KODAM II/BUKIT BARISAN DI SUMATERA UTARA
(1956-1961).
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA : MAGDALENA NOVIANTI PASARIBU
NIM : 020706026
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
Lembar Persetujuan Skripsi
KODAM II/BUKIT BARISAN DI SUMATERA UTARA
(1956-1961)
Yang diajukan oleh :
Nama : Magdalena Novianti Pasaribu
Nim : 020706026
Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh :
Pembimbing,
tanggal,
Dra. Penina Simanjutak, M.S
NIP: 131570489
Ketua Departemen Ilmu Sejarah
tanggal,
Dra. Fitriaty Harahap, S.U
NIP: 131284309
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
MEDAN
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
-
KODAM II/BUKIT BARISAN DI SUMATERA UTARA (1956-1961)
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
Nama : Magdalena Novianti Pasaribu Nim : 020706026
Pembimbing,
Dra. Penina Simanjuntak, M.S NIP: 131570489
Skipsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan. Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
Lembar Persetujuan Ketua Departemen Ilmu Sejarah
Disetujui oleh:
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
KETUA,
Dra. Fitriaty Harahap,S.U
NIP: 131284309
Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian
PENGESAHAN
Diterima oleh:
Panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra.
Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara Medan.
Pada :
Tanggal
Hari
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Drs. Syaifuddin, MA. Ph. D
NIP: 132098531
Panitia Ujian
NO NAMA TANDA TANGAN
1……… ( )
2……… ( )
4………. ( )
UCAPAN TERIMA KASIH
Saat mengerjakan skripsi, penulis meras
akan susah dan berbagai masalah yang membuat penulis sangat kewalahan dalam menyiapkan skripsi ini. Tetapi berkat Tuhan Yesus dan bantuan dari banyak pihak, baik itu bantuan moril, dan materil skripsi ini akhirnya siap dikerjakan. Untuk itu saya mengucapkan rasa terima kasih saya yang sedalam-dalamnya kepada mereka:
1. Bapakku M. Pasaribu, dan mamaku R. Pangaribuan. Terima kasih bapak dan mama, sebab engkau telah menjadi bapak dan mama yang baik buat Aku. Aku yakin doa Bapak dan Mama tentang anakmu pasti Tuhan berikan. Terima kasih juga atas didikan, arahan, pertanggung jawaban yang telah kau tunjukkan kepada Lena. Semoga Bapak dan Mama panjang umur, dan semakin dekat dengan Tuhan.
2. Terima kasih kepada adik-adikku yang tersayang yakni, Yudi, Lani, dan Krisman Pasaribu.
3. Bapak Drs. Syaifuddin, MA, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra USU Medan 4. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U, dan Bapak Drs. Indera M. Hum selaku Ketua
5. Ibu Dra. Penina Simanjuntak, M.S, yang telah bersabar membimbing, menasehati dan memberikan saran-saran kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
6. Kepada kawan-kawan mahasiswa Ilmu Sejarah khususnya stambuk 2002, yaitu Siti, Nana, Omsi, Vana, Luga, Nurbaiti, Fitri dan teman-teman lainnya. 7. Kepada kawan-kawan yang mengajar di bimbingan test Bima.
8. Terima kasih kepada Bapak Mayjen J.Suryo.Prabowo selaku Pangdam Kodam I/BB dan para seluruh pasukan Kodam I/BB, atas layanan dan kerja sama yang baik.
9. Kepada Kapten Inf. Ridhan selaku pimpinan museum TNI-45, yang telah memberikan informasi sekitar Kodam.
10. Kepada Kopka Sunarmin, selaku penanggung jawab perpustakaan di museum TNI-45.
Penulis tidak dapat membalas bantuan yang begitu besar dari semua pihak yang telah saya sebutkan. Penulis hanya bisa mendoakan semoga Tuhan memberikan berkatnya atas bantuannya dan dukungan yang telah saya terima, dan mudah-mudahan skripsi ini berguna bagi kita semua khususnya bagi mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah.
Medan September 2007 Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……… i
UCAPAN TERIMA KASIH ………. ii
DAFTAR ISI ……….. iv
BAB I : PENDAHULUAN ……… 1
1.1Latar Belakang Masalah ………. 1
1.2Rumusan Masalah ………. . 6
1.3Tujuan Penelitian ………. 7
1.4Manfaat Penelitian ……… 7
1.5Tinjauan Pustaka ………. 8
1.6Metode Penelitian ……… 10
BAB II : PEMBENTUKKAN KEMILITERAN DI SUMATERA UTARA ………. 12
2.1 Masa Kolonial Belanda ……….. 12
2.2 Masa Kependudukan Jepang ……….. 16
2.3 Menuju Pengakuan Kedaulatan ……….. 22
BAB III : LATAR BELAKANG BERDIRINYA KODAM II/BB DI SUMATERA UTARA …... 40
3.1 Laskar Menjadi Anggota TNI, Melalui Proses Rekonstruksi Dan Rasionalisasi ………. 40
3.2 Kronologi Organisasi Kodam II/ Bukit Barisan ………. 44
3.3 Kodam II/BB ……….. 52
3.3.1 Struktur Organisasi Kodam II/BB ………... 54
3.3.2 Satuan-satuan Pelaksana Kodam II/BB ………….. 59
BAB IV : PERANAN KODAM II/BB DI SUMATERA UTARA 61 4.1 Tugas dan Penugasan Kodam II/BB ………..…….. 61
4.1.1 Tugas Kodam II/BB ……… 61
4.1.2 Penugasan Prajurit Kodam II/BB ……… 65
Maluddin Simbolon ………. 68
4.2.2 Operasi Sapta Marga ……….. 72
4.2.3 Boyke Nainggolan Menduduki Medan …….. 77
4.2.4 Operasi Bukit Barisan ………. 78
4.2.5 Gerakan Pasukan Operasi Bukit Barisan …… 80
BAB V : PENUTUP ……….… 83
DAFTAR PUSTAKA ……….. 87
DAFTAR WAWANCARA ...……… 89
DAFTAR INFORMAN ……….. 91
Abstrak
Dinamika sejarah terletak pada kemampuan untuk memandang dimensi waktu sekaligus, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang dalam satu kesatuan yang bulat dan
utuh. Penulisan peristiwa-peristiwa bersejarah di masa lampau diharapkan membuat kita lebih bijaksana dalam menghadapi dan melaksanakan berbagai penugasan saat ini dan yang akan datang. Dari pengalaman sejarah, kita akan memperoleh sebuah format baru yang ideal. Terlebih pada pembentukan sebuah program maupun lembaga
Dalam sebuah negara yang merdeka, membutuhkan adanya kekuatan tentara sebagai
pertahanan negara. Tentara ataupun militer merupakan sebuah organisasi yang bertugas untuk mempertahankan keutuhan wilayah nasional bersama-sama dengan segenap komponen-komponen kekuatan pertahanan negara lainnya dan mengembangkan potensi nasional yang menjadi kekuatan pertahanan keamanan negara, serta melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan nasional maka komponen militer mempunyai tugas
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dinamika sejarah terletak pada kemampuan untuk memandang dimensi waktu sekaligus,
yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang dalam satu kesatuan yang bulat dan
utuh. Penulisan peristiwa-peristiwa bersejarah di masa lampau diharapkan membuat kita lebih
bijaksana dalam menghadapi dan melaksanakan berbagai penugasan saat ini dan yang akan
datang. Dari pengalaman sejarah, kita akan memperoleh sebuah format baru yang ideal. Terlebih
pada pembentukan sebuah program maupun lembaga.1
1
Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, Sejarah TNI AD 1974-2004, Jakarta : CV Grayuna, 2005, hal, 1.
Dalam sebuah negara yang merdeka, membutuhkan adanya kekuatan tentara sebagai
pertahanan negara. Tentara ataupun militer merupakan sebuah organisasi yang bertugas untuk
mempertahankan keutuhan wilayah nasional bersama-sama dengan segenap
komponen-komponen kekuatan pertahanan negara lainnya dan mengembangkan potensi nasional yang
menjadi kekuatan pertahanan keamanan negara, serta melindungi segenap bangsa dan tumpah
darah Indonesia. Untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan nasional maka komponen
militer mempunyai tugas yang sangat besar dan rumit. Militer harus melaksanakan tugas dan
fungsi ini di setiap daerah dan juga penduduk Indonesia. Alasan yang menyeluruh inilah dasar
dari pembentukan susunan organisasi militer mulai dari tingkat yang paling tinggi, hingga ke
yang paling rendah. Mulai dari markas besar, Kodam, Korem, Kodim, Koramil hingga ke
Pertumbuhan dan perkembangan Komando Daerah Militer II/BB sejalan dengan pasang
naik dan pasang surutnya sejarah perjuangan dan perlawanan nasional dan sejarah perjuangan
ABRI. Militer menjadi alat yang aktif dalam membaca dan menumpas gerakan yang menjadi
ancaman, gangguan, hambatan yang datang dari dalam maupun luar negari. Militer dapat
dipercaya pemerintah dan masyarakat menjadi lembaga legal negara yang bertugas sebagai baris
depan pertahanan dan keamanan dilalui dengan proses yang lama dan perjuangan yang sangat
berat.
Membangun dan membentuk tentara yang sangat rapi yang terlihat sekarang ini, tentara
sudah mengalami perubahan ke arah peningkatan mulai dari keamanan yang sifatnya sebagai
rasa simpatik sebagai pejuang hingga organisasi yang mendapat pengakuan dari negara dan
masyarakat. Bentuk tentara yang sudah mendapat pengaturan dan ijin dari pemerintah dimulai
dari pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) oleh pemimpin pemerintah pusat Presiden
Soekarno tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat sebagai berikut:
“Maklumat Pemerintah:
Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat.
Djakarta, 5 Oktober 1945 Presiden Republik Indonesia
Soekarno”2
Setelah terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat Komandemen Jawa dan Sumatera, maka
di pulau Jawa terdapat 10 divisi dan di Sumatera sebanyak 6 divisi. Saat menghadapi tentara Dengan demikian organisasi kemiliteran di Indonesia, berdiri secara resmi yang di mulai
dari markas tertinggi TKR beserta komandemen-komandemennya ke wilayah-wilayah. Seperti di
Jawa didirikan 3 Komandemen yaitu Komandemen Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur,
sedangkan untuk Sumatera hanya 1 Komandemen yaitu Komandemen Sumatera.
2
A.H.Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II, Bandung: Angkasa Bandung, 1977, hal, 210.
Sekutu dan Belanda, organisasi TKR terus mengalami penyempurnaan yang dilakukan dengan
berbagai konfrensi. Tahapan selanjutnya, pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuklah Komando
Tentara dan Teritorium Sumatera Utara (KOTT-SU) yang wilayahnya meliputi Aceh, Sumatera
Timur, Tapanuli, Sumatera Barat,dan Riau yang bermarkas di Medan.
Sesuai dengan keadaan dan keselamatan negara serta rakyat, TKR diubah menjadi TRI
(Tentara Republik Indonesia) berdasarkan PP No 4/SD tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini
bertujuan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas
khusus dalam bagian Darat, Laut, dan Udara.Tentara Republik Indonesia organisasi Resmi
kenegaraan setelah Indonesia merdeka. Selain bentuk struktur organisasi yang semakin rapi, TRI
juga mengalami banyak pertempuran menuju pengakuan kedaulatan, dan sudah terlibat dalam
masalah pertahanan nasional maupun masalah pertahanan internasional, seperti keterlibatan
tentara Indonesia dalam beberapa perjanjian dengan pihak Belanda dan internasional.
Fungsi dan peranan inilah TRI sebagai organisasi yang semakin rapi dan menjadi sektor
organisasi biayanya ditanggung oleh sektor pendapatan negara. Keputusan ini dibuat atas
pertimbangan banyaknya organisasi laskar pada masa itu, yang mengakibatkan perlawanan tidak
dapat dilakukan dengan efektif dan efisien, Akhirnya tanggal 3 Juni 1947 disyahkan Tentara
NasionalIndonesia (TNI).3
Perjuangan menuju pengakuan kedaulatan didukung oleh 3 komponen negara republik
Indonesia, yaitu tentara rakyat, masyarakat, dan laskar rakyat. Kelompok masyarakat yang
bergabung dengan salah satu komponen ini telah menunjukkan nilai semangat perjuangan yang
tinggi dalam mempertahanan negara. Kelompok masyarakat yang mimiliki sifat militansi yang
3
sangat besar ini menjadi salah satu keyakinan bagi pemerintah untuk menjadikan mereka
menjadi Angkatan Perang yang digabungkan dalam prajurit TNI.
Anggota laskar yang pada awalnya merupakan bagian dari underbow partai, setelah
proses rasionalisasi dan rekonstruksi syah menjadi anggota TNI. Proses inilah salah satu cara
rekrutmen prajurit TNI.
Beberapa hari kemudian dilaksanakan serah terima kekuasaan dari Pemerintahan Hindia
Belanda kepada RI. Perwakilan Belanda adalah Jendral Mayor P Scholten sedangkan Perwakilan
Indonesia adalah Letkol A.E.Kawilarang. Sesudah penyerahan kekuasaan,KASAD dengan
penetapan No 83/kasad Pdt/1950 tanggal 20 Juni 1950 mengalami perubahan dan Komando
Tentara Terittorium Sumatera Utara (KOTT-SU) menjadi (KOTT-I/SU). Kemudian tanggal 21
Juni 1951 Komando Tentara Terittorium I/SU berubah lagi menjadi Komando Tentara
Terittorium II/BB yang ditandai dengan peresmian lambang “Bukit Barisan” dengan penetapan
Panglima Tentara dan Terittorium I/SU No.247/II/ORG/1951.4
Pada tanggal 27 Desember 1956, Resimen Infantri I dan Resimen IV Sumatera Tengah
berpisah dari Komando Tentara dan Teritorium II/BB yang kemudian masing-masing
berkembang menjadi Komando Daerah Militer (KODAM) yaitu Kodam I/Iskandar Muda di
Aceh, Kodam II/BB Medan Sumatera Utara dan Kodam III/ 17 Agustus di Padang, Sumatera
Barat.
Komando Tentara Teritorium
II/BB dibagi ke dalam 5 Brigade (meliputi Brigade AA di Aceh, Brigade BB di Sumatera Timur,
Brigade CC di Tapanuli, Brigade DD di Riau, Brigade EE di Sumatera Barat)dan 4 Resimen
Infantri (meliput i Resimen I-IV)
5
4
Robert Perangin-angin, Djamin Gintings Maha Putra Utama RI, Aek Kanopan, T.B.Monora Sima Karitama, 1996, hal, 17.
5
Pada masa Orde Lama tentara dimasukkan dalam Angkatan Perang Republik Indonesia
(APRI) yang terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU).
Pada tahun 1959 sebutan APRI diubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI), melalui UU Nomor 13/1961 pasal 3, Keppres Nomor 225/1962, sedangkan Keppres
Nomor 290/1964 menetapkan kepolisian negara RI adalah ABRI. Dengan demikian, ABRI
meliputi Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara RI.6
Banyak hal yang dilakukan oleh tentara dalam mempertahankan keutuhan Negara
Republik Indonesia dan juga menunjukkan eksistensi kepada masyarakat, negara, dan kepada
pihak internasional, sehingga keberadaan TNI diperhitungkan dalam banyak masalah keamanan
dan politik nasional maupun internasional. Perjalanan TRI yang dilalui dengan pengalaman yang
sangat berat tetapi TNI selalu dalam keadaan meningkat dan tidak pernah mengalami penurunan.
Bagaimana usaha TNI memperoleh keberhasilan ini? Hal inilah salah satu yang menarik bagi
penulis mengambil Kodam II/BB menjadi objek kajian. Di samping itu penulis ingin menulis dan
mengabadikan perjuangan yang dilakukan oleh TNI (Kodam II/BB) dalam bentuk karangan
ilmiah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan untuk menghindari terjadinya penyimpangan, peneliti
membatasi penelitian hanya pada sejarahnya dan partisipasi Kodam II/BB di Sumatera Utara
dalam menjaga keamanan di wilayah Republik Indonesia. Rumusan masalah tersebut adalah:
1. Apa latar belakang dan kapan Kodam II/BB berdiri di Sumatera Utara?
6
Yulianto Arif, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta: Manajemen PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal, 27.
2. Bagaimana perkembangan Kodam II/BB sejak berdiri hingga tahun 1961?
3. Apakah peranan yang dilakukan Kodam II/BB dalam proses penciptaan stabilitas
keamanan wilayah Sumatera Utara khususnya dan Republik Indonesia umumnya?
Penulis mengambil batas kajian dalam penelitian ini yaitu antara tahun 1956 sebagai
batas awal, dan batas akhir adalah tahun 1961. Adapun alasan penulis memilih tahun 1956
sebagai periode awal, dilatar belakangi oleh tematis pembentukan Komando Tentara Teritorium
sebagai cikal bakal TNI. Perjalanan TNI untuk wilayah Sumatera Utara menuju KODAM II/BB
dilalui dengan proses panjang, baik proses rekonstruksi organisasi, konflik internal, dan
perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan republik Indonesia. Sedangkan tahun 1961
sebagai batas akhir, dilatar belakangi oleh peranan yang dilakukan TNI dalam menumpas PRRI
di Sumatera Utara yang dipimpin oleh Maluddin Simbolon. Penumpasan terhadap Maluddin
Simbolon merupakan peran yang menonjol yang dilakukan TT-I Bukit Barisan.
1.3 Tujuan Penelitian
Sejarah Kodam II/BB di Sumatera Utara, menarik untuk ditulis kembali menjadi sebuah
penulisan ilmiah. Sebelumnya penulisan tentang objek ini hanya ditulis dari sudut pandang
tertentu, dan penulisan yang menguraikan bagian tertentu sesuai dengan keinginan instansi.
Penulisan ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan latar belakang dan waktu berdirinya Kodam II/BB di Sumatera Utara.
2. Menjelaskan perkembangan Kodam II/BB sejak berdirinya hingga tahun 1961
3. Menjelaskan peranan yang dilakukan Kodam II/BB dalam menciptakan kondisi secara
kondusif terutama dalam bidang keamanan di Sumut khususnya dan di Indonesia
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Menambah wawasan kepada peneliti tentang sejarah berdiri dan perkembangan Kodam
II/BB di Sumatera Utara.
2. Menambah literatur pengetahuan dalam penulisan sejarah tentang Kodam II/BB di
Sumatera Utara.
3. Memberikan gambaran dan penjelasan kepada masyarakat tentang nilai-nilai yang
terkandung dalam sejarah perjuangan dan kepemimpinan TNI-AD
1.5 Tinjauan Pustaka
Menelusuri tentang sejarah Kodam II/BB tidak terlepas dari penelusuran dari sejarah
Sumatera Utara. Sebab dua hal ini berjalan seiring. Untuk itu literatur yang digunakan untuk
memandu penelitian ini mengunakan buku-buku yang membahas mengenai sejarah Sumatera
Utara. Di samping itu Kodam II/BB sebagai lembaga pertahanan resmi negara dilengkapi
dengan sejumlah dokumen baik bentuknya berupa data, maupun bentuk buku sebagai laporan.
Buku yang membahas tentang Kodam II/BB, pada umumnya ditulis tanpa bidang atau bagian
khusus. Untuk itu penulis memilih beberapa buku yang sesuai dengan pembahasan penelitian
yaitu.
A.H.Nasution, dalam bukunya yang berjudul “Tentara Nasional Indonesia ”Jilid II 1968,
mengemukakan bahwa suatu negara merdeka membutuhkan kekuatan tentara sebagai pertahanan
bangsa. Tentara adalah satu-satunya alat dari negara yang timbul tenggelam bersama-sama
terbesar condong kepada ide bahwa tentara itu bukanlah alat pemerintahan yang begitu saja,
melainkan adalah alat perjuangan yang hidup.
Dari Medan Area Ke Pedalaman Dan Kembali Ke Kota Medan 1982, adalah buku
pengalaman dari Mayjen TNI (Purn) H.R Sjahnan yang ditulis bentuk buku, menguraikan
perjalanan TNI di Sumatera Utara yang beriringan perjalanan pemerintahan di Sumatera Utara.
Dari pengalaman Sjahnan, terlihat jelas keterlibatan TNI di Sumatera Utara dalam melawan
penjajahan kembali Belanda setelah Indonesia merdeka. Gerak dari nafsu Belanda ingin
menjajah kembali terlihat dari pembentukan kembali susunan keamanannya di Sumatera Utara.
Tetapi hal ini juga dilakukan oleh pasukan TNI, untuk mempertahankan kemerdekaan yang
dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945. Hal inilah yang membuat TNI juga terlibat dalam
masalah politik nasional dan internasional, tepatnya dalam beberapa kali perjanjian antara
Indonesia dengan Belanda dan Internasional. Pada bagian akhir buku ini menjelaskan tentang
suasana di Sumatera Utara setelah pengakuan kedaulatan, dimana Sumatera Utara masih
mempunyai sejumlah gejolak politik. Seperti pembentukan Negara Sumatera Timur yang
mengartikan bahwa TNI belum saatnya berhenti berjuang di Sumatera Utara.7
Selain itu buku yang digunakan adalah, Sejarah Perang Kemerdekaan Di Sumatera
Utara 1945-1950, yang diterbitkan Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat, menguraikan tentang Perkembangan tentara di Indonesia bermula dari suatu ketentaraan yang sifatnya non
profesional yang diidentikkan kepada kelompok yang ahli dalam penggunaan kekerasan. Dalam
perkembangan masyarakat, mereka tidak pernah menduduki tempat teratas dalam klasifikasi
kelompok-kelompok utama dalam suatu masyarakat. Tetapi dalam masa moderen peranan
militer semakin mendapat tempatnya
7
bagaimana rakyat sumatera utara menyambut proklamasi dan pemuda dalam mengusir Jepang
dari wilayah Sumatera Utara. Buku ini menjelaskan perjalanan perlawanan yang dilakukan oleh
rakyat bersama pasukan Tentara Keamanan Rakyat, melawan pemberontakan Belanda, Tentara
Jepang dan kembali lagi melawan tentara Belanda setelah ditimbang terimakan oleh Sekutu pada
bulan Oktober 1946. Pada bagian selanjutnya terlihat penjelasan buku ini tentang peran yang
dilakukan oleh TNI dalam sejumlah gejolak politik yang terjadi di Sumatera Utara.8
8
Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat, Sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera, Bandung: Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat. 1972, hal, 530.
1.6 Metode Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan sebuah karya sejarah yang bersifat
ilmiah. Sejumlah tahapan yang tersusun secara sistematis harus dilalui untuk mendapatkan hasil
yang maksimal. Setelah memilih topik yang akan diteliti oleh penulis, selanjutnya penulis akan
melakukan proses pengumpulan data (heuristik). Tahap ini akan dilakukan di tempat
penyimpanan data, maupun perpustakaan yang menyimpan buku tentang Kodam II/BB. Dalam
pengumpulan data, penulis juga akan melakukan wawancara terhadap pelaku ataupun orang yang
mengetahui tentang perjalanan Kodam II/BB. Objek kajian ini masih tergolong kontemporer,
Pelaku ataupun orang yang mengetahui masih dapat dimintai keterangan.
Keterangan yang diperoleh berdasarkan informasi dari pelaku maupun dari data yang
diperoleh dari keterangan buku akan dianalisis dengan kritik extern dan kritik intern maupun
metode perbandingan terhadap keterangan yang diperoleh guna mendapatkan keterangan yang
akurat (fakta). Fakta-fakta yang diperoleh setelah tahap analisis bentuknya masih sejumlah
poin-poin. Untuk itu keterangan akan diurutkan secara kronologis, yang bertujuan mengurutkan
Setelah pengujian dan analisis data dilakukan tahap selanjutnya adalah tahap interpretasi.
Dalam hal ini data-data yang diperoleh akan dianalisis penulis untuk menghasilkan sintesis dari
objek yang penulis teliti.
Metode akhir yang digunakan adalah tahap historiografi atau penulisan sejarah yang
BAB II
PEMBENTUKAN KEMILITERAN DI SUMATERA UTARA
Lahir dan berkembangnya militer di Sumatera Utara, seiring dengan perkembangan
keamanan di wilayah ini. Sejak masa penjajahan Kolonial Belanda,dan masa pendudukan tentara
Jepang dilakukan dengan kekerasan senjata telah membangkitkan semangat perjuangan yang
tinggi bagi rakyat dan pemuda untuk melawan dan mempertahankan Nusantara. Walaupun
penjajahan sudah berakhir, tetapi bentuk gejolak yang mengancam keamanan Negara tetap
muncul. Gerak inilah yang melatar-belakangi militer tetap ada dan berkembang.
2.1. Masa Kolonial Belanda
Penjajahan di Indonesia membawa beberapa perubahan besar terhadap kehidupan sosisal
masyarakat. Perubahan ini terjadi karena proses fenetrasi budaya, dan juga terjadi karena proses
konflik, seperti perubahan yang terjadi pada sistem keamanan rakyat (prajurit kerajaan) yang
bertugas sebagai penjaga teritorial kerajaan dan pengawal istana. Prajurit istana sebagai
pengayom kerajaan diorganisir oleh panglima kerajaan. Sistem itu berubah secara perlahan-lahan
yang dipengaruhi oleh dominasi bangsa asing yang menjajah bangsa Indonesia dengan kekuatan
senjata.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, penjajahan Belanda dilakukan dengan pemberontakan
kekerasan senjata yang diorganisir oleh tentara Belanda. Tujuan pokok tentara Belanda adalah
mematahkan perlawanan dari prajurit istana dan perlawanan dari rakyat. Politik penjajahan yang
ditunjukkan oleh pemerintah Belanda menimbulkan perubahan perlawanan yang dilakukan oleh
Perlawanan yang pada awalnya menggunakan senjata tradisional, seperti di Sumatera
Utara dan Aceh dilakukan oleh rakyat dipimpin oleh raja-raja setempat yang bertujuan untuk
mempertahanan wilayah kekuasaannya. Seperti yang dilakukan oleh si Singamangaraja XII di
Tapanuli, Sultan Iskandar Muda untuk daerah Aceh. Perjuangan yang dilakukan oleh raja-raja ini
pada dasarnya melibatkan rakyat yang dikuasainya. Hal ini menimbulkan sifat-sifat militan di
kalangan rakyat, terutama kaum laki-laki muda.
Perjuangan yang dilakukan oleh masing-masing kerajaan kurang efektif karena mereka
berjuang untuk kepentingan kerajaan masing-masing. Di samping itu unsur penyatu dengan
kerajaan Nusantara lainnya tidak ada. Keadaan ini semakin parah ketika Sultan Iskandar Muda,
dan si Singamangaraja XII gugur. Pengaruh yang terlihat jelas adalah semakin leluasanya
Belanda melancarkan usahanya sebagai perantara modal bangsa Eropa untuk membuka
perkebunan di Sumatera Utara.
Setelah perlawanan terhenti beberapa tahun, maka pengaruh Sumpah Pemuda sampai ke
Sumatera Utara yang mulai melakukan perlawanan terhadap penjajah. Paham sumpah pemuda
telah melahirkan sebuah wadah yang bersifat nasionalisme dan mengikat perlawanan-perlawanan
daerah menjadi perlawanan yang bersifat keseluruhan atau bersifat nasional. Proses
pembentukan nasionalisme ini dimulai dari rapat-rapat pemuda dari berbagai daerah bekas
wilayah jajahan Belanda yang dinamakan Jong. Pergerakan yang dirancangkan dalam pertemuan
itu bergerak dalam dua bidang perlawanan, yaitu perlawanan kekuatan senjata dan perlawanan
politik. Perjuangan dengan kekuatan senjata dengan meniru sistem penjajahan kekuatan senjata
yang dilakukan oleh Belanda. Sedangkan perlawanan dalam bidang politik merupakan sistem
perlawanan terorganisir yang di dukung oleh gerakan nasional seperti Budi Utomo sebagai unsur
Dengan adanya Pergerakan Nasional memberikan rangsangan terhadap para kaum rakyat
yang militan berjalan secara bersamaan dengan golongan terpelajar membentuk perlawanan dari
segi politik dan perlawanan senjata. Hal ini mengakibatkan lahirnya organisasi-organisasi
perlawanan yang bersifat gerilya. Perjuangan ini adalah sebagai taktik untuk melawan prajurit
Belanda secara tertutup sebab peralatan yang sangat lengkap yang dimiliki oleh Belanda.
Pasukan pergerakan hanya dilengkapi dengan peralatan tradisional. Taktik ini juga berguna
menghadapi pasukan Belanda secara perlahan-lahan. Gerakan gerilyawan tersebut cukup
membuat Belanda kesusahan dalam menghadapi kaum pergerakan.
Untuk menghindari perlawanan yang sifatnya tertutup dari pasukan pergerakan, maka
tentara Belanda membuat cara lain yaitu dengan pembentukan kemiliteran yang tradisi
keprajuritannya diserap dari sistem yang ada di Nusantara dan tradisi kemiliteran Belanda, yang
anggotanya berasal dari pemuda-pemuda Indonesia. Adapun organisasi militer bentukan Belanda
disebut dengan KNIL (Koninkelijk Nederlands-Indische Legger). Pembentukan KNIL, juga
mendapat persetujuan yang hangat dari kaum bangsawan Jawa, yang menyebabkan besarnya
jumlah pemuda yang masuk menjadi anggota KNIL.
Tujuan pembentukkan militer Belanda ini (KNIL) adalah untuk menghimpun masyarakat
Nusantara yang berjiwa militer berfungsi sebagai pasukan cadangan Belanda dalam menghadapi
penjajahan asing lainnya dan pemberontakan yang terjadi di Nusantara serta memantau batas
wilayah kekuasaan Belanda. Satu batalyon KNIL terdiri dari 4 kompi senapan yang
masing-masing terdiri dari 3 peleton. Dengan demikian setiap batalyon membutuhkan 17 perwira untuk
mengatur dan menggerakkannya. Usaha Belanda dalam menarik pemuda Indonesia masuk
menjadi anggota KNIL, adalah pendekatan terhadap penguasa-penguasa lokal yang mempunyai
Tahun 1927 pemerintah Belanda mengeluarkan ketetapan resmi mengenai dasar-dasar
pertahanan yang kelak menjadi pedoman pekerja KNIL dan tugas Angkatan Perang
Hindia-Belanda, yaitu:
1. Mempertahankan kekuasaan Belanda terhadap ancaman dari wilayah Nusantara serta
mempertahankan keamanan dan ketentraman (tugas ke dalam)
2. Memenuhi kewajiban-kewajiban militer sebagai anggota lembaga bangsa-bangsa
(tugas ke luar)1
Belanda merancang tugas pokok ini untuk menghempang perjuangan pergerakkan yang
sifatnya tertutup, Belanda mengetahui bahwa bangkitnya kembali Nasionalisme yang sifatnya
adalah perjuangan perlawanan, Belanda menekankan pentingnya tugas ke dalam dari pada ke
luar. Sejumlah anggota KNIL, yang tetap menyadari bahwa tugas baru ini adalah politik
mengadu domba sesama bangsa Indonesia, keluar secara diam-diam dan bergabung kembali
dengan kaum pergerakan.2
1
Fa. Mahjuma, Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI AD, Dinas Sejarah TNI AD, Bandung, 1972, hal, 10. 2Ibid,
hal, 11.
Anggota KNIL yang kembali kepada pergerakan nasional, membocorkan rahasia tersebut
kepada kaum pergerakan yang masih aktif melakukan perlawanan terhadap Belanda. Informasi
ini merupakan petunjuk terhadap kaum pergerakan Sebagai bahan untuk mengetahui sejauh
mana praktik dan taktik Belanda dalam menjajah bangsa Indonesia. Sebagai kesimpulan dari
sistem militer masa pemerintahan kolonial Belanda adalah perlawanan pergerakkan yang bekerja
sama dengan kaum pergerakkan politik Nasional. Hal ini berlangsung hingga masuknya Jepang
setelah mengalahkan bangsa Belanda di Indonesia.
Jepang memasuki wilayah Indonesia pada saat sedang perang Asia Timur Raya. Pada
tanggal 8 Desember 1941, Jepang membom Pangkalan Militer AS di Hawai. Oleh karena itu,
Jepang datang ke Indonesia untuk mencari cadangan militer sebagai antisipasi terhadap serangan
Sekutu. Kedatangan Jepang disambut baik oleh bangsa Indonesia. Hal ini berkaitan dengan
adanya anggapan dari masyarakat yang terdapat dalam ramalan Jayabaya bahwa Jepang telah
berjasa besar melepaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan Belanda. Jepang juga menyebut
dirinya “Saudara Tua” bangsa Indonesia. Intinya Jepang ingin menciptakan kesan bahwa
mereka tidak sama seperti Belanda atau orang-orang Eropa lainnya yang telah menjajah
Indonesia sebelumnya.3
Berbeda halnya dengan politik Belanda yang tidak menginginkan adanya nasionalisme
dan berupaya memadamkan nasionalisme tersebut dengan membentuk KNIL. Jepang berusaha
meningkatkan patriotisme di segala lapisan masyarakat. Jepang yang menjajah dengan kekuatan
militer memberikan warna terhadap masyarakat Indonesia seperti pembentukkan organisasi
militer dan semi militer yaitu PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho. Dari pembentukan
organisasi-organisasi kemiliteran ini menandakan bahwa Jepang lebih fokus dalam urusan Meskipun pendudukan Jepang di Indonesia berlangsung dalam kurun
waktu yang cukup singkat yakni kurang lebih tiga setengah tahun saja, tetapi penjajahan ini
cukup membawa perubahan-perubahan besar dalam masyarakat Nusantara. Apabila kita melihat
dari perspektif bangsa Indonesia terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Jepang, banyak yang
menilai Jepang sebagai negara yang sangat kejam dibandingkan negara-negara Eropa lainnya
yang pernah menjajah bangsa Indonesia. Kekejaman Jepang tidak dapat dipungkiri oleh
masyarakat yang secara langsung menjadi korban penindasannya. Namun, disamping kekejaman
penjajahan pada waktu itu terdapat sedikit titik terang dalam memasuki zaman kemerdekaan.
3
perang, untuk menghadapi kekuatan Amerika dan Eropa. Politik ini semakin diperkuat dengan
adanya gerakan yang dikenal dengan Gerakan 3A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia,
Nippon Pemimpin Asia) untuk menunjukkan otoritas Jepang di Asia. Selain untuk kepentingan
perang, Jepang juga membuat kerja rodi yang dinamakan dengan romusha. Romusha yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tentara Jepang PETA dan Heiho.
Dengan terbentuknya PETA dan Heiho, rakyat Indonesia mendapat kesempatan untuk
ikut serta secara luas dalam bidang pertahanan (kemiliteran), sehingga dengan sendirinya
menimbulkan pengalaman yang sangat berguna bagi kebangkitan kembali keprajuritan Nasional
yang sekaligus merupakan pengembangan sistem pertahanan.
Dari Peta (Tentara Bentukan Jepang) Hingga BKR
Secara administratif, pendudukan Tentara Jepang di Indonesia dibagi menjadi dua bagian
besar, yaitu wilayah Indonesai bagian Timur yang diduduki oleh tentara Angkatan Laut Jepang,
sedangkan Indonesia bagian Barat dikuasai oleh Tentara Angkatan Darat Jepang. Angkatan darat
Jepang yang berkedudukan di pulau Sumatera berpusat dan dikendalikan dari Singapura yang
dipimpin oleh seorang gubernur Militer dinamakan dengan Gunseikan.
Pembagian tentara Jepang menjadi dua bagian bertujuan untuk melengkapi
perlengkapan pasukan di dua kelompok besar pertahanan (Darat dan Laut). Untuk memperlancar
pencarian pemuda calon cadangan pertahanan Jepang, maka dibentuklah Sendendu. Pasukan
Sendendu juga dibentuk sebagai propoganda tentang Jepang di Sumatera Utara. Badan ini juga
membentuk surat kabar yang terbit di Sumatera Utara sebagai bacaan rakyat. Surat kabar ini
dinamakan dengan Sumatera Sinbun. Mereka yang bekerja dalam surat kabar adalah orang-orang
Pendudukan tentara Jepang yang datang tanpa sebuah bentuk-bentuk kekerasan di
Sumatera Utara, sehingga pemuda-pemuda tertarik dengan propoganda Jepang, yaitu
pembentukan tentara sebagai pertahanan rakyat. Mereka yang bersedia terlibat dalam kelompok
ini dinamakan dengan Heiho, yang artinya sebagai pembantu tentara, kemudian kelompok ini
dipersenjatai dan melakukan tugas militer. Kelompok Heiho akhirnya juga berubah statusnya.
Pada awalnya sebagai pembantu militer, dan selanjutnya mereka sudah dapat menduduki jabatan
Bintara dalam tentara Jepang. Posisi Heiho juga semakin lama semakin besar. Kesibukan tentara
Jepang berperang di berbagai daerah (di luar Indonesia), sehingga sangat kurang dalam
mengurusi masalah dalam negri (Indonesia). Keamanan dalam negeri yang semakin kurang
perhatian dari tentara Jepang mengakibatkan penerimaan kelompok pemuda menjadi tentara
Jepang semakin ditingkatkan. Demikian juga tugas baru yang dibebankan kepada tentara Jepang
asal Indonesia semakin khusus. Untuk tugas keamanan di Darat dan di Laut, (tugas Defensif)
dibentuklah badan Seinendan dan Keibodan. Mereka dilatih dengan latihan militer yang sangat
keras dan juga disiplin yang sangat ketat. Tugas pokok dari kedua kelompok ini adalah sebagai
pasukan perang, dengan metode gerilya dan sebagai pembantu polisi dalam menjalankan
tugasnya. Khusus untuk daerah Sumatera Timur, tentara Jepang membentuk pasukan Moku Tai
(barisan harimau liar, yang diajari dengan ketrampilan perang gerilya) dan Kenko Tai Sin Tai
(barisan Pantai Laut yang bertugas sebagai penjaga pantai)
Posisi dan juga fungsi tentara Jepang dari Indonesia semakin tinggi, setelah Jepang
kewalahan dalam berbagai peperangan di luar Indonesia. Posisi jabatan baru yang bisa diduduki
oleh seorang tentara dari Indonesia sudah bisa menduduki komandan Kompi. Untuk wilayah
1943, sedangkan untuk wilayah Sumatera dinamakan dengan Gyugun dibentuk pada bulan
Nopember 1943.4
Seperti layaknya tentara saat ini, sebelum menjadi anggota Gyugun para pemuda
sebelumnya dilakukan pemeriksaan baik itu situasi kesehatan anggota, maupun dari sudut
mental. Pemuda yang lolos seleksi ini, mereka akan dikirim ke-Siborong-borong untuk
pendidikan pagar alam. Selain pendidikan cagar alam, Siborong-borong juga menjadi tempat
para anggota untuk menerima pendidikan perwira. Sebagai anggota pertama yang mengikuti
pelatihan perwira ini dari Sumatera Utara diantaranya adalah, Achmad Tahir, Hotman Sitompul,
R. Sucipto, Nazaruddin, Wiji Alfisah, Zein Hamit, TPR. Sinaga, Wilson Nasution, Mahidin,
Sihar Hutauruk, Alwi Nurdin, M. Kasim Nasution, Jamin Gintings, Ricerdo Siahaan, Nelang
Sembiring, Martinus Lubis, Zainuddin Hasibuan, Boyke Nainggolan. Kelompok ini adalah
perwira yang akan ditempatkan di Sumatera Timur. Sedangkan perwira pertama dari Tapanuli
adalah, Kristian R. Gukguk, Jansen Siahaan, Lucius Aruan, Bongsu Pasaribu, Waldemar Siregar,
Hamahe Rambe, Johan Marpaung, Hamonangan Sihombing, Kornelius Rajaguguk, Tahi Manik,
Elbiker Situmeang, Jese Simanjuntak, Tambatua Simbolon, Oloan Sarumpaet, Binsar
Simangunsong, Bona Parte Siagian, Paima Sibagariang, Togar Muda Dalimunte, S.M Sinurat,
dll.5
Semakin besarnya jumlah pemuda yang masuk menjadi tentara Jepang, berdampak
semakin besarnya tentara Jepang di Indonesia. Walapun sebenarnya tentara dijadikan sebagai
tentara Jepang dengan posisi yang tergolong strategis, tetapi tetap ada batasan kepada mereka
untuk memperoleh kedudukan dalam posisi militer Jepang. Tentara yang dilatih dari Sumatera
Utara akhirnya dibentuk menjadi pembantu angkatan perang Jepang melawan serangan dari
4
Dinas Sejarah Komando II Bukit Barisan, Sejarah Perjuangan Komando Daerah II Bukit Barisan, Medan: Team Asistensi Pangdam II/BB, 1977, hal, 31.
Indonesia maupun dari luar Indonesia. Kelompok ini dikatakan dengan BOMPA (Badan Oentuk
membantu Pertahanan Asia). Politik Jepang dalam menarik pemuda menjadi tentara memakai
sebuah taktik. Indonesia akan memperoleh kemerdekaannya setelah perang selesai, dan mereka
akan dijadikan sebagai aparatur, ataupun pengurus dalam pemerintahan tersebut.
Perjanjian “Koisho” adalah perjanjian antara Jepang dengan Indonesia berisi tentang
pemberian kemerdekaan kepada Indonesia oleh Jepang. Perjanjian ini dilatar belakangi oleh
banyaknya kekalahan dalam peperangan yang dialami oleh Jepang di luar Indonesia. Jepang
membentuk penasehat pemerintahan Jepang dari Indonesia, yang dinamakan dengan Sangi Kai.
Mereka yang terpilih menjadi Sangi Kai adalah tokoh masyarakat yang bisa memberikan
pengaruh terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya. Seperti dari Tapanuli, yang menjadi Sangi
Kai adalah Dr. Ferdinan Lumban Tobing. Jumlah yang duduk dalam badan ini untuk Sumatera
Utara berjumlah 40 orang.
Secara garis besar mereka yang terpilih menjadi penasehat pemerintah Jepang di
Indonesia adalah kaum terdidik yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Selain penasehat
dan para cendikiawan yang tergabung dalam kelompok ini juga memberikan buah pemikiran
mereka tentang kemerdekaan. Seperti Dr. Ferdinan Lumban Tobing, Tengku Muhammad Hasan,
Adinegoro dan para kelompok pergerakan lainnya. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini
menjadi anggota panitia kemerdekaan Indonesia. Seperti Muhammad Hasan dan kedua
rombongannya yang diberangkat ke Jakarta untuk mengikuti proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia. Fungsi maksimalnya adalah saat tentara Jepang sudah menyerah, mereka ikut
membenahi sistem tatanegara dan politik di negara Indonesia. Kelompok muda yang tergabung
dalam tentara bentukan Jepang, sebagian besar ikut barisan keamanan rakyat yang disingkat
2.3 Menuju Pengakuan Kedaulatan
Kemerdekan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, berkumandang ke seluruh
negara-negara. Indonesia sudah menjadi negara yang bebas dari penjajahan. Pembacaan teks Proklamasi
dilakukan oleh Soekarno dan Moh Hatta di Jakarta, sebagai utusan seluruh bangsa Indonesia.
Momen ini dilakukan di hadapan Jepang yang saat itu masih berada di wilayah Indonesia. seperti
di Sumatera sendiri, Jepang masih menduduki kota Medan.
Proklamasi yang dibacakan di Jakarta, membutuhkan dukungan dari daerah di seluruh
wilayah Indonesia. Langkah awal untuk merealisasikan kemerdekaan adalah mempersiapkan
pembentukan pemerintahan mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah dan melakukan
perlawanan terhadap penjajah yang masih berada di Nusantara, dalam hal ini adalah bangsa
Jepang.
Respon masyarakat di Sumatera terhadap Proklamasi beraneka ragam. Setelah mengikuti
pembacaan proklamasi di Jakarta, Muhammad Hasan, Muhammad Amir, dan Abdul Abbas,
harus menyinggahi beberapa tempat di Sumatera untuk menyampaikan bukti proklamasi kepada
pemimpin-pemimpim daerah, agar berita tentang hal tersebut tersiar di seluruh Sumatera. Setelah
menyinggahi Jambi, Tebing Tinggi, dan Tarutung, Muhammad Hasan dan rombongan sampai di
Medan tanggal 28 Agustus dengan mendapati Medan dalam suasana tenang,6
1. Pihak pemerintah dan tentara pendukung Jepang yang masih mempunyai kekuatan
dan kekuasaan di Sumatera Utara.
sebab tentara
Jepang selalu dalam keadaan siaga melihat pergerakan rakyat. Posisi politik di Sumatera Utara
terbagi atas beberapa kelompok, yaitu:
6
2. Golongan pejuang bangsa Indonesia yang sudah tidak sabar lagi menumggu komando
perjuangan menegakkan negara Republik Indonesia di Sumatera Utara.
3. Golongan pendukung pemerintah penjajah Belanda di Sumatera Timur, khususnya
raja-raja ataupun sultan-sultan, yang mengharapkan kedatangan Belanda kembali ke
Sumatera Timur setelah kekalahan Jepang.7
Muhammad Hasan belum mendapati badan resmi politik dan badan kemiliteran. Karena
masih takut kepada kekuatan Jepang, yang ada hanyalah rencana menuju sebuah pembentukan
organisasi yang resmi. Proklamasi sendiri baru berkumandang di Sumatra Utara setelah rakyat
beserta pemuda mendesak Muhammad Hasan segera membacakannya. Pada tanggal 30
September 1945, Muhammad Hasan di hadapan rakyat Sumatera Utara tepatnya di Jalan
Ampelas, melakukan keinginan rakyat membacakan Proklamasi dan memberitahukan bagaimana
perkembangan politik di Indonesia.8
Dengan semangat proklamasi di Medan, kelompok pemuda yang dulunya sebagai
anggota Gyu Gun/ Peta dan Heiho, merencanakan latihan untuk pemuda-pemudi yang ada di
Medan dan di seluruh Sumatera Utara. Tujuan pelatihan ini membentuk barisan pertahanan Setelah selesai pembacaan proklamasi di Medan yaitu di
lapangan Fukuraido, para peserta rapat raksasa mengadakan pawai sekeliling Medan dengan
membawa bendera Merah Putih sambil meneriakkan “Merdeka”.
Pembacaan proklamasi juga diikuti oleh daerah-daerah lainnya di Sumatera Utara, seperti
di Tapanuli sendiri proklamasi di bacakan oleh F.L Tobing tanggal 3 Oktober 1945, dan diikuti
dengan pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang bertugas untuk daerah Tapanuli.
Pembacaan Proklamasi di Tarutung, secara serentak daerah Tapanuli menerima kemerdekaan
Indonesia tanpa terkecuali.
7Ibid
, hal, 8. 8Ibid,
menuju sebuah organisasi resmi dari Indonesia dalam bentuk melakukan perlawanan kemiliteran.
Dalam waktu yang singkat, rencana itu pun segera terwujud. Opersi ini disebut dengan “Latihan
cepat” yang menggunakan fasilitas gedung sekolah.
Pendidikan yang diterima para pemuda yang ikut terllibat dalam barisan muda bertahan
ini adalah pendidikan yang diterima para bekas Gyu Gun dan anggota Peta selama dididik pada
masa tentara Jepang. Di Medan sendiri latihan cepat ini diadakan di delapan tempat yang
berbeda, yaitu:
1. Di Jalan Sungai Rengas, yang dipimpin oleh T. Nurdin (bekas Syoi)
2. Di Jalan Istana yang dipimpin oleh M. Kasim Nasution (bekas Syoi)
3. Di Suka Ramai yang dipimpin oleh Wiji Alvisah (bekas Syoi)
4. Di Gelugur dipimpin oleh Nazarutdin Nasution (bekas Syoi)
5. Di Jalan Mabar dipimpin oleh Zeid Ali (bekas Zun-i)
6. Di Suka Raja, dipimpin oleh Burhanuddin (bekas Zun-i)
7. Di Petisah dipimpin oleh A. Gani (bekas Zun-i)
8. Di Jalan Sutomo dipimpin oleh Boyke Nainggolan (bekas Zun-i)
Latihan yang mendapat sambutan hangat dari seluruh rakyat Sumatera Utara ini, diikuti
kelompok muda-mudi dengan jumlah yang sangat besar. Mereka memperoleh pendidikan
praktik, baris-berbaris, gerak regu sampai dengan gerak kompi, membaca posisi, latihan
menyerang, dan latihan menembak, dengan menggunakan senjata yang terbuat dari kayu. Yang
terpenting dalam latihan ini adalah pemahaman berkelahi dengan menggunakan Sangkur. Sebab
senjata api belum cukup untuk dibagikan kepada seluruh anggota. Sedangkan kelompok
pergerakan nasional mendidik para pemuda-pemudi, mempunyai semangat juang yang sangat
mempertahankan negaranya, yaitu negara Republik Indonesia yang direbut dengan perjuangan
yang sangat panjang.9
1. Pasukan Kasim di Sungai Sengkol dipimpin oleh Letnan -I Kasim Nasution.
Seiring dengan perkembangan pemerintahan di Sumatera Utara, Pemerintah pusat
menunjuk Muhammad Hasan sebagai Gubernur Sumatera Utara, tepatnya tanggal 29 September
1945. Selanjutnya diikuti dengan pembentukan organisasi-organisasi pemerintahan di bawahnya.
Dalam bidang keamanan sendiri, para kelompok Muda yang didik dengan Latihan Cepat,
diangkat menjadi Tentara Keamanan Rakyat setelah mendapat persetujuan dari pusat. Tentara
Keamanan Rakyat diresmikan di Sumatera Utara pada tanggal 10 Oktober 1945. Pada saat itu
juga Mayor Ahmat Tahir diangkat sebagai kepala TKR untuk Sumatera Utara, dan R Sucipto
sebagai kepala markas umum yang bertempat di Jakarta. Pembentukan TKR di Sumatera Utara
sudah terlihat rapi, meskipun sementara waktu hanya terbagi atas tujuh kesatuan. yaitu:
2. Pasukan Karim di Deli Tua , dipimpin oleh Letnan –I A. Karim Saleh
3. Pasukan Wiji di Batang Kuis dipimpin oleh Letnan-I Wiji Alvisah.
4. Pasukan Nazaruddin di Labuhan Deli dipimpin oleh Letnan-I Nazaruddin
5. Pasukan Jamin di Kaban Jahe dipimpin oleh Letnan-I Djamin Ginting.
6. Pasukan Martinus di Berastagi dipimpin oleh Letnan-I Martinus Lubis,
7. Pasukan Burhan di Binjai dipimpin oleh Letnan-II Burhanuddin.10
Selain para pemuda yang terlibat dalam Tentara Keamanan rakyat mempertahankan
kemerdekaan dan membersihkan kelompok penjajah, organisasi yang berbasis kerakyatan juga
membentuk kekuatan. Kelompok ini dibentuk oleh kelompok-kelompok politik yang
9
H.R. Sjahnan, Dari Medan Area Ke Pedalaman Dan Kembali Ke-Kota Medan, Medan: Dinas Sejarah Kodam-II/BB, 1982, hal, 13.
10Ibid
berkembang saat itu. Kelopok laskar yang terbentuk dengan latarbelakang yang berbeda, saling
menunjukkan perjuangan masing-masing, guna memperkenalkan partai enderbow mereka.
Kelompok laskar yang ada di Sumatera Utara saat itu adalah :
1. Laskar Napindo dari Partai Nasional Indonesia
2. Laskar Pesindo (Hisbullah) dari Partai Masyumi
3. Laskar Harimau Liar dari (BHL).
4. Laskar Barisan Merah dari PKI
5. Laskar Divisi Panah dari Parkindo dan laskar yang lainnya.11
Perjuangan dari laskar ini pada umumnya dilakukan di daerah perkotaan sebagi pusat dari
partai-partai tersebut yaitu menghadapi tentara Sekutu yang juga mengambil posisi di daerah
perkotaan. Perlawanan terhadap Sekutu pada umumnya masih didominasi oleh Laskar Rakyat
dari pada Tentara Keamanan Rakyat. Yang lebih memfokuskan kegiatannya dalam membentuk
organisasi kemiliteran. Organisasi Laskar Rakyat dan juga Tentara Keamanan Rakyat terlihat
semakin erat setelah datangnya Sekutu yang dibonceng oleh NICA tanggal 15 September 1945,
dengan tujuan melucuti persenjataan Jepang dan mengembalikan kekuasaan Belanda yang ada di
Indonesia.
Melalui dukungan Sekutu, Belanda kembali menduduki Sumatera Utara sekitar bulan
Oktober sampai Desember 1945. Kedatangan Sekutu ke berbagai daerah di Sumatera Utara
menimbulkan insiden-insiden di berbagai daerah. Hal ini terjadi karena pihak Tentara Keamanan
Rakyat yang sudah dibentuk di berbagai daerah (Divisi) tidak menerima kedatangan Sekutu
kembali ke Sumatera Utara. Tentara Keamanan Rakyat semakin erat dengan Laskar Rakyat dan
juga pemuda karenan semakin kuatnya musuh yang mereka hadapi. Sekutu membentuk tentara
11Ibid
yang berasal dari kelompok Cina dinamakan dengan “Poh An Tui” yang ditujukan sebagai
pembantu tentara Sekutu pada posisi depan. Kelompok tentara dari etnis Cina ini, menjadi
kelompok yang paling keras terhadap kelompok Tentera Keamanan Rakyat dan juga Laskar
Rakyat yang tidak setuju dengan kedatangan Sekutu.
Posisi Belanda semakin kuat, setelah Sekutu serah terima kota Medan kepada kekuasaan
Belanda. Artinya, Sekutu yang didominasi oleh pasukan Inggris, menyerahkan kota Medan
sepenuhnya kepada kekuasaan Belanda. Posisi ini akan merapikan kembali pemerintahan
Belanda di Sumatera Utara. Walaupun posisi Belanda semakin kuat dan strategis, tetapi Tentara
Keamanan Rakyat dan kelompok perjuangan rakyat (laskar dan kelompok pemuda) semakin
berani dan merapikan susunan pertahanan mulai dari tingkat nasional hingga pertahanan ke
daerah-daerah. Hal ini tidak terlepas dari susunan pemerintahan yang samakin rapi.
Tiga bulan setelah Belanda mendapat posisi yang dominan di Medan dari Sekutu, Tentara
Keamanan Rakyat juga semakin rapi. Tentara Keamanan Rakyat yang pada awalnya hanya
dibentuk di berbagai daerah, tanpa mempunyai sinergitas dengan pemerintah pusat dan daerah
lainnya, pada tanggal 15 Januari kelompok TKR menjadi satu kesatuan yang dinamakan dengan
Tentara Republik Indonesia atau disingkat dengan TRI.12
Setelah berubah bentuk, nama, dan juga fungsinya, TRI menjadi organisasi yang
mendapat pengakuan dari pihak Internasional. TRI sudah ikut terlibat dalam masalah keamanan
dan politik di tingkat nasional mapun tingkat internasional. Hal ini tidak terlepas dari pemerintah
pusat yang sudah menjadikan TRI menjadi salah satu komponen penting dalam negara
Indonesia. Ada beberapa perbedaan antara TRI dengan Tentara keamanan Rakyat.yaitu terletak
pada susunan dan juga pelaksanaan tugas setiap harinya. Sejak pembentukan TRI, anggota TRI
semakin berani menjalankan tugasnya secara terbuka walaupun tentara Belanda di sekitar
12Ibid
mereka. Di samping itu pasukan TRI sudah memiliki susunan jabatan yang diangkat dengan
proses upacara kemiliteran, dan markas yang dibangun di pinggir jalan. Organisasi ini terlihat
mulai disiplin dalam menjalankan tugasnya layaknya seperti tentara. Anggota TRI sudah banyak
yang memiliki senjata walaupun dominan berasal dari hasil rampasan
Pada bulan Mei 1946, setelah melakukan revolusi sosial terhadap Zelfbestuur (kekuasaan
sultan-sultan) di wilayah Deli, mereka mendapatkan upacara kenaikan pangkat dan reorganisasi
divisi Sumatera Timur. Upacara resmi kemiliteran yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Suharjo
Harjowardoyo ini menjadi awal upacara pengangkatan jabatan ditubuh TRI. Hasil reorganisasi
yang baru memutuskan bahwa:
1. Divisi Sumatera Timur menjadi Divisi –IV berkedudukan di Pematang Siantar, dipimpin
oleh Kolonel Ahmat Tahir dengan kepala markas Umum dipegang oleh Letnan kolonel
Hotman Sitompul.
2. Resimen –I berkedudukan di Berastagi, dipimpin oleh Mayor T. Nurdin, dengan kepala
markas umum dipegang oleh Kapten Sihar Hutauruk.
3. Resimen –II berkedudukan di Bunut Kisaran dipimpin oleh mayor M. Kasim dengan
kepala markas umum Kapten Liano Siregar.
4. Batalyon-I, Resimen-I, berkedudukan di Tanjung Pura dipimpin oleh Mayor Wiji
Alvisah.
5. Batalyon-II, Resimen-I berkedudukan di Kota Cane dipimpin oleh Mayor Bahren
6. Batalyon-III, Resimen-I, berkedudukan di Kaban Jahe dipimpin oleh Kapten Nalang
Sembiring.
8. Batalyon-V, Resimen-I, berkedudukan di Perbaungan dipimpin oleh Kapten T.P.R.
Sinaga.
9. Batalyon-I, Resimen-II, berkedudukan di Tanjung Balai dipimpin oleh Mayor Jamin
Ginting.
10.Batalyon-II, Resimen-II, berkedudukan di Pematang Siantar dipimpin oleh Ricardo
Siahaan.
11.Batalyon-III, Resimen-II, berkedudukan di Tebing Tinggi dipimpin oleh Kapten Zeid Ali.
12.Batalyon-IV, Resimen-II, berkedudukan di Wingfoot dipimpin oleh Mayor Martinus
Lubis.
13.Batalyon-B berkedudukan di Two River dipimpin oleh Kapten Nip Karim.
14.Batalyon pengawas kereta api dan tambang minyak, berkedudukan di Pangkalan Brandan
dipimpin oleh Mayor Nazaruddin Nasution.13
Setelah TRI membentuk susunan kemiliteran di Sumatera Utara, pasukan Belanda terasa
dikekang dan tidak diberi ruang dalam menjalankan tugasnya. Demikian juga anggota dari
Laskar Rakyat yang selalu bertindak agresif semakin membuat tentara Belanda terjepit. Tidak
jarang ada pengorganisasian dari TRI bersama-sama dengan Laskar Rakyat serentak melakukan
penyerangan terhadap markas Belanda pada waktu tertentu. Seperti yang dilakukan oleh Mayor
Martinus Lubis pada tanggal 15 Februari 1947, menyerang pertahanan Belanda di Simpang
Marindal dan Kampung Baru, yang telah merepotkan tentara Belanda. Pasukan TNI juga
mengalami kerugian dalam pertempuran ini. Komandan Tentara Resimen-I Martinus Lubis,
pemimpin serangan ini ikut gugur bersama 2 anggotanya.
13Ibid
Serangan-serangan yang dilakukan oleh pasukan TNI (yang baru saja berubah nama)
bersama-sama dengan Laskar Rakyat, semakin mempersempit ruang gerak dari Belanda. Tetapi
kekompakan antara TNI dan Laskar Rakyat ini segera berkurang, setelah pasukan Belanda
mengajak pihak Sekutu, Belanda, pemerintah dan Tentara Republik Indonesia, yang membuat
TNI yang ada di Medan semakin dipojokkan. Pasukan TNI tidak dapat memasuki kota Medan,
sesuai dengan garis demarkasi yang disetujui oleh pemerintah pusat dan pihak Belanda.
Untuk mengatasi hambatan dan pembatasan yang dilakukan oleh pihak Belanda, pasukan
TNI bersama-sama dengan Laskar Rakyat adalah, membentuk taktik baru yakni menempatkan
sejumlah posko Laskar Rakyat di kota Medan yang digandeng oleh pasukan TNI. Pasukan
Laskar Rakyat hanya sebagai simbol kerakyatan, tetapi di dalamnya peralatan dan struktur
pasukan TNI bersama dengan Laskar Rakyat. Posko laskar rakyat tersebut:
1. Sektor Utara yaitu Timur jalan raya Medan-Belawan, ditempati oleh Laskar Rakyat
Napindo bersama-sama pasukan TNI.
2. Sektor Utara sebelah barat jalan raya Medan-Belawan ditempati oleh laskar Rakyat
Napindo, Laskar Rakyat Pesindo dan barisan Merah Hisbullah.
3. Sektor Timur (Tembung dan Bandar Setia) ditempati oleh Napindo dan Pasindo
bersama dengan pasukan TNI.
4. Sektor Tenggara (Denai, Binjai Amplas) ditempati oleh Laskar Rakyat Marsuse.
5. Sektor Selatan (Titi Besi dan Tanjung Morawa) ditempati oleh Laskar Rakyat
Napindo, Pasindo, dan pasukan tentara Resimen-II dan Resimen –III.
6. Sektor Selatan sebelah Barat, ditempati oleh Laskar Rakyat Marsuse, dan pasukan
7. Sektor Selatan sebela Barat ditempati oleh (Deli Tua) ditempai oleh laskar Rakyat
Pesindo bersama pasukan TNI.
8. Sektor Barat Daya, ditempati oleh tentara Batalyon V, bersama laskar Rakyat .
9. Sektor Barat sebelah selatan (Pancur Batu), ditempati oleh Tentara Batalyon-III dan
laskar Rakyat Napindo Halilintar.
10.Sektor Barat sebelah Barat Daya (Tuntungan) ditempati oleh Tentara Batalyon-II
bersama Laskar Rakyat Barisan Harimau Liar (BHL).
11.Sektor Barat (Kampung Lalang dan Sunggal), ditempati oleh Tentara Divisi Gajah-I,
resimen Istimewa Medan Area dan Laskar rakyat Napindo.
Pasukan Belanda yang merasa semakin terdesak dengan pembentukan susunan TNI.
Belanda secara terang-terangan menambah kekuatannya dan perlengkapannya berupa panser,
tank, dan juga peralatan udara dengan tujuan ingin melakukan serangan-serangan melalui udara
dan darat. Rencana Belanda diwujudkan melalui serangan yang dilakukan tanggal 19 Desember
1948, pasukan Belanda untuk pertama kali menyerang ibu kota Yokyakarta dengan kekuatan
senjata dari darat dan juga udara. Belanda secara terang-terangan menyatakan “tidak akan
tunduk terhadap perjanjian Renville (17 Januari 1948), dan akan melakukan serangan terhadap
pasukan TNI. Serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda tanggal (19 Desember 1948) ibu
kota Yogyakarta mengakibatkan kota tersebut jatuh ke tangan pihak Belanda.
Belanda kembali melakukan serangan di Sumatera Utara. Serangan itu disebut dengan
Agresi Militer-II Belanda. Dengan kekuatan satu batalyon infantri bersenjata tank, panser wagen,
ditambah dengan serangan dari pesawat terbang, tanggal 19 Desember 1948, pasukan Belanda
menduduki kota Rantau Prapat. Selanjutnya tanggal 20 hingga 25 Desember, serangan
dilanjutkan ke kota Pinang, Tanggal 25 Desember Kota Pinang akhirnya jatuh kedalam
Belanda, ke wilayah Parapat, dan melanjutkan serangan ke daerah Balige, Porsea hingga Si
borong-borong. Pasukan TNI yang kurang mengetahui tentang serangan yang akan dilakukan
oleh pasukan Belanda terpaksa menyingkir secara mendadak ke daerah hutan, untuk menghindari
serangan yang dilakukan dari udara dan darat.
Tanggal 26 Desember, Belanda meneruskan operasinya ke daerah Utara, yaitu Dairi dan
berakhir di Padang Sidempuan tanggal 1 Januari 1949, dengan kekuatan yang sama seperti yang
dilakukan di daerah-daerah lainnya. Tanggal 2 Januari 1949, Belanda dapat menguasai daerah
Sumatera Utara, setelah melumpuhkan semua basis-basis TNI di daerah-daerah.
Serangan yang dilakukan selama satu bulan oleh Belanda terhadap basis-basis TNI di
Sumatera Utara ternyata hanya memberikan kerugian terhadap markas dan peralatan yang
ditempatkan di dalam markas tersebut, sedangkan pasukan yang berada dalam markas tersebut
mereka segera menyelamatkan diri bersembunyi ke pedalaman. Serangan yang dilakukan oleh
Belanda secara mendadak telah menyebabkan pasukan TNI semakin benci terhadap Belanda.
Pasukan TNI yang sudah banyak kehilangan persenjataan, akibat serangan Agresi Militer
Belanda II, terpaksa memakai taktik baru dalam perang yaitu teknik perang gerilya. Taktik ini
berupa penyerangan dengan menyamar dan bersembunyi, lalu menggunakan senjata membunuh
musuh serta mengubur sejumlah ranjau-ranjau darat bentuk bom, di jalan vital yang dilalui oleh
kendaraan Belanda. Tujuan taktik ini adalah melumpuhkan pasukan Belanda yang mengunakan
kendaraan. Hal ini dilakukan pada pos tentara Belanda yang ada di daerah-daerah.14
“…kecuali di sektor Barat Laut teritorium sumatera Utara, (Tanah Karo), dan di Vak 5-10, RI terutama jalan Tiga Binanga-Mardingding)
Seperti yang
dilakukan oleh Batalyon-XV, dengan nama samaran satuan, “Pasukan Gelatik” di tanah Karo
dan Mardingding. Serangan yang dilakukan oleh pasukan Gelatik sangat membuat pasukan
Belanda lumpuh dengan persenjataannya, seperi pengakuan dari perwira Militer Belanda:
14
musuh menggunakan bom tarik dan ranjau-ranjau. Banyak anggota yang berani mengendarai panser dan Wagen Truk telah menjadi korban akibat itu juga banyak yang menjadi korban tembakan dari penghadangan”.15
“…Pelaksanaan perang girilya diorganisir dengan baik. Di setiap kampung TNI mempunyai pembantu-pembantu yang tidak bersenjata dan pos-pos pengintai yang disebut dengan “semesta” (pertahanan rakyat ) hampir semua patroli-patroli berjangka lama yang begitu dipersiapkan hanya seperti “menangkap angin, dimana musuh sempat menyingkir karena sudah diberitahu terlebih dahulu oleh rakyat”.
Dalam perang Gerilya yang dilakukan oleh pasukan TNI, terhadap Belanda masyarakat
menjadi kelompok yang membantu pasukan TNI. Masyarakat berperan sebagai pemberi
informasi pasukan Belanda dan aktivitasnya. Informasi ini akan disampaikan kepada pasukan
TNI, agar dapat menyusun strategi penyerangan. Untuk serangan ini, seorang perwira militer
Belanda mengatakan:
16
Ternyata taktik gerilya yang dibuat oleh pasukan TNI, menjadi awal kemenangan bagi
mereka. Belanda mendapat halangan yang sangat berat, sebab jalan dan juga jembatan sudah
dipasang ranjau dan bom. Komandeman daerah Militer Resimen –IV Dipisi –X TNI,
menyatakan bahwa perang ini sangat efektif dalam memenangkan pertempuran, sehingga cara
perang gerilya dipelihara dan dipraktikkan dalam tubuh TNI.. Perang gerilya yang dilakukan
karena latar belakang kekalahan pasukan TNI ketika berhadapan langsung dengan Belanda yang
mempunyai peralatan yang sangat lengkap selalu menimbulkan kekalahan ditubuh TNI. TNI
mencari cara yang paling efektif, yaitu berperang sambil bersembunyi agar pasukan Belanda
tidak mengetahui siapa dan dari mana datangnya musuh. Untuk menutupi keberadan dan rencana
pasukan TNI, maka markas yang dulunya berada di kota atau pusat keramaian dipindahkan ke
pedalaman, tempat yang susah dijangkau oleh pasukan Belanda. Perang gerilya mengikutkan
15
H.R. Sjahnan, Op.Cit, hal, 274. 16Ibid
masyarakat sebagai pembantu dalam sabotase, dinamakan dengan perang yang lengkap dengan
pengorganisasian dan anggaran dasar.17
Pertempuran semakin sengit, yang mengakibatkan banyaknya pasukan Belanda yang
tewas dan juga tertawan. Pasukan TNI yang paham dengan situasi lokasi bukit barisan merasa
diuntungkan dalam perang. Belanda akhirnya merasakan betapa susahnya keadaan ini, sehingga
mereka mengajukan masalah ini ke meja perundingan, Tanggal 23 Juli, perundingan dilakukan
dan menghasilkan beberapa poin kesepakatan. Daerah Sumatera Utara diwakili oleh Kolonel
Hidayat.
Luasnya daerah Sumatera Utara yang diliputi berbagai bukit yang berbaris, dan lembah
yang sangat luas, memberikan keuntungan bagi pasukan TNI. Pasukan Belanda hanya bisa
berpatroli di kota dan tidak bisa berhadapan langsung dengan pasukan TNI. Keadaan ini semakin
kuat setelah panglima tentara teritorium Sumatera Utara memerintahkan adanya pembagian
daerah yang dinamakan dengan Territorial dan pembagian daerah teritorial tersebut sampai ke
tingkat kecamatan. Daerah teritorium akan dipimpin oleh Praja bekerjasama dengan pemimpin
militer yang dinamakan dengan Gubernur Militer, untuk tingkat gubernur hingga camat militer
untuk tingkat kecamatan. Tujuan dari pembentukan ini adalah memperkuat hubungan antara
pemerintah, rakyat Indonesia, dan perjuangan TNI.
18
“……. Aku tau hai anak-anak dari Angkatan perang, engkau akan tunduk kepada perintahku ini (kesepakatan perundingan), korban-korban telah banyak, dan Aku, dan seluruh tanah air berterima kasih
Sebelum tembusan kesepakatan ini sampai kepada tangan para prajurit, Jenderal
Sudirman, sebagai panglima tertinggi TNI, menyampaikan sejumlah dukungan dan harapan
kepada pasukannya di Sumatera Utara yang berbunyi:
17Ibid,
hal, 305-314. 18
Team Asisten Pangdam II/BB, Sejarah Perjuangan Komando Daerah Militer II Bikit Barisan, Medan: Dinas Sejarah Kodam II/BB, 1977, hal, 604.
atas korbanmu itu. Dengan persetujuan politik itu berubahlah berubahlah kewajibanmu mengadakan perang gerilya kepada penghentian perang gerilya itu, sambil ikut serta menjaga keamanan pada tempatmu masing-masing untuk keselamatan Rakyat. TNI adalah tentara buatanmu, dan sikapmu, bahwa juga diwaktu tidak berperang atau diwaktu damai engkau tetap pahlawan-pahlawan…..”19
1. Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda merupakan uni Belanda-Indonesia dibawah
ratu Juliana.
Setelah isi gencatan senjata disampaikan kepada pasukan TNI yang berada di dalam
hutan (posisi gerilya), mereka segera kembali ke tempat tinggal masing-masing. Keadaan ini
berlangsung lama, hingga Konfrensi Meja Bundar dilakukan. Dengan berakhirnya perjuangan
dengan peluru, tahap selanjutnya ke pembenahan organisasi dan terlibat dalam percaturan
politik. Muhammad Hatta terpilih menjadi pimpinan delegasi mengikuti Konfrensi Meja Bundar,
yang mengikutkan sejumlah perwira Militer TNI. Agenda dan permintaan Indonesia adalah
pengakuan kedaulatan dan penghapusan dominasi Belanda di Indonesia. Cita-cita yang diusung
oleh delegasi Indonesia ternyata mempunyai dukungan yang sangat besar dari negara-negara
Asia Tenggara lainnya.
Berkat dukungan dari segenap bangsa Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, maka
Indonesia menerima yang menjadi bagiannya, dimana Konfrensi Meja Bundar menghasilkan
beberapa poin yang mengatur hubungan Indonesia dengan Belanda.yaitu:
2. Hutang bekas Hindia Belanda akan dipikul oleh R.I.S.
3. Tentara Belanda, (K.L dan K.N.I.L) akan dibubarkan.
4. T.N.I menjadi inti tentara R.I.S dan akan berangsur-angsur mengoper penjagaan
keamanan di seluruh RIS.
5. Penyerahan kedaulatan akan dilakukan sebelum akhir tahun 1949.
19Ibid,
6. Kedaulatan Irian Barat akan ditetapkan dalam perundingan pada tahun berikutnya.20
Demikianlah isi Konfrensi Meja Bundar yang dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan
beberapa poin dari butir-butir yang kurang jelas,21
20Ibid,
hal, 613. 21Ibid
, hal, 614
Inti dari keputusan ini adalah, mengharuskan
BAB III
LATAR-BELAKANG BERDIRINYA KODAM-II/BB DI SUMATERA UTARA
Perjalanan Tentara dan perjuangannya di masing-masing daerah mempunyai ciri dan
perjuangan tersendiri. Sejarah Tentara di Sumatera hingga menjadi bentuk pembagian yang
terlihat sekarang ini yaitu Kodam I/ Bukit Barisan dilakukan dengan berbagai proses dan
pertimbangan di tubuh militer. Perlu diketahui bahwa kodam atau sistem organisasi militer setiap
babakan selalu berbeda seperti yang terlihat pada babakan berikut ini
3.1 Kronologi Organisasi Kodam II/Bukit Barisan
Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), pada tanggal 22 Agustus 1945
menghasilkan beberapa poin keputusan. Salah satunya adalah pembentukan Badan Penyelamat
Korban-Korban Perang (BPKKP) dengan sebutan Badan keamanan Rakyat (BKR). Badan yang
bersifat kemiliteran ini berfungsi sebagai pengayoman kepada rakyat Indonesia. Negara
meresmikan badan ini menjadi badan resmi kemiliteran setelah melihat perannya yang begitu
penting.
Kelompok masyarakat yang ikut dalam kelompok ini adalah golongan muda yang
memiliki semangat juang yang tinggi, yang dilatih dengan pendidikan kemiliteran oleh para
alumni tentara bentukan Jepang. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat juga mendapat
sambutan hangat dari Soekarno. Di hadapan pemuda dan masyarakat, Soekarno mengajak
kelompok pemuda yang pernah terlibat dalam Peta, Bompa, Heiho, Giyugun dan Kaigun
Ajakan dari Bung Karno segera dilakukan dan diaplikasikan di masing-masing daerah,
seperti di Sumatera Utara sendiri. Badan yang serupa dengan Badan Keamanan Rakyat sangat
beragam. Untuk wilayah Sumatera Timur, segera terbentuk Persatuan Sumetara Timur (PST),
dan badan yang sama dinamakan dengan Siap-Sedia (SS). Kelompok ini dominan berasal dari
Barisan Pemuda Indonesia yang selalu menjadi barisan penantang penjajahan. Berbeda dari
wilayah Sumatera Timur, Keresidenan Tapanuli segera membentuk badan yang sama seperti di
pusat, yaitu Badan Keamanan Rakyat oleh Dr. Ferdinan Lumban Tobing
Badan Keamanan Rakyat ternyata sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, karena
keamanan yang belum aman seratus persen dari pengaruh Jepang. Tidak lama memakai nama
BKR, cikal bakal TNI ini segera berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada
tanggal 9 Oktober 1954. Kebijakan ini bertujuan menyeragamkan badan petahanan yang ada di
berbagai daerah menjadi satu bentuk organisasi yang sama dari pusat hingga daerah.
Untuk wilayah Sumatera Utara, Tentara Keamanan Rakyat dikelompok menjadi 3
kelompok berdasarkan wilayah yang dinamakan dengan Divisi. Divisi IV di Sumatera Timur,
Divisi V untuk wilayah Aceh, dan Divisi VI untuk keresidenan Tapanuli. Wilayah Divisi militer
dipimpin oleh seorang Gubernur Militer, yang mempunyai pengaruh lebih kuat daripada
pemerintahan pusat. Tugas lain yang harus dilakukan seorang Gubernur Militer adalah
membentuk organisasi militer ke tingkat wilayah yang lebih sempit lagi yang dinamakan dengan
Batalyon atau Resimen.
Hubungan anggota Tentara Keamanan Rakyat pun semakin solid dalam menghadapai
pasukan Belanda yang mempunyai kekuatan besar. Koordinasi antara sesama Divisi ternyata
lebih keras sebab Militer Belanda berusaha penuh mendapatkan wilayah ini karena
latar-belakangnya sebagai pusat perkebunan dan pusat perekonomian di Sumatera Utara.
Untuk menjaga rahasia tentang Tentara Keamanan Rakyat di wilayah Sumatera Timur
(cikal-bakal pusat Kodam II/BB) dari pengetahuan Belanda, sering dilakukan perubahan pusat
dan menambah jumlah batalyon. Setelah melakukan pena