REAKSI LIKENOID ORAL YANG DISEBABKAN OLEH
OBAT ANTIHIPERTENSI DAN PERAWATANNYA
(LAPORAN KASUS)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
BELLA ATHIRA NIM : 080600116
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 25 Mei 2012
Pembimbing : Tanda tangan
Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM …………..
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 25 Mei 2012
TIM PENGUJI
KETUA : Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM ANGGOTA : Nurdiana, drg.,Sp.PM
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu PenyakitMulut
Tahun 2012
Bella Athira
Reaksi Likenoid Oral yang Disebabkan oleh obat Antihipertensi dan
Perawatannya ( Laporan Kasus). ix + 32 halaman
Penggunaan obat-obatan antihipertensi perlu menjadi perhatian para klinisi
kesehatan termasuk dokter gigi karena dapat menimbulkan efek samping sistemik dan
di rongga mulut. Efek samping yang dapat timbul di rongga mulut salah satunya
adalah reaksi likenoid oral yang merupakan inflamasi kronis. Tujuan penulisan
skripsi ini adalah untuk mengetahui mekanisme terjadinya reaksi likenoid oral yang
disebabkan oleh obat antihipertensi dan perawatannya.
Skripsi ini melaporkan kasus seorang pasien yang menderita lesi likenoid oral
setelah mengonsumsi obat antihipertensi. Perawatan dilakukan dengan menganjurkan
pasien untuk mengganti obat antihipertensinya dengan golongan lain dan didukung
pemberian obat-obatan meliputi Prednison, Amoropo, Tantum verde dan Kenalog
Orabase.
Dokter gigi dapat menegakkan diagnosa reaksi likenoid oral melalui
gambaran klinis dan anamnesa. Dalam kasus ini lesi terlihat mengalami
penyembuhan dengan menghilangnya daerah ulserasi setelah 3 minggu perawatan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Reaksi Likenoid Oral yang Disebabkan oleh obat Antihipertensi dan
Perawatannya (Laporan Kasus)” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Kedokteran Gigi. Shalawat berserta salam juga penulis sampaikan kepada
junjungan Nabi Muhammad Rasulullah SAW atas suri tauladan yang baik.
Dengan hati yang tulus, penulis mengucapkan terimakasih dan segenap cinta
yang tak terhingga kepada ayah dan ibu tersayang yaitu Razak dan Agustina Harahap
serta adik tercinta yaitu Yozie Dermawan, Bima Arya Perkasa dan Fathan Syafik
atas segala kasih sayang, doa restu, material, semangat, dan dukungan tanpa batas.
Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Sayuti Hasibuan, drg., Sp. PM selaku ketua Departemen Ilmu Penyakit mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan dosen pembimbing skripsi
atas waktu yang diberikan untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
2. Nurdiana, drg., Sp.PM, Indri Lubis, drg selaku dosen penguji dan staf
pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Mulut.
3.
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi terutama staf pengajar dan
pegawai di Departemen Penyakit Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara.
Terima kasih juga penulis sampaikan atas segala dukungan dan perhatian yang
telah diberikan Sari, Astri, Hanum, Fahreza, Said, Lailan, Ayi, Tia, Mahari, Mina,
Febby, Putripa, serta teman-teman stambuk 2008 atas bantuan, semangat, motivasi,
dan kebersamaan di FKG USU, dan terima kasih yang sebesarnya kepada Yoga
Sendika Dharma atas segala dukungan dan kesabaran selama ini yang di berikan
kepada penulis.
Akhir sekali, penulis juga mengharapkan semoga skripsi ini dapat
memberikan sumbangan pikiran bagi pengembangan disiplin ilmu di Fakultas
Kedokteran Gigi khususnya Departemen Penyakit Mulut.
Medan, 25 Mei 2012
Penulis,
(Bella Athira)
DAFTAR ISI
2.1.1 Klasifikasi Obat Antihipertensi... 4
2.1.1.1 Diuretik... 4
2.1.1.2 Penyekat Reseptor Beta Adrenergik... 5
2.1.1.3 Penghambat Angiotensin Converting Enzyme... 5
2.1.1.4 Penghambat Reseptor Angiotensin... 6
2.1.1.5 Antagonis Kalsium... 6
2.1.2 Efek Samping Penggunaan Obat Antihipertensi... 7
2.2 Lesi Likenoid Oral yang Disebabkan oleh Obat Antihipertensi... 7
2.2.1 Definisi... 8
2.2.2 Etiologi... 8
2.2.3 Patogenesis... 9
2.2.4 Gambaran Klinis dan Histopatologis... 11
2.2.5 Diagnosa dan Diagnosa Banding... 14
2.2.6 Transformasi Keganasan... 16
2.2.7 Perawatan... 16
BAB 4 DISKUSI………... 23
BAB 5 KESIMPULAN…... 28
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Patogenesis reaksi likenoid oral... 10
2. Likenoid oral tipe retikular... 12
3. Likenoid oral tipe plak... 12
4. Likenoid oral tipe atrofik... 13
5. Likenoid oral tipe erosif... 13
6. Histologis reaksi likenoid oral... 14
7. Lesi likenoid tipe ulseratif pada mukosa pipi regio 38,37,36,35 (kunjungan pertama)... 21
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Golongan obat antihipertensi yang dapat menyebabkan
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Penyakit rongga mulut dapat disebabkan oleh faktor lokal dan sistemik.
Penyebab faktor lokal seperti kondisi rongga mulut yang buruk, mikroorganisme,
bahan tambalan, gigi tiruan, dan kebiasaan (merokok, menyirih, dan minum
alkohol).1 Faktor sistemik meliputi penggunaan obat-obatan, penyakit sistemik, dan
stres. Salah satu faktor sistemik tersebut adalah penggunaan obat-obatan yang dapat
menimbulkan efek samping di rongga mulut seperti xerostomia, sindrom mulut
terbakar, ulser, reaksi likenoid, dan gangguan pengecapan.1-3
Dari berbagai efek samping sistemik tersebut salah satu reaksi yang dapat
timbul adalah reaksi likenoid oral, yaitu merupakan variasi dari liken planus,lesinya
berbentuk erosif ataupun ulseratif dan dikelilingi oleh wickham’s striae.4 Reaksi
likenoid oral dapat disebabkan oleh pemakaian obat-obatan antihipertensi seperti beta
bloker, dapsone, hipoglikemik, anti-inflamasi nonsteroid, angiotensin-converting
enzyme inhibitors, anti-malaria, phenothiazines, sulphonamides.4,5 Selain itu dapat
juga disebabkan oleh karena kontak dengan bahan tambalan amalgam dan pada graft
versus host disease.6,7 Kejadian reaksi likenoid dilatarbelakangi oleh reaksi tipe IV.
Lokasi yang paling sering dikenai adalah lidah, mukosa pipi, mukosa bibir, dan
gusi.8,9
Beberapa laporan menyatakan bahwa obat antihipertensi dapat memicu
kasus seorang pasien wanita timbul lesi likenoid pada mukosa pipinya setelah
mengonsumsi alpha-methyldopa (aldomet).10 Raj G. Nair dan kawan-kawan tahun
2005 juga melaporkan seorang wanita, didapati lesi liken planus pada lidah, serta
mukosa pipi kiri dan kanan, setelah mengonsumsi allupurinol.11 Pada tahun 2010
Ruchadaporn Kaomongkolgit bahwa pada seorang pria didapati lesi likenoid pada
mukosa pipi kiri dan kanan setelah mengonsumsi atenolol dan tenormin.12 Beberapa
hasil studi klinis menunjukkan penggantian obat dengan golongan lain dapat
menyembuhkan lesi ini.10-12
1.2Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme terjadinya lesi likenoid oral akibat penggunaan
obat antihipertensi?
2. Bagaimana perawatan lesi likenoid oral yang disebabkan oleh obat
antihipertensi?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
1. Menjelaskan mekanisme terjadinya reaksi likenoid oral akibat
penggunaan obat antihipertensi.
2. Menjelaskan perawatan lesi likenoid oral yang disebabkan oleh
Manfaat penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk memberikan tambahan informasi bagi perkembangan ilmu
pengetahuan mengenai pengaruh obat antihipertensi terhadap rongga mulut.
2. Agar dokter gigi mampu mendiagnosa reaksi likenoid oral akibat obat
dengan melihat anamnesis gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya.
3. Agar dokter gigi dapat merawat dan melakukan penatalaksanaan
pasien yang menderita reaksi likenoid oral.
4. Agar dokter gigi dapat memberi saran mengenai golongan obat yang
dapat menyebabkan reaksi likenoid oral. Sehingga dokter umum lebih berhati-hati
dalam meresepkan obat antihipertensi.
1.4Ruang Lingkup
Skripsi ini menjelaskan mengenai reaksi likenoid, pengertian, etiologi dan
faktor predisposisi, gambaran klinis lesi likenoid oral di rongga mulut, diagnosa,
patogenesis serta perawatannya dan menjelaskan tentang klasifikasi juga efek
samping dari penggunaan obat antihipertensi, disertai dengan laporan suatu kasus
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obat antihipertensi
Obat antihipertensi adalah obat-obatan yang digunakan untuk mengobati
hipertensi dan bertujuan untuk mengontrol tekanan darah. Dosisnya bergantung pada
tingkat keparahan hipertensinya. Obat ini dapat diberikan secara tunggal dengan dosis
yang rendah ataupun dikombinasi dengan 2 obat antihipertensi golongan berbeda.13
Selain untuk mengobati hipertensi penggunaan obat ini juga dianjurkan pada individu
yang memiliki penyakit kardiovaskular.14
2.1.1 Klasifikasi obat antihipertensi
Terdapat beberapa golongan obat antihipertensi diantaranya dikenal 5
kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk pengobatan
awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik (β-blocker),
penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor
angiotensin (angiotensin receptor blocker), dan antagonis kalsium.15
2.1.1.1 Diuretik
Salah satu kelompok obat pada terapi hipertensi adalah diuretik.Obat ini
diindikasikan sebagai monoterapeutika pada penderita hipertensi usia tua. Diuretik
merupakan kombinasi yang penting pada penanganan hipertensi.16 Mekanisme
kerjanya berlangsung dalam 2 fase, pertama penurunan tekanan darah dan
klorida di ekskresi sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler.
Contoh obat antihipertensi dari golongan ini adalah furosemid, hidrokorotiazid,
bumetanid, amilorid, metolazon, torsemid.15-16
2.1.1.2 Penyekat Reseptor Beta Adrenergik (β-blocker)
Obat antihipertensi golongan beta bloker pertama kali diperkenalkan untuk
mengobati anginadansaat ini digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi
ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner, dapat
diberikan bersama dengan diuretik atau obat antihipertensi yang lain.14,15 Mekanisme
penurunan tekanan darah akibat pemberian beta bloker dapat dikaitkan dengan
hambatan reseptor β1 yaitu penurunan frekuensi denyut jantung, hambatan sekresi
renin di ginjal dan efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis.14 Contoh
obat antihipertensi golongan ini adalah atenolol, metoprolol, labetalol, propanolol.14,15
2.1.1.3 Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-inhibitor)
Penggunaan ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun
berat, juga menunjukkan efek positif pada terapi gagal jantung kongestif dan
mengurangi resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes,
dislipidemia dan obesitas.15 ACE-inhibitor menghambat pembentukan angiotensin II
sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron, sehingga
menyebabkan penurunan tekanan darah dan peningkatan kadar bradikinin. Contoh
obat antihipertensi golongan ini adalah kaptopril, lisinopril, perindropril, enalapril,
2.1.1.4 Penghambat Reseptor Angiotensin (Angiotensin receptor blocker)
Angiotensin receptor blocker (ARB) adalah golongan obat antihipertensi yang
sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin
yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung.Mekanisme ARB mirip dengan
ACE-inhibitor, tetapi tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin. Contoh obat
antihipertensi golongan ini adalah losartan, valsartan, irbesartan, telmisartan,
candesartan.15
2.1.1.5 Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium telah menjadi salah satu golongan antihipertensi tahap
pertama, sebagai monoterapi obat ini memberikan efektivitas yang sama dengan
golongan lain dan terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang
rendah seperti pada usia lanjut.15 Golongan antagonis kalsium juga dianjurkan pada
penderita insufisiensi jantung atau penyakit saluran nafas obstruktif.Bekerja secara
vasodilatasi, menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel otot, sehingga akan
menurunkan resistensi perifer dan akan bekerja menurunkan tekanan darah.
Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh reflek takikardia dan
vasokonstriksi. Contoh obat antihipertensi golongan ini adalah nifedipin, amlodipin,
felodipin, diltiazem, verapamil.15,16
2.1.2 Efek Samping Penggunaan Obat Antihipertensi
Penggunaan obat-obatan antihipertensi secara umum berpotensi menyebabkan
mulut.5Beberapa efek samping sistemik dapat terjadi pada setiap individu yang
mengonsumsi obat antihipertensi, bergantung pada dosis dan toleransi dari tubuh
penderita terhadap obat tersebut.16 Efek samping sistemik diantaranya yaitu batuk,
pusing, lelah, sakit kepala dan mual, sementara yang lebih berat timbulnya nyeri
dada, hipotensi, pembengkakan pada leher, tangan dan wajah, gangguan pernafasan,
gangguan pencernaan, gangguan sistem saraf pusat, dan kerusakan parenkim hati.14-16
Efek samping lokal yang dapat terjadi pada rongga mulut adalah xerostomia,
ulser, pembesaran gingiva, reaksi likenoid, sindrom mulut terbakar, serta gangguan
pengecapan.5,18,19
2.2 Lesi Likenoid Oral yang Disebabkan oleh Obat Antihipertensi
Penggunaan obat-obatan sistemik perlu menjadi perhatian para klinisi
kesehatan, karena banyak pasien mengeluhkan kondisi rongga mulutnya setelah
mengonsumsi obat-obatan tersebut. Reaksi likenoid oral adalah salah satu efek
samping yang timbul akibat penggunaan obat-obatan sistemik.1 Likenoid oral tidak
hanya disebabkan oleh obat-obatan tetapi juga termasuk bahan tambalan, penyakit
kronis graft versus host disease, trauma mekanis (koebner phenomenon) yaitu
endapan kalkulus, gigi yang tajam, permukaan restorasi atau protesa yang kasar,
menggigit pipi dan lidah serta prosedur pembedahan pada rongga mulut dapat
memicu kemunculan lesi ini.4,8,20 Ditemukan banyak jenis obat yang dapat
menyebabkan terjadinya reaksi likenoid oral, diantaranya adalah obat-obatan
antihipertensi.7 Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa obat antihipertensi
Likenoid oral yang disebabkan obat antihipertensi merupakan reaksi
hipersensitifitas tipe 4 sehingga kadangkala lesi tidak muncul pada awal pemakaian
obat. Kemunculan lesi pada rongga mulut setelah mengonsumsi suatu obat harus
segera dicurigai, tetapi hal yang paling utama dalam memastikan penyebabnya adalah
klinisi kesehatan dapat melakukan pengamatan terhadap kondisi lesi setelah
pemberhentian obat atau penggantian dengan golongan lain. Dalam proses
penyembuhan lesi tidak akan langsung menghilang tetapi membutuhkan waktu
beberapa minggu.8,20
2.2.1 Definisi
Lesi likenoid oral merupakan inflamasi kronis yang terjadi didalam rongga
mulut dan secara klinis menyerupai liken planus. Lokasi yang sering dikenai adalah
mukosa pipi, mukosa bibir, lidah, gusi dan juga terjadi pada mukosa palatal meskipun
jarang ditemui.9 Timbulnya lesi ini dapat disebabkan oleh penggunaan obat-obatan
antihipertensidan lama pemakaian obat dapat memperparah kondisi lesinya.5,21
2.2.2 Etiologi
Berbagai macam etiologi dapat menyebabkan reaksi likenoid pada rongga
mulut, meskipun penyebab utama kemunculannya tidak diketahui tetapi pemakaian
obat antihipertensi (tabel 1) dilaporkan dapat menyebabkan reaksi likenoid oral, dan
ACE-inhibitor adalah golongan yang paling utama.20 Banyaknya jumlah atau jenis
obat antihipertensi yang dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap perkembangan
Tabel 1. GOLONGAN OBAT ANTIHIPERTENSI YANG DAPAT MENYEBABKAN REAKSI LIKENOID ORAL5,8
Golongan Obat Antihipertensi Jenis Obat
1. Diuretik - Furosemid
2. β-blocker - Atenolol
- Propanolol - Labetalol - Oxyprenolol
3. ACE-inhibitor - Kaptropil
- Enalapril - Methyldopa
2.2.3 Patogenesis
Reaksi likenoid oral merupakan penyakit yang diperantarai oleh reaksi
hipersensitifitas tipe IV (gambar 1) dengan sel T dan CD8+ sebagai sel pemicu
terjadinya apoptosis pada sel epitel. Peristiwa ini pada awalnya dimulai dengan
stimulus dari agen endogen dan eksogen. Agen endogen dalam hal ini adalah stres
sementara agen eksogen yaitu bahan tambalan, penyakit kronis graft versus host
disease, tembakau, trauma mekanis (koebner phenomenon) yaitu endapan kalkulus,
gigi yang tajam, permukaan restorasi atau protesa yang kasar, obat-obatan, infeksi
viral, bakteri, dan alkohol.Sel yang berperan dalam pengaktifan reaksi ini terdiri dari
antigen yaitu obat, sel T, makrofag dan langerhans yang bertindak sebagai
APC/antigen presenting cells.27
Pengaktifan antigen diawali dengan perlekatannya pada permukaan sel
langerhans yang kemudian dikenali dan diaktifkan,proses pengaktifannya
Setelah pengaktifan terjadi maka sel langerhans yang bertindak sebagai antigen
presenting cells membawa antigen ke limfosit. Limfosit akan melepaskan sitokin
yang akan mengaktifkan makrofag sehingga menyebabkan degranulasi. Makrofag
menyebabkan terjadinya perlekatan molekul endotel-leukosit yang berperan dalam
terjadinya kerusakan pada lapisan basal dan fase kronis pada penyakit ini.20,23
Gambar 1. Patogenesis reaksi likenoid oral36
Proses perusakan lapisan basal dimulai dengan sitokin yang berinfiltrasi ke
sub-epitel.Sel-sel yang berperan terdiri dari sel T yang dimediasi oleh langerhans dan
keratinosit.2,21 Proses perusakan terjadi melalui perlekatan T limfosit diikuti dengan
disertai gambaran hyperkeratosis dalam rongga mulut pasien. Kejadian inilah yang
disebut dengan reaksi likenoid oral.20
2.2.4 Gambaran Klinis dan Histopatologis
Likenoid oral memiliki beberapa variasi klinis yaitu retikular, plak, erosif,
atropi, ulseratif dan bula serta distribusinya unilateral.4,2 Reaksi ini paling sering
timbul pada mukosa pipi dan dapat bertahan selama beberapa bulan hingga tahun
dalam rongga mulut dengan periode pasif dan eksaserbasi. Ditemukan hampir setiap
kasus likenoid oral memperlihatkan gambaran keratotik pada beberapa area
mukosa.Gejala yang muncul dapat bervariasi, rasa sensitif pada mukosa sampai rasa
sakit yang terus-menerus.Pada periode eksaserbasi proses ulserasi terjadi sehingga
timbul peningkatan rasa sakit dan sensitifitas. Periode pasif terjadi penurunan rasa
sakit akibat berkurangnya ulserasi, sehingga pasien tidak sadar akan kemunculan lesi
pada rongga mulutnya.27
Secara keseluruhan tipe lesi likenoid akan memperlihatkan gambaran khas
yang serupa yaitu wickham’s striae, tetapi terdapat beberapa perbedaan gambaran
klinis dan gejala yang ditimbulkan. Tipe retikular memperlihatkan gambaran klinis
jalinan garis-garis putih keratotik yang berbatasan dengan daerah eritema. Tipe plak
memiliki area garis putih yang homogen sementara pada tipe erosif terlihat gambaran
irregular dan daerah ulserasi disekitar lesi. Tipe atrofik memiliki gambaran
permukaan ulserasi yang berwarna kekuning-kuningan (fibrinous exudate) pada
bagian tengah dan dikelilingi area eritema. Gambaran pada tipe ulseratif yaitu daerah
gambaran klinis berupa vesikel kecil atau bula. Tipe plak dan retikular biasanya tanpa
gejala (asimtomatik) sementara pada lesi likenoid tipe erosif, atrofik dan ulseratif
akan menimbulkan gejala seperti rasa terbakar diikuti dengan rasa sakit.29,31
Gambar 2. Likenoid oral tipe retikular1
Gambar 3. Likenoid oral tipe plak1
Gambar 5. Likenoid oral tipe erosif1
Reaksi likenoid oral memiliki gambaran histologis yang mirip dengan liken
planus, meskipun demikian terdapat beberapa perbedaan seperti sel inflamasi,
presentasi limfosit, degranulasi mast cells, gambaran epitel dan cytoid bodies.4 Van
den haute melaporkan bahwa pada reaksi likenoid cytoid bodies lebih tinggi di daerah
granular dan lapisan cornified.22
Gambar 6. Histologis reaksi likenoid oral1
Gambaran histopatologis pada reaksi likenoid oral yang disebabkan oleh
superfisial sub mukosa,serta penebalan pada sub-epitheliallympho-histiocytic dan
degenerasi lapisan sel basal “liquefaction degeneration”.Pada area degenerasi
terdapat keratinosit yang terdiri dari (civatte, hyaline, cytoid) sel sitoplasmik dan
peningkatan jumlah sel granulasi di dasar membran.20,25 Sel inflamasi terlihat lebih
padat pada sub epitel, lebih sedikit di jaringan konektif dan akan meningkat saat
terjadi inflamasi yang lebih parah.1,4,2
2.2.5 Diagnosa dan Diagnosa Banding
Diagnosa likenoid oral dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan klinis
serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis dilakukan dengan meninjau riwayat
pemakaian obat pasien serta lokasi lesi. Pasien likenoid biasanya mengeluhkan rasa
sensitif saat makan panas, pedas dan asam, rasa sakit disertai luka pada mukosa,
bercak merah atau putih di mukosa oral, serta kemerahan pada gusi dan ulserasi pada
mukosa.4,20 Diagnosa melalui anamnesis akan lebih mudah diketahui apabila pasien
menderita lesi likenoid setelah baru memulai mengonsumsi obat-obatan.24
Pada pemeriksaan klinis likenoid oral dapat didiagnosa melalui distribusi
lesinya yang unilateral, garis-garis putih wickham’s striae dan lokasi terjadinya.23
Lesi likenoid oral tipe retikular, erosif, ulseratif dapat terjadi pada mukosa bukal dan
mukosa bibir, sedangkan tipe plak sering muncul pada dorsum lidah.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan biopsi, pemeriksaan
histologis dan immunofluorescent. Biopsi dilakukan untuk memperoleh diagnosa
melalui gambaran histologis yang dapat digunakan untuk membedakan lesi likenoid
immunofluorescent terdiri dari direct dan indirect. Pemeriksaan secara direct
digunakan untuk mendeteksi autoantibodi yang membatasi jaringan dan indirect
digunakan untuk mendeteksi sirkulasi antibodi didalam darah, namun kedua teknik
pemeriksaan ini tidak dapat digunakan secara tunggal dalam menegakkan diagnosa.8,9
Diagnosa dapat dilakukan dengan membandingkan beberapa penyakit lain
yang mirip dengan lesi likenoid oral diantaranya adalah graft versus host disease,
epithelial dysplasia, lupus erythematosus, pemfigus vulgaris, dan hepatitis C infection
chronic hepatic disease. Diagnosa ini didukung dengan riwayat penyakit,
kemunculan dan distribusi lesi serta gambaran klinisnya.20,25,28
2.2.6 Transformasi Keganasan
Beberapa studi klinis menyebutkan bahwa lesi likenoid oral dapat
berkembang ke arah keganasan, meskipun masih diperdebatkan. Pada beberapa kasus
ditemui bahwa lesi ini dapat mengarah pada Squamous cell carcinoma (SCC).8,25
Likenoid dihubungkan dengan perubahan lesi yang berkembang menjadi kanker oral,
disebutkan pada salah satu literatur bahwa sebanyak 5,3% kasus likenoid berubah
kearah ganas dengan tipe atropik dan erosif sebagai frekuensi terbanyak.Resiko
keganasan akan semakin meningkat bila pasien merokok dan mengonsumsi alkohol.4
Proses terjadinya keganasan pada lesi likenoid oral yaitu ketika lesi tidak
terdeteksi dan berada dalam rongga mulut pada waktu yang lama sehingga
menyebabkan perubahan sel epitel menjadi epithelial dysplasia.8 Perubahan ini dapat
dideteksi melalui biopsi dengan melihat gambaran histopatologis dan
tepat dan melihat gambaran histologis sel displasia yang dapat berkembang ke arah
keganasan.8,17
2.2.7 Perawatan
Tujuan utama perawatan likenoid oral adalah menghilangkan gejala rasa sakit,
menyembuhkan lesi, penurunan resiko kanker rongga mulut dan pemeliharaan oral
higiene.20 Dalam mencapai tujuan tersebut dapat digunakan modalitas perawatan
farmakologik maupun non-farmakologik. Berbagai macam bahan farmakologik
seperti kortikosteroid,retinoid, cyclosporin dan tacrolimus telah digunakan untuk
merawat likenoid oral. Dari sekian banyak pilihan obat, kortikosteroid merupakan
pilihan utama yang paling sering dianjurkan karena memiliki efek imunosupresan dan
anti inflamasi yang sesuai dengan patogenitas likenoid.27,29
Pemberian obat-obatan golongan kortikosteroid dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu secara lokal ataupun sistemik.Dalam pengobatan farmakologik secara
lokal, kortikosteroid topikal paling banyak dipilih untuk merawat lesi atropik dan
erosif.20 Kortikosteroid topikal bermanfaat dalam mengurangi rasa sakit serta
inflamasi. Pilihan obat yang dapat digunakan adalah triamcinolone acetonide 0,1%,
bethametasone valerate gel 0,05%, clobetasol proprionate gel 0,05%, dan
fluocinonide acetonide 0,05% ditemukan efektif pada lesi likenoid yang lebih parah
dan tidak merespon golongan lain. Obat ini juga dianjurkan terhadap pasien yang
memiliki penyakit sistemik seperti hipertensi dan diabetes karena memiliki efek
samping yang lebih sedikit.28,29 Cara penggunaan obat-obatan tersebut yaitu pasien
diinstruksikan untuk mengaplikasikan selapis tipis pada lesi sebanyak 3 kali sehari,
topikal akan memberikan rasa tidak nyaman maka penggunaan suspensi berbentuk
obat kumur dapat diindikasikan, pemilihan obatnya yaitu aqueous triamcinolone
acetonide 1,0 mg/ml atau dexamethasone elixir 0,1 mg/ml. Pasien diinstruksikan
untuk berkumur dengan 5 mL larutan selama 2 menit setelah makan dan sebelum
tidur.29
Terapi kortikosteroid secara sistemik merupakan pengobatan paling efektif
pada penderita dengan lesi likenoid oral yang meluas serta sulit disembuhkan.
Pengobatan ini juga dianjurkan terhadap lesi yang tidak responsif terhadap terapi
topikal.Prednison dipilih sebagai pengobatan awal pada pasien likenoid oral dengan
dosis 30-60 mg per hari.30 Pengobatan harus tetap dilanjutkan sampai lesi
terkontrol.Obat-obatan lain yang dapat dipilih adalah golongan methyl prednisolone.
Pengobatan secara injeksi intralesi dapat dilakukan dengan pilihan obat intralesional
corticosteroids sebanyak 0,2-0,4 ml atau triamcinolone acetonide 1,0 ml.
Kekurangan dari pengobatan ini adalah timbulnya rasa sakit serta tidak selalu efektif
dan akan timbul efek lokal seperti pembesaran mukosa.27,28
Untuk mengurangi efek samping yang dapat terjadi, kortikosteroid sistemik
sering digunakan bersama topikal agar memperoleh hasil pengobatan yang
efektif.Dosis yang digunakan bervariasi, bergantung dengan respon pasien. Dosis
harus disesuaikan dengan individu yaitu melihat keparahan lesi, usia, dan berat badan
pasien.28
Selain kortikosteroid terdapat agen farmakologik lain untuk merawat lesi
likenoid oral yang dapat digunakan secara topikal ataupun sistemik seperti retinoid
lesi. Retinoid dapat dipilih dalam perawatan lesi apabila kortikosteroid tidak berhasil.
Topikal retinoid memiliki efek terapeutik dalam mengobati daerah hyperkeratotic
likenoid, dan pengobatan sistemiknya dianjurkan dalam pengobatan likenoid dengan
lesi yang lebih parah.30Selain itu, tacrolimus jugamerupakan pilihan obat yang
diindikasikan secara topikal untuk mengontrol lesi dan efektif dalam penyembuhan
likenoid tipe erosif, memiliki efek penetrasi yang baik terhadap kulit dan efek
samping yang ditimbulkan adalah iritasi lokal. Cyclosporin adalah senyawa
polypeptide yang dapat menghalangi produksi sitokin dan efektif digunakan secara
topikal. Cyclosporin dapat menjadi pengobatan konvensional ataupun alternatif pada
kontrol awal likenoid oral, tetapi pengobatan ini tidak dianjurkan sebagai obat pilihan
pertama karena memerlukan biaya yang mahal serta masih terdapat obat lain yang
lebih tepat dalam penanganan lesi ini. Selain ketiga pilihan obat tersebut, juga
terdapat bermacam obat-obatan golongan lain seperti azathioprine, dapsone,
glycyrrhizin, interferon, levamisole, dan mesalazine yang dapat dipilih sebagai
perawatan farmakologik.28,29
Perawatan secara non-farmakologik yaitu biopsi, laser dan
photochemotherapy PUVA. Secara umum biopsi dilakukan untuk menghilangkan
daerah lesi yang beresiko tinggi menjadi sel dysplasia. Perawatan lanjutan seperti
laser yang dapat dipilih adalah cryotherapy, CO2 laser dan ND:YAG laser.
Photochemotherapy PUVA berguna terhadap pasien yang tidak merespon terapi
farmakologik, beberapa studi mengindikasikan terapi ini karena memiliki efek
terapeutik dan merupakan terapi lebih lanjut dalam mengontrol lesi.28,30 Faktor
penyebabnya tambalan amalgam maka bahan tambalan harus diganti. Sementara
likenoid yang disebabkan oleh obat-obatan, penggantian ataupun pemberhentian obat
harus dilakukan untuk mengontrol lesi dan mencegah perkembangannya kearah
BAB 3
LAPORAN KASUS
Seorang pasien, wanita, usia 57 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, pada
tanggal 7 Oktober 2011, dirujuk dari RS. Pelabuhan Belawan ke RSGMP FKG-USU
dengan keluhan luka di pipi kiri. Dari anamnesis diperoleh bahwa luka tersebut sudah
berlangsung selama ± 1 tahun, dengan keluhan terasa sakit apabila mengonsumsi
makanan yang pedas. Sejak timbulnya luka pasien baru satu kali berobat ke dokter
umum, diberi obat berupa tablet sebanyak 2 macam dan obat kumur betadine. Pasien
juga mengaku tidak mengalami stres atau tekanan psikologi, selain itu pasien juga
menggunakan Lasegar.
Pasien mengatakan bahwa telah menderita hipertensi sejak 1,5 tahun yang
lalu. Oleh dokter, pasien diberi obat AB-vask dan Tensivask yang dikonsumsi secara
bergantian. Pasien mengatakan sejak mulai mengonsumsi obat tersebut timbul luka
pada pipinya.
Pada pemeriksaan ekstra oral tidak dijumpai kelainan apapun. Pemeriksaan
intra oral pada mukosa bukal sebelah kiri di sekitar regio 38, 37, 36, 35 terlihat
daerah ulserasi, dangkal, ditutupi pseudomembran kekuningan, bentuk tidak teratur,
ukuran ± 3x1 cm, berwarna merah dan dikelilingi striae putih (gambar 7). Gigi 36
Gambar 7. Lesi likenoid tipe ulseratif pada mukosa bukal sekitar regio 38, 37, 36, 35 (kunjungan pertama)
Dari anamnesis dan pemeriksaan klinis ditegakkan diagnosa reaksi likenoid
oral. Perawatan yang diberikan adalah Prednison dengan dosis awal selama satu
minggu 30 mg, minggu berikutnya dikurangi menjadi 20 mg juga pemberian Tantum
verde dan Amoropo plus. Pasien disarankan untuk konsultasi dengan dokter umum
atau dokter spesialis Penyakit Dalam untuk mengganti obat antihipertensinya dengan
golongan lain serta dianjurkan untuk mencabut radiks gigi 36.
Pada kunjungan kedua tanggal 21 Oktober 2011 pasien datang dan
mengatakan bahwa luka di pipi telah berkurang sakitnya serta merasakan rongga
mulutnya sudah nyaman kembali seperti biasa. Pasien belum berkonsultasi dengan
dokter yang merawatnya, namun pasien telah menghentikan pemakaian obat
antihipertensi. Pada pemeriksaan intraoral terlihat ulserasi setentang gigi 38, 37, 36,
35 sudah tidak ada, tetapi masih terlihat warna merah, sedikit daerah keputih-putihan
dilakukan dengan kortikosteroid topikal (Kenalog orabase) dan melanjutkan
Amoropo plus.
BAB 4
DISKUSI
Pada kasus ini, diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis. Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien mengeluhkan adanya luka
yang timbul pada mukosa pipi setelah mengonsumsi obat antihipertensi yaitu
AB-vask dan TensiAB-vask. Melalui anamnesis diketahui bahwa pasien tidak mengeluhkan
adanya stress atau mengalami tekanan yang dapat menjadi salah satu faktor pemicu
terjadinya lesi likenoid oral. Dari pemeriksaan klinis dijumpai adanya lesi ulser
dengan gambaran khas wickham striae, tetapi disekitar lesi tidak ada tambalan
amalgam sehingga ditegakkan diagnosa lesi likenoid oral yang berhubungan dengan
obat-obatan.
Diagnosa penyakit ini dapat didukung oleh pemeriksaan penunjang yaitu
dengan melihat gambaran histologis serta melakukan tes immunofluorescent.
Pemeriksaan immunofluorescent dapat dilakukan secara direct dan indirect.
Pemeriksaan iniakan sangat membantu dalam menegakkan diagnosa lesi likenoid
yang disebabkan oleh obat-obatan melalui deteksi auto antibodipada jaringan dan
sirkulasi darah. Dalam kasus ini diagnosa hanya dilakukan berdasarkan gambaran
klinis di rongga mulut dan riwayat pemakaian obat pasien. Pemeriksaan
histopatologis dan immunofluorescent tidak dilakukan karena dari gambaran klinis
diagnosa telah dapat ditegakkan, juga mengingat pertimbangan biaya.
Likenoid oral adalah penyakit kronis yang diperantarai oleh sel T dan
panjang hingga kemunculan lesinya.Beberapa macam golongan obat-obatan telah
diketahui dapat bertindak sebagai agen eksogen. Pada kasus ini agen eksogen yang
bertindak sebagai antigen adalah obat antihipertensi (AB-vask dan Tensivask). Proses
terjadinya reaksi likenoid oral dimulai saat antigen melekat pada permukaan sel
langerhans yang merupakan antigen presenting cells. Antigen akan dikenali dan
diaktifkan, setelah pengaktifan terjadi maka sel langerhans akan membawa antigen ke
sel limfosit T dan akan diproses. Proses selanjutnya adalah pelepasan sitokin yang
akan berperan dalam pengaktifan makrofag dan menyebabkan degranulasi. Sitokin
inilah yang akan menginduksi limfosit untuk menghancurkan sel-sel basal
keratinosit.20,23 Dari beberapa laporan kasus yang telah dilaporkan, diketahui tidak
hanya obat antihipertensi saja yang dapat menyebabkan reaksi likenoid oral. J
Hamburger pada tahun 1983 melaporkan bahwa pada seorang pria usia 64 tahun
terdapat lesi likenoid pada mukosa pipi setelah mengonsumsi Indometachin.34
Kemudian pada tahun 2010 Pratanporn Arirachakaran menuliskan laporan seorang
pria usia 34 tahun timbul lesi likenoid oral pada bibirnya setelah mengonsumsi
HAART (highly active antiretroviral therapy).33
Dari beberapa penelitian yang dilaporkan menyatakan bahwa lesi likenoid
terjadi pada 1-2 % populasi manusia dewasa diatas 40 tahun, merupakan penyakit
non-infectious dan dapat timbul pada mukosa oral.27 Pasien pada kasus ini adalah
wanita berusia 57 tahun, selain usia faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya
lesi likenoid oral yaitu jenis kelamin, dan oral hygiene.4,25 Hal ini disebabkan seiring
bertambahnya usia mukosa mulut menjadi lebih tipis dan wanita biasanya memiliki
yang dihubungkan dengan usia dan faktor hormonal mempengaruhi struktur umum
epitel yang kemudian memiliki peran dalam etiologi likenoid oral.
Reaksi likenoid yang disebabkan oleh obat memiliki gambaran klinis yang
sama seperti liken planus sehingga kadangkala sulit untuk membedakannya.22 Kedua
lesi dapat dibedakan melalui faktor predisposisi kemunculan lesi dan distribusinya.
Likenoid oral dapat diketahui melalui agen kausatif yang berhubungan dengan
obat-obatan dan tambalan amalgam, sementara liken planus merupakan salah satu jenis
penyakit yang tidak diketahui penyebabnya dan seringkali dihubungkan dengan stress
secara psikologis, kecemasan sehingga berpengaruh pada ketidakseimbangan sistem
imun.4 Distribusi lesi likenoid umumnya unilateral sementara pada liken planus
bilateral.
Lesi likenoid oral dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk dengan adanya
gambaran khas jala-jala berwarna putih yang disebut dengan wickham striae.
Bentuk-bentuk tersebut yaitu retikular, plak, erosif, atropi, ulseratif dan bula.1,4 Tipe erosif,
atropi, dan ulseratif umumnya menimbulkan gejala-gejala pada pasien seperti rasa
sakit dan rasa terbakar yang membuat penderita merasa tidak nyaman, sedangkan lesi
likenoid tipe plak dan retikular biasanya asimptomatik sehingga pasien mungkin saja
tidak merasakan gejala apapun.29 Kasus yang dilaporkan disini menunjukkan lesi
likenoid tipe ulseratif, dan pasien merasakan keluhan rasa sakit pada saat makan
makanan yang pedas.
Terapi yang diberikan untuk lesi likenoid oral yang disebabkan oleh
obat-obatan pada prinsipnya dapat dilakukan dengan menghilangkan faktor penyebab yaitu
Beberapa kasus memperlihatkan keuntungan dalam penggantian obat dimana lesi
likenoid oral dapat disembuhkan setelah penggantian dilakukan. Seperti dilaporkan
oleh Ruchadaporn Kaomongkolgit, seorang pasien menderita likenoid oral setelah
mengonsumsi obat antihipertensi dan lesi sembuh setelah penggantian obat
dilakukan.12
Perawatan lesi likenoid oral terhadap pasien yang dilaporkan pada kasus ini
meliputi penghentian obat antihipertensi dan dianjurkan menggantinya dengan
golongan lain serta didukung dengan pemberian obat-obatan yaitu kortikosteroid
(Prednison 5mg) pro vitamin A (Amoropo plus) dan analgetik topikal (Tantum
verde). Perawatan dengan Prednison secara sistemik diberikan dengan cara tapering
off. Pengobatan dengan kortikosteroid diberikan karena memiliki efek
immunosupresan dan anti inflamasi yang berguna untuk mengontrol area ulserasi
dan eritema pada lesi agar tidak semakin luas. Amoropo plus yang mengandung β
-karoten, vitamin C, vitamin E, dan Lycopene. Berguna dalam membantu perbaikan
sel tubuh yang rusak serta mempercepat pembentukan sel-sel baru dan menghindari
terjadinya lesi prekanker. Tantum verde mengandung benzydamine dan hydrochloride
yang berfungsi sebagai antiseptik, anti inflamasi, serta analgetik dan anastetik yang
bermanfaat untuk meredakan sakit pada daerah ulserasi dan inflamasi di rongga
mulut.
Setelah tiga minggu perawatan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis di
rongga mulut diketahui bahwa lesi mulai menunjukkan proses penyembuhan. Proses
penyembuhan lesi dapat dilihat dari hilangnya ulserasi meskipun gambaran mukosa
keputih-putihan (wickham striae). Pasien masih dianjurkan melanjutkan perawatan Amoropo
plus dan ditambah dengan kortikosteroid topikal (Kenalog orabase). Kenalog
Orabase (Triamnicolone acetonide 0,1%) diresepkan untuk menghilangkan daerah
berwarna merah pada mukosa pipi.26,27
Lesi likenoid oral memiliki potensi berkembang kearah keganasan, salah satu
literatur menyebutkan sebanyak 5,3% kasus likenoid oral berubah menjadi Squamous
cell carcinoma (SCC). Lesi dengan tipe eritema dan erosif sebagai frekuensi
terbanyak berkembang kearah ganas, dan akan meningkat apabila pasien
mengonsumsi alkohol dan merokok.4 Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan rongga mulut serta mengonsumsi banyak vitamin yang dapat diperoleh
dari sayur dan buah-buahan.8,25 Pemberian edukasi terhadap penderita dapat
mendukung tindakan pencegahan mengenai perubahan likenoid oral menjadi ganas
sehingga pasien sadar akan kondisi rongga mulutnya dan segera mencari pengobatan.
Kesadaran dari penderita dan penanganan lesi dengan tepat diharapkan dapat
BAB 5
KESIMPULAN
Likenoid oral merupakan inflamasi kronis yang dapat menyerang mukosa
oral, kemunculannya dapat dipicu oleh beberapa faktor predisposisi yaitu tambalan
amalgam, graft versus host disease dan obat-obatan. Pada kasus ini pemakaian obat
antihipertensi menjadi penyebab terjadinya reaksi likenoid oral, reaksi ini muncul saat
pasien mengkonsumsi obat antihipertensi (AB-Vask dan Tensivask) yang menjadi
antigen pemicu pengaktifan makrofag dan menyebabkan degranulasi jaringan.
Perawatan lesi likenoid oral dilakukan dengan menyingkirkan faktor
penyebab dan pemberian obat-obatan yang bersifat imunosupresan, anti inflamasi,
DAFTAR PUSTAKA
1. Rice PJ, Hamburger J. Oral lichenoid drug eruptions: Their recognition and
management. Dent Update2002; 29 : 442-7.
2. Juneja M, Mahajan S, Rao NN, George T, Boaz K. Histochemical analysis of
pathological alterations in oral lichen planus and oral lichenoid lesions. Journal of
Oral Science 2006; 48(4) : 185-93.
3. Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus NL. Dental management of the medically
compromised patient. 7th ed. Mosby, 2008: 1-16.
4. Ismail SB, Kumar SKS, Zain RB. Oral lichen planus and lichenoid reactions:
Ethiopathogenesis, diagnosis, management and malignant transformation. Journal of
Oral Science 2007; 49(2) : 89-106.
5. Scully C. Adverse drug reactions in the orofacial region. Crit Rev Oral Biol Med
2004; 15(4) : 221-40.
6. Barbosa MO, Silva AF, Carvalho RV, Tarquinio SBC, Demarco FF. Oral lichenoid
lesions associated with amalgam restorations: Report of two cases. Rev Odonto
Cienc 2011; 26(3) : 258-61.
7. Sanchez PS, Bagan JV, Soriano J. Drug-induced oral lichenoid reactions: A
literature review. J Clin Exp Dent 2010; 2(2) : e71-5.
8. Wright J. Diagnosis and management of oral lichenoid reactions. CDA Journal 2007;
9. Waal der VI. Oral lichen planus and oral lichenoid lesions: A critical appraisal with
emphasis on the diagnostic aspects. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2009;14(7) :
E310-4.
10.Zain RB, Nor GM. Oral lichenoid drug reaction (Abstract).Dent J Malays 1988;
10(2) : 15-7.
11.Nair RG, Newsome PRH, Itthagarun A, Samaranayake LP. Severe oral erosive lichen
planus due to methyldopa and allopurinol: A case report. Hong Kong Dental Journal
2005; 2 : 122-5.
12.Kaomongkolgit R. Oral lichenoid drug reaction associated with antihypertensive and
hypoglycemic drugs. Journal of Drugs in Dermatology2010; 9(1) : 73-5.
13.Little JW. The impact on dentistry of recent advances in the management of
hypertension. Oral surgery oral medicine oral pathology 2002; 90(5) : 591-9.
14.Moser M. Chapter 12:High blood pressure. Yale University School of Medicine
Heart Book. New York : Yale University, 1992 : 149-66.
15.Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Gaya Baru, 2007 : 341-60.
16.Mutschler E. Dinamika obat : Buku ajar farmakologi dan toksikologi. Edisi 5.
Bandung : ITB, 1991 : 486-90.
17.Noonan VL, Kabani S. Diagnosis and management of suspicious lesions of the oral
cavity. Otolaryngol Clin N Am 2005; 28-30
18.Herman WW, JR Konzelman JL, Prisant M. New national guidelines on hypertension
19.Hasibuan S. Keluhan mulut kering ditinjau dari faktor penyebab, manifestasi dan
penanggulangannya. USU Digital Library 2002; 1-8.
20.Shekar C, Ganesan S. Oral lichen planus. Journal of Dental Sciences & Research
2011; 2(1): 62-87.
21.Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine. 11th ed. BC Decker Inc, Hamilton
2008; 89-100.
22.Vij H, Vij R, Rao NN, Radhakrishnan R, Gupta V. Quantification of colloid bodies in
oral lichen planus and oral lichenoid reaction: A histochemical study. J Clin Exp
Dent 2011; 3(3): 207-11.
23.Hirota SK, Moreno RA, Santos CR, Seo J, Migliari DA. Analysis of a possible
association between oral lichen planus and drug intake. A controlled study. Med Oral
Patol Oral Cir Bucal 2011; 16(6): 750-6.
24.Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. Oral and maxillofacial pathology.
3th ed. Saunders, India 2009; 347-56.
25.Sugerman PB, Savage NW, Walsh LJ, Zhao ZZ, Zhou XJ, Khan A, Seymour GJ. The
pathogenesis of oral lichen planus. Crit Rev Oral Biol Med 2002; 13(4): 350-65.
26.Thongprasom K, Dhanuthai K. Steroids in the treatment of lichen planus: A review.
Journal of Oral Science 2008; 50(4): 377-385.
27.Sugerman PB, Savage NW. Oral lichen planus : Causes, diagnosis and management.
Australian Dental Journal 2002; 47(4): 290-7.
28.Lodi G, Scully C, Carrozzo M, Sugerman PB, Thongprasom K. Current
transformation. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2005; 100(2):
164-78.
29.Edwards PC, Kelsch R. Oral lichen planus: Clinical presentation and management.
Journal de l’Association dentaire canadienne 2002; 68(8): 494-9.
30.Sahebjamee M, Arbabi-Kalati F. Management of oral lichen planus. Arch Iranian
Med 2005; 8(4): 252-6.
31.Anonymous. The british society for oral medicine: Guidelines for the management of
oral lichen planus in secondary care. 2010; 1-9.
32.Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed. Alih Bahasa.
Awal Prasetyo, Brahm Pendit, Toni Priliono. Jakarta: EGC, 2007; 120-45.
33.Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Alih Bahasa. Dripa Sjabana, Endang
Isbandiati, Achmad Basori. Jakarta: Salemba Medika, 2002; 593-89.
34.Arirachakaran P, Hanvanich M, Kuysakorn P, Thongprasom K. Antiretroviral
drug-associated oral lichenoid reaction in HIV patient: A case report. International Journal
of Dentistry 2010; 1-4.
35.Hamburger J, Potts AJC. Non-steroidal anti-inflammatory drugs and oral lichenoid
reactions. British Medical Journal 1983; 1258.
36.Underwood JCE. Patologi umum dan sistematik. Alih Bahasa. Sarjadi. Jakarta : Buku