EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI
PEREMPUAN DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen Ilmu Politik
ASTRI LEDI AYU 0 6 0 9 0 6 0 2 9
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
LEMBARAN PERSETUJUAN
Nama : Astri Ledi Ayu
Nim : 060906029
Departemen : Ilmu Politik
Judul : Efektifitas Implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi
Perempuan Di Indonesia
Menyetujui Ketua
Departemen Ilmu Politik
(Drs. Heri Kusmanto, MA) NIP. 196410061998031002
Dosen Pembimbing Dosen Pembaca
(Warjio, SS, MA) (Indra Kusuma Nasution, S.IP, MSi) NIP. 197408062006041003 NIP. 197903062005011002
Mengetahui a.n Dekan FISIP USU
Pembantu Dekan I
(Humaizi)
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBARAN PENGESAHAN
Sripsi ini telah diuji dan dipertahankan dihadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Pada :
Hari / Tanggal : Juni 2010
Waktu : ....s/d selesai
Tempat : Ruang Sidang FISIP USU
Tim Penguji
Ketua Penguji
Indra Fauzan, S.H.I, M.Soc, Sc ( )
NIP : 198102182008121002
Penguji I
Warjio, SS, MA ( ) NIP : 197408062006041003
Penguji II
LEMBARAN PERNYATAAN
PERNYATAAN
EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI
PEREMPUAN DI INDONESIA SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Dari sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis, kecuali yang tertulis dalam naskah ini disebut dalam daftar pustaka.
Medan,
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, saya selalu merasa beruntung dan diberkahi dalam berbagai urusan. Diantaranya, beruntung mempunyai keluarga, teman dan guru yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Suatu karya yang saya niatkan sebagai hadiah ulang tahun saya.
Skripsi ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang saya angkat adalah : EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASIPEREMPUAN DI INDONESIA.
Dalam penulisan skripsi ini, saya menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka skripsi ini tidak akan dapat selesai tepat pada waktunya. Oleh karena itu, saya menyampaikan rasa penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua tersayang Ibunda Elisa Wanti Nasution dan ayahanda Alm. Abi Dana. Tegasnya Bapak dan Lembutnya Mamak mengantarkanku sampai sejauh ini. Insyallah Mam...Astri berusaha yang terbaik untuk keluarga kita.
Selanjutnya saya ucapkan terima kasih kepada pihak Departemen Ilmu Politik Bapak Heri Kusmanto, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Politik dan Sekretaris Departemen Ibu Rosemary Sabri atas dukungan dan persetujuan judul skripsi saya.
Penghargaan dan ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dosen Pembimbing I Bapak Warjio, SS.MA dan Dosen Pembimbing II Bapak Indra Kesuma Nasution, S.IP, M.Si. Atas arahan, konsistensi dan ilmu yang saya terima selama proses bimbingan. Dan Kepada Bapak Indra Fauzan, S.H.I, M.Soc, Sc terima kasih saya ucapkan atas kesediaan bapak menjadi ketua penguji pada saat sidang meja hijau.
Kepada Bapak dan Ibu Dosen, staf administrasi beserta segenap sivitas akademika Fakultas ISIP USU, saya mengucapkan terima kasih atas dukungannya.
Penulis menyadari akan kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, baik dari segi materi maupun dari segi penyampian. Oleh karenanya adalah suatu kehormatan bagi penulis bilamana ada pihak-pihak yang berkenan memberi kritikan, saran dan masukan demi mengembangkan cakrawala berpikir untuk perbaikan di masa mendatang.
Dan kepada pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu saya haturkan terima kasih untuk setiap pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung. Belajar menjadi yang terbaik, tidak mengulangi kesalahan yang sama dan menjadi diri sendiri. Semoga skripsi ini membawa manfaat untuk kita semua.
Medan, Juni 2010 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Persetujuan... i
Lembaran Pengesahan... ii
Lembaran Pernyataan... iii
Kata Pengantar... iv
Daftar Isi... v
Abstraksi... viii
BAB I PENDAHULUAN……….... 1
I.1. Latar Belakang Masalah……….... 1
I.2. Rumusan Masalah……….. 5
I.3. Batasan Masalah……… 5
I.4. Tujuan Penelitian………... 6
I.5. Signifikansi Penelitian………... 6
I.6. Kerangka Teori……….. 7
I.6.1. Perjanjian Internasional………... 7
I.6.1.1. Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional……… 8
I.6.1.2. Kemampuan Membuat Perjanjian Internasional... 12
I.6.1.3. Berlakunya Perjanjian Internasional……….. 13
I.6.1.4. Berakhirnya Perjanjian Internasional………. 13
I.6.2. Implementasi Kebijakan Publik... 14
I.6.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan... 14
I.6.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan………... 17
I.7. Metodologi Penelitian……….………... 23
I.7.1. Jenis Penelitian……….. 23
I.7.2. Teknik Pengumpulan Data………. 23
I.7.3. Analisa Data……….. 23
I.8. Sistematika Penulisan……… 24
BAB II TENTANG KONVENSI CEDAW DAN PELAKSANAAN KONVENSI CEDAW DI INDONESIA... 26
II.1. Tentang Konvensi CEDAW... 26
II.1.1. Sejarah Lahirnya CEDAW... 27
II.1.2. Protokol Opsional... 29
II.1.3. Pertimbangan CEDAW... 30
II.1.4. Perhatian CEDAW... 33
II.1.5. Rekomendasi-Rekomendasi Komite CEDAW... 36
II.1.6. Laporan Bayangan Komite CEDAW... 37
II.1.7. Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan... 39
II.2. Konvensi Penghapusan dan Gerakan Perempuan Di Tingkat Internasional... 60
II.3. Pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia... 66
a. Periode 1984 - Kejatuhan Soeharto... 66
b. Orde Reformasi... 67
BAB III EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI PEREMPUAN DI INDONESIA... 73
III.1. Gambaran Umum Implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia Berdasarkan Teori Merille S.Grindle……… 78
III.3. Implementasi Konvensi CEDAW Terhadap Perkawinan
dan Analisis Terhadap Masalah Perkawinan di Indonesia………… 85
III.4. Implementasi Konvensi CEDAW Terhadap Kehidupan Politik dan Publik Perempuan Di Indonesia………. 89
III.5. Implementasi Konvensi CEDAW Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kebijakan Tentang Kekerasan Perempuan Di Indonesia……….. 91
III.6. Reservasi Pemerintah Indonesia Terhadap Isi Konvensi CEDAW……… 92
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI CEDAW DI INDONESIA……….. 96
BAB V PENUTUP... 103
V.1. Kesimpulan...103
V.2. Saran………...106
ABSTRAKSI
EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI
PEREMPUAN DI INDONESIA Penulis
Astri Ledi Ayu
Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling kita seperti : kemiskinan, menguatanya fundamentalisme maupun konservatisme agama dan budaya, serta pembatasan hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik. Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan internasional tersebut, terdapat satu konvensi HAM, yaitu 1979 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
Kenyataannya, berbagai struktur dan institusi hukum HAM perempuan internasional yang tersedia teramat rapuh dalam hal implementasi kewajiban dan prosedurnya dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya secara umum. Dalam hal, misalnya, praktik kebanyakan negara dalam melakukan reservasi pada ketetapan-ketetapan yang mendasar dalam CEDAW, yang tampaknya ditolerir, merupakan bentuk kegagalan negara secara umum dalam memenuhi tanggung jawab mereka di bawah instrumen internasional tersebut.
Disamping itu, terdapat beberapa hal penting lain yang harus kita perhatikan yakni isi konvensi CEDAW yang masih multi tafsir. Oleh karena itu, menjadi hal penting untuk meneliti bagaimana efektifitas Konvensi CEDAW dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ke-efektifitasannya agar dapat menjadi referensi bagi pemangku kebijakan di tanah air untuk perbaikan di masa mendatang.
ABSTRAKSI
EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI
PEREMPUAN DI INDONESIA Penulis
Astri Ledi Ayu
Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling kita seperti : kemiskinan, menguatanya fundamentalisme maupun konservatisme agama dan budaya, serta pembatasan hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik. Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan internasional tersebut, terdapat satu konvensi HAM, yaitu 1979 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
Kenyataannya, berbagai struktur dan institusi hukum HAM perempuan internasional yang tersedia teramat rapuh dalam hal implementasi kewajiban dan prosedurnya dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya secara umum. Dalam hal, misalnya, praktik kebanyakan negara dalam melakukan reservasi pada ketetapan-ketetapan yang mendasar dalam CEDAW, yang tampaknya ditolerir, merupakan bentuk kegagalan negara secara umum dalam memenuhi tanggung jawab mereka di bawah instrumen internasional tersebut.
Disamping itu, terdapat beberapa hal penting lain yang harus kita perhatikan yakni isi konvensi CEDAW yang masih multi tafsir. Oleh karena itu, menjadi hal penting untuk meneliti bagaimana efektifitas Konvensi CEDAW dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ke-efektifitasannya agar dapat menjadi referensi bagi pemangku kebijakan di tanah air untuk perbaikan di masa mendatang.
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Skripsi ini akan membahas tentang implementasi sebuah konvensi internasional
dengan mengambil studi analisis efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap
upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia. Hal ini menjadi penting untuk
dikaji mengingat tidak ada satu negara pun di belahan dunia ini di mana kaum
perempuannya tidak pernah mengalami perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) untuk
beberapa derajat. Karenanya, signifikansi dari mendiskusikan hak-hak kaum perempuan
(women’s right) disebabkan perempuan adalah salah satu kelompok yang paling rentan
mengalami berbagai jenis pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Kebebasan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya merupakan suatu
keharusan dan kepentingan dalam proses demokrasi yang berusaha diwujudkan terus
menerus. Demokrasi tanpa keterlibatan perempuan didalamnya, tentu bukanlah demokrasi
yang sejati.1 Bagaimana hal tersebut dapat diupayakan, tentu dengan adanya jaminan
bahwa perempuan dapat menikmati hak-haknya secara bebas tanpa kungkungan
diskriminasi.
Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap
perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait
erat dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling kita seperti : kemiskinan,
1
menguatanya fundamentalisme maupun konservatisme agama dan budaya, serta
pembatasan hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik.
Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan
internasional tersebut, terdapat satu konvensi HAM, yaitu 1979 Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
Menurut Goran Melander,2 CEDAW telah distrukturkan dalam suatu cara yang
cukup tradisional mengenai konvensi HAM, yang dimulai dengan enumerasi (penyebutan
satu demi satu) hak-hak perempuan dan selanjutnya diiringi oleh ketetapan-ketetapan yang
berkesinambungan dengan implementasi konvensi tersebut.
Sebagaimana umumnya berbagai convention HAM lainnya, CEDAW memandatkan
pembentukan sebuah komite, yaitu komite CEDAW yang terdiri dari 23 ahli yang diajukan
dan dipilih oleh negara yang telah menerima CEDAW setiap empat tahun. Sangat sering
diujarkan bahwa komite seharusnya berkonsentrasi pada negara-negara yang sangat kental
dengan pelanggaran HAM perempuan, namun hal tersebut tidak boleh dilaksanakan untuk
alasan yang sangat pragmatis. Konvensi sesungguhnya hanya memungkinkan untuk
menerima laporan negara (country report) dari negara-negara yang telah meratifikasi
CEDAW.
Kenyataannya, berbagai struktur dan institusi hukum HAM perempuan
internasional yang tersedia teramat rapuh dalam hal implementasi kewajiban dan
prosedurnya dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya secara umum. Dalam hal,
misalnya, praktik kebanyakan negara dalam melakukan reservasi pada ketetapan-ketetapan
2
yang mendasar dalam CEDAW, yang tampaknya ditolerir, merupakan bentuk kegagalan
negara secara umum dalam memenuhi tanggung jawab mereka di bawah instrumen
internasional tersebut.
Diskriminasi melanggar HAM, demikian pula diskriminasi terhadap perempuan
melanggar hak azasi manusia perempuan, sehingga pemberdayaan perempuan diperlukan
agar perempuan-perempuan dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar. Realitas
ini mendorong Komisi Status Perempuan PBB menyerahkan draft pertamanya tentang
deklarasi anti diskriminasi terhadap perempuan. Tahun 1979 PBB mengadopsi Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women (CEDAW) atau
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia
meratifikasi konvensi tersebut dengan UU No.7 Tahun 1974. Dengan demikian, Indonesia
mempunyai konsekuensi mengakui dalam hukum dan dalam kehidupan sehari-hari prinsip
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, untuk menghapus segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan.
Artinya, meskipun secara de jure Indonesia telah mencapai berbagai kemajuan,
namun secara de facto pemerintah tetap masih harus membereskan banyak pekerjaan rumah
dalam mengimplementasikan CEDAW secara utuh. Indonesia telah mengupayakan
berbagai hal untuk memproteksi HAM perempuan dengan mengaplikasikan CEDAW.
Namun, konsistensi pemerintah Indonesia untuk menjamin hak-hak perempuan masih perlu
dibuktikan lebih jauh. Sebagaimana mengutip Rebecca J Cook “Hanya negara dan
bertanggung jawab di bawah hukum HAM internasional, namun negaralah yang acap kali
harus bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran HAM di negaranya.” 3
Telah seperempat abad lamanya sejak Indonesia meratifikasi Konvensi ini. Namun,
dalam implementasinya Indonesia justru masih belum sepenuh hati. Hal ini dapat dilihat
melalui beberapa gambaran, diantaranya : ketidaktegasan pemerintah dalam mencantumkan
prinsip non diskriminasi dalam setiap kebijakan dan peraturan perundangan yang adanya,
banyaknya praktik budaya yang diskriminatif dan dilanggenggkan melalui berbagai
undang-undang , menguatnya fundamentalisme dan konservatisme agama, serta banyaknya
praktek-praktek pembedaan, pembatasan, dan pengucilan perempuan untuk dapat
menikmati hak-haknya, merupakan persoalan serius terkait dengan diskriminasi terhadap
perempuan. Disamping itu, terdapat beberapa hal penting lain yang harus kita perhatikan
yakni isi konvensi CEDAW yang masih multi tafsir. Artinya terdapat beberapa pasal dalam
konvensi ini yang rancu jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya seperti
permasalahan perkawinan, tentu hal ini sulit untuk disamaratakan dengan ketentuan
konvensi dikarenakan Indonesia dipengaruhi syariah Islam untuk mengurusi masalah
perkawinan.
Merujuk pada deskripsi diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu
penelitian dengan tujuan penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mengukur
sejauh mana efektifitas konvensi perempuan internasional ini dapat diterapkan, mengingat
Indonesia merupakan negara yang memiliki kebhinekaan budaya dan kental adat
ke-timurannya.
3
I.2. Rumusan Masalah
Berangkat dari pemaparan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan
masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap upaya
penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia ?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas implementasi
Konvensi CEDAW di Indonesia?
I.3. Batasan Masalah
Sebuah penelitian membutuhkan ruang pembatasan masalah agar tidak melebar dan
meluas, sehingga kiranya dapat mendapat hasil yang memuaskan sesuai dengan maksud
tujuan penelitian, maka penelitian ini mempunyai batasan masalah :
1. Penelitian ini dilakukan menggunakan penelitian kepustakaan (Library
Reseach). Yakni dengan cara mengumpulkan data-data dari buku-buku,
literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah, buletin dan berbagai sumber
lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.
2. Penelitian dengan judul Efektifitas Implementasi Konvensi CEDAW PBB
Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di
Indonesia merujuk pada pelaksanaan Convention on the Elimination of All
I.4. Tujuan Penelitian
Sebagai sebuah bahan kajian ilmiah maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas implementasi Konvensi CEDAW
terhadap upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas
implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia.
I.5. Signifikansi Penelitian
1. Bagi Penulis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat menambah wawasan dan
pengalaman berharga dalam kapasitas kemampuan, dan kontribusi penulis untuk
melihat bagaimana efektifitas implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979
Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia.
2. Bagi Objek Yang Diteliti
Secara praktis diharapkan dapat menjelaskan bagaimana Efektifitas Implementasi
Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi
Perempuan Di Indonesia dan menjadi sumbangan bagi institusi/lembaga, yaitu :
Partai Politik, LSM dan LBH atau institusi yang berkaitan lainnya.
3. Bagi Ilmu Pengetahuan
Secara akademis penelitian ini adalah suplemen baru dalam pengembangan studi
bagaimana relevansi teori-teori politik apakah masih sesuai dengan kondisi di
lapangan (the real politics) khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik
I.6. Kerangka Teori
Teori adalah serangkaian konsep, definisi dan preposisi yang saling berkaitan dan
bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena pada
umumnya. Penggunaan teori penting kiranya dalam menelaah suatu masalah atau fenomena
yang terjadi sehingga fenomena tersebut dapat diterangkan secara eksplisit dan sistematis.
Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berfikir penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
I.6.1. Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional utama,
sehingga dengan demikian Hukum Internasional sama sekali tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara.4 Perjanjian
internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) diartikan sebagai “semua
perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang
diatur oleh hukum internasional dan berisi ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat
hukum.” Sedangkan definisi Perjanjian Internasional menurut Undang-Undang No.
24/2000 yaitu “Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu,
yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak
dan kewajiban di bidang hukum publik.” Berdasarkan pengertian dalam Konvensi Wina
diatas, maka unsur-unsur perjanjian internasional adalah :
4
a. Suatu persetujuan internasional;
b. Dibuat oleh negara negara dalam bentuk tertulis;
c. Didasarkan pada hukum internasional;
d. Dibuat dalam instrumen tunggal, dua atau lebih;
e. Memiliki nama apapun.
I.6.1.1. Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional
a. Traktat (Treaty)
Traktat adalah persetujuan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang
mengadakan hubungan antar mereka. Traktat merupakan perjanjian internasional
yang kekuatan mengikatnya sangat ketat. Sebab sesuai ketentuan traktat, negara
yang telah terikat tidak dapat menarik diri dari kewajiban-kewajibannya tanpa
persetujuan pihak-pihak lain yang tergabung dalam perjanjian itu. Dengan demikian
maka traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang paling formal.
b. Konvensi (Convention)
Konvensi lazim digunakan bagi persetujuan formal yang bersifat multilateral. Suatu
konvensi tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy).
Pokok-pokok persoalan yang diatur tidak menghendaki pemecahan yang menyeluruh
terhadap suatu bidang. Sama seperti traktat, konvensi pun harus dilegalisir oleh
wakil-wakil berkuasa penuh (plenipotentiaries).
c. Protokol (Protocol)
Protokol adalah persetujuan yang sifatnya tidak se-resmi traktat atau konvensi, dan
berupa suplemen dari konvensi. Dalam hal ini protokol hanya mengatur
masalah-masalah tambahan, seperti penafsiran klausul tertentu.
d. Persetujuan (Agreement)
Persetujuan adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau
administratif. Persetujuan lazimnya dilegalisir oleh wakil-wakil departemen serta
tidak perlu diratifikasi.
e. Perikatan (Arrangement)
Arrangement adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau
administratif.
f. Deklarasi (Declaration)
Deklarasi merupakan perjanjian internasional yang ada kalanya berbentuk traktat,
dokumen tidak resmi, dan perjanjian tidak resmi. Deklarasi akan menjadi traktat
jika ia merupakan lampiran atau dilampirkan pada traktat atau konvensi. Sedangkan,
jika mengatur hal-hal yang kurang urgen, deklarasi itu akan menjadi persetujuan
tidak resmi.
g. Piagam (Statue)
Statue atau piagam merupakan himpunan peraturan yang ditetapkan oleh
persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan kesatuan tertentu seperti
pengawasan internasional tentang minyak atau mengenai lapangan kerja
h. Proses Verbal (Procces Verbal)
Proses verbal adalah catatan atau ringkasan atau kesimpulan konferensi diplomatik,
atau dapat pula merupakan catatan suatu pemufakatan. Proses verbal lazimnya tidak
diratifikasi.
i. Pakta (Pact)
Penggunaan istilah pakta sesungguhnya merupakan persamaan dari traktat dalam
arti sempit dan jika dilihat dari keharusan ratifikasinya pakta sama dengan traktat.
j. Modus Vivendi
Perjanjian internasional seperti ini merupakan dokumen untuk mencatat persetujuan
internasional yang bersifat sementara. Hal itu berlangsung sampai berhasil
diwujudkan suatu perjanjian yang lebih permanen, rinci dan sistematis.
k. Pertukaran Nota (Exchange of Notes)
Pertukaran nota merupakan metode tidak resmi. Biasanya pertukaran nota dilakukan
oleh wakil militer dan negara serta dapat bersifat multilateral.
l. Ketentuan Penutup (Final Act Arrangement)
Proses suatu konferensi yang akan membuat suatu konvensi lazimnya dicatat dalam
suatu dokumen yang disebut “Ketentuan Penutup”. Ketentuan penutup
meringkaskan hasil hasil konferensi, menyebutkan negara-negara peserta,
utusan-utusan dari negara yang ikut berunding serta masalah-masalah yang disetujui oleh
konferensi. Ketentuan penutup juga memuat penafsiran ketentuan yang telah
m. Charter
Charter adalah istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian
badan yang melakukan fungsi adaministratif. PBB membuat anggaran dasarnya
dalam bentuk charter.
n. Ketentuan Umum (General Act)
Ketentuan umum adalah traktat yang dapat bersifat resmi dan juga dapat bersifat
tidak resmi. Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1928 menggunakan ketentuan umum
mengenai arbitrase untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional.
I.6.1.2. Kemampuan Membuat Perjanjian Internasional
Setiap negara memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian internasional.
Seseorang dianggap mewakili sesuatu negara untuk maksud menyetujui atau mengesahkan
teks suatu perjanjian atau untuk maksud menyatakan persetujuan negara itu diikat oleh
suatu perjanjian bilamana:
1. Ia memperlihatkan full powers yang sewajarnya; atau
2. Terlihat dari praktik negara-negara itu atau dari keadaan-keadaan lainnya, bahwa
maksud mereka adalah menganggap bahwa orang tertentu mewakili negaranya untu
maksud-maksud tersebut.
Sementara itu “Treaty Making Powers” sendiri berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang
Perjanjian Internasional berada ditangan “the big three”, yaitu :
1. Kepala Negara (Head of State), untuk maksud melakukan semua tindakan yang
2. Kepala Pemerintahan (Head of Government), untuk maksud menyetujui teks
perjanjian antara negara pengirim dan negara di mana mereka diakreditasikan;
3. Menteri Luar Negeri (Ministry for Foreign Affairs), untuk maksud menyetujui teks
perjanjian di dalam konferensi, organisasi dan organnya.
Sehingga tanpa menggunakan Surat Kuasa “Full Powers” mereka tidak dapat
menandatangani suatu perjanjian internasional.
I.6.1.3. Berlakunya Perjanjian Internasional
1. Suatu perjanjian mulai berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang
disetujui oleh negara-negara perunding.
2. Perjanjian mulai berlaku segera setelah dilakukan ratifikasi/pengesahan.
3. Ketentuan-ketentuan perjanjian yang mengatur pengesahan teksnya, pernyataan
persetujuan suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal
berlakunya, persyaratan fungsi-fungsi penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang
timbul yang perlu sebelum berlakunya perjanjian itu, berlaku sejak saat disetujui
teks perjanjian itu atau setelah dilakukan pertukaran nota.
I.6.1.4. Berakhirnya Perjanjian Internasional
1. Kesepakatan para pihak tidak sesuai prosedur dalam perjanjian.
2. Tujuan perjanjian telah tercapai.
3. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian.
4. Salah satu pihak tidak melaksanakan/melanggar perjanjian.
6. Muncul norma baru dalam Hukum Internasional.
7. Habis masa berlakunya perjanjian internasional itu.
8. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
I.6.2. Implementasi Kebijakan Publik
Pada dasarnya Konvensi CEDAW yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang
No.7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
sebagai variabel yang diteliti, merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk kebijakan
yang ada. Untuk itulah penulis menggunakan teori-teori implementasi kebijakan sebagai
kerangka pikir dalam memahami makna dari variabel tersebut. Dan agar dapat dimaknai
dengan benar oleh setiap orang yang menggunakan penelitian ini, maka penulis berupaya
menjabarkannya dengan melakukan pemilahan makna dari setiap variabel yang dimaksud.
I.6.2.1.Pengertian Implementasi Kebijakan
Hakekat dari implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang terencana dan
bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan didasarkan pada kebijakan yang
telah ditetapkan oleh otoritas berwenang. Sebagaimana rumusan dari Daniel A. Mazmanian
dan Paul A. Sabartier 5 mengemukakan bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan
kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-undang namun dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan
peradilan. Lazimnya keputusan itu mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin
5
dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses implementasinya. Proses ini
berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan
pengesahan undang-undang kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan
keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting
terhadap undang-undang atau peraturan yang bersangkutan.
Berdasarkan pemahaman diatas, konklusi dari implementasi jelas mengarah kepada
pelaksanaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh eksekutif. Tujuannya ialah untuk
mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam
upaya penyelesaian masalah tersebut. Dalam konsep implementasi ini harus digaris-bawahi
ada kata-kata “rangkaian terstruktur” yang memiliki makna bahwa dalam prosesnya
implementasi pasti melibatkan berbagai komponen dan instrumen.
Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit
organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh
berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel
organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu
sama lain. Untuk lebih mudah dalam memahami pengertian implementasi kebijakan
Lineberry (1978) 6 menspesifikasikan proses implementasi setidak-tidaknya memiliki
elemen-elemen sebagai berikut :
1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana.
2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating
procedures/SOP).
6
3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran;
pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas/badan pelaksana.
4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.
Salah satu komponen utama yang ditonjolkan oleh Lineberry, yaitu pengambilan
kebijakan (policy-making) tidaklah berakhir pada saat kebijakan itu dikemukakan atau
diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas dari pembuatan kebijakan.
Dengan demikian kebijakan hanyalah merupakan sebuah awal dan belum dapat
dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang jauh lebih
esensial adalah pada tataran implementasi kebijakan yang ditetapkan. Karena kebijakan
tidak lebih dari suatu perkiraan (forecasting) akan masa depan yang masih bersifat semu,
abstrak dan konseptual. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan
terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah keberhasilan
maupun ketidak-berhasilan kebijakan akan diketahui.
Bahkan Udoji 7 dengan tegas mengatakan “The execution of policies is as important
if not more important that policy-making. Policies will remain dreams or blue prints file
jackets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting,
bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya
akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak
diimplementasikan). Oleh karenanya ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi
merupakan unsur yang sangat penting sebagai kontinuitas dari munculnya suatu kebijakan.
7
Setelah kebijakan diimplementasikan terhadap sekelompok objek kebijakan baik itu
masyarakat maupun unit-unit organisasi, maka bermunculanlah dampak-dampak sebagai
akibat dari kebijakan yang dimaksud. Setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan
akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended)
maupun yang negatif (unintended). Untuk itu tinjauan efektifitas kebijakan, selain
pencapaian tujuan harus diupayakan pula untuk meminimalisir ketidakpuasan
(dissatisfaction) dari seluruh stakeholder. Dengan demikian deviasi dari kebijakan tidak
terlampau jauh dan niscaya akan mencegah terjadinya konflik di masa akan datang.
I.6.2.2.Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Sebagaimana telah dibahas didalam konsep implementasi kebijakan, terdapat
berbagai variabel yang saling terikat, berinteraksi dan mempengaruhi antara satu dengan
yang lain. Keseluruhan variabel tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan
dan dapat menjadi faktor pendorong (push factor) maupun faktor penekan (pull factor).
Oleh sebab itu para pengambil kebijakan (policy maker) hendaknya menyadari akan
substansi dari berbagai faktor tersebut sebelum kebijakan diformulasikan dan
diimplementasikan.
Ada berbagai macam teori implementasi, seperti dari George C. Edwards III (1980),
Merilee S. Grindle (1980), dan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983), Van
Meter dan Van Horn (1975), dan Cheema dan Rondinelli (1983), dan David L. Weimer dan
Aidan R. Vining (1999). Guna pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih
untuk menyajikan teori Merilee S.Grindle yang dianggap relevan dengan materi
teori-teori lain tidak lagi relevan dalam perkembangan teori implementasi kebijakan publik,
melainkan lebih kepada mengarahkan peneliti agar lebih fokus terhadap variabel-variabel
yang dikaji melalui penelitian ini.
a. Teori Merilee S. Grindle
Menurut Merilee S. Grindle “Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah
sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik
kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu,
ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu
kebijakan”. Di sini Grindle telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan
pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari lingkungan
(konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan. Ide dasar Grindle ini adalah
bahwa setelah suatu kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi, maka tindakan
implementasi belum tentu berlangsung lancar. Hal ini sangat tergantung pada
implementability dari program tersebut. Keberhasilan implementasi menurut Merilee S.
Grindle 8 dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan
konteks implementasi (context of implementation). Bahwa isi kebijakan terdiri dari
kepentingan kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat perubahan yang diinginkan, letak
pengambilan keputusan, pelaksanaan program, dan sumber daya yang dilibatkan.
Sementara konteks implementasi mengandung unsur kekuasaan, kepentingan dan strategi
aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, serta kepatuhan dan daya tanggap.
Sebagaimana terlihat pada gambar berikut :
8
Tujuan Kebijakan
Apakah Program yang dijalankan sesuai yang direncanakan
b. Konteks Implementasi : Kekuasaan, kepentingan,
strategi aktor
Karakteristik budaya, lembaga/penguasa
Kepatuhan dan daya tanggap
Hasil Kebijakan :
Gambar 1. Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi 9
Di sini kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih
sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya
tinggi-rendahnya intensitas keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat,
kelompok sasaran dan sebagainya) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh
terhadap efektifitas implementasi kebijakan.
9
I.6.2.3. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Yang Mempengaruhi Proses Implementasi Kebijakan Publik
Kebijakan apapun bentuknya sebenarnya mengandung resiko untuk gagal.
Hoogwood dan Gunn membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) dan
unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Tidak terimplementasikan
mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana,
mungkin karena pihak–pihak yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau bekerja
sama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena
mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau permasalahan yang dibuat diluar
jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan–hambatan
yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar
dipenuhi.
1. Faktor Pendukung
Hoogwood dan Gunn (dalam Hill, 1993) lebih lanjut menyatakan bahwa untuk
dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna (perfect implementation)
maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu sebagai berikut :
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan / instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan / kendala yang serius.
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai.
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas
yang andal.
5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya.
6. Ketergantungan harus kecil.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
8. Tugas – tugas dirinci dan di tempatkan dalam urutan yang tepat.
9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
10.Pihak–pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
kepatuhan yang sempurna.
Kebijakan negara akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak
positif bagi anggota–anggota masyarakat. Dengan kata lain tindakan atau perbuatan
manusia yang menjadi anggota masyarakat bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh
pemerintah atau negara. Dengan demikian, jika mereka tidak berbuat atau bertindak sesuai
dengan keinginan pemerintah/negara itu, maka kebijakan negara menjadi tidak efektif.
2. Faktor Penghambat
Di dalam bukunya Palumbo (1987) mengemukakan bahwa : legislative policy
ambiquity is a prime cause to implementation failure (ketidakjelasan kebijaksanaan dalam
perundang–undangan adalah sebab utama kegagalan pelaksanaannya). Penjelasan terhadap
berbagai alasan yang mendasari gagalnya suatu kebijakan publik adalah disebabkan oleh
1. Ketidakpastian faktor intern dan/atau faktor ekstern.
2. Kebijaksanaan yang ditetapkan itu mengandung banyak lubang.
3. Dalam pelaksanaan kurang memperhatikan masalah teknis.
4. Adanya kekurangan akan tersedianya sumber–sumber pembantu (uang dan sumber
daya manusia).
5. Teori yang mendasari dasar pelaksanaan kebijaksanaan itu tidak tepat.
6. Sarana yang dipilih untuk pelaksanaan tidak efektif.
7. Sarana itu mungkin tidak atau kurang dipergunakan sebagaimana mestinya.
8. Isi dari kebijakan itu bersifat samar-samar.
Dengan demikian resiko kegagalan implementasi kebijakan tidak selalu dapat
dihindari oleh siapapun dan organisasi manapun. Abdul Wahab 10 menemukakan resiko
kegagalan implementasi kebijakan dapat di telusuri pada tiga wilayah kerja (1)
pelaksanaannya yang jelek (bad execution), (2) kebijaksanaan sendiri memang jelek (bad
policy), dan (3) kebijaksanaan itu memang bernasib jelek (bad luck).
I.7. Metodologi Penelitian I.7.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah pencarian
fakta interpretasi yang tepat yang digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu,
10
termasuk hubungan-hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta
proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. 11
I.7.2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian
kepustakaan (Library Reseach). Yakni dengan cara mengumpulkan data-data dari
buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah, buletin dan berbagai sumber lain
yang berhubungan dengan penelitian ini.
I.7.3. Analisa Data
Teknik untuk menganalisa data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif.
Teknik analisis ini dapat didefenisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif. Data deskriptif ini dapat berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati
orang-orang. 12 Kemudian menyusun data yang telah ada untuk kemudian diinterpretasikan
secara kualitatif. Dalam kerangka penelitian kualitatif, para peneliti tidak mencari
kebenaran dan moralitas, tetapi lebih kepada upaya mencari pemahaman. 13
11
Nazir Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998, hlm.64.
12
Arief Furchan, Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha nasional, 1992, hlm.21.
13
I.8. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Signifikansi
Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian serta Sistematika
Penulisan.
BAB II : TENTANG CEDAW dan PELAKSANAAN
KONVENSI PEREMPUAN DI INDONESIA
Pada bab ini akan membahas tentang Deskripsi CEDAW.
Menyangkut sejarah lahirnya CEDAW, Pertimbangan dan
Rekomendasi CEDAW, Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan dan mengenai Pelaksanaan
Konvensi CEDAW di Indonesia.
BAB III : KAJIAN DAN ANALISA DATA
Bab ini berisikan analisis tentang bagaimana efektifitas konvensi
CEDAW yang selama ini telah diterapkan di Indonesia dilihat dari
sudup pandang isi kebijakan dan konteks kebijakan. Dan melihat
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektifitas implementasi
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian yang berisi tentang
kesimpulan, saran, maupun rekomendasi yang didasari atas hasil
BAB II
TENTANG KONVENSI CEDAW DAN PELAKSANAAN KONVENSI CEDAW DI INDONESIA
II.1. Tentang Konvensi CEDAW
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan mulai belaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada
tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara
anggota PBB, merupakan negara peserta konvensi.
CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari
status perkawinan mereka, di semua bidang-politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil.
Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang
diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakana khusus-sementara untuk mempercepat
kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek
kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis
kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki.
II.1.1. Sejarah Lahirnya CEDAW
Tepatnya pada 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah
rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
meratifikasinya. Konvensi ini kemudian dinyatakan berlaku pada tahun 1981 setelah 20
negara menyetujui. Disetujuinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan (selanjutnya disingkat sebagai Konvensi CEDAW) merupakan
puncak dari upaya internasional dalam dekade perempuan yang ditujukan untuk melindungi
dan mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia.14 Ini merupakan hasil dari
inisiatif yang diambil oleh Komisi Kedudukan Perempuan (UN Commission on the Status
of Women), sebuah badan yang dibentuk pada tahun 1947 oleh PBB untuk
mempertimbangkan dan menyusun kebijakan-kebijakan yang akan dapat meningkatkan
posisi perempuan. Pada tahun 1949 sampai dengan tahun 1959, Komisi Kedudukan
Perempuan mempersiapkan berbagai kesepakatan internasional termasuk di dalamnya
Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan dan Konvensi tentang Kewarganegaraan
Perempuan yang Menikah. Pada tahun 1963, Majelis Umum PBB mencatat bahwa
diskriminasi terhadap perempuan masih terus berlanjut, dan meminta agar dapat dibuat
suatu rancangan Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
Pada tahun 1965, Komisi tersebut memulai menyiapkan upaya yang kemudian pada
tahun 1966 keluar sebuah rancangan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan. Hasilnya pada tahun 1967, rancangan ini disetujui menjadi sebuah
Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan berdasarkan
Resolusi 2263 (XXII). Deklarasi ini merupakan instrumen internasional yang berisi
pengakuan secara universal dan hukum dan standar-standar tentang persamaan hak laki-laki
14
dan perempuan. Pada tahun 1968, Dewan Ekonomi dan Sosial mengambil inisiatif untuk
menyusun sistem pelaporan terhadap pelaksanaan Deklarasi tersebut oleh anggota-anggota
PBB. Mengingat deklarasi ini bukan kesepakatan (treaty), meskipun ada penekanan secara
moral dan politik terhadap para anggota PBB untuk menggunakannya, anggota PBB tidak
mempunyai kewajiban yang mengikat untuk bersandar padanya. Pada tahun 1970, Majelis
Umum PBB kemudian mendesak adanya ratifikasi atau aksesi pada instrumen internasional
yang relevan yang berkaitan dengan kedudukan perempuan. Melanjutkan upaya tersebut
pada tahun 1972, Komisi Kedudukan Perempuan mempersiapkan sebuah ‘treaty’ yang
akan mengikat pelaksanaan apa yang termuat dalam deklarasi. Seiring dengan hal tersebut,
Dewan Ekonomi dan Sosial kemudian menunjuk suatu kelompok kerja yang terdiri dari 15
orang untuk mulai menyusun suatu kelompok kerja yang terdiri dari 15 orang untuk mulai
menyusun suatu Konvensi pada tahun 1973. Persiapan ini mendapat sambutan dan
dorongan yang besar oleh Konferensi Dunia yang diselenggarakan di Mexico City pada
tahun 1975. Konferensi ini sedianya untuk menyusun Kerangka Kerja Dunia tentang
Perempuan. Konferensi ini mendesak adanya sebuah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan. Dorongan Konferensi mendapat sambutan dari Majelis
Umum PBB yang kemudian menetapkan periode 1976 sampai dengan tahun 1985 sebagai
Dekade Perempuan dan mendesak agar Komisi Kedudukan Perempuan menyelesaikan
Konvensi di pertengahan Dekade tersebut (pada tahun 1980) tepat pada saat Dekade
Perempuan direview. Konvensi ini kemudian diadopsi oleh Majelis Umum pada tahun
1979.
Dalam resolusinya Majelis Umum menyampaikan harapan bahwa Konvensi dapat
mempersentasikan teks Konvensi pada Konferensi Dunia pertengahan Dekade Perempuan
di Copenhagen tahun 1980. Ada 64 negara yang menandatangani (signed) Konvensi dan 2
negara meratifikasi pada saat acara khusus tersebut dilakukan. Pada tanggal 03 Septermber
1981, 30 hari setelah 20 negara anggota PBB meratifikasi Konvensi, Konvensi dinyatakan
berlaku. Situasi ini menjadi puncak yang berdampak pada adanya sebuah standar hukum
internasional yang komprehensif untuk perempuan. Pada tanggal 1 Maret 2000, telah ada
165 negara (melebihi dari 2/3 anggota PBB) telah meratifikasi atau mengaksesi Konvensi
Perempuan dan 6 negara menandatanganinya.
II.1.2. Protokol Opsional
Protokol Opsional pada CEDAW diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-bangsa pada Desember 1999. Protokol opsional pada CEDAW di satu pihak
memberi hak kepada perempuan untuk mengajukan pengaduan perorangan kepada komite
mengenai segala pelanggaran hak yang dimuat dalam Konvensi oleh Pemerintah dan di lain
pihak, memberi wewenang kepada komite untuk melakukan investigasi atas pelanggaran
berat dan sistematik yang korbannya adalah perempuan di negara-negara yang telah
meratifikasi atau aksesi pada Protokol ini. Pada tanggal 20 Januari 2006, sudah ada 76
II.1.3. Pertimbangan CEDAW
Pertimbangan dalam Konvensi ini berisi dasar pikir mengapa penting adanya
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dalam
pertimbangannya, Konvensi ini mengajak mengingat kembali tentang pengakuan hak-hak
dasar yang telah dimuat dalam :
1. Piagam PBB yang menegaskan keyakinan pada hak-hak asasi manusia yang
fundamental, yang berpatok pada martabat dan nilai kemanusiaan dan hak-hak yang
sama antara laki-laki dan perempuan.
2. Deklarasi Umum mengenai Hak Asasi Manusia yang menegaskan prinsip-prinsip
tentang anti diskriminasi, dan penekanan bahwa semua manusia dilahirkan bebas
dan memiliki martabat dan hak yang sama, dan bahwa semua orang berhak atas
semua hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam Deklarasi tersebut tanpa
pembedaan termasuk pembedaan jenis kelamin.
3. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang memberikan kewajiban bagi negara
anggota PBB untuk menjamin persamaan hak laki-laki dan perempuan untuk
menikmati semua hak yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan
politik.
4. Kovensi lainnya yang dibuat oleh berbagai badan di bawah PBB (seperti Konvensi
ILO) yang mengatur dan mempromosikan persamaan hak laki-laki dan perempuan.
Pengingatan kembali terhadap berbagai instrumen semakin dirasa penting terlebih
ternyata meskipun sudah ada berbagai instrumen hukum, diskriminasi terhadap perempuan
persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagaimana telah tercantum
sebelumnya terhadap berbagai instrumen. Diskriminasi tersebut juga menjadi hambatan
bagi partisipasi perempuan dalam persamaan kedudukan dengan laki-laki di dalam
kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan di lingkungan masyarakat bahkan di
wilayah dimana perempuan berada.
Hal tersebut akan berdampak pada penghalangan pertumbuhan kemakmuran
masyarakat dan keluarga, disamping akan lebih mempersulit pengembangan potensi
perempuan secara penuh agar dapat berkontribusi kepada negara dan kemanusiaan.
Konvensi ini juga menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan tidak saja terjadi
pada situasi normal, tapi terjadi juga pada saat situasi khusus seperti adanya kemiskinan.
Pada situasi kemiskinan, diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan perempuan
menduduki posisi paling kurang memiliki akses terhadap pangan, kesehatan, pendidikan,
pelatihan dan kesempatan dalam lapangan kerja dan kebutuhan lainnya. Oleh karena itu
masyarakat internasional (melalui persetujuan dengan adanya Konvensi ini) meyakini
bahwa terbentuknya tatanan ekonomi internasional baru berdasarkan persamaan dan
keadilan akan memberikan sumbangan yang berarti pada peningkatan persamaan antara
laki-laki dan perempuan. Disamping itu penghapusan apartheid, segala bentuk rasisme,
diskriminasi rasial, kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi serta
campur tangan asing dalam masalah dalam negeri negara sangat penting bagi penikmatan
sepenuhnya hak perempuan dan laki. Pencampaian persamaan sepenuhnya antara
laki-laki dan perempuan juga hanya akan tercapai jika perdamaian dan keamanan internasional
diperkuat, ada upaya peredaan ketegangan internasional, kerjasama antara negara,
penegasan atas prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan saling menguntungkan dalam
hubungan antar negara dan pelaksanaan hak-hak rakyat yang berada di bawah dominasi
asing dan kolonial serta pendudukan asing untuk menentukan nasib sendiri dan
kemerdekaan, juga penghormatan atas kedaulatan dan integritas teritorial.
Upaya untuk mencapai persamaan derajat untuk kaum perempuan menjadi sangat
penting mengingat sumbangan besar perempuan dalam kesejahteraan keluarga,
pembangunan masyarakat, yang seringkali tidak diakui, khususnya dalam hal peran
reproduksi biologis maupun sosialnya. Persamaan ini akan sulit terwujud jika tidak ada
perubahan peran tradisional perempuan dan laki-laki.
Oleh karena itu perlu melakukan perubahan peran tradisional tersebut. Berdasarkan
paparan di atas maka, negara-negara anggota khususnya menyetujui isi pasal-pasal
sebagaimana pada pasal 1 – 30 Konvensi ini.
II.1.4. Perhatian CEDAW
Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan kembali
keyakinan tentang hak asasi manusia yang mendasar, tentang martabat serta harga diri
seorang manusia dan tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan prinsip
untuk tidak menerima diskriminasi dan menyatakan bahwa seluruh umat manusia adalah
dilahirkan bebas dan sama dalam martabat serta hak dan bahwa setiap orang memiliki
seluruh hak dan kebebasan yang tercantum di dalamnya, tanpa segala bentuk perbedaan,
Memperhatikan bahwa Negara-negara Pihak dari Kovenan Internasional tentang
hak asasi Manusia mempunyai kewajiban untuk menjamin persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.
Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang ditandatangani di bawah
perlindungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus yang mengajurkan
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Memperhatikan pula resolusi, deklarasi dan rekomendasi yang ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus yang mengajurkan persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan.
Memperhatikan, meskipun dengan keberadaan bermacam-macam instrumen ini,
diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut.
Mengingat bahwa diskriminasi terhadap perempuan melanggar prinsip persamaan
hak dan penghormatan terhadap martabat manusia, merupakan rintangan terhadap
partisipasi perempuan, berdasarkan persamaan dengan laki-laki, dalam kehidupan politik,
sosial, ekonomi dan budaya di negaranya, menghambat pertumbuhan kesejahteraan
masyarakat dan keluarga serta mempersulit perkembangan sepenuhnya potensi perempuan
dalam pengabdiannya kepada negara dan kemanusiaan.
Memperhatikan bahwa dalam situasi kemiskinan perempuan memiliki akses yang
terkecil untuk mendapat makanan, kesehatan, pendidikan pelatihan dan kesempatan bekerja
serta kebutuhan-kebutuhan lain.
Meyakini bahwa terbentuknya tata ekonomi internasional baru yang berdasarkan
persamaan dan keadilan akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemajuan
Menegaskan bahwa pembasmian apartheid, segala bentuk rasisme, diskriminasi
rasial, kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi asing, campur
tangan dalam persoalan dalam negeri adalah penting untuk penikmatan sepenuhnya atas
hak laki-laki dan perempuan.
Menekankan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan dunia, mengendurkan
ketegangan internasional, kerja sama timbal balik semua negara tanpa memperhatikan
sistem sosial dan ekonomi mereka, pelucutan senjata secara umum dan menyeluruh,
terutama pelucutan senjata nuklir di bawah kontrol internasional yang tegas dan efektif,
penegasan prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan keuntungan bersama dalam hubungan
antarnegara dan pelaksanaan hak dari bangsa yang berada dalam dominasi asing dan
kolonial serta pendudukan oleh bangsa lain untuk menentukan nasib sendiri dan
kemerdekaan demikian pula dengan penghormatan terhadap kedaulatan dan persatuan
nasional akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan dan yang akan
memberikan kontribusi atas tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan
perempuan.
Meyakini bahwa pembangunan negara yang sepenuhnya dan seutuhnya,
kesejahteraan dunia serta usaha perdamaian menuntut partisipasi yang maksimum dari
kaum perempuan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Mengingatkan kembali kontribusi besar dari perempuan terhadap kesejahteraan
keluarga dan perkembangan masyarakat, sejauh ini tidak diakui sepenuhnya, arti sosial
tentang kehamilan serta peran kedua orangtua dalam keluarga dan dalam membesarkan
anak-anak, dan menyadari bahwa peranan perempuan dalam memperoleh keturunan tidak
pembagian tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan serta masyarakat sebagai
keseluruhan.
Menyadari bahwa perubahan tradisi tentang peranan laki-laki dan peranan
perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga merupakan suatu kebutuhan untuk
mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan.
Memutuskan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dan untuk tujuan itu, untuk menetapkan
upaya-upaya yang dibutuhkan demi penghapusan diskriminasi tersebut secara keseluruhan
dalam bentuk dan manifestasinya.
Menyetujui hal-hal yang ditulis dalam isi konvensi.
II.1.5. Rekomendasi-Rekomendasi Komite CEDAW
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa komite CEDAW memiliki
wewenang untuk menyusun rekomendasi, telah ada sekitar 24 rekomendasi yang dihasilkan
pula oleh Komite. Rekomendasi tersebut sangat efektif untuk mendinamisir ide dan
pelaksanaan perlindungan perempuan. Salah satu rekomendasi yang sangat penting adalah
rekomendasi Komite No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Rekomendasi 19
meredefinisi apa yang disebut dengan Diskriminasi terhadap perempuan. Sebelumnya,
Konvensi tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kekerasan yang berbasis Gender
kecuali pada pasal 6 yang berkaitan dengan Eksploitasi Pelacuran dan Perdagangan
Perempuan. Dengan adanya Rekomendasi 19 defenisi diskriminasi terhadap perempuan
mencakup juga kekerasan sebagaimana dirumuskan dalam Deklarasi Anti Kekerasan
jenis kelamin yang berakibat atau mungkinberakibat pada kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan
atau perampasankemerdekaan secara sewenang wenang, baikyang terjadi di depan umum
maupun dalam kehidupan pribadi.” Rekomendasi ini juga mengharuskan agar setiap
negara dalam setiap laporannya mencantumkan langkah-langkah sebagaimana diamanatkan
oleh Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Selain rekomendasi 19, hampir
seluruh rekomendasi dimaksudkan untuk menyempurnakan strategi pelaksanaan konvensi,
terutama terhadap isu-isu terkini yang penting harus disikapi atau semakin ditekankan,
misalnya, isu perempuan disable, perempuan dalam perkawinan, dan politik.
II.1.6. Laporan Bayangan Komite CEDAW
CEDAW, secara eksplisit mengikat negara dan semata-mata menyusun sebuah
mekanisme pelaporan dan pemantauan untuk negara dan badan-badan internasional di
bawah PBB. Namun, Komite CEDAW dalam melaksanakan wewenangnya menyadari
bahwa perlu adanya sebuah mekanisme alternatif dalam pantauan sehingga informasi yang
didapat komite menjadi sangat relevan dalam penyusunan tanggapan yang konstruktif
terhadap laporan negara. Oleh karena itu Komite CEDAW membuka kesempatan untuk
berbagai pihak memberikan informasi terhadap situasi perempuan di negara pihak.
Mekanisme ini memberikan peluang bagi kelompok non-pemerintah memberikan informasi
berdasarkan pantauannya terhadap negara. Mekanisme ini biasanya dilakukan dengan
memberikan laporan bayangan (shadow report). Laporan bayangan disusun oleh ornop
merujuk pada dan menganalisa laporan yang disusun oleh pemerintah nasional. Laporan ini
persetujuan PBB. Di bawah ini akan dipaparkan berbagai hal yang dapat dijadikan
pegangan bagi ornop untuk menyusun laporan bayangan.15
1. Pertimbangan dalam merancang Laporan Bayangan perlu dipertimbangkan :
Kegunaan/manfaat;
Fokus perhatian;
Koalisi/persekutuan;
Metode penyampaian dan data;
Statistik dan studi kasus.
2. Langkah demi langkah penyusunan Laporan Bayangan :
Memilih isu/tema;
Memaparkan situasi;
Identifikasi pasal-pasal yang penting berkaitan dengan situasi (Konvensi,
Rekomendasi Komite, Instrumen HAM lainnya);
Identifikasi hukum yang berlaku dan pelaksanaannya oleh pemerintah;
Identifikasi hambatan untuk mencapai HAM berdasarkan hukum yang berlaku;
Identifikasi langkah-langkah yang harus diambil untuk mencapai persamaan kaum
perempuan;
Melakukan cek ulang;
Indikator (data atau studi kasus);
Identifikasi pelaku (apakah aparat negara ataupun non aparat negara);
Informasi tentang organisasi anda.
15
3. Kerangka Laporan Bayangan :
Pandangan Umum;
Pendahuluan;
Masalah Pokok analisa berdasarkan pasal-pasal konvensi; Rekomendasi.
4. Hal lain :
Format sederhana dengan jumlah halaman 10-15.
Disampaikan akhir November atau akhir Mei kepada Komite CEDAW melalui UN
Division for theAdvancement of Woman.
Penyusunan laporan bayangan oleh ornop akan sangat membantu Komite dalam
mengevaluasi situasi negara pihak, disamping sebagai ajang untuk memperkuat
pengorganisasian dan pengkoordinasian para ornop dalam upaya untuk mengkampanyekan
hak perempuan.
II.1.7. Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
Bagian I : Pasal 1
Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “diskriminasi terhadap perempuan” berarti
perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat
atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,
sosial budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status
Pasal 2
Negara-negara Pihak mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala
bentuknya, dan bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, untuk
menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk
tujuan ini berusaha untuk:
(a). Memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam undang
undang dasar mereka atau perundang-undangan lainnya yang layak apabila
belum dimasukkan ke dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis
pelaksanaan dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat;
(b). Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya lainnya, dan
di mana perlu termasuk sanksi-sanksi, yang melarang semua diskriminasi
terhadap perempuan;
(c). Menetapkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan atas dasar
persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin perlindungan bagi
kaum perempuan yang aktif terhadap setiap perilaku diskriminatif, melalui
pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya;
(d). Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktek
diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat dan
lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini;
(e). Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan
perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi atau
(f). Mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk upaya legislatif, untuk
mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan,
kebijakan-kebijakan, dan praktek-praktek yang ada yang merupakan
diskriminasi terhadap perempuan;
(g). Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan diskriminasi
terhadap perempuan.
Pasal 3
Negara-negara pihak harus melakukan upaya-upaya yang layak di semua
bidang,khususnya dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin
pengembangan dan pemajuan perempuan sepenuhnya.
Pasal 4
1. Pengambilan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara oleh Negara-negara
Pihak yang ditujukan untuk mempercepat persamaan antara laki-laki dan
perempuan secara “de facto” tidak dianggap sebagai diskriminasi, sebagaimana
ditegaskan dalam Konvensi ini, dan dalam hal apapun tidak boleh menyebabkan
dipertahankannya standar yang bersifat tidak setara atau terpisah; upaya-upaya
semacam ini harus dihentikan apabila tujuan untuk persamaan kesempatan dan
perlakuan telah dicapai.
2. Pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-negara Pihak, termasuk
tindakan-tindakan yang termuat dalam Konvensi ini, yang ditujukan untuk
Pasal 5
Negara-negara Pihak harus mengambil tindakan-tindakan yang tepat :
a. Untuk mengubah pola-pola tingkah laku sosial dan budaya para laki-laki dan
perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan
prasangka-prasangka dan kebiasaan-kebiasaan serta semua praktek lain yang
berdasarkan atas pemikiran adanya inferioritas atau superioritas salah satu
gender, atau berdasarkan pada peranan stereotip bagi laki-laki dan
perempuan.
b. Untuk memastikan bahwa pendidikan keluarga meliputi pemahaman yang
tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial, serta pengakuan akan
adanya tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan dalam
membesarkan dan mengembangkan anak-anak mereka, dengan pengertian
bahwa kepentingan anak-anak menjadi pertimbangan utama dalam segala
hal.
Pasal 6
Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan
eksploitasi pelacuran perempuan.
Bagian II :Pasal 7
Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk