• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Implementasi Konvensi Cedaw PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektifitas Implementasi Konvensi Cedaw PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

PEREMPUAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Politik

ASTRI LEDI AYU 0 6 0 9 0 6 0 2 9

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

LEMBARAN PERSETUJUAN

Nama : Astri Ledi Ayu

Nim : 060906029

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Efektifitas Implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi

Perempuan Di Indonesia

Menyetujui Ketua

Departemen Ilmu Politik

(Drs. Heri Kusmanto, MA) NIP. 196410061998031002

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

(Warjio, SS, MA) (Indra Kusuma Nasution, S.IP, MSi) NIP. 197408062006041003 NIP. 197903062005011002

Mengetahui a.n Dekan FISIP USU

Pembantu Dekan I

(Humaizi)

(3)

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

LEMBARAN PENGESAHAN

Sripsi ini telah diuji dan dipertahankan dihadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Pada :

Hari / Tanggal : Juni 2010

Waktu : ....s/d selesai

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU

Tim Penguji

Ketua Penguji

Indra Fauzan, S.H.I, M.Soc, Sc ( )

NIP : 198102182008121002

Penguji I

Warjio, SS, MA ( ) NIP : 197408062006041003

Penguji II

(4)

LEMBARAN PERNYATAAN

PERNYATAAN

EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

PEREMPUAN DI INDONESIA SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Dari sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis, kecuali yang tertulis dalam naskah ini disebut dalam daftar pustaka.

Medan,

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, saya selalu merasa beruntung dan diberkahi dalam berbagai urusan. Diantaranya, beruntung mempunyai keluarga, teman dan guru yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Suatu karya yang saya niatkan sebagai hadiah ulang tahun saya.

Skripsi ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang saya angkat adalah : EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASIPEREMPUAN DI INDONESIA.

Dalam penulisan skripsi ini, saya menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka skripsi ini tidak akan dapat selesai tepat pada waktunya. Oleh karena itu, saya menyampaikan rasa penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua tersayang Ibunda Elisa Wanti Nasution dan ayahanda Alm. Abi Dana. Tegasnya Bapak dan Lembutnya Mamak mengantarkanku sampai sejauh ini. Insyallah Mam...Astri berusaha yang terbaik untuk keluarga kita.

Selanjutnya saya ucapkan terima kasih kepada pihak Departemen Ilmu Politik Bapak Heri Kusmanto, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Politik dan Sekretaris Departemen Ibu Rosemary Sabri atas dukungan dan persetujuan judul skripsi saya.

Penghargaan dan ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dosen Pembimbing I Bapak Warjio, SS.MA dan Dosen Pembimbing II Bapak Indra Kesuma Nasution, S.IP, M.Si. Atas arahan, konsistensi dan ilmu yang saya terima selama proses bimbingan. Dan Kepada Bapak Indra Fauzan, S.H.I, M.Soc, Sc terima kasih saya ucapkan atas kesediaan bapak menjadi ketua penguji pada saat sidang meja hijau.

Kepada Bapak dan Ibu Dosen, staf administrasi beserta segenap sivitas akademika Fakultas ISIP USU, saya mengucapkan terima kasih atas dukungannya.

(6)

Penulis menyadari akan kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, baik dari segi materi maupun dari segi penyampian. Oleh karenanya adalah suatu kehormatan bagi penulis bilamana ada pihak-pihak yang berkenan memberi kritikan, saran dan masukan demi mengembangkan cakrawala berpikir untuk perbaikan di masa mendatang.

Dan kepada pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu saya haturkan terima kasih untuk setiap pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung. Belajar menjadi yang terbaik, tidak mengulangi kesalahan yang sama dan menjadi diri sendiri. Semoga skripsi ini membawa manfaat untuk kita semua.

Medan, Juni 2010 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Persetujuan... i

Lembaran Pengesahan... ii

Lembaran Pernyataan... iii

Kata Pengantar... iv

Daftar Isi... v

Abstraksi... viii

BAB I PENDAHULUAN……….... 1

I.1. Latar Belakang Masalah……….... 1

I.2. Rumusan Masalah……….. 5

I.3. Batasan Masalah……… 5

I.4. Tujuan Penelitian………... 6

I.5. Signifikansi Penelitian………... 6

I.6. Kerangka Teori……….. 7

I.6.1. Perjanjian Internasional………... 7

I.6.1.1. Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional……… 8

I.6.1.2. Kemampuan Membuat Perjanjian Internasional... 12

I.6.1.3. Berlakunya Perjanjian Internasional……….. 13

I.6.1.4. Berakhirnya Perjanjian Internasional………. 13

I.6.2. Implementasi Kebijakan Publik... 14

I.6.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan... 14

I.6.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan………... 17

(8)

I.7. Metodologi Penelitian……….………... 23

I.7.1. Jenis Penelitian……….. 23

I.7.2. Teknik Pengumpulan Data………. 23

I.7.3. Analisa Data……….. 23

I.8. Sistematika Penulisan……… 24

BAB II TENTANG KONVENSI CEDAW DAN PELAKSANAAN KONVENSI CEDAW DI INDONESIA... 26

II.1. Tentang Konvensi CEDAW... 26

II.1.1. Sejarah Lahirnya CEDAW... 27

II.1.2. Protokol Opsional... 29

II.1.3. Pertimbangan CEDAW... 30

II.1.4. Perhatian CEDAW... 33

II.1.5. Rekomendasi-Rekomendasi Komite CEDAW... 36

II.1.6. Laporan Bayangan Komite CEDAW... 37

II.1.7. Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan... 39

II.2. Konvensi Penghapusan dan Gerakan Perempuan Di Tingkat Internasional... 60

II.3. Pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia... 66

a. Periode 1984 - Kejatuhan Soeharto... 66

b. Orde Reformasi... 67

BAB III EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI PEREMPUAN DI INDONESIA... 73

III.1. Gambaran Umum Implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia Berdasarkan Teori Merille S.Grindle……… 78

(9)

III.3. Implementasi Konvensi CEDAW Terhadap Perkawinan

dan Analisis Terhadap Masalah Perkawinan di Indonesia………… 85

III.4. Implementasi Konvensi CEDAW Terhadap Kehidupan Politik dan Publik Perempuan Di Indonesia………. 89

III.5. Implementasi Konvensi CEDAW Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kebijakan Tentang Kekerasan Perempuan Di Indonesia……….. 91

III.6. Reservasi Pemerintah Indonesia Terhadap Isi Konvensi CEDAW……… 92

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI CEDAW DI INDONESIA……….. 96

BAB V PENUTUP... 103

V.1. Kesimpulan...103

V.2. Saran………...106

(10)

ABSTRAKSI

EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

PEREMPUAN DI INDONESIA Penulis

Astri Ledi Ayu

Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling kita seperti : kemiskinan, menguatanya fundamentalisme maupun konservatisme agama dan budaya, serta pembatasan hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik. Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan internasional tersebut, terdapat satu konvensi HAM, yaitu 1979 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

Kenyataannya, berbagai struktur dan institusi hukum HAM perempuan internasional yang tersedia teramat rapuh dalam hal implementasi kewajiban dan prosedurnya dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya secara umum. Dalam hal, misalnya, praktik kebanyakan negara dalam melakukan reservasi pada ketetapan-ketetapan yang mendasar dalam CEDAW, yang tampaknya ditolerir, merupakan bentuk kegagalan negara secara umum dalam memenuhi tanggung jawab mereka di bawah instrumen internasional tersebut.

Disamping itu, terdapat beberapa hal penting lain yang harus kita perhatikan yakni isi konvensi CEDAW yang masih multi tafsir. Oleh karena itu, menjadi hal penting untuk meneliti bagaimana efektifitas Konvensi CEDAW dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ke-efektifitasannya agar dapat menjadi referensi bagi pemangku kebijakan di tanah air untuk perbaikan di masa mendatang.

(11)

ABSTRAKSI

EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

PEREMPUAN DI INDONESIA Penulis

Astri Ledi Ayu

Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling kita seperti : kemiskinan, menguatanya fundamentalisme maupun konservatisme agama dan budaya, serta pembatasan hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik. Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan internasional tersebut, terdapat satu konvensi HAM, yaitu 1979 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

Kenyataannya, berbagai struktur dan institusi hukum HAM perempuan internasional yang tersedia teramat rapuh dalam hal implementasi kewajiban dan prosedurnya dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya secara umum. Dalam hal, misalnya, praktik kebanyakan negara dalam melakukan reservasi pada ketetapan-ketetapan yang mendasar dalam CEDAW, yang tampaknya ditolerir, merupakan bentuk kegagalan negara secara umum dalam memenuhi tanggung jawab mereka di bawah instrumen internasional tersebut.

Disamping itu, terdapat beberapa hal penting lain yang harus kita perhatikan yakni isi konvensi CEDAW yang masih multi tafsir. Oleh karena itu, menjadi hal penting untuk meneliti bagaimana efektifitas Konvensi CEDAW dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ke-efektifitasannya agar dapat menjadi referensi bagi pemangku kebijakan di tanah air untuk perbaikan di masa mendatang.

(12)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Skripsi ini akan membahas tentang implementasi sebuah konvensi internasional

dengan mengambil studi analisis efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap

upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia. Hal ini menjadi penting untuk

dikaji mengingat tidak ada satu negara pun di belahan dunia ini di mana kaum

perempuannya tidak pernah mengalami perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) untuk

beberapa derajat. Karenanya, signifikansi dari mendiskusikan hak-hak kaum perempuan

(women’s right) disebabkan perempuan adalah salah satu kelompok yang paling rentan

mengalami berbagai jenis pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Kebebasan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya merupakan suatu

keharusan dan kepentingan dalam proses demokrasi yang berusaha diwujudkan terus

menerus. Demokrasi tanpa keterlibatan perempuan didalamnya, tentu bukanlah demokrasi

yang sejati.1 Bagaimana hal tersebut dapat diupayakan, tentu dengan adanya jaminan

bahwa perempuan dapat menikmati hak-haknya secara bebas tanpa kungkungan

diskriminasi.

Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap

perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait

erat dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling kita seperti : kemiskinan,

1

(13)

menguatanya fundamentalisme maupun konservatisme agama dan budaya, serta

pembatasan hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik.

Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan

internasional tersebut, terdapat satu konvensi HAM, yaitu 1979 Convention on the

Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

Menurut Goran Melander,2 CEDAW telah distrukturkan dalam suatu cara yang

cukup tradisional mengenai konvensi HAM, yang dimulai dengan enumerasi (penyebutan

satu demi satu) hak-hak perempuan dan selanjutnya diiringi oleh ketetapan-ketetapan yang

berkesinambungan dengan implementasi konvensi tersebut.

Sebagaimana umumnya berbagai convention HAM lainnya, CEDAW memandatkan

pembentukan sebuah komite, yaitu komite CEDAW yang terdiri dari 23 ahli yang diajukan

dan dipilih oleh negara yang telah menerima CEDAW setiap empat tahun. Sangat sering

diujarkan bahwa komite seharusnya berkonsentrasi pada negara-negara yang sangat kental

dengan pelanggaran HAM perempuan, namun hal tersebut tidak boleh dilaksanakan untuk

alasan yang sangat pragmatis. Konvensi sesungguhnya hanya memungkinkan untuk

menerima laporan negara (country report) dari negara-negara yang telah meratifikasi

CEDAW.

Kenyataannya, berbagai struktur dan institusi hukum HAM perempuan

internasional yang tersedia teramat rapuh dalam hal implementasi kewajiban dan

prosedurnya dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya secara umum. Dalam hal,

misalnya, praktik kebanyakan negara dalam melakukan reservasi pada ketetapan-ketetapan

2

(14)

yang mendasar dalam CEDAW, yang tampaknya ditolerir, merupakan bentuk kegagalan

negara secara umum dalam memenuhi tanggung jawab mereka di bawah instrumen

internasional tersebut.

Diskriminasi melanggar HAM, demikian pula diskriminasi terhadap perempuan

melanggar hak azasi manusia perempuan, sehingga pemberdayaan perempuan diperlukan

agar perempuan-perempuan dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar. Realitas

ini mendorong Komisi Status Perempuan PBB menyerahkan draft pertamanya tentang

deklarasi anti diskriminasi terhadap perempuan. Tahun 1979 PBB mengadopsi Convention

on the Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women (CEDAW) atau

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia

meratifikasi konvensi tersebut dengan UU No.7 Tahun 1974. Dengan demikian, Indonesia

mempunyai konsekuensi mengakui dalam hukum dan dalam kehidupan sehari-hari prinsip

kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, untuk menghapus segala bentuk diskriminasi

terhadap perempuan.

Artinya, meskipun secara de jure Indonesia telah mencapai berbagai kemajuan,

namun secara de facto pemerintah tetap masih harus membereskan banyak pekerjaan rumah

dalam mengimplementasikan CEDAW secara utuh. Indonesia telah mengupayakan

berbagai hal untuk memproteksi HAM perempuan dengan mengaplikasikan CEDAW.

Namun, konsistensi pemerintah Indonesia untuk menjamin hak-hak perempuan masih perlu

dibuktikan lebih jauh. Sebagaimana mengutip Rebecca J Cook “Hanya negara dan

(15)

bertanggung jawab di bawah hukum HAM internasional, namun negaralah yang acap kali

harus bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran HAM di negaranya.” 3

Telah seperempat abad lamanya sejak Indonesia meratifikasi Konvensi ini. Namun,

dalam implementasinya Indonesia justru masih belum sepenuh hati. Hal ini dapat dilihat

melalui beberapa gambaran, diantaranya : ketidaktegasan pemerintah dalam mencantumkan

prinsip non diskriminasi dalam setiap kebijakan dan peraturan perundangan yang adanya,

banyaknya praktik budaya yang diskriminatif dan dilanggenggkan melalui berbagai

undang-undang , menguatnya fundamentalisme dan konservatisme agama, serta banyaknya

praktek-praktek pembedaan, pembatasan, dan pengucilan perempuan untuk dapat

menikmati hak-haknya, merupakan persoalan serius terkait dengan diskriminasi terhadap

perempuan. Disamping itu, terdapat beberapa hal penting lain yang harus kita perhatikan

yakni isi konvensi CEDAW yang masih multi tafsir. Artinya terdapat beberapa pasal dalam

konvensi ini yang rancu jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya seperti

permasalahan perkawinan, tentu hal ini sulit untuk disamaratakan dengan ketentuan

konvensi dikarenakan Indonesia dipengaruhi syariah Islam untuk mengurusi masalah

perkawinan.

Merujuk pada deskripsi diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu

penelitian dengan tujuan penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mengukur

sejauh mana efektifitas konvensi perempuan internasional ini dapat diterapkan, mengingat

Indonesia merupakan negara yang memiliki kebhinekaan budaya dan kental adat

ke-timurannya.

3

(16)

I.2. Rumusan Masalah

Berangkat dari pemaparan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan

masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap upaya

penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia ?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas implementasi

Konvensi CEDAW di Indonesia?

I.3. Batasan Masalah

Sebuah penelitian membutuhkan ruang pembatasan masalah agar tidak melebar dan

meluas, sehingga kiranya dapat mendapat hasil yang memuaskan sesuai dengan maksud

tujuan penelitian, maka penelitian ini mempunyai batasan masalah :

1. Penelitian ini dilakukan menggunakan penelitian kepustakaan (Library

Reseach). Yakni dengan cara mengumpulkan data-data dari buku-buku,

literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah, buletin dan berbagai sumber

lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.

2. Penelitian dengan judul Efektifitas Implementasi Konvensi CEDAW PBB

Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di

Indonesia merujuk pada pelaksanaan Convention on the Elimination of All

(17)

I.4. Tujuan Penelitian

Sebagai sebuah bahan kajian ilmiah maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas implementasi Konvensi CEDAW

terhadap upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas

implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia.

I.5. Signifikansi Penelitian

1. Bagi Penulis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat menambah wawasan dan

pengalaman berharga dalam kapasitas kemampuan, dan kontribusi penulis untuk

melihat bagaimana efektifitas implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979

Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia.

2. Bagi Objek Yang Diteliti

Secara praktis diharapkan dapat menjelaskan bagaimana Efektifitas Implementasi

Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi

Perempuan Di Indonesia dan menjadi sumbangan bagi institusi/lembaga, yaitu :

Partai Politik, LSM dan LBH atau institusi yang berkaitan lainnya.

3. Bagi Ilmu Pengetahuan

Secara akademis penelitian ini adalah suplemen baru dalam pengembangan studi

bagaimana relevansi teori-teori politik apakah masih sesuai dengan kondisi di

lapangan (the real politics) khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik

(18)

I.6. Kerangka Teori

Teori adalah serangkaian konsep, definisi dan preposisi yang saling berkaitan dan

bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena pada

umumnya. Penggunaan teori penting kiranya dalam menelaah suatu masalah atau fenomena

yang terjadi sehingga fenomena tersebut dapat diterangkan secara eksplisit dan sistematis.

Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berfikir penulis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

I.6.1. Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional utama,

sehingga dengan demikian Hukum Internasional sama sekali tidak dapat dipisahkan dari

keberadaan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara.4 Perjanjian

internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) diartikan sebagai “semua

perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang

diatur oleh hukum internasional dan berisi ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat

hukum.” Sedangkan definisi Perjanjian Internasional menurut Undang-Undang No.

24/2000 yaitu “Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu,

yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak

dan kewajiban di bidang hukum publik.” Berdasarkan pengertian dalam Konvensi Wina

diatas, maka unsur-unsur perjanjian internasional adalah :

4

(19)

a. Suatu persetujuan internasional;

b. Dibuat oleh negara negara dalam bentuk tertulis;

c. Didasarkan pada hukum internasional;

d. Dibuat dalam instrumen tunggal, dua atau lebih;

e. Memiliki nama apapun.

I.6.1.1. Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional

a. Traktat (Treaty)

Traktat adalah persetujuan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang

mengadakan hubungan antar mereka. Traktat merupakan perjanjian internasional

yang kekuatan mengikatnya sangat ketat. Sebab sesuai ketentuan traktat, negara

yang telah terikat tidak dapat menarik diri dari kewajiban-kewajibannya tanpa

persetujuan pihak-pihak lain yang tergabung dalam perjanjian itu. Dengan demikian

maka traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang paling formal.

b. Konvensi (Convention)

Konvensi lazim digunakan bagi persetujuan formal yang bersifat multilateral. Suatu

konvensi tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy).

Pokok-pokok persoalan yang diatur tidak menghendaki pemecahan yang menyeluruh

terhadap suatu bidang. Sama seperti traktat, konvensi pun harus dilegalisir oleh

wakil-wakil berkuasa penuh (plenipotentiaries).

c. Protokol (Protocol)

Protokol adalah persetujuan yang sifatnya tidak se-resmi traktat atau konvensi, dan

(20)

berupa suplemen dari konvensi. Dalam hal ini protokol hanya mengatur

masalah-masalah tambahan, seperti penafsiran klausul tertentu.

d. Persetujuan (Agreement)

Persetujuan adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau

administratif. Persetujuan lazimnya dilegalisir oleh wakil-wakil departemen serta

tidak perlu diratifikasi.

e. Perikatan (Arrangement)

Arrangement adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau

administratif.

f. Deklarasi (Declaration)

Deklarasi merupakan perjanjian internasional yang ada kalanya berbentuk traktat,

dokumen tidak resmi, dan perjanjian tidak resmi. Deklarasi akan menjadi traktat

jika ia merupakan lampiran atau dilampirkan pada traktat atau konvensi. Sedangkan,

jika mengatur hal-hal yang kurang urgen, deklarasi itu akan menjadi persetujuan

tidak resmi.

g. Piagam (Statue)

Statue atau piagam merupakan himpunan peraturan yang ditetapkan oleh

persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan kesatuan tertentu seperti

pengawasan internasional tentang minyak atau mengenai lapangan kerja

(21)

h. Proses Verbal (Procces Verbal)

Proses verbal adalah catatan atau ringkasan atau kesimpulan konferensi diplomatik,

atau dapat pula merupakan catatan suatu pemufakatan. Proses verbal lazimnya tidak

diratifikasi.

i. Pakta (Pact)

Penggunaan istilah pakta sesungguhnya merupakan persamaan dari traktat dalam

arti sempit dan jika dilihat dari keharusan ratifikasinya pakta sama dengan traktat.

j. Modus Vivendi

Perjanjian internasional seperti ini merupakan dokumen untuk mencatat persetujuan

internasional yang bersifat sementara. Hal itu berlangsung sampai berhasil

diwujudkan suatu perjanjian yang lebih permanen, rinci dan sistematis.

k. Pertukaran Nota (Exchange of Notes)

Pertukaran nota merupakan metode tidak resmi. Biasanya pertukaran nota dilakukan

oleh wakil militer dan negara serta dapat bersifat multilateral.

l. Ketentuan Penutup (Final Act Arrangement)

Proses suatu konferensi yang akan membuat suatu konvensi lazimnya dicatat dalam

suatu dokumen yang disebut “Ketentuan Penutup”. Ketentuan penutup

meringkaskan hasil hasil konferensi, menyebutkan negara-negara peserta,

utusan-utusan dari negara yang ikut berunding serta masalah-masalah yang disetujui oleh

konferensi. Ketentuan penutup juga memuat penafsiran ketentuan yang telah

(22)

m. Charter

Charter adalah istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian

badan yang melakukan fungsi adaministratif. PBB membuat anggaran dasarnya

dalam bentuk charter.

n. Ketentuan Umum (General Act)

Ketentuan umum adalah traktat yang dapat bersifat resmi dan juga dapat bersifat

tidak resmi. Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1928 menggunakan ketentuan umum

mengenai arbitrase untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional.

I.6.1.2. Kemampuan Membuat Perjanjian Internasional

Setiap negara memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian internasional.

Seseorang dianggap mewakili sesuatu negara untuk maksud menyetujui atau mengesahkan

teks suatu perjanjian atau untuk maksud menyatakan persetujuan negara itu diikat oleh

suatu perjanjian bilamana:

1. Ia memperlihatkan full powers yang sewajarnya; atau

2. Terlihat dari praktik negara-negara itu atau dari keadaan-keadaan lainnya, bahwa

maksud mereka adalah menganggap bahwa orang tertentu mewakili negaranya untu

maksud-maksud tersebut.

Sementara itu “Treaty Making Powers” sendiri berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang

Perjanjian Internasional berada ditangan “the big three”, yaitu :

1. Kepala Negara (Head of State), untuk maksud melakukan semua tindakan yang

(23)

2. Kepala Pemerintahan (Head of Government), untuk maksud menyetujui teks

perjanjian antara negara pengirim dan negara di mana mereka diakreditasikan;

3. Menteri Luar Negeri (Ministry for Foreign Affairs), untuk maksud menyetujui teks

perjanjian di dalam konferensi, organisasi dan organnya.

Sehingga tanpa menggunakan Surat Kuasa “Full Powers” mereka tidak dapat

menandatangani suatu perjanjian internasional.

I.6.1.3. Berlakunya Perjanjian Internasional

1. Suatu perjanjian mulai berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang

disetujui oleh negara-negara perunding.

2. Perjanjian mulai berlaku segera setelah dilakukan ratifikasi/pengesahan.

3. Ketentuan-ketentuan perjanjian yang mengatur pengesahan teksnya, pernyataan

persetujuan suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal

berlakunya, persyaratan fungsi-fungsi penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang

timbul yang perlu sebelum berlakunya perjanjian itu, berlaku sejak saat disetujui

teks perjanjian itu atau setelah dilakukan pertukaran nota.

I.6.1.4. Berakhirnya Perjanjian Internasional

1. Kesepakatan para pihak tidak sesuai prosedur dalam perjanjian.

2. Tujuan perjanjian telah tercapai.

3. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian.

4. Salah satu pihak tidak melaksanakan/melanggar perjanjian.

(24)

6. Muncul norma baru dalam Hukum Internasional.

7. Habis masa berlakunya perjanjian internasional itu.

8. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

I.6.2. Implementasi Kebijakan Publik

Pada dasarnya Konvensi CEDAW yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang

No.7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan

sebagai variabel yang diteliti, merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk kebijakan

yang ada. Untuk itulah penulis menggunakan teori-teori implementasi kebijakan sebagai

kerangka pikir dalam memahami makna dari variabel tersebut. Dan agar dapat dimaknai

dengan benar oleh setiap orang yang menggunakan penelitian ini, maka penulis berupaya

menjabarkannya dengan melakukan pemilahan makna dari setiap variabel yang dimaksud.

I.6.2.1.Pengertian Implementasi Kebijakan

Hakekat dari implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang terencana dan

bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan didasarkan pada kebijakan yang

telah ditetapkan oleh otoritas berwenang. Sebagaimana rumusan dari Daniel A. Mazmanian

dan Paul A. Sabartier 5 mengemukakan bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan

kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-undang namun dapat pula berbentuk

perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan

peradilan. Lazimnya keputusan itu mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin

5

(25)

dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses implementasinya. Proses ini

berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan

pengesahan undang-undang kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan

keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting

terhadap undang-undang atau peraturan yang bersangkutan.

Berdasarkan pemahaman diatas, konklusi dari implementasi jelas mengarah kepada

pelaksanaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh eksekutif. Tujuannya ialah untuk

mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam

upaya penyelesaian masalah tersebut. Dalam konsep implementasi ini harus digaris-bawahi

ada kata-kata “rangkaian terstruktur” yang memiliki makna bahwa dalam prosesnya

implementasi pasti melibatkan berbagai komponen dan instrumen.

Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit

organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh

berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel

organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu

sama lain. Untuk lebih mudah dalam memahami pengertian implementasi kebijakan

Lineberry (1978) 6 menspesifikasikan proses implementasi setidak-tidaknya memiliki

elemen-elemen sebagai berikut :

1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana.

2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating

procedures/SOP).

6

(26)

3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran;

pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas/badan pelaksana.

4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.

Salah satu komponen utama yang ditonjolkan oleh Lineberry, yaitu pengambilan

kebijakan (policy-making) tidaklah berakhir pada saat kebijakan itu dikemukakan atau

diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas dari pembuatan kebijakan.

Dengan demikian kebijakan hanyalah merupakan sebuah awal dan belum dapat

dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang jauh lebih

esensial adalah pada tataran implementasi kebijakan yang ditetapkan. Karena kebijakan

tidak lebih dari suatu perkiraan (forecasting) akan masa depan yang masih bersifat semu,

abstrak dan konseptual. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan

terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah keberhasilan

maupun ketidak-berhasilan kebijakan akan diketahui.

Bahkan Udoji 7 dengan tegas mengatakan “The execution of policies is as important

if not more important that policy-making. Policies will remain dreams or blue prints file

jackets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting,

bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya

akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak

diimplementasikan). Oleh karenanya ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi

merupakan unsur yang sangat penting sebagai kontinuitas dari munculnya suatu kebijakan.

7

(27)

Setelah kebijakan diimplementasikan terhadap sekelompok objek kebijakan baik itu

masyarakat maupun unit-unit organisasi, maka bermunculanlah dampak-dampak sebagai

akibat dari kebijakan yang dimaksud. Setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan

akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended)

maupun yang negatif (unintended). Untuk itu tinjauan efektifitas kebijakan, selain

pencapaian tujuan harus diupayakan pula untuk meminimalisir ketidakpuasan

(dissatisfaction) dari seluruh stakeholder. Dengan demikian deviasi dari kebijakan tidak

terlampau jauh dan niscaya akan mencegah terjadinya konflik di masa akan datang.

I.6.2.2.Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Sebagaimana telah dibahas didalam konsep implementasi kebijakan, terdapat

berbagai variabel yang saling terikat, berinteraksi dan mempengaruhi antara satu dengan

yang lain. Keseluruhan variabel tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan

dan dapat menjadi faktor pendorong (push factor) maupun faktor penekan (pull factor).

Oleh sebab itu para pengambil kebijakan (policy maker) hendaknya menyadari akan

substansi dari berbagai faktor tersebut sebelum kebijakan diformulasikan dan

diimplementasikan.

Ada berbagai macam teori implementasi, seperti dari George C. Edwards III (1980),

Merilee S. Grindle (1980), dan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983), Van

Meter dan Van Horn (1975), dan Cheema dan Rondinelli (1983), dan David L. Weimer dan

Aidan R. Vining (1999). Guna pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih

untuk menyajikan teori Merilee S.Grindle yang dianggap relevan dengan materi

(28)

teori-teori lain tidak lagi relevan dalam perkembangan teori implementasi kebijakan publik,

melainkan lebih kepada mengarahkan peneliti agar lebih fokus terhadap variabel-variabel

yang dikaji melalui penelitian ini.

a. Teori Merilee S. Grindle

Menurut Merilee S. Grindle “Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah

sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik

kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu,

ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu

kebijakan”. Di sini Grindle telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan

pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari lingkungan

(konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan. Ide dasar Grindle ini adalah

bahwa setelah suatu kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi, maka tindakan

implementasi belum tentu berlangsung lancar. Hal ini sangat tergantung pada

implementability dari program tersebut. Keberhasilan implementasi menurut Merilee S.

Grindle 8 dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan

konteks implementasi (context of implementation). Bahwa isi kebijakan terdiri dari

kepentingan kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat perubahan yang diinginkan, letak

pengambilan keputusan, pelaksanaan program, dan sumber daya yang dilibatkan.

Sementara konteks implementasi mengandung unsur kekuasaan, kepentingan dan strategi

aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, serta kepatuhan dan daya tanggap.

Sebagaimana terlihat pada gambar berikut :

8

(29)

Tujuan Kebijakan

Apakah Program yang dijalankan sesuai yang direncanakan

b. Konteks Implementasi :  Kekuasaan, kepentingan,

strategi aktor

 Karakteristik budaya, lembaga/penguasa

 Kepatuhan dan daya tanggap

Hasil Kebijakan :

Gambar 1. Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi 9

Di sini kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih

sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya

tinggi-rendahnya intensitas keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat,

kelompok sasaran dan sebagainya) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh

terhadap efektifitas implementasi kebijakan.

9

(30)

I.6.2.3. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Yang Mempengaruhi Proses Implementasi Kebijakan Publik

Kebijakan apapun bentuknya sebenarnya mengandung resiko untuk gagal.

Hoogwood dan Gunn membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) dan

unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Tidak terimplementasikan

mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana,

mungkin karena pihak–pihak yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau bekerja

sama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena

mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau permasalahan yang dibuat diluar

jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan–hambatan

yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar

dipenuhi.

1. Faktor Pendukung

Hoogwood dan Gunn (dalam Hill, 1993) lebih lanjut menyatakan bahwa untuk

dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna (perfect implementation)

maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu sebagai berikut :

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan / instansi pelaksana tidak akan

menimbulkan gangguan / kendala yang serius.

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai.

(31)

4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas

yang andal.

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai

penghubungnya.

6. Ketergantungan harus kecil.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

8. Tugas – tugas dirinci dan di tempatkan dalam urutan yang tepat.

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

10.Pihak–pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan

kepatuhan yang sempurna.

Kebijakan negara akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak

positif bagi anggota–anggota masyarakat. Dengan kata lain tindakan atau perbuatan

manusia yang menjadi anggota masyarakat bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh

pemerintah atau negara. Dengan demikian, jika mereka tidak berbuat atau bertindak sesuai

dengan keinginan pemerintah/negara itu, maka kebijakan negara menjadi tidak efektif.

2. Faktor Penghambat

Di dalam bukunya Palumbo (1987) mengemukakan bahwa : legislative policy

ambiquity is a prime cause to implementation failure (ketidakjelasan kebijaksanaan dalam

perundang–undangan adalah sebab utama kegagalan pelaksanaannya). Penjelasan terhadap

berbagai alasan yang mendasari gagalnya suatu kebijakan publik adalah disebabkan oleh

(32)

1. Ketidakpastian faktor intern dan/atau faktor ekstern.

2. Kebijaksanaan yang ditetapkan itu mengandung banyak lubang.

3. Dalam pelaksanaan kurang memperhatikan masalah teknis.

4. Adanya kekurangan akan tersedianya sumber–sumber pembantu (uang dan sumber

daya manusia).

5. Teori yang mendasari dasar pelaksanaan kebijaksanaan itu tidak tepat.

6. Sarana yang dipilih untuk pelaksanaan tidak efektif.

7. Sarana itu mungkin tidak atau kurang dipergunakan sebagaimana mestinya.

8. Isi dari kebijakan itu bersifat samar-samar.

Dengan demikian resiko kegagalan implementasi kebijakan tidak selalu dapat

dihindari oleh siapapun dan organisasi manapun. Abdul Wahab 10 menemukakan resiko

kegagalan implementasi kebijakan dapat di telusuri pada tiga wilayah kerja (1)

pelaksanaannya yang jelek (bad execution), (2) kebijaksanaan sendiri memang jelek (bad

policy), dan (3) kebijaksanaan itu memang bernasib jelek (bad luck).

I.7. Metodologi Penelitian I.7.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah pencarian

fakta interpretasi yang tepat yang digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam

masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu,

10

(33)

termasuk hubungan-hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta

proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. 11

I.7.2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian

kepustakaan (Library Reseach). Yakni dengan cara mengumpulkan data-data dari

buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah, buletin dan berbagai sumber lain

yang berhubungan dengan penelitian ini.

I.7.3. Analisa Data

Teknik untuk menganalisa data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif.

Teknik analisis ini dapat didefenisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif. Data deskriptif ini dapat berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati

orang-orang. 12 Kemudian menyusun data yang telah ada untuk kemudian diinterpretasikan

secara kualitatif. Dalam kerangka penelitian kualitatif, para peneliti tidak mencari

kebenaran dan moralitas, tetapi lebih kepada upaya mencari pemahaman. 13

11

Nazir Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998, hlm.64.

12

Arief Furchan, Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha nasional, 1992, hlm.21.

13

(34)

I.8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Signifikansi

Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian serta Sistematika

Penulisan.

BAB II : TENTANG CEDAW dan PELAKSANAAN

KONVENSI PEREMPUAN DI INDONESIA

Pada bab ini akan membahas tentang Deskripsi CEDAW.

Menyangkut sejarah lahirnya CEDAW, Pertimbangan dan

Rekomendasi CEDAW, Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan dan mengenai Pelaksanaan

Konvensi CEDAW di Indonesia.

BAB III : KAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini berisikan analisis tentang bagaimana efektifitas konvensi

CEDAW yang selama ini telah diterapkan di Indonesia dilihat dari

sudup pandang isi kebijakan dan konteks kebijakan. Dan melihat

faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektifitas implementasi

(35)

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian yang berisi tentang

kesimpulan, saran, maupun rekomendasi yang didasari atas hasil

(36)

BAB II

TENTANG KONVENSI CEDAW DAN PELAKSANAAN KONVENSI CEDAW DI INDONESIA

II.1. Tentang Konvensi CEDAW

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan

(CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan mulai belaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada

tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara

anggota PBB, merupakan negara peserta konvensi.

CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara

laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari

status perkawinan mereka, di semua bidang-politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil.

Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang

diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakana khusus-sementara untuk mempercepat

kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek

kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis

kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki.

II.1.1. Sejarah Lahirnya CEDAW

Tepatnya pada 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah

rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

(37)

meratifikasinya. Konvensi ini kemudian dinyatakan berlaku pada tahun 1981 setelah 20

negara menyetujui. Disetujuinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan (selanjutnya disingkat sebagai Konvensi CEDAW) merupakan

puncak dari upaya internasional dalam dekade perempuan yang ditujukan untuk melindungi

dan mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia.14 Ini merupakan hasil dari

inisiatif yang diambil oleh Komisi Kedudukan Perempuan (UN Commission on the Status

of Women), sebuah badan yang dibentuk pada tahun 1947 oleh PBB untuk

mempertimbangkan dan menyusun kebijakan-kebijakan yang akan dapat meningkatkan

posisi perempuan. Pada tahun 1949 sampai dengan tahun 1959, Komisi Kedudukan

Perempuan mempersiapkan berbagai kesepakatan internasional termasuk di dalamnya

Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan dan Konvensi tentang Kewarganegaraan

Perempuan yang Menikah. Pada tahun 1963, Majelis Umum PBB mencatat bahwa

diskriminasi terhadap perempuan masih terus berlanjut, dan meminta agar dapat dibuat

suatu rancangan Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.

Pada tahun 1965, Komisi tersebut memulai menyiapkan upaya yang kemudian pada

tahun 1966 keluar sebuah rancangan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan. Hasilnya pada tahun 1967, rancangan ini disetujui menjadi sebuah

Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan berdasarkan

Resolusi 2263 (XXII). Deklarasi ini merupakan instrumen internasional yang berisi

pengakuan secara universal dan hukum dan standar-standar tentang persamaan hak laki-laki

14

(38)

dan perempuan. Pada tahun 1968, Dewan Ekonomi dan Sosial mengambil inisiatif untuk

menyusun sistem pelaporan terhadap pelaksanaan Deklarasi tersebut oleh anggota-anggota

PBB. Mengingat deklarasi ini bukan kesepakatan (treaty), meskipun ada penekanan secara

moral dan politik terhadap para anggota PBB untuk menggunakannya, anggota PBB tidak

mempunyai kewajiban yang mengikat untuk bersandar padanya. Pada tahun 1970, Majelis

Umum PBB kemudian mendesak adanya ratifikasi atau aksesi pada instrumen internasional

yang relevan yang berkaitan dengan kedudukan perempuan. Melanjutkan upaya tersebut

pada tahun 1972, Komisi Kedudukan Perempuan mempersiapkan sebuah ‘treaty’ yang

akan mengikat pelaksanaan apa yang termuat dalam deklarasi. Seiring dengan hal tersebut,

Dewan Ekonomi dan Sosial kemudian menunjuk suatu kelompok kerja yang terdiri dari 15

orang untuk mulai menyusun suatu kelompok kerja yang terdiri dari 15 orang untuk mulai

menyusun suatu Konvensi pada tahun 1973. Persiapan ini mendapat sambutan dan

dorongan yang besar oleh Konferensi Dunia yang diselenggarakan di Mexico City pada

tahun 1975. Konferensi ini sedianya untuk menyusun Kerangka Kerja Dunia tentang

Perempuan. Konferensi ini mendesak adanya sebuah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi terhadap Perempuan. Dorongan Konferensi mendapat sambutan dari Majelis

Umum PBB yang kemudian menetapkan periode 1976 sampai dengan tahun 1985 sebagai

Dekade Perempuan dan mendesak agar Komisi Kedudukan Perempuan menyelesaikan

Konvensi di pertengahan Dekade tersebut (pada tahun 1980) tepat pada saat Dekade

Perempuan direview. Konvensi ini kemudian diadopsi oleh Majelis Umum pada tahun

1979.

Dalam resolusinya Majelis Umum menyampaikan harapan bahwa Konvensi dapat

(39)

mempersentasikan teks Konvensi pada Konferensi Dunia pertengahan Dekade Perempuan

di Copenhagen tahun 1980. Ada 64 negara yang menandatangani (signed) Konvensi dan 2

negara meratifikasi pada saat acara khusus tersebut dilakukan. Pada tanggal 03 Septermber

1981, 30 hari setelah 20 negara anggota PBB meratifikasi Konvensi, Konvensi dinyatakan

berlaku. Situasi ini menjadi puncak yang berdampak pada adanya sebuah standar hukum

internasional yang komprehensif untuk perempuan. Pada tanggal 1 Maret 2000, telah ada

165 negara (melebihi dari 2/3 anggota PBB) telah meratifikasi atau mengaksesi Konvensi

Perempuan dan 6 negara menandatanganinya.

II.1.2. Protokol Opsional

Protokol Opsional pada CEDAW diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan

Bangsa-bangsa pada Desember 1999. Protokol opsional pada CEDAW di satu pihak

memberi hak kepada perempuan untuk mengajukan pengaduan perorangan kepada komite

mengenai segala pelanggaran hak yang dimuat dalam Konvensi oleh Pemerintah dan di lain

pihak, memberi wewenang kepada komite untuk melakukan investigasi atas pelanggaran

berat dan sistematik yang korbannya adalah perempuan di negara-negara yang telah

meratifikasi atau aksesi pada Protokol ini. Pada tanggal 20 Januari 2006, sudah ada 76

(40)

II.1.3. Pertimbangan CEDAW

Pertimbangan dalam Konvensi ini berisi dasar pikir mengapa penting adanya

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dalam

pertimbangannya, Konvensi ini mengajak mengingat kembali tentang pengakuan hak-hak

dasar yang telah dimuat dalam :

1. Piagam PBB yang menegaskan keyakinan pada hak-hak asasi manusia yang

fundamental, yang berpatok pada martabat dan nilai kemanusiaan dan hak-hak yang

sama antara laki-laki dan perempuan.

2. Deklarasi Umum mengenai Hak Asasi Manusia yang menegaskan prinsip-prinsip

tentang anti diskriminasi, dan penekanan bahwa semua manusia dilahirkan bebas

dan memiliki martabat dan hak yang sama, dan bahwa semua orang berhak atas

semua hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam Deklarasi tersebut tanpa

pembedaan termasuk pembedaan jenis kelamin.

3. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional

tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang memberikan kewajiban bagi negara

anggota PBB untuk menjamin persamaan hak laki-laki dan perempuan untuk

menikmati semua hak yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan

politik.

4. Kovensi lainnya yang dibuat oleh berbagai badan di bawah PBB (seperti Konvensi

ILO) yang mengatur dan mempromosikan persamaan hak laki-laki dan perempuan.

Pengingatan kembali terhadap berbagai instrumen semakin dirasa penting terlebih

ternyata meskipun sudah ada berbagai instrumen hukum, diskriminasi terhadap perempuan

(41)

persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagaimana telah tercantum

sebelumnya terhadap berbagai instrumen. Diskriminasi tersebut juga menjadi hambatan

bagi partisipasi perempuan dalam persamaan kedudukan dengan laki-laki di dalam

kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan di lingkungan masyarakat bahkan di

wilayah dimana perempuan berada.

Hal tersebut akan berdampak pada penghalangan pertumbuhan kemakmuran

masyarakat dan keluarga, disamping akan lebih mempersulit pengembangan potensi

perempuan secara penuh agar dapat berkontribusi kepada negara dan kemanusiaan.

Konvensi ini juga menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan tidak saja terjadi

pada situasi normal, tapi terjadi juga pada saat situasi khusus seperti adanya kemiskinan.

Pada situasi kemiskinan, diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan perempuan

menduduki posisi paling kurang memiliki akses terhadap pangan, kesehatan, pendidikan,

pelatihan dan kesempatan dalam lapangan kerja dan kebutuhan lainnya. Oleh karena itu

masyarakat internasional (melalui persetujuan dengan adanya Konvensi ini) meyakini

bahwa terbentuknya tatanan ekonomi internasional baru berdasarkan persamaan dan

keadilan akan memberikan sumbangan yang berarti pada peningkatan persamaan antara

laki-laki dan perempuan. Disamping itu penghapusan apartheid, segala bentuk rasisme,

diskriminasi rasial, kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi serta

campur tangan asing dalam masalah dalam negeri negara sangat penting bagi penikmatan

sepenuhnya hak perempuan dan laki. Pencampaian persamaan sepenuhnya antara

laki-laki dan perempuan juga hanya akan tercapai jika perdamaian dan keamanan internasional

diperkuat, ada upaya peredaan ketegangan internasional, kerjasama antara negara,

(42)

penegasan atas prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan saling menguntungkan dalam

hubungan antar negara dan pelaksanaan hak-hak rakyat yang berada di bawah dominasi

asing dan kolonial serta pendudukan asing untuk menentukan nasib sendiri dan

kemerdekaan, juga penghormatan atas kedaulatan dan integritas teritorial.

Upaya untuk mencapai persamaan derajat untuk kaum perempuan menjadi sangat

penting mengingat sumbangan besar perempuan dalam kesejahteraan keluarga,

pembangunan masyarakat, yang seringkali tidak diakui, khususnya dalam hal peran

reproduksi biologis maupun sosialnya. Persamaan ini akan sulit terwujud jika tidak ada

perubahan peran tradisional perempuan dan laki-laki.

Oleh karena itu perlu melakukan perubahan peran tradisional tersebut. Berdasarkan

paparan di atas maka, negara-negara anggota khususnya menyetujui isi pasal-pasal

sebagaimana pada pasal 1 – 30 Konvensi ini.

II.1.4. Perhatian CEDAW

Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan kembali

keyakinan tentang hak asasi manusia yang mendasar, tentang martabat serta harga diri

seorang manusia dan tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan prinsip

untuk tidak menerima diskriminasi dan menyatakan bahwa seluruh umat manusia adalah

dilahirkan bebas dan sama dalam martabat serta hak dan bahwa setiap orang memiliki

seluruh hak dan kebebasan yang tercantum di dalamnya, tanpa segala bentuk perbedaan,

(43)

Memperhatikan bahwa Negara-negara Pihak dari Kovenan Internasional tentang

hak asasi Manusia mempunyai kewajiban untuk menjamin persamaan hak antara laki-laki

dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.

Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang ditandatangani di bawah

perlindungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus yang mengajurkan

persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Memperhatikan pula resolusi, deklarasi dan rekomendasi yang ditetapkan oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus yang mengajurkan persamaan hak

antara laki-laki dan perempuan.

Memperhatikan, meskipun dengan keberadaan bermacam-macam instrumen ini,

diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut.

Mengingat bahwa diskriminasi terhadap perempuan melanggar prinsip persamaan

hak dan penghormatan terhadap martabat manusia, merupakan rintangan terhadap

partisipasi perempuan, berdasarkan persamaan dengan laki-laki, dalam kehidupan politik,

sosial, ekonomi dan budaya di negaranya, menghambat pertumbuhan kesejahteraan

masyarakat dan keluarga serta mempersulit perkembangan sepenuhnya potensi perempuan

dalam pengabdiannya kepada negara dan kemanusiaan.

Memperhatikan bahwa dalam situasi kemiskinan perempuan memiliki akses yang

terkecil untuk mendapat makanan, kesehatan, pendidikan pelatihan dan kesempatan bekerja

serta kebutuhan-kebutuhan lain.

Meyakini bahwa terbentuknya tata ekonomi internasional baru yang berdasarkan

persamaan dan keadilan akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemajuan

(44)

Menegaskan bahwa pembasmian apartheid, segala bentuk rasisme, diskriminasi

rasial, kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi asing, campur

tangan dalam persoalan dalam negeri adalah penting untuk penikmatan sepenuhnya atas

hak laki-laki dan perempuan.

Menekankan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan dunia, mengendurkan

ketegangan internasional, kerja sama timbal balik semua negara tanpa memperhatikan

sistem sosial dan ekonomi mereka, pelucutan senjata secara umum dan menyeluruh,

terutama pelucutan senjata nuklir di bawah kontrol internasional yang tegas dan efektif,

penegasan prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan keuntungan bersama dalam hubungan

antarnegara dan pelaksanaan hak dari bangsa yang berada dalam dominasi asing dan

kolonial serta pendudukan oleh bangsa lain untuk menentukan nasib sendiri dan

kemerdekaan demikian pula dengan penghormatan terhadap kedaulatan dan persatuan

nasional akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan dan yang akan

memberikan kontribusi atas tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan

perempuan.

Meyakini bahwa pembangunan negara yang sepenuhnya dan seutuhnya,

kesejahteraan dunia serta usaha perdamaian menuntut partisipasi yang maksimum dari

kaum perempuan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Mengingatkan kembali kontribusi besar dari perempuan terhadap kesejahteraan

keluarga dan perkembangan masyarakat, sejauh ini tidak diakui sepenuhnya, arti sosial

tentang kehamilan serta peran kedua orangtua dalam keluarga dan dalam membesarkan

anak-anak, dan menyadari bahwa peranan perempuan dalam memperoleh keturunan tidak

(45)

pembagian tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan serta masyarakat sebagai

keseluruhan.

Menyadari bahwa perubahan tradisi tentang peranan laki-laki dan peranan

perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga merupakan suatu kebutuhan untuk

mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan.

Memutuskan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi

Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dan untuk tujuan itu, untuk menetapkan

upaya-upaya yang dibutuhkan demi penghapusan diskriminasi tersebut secara keseluruhan

dalam bentuk dan manifestasinya.

Menyetujui hal-hal yang ditulis dalam isi konvensi.

II.1.5. Rekomendasi-Rekomendasi Komite CEDAW

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa komite CEDAW memiliki

wewenang untuk menyusun rekomendasi, telah ada sekitar 24 rekomendasi yang dihasilkan

pula oleh Komite. Rekomendasi tersebut sangat efektif untuk mendinamisir ide dan

pelaksanaan perlindungan perempuan. Salah satu rekomendasi yang sangat penting adalah

rekomendasi Komite No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Rekomendasi 19

meredefinisi apa yang disebut dengan Diskriminasi terhadap perempuan. Sebelumnya,

Konvensi tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kekerasan yang berbasis Gender

kecuali pada pasal 6 yang berkaitan dengan Eksploitasi Pelacuran dan Perdagangan

Perempuan. Dengan adanya Rekomendasi 19 defenisi diskriminasi terhadap perempuan

mencakup juga kekerasan sebagaimana dirumuskan dalam Deklarasi Anti Kekerasan

(46)

jenis kelamin yang berakibat atau mungkinberakibat pada kesengsaraan atau penderitaan

secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan

atau perampasankemerdekaan secara sewenang wenang, baikyang terjadi di depan umum

maupun dalam kehidupan pribadi.” Rekomendasi ini juga mengharuskan agar setiap

negara dalam setiap laporannya mencantumkan langkah-langkah sebagaimana diamanatkan

oleh Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Selain rekomendasi 19, hampir

seluruh rekomendasi dimaksudkan untuk menyempurnakan strategi pelaksanaan konvensi,

terutama terhadap isu-isu terkini yang penting harus disikapi atau semakin ditekankan,

misalnya, isu perempuan disable, perempuan dalam perkawinan, dan politik.

II.1.6. Laporan Bayangan Komite CEDAW

CEDAW, secara eksplisit mengikat negara dan semata-mata menyusun sebuah

mekanisme pelaporan dan pemantauan untuk negara dan badan-badan internasional di

bawah PBB. Namun, Komite CEDAW dalam melaksanakan wewenangnya menyadari

bahwa perlu adanya sebuah mekanisme alternatif dalam pantauan sehingga informasi yang

didapat komite menjadi sangat relevan dalam penyusunan tanggapan yang konstruktif

terhadap laporan negara. Oleh karena itu Komite CEDAW membuka kesempatan untuk

berbagai pihak memberikan informasi terhadap situasi perempuan di negara pihak.

Mekanisme ini memberikan peluang bagi kelompok non-pemerintah memberikan informasi

berdasarkan pantauannya terhadap negara. Mekanisme ini biasanya dilakukan dengan

memberikan laporan bayangan (shadow report). Laporan bayangan disusun oleh ornop

merujuk pada dan menganalisa laporan yang disusun oleh pemerintah nasional. Laporan ini

(47)

persetujuan PBB. Di bawah ini akan dipaparkan berbagai hal yang dapat dijadikan

pegangan bagi ornop untuk menyusun laporan bayangan.15

1. Pertimbangan dalam merancang Laporan Bayangan perlu dipertimbangkan :

 Kegunaan/manfaat;

 Fokus perhatian;

 Koalisi/persekutuan;

 Metode penyampaian dan data;

 Statistik dan studi kasus.

2. Langkah demi langkah penyusunan Laporan Bayangan :

 Memilih isu/tema;

 Memaparkan situasi;

 Identifikasi pasal-pasal yang penting berkaitan dengan situasi (Konvensi,

Rekomendasi Komite, Instrumen HAM lainnya);

 Identifikasi hukum yang berlaku dan pelaksanaannya oleh pemerintah;

 Identifikasi hambatan untuk mencapai HAM berdasarkan hukum yang berlaku;

 Identifikasi langkah-langkah yang harus diambil untuk mencapai persamaan kaum

perempuan;

 Melakukan cek ulang;

 Indikator (data atau studi kasus);

 Identifikasi pelaku (apakah aparat negara ataupun non aparat negara);

 Informasi tentang organisasi anda.

15

(48)

3. Kerangka Laporan Bayangan :

 Pandangan Umum;

 Pendahuluan;

 Masalah Pokok analisa berdasarkan pasal-pasal konvensi; Rekomendasi.

4. Hal lain :

 Format sederhana dengan jumlah halaman 10-15.

 Disampaikan akhir November atau akhir Mei kepada Komite CEDAW melalui UN

Division for theAdvancement of Woman.

Penyusunan laporan bayangan oleh ornop akan sangat membantu Komite dalam

mengevaluasi situasi negara pihak, disamping sebagai ajang untuk memperkuat

pengorganisasian dan pengkoordinasian para ornop dalam upaya untuk mengkampanyekan

hak perempuan.

II.1.7. Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan

Bagian I : Pasal 1

Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “diskriminasi terhadap perempuan” berarti

perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat

atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau

penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,

sosial budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status

(49)

Pasal 2

Negara-negara Pihak mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala

bentuknya, dan bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, untuk

menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk

tujuan ini berusaha untuk:

(a). Memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam undang

undang dasar mereka atau perundang-undangan lainnya yang layak apabila

belum dimasukkan ke dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis

pelaksanaan dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat;

(b). Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya lainnya, dan

di mana perlu termasuk sanksi-sanksi, yang melarang semua diskriminasi

terhadap perempuan;

(c). Menetapkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan atas dasar

persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin perlindungan bagi

kaum perempuan yang aktif terhadap setiap perilaku diskriminatif, melalui

pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya;

(d). Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktek

diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat dan

lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini;

(e). Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan

perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi atau

(50)

(f). Mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk upaya legislatif, untuk

mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan,

kebijakan-kebijakan, dan praktek-praktek yang ada yang merupakan

diskriminasi terhadap perempuan;

(g). Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan diskriminasi

terhadap perempuan.

Pasal 3

Negara-negara pihak harus melakukan upaya-upaya yang layak di semua

bidang,khususnya dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin

pengembangan dan pemajuan perempuan sepenuhnya.

Pasal 4

1. Pengambilan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara oleh Negara-negara

Pihak yang ditujukan untuk mempercepat persamaan antara laki-laki dan

perempuan secara “de facto” tidak dianggap sebagai diskriminasi, sebagaimana

ditegaskan dalam Konvensi ini, dan dalam hal apapun tidak boleh menyebabkan

dipertahankannya standar yang bersifat tidak setara atau terpisah; upaya-upaya

semacam ini harus dihentikan apabila tujuan untuk persamaan kesempatan dan

perlakuan telah dicapai.

2. Pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-negara Pihak, termasuk

tindakan-tindakan yang termuat dalam Konvensi ini, yang ditujukan untuk

(51)

Pasal 5

Negara-negara Pihak harus mengambil tindakan-tindakan yang tepat :

a. Untuk mengubah pola-pola tingkah laku sosial dan budaya para laki-laki dan

perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan

prasangka-prasangka dan kebiasaan-kebiasaan serta semua praktek lain yang

berdasarkan atas pemikiran adanya inferioritas atau superioritas salah satu

gender, atau berdasarkan pada peranan stereotip bagi laki-laki dan

perempuan.

b. Untuk memastikan bahwa pendidikan keluarga meliputi pemahaman yang

tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial, serta pengakuan akan

adanya tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan dalam

membesarkan dan mengembangkan anak-anak mereka, dengan pengertian

bahwa kepentingan anak-anak menjadi pertimbangan utama dalam segala

hal.

Pasal 6

Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat, termasuk

pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan

eksploitasi pelacuran perempuan.

Bagian II :Pasal 7

Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk

Gambar

Gambar 1. Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi 9
Gambar. 3 Keberhasilan Implementasi

Referensi

Dokumen terkait