan hiburan.
Tabel 3.3Analisis STP
Segmentasi & Targeting
Geografis Masyarakat Kota Surabaya
Demografi Usia : 18 tahun +
Gender : Laki-laki , perempuan
Jenjang pendidikan : mahasiswa / sederajat
Psikologi Kelas sosial : Menengah
Gaya hidup : Dekat dengan teknologi modern
3.5 Keyword Bagan keyword
Gambar 3.4: Bagan Keyword
(Sumber : Olahan Peneliti) wawancara
David Chaney (1996: 8)
kbbi
kbbi Kekinian
Hasil dari analisis data yang di dapatkan beberapa kata di dalam Tugas Akhir.
Terdapat lima kata diantaranya adalah hasil wawancara ditemukan keyword
materialistic dan gengsi. Dua kata tersebut dipersempit lagi menjadi kata popular.
Kata popular pada kbbi (http://kbbi.web.id/populer) berarti /po·pu·ler/ /populér/
dikenal dan disukai orang banyak (umum).
Kedua dari hasil observasi terdapat dua keyword kemewahan dan gengsi. Dua
kata tersebut di persempit lagi menjadi trend. Susy Setiawati menjelaskan bahwa
modernisasi memaksa individu dalam setiap masyarakat di dunia untuk condong
kepada suatu trend yang tengah berlaku yang dalam hal ini biasanya adalah
Negara-negara maju.Dalam masyarakat yang konsumtif, dapat mengasingkan seseorang yang
mempunyai perilaku konsumtif dari tujuan hidup mereka yang sebenarnya. Ada
beberapa faktor masyarakat menjadi konsumtif yaitu :
1. Diciptakan tren untuk membuat masyarakat melakukan pembelian.
2. Membeli barang sebagai self reward system (sistem pemberian upah) dan
merayakan kebahagiaan atas kesuksesan yang di raih.
3. Pembelian barang bisa menyelesaikan semua masalah.
4. Idenditas diri disetarakan dengan barang yang dimiliki.
5. Masyarakat hanya berfokus pada barang-barang yang mereka miliki.
Dengan adanya beberapa faktor di atas, maka dapat di lihat situasi yang ada di
dalam masyarakat menuju pada perilaku konsumtif. Seseorang yang mempunyai
perilaku konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau
melekat pada barang tersebut. Hal ini di dukung berbagai bentuk rekayasa budaya
yang dilakukan oeh kaum kapitalis adalah dengan cara memproduksi simbol-simbol
kemewahan dan keanggunan, dan lain-lain agar di konsumsi oleh masyarakat.
Bahkan seolah-olah dijanjikan bahwa barang siapa yang mengonsumsi produk
tertentu maka status sosialnya lebih bergengsi atau berkelas.
Selanjutnya pada studi literature di dapatkan tiga kata yaitu status, ekspresi dan
gaya hidup. Ketiga keyword tersebut di persempit kembali menjadi kata eksistensi.
Menurut David Chaney dalam buku lifestyles (1996: 8) menjelaskan bahwa
masyarakat akan terkondisikan untuk bergantung terhadap semua fasilitas yang
disediakan. Masyarakat kini hampir tidak bisa lepas dari peran objek sebagai perumus
eksistensi.
Pada hasil studi eksisting terdapat keyword variasi visual dan variasi editing
dimana dalam studi komparator yang dituju adalah film dokumenter samsara. Dalam
film dokumenter tersebut akan di tinjau dari variasi visual dan variasi editing
sehingga keyword yang di ambil dari film tersebut adalah ragam yang memiliki arti
macam jenis (http://kbbi.web.id/ragam). Dalam STP digunakan sebagai target yang
akan dituju yaitu keyword dewasa, kemudian dipersempit kembali menjadi keyword
integritas yang memiliki arti mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan
yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan
kewibawaan, kejujuran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Kemudian, pada keyword popular, trend dan eksistensi diruncingkan kembali
menjadi kata kekinian, menurut website kbbi (http://kbbi.web.id/kini), keninian
berarti /ke·ki·ni·an/ n keadaan kini atau sekarang.
Setelah melakukan analisis dan meruncingkan keyword yang telah didapatkan
dari teknik analisis, dua kata terakhir yaitu kekinian dan kualitas diruncingkan
kembali menjadi kata ketagihan. Menurut kbbi (http://kbbi.web.id/tagih) kata
ketagihan berarti (1) terus-menerus meminta (ingin). (2) merasa sangat ingin akan
sesuatu karena sudah menjadi kebiasaan. Sehingga keyword akhir yang digunakan
adalah kata ketagihan.
3.6 Analisis warna
Dalam keyword yang didapat di atas dimunculkan warna yang
merepresentasikan ketagihan dalam pewarnaan atau color grading agar mendukung
suasana sesuai dengan keyword. Pewarnaan akan di dominasi oleh warna yang
mewakili ketagihan. Dalam hal ini Peneliti memakai warna friendly dengan
mengutamakan warna warna yang cerah. Warna-warna friendly menurut Bride M.
Whelan (1994: 46 – 48) meliputi warna orange, Biru, Coklat, Ungu dan merah.
Gambar 3.5: Warna Orange
(Sumber: buku Color Harmony 2)
3.7Perancangan Karya
Perancangan karya merupakan tahapan dalam pembuatan sebuah film. Pada
tahap ini dibagi menjadi beberapa proses yaitu proses pra produksi, produksi, dan
pasca produksi dengan bagan seperti di bawah ini.
Gambar 3.6 :Alur Perancangan Karya
3.8 Pra Produksi
Pada proses pra produksi, terdapat beberapa aspek yang harus dilakukan sesuai
bagan perancangan karya yang telah dibuat.
1. Ide
Ide dalam pembuatan Tugas Akhir ini adalah mengulas masalah budaya
konsumtif khususnya di kota Surabaya. Dengan melalui media film dokumenter
bergenre Association Picture Story diharapkan penonton nantinya mampu
mengetahui dan memahami bahwa budaya konsumtif sangat tidak bermanfaat
karena tidak bisa membedakan benda yang bermanfaat atau tidak.
2. Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah: Konsep adalah “konsep
pertama yang mendasari keseluruhan nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yg penting
atau berguna bagi kemanusiaan.
Konsep pembuatan film ini diawali dari melihat banyaknya penjualan
barang-barang serta banyaknya masyarakat yang terjerumus trend-trend yang sedang
3. Treatment
Babak 1:
Surabaya merupakan kota metropolitan kedua di Indonesia. Ditandai dengan
banyaknya pusat perbelanjaan.
1. Video gedung gedung kota Surabaya (beserta close up gedung, tilting
serta timelapse awan diatas gedung)
2. Video kepadatan jalan raya menggunakan timelapse kamera obyektif dan
kamera subyektif.
3. Shot mall dan gemerlap kota Surabaya.
4. Shot keramaian pusat perbelanjaan.
Babak 2:
Menampilkan kegermelapan tempat tempat serta pola konsumsi masyarakat
yang berlebihan.
1. Shot etalase pada mall dan pusat perbelanjaan. Close up pada detail detail
manekin.
2. Shot keramaian diskon pusat perbelanjaan.
3. Shot timelapse roda trolley. Dan isian pada trolley dengan barang-barang
4. Shot shot pengunjung yang membeludak
Babak 3:
Menampilkan efek akhir dari budaya konsumtif yang melanda di Surabaya.
1. Semiotika terikat dengan struk belanja. Menggunakan talent perempuan
dengan membawa tas belanjaan dan pekaian branded. Kemudian terikat
struk belanja.
2. End.
4. Sinopsis
Surabaya merupakan kota metropolis terbesar ke dua di Indonesia, namun
kehidupan masyarakat Surabaya makin tidak realistis, karena tuntutan
perkembangan jaman yang menjadikan masyarakat Surabaya menjadi konsumtif
pada fashion dan gadget serta mengikuti trend yang sedang “kekinian”.
Film ini berusaha menampilkan kehidupan masyarakat konsumtif serta akibat
akibatnya secara lebih dekat.
5. Persiapan Teknis
Persiapan teksnis meliputi persiapan peralatan produksi dan pemilihan tim
produksi dalam pembuatan video.
a. Alat yang digunakan, Yaitu:
2) 1 Ponsel Android Asus
3) 1 Lensa Nikon 18 – 105 mm
4) 1 Tripod
5) 2 Memory SD Card
6) 1 Memory Micro SD
b. Tim Produksi
1) Eksekutif Produser : Esi
2) Produser, sutradara, naskah, Editor : Guntur Kresno I
3) DOP : Guntur Kresno I
Dimas Adi W. U
4) Cameraman : Guntur Kresno I
Sonya Ratnya Aryananta
5) Musik : Fergie Verantianes
6. Penjadwalan
Sebuah produksi video membutuhkan waktu yang panjang, maka diperlukan
penjadwalan yang disesuaikan dengan ketersediaan lokasi dan perijinan yang
Tabel 3.4 Jadwal Kerja
7. anggaran Produksi
Dalam proses pembuatan video Dokumenterdibutuhkan anggaran dalam proses
produksinya. Berikut merupakan tabel anggaran dana Produksi.
Tabel 3.5 Anggaran Produksi
No Kebutuhan Harga Qty Total Subtotal
Pra Produksi
1 Koneksi Internet 200. 000 1 200.000 350.000
2 Buku 100.000 1 100.000
Cetak Proposal 50.000 1 50.000
Pembelian dan Pembuatan Alat Produksi
Harddisk External 850.000 1 850.000
Grand total 5.110.000
3.9 Produksi
Dari skema perancangan karya di atas Peneliti melakukan berbagai tahap
produksi dengan melakukan proses persiapan alat dan shooting di lokasi-lokasi yang
telah direncanakan sebelumnya
3.10 Pasca Produksi
Tahap publikasi akan dilakukan Pameran karya sebagai syarat presentasi Tugas
DVD (cover depan dan cover cakram). Pembuatan media publikasi film dokumenter
ini diperlukan beberapa proses, antara lain menentukan konsep. Berikut adalah
langkah-langkah yang akan dilakukan dalam persiapan melakukan tahap publikasi:
1. Poster
Gambar 3.7 Sketsa Poster
2. Cover DVD
Gambar 3.8 Sketsa Cover DVD
(Sumber: Olahan Peneliti)
3. Cakram DVD
Gambar 3.9 Sketsa Cakram DVD
42
Laporan Tugas Akhir pada BAB IV ini akan menjelaskan mengenai hasil karya
yang berasal dari rancangan pada bab sebelumnya. Pada bab ini akan menjelaskan
mengenai tahap produksi video dokumenter.
4.1 Produksi
Dalam proses produki ini, ada beberapa tahapan yang dilakukan, yaitu shooting,
Editing dan Color Grading, Rendering dan Publikasi.
4.1.1 Shooting
Berikut ini pada gambar 4.1 merupakan hasil pengambilan video Timelapse.
Persiapan yang dilakukan diantaranya adalah pengecekan tripod, kamera DSLR,
Memory card, serta Baterai kamera. Proses pengambilan dilakukan di beberapa
tempat di Surabaya.
Dalam proses pengambilan gambar Timelapse, perlu diperhatikan antara lain
yaitu interval waktu yang digunakan, shutter speed, diafragma, dan ISO. Tak lupa
yaitu peralatan yang digunakan yaitu kamera DSLR, Tripod, serta ponsel. Pada
pengambilan gambar Timelapse diatas menggunakan rentang waktu tiap foto yaitu 5
Tak lupa mada saat pengambilan gambar menggunakan tripod agar tidak terjadi
guncangan pada kamera.
Gambar 4.1 Hasil Pengambilan Gambar
(Sumber: Olahan Peneliti)
Gambar di atas merupakan hasil pengambilan video Timelapse yang dilakukan.
Pada saat syuting. Tim produsi mengambil beberapa alternatif gambar menggunakan
teknik pengambilan gambar yang merepresentasikan beberapa variasi visual dalam
pengambilannya. Pengambilan Gambar menggunakan teknik Timelaspse ditujukan
untuk memperlihatkan pergerakan secara cepat dengan hasil durasi yang singkat.
Pengambilan dalam ukuran shot long shoot yang dipadukan dengan pergerakan
zoom in untuk menunjukkan detail obyek kepada penonton. Zooming dapat dilakukan
dengan cara pergerakan lensa maupun digital pada proses editing, namun efek
perbesar, pada saat editing menggunakan pergerakan zooming yang masih bisa
ditoleransi sehingga tidak mengurangi kualitas gambar.
Gambar 4.2 Hasil Gambar Produksi 1
(sumber: Olahan Peneliti)
Pada gambar 4.2 merupakan pengambilan gambar dengan pergerakan secara tilt
up yang ingin memancing perhatian penonton dan sekaligus memperlihatkan
kemegahan bangunan yang ada di Surabaya. Pengambilan dengan close up juga
dilakukan dengan tujuan memperlihatkan detail bangunan.
Pada gambar 4.3 berikut menunjukkan pengambilan gambar dengan teknik
Timelapse yang digunakan untuk menyajikan kepadatan kota Surabaya saat malam
Gambar 4.3 Gambar Hasil Produksi 2
(Sumber: Olahan Peneliti)
Video-video dari hasil syuting yang diwakilkan diatas kemudian dikumpulkan
dan dikelompokkan bersama video lainnya untuk tahap persiapan pada proses
selanjutnya yaitu pada proses pasca produksi.
4.2 Editing dan Color Grading
Pada tahap ini proses yang dilakukan adalah editing yang pada dasarnya adalah
pemilihan file hasil syuting kemudian penyusunan video hasil syuting menurut
treatmen yang sudah dibuat dan dilanjutkan dengan variasi editing serta pembuatan
1. Pemilihan file
Proses awal adalah pemilihan beberapa file stock shoot yang telah diambil pada
proses produksi, pemilihan file dilakukan dengan penilaian kualitas gambar yang
sesuai dengan treatmen dan mewakili keyword. Setelah itu proses dilanjutkan
pada pengelompokan file untuk segmen masing-masing
Gambar 4.4 Pengelompokan File
(sumber: Olahan Peneliti)
Dalam hal ini, pengelompokkan file dibedakan menurut folder, pada shooting
sebelumnya dilakukan pengambilan gambar Timelapse yang menghasilkan
beberapa ratus file foto, sehingga diperlukan folder khusus untuk membedakan
2. Editing video Timelapse
Hasil gambar pada proses shooting Timelapse dikelompokkan berdasarkan
folder, sehingga mempermudah dalam menemukan file yang akan di edit. Proses
penyuntingan video Timelapse ini menggunakan aplikasi adobe after effect.
Gambar 4.5 Adobe After effect
(Sumber: Olahan Peneliti)
Import file foto yang dihasilkan pada proses shooting, blok file yang dihasilkan
serta pada dialog box import centang pilihan JPEG Sequence agar pada saat
import dalam library after effect file foto menjadi satu file sequence di dalam
Gambar 4.6 ImportfileTimelapse
(Sumber: Olahan Peneliti)
File yang sudah ter-import di after effect dilakukan editing seperti zooming
ataupun panning dengan menggunakan efek digital yang ada pada after effect
serta menambah sinematografi dalam video tersebut.
3. Penataan dan pemotongan video
Proses ini dilakukan setelah pemilihan stock shoot selesai dengan meyusun dan
memotong video yang dipilih dan dimasukkan dan disusun berdasar treatmen
Gambar 4.7 Penataan dan Pemotongan video
(Sumber: Olahan Peneliti)
Penataan dan pemotongan video dilakukan dengan teliti agar tidak menampilkan
gambar yang tidak diinginkan. Hal tersebut dilakukan dengan pemotongan video
satu persatu secara detail dan menyeluruh agar hasil maksimal.
4. Stabilising Video
Stabilizing video digunakan apabila stok shoot yang ada terjadi guncangan pada
saat pengambilan gambar. Sehingga guncangan pada gambar dapat di kurangi
sampai dihilangkan tergantung pada tingkat guncangan yang ada pada video.
Stabilizing video menggunakan warp-stabilizer pada adobe premiere pro pada tab
Gambar: 4.8 Warp Stabiliser
(Sumber: Olahan Peneliti)
Warp stabilizer di drag pada video yang terdapat guncangan. Lalu pada tab effect
control pilih analyze . secara otomatis premiere pro akan melakukan stabilizing
video, namun perlu ada nya pengaturan tertentu sehingga dapat dihasilkan secara
optimal.
Gambar 4.9 tab control effect
5. Proses Pewarnaan (color Grading)
Proses pewarnaan atau color grading berfungsi untuk menyetarakan warna dari
setiap video yang telah diambil dan disusun agar mendukung suasana yang
diinginkan sesuai keyword. Pewarnaan akan didominasi pewarnaan yang
mengacu pada warna yang terdapat pada skema warna di gambar 4.8.
Gambar 4.10 Skema Warna
(Sumber: Buku Color Harmony)
Untuk memperkuat nuansa dalam suatu video dokumenter, maka pada setiap
video yang dirangkai menjadi satu kesatuan ini dilakukan pewarnaan sesuai
Gambar 4.11 Warna Sebelum Color Grading
(Sumber: Olahan Peneliti)
Proses color grading dilakukan di Adobe Premiere. Warna pada video di atur
sedemikian rupa agar sesuai dengan warna yang diinginkan serta sesuai pada
proses perancangan karya pada bab sebelumnya. Pada gambar 4.10 Proses color
grading menggunakan plug-in standar dari adobe premiere pro yaitu three-way
color corrector. Plug-in ini memungkinkan untuk pewarnaan dengan 3 channel
yaitu, shadow, midtones, dan highlights.
Gambar 4.12 Three-Way Color Corrector
Proses color grading dilakukan dengan mengubah kenob yang ada pada tiga
chanel tersebut. Kemudian di atur sedemikian rupa sehingga dihasilkan
pewarnaan yang diinginkan dan sesuai dengan bab sebelumnya. Hasil color
grading dapat dilihat pada gambar 4.11 di bawah ini.
Gambar 4.13 Hasil Proses Color Grading
(Sumber: Olahan Peneliti)
4.3 Rendering
Pada tahap ini rendering dilakukan untuk mengubah file yang sudah tersusun
rapi dalam dapur editing menjadi satu kesatuan file utuh dengan format yang berbeda
Gambar 4.14 Tab Rendering
(Sumber: Olahan Peneliti)
Dalam proses ini rendering dilakukan dengan mengubah output file ke format
MP4 H.264. Pemilihan format file juga didasari oleh format tersebut dapat diputar
dalam berbagai macan sistem operasi maupun perangkat lain yang memang sudah
mendukung untuk memutar file MP4. File MP4 juga memberi kemudahan dalam hal
ukuran file namun tidak menurunkan kualitas gambar. Pada tahap ini, tahapan yang
perlu diperikasa adalah resolusi gambar, dan pastikan resolusi gambar berada pada
resolusi HD 720 1280x720 30fps atau resolusi diatasnya jika memungkinkan.
Semakin besar resolusi pada video maka semakin besar pula ukuran file. Pada gambar
Gambar 4.15 Export Setting
(Sumber: Olahan peneliti)
4.4 Pasca Produksi
Pasca produksi setelah film dibuat adalah membuat publikasi akan dilakukan
sebagai syarat presentasi Tugas Akhir. Media yang akan di gunakan untuk publikasi
adalah poster, dan merchandise. Pembuatan media publikasi film dokumenter ini
diperlukan beberapa proses, antara lain menentukan konsep yang sudah dilaksanakan
pada bab sebelumnya. Berikut adalah langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
4.4.1 Publikasi
Tahap publikasi merupakan strategi untuk mengenalkan film yang telah dibuat
kepada target yang dituju. Distribusi film kali ini dilakukan pada Pameran karya yang
dilaksanakan di mall Ciputra World Surabaya sehingga perlu adanya media publikasi.
Media publikasi yang dibuat adalah poster, stiker, dan DVD. Media tersebut
dipergunakan sebagai media promosi yang efektif, karena di bawa dan
dipasang/digunakan terus menerus, dan dalam beriklan tidak membayar sama sekali.
Berikut adalah hasil poster yang sudah dibuat:
1. Poster
Gambar 4. 16 Poster
2. Sticker
Gambar 4.17 Stiker
(Sumber: Olahan Peneliti)
3. DVD
Gambar 4.18 DVD
4. Pameran Karya
Gambar 4.19 Display pameran Karya
59
5.1 Kesimpulan
Hasil dari penelitian budaya konsumtif dapat dikemas menjadi film
documenter dengan genre Association Picture Story. Penggunaaan genre Association
Picture story dipilih sebagai keunikan tersendiri dalam pembuatan film documenter.
Hal ini digunakan untuk menarik minat penonton. Dalam tugas akhir ini Konten yang
diangkat adalah budaya konsumtif hal ini dilakukan agar masyarakat tidak terjebak
dalam budaya konsumtif sehingga masyarakat lebih bijaksana dalam membeli.
5.2 Saran
Penulis menyarankan perencanaan serta riset yang mendalam tentang topic
yang diangkat. Tidak hanya itu, kesiapan peralatan dan perencaan juga harus matang
terutama dalam proses pembuatan film documenter bergenre Association Picture
Story ini. Berdasarkan seluruh proses yang telah dilalui dari pembuatan video
dokumenter ini adanya kekurangan dalam hasil karya perlu adanya koreksi antara lain
pewarnaan serta variasi visual. Sehingga kedepannya dalam pembuatan film ini lebih
60 Press.
Blandford, Grant, & Hillie (2001). The Film Studies Dictionary. Arnold.
Budrillard, J (2009). Masyarakat Konsumsi. (hal-34). Jogjakarta: Kreasi Wacana.
Chaney, D. (2009). Lifesyles Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Effendy, O. U. (1989). Kamus Komunikasi. Bandung: PT. Mandar Maju.
Fachruddin, A. (2012). Sejarah Film Dokumenter. In A. Fachruddin, Dasar Dasar Produksi Televisi (pp. 315-318). Jakarta: Prenada Media.
Peaock, R. Beck (2001). The art of Movie Making. Prentice hall.
Pratista. H (2008) Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sumartono. (2002). Terperangkap dalam iklan : meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Vivian, J. (2008). Komunikasi Massa (pp. 5-7). Jakarta: Kencana.
Whelan. M. Bride (1994). Color Harmony 2. A Guide to Creative Color Combinations. Rockport Publisher.
Sumber Internet
Ayawaila, G. R. (2012, Juli 09). Diskursus Kamera Dalam Dokumenter. Retrieved Oktober 28, 2014, from Kineforum.org: http://kineforum.org/web/blog/ diskursus-kamera-dalam-dokumenter.
Elfina . N.P.H (2010). Hubungan antara gaya hidup brand minded dan budaya konsumtif pada remaja putri. repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/ 14508/1/10E00081.pdf diakses pada Oktober 2015.
Fachiati, Nurul. 2015. Gawai, Jejak Perilaku Konsumtif. http://print.kompas.com /baca /2015/04/16/Gawai%2c-Jejak-Perilaku-Konsumtif. Diakses 24 Oktober 2015.
Febusanto. 2015. Metode penelitian kualitatif dan karakteristiknya.
seputarpengetahuan.com/2015/02/metode-penelitian-kualitatif-dan-karakteristiknya.html. Diakses tanggal 26 Oktober 2014.
Hikamudin, A. (2013, April 8). Masyarakat konsumtif. Retrieved Oktober 26, 2014, from Kompasiana: http://m.kompasiana.com/post/read/544253/1/masyarakat-konsumtif.html.
Kusen Dony Hermansyah, M. (2011, Juli 9). Jenis (Genre) Film Dokumenter. Retrieved Oktober 15, 2014, http://filmpelajar.com/berita/jenis-jenis-genre-film%C2%A0dokumenter.
Raymond. 2001. Remaja dan perilaku konsumtif. http://www.e-psikologi.com /artikel/individual/remaja-dan-perilaku-konsumtif. Diakses 24 Oktober 2014 .
Setiawati, Susy. 2010. PSIKOLOGI MASYARAKAT & PERMASALAHANNYA
BERBASIS PEMOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS) Susysetiawati.
blogspot.com. Diakses 24 Oktober 2015.
Syailendra. 2016. Pola Konsumtif Penyebab Masyarakat Mudah Ditipu
http://www.tempo.co/read/news/2013/02/27/064464007/Pola-Konsumtif-Penyebab-Masyarakat-Mudah-Ditipu. Diakses tanggal 26 Oktober 2014.
Syamila, A. (2014, desember 20). Saat Perilaku Konsumtif Menjadi Budaya Remaja. Retrieved agustus 15, 2015, http://www.kompasiana.com/ahdasyamilsaat-perilaku-konsumtif-menjadi-budaya-remaja_54f92016a33311f8478b4b84.