• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TENTANG KONVENSI CEDAW DAN PELAKSANAAN KONVENSI CEDAW DI INDONESIA. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TENTANG KONVENSI CEDAW DAN PELAKSANAAN KONVENSI CEDAW DI INDONESIA. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TENTANG KONVENSI CEDAW DAN PELAKSANAAN KONVENSI CEDAW DI INDONESIA

II.1. Tentang Konvensi CEDAW

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan mulai belaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan negara peserta konvensi.

CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang-politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakana khusus-sementara untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki.

II.1.1. Sejarah Lahirnya CEDAW

Tepatnya pada 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Majelis Umum PBB mengundang negara-negara anggota PBB untuk

(2)

meratifikasinya. Konvensi ini kemudian dinyatakan berlaku pada tahun 1981 setelah 20 negara menyetujui. Disetujuinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (selanjutnya disingkat sebagai Konvensi CEDAW) merupakan puncak dari upaya internasional dalam dekade perempuan yang ditujukan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia.14 Ini merupakan hasil dari inisiatif yang diambil oleh Komisi Kedudukan Perempuan (UN Commission on the Status of Women), sebuah badan yang dibentuk pada tahun 1947 oleh PBB untuk mempertimbangkan dan menyusun kebijakan-kebijakan yang akan dapat meningkatkan posisi perempuan. Pada tahun 1949 sampai dengan tahun 1959, Komisi Kedudukan Perempuan mempersiapkan berbagai kesepakatan internasional termasuk di dalamnya Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan dan Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan yang Menikah. Pada tahun 1963, Majelis Umum PBB mencatat bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih terus berlanjut, dan meminta agar dapat dibuat suatu rancangan Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.

Pada tahun 1965, Komisi tersebut memulai menyiapkan upaya yang kemudian pada tahun 1966 keluar sebuah rancangan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Hasilnya pada tahun 1967, rancangan ini disetujui menjadi sebuah Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan berdasarkan Resolusi 2263 (XXII). Deklarasi ini merupakan instrumen internasional yang berisi pengakuan secara universal dan hukum dan standar-standar tentang persamaan hak laki-laki

14

Assesing the Status of Women, AGuide to Reporting Under the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, Update by the Division for the Advancement of Women Department of Economic and Social Affairs, United Nations 2000. Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005 Bahan Bacaan Materi : Konvensi CEDAW Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM.

(3)

dan perempuan. Pada tahun 1968, Dewan Ekonomi dan Sosial mengambil inisiatif untuk menyusun sistem pelaporan terhadap pelaksanaan Deklarasi tersebut oleh anggota-anggota PBB. Mengingat deklarasi ini bukan kesepakatan (treaty), meskipun ada penekanan secara moral dan politik terhadap para anggota PBB untuk menggunakannya, anggota PBB tidak mempunyai kewajiban yang mengikat untuk bersandar padanya. Pada tahun 1970, Majelis Umum PBB kemudian mendesak adanya ratifikasi atau aksesi pada instrumen internasional yang relevan yang berkaitan dengan kedudukan perempuan. Melanjutkan upaya tersebut pada tahun 1972, Komisi Kedudukan Perempuan mempersiapkan sebuah ‘treaty’ yang akan mengikat pelaksanaan apa yang termuat dalam deklarasi. Seiring dengan hal tersebut, Dewan Ekonomi dan Sosial kemudian menunjuk suatu kelompok kerja yang terdiri dari 15 orang untuk mulai menyusun suatu kelompok kerja yang terdiri dari 15 orang untuk mulai menyusun suatu Konvensi pada tahun 1973. Persiapan ini mendapat sambutan dan dorongan yang besar oleh Konferensi Dunia yang diselenggarakan di Mexico City pada tahun 1975. Konferensi ini sedianya untuk menyusun Kerangka Kerja Dunia tentang Perempuan. Konferensi ini mendesak adanya sebuah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Dorongan Konferensi mendapat sambutan dari Majelis Umum PBB yang kemudian menetapkan periode 1976 sampai dengan tahun 1985 sebagai Dekade Perempuan dan mendesak agar Komisi Kedudukan Perempuan menyelesaikan Konvensi di pertengahan Dekade tersebut (pada tahun 1980) tepat pada saat Dekade Perempuan direview. Konvensi ini kemudian diadopsi oleh Majelis Umum pada tahun 1979.

Dalam resolusinya Majelis Umum menyampaikan harapan bahwa Konvensi dapat diberlakukan dalam waktu dekat dan meminta agar Sekertaris Jenderal PBB

(4)

mempersentasikan teks Konvensi pada Konferensi Dunia pertengahan Dekade Perempuan di Copenhagen tahun 1980. Ada 64 negara yang menandatangani (signed) Konvensi dan 2 negara meratifikasi pada saat acara khusus tersebut dilakukan. Pada tanggal 03 Septermber 1981, 30 hari setelah 20 negara anggota PBB meratifikasi Konvensi, Konvensi dinyatakan berlaku. Situasi ini menjadi puncak yang berdampak pada adanya sebuah standar hukum internasional yang komprehensif untuk perempuan. Pada tanggal 1 Maret 2000, telah ada 165 negara (melebihi dari 2/3 anggota PBB) telah meratifikasi atau mengaksesi Konvensi Perempuan dan 6 negara menandatanganinya.

II.1.2. Protokol Opsional

Protokol Opsional pada CEDAW diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada Desember 1999. Protokol opsional pada CEDAW di satu pihak memberi hak kepada perempuan untuk mengajukan pengaduan perorangan kepada komite mengenai segala pelanggaran hak yang dimuat dalam Konvensi oleh Pemerintah dan di lain pihak, memberi wewenang kepada komite untuk melakukan investigasi atas pelanggaran berat dan sistematik yang korbannya adalah perempuan di negara-negara yang telah meratifikasi atau aksesi pada Protokol ini. Pada tanggal 20 Januari 2006, sudah ada 76 Negara Peserta Protokol Opsional ini.

(5)

II.1.3. Pertimbangan CEDAW

Pertimbangan dalam Konvensi ini berisi dasar pikir mengapa penting adanya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dalam pertimbangannya, Konvensi ini mengajak mengingat kembali tentang pengakuan hak-hak dasar yang telah dimuat dalam :

1. Piagam PBB yang menegaskan keyakinan pada hak-hak asasi manusia yang fundamental, yang berpatok pada martabat dan nilai kemanusiaan dan hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan.

2. Deklarasi Umum mengenai Hak Asasi Manusia yang menegaskan prinsip-prinsip tentang anti diskriminasi, dan penekanan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan memiliki martabat dan hak yang sama, dan bahwa semua orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam Deklarasi tersebut tanpa pembedaan termasuk pembedaan jenis kelamin.

3. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang memberikan kewajiban bagi negara anggota PBB untuk menjamin persamaan hak laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.

4. Kovensi lainnya yang dibuat oleh berbagai badan di bawah PBB (seperti Konvensi ILO) yang mengatur dan mempromosikan persamaan hak laki-laki dan perempuan. Pengingatan kembali terhadap berbagai instrumen semakin dirasa penting terlebih ternyata meskipun sudah ada berbagai instrumen hukum, diskriminasi terhadap perempuan masih berlangsung. Padahal diskriminasi terhadap perempuan jelas melanggar prinsip

(6)

persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagaimana telah tercantum sebelumnya terhadap berbagai instrumen. Diskriminasi tersebut juga menjadi hambatan bagi partisipasi perempuan dalam persamaan kedudukan dengan laki-laki di dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan di lingkungan masyarakat bahkan di wilayah dimana perempuan berada.

Hal tersebut akan berdampak pada penghalangan pertumbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga, disamping akan lebih mempersulit pengembangan potensi perempuan secara penuh agar dapat berkontribusi kepada negara dan kemanusiaan. Konvensi ini juga menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan tidak saja terjadi pada situasi normal, tapi terjadi juga pada saat situasi khusus seperti adanya kemiskinan. Pada situasi kemiskinan, diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan perempuan menduduki posisi paling kurang memiliki akses terhadap pangan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan kesempatan dalam lapangan kerja dan kebutuhan lainnya. Oleh karena itu masyarakat internasional (melalui persetujuan dengan adanya Konvensi ini) meyakini bahwa terbentuknya tatanan ekonomi internasional baru berdasarkan persamaan dan keadilan akan memberikan sumbangan yang berarti pada peningkatan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Disamping itu penghapusan apartheid, segala bentuk rasisme, diskriminasi rasial, kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi serta campur tangan asing dalam masalah dalam negeri negara sangat penting bagi penikmatan sepenuhnya hak perempuan dan laki. Pencampaian persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan juga hanya akan tercapai jika perdamaian dan keamanan internasional diperkuat, ada upaya peredaan ketegangan internasional, kerjasama antara negara, perlucutan senjata nuklir di bawah pengawasan internasional yang ketat dan efektif,

(7)

penegasan atas prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan saling menguntungkan dalam hubungan antar negara dan pelaksanaan hak-hak rakyat yang berada di bawah dominasi asing dan kolonial serta pendudukan asing untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan, juga penghormatan atas kedaulatan dan integritas teritorial.

Upaya untuk mencapai persamaan derajat untuk kaum perempuan menjadi sangat penting mengingat sumbangan besar perempuan dalam kesejahteraan keluarga, pembangunan masyarakat, yang seringkali tidak diakui, khususnya dalam hal peran reproduksi biologis maupun sosialnya. Persamaan ini akan sulit terwujud jika tidak ada perubahan peran tradisional perempuan dan laki-laki.

Oleh karena itu perlu melakukan perubahan peran tradisional tersebut. Berdasarkan paparan di atas maka, negara-negara anggota khususnya menyetujui isi pasal-pasal sebagaimana pada pasal 1 – 30 Konvensi ini.

II.1.4. Perhatian CEDAW

Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan kembali keyakinan tentang hak asasi manusia yang mendasar, tentang martabat serta harga diri seorang manusia dan tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan prinsip untuk tidak menerima diskriminasi dan menyatakan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan bebas dan sama dalam martabat serta hak dan bahwa setiap orang memiliki seluruh hak dan kebebasan yang tercantum di dalamnya, tanpa segala bentuk perbedaan, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin.

(8)

Memperhatikan bahwa Negara-negara Pihak dari Kovenan Internasional tentang hak asasi Manusia mempunyai kewajiban untuk menjamin persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.

Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang ditandatangani di bawah perlindungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus yang mengajurkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Memperhatikan pula resolusi, deklarasi dan rekomendasi yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus yang mengajurkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Memperhatikan, meskipun dengan keberadaan bermacam-macam instrumen ini, diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut.

Mengingat bahwa diskriminasi terhadap perempuan melanggar prinsip persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia, merupakan rintangan terhadap partisipasi perempuan, berdasarkan persamaan dengan laki-laki, dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya di negaranya, menghambat pertumbuhan kesejahteraan masyarakat dan keluarga serta mempersulit perkembangan sepenuhnya potensi perempuan dalam pengabdiannya kepada negara dan kemanusiaan.

Memperhatikan bahwa dalam situasi kemiskinan perempuan memiliki akses yang terkecil untuk mendapat makanan, kesehatan, pendidikan pelatihan dan kesempatan bekerja serta kebutuhan-kebutuhan lain.

Meyakini bahwa terbentuknya tata ekonomi internasional baru yang berdasarkan persamaan dan keadilan akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemajuan persamaan antara laki-laki dan perempuan.

(9)

Menegaskan bahwa pembasmian apartheid, segala bentuk rasisme, diskriminasi rasial, kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi asing, campur tangan dalam persoalan dalam negeri adalah penting untuk penikmatan sepenuhnya atas hak laki-laki dan perempuan.

Menekankan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan dunia, mengendurkan ketegangan internasional, kerja sama timbal balik semua negara tanpa memperhatikan sistem sosial dan ekonomi mereka, pelucutan senjata secara umum dan menyeluruh, terutama pelucutan senjata nuklir di bawah kontrol internasional yang tegas dan efektif, penegasan prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan keuntungan bersama dalam hubungan antarnegara dan pelaksanaan hak dari bangsa yang berada dalam dominasi asing dan kolonial serta pendudukan oleh bangsa lain untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan demikian pula dengan penghormatan terhadap kedaulatan dan persatuan nasional akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan dan yang akan memberikan kontribusi atas tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan.

Meyakini bahwa pembangunan negara yang sepenuhnya dan seutuhnya, kesejahteraan dunia serta usaha perdamaian menuntut partisipasi yang maksimum dari kaum perempuan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Mengingatkan kembali kontribusi besar dari perempuan terhadap kesejahteraan keluarga dan perkembangan masyarakat, sejauh ini tidak diakui sepenuhnya, arti sosial tentang kehamilan serta peran kedua orangtua dalam keluarga dan dalam membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa peranan perempuan dalam memperoleh keturunan tidak boleh dijadikan dasar diskriminasi dan bahwa membesarkan anak-anak menuntut

(10)

pembagian tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan serta masyarakat sebagai keseluruhan.

Menyadari bahwa perubahan tradisi tentang peranan laki-laki dan peranan perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga merupakan suatu kebutuhan untuk mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan.

Memutuskan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dan untuk tujuan itu, untuk menetapkan upaya-upaya yang dibutuhkan demi penghapusan diskriminasi tersebut secara keseluruhan dalam bentuk dan manifestasinya.

Menyetujui hal-hal yang ditulis dalam isi konvensi.

II.1.5. Rekomendasi-Rekomendasi Komite CEDAW

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa komite CEDAW memiliki wewenang untuk menyusun rekomendasi, telah ada sekitar 24 rekomendasi yang dihasilkan pula oleh Komite. Rekomendasi tersebut sangat efektif untuk mendinamisir ide dan pelaksanaan perlindungan perempuan. Salah satu rekomendasi yang sangat penting adalah rekomendasi Komite No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Rekomendasi 19 meredefinisi apa yang disebut dengan Diskriminasi terhadap perempuan. Sebelumnya, Konvensi tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kekerasan yang berbasis Gender kecuali pada pasal 6 yang berkaitan dengan Eksploitasi Pelacuran dan Perdagangan Perempuan. Dengan adanya Rekomendasi 19 defenisi diskriminasi terhadap perempuan mencakup juga kekerasan sebagaimana dirumuskan dalam Deklarasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada pasal 1, yaitu : “ …setiap perbuatan berdasarkan perbedaan

(11)

jenis kelamin yang berakibat atau mungkinberakibat pada kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasankemerdekaan secara sewenang wenang, baikyang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.” Rekomendasi ini juga mengharuskan agar setiap negara dalam setiap laporannya mencantumkan langkah-langkah sebagaimana diamanatkan oleh Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Selain rekomendasi 19, hampir seluruh rekomendasi dimaksudkan untuk menyempurnakan strategi pelaksanaan konvensi, terutama terhadap isu-isu terkini yang penting harus disikapi atau semakin ditekankan, misalnya, isu perempuan disable, perempuan dalam perkawinan, dan politik.

II.1.6. Laporan Bayangan Komite CEDAW

CEDAW, secara eksplisit mengikat negara dan semata-mata menyusun sebuah mekanisme pelaporan dan pemantauan untuk negara dan badan-badan internasional di bawah PBB. Namun, Komite CEDAW dalam melaksanakan wewenangnya menyadari bahwa perlu adanya sebuah mekanisme alternatif dalam pantauan sehingga informasi yang didapat komite menjadi sangat relevan dalam penyusunan tanggapan yang konstruktif terhadap laporan negara. Oleh karena itu Komite CEDAW membuka kesempatan untuk berbagai pihak memberikan informasi terhadap situasi perempuan di negara pihak. Mekanisme ini memberikan peluang bagi kelompok non-pemerintah memberikan informasi berdasarkan pantauannya terhadap negara. Mekanisme ini biasanya dilakukan dengan memberikan laporan bayangan (shadow report). Laporan bayangan disusun oleh ornop merujuk pada dan menganalisa laporan yang disusun oleh pemerintah nasional. Laporan ini merupakan informasi alternatif mengenai kepatuhan negara kepada badan pemantau

(12)

persetujuan PBB. Di bawah ini akan dipaparkan berbagai hal yang dapat dijadikan pegangan bagi ornop untuk menyusun laporan bayangan.15

1. Pertimbangan dalam merancang Laporan Bayangan perlu dipertimbangkan :

 Kegunaan/manfaat;

 Fokus perhatian;

 Koalisi/persekutuan;

 Metode penyampaian dan data;

 Statistik dan studi kasus.

2. Langkah demi langkah penyusunan Laporan Bayangan :

 Memilih isu/tema;

 Memaparkan situasi;

 Identifikasi pasal-pasal yang penting berkaitan dengan situasi (Konvensi, Rekomendasi Komite, Instrumen HAM lainnya);

 Identifikasi hukum yang berlaku dan pelaksanaannya oleh pemerintah;

 Identifikasi hambatan untuk mencapai HAM berdasarkan hukum yang berlaku;

 Identifikasi langkah-langkah yang harus diambil untuk mencapai persamaan kaum perempuan;

 Melakukan cek ulang;

 Indikator (data atau studi kasus);

 Identifikasi pelaku (apakah aparat negara ataupun non aparat negara);

 Informasi tentang organisasi anda.

15

(13)

3. Kerangka Laporan Bayangan :

 Pandangan Umum;

 Pendahuluan;

 Masalah Pokok analisa berdasarkan pasal-pasal konvensi; Rekomendasi. 4. Hal lain :

 Format sederhana dengan jumlah halaman 10-15.

 Disampaikan akhir November atau akhir Mei kepada Komite CEDAW melalui UN Division for theAdvancement of Woman.

Penyusunan laporan bayangan oleh ornop akan sangat membantu Komite dalam mengevaluasi situasi negara pihak, disamping sebagai ajang untuk memperkuat pengorganisasian dan pengkoordinasian para ornop dalam upaya untuk mengkampanyekan hak perempuan.

II.1.7. Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan

Bagian I : Pasal 1

Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “diskriminasi terhadap perempuan” berarti perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

(14)

Pasal 2

Negara-negara Pihak mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, dan bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha untuk:

(a). Memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam undang undang dasar mereka atau perundang-undangan lainnya yang layak apabila belum dimasukkan ke dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis pelaksanaan dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat; (b). Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya lainnya, dan

di mana perlu termasuk sanksi-sanksi, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan;

(c). Menetapkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin perlindungan bagi kaum perempuan yang aktif terhadap setiap perilaku diskriminatif, melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya; (d). Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktek

diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini;

(e). Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi atau lembaga apapun;

(15)

(f). Mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk upaya legislatif, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, dan praktek-praktek yang ada yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan;

(g). Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan.

Pasal 3

Negara-negara pihak harus melakukan upaya-upaya yang layak di semua bidang,khususnya dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin pengembangan dan pemajuan perempuan sepenuhnya.

Pasal 4

1. Pengambilan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara oleh Negara-negara Pihak yang ditujukan untuk mempercepat persamaan antara laki-laki dan perempuan secara “de facto” tidak dianggap sebagai diskriminasi, sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi ini, dan dalam hal apapun tidak boleh menyebabkan dipertahankannya standar yang bersifat tidak setara atau terpisah; upaya-upaya semacam ini harus dihentikan apabila tujuan untuk persamaan kesempatan dan perlakuan telah dicapai.

2. Pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-negara Pihak, termasuk tindakan-tindakan yang termuat dalam Konvensi ini, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi.

(16)

Pasal 5

Negara-negara Pihak harus mengambil tindakan-tindakan yang tepat :

a. Untuk mengubah pola-pola tingkah laku sosial dan budaya para laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka dan kebiasaan-kebiasaan serta semua praktek lain yang berdasarkan atas pemikiran adanya inferioritas atau superioritas salah satu gender, atau berdasarkan pada peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan.

b. Untuk memastikan bahwa pendidikan keluarga meliputi pemahaman yang tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial, serta pengakuan akan adanya tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan dalam membesarkan dan mengembangkan anak-anak mereka, dengan pengertian bahwa kepentingan anak-anak menjadi pertimbangan utama dalam segala hal.

Pasal 6

Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran perempuan.

Bagian II :Pasal 7

Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan

(17)

kemasyarakatan negaranya, dan khususnya menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak sebagai berikut:

a. Untuk memilih dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih;

b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan;

c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.

Pasal 8

Negara-negara Pihak harus mengambil semua upaya-upaya yang tepat untuk memastikan agar perempuan memiliki kesempatan untuk mewakili Pemerintah mereka pada tingkat internasional dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional, atas dasar persamaan dengan laki-laki dan tanpa diskriminasi apapun.

Pasal 9

1. Negara-negara Pihak wajib memberikan kepada perempuan hak yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya. Negara-negara Pihak khususnya wajib menjamin bahwa baik perkawinan dengan orang asing maupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan,

(18)

tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan si istri, menjadikannya tidak berkewarganegaraan atau memaksakan kewarganegaraan suami kepadanya.

2. Negara-negara Pihak wajib memberikan kepada perempuan hak yang sama dengan laki-laki berkenaan dengan kewarganegaraan anak-anak mereka.

Bagian III : Pasal 10

Negara-negara Pihak wajib untuk mengambil semua upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka untuk memastikan hak yang sama dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, dan terutama untuk menjamin atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan:

a. Kondisi yang sama untuk pengarahan karir dan kejuruan, untuk akses pada pembelajaran dan untuk memperoleh diploma dari lembaga-lembaga pendidikan pada semua kategori baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah perkotaan; persamaan ini harus dijamin dalam pendidikan pra-sekolah, umum, teknik, profesi dan pendidikan teknik yang lebih tinggi, demikian pula dalam semua jenis pelatihan kejuruan;

b. Akses untuk mata pelajaran yang sama, ujian yang sama, staf pengajar dengan kualifikasi standar yang sama, serta kualitas tempat dan perlengkapan sekolah yang sama;

c. Penghapusan setiap konsep yang stereotip tentang peranan laki-laki dan perempuan di semua tingkat dan semua bentuk pendidikan, dengan menganjurkan pendidikan campuran (perempuan dan laki-laki) dan bentuk pendidikan lain yang dapat membantu pencapaian tujuan ini, dan terutama

(19)

dengan merevisi buku-buku pelajaran dan program-program sekolah serta menyesuaikan metode-metode pengajaran.

d. Kesempatan yang sama untuk mendapatkan manfaat dari beasiswa dan bantuan belajar lainnya.

e. Kesempatan yang sama untuk memiliki akses atas program pendidikan lanjutan, termasuk program orang dewasa dan pemberantasan buta huruf yang fungsional, khususnya yang bertujuan untuk mengurangi, pada saat sedini mungkin, setiap perbedaan yang ada dalam pendidikan antara laki-laki dan perempuan.

f. Untuk mengurangi tingkat putus sekolah bagi perempuan dan menyelenggarakan program-program bagi remaja putri dan perempuan yang meninggalkan sekolah sebelum tamat.

g. Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam pendidikan olahraga dan jasmani

h. Akses terhadap informasi pendidikan tertentu untuk membantu memastikan kesehatan dan kehidupan keluarga yang baik, termasuk informasi serta nasehat bagi keluarga berencana.

Pasal 11

1. Negara-negara Pihak wajib untuk melakukan semua upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang pekerjaan dalam rangka untuk memastikan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki terutama :

(20)

a. Hak untuk bekerja sebagai suatu hak yang melekat pada semua umat manusia;

b. Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang sama terhadap suatu pekerjaan;

c. Hak atas kebebasan memilih profesi dan pekerjaan, hak atas pengangkatan, keamanan bekerja dan seluruh tunjangan dan kondisi pelayanan, dan hak untuk mendapat pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang, termasuk magang, pelatihan kejuruan lanjutan serta pelatihan kembali.

d. Hak atas persamaan pendapatan termasuk tunjangan. dan persamaan perlakuan sehubungan dengan pekerjaan yang sama nilainya, seperti juga persamaan perlakuan dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas kerja; e. Hak atas jaminan sosial, terutama dalam hal pensiun, pengangguran, sakit,

cacat dan lanjut usia, serta semua bentuk ketidakmampuan untuk bekerja, seperti juga hak atas masa cuti yang dibayar;

f. Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan dalam kondisi kerja, termasuk atas perlindungan untuk reproduksi.

2. Dalam rangka mencegah diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan perkawinan atau kehamilan, dan untuk memastikan agar hak ini bekerja dengan baik, Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat :

a. Untuk melarang pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti hamil, dan diskriminasi dalam pemecatan berdasarkan status perkawinan, dan larangan ini ditunjang dengan sanksi-sanksi;

(21)

b. Untuk memberlakukan cuti hamil yang dibayar atau dengan tunjangan sosial yang seimbang tanpa kehilangan pekerjaan yang ada, senioritas atau tunjangan sosial;

c. Untuk mendorong ketentuan tentang dukungan pelayanan sosial yang dibutuhkan guna memungkinkan orangtua mengkombinasikan kewajiban keluarga dengan tanggungjawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat, terutama melalui pendirian dan pengembangan jaringan kerja untuk fasilitas penitipan anak;

d. Untuk memberikan perlindungan khusus bagi perempuan selama hamil terhadap bentuk pekerjaan yang terbukti membahayakan mereka.

3. Peraturan tentang perlindungan yang berhubungan dengan masalah-masalah yang tercakup dalam Pasal ini harus ditinjau ulang secara berkala berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dapat direvisi, dicabut atau diperluas bila dibutuhkan.

Pasal 12

1. Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang kesehatan dalam rangka memberi kepastian, berdasarkan persamaan antara perempuan dan laki-laki, kesempatan atas pelayanan kesehatan, termasuk yang berhubungan dengan keluarga berencana.

2. Tanpa mengabaikan ketentuan ayat 1 Pasal ini, Negara-negara Pihak wajib memastikan bahwa perempuan mendapatkan pelayanan yang layak sehubungan

(22)

dengan kehamilan, kelahiran dan masa setelah lahir, demikian juga dengan gizi selama hamil dan menyusui.

Pasal 13

Negara-negara Pihak wajib melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan pada bidang-bidang kehidupan ekoonomi dan sosial lainnya dalam rangka memastikan hak yang sama, berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya:

a. Hak atas tunjangan keluarga

b. Hak atas pinjaman dari bank, hipotek dan jenis-jenis kredit lainnya;

c Hak untuk ikut serta dalam kegiatan rekreasi, olahraga dan aspek lain dalam kehidupan budaya.

Pasal 14

1. Negara-negara Pihak wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi perempuan pedesaan, dan peran penting yang dimainkan perempuan pedesaan untuk mempertahankan kehidupan keluarganya, termasuk pekerjaan mereka di luar sektor moneter dalam ekonomi, dan wajib untuk melakukan upaya-upaya yang tepat untuk memastikan penerapan ketentuan Konvensi ini pada perempuan pedesaan.

2. Negara-negara Pihak wajib untuk melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di pedesaan dalam rangka memberi kepastian, berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, bahwa

(23)

mereka turut berpartisipasi dan mendapat keuntungan dari pembangunan desa dan terutama harus memberi kepastian bagi perempuan tersebut hak:

a. Untuk ikut serta dalam memperluas dan melaksanakan rencana pembangunan pada semua tingkatan;

b. Untuk memperoleh akses atas fasilitas kesehatan yang sesuai, termasuk informasi, petunjuk dan pelayanan dalam keluarga berencana.

c. Untuk mendapat tunjangan langsung dari program-program jaminan sosial. d. Untuk memperoleh segala macam pelatihan dan pendidikan, formal maupun

non-formal, termasuk yang berhubungan dengan buta huruf, seperti juga antara lain, tunjangan bagi semua pelayanan masyarakat dan pelayanan tambahan dalam rangka meningkatkan profesionalitas.

e. Untuk membentuk kelompok-kelompok koperasi dalam rangka mendapatkan akses yang sama dalam kesempatan ekonomi melalui pekerjaan atau wiraswasta.

f. Untuk turut serta dalam seluruh kegiatan masyarakat;

g. Untuk memperoleh akses atas pinjaman atau kredit pertanian, fasilitas pemasaran, teknologi yang tepat dan perlakuan yang sama dalam masalah pertanahan dan pertanian, demikian pula perumahan.

h. Untuk menikmati keadaan kehidupan yang layak, terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, pengadaan listrik dan air, angkutan dan komunikasi.

(24)

Bagian IV : Pasal 15

1. Negara-negara Pihak wajib memberikan perempuan persamaan dengan laki-laki di hadapan hukum.

2. Negara-negara Pihak wajib memberikan pada perempuan, dalam masalah perdata, kapasitas hukum yang sama dengan laki-laki dan kesempatan yang sama untuk melaksanakan kapasitas tersebut. Secara khusus, Negara-negara harus memberikan pada perempuan hak yang sama untuk melakukan perjanjian dan mengelola kekayaan, dan harus memperlakukan mereka secara sama dalam setiap tahapan prosedur dalam sidang dan pengadilan.

3. Negara-negara Pihak menyetujui bahwa semua perjanjian dan seluruh instrumen perdata apapun yang mempunyai akibat hukum yang secara langsung membatasi kapasitas hukum perempuan, harus dianggap tidak ada dan dihapuskan.

4. Negara-negara Pihak wajib memberikan kepada laki-laki dan perempuan hak yang sama berdasarkan hukum, sehubungan dengan pindahnya seseorang, dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal dan domisilinya.

Pasal 16

1. Negara-negara Pihak wajib melakukan upaya-upaya khusus untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam setiap masalah yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan keluarga, dan berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan terutama harus memastikan:

a. Hak yang sama untuk melakukan perkawinan;

b. Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan untuk melangsungkan perkawinan atas dasar persetujuan yang bebas dan sepenuhnya dari mereka;

(25)

c. Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan dalam hal putusnya perkawinan;

d. Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orangtua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam hal yang berhubungan dengan anak mereka; dalam setiap kasus maka kepentingan anak-anak mereka harus didahulukan; e. Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab

tentang jumlah dan jarak kelahiran di antara anak-anak mereka, dan untuk memperoleh akses atas informasi, pendidikan dan tindakan yang memungkinkan mereka melaksanakan hak ini;

f. Hak dan tanggung jawab yang sama dalam hal pemeliharaan, pengawasan, perwalian dan pengangkatan anak, atau pranata-pranata yang sama di mana terdapat konsep ini dalam perundang-undangan nasional; dalam setiap kasus kepentingan anak-anak mereka harus didahulukan;

g. Hak pribadi yang sama sebagai suami istri, termasuk hak untuk memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan;

h. Hak yang sama bagi kedua pasangan dalam menghormati kepemilikan, perolehan, pengelolaan, manajemen, pengelolaan, penikmatan, serta pemindah-tanganan kekayaan baik secara cuma-cuma maupun berdasarkan pertimbangan nilainya.

2. Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak boleh memiliki akibat hukum, dan harus diambil semua tindakan yang diperlukan, termasuk perundang-undangan, untuk menetapkan batas usia perkawinan dan untuk mendaftarkan perkawinan pada kantor catatan sipil yang resmi.

(26)

Bagian V : Pasal 17

1. Untuk melakukan penilaian terhadap kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan Konvensi saat ini, perlu dibentuk Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (untuk selanjutnya disebut sebagai Komite) yang terdiri dari, pada saat mulai berlakunya Konvensi, delapan belas anggota dan , setelah retifikasi atau persetujuan terhadap Konvensi oleh ketigapuluhlima Negara-negara Pihak, duapuluh tiga orang ahli yang memiliki standar moral tinggi dan berkompeten dalam bidang yang tercakup dalam Konvensi. Para ahli dipilih oleh Negara-negara Pihak di antara warganegaranya dan akan mengabdi berdasarkan kapasitasnya sebagai pribadi, pertimbangan diberikan berdasarkan distribusi wilayah yang tercakup dan terhadap perwakilan dari segala macam bangsa demikian pula prinsip-prinsip sistem hukum.

2. Anggota Komite dipilih melalui pemilihan rahasia berdasarkan daftar sejumlah orang yang diusulkan oleh Negara-negara Pihak. Setiap Negara-negara Pihak dapat mengusulkan satu calon dari negaranya.

3. Pemilihan pertama diselenggarakan enam bulan setelah tanggal mulai berlakunya Konvensi saat ini. Paling tidak tiga bulan sebelum tanggal pemilihan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan surat kepada Negara-negara Pihak yang mengundang mereka untuk menyampaikan data orang yang akan diusulkan dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal mempersiapkan daftar sesuai abjad, seluruh nama yang diusulkan dan Negara-negara Pihak yang mengusulkan yang lalu dikirimkan kepada setiap Negara-negara Pihak.

(27)

4. Pemilihan anggota Komite dilakukan pada pertemuan antara Negara-negara Pihak yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jenderal di kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada pertemuan tersebut, yang membutuhkan kehadiran duapertiga Negara-negara Pihak supaya mencapai kuorum, orang yang terpilih menjadi anggota Komite harus yang mendapat suara terbanyak dari pemilih dan merupakan mayoritas mutlak dari pemilih yang mewakili Negara-negara Pihak yang hadir dan memilih.

5. Anggota-Anggota dipilih untuk jangka waktu empat tahun. Begitupun, masa kerja sembilan anggota yang dipilih pada pemilihan pertama berakhir pada akhir tahun kedua; secepatnya setelah pemilihan pertama nama-nama dari kesembilan anggota ini dipilih melalui undian oleh Pimpinan Komite.

6. Pemilihan lima anggota tambahan dari Komite dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat 2, 3 dan 4 Pasal ini, setelah ke-tigapuluhlima ratifikasi atau persetujuan. Masa kerja dua anggota tambahan yang dipilih dalam acara ini berakhir pada akhir tahun kedua, nama-nama dari kedua anggota ini dipilih melalui undian oleh Pimpinan Komite.

7. Untuk mengisi lowongan yang terjadi, Negara-negara Pihak yang ahlinya berhenti dari keanggotaan komite, menunjuk ahli lain dari Negaranya, dengan persetujuan Komite.

8. Anggota Komite dengan persetujuan Majelis Umum, menerima tunjangan dari sumber-sumber Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan syarat yang ditentukan Majelis, sehubungan dengan pentingnya tanggungjawab Komite.

(28)

9. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan staf yang diperlukan serta fasilitas untuk efektivitas fungsi Komite berdasarkan Konvensi saat ini.

Pasal 18

1. Negara-negara Pihak berjanji untuk menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal PerserikatanBangsa-Bangsa untuk dipertimbangkan oleh Komite, suatu laporan mengenai langkah-langkah legislatif, yudikatif, administratif atau langkah-langkah yang telah diambil untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, dan mengenai kemajuan yang telah dicapai:

a. Dalam satu tahun setelah mulai berlakunya, untuk Negara yang bersangkutan; dan;

b. Sesudah itu sekurang-kurangnya setiap empat tahun, dan selanjutnya sewaktu waktu sesuai permintaan Komite.

2. Laporan ini dapat memuat faktor-faktor dan kesulitan-kesulitan yang mempengaruhi tingkat pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang dicantumkan dalam Konvensi ini.

Pasal 19

1. Komite harus membuat aturan-aturan proseduralnya sendiri.

(29)

Pasal 20

1. Komite umumnya harus melakukan pertemuan tahunan untuk jangka waktu tidak lebih dari dua minggu, untuk membahas laporan-laporan yang diajukan sesuai dengan Pasal 18 Konvensi ini.

2. Pertemuan Komite tersebut pada ayat (1) umumnya harus diadakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau di tempat lain yang sesuai dengan keputusan Komite.

Pasal 21

1. Melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, Komite setiap tahunnya wajib menyampaikan laporan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kegiatannya, serta dapat memberikan saran-saran dan rekomendasi umum berdasarkan penelaahan atas laporan-laporan dan keterangan yang diterimanya dari Negara-negara Pihak. Saran-saran dan rekomendasi umum tersebut harus dimasukkan ke dalam laporan Komite bersama-sama dengan tanggapan dari Negara-negara Pihak, jika ada.

2. Sekretaris Jenderal harus mengirim laporan-laporan Komite kepada Komisi Kedudukan Perempuan untuk diketahui.

Pasal 22

Badan-badan khusus berhak untuk diwakili pada waktu mempertimbangkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, sesuai dengan ruang lingkup kegiatan mereka. Komite dapat meminta badan-badan khusus tersebut untuk menyampaikan

(30)

laporan-laporannya mengenai pelaksanaan Konvensi yang termasuk dalam lingkup kegiatan mereka.

Bagian VI : Pasal 23

Tidak satupun ketentuan dalam Konvensi ini akan mempengaruhi ketentuan-ketentuan yang lebih baik bagi tercapainya persamaan antara laki-laki dan perempuan yang mungkin terdapat:

a. Dalam perundang-undangan suatu Negara Pihak; atau

b. Dalam Konvensi, Perjanjian, atau Persetujuan Internasional manapun yang berlaku bagi Negara yang bersangkutan.

Pasal 24

Negara-negara Pihak berjanji untuk mengambil semua langkah yang diperlukan pada tingkat nasional, yang ditujukan untuk mencapai perwujudan sepenuhnya hak yang diakui dalam Konvensi ini.

Pasal 25

1. Konvensi ini terbuka untuk ditandatangani oleh semua Negara.

2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ditunjuk sebagai penyimpan Konvensi ini.

3. Konvensi ini perlu diratifikasi, instrumen-instrumen ratifikasi diserahkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk disimpan.

(31)

4. Konvensi ini terbuka untuk diaksesi oleh semua Negara. Aksesi mulai berlaku dengan diserahkannya instrumen aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk disimpan.

Pasal 26

1. Permintaan untuk merevisi Konvensi ini dapat diajukan sewaktu-waktu oleh setiap Negara Pihak, dengan pemberitahuan tertulis yang dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa .

2. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa apabila perlu dapat menentukan langkah-langkah yang akan diambil berkenaan dengan permintaan tersebut.

Pasal 27

1. Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal diserahkannya instrumen ratifikasi atau aksesi yang kedua puluh pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk disimpan.

2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi atau melakukan aksesi pada Konvensi ini, setelah penyimpanan instrumen ratifikasi atau aksesi yang kedua puluh, Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal diserahkannya instrumen ratifikasi atau aksesi tersebut untuk disimpan.

(32)

Pasal 28

1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima dan mengedarkan kepada semua Negara, naskah reservasi yang dibuat oleh Negara-negara pada waktu dilakukannya ratifikasi atau aksesi.

2. Suatu Reservasi yang bertentangan dengan tujuan dan maksud Konvensi ini tidak boleh diperkenankan.

3. Reservasi-reservasi dapat ditarik kembali sewaktu-waktu dengan memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian memberitahukan hal tersebut kepada semua Negara. Pemberitahuan semacam ini akan berlaku pada tanggal diterimanya.

Pasal 29

1. Setiap perselisihan antara dua atau lebih Negara-negara Pihak mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui perundingan, diajukan untuk arbitrase atas permohonan salah satu Negara tersebut. Jika dalam waktu enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrase para Pihak tidak dapat bersepakat mengenai penyelenggaraan arbitrase itu, salah satu dari pihak-pihak tersebut dapat menyerahkan perselisihan mereka kepada Mahkamah Internasional melalui permohonan yang sesuai dengan peraturan Mahkamah tersebut.

2. Setiap Negara Pihak pada waktu penandatanganan atau ratifikasi atau aksesi Konvensi ini, dapat menyatakan bahwa ia tidak menganggap dirinya terikat oleh ayat (1) Pasal ini. Negara-negara Pihak lainnya tidak akan terikat oleh ayat itu terhadap Negara Pihak yang telah membuat reservasi demikian.

(33)

3. Negara Pihak yang telah mengajukan reservasi sesuai dengan ayat (2) Pasal ini dapat menarik kembali reservasinya sewaktu-waktu dengan jalan memberitahukannya kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 30

Konvensi ini, yang naskahnya dibuat dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol, mempunyai kekuatan yang sama, dan wajib disimpan pada Sekretaris Jenderal PBB.

II.2. Konvensi Penghapusan dan Gerakan Perempuan Di Tingkat Internasional

CEDAW bukan merupakan sebuah peraturan yang berdiri sendiri, ia menjadi peraturan yang melanjutkan upaya penegakan hak perempuan yang sebelumnya telah diperjuangkan, dan ia meletakkan berbagai prinsip dasar guna pengembangan penegakan hak perempuan selanjutnya. CEDAW sebagai sebuah kelanjutan usaha yang panjang dalam hukum internasional dapat dilihat dalam peristiwa-peristiwa hukum sebagaimana di bawah ini :

1. Pada tahun 1919, Sidang Umum Organisasi Buruh Internasional menyetujui Konvensi Kerja Malam. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 13 Juni 1921. 2. Pada tahun 1919, Konvensi tentang Perlindungan Kehamilan disetujui oleh

Organisasi Buruh Internasional.

3. Pada tahun 1921, Liga Bangsa-bangsa mengeluarkan Konvensi Internasional tentang Perdagangan Perempuan dan Anak.

(34)

4. Pada tahun 1933, Liga Bangsa-bangsa mengeluarkan Konvensi Internasional tentang Perdagangan Perempuan Dewasa.

5. Pada bulan Juni 1934, suatu Komite pada Sidang Umum Organisasi Buruh Internasional merekomendasikan perumusan rancangan konvensi yang melarang dipekerjakannya kaum perempuan di pertambangan bawah tanah. Pada tanggal 21 Juni 1935, Konvensi tentang Penggunaan Tenaga Kerja Perempuan dalam Pekerjaan di Bawah Tanah dalam segala Jenis Pertambangan disahkan. Konvensi ini mulai diberlakukan pada 30 Mei 1937. Konvensi ini melarang semua perempuan, kecuali mereka yang termasuk dalam kategori kerja khusus, untuk bekerja di semua jenis pertambangan bawah tanah. Konvensi ini juga menuntut agar segenap ketentuannya juga diterapkan di wilayah-wilayah jajahan.

6. Pada tahun 1937, Liga Bangsa-bangsa kembali menyiapkan sebuah rancangan Konvensi yang memperluas upaya untuk menghadapi kasus Perdagangan Perempuan dan Anak.

7. Pada tanggal 11 Desember 1946, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi Nomor 56 (I) merekomendasikan kepada semua Negara Anggota supaya mereka membuat undang-undang yang memberikan kepada kaum perempuan hak-hak politik yang sama seperti yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Tindakan ini diambil untuk mendorong mereka agar memenuhi kewajiban sesuai Piagam PBB.

8. Pada tahun 1947 PBB membentuk Komisi Kedudukan Perempuan di PBB (UN Commission on the Status of Women). Komisi ini bertugas untuk mengambil langkah-langkah dan memantau tindakan PBB untuk kepentingan perempuan.

(35)

9. Pada tahun 1948, PBB memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

10. Pada tahun 1949, Komisi Status Perempuan mulai mengusulkan rancangan Konvensi Hak Politik Perempuan. Pada tahun 1952 Majelis Umum menyetujui Konvensi tersebut dengan Resolusi 640 (VII). Konvensi ini diberlakukan pada tanggal 7 Juli 1954. Konvensi ini mengatur bahwa perempuan mempunyai hak untuk memilih, berhak mencalonkan diri serta dipilih dalam pemilihan umum, dan berhak memegang jabatan publik, semuanya dengan syarakat-syarat yang sama dengan kaum laki-laki. Pada tahun Juni 1952, Konferensi Umum Organisasi Buruh Internasional menyetujui adanya Konvensi Perlindungan Kehamilan yang baru. Konvensi tersebut berlaku efektif pada tanggal 7 September 1955. Jangkauan Konvensi ini lebih luas dibanding Konvensi tahun 1919. Ia mencakupi kegiatan-kegiatan pertanian dan non industri dan juga pekerjaan perempuan yang bekerja di rumah. Konvensi tersebut juga memperpanjang periodeperiode cuti kehamilan dari enam minggu menjadi dua belas minggu dan meningkatkan kelenturan pengambilannya. Konvensi yang baru juga menambahkan keharusan bahwa para majikan mengijinkan para ibu meluangkan waktu untuk menyusui di tempat kerja yang waktunya diperlakukan sebagai bagian dari jam kerja. Rekomendasi mempunyai ketentuan-ketentuan yang sama tapi dengan standar-standar yang lebih tinggi dan tepat.

11. Pada tahun 1955, Dewan Ekonomi dan Sosial mengangkat usatu Komite untuk mempersiapkan rancangan tambahan untuk Konvensi Penghapusan Perbudakan Perdagangan Budan dan Lembaga-lembaga serta praktek-praktekserupa

(36)

perbudakan. Konvensi ini disetjuiu pada tanggal 7 September 1956 dan diberlakukan pada tanggal 30 April 1957. Konvensi mewajibkan Negara Peserta untuk mengambl langkahlangkah guna penghapusan sesegera mungkin perangka-perangkat kelembagaan serta praktek-praktek yang meliputi; perbudakan berdasar hutang; penghambaan; pertunangan anak; dan praktek-praketk perkawinana di mana seorang perempuan di perlakukan sebagai harta milik olehb baik kelaurga sendiri maupun keluarga suaminya, atau bisa diwariskan setelah kematian suaminya.

12. Pada tahun 1957 Organisasi Buruh Internasional (ILO) membentuk suatu Komite Sidang guna membuat rancangan peraturan internasional menyangkut kondisi buruh perkebunan. Konvensi ini kemudian disetujui pada tanggal 24 Juni 1958 dan diberlakukan pada 22 Januari 1960.

13. Pada 15 Juni 1960, Sidang Umum Organisasi Buruh Internasional menyetujui Konvensi Mengenai Diskriminasi dalam Lapangan Kerja dan Pekerjaan (Convention Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation).

14. Pada 14 Desember 1960, Sidang Umum Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (United NationEducational, Scientific and Cultural Organization) memutuskan untuk merancang sebuah konvensi Internasional mengenai sejumlah masalah yang menyangkut diskriminasi dalam bidang pendidikan. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 22 Mei 1962. Konvensi ini melarang diskriminasi pendidikan berdasarkan sejumlah alasan. Konvensi menyerukan kepada negara-negara peserta untk menghapuskan diskriminasi dalam berbagai fase pendidikan; administrasi sekolah; penerimaan

(37)

murid; bantuan keuangan; bantuan publik; fasilitas dan kualifikasi guru. Tujuannya adalah kesetaraan kesempatan serta perlakuan dan Negara diminta untuk mengambil semua langkah yang sesuai untuk mencapai tujuan.

15. Pada tahun 1975, Deklarasi Meksiko disetujui oleh Konferensi Dunia Tahun Perempuan Internasional (World Conference of the Internasional Women’s Year), suatu konferensi penting pertama di tingkat internasional yang membahas masalah-masalah perempuan. Konferensi tersebut diselenggarakan di Meksiko City pada tanggal 19 Juni – 2 Juli 1975. Deklarasi Meksiko menggariskan hubungan antara status perempuan dan sistem politik dan ekonomi internasional. Ia menekankan kebutuhan untuk menerapkan Tata Ekonomi Internasional Baru dan juga merujuk pada kebutuhan akan kerja sama internasional guna menghapuskan kolonialisme, pendudukan oleh bangsa asing, apartheid dan zionisme. Sejak tahun 1975 upaya untuk merumuskan hak perempuan dalam Konvensi terus berlanjut sampai dengan tahun 1981 mulai berlakunya CEDAW.

Upaya untuk mengefektifkan konvensi tak luput dari upaya panjang pula. Upaya perkembangan hukum internasional tersebut merupakan bagian dari upaya gerakan perempuan di seluruh belahan dunia. Advokasi di hukum internasional salah satu bidang, yang masih akan dikembangkan sesuai dengan situasi yang terjadi seluruh negara. Oleh karena itu, gerakan perempuan di seluruh dunia sebenarnya sangat berhubungan dengan gerakan hukum internasional. Upaya yang terus menerus mewarnai hukum internasional oleh gerakan perempuan misalnya dengan terbentuknya International Criminal Court

(ICC) Pada tanggal 17 Juli, 1998 Statuta Roma, dan berdirinya pada Juni 2002. Dalam konteks perempuan, ICC merupakan puncak kedua pelegitimasian di tingkat hukum

(38)

internasional yang kemudian sangat strategis dalam konteks hak perempuan karena : Pencantuman pertama kalinya secara eksplisit bahwa kejahatan dalam bentuk serangan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Bentuknya;

a. Perkosaan;

b. Perbudakan seksual;

c. Prostitusi yang dipaksakan; d. Kehamilan yang dipaksakan; e. Sterilisasi;

f. Bentuk-bentuk lainnya yang punya bobot setara.

Sebelumnya, dalam Konvensi Jenewa , kekerasan seksual memang dinyatakan satu perbuatan yang tidak seharusnya. Disebutkan dalam Konvensi tersebut bahwa perempuan harus dilindungi dari serangan terhadap kehormatannya dalam bentuk perkosaan, prostitusi paksa dan bentuk lainnya. Namun tidak ada kewajiban investigasi jika bentuk itu terjadi. Artinya tidak ada perlindungan lebih lanjut terhadap korban jika perempuan mengalami kekerasan seksual pada saat perang. Hal ini sangat berhubungan dengan Deklarasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Pengintegrasian perspektif gender dalam seluruh institusi peradilan internasional :

a. Komposisi hakim; b. Komposisi jaksa;

c. Proses penanganan : unit perlindungan saksi dan korban.

Pelibatan NGO dimungkinkan dalam menyampaikan laporan adanya kejahatan, dan sebagai badan dalam ICC. Di masa mendatang dapat dipastikan bahwa gerakan perempuan

(39)

di tingkat internasional tidak akan berhenti, seiring dengan penguatan gerakan perempuan di tingkat lokal.

II.3. Pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan sejak tahun 1984 melalui UU No. 7 tahun 1984. Peratifikasian tersebut diikuti dengan reservasi terhadap pasal 29 Konvensi. Ratifikasi tersebut tentu berakibat pada terikatnya Indonesia terhadap kewajiban sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi yaitu mengadosi seluruh strategi Konvensi, melaksanakan Rekomendasi Komite, dan terlibat secara terus menerus terhadap berbagai perkembangan dan keputusan internasional yang berhubungan dengan perempuan (seperti Beijing Plat form for Action, hasil-hasil konferensi internasional tentang kependudukan, kesehatan reproduksi, kekerasan terhadap perempuan dan sebagainya). Apakah pemerintah telah melaksanakan kewajibannya ? Ada dua periode yang menarik untuk dicermati dalam rangka pelaksanaan Konvensi. Periode pertama adalah sejak diratifikasi Konvensi Perempuan dalam UU No. 7 tahun 1984 sampai dengan tahun 1997 (sebelum kejatuhan rezim Suharto).

a. Periode 1984 - Kejatuhan Soeharto

Pada periode ini, di tingkat kebijakan, ada tiga peraturan yang dibentuk sebagai turunan dari pasal 11 Konvensi Perempuan, yang berkenaan dengan hak perempuan pekerja. Bentuk peraturan tersebut adalah Kepmen dan Permen. Dalam GBHN tahun 1983, GBHN 1988 dan GBHN 1993 juga dicantumkan bahwa perempuan memiliki peran di wilayah publik (peran ganda). Dalam bidang kelembagaan, dibangun Pusat Studi Wanita di

(40)

berbagai perguruan tinggi negeri. Pemerintah juga membangun Kementrian yang mengurus persoalan perempuan (Kementrian Urusan Peranan Wanita). Namun, upaya-upaya ini sifatnya lebih pada artifisial yang isinya tetap melanggengkan steriotip peran domestik perempuan dan laki-laki. Dalam praktek budaya di pemerintahan dan di dalam masyarakat, wacana perempuan sebagai makhluk domestik masih sangat kuat, meskipun di sisi lain ada pergeseran. Hanya pergeseran tersebut karena adanya kepentingan ekonomi yang kuat (misalnya untuk masalah Tenaga Kerja Wanita, dimana perempuan sudah melewati peran domestiknya untuk bekerja di negeri asing). Hal ini juga dapat dilihat dengan adanya penguatan peran PKK dan Dharmawanita (ideology ibuisme). Artinya perempuan masih dipakai sebagai alat untuk kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik negara yang tujuannya bukan untuk perbaikan situasi perempuan. Persoalan kekerasan terhadap perempuan belum mendapat porsi yang penting dalam program kementrian urusan peranan wanita. Kekerasan masih dianggap sebagai masalah individu yang sifatnya kasuistik.

b. Orde Reformasi

Pada kejatuhan rezim Suharto ada beberapa perkembangan menarik di level pemerintahan dan hukum. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dibentuk berdasarkan Keppres tahun 1998 oleh Presiden Habibie. Pemerintah untuk pertama kalinya terbuka mengundang Pelapor Khusus (Special Raporter) PBB Kekerasan terhadap Perempuan untuk melakukan investigasi atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang diindikasikan masih terjadi pada saat kerusuhan Mei, di Aceh dan Ambon. Meskipun pemerintah kemudian pada sidang PBB ECOSOC tahun 1999 menolak hasil investigasi Pelapor Khusus tersebut, pada kenyataannya ada rekomendasi yang dilakukan oleh

(41)

pemerintah Indonesia misalnya, mendukung terbentuknya fasilitas bagi para korban kekerasan (seperti Ruang Pelayanan Khusus di kepolisian yang secara spesifik menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, Pusat Krisis Terpadu dll).

Di samping itu, adanya inisiasi pemerintah untuk menyusun Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RANPKTP) yang kemudian disahkan pada Nopember 2000. Di dalam GBHN mulai ada perubahan paradigma tentang peran perempuan yang lebih pada pemberdayaan perempuan. Ada perubahan nama di kementrian UPW menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan merupakan turunan perubahan dari GBHN. Dharma wanita dibubarkan. Selain itu turunannya tercermin pada disahkan pula PROPERNAS dalam bentuk UU yang salah satu poinnya adalah program yang lebih komperhensif untuk meningkatkan hak perempuan. Dilansirnya pula program Pengarusutamaan Jender yang dikukuhkan dalam Keppres. Sampai saat ini mulai pula disusun program Rencana Aksi Nasional untuk penghapusan Perdagangan Perempuan dan Eksploitasi Pelacuran. Di samping itu di tingkat MA ada Surat Edaran MA agar hakim memberikan perhatian terhadap kasus-kasus perkosaan, diikuti dengan mulai dilaksanakannya rekruitmen hakim yang memberikan perhatian pada keseimbangan jender. Diterima RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh jaringan Perempuan sebagai usulan yang akan diajukan oleh DPR merupakan perkembangan yang positif. Pembahasan RUU Perlindungan Buruh Migran juga merupakan indikasi yang baik untuk jaminan perlindungan TKW/Buruh Migran. Melihat beberapa kegiatan di atas, maka secara sekilas, tampaknya negara telah mulai telah melakukan berbagai langkah-langkah sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Hanya saja, jika disoroti lebih dalam, maka langkah-langkah tersebut

(42)

belum berpengaruh secara langsung terhadap situasi dan kehidupan perempuan yang sarat dengan diskriminasi dan budaya patriarki. Dalam perkembangan terakhir misalnya, hak ekonomi, hak perempuan untuk bekerja—sangat terasa tidak dapat diakses oleh kaum perempuan. Tidak adanya perlindungan hukum yang memadai untuk para buruh migran di luar negeri, khususnya di Arab Saudi dan dalam situasi terakhir di Malaysia dapat dilihat sebagai contoh yang menarik bagaimana pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap perempuan.

Di samping itu, buruh perempuan di sektor produksi padat karya semakin rentan PHK, sehubungan dengan sektor proses produksi yang padat karya yang dianggap tidak trend dan tidak efektif lagi (Kompas, Agustus 2002). Kemunculan UU No. 23 tahun 2002 tentang Ketenagakerjaan, misalnya, patut menjadi perhatian yang mendalam pula dalam konteks hak pekerja perempuan. UU ini mereduksi pelaksanaan Konvensi Perempuan mengingat prinsip yang digunakan adalah prinsip kesamaan (bertentangan dengan pasal 4 Konvensi Perempuan) yang akan melegitimasi tidak diberikannya hak-hak khusus untuk perempuan karena reproduksi sosial dan biologisnya. Disamping itu secara jelas UU tersebut mengubah pola hubungan buruh/pekerja dengan pengusaha yang tidak permanen sifatnya. Hal ini akan berdampak pada rasa tidak amannya pekerja/buruh dari kehilangan kerja. Bersamaan dengan diberlakukannya UU tersebut akan diberlakukan pula RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (RUU PPHI). RUU PPHI akan mengubah pola penyelesaian perselisihan perburuhan, dengan pengadaan secara spesifik peradilan perburuhan. Di samping itu akan mengubah pola hubungan yang selama ini dianggap hubungan publik-privat, menjadi hubungan privat semata (privatisasi hubungan kerja). RUU ini dalam konteks buruh perempuan yang secara sosial dan politik belum berdaya,

(43)

lemahnya standar perburuhan, sistem peradilan yang korup dan bias kelas, dan kuatnya budaya patriarki maka hubungan privat ini akan membuat posisi buruh perempuan semakin tidak berdaya berhadapan dengan pengusaha.

Dalam kaitannya penegakan HAM dan keadilan hukum terhadap perempuan, maka tampaknya perempuan korban kekerasan, khususnya pelanggaran HAM berat masih sulit menikmati haknya. Pada 14 Februari 2002 Peradilan HAM di Indonesia untuk Pelanggaran Berat yang terjadi di Timor Timur mulai digelar sampai sekarang. Ada 12 perkara yang akan disidangkan, namun tidak satupun kasus perkosaan para perempuan Timor-Timur di sidangkan. 16 Hal ini berbeda dangan hasil penyelidikan dari TGPF dan Special Raportour

PBB untuk Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dimana laporannya disebutkan telah dicantumkan terjadinya kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan disana. Banyak kasus pelanggaran HAM masa lampau yang sepertinya tidak akan diselesaikan seperti Kasus Perkosaan dalam Kerusuhan Mei, Pembunuhan dan Kekerasan Seksual yang dialami oleh Marsinah, perempuan korban kekerasan seksual (Iugun Ianfu) yang sampai saat ini belum mendapat keadilan. Sampai sekarang tidak adanya permohonan maaf dari negara Jepang terhadap para Iugun Ianfu sementara dana-dana kompensasi yang diperuntukkan kepada mereka lewat pemerintah tidak pernah sampai dan dinikmati mereka. Meskipun saat ini di tingkat KOMNAS HAM telah dibentuk berbagai KPP sebagai pelaksaan UU Peradilan HAM dan akan digelar peradilan HAM berat untuk kasus Tanjung Priok, kelihatannya dalam konteks politik, kasus tersebut akan tetap tidak memberi rasa keadilan terhadap masyarakat mauapun perempuan. Negara juga tidak mendukung terbentuknya Peradilan Pidana Internasional yang merupakan terobosan hukum bagi pelanggaran berat HAM, dan

16

(44)

menjadi satu alternatif untuk mencapai keadilan bagi korban, khususnya korban perempuan—sebagaimana perkosaan diakui sebagai bagian dari pelanggaran HAM berat. Sampai saat ini negara juga belum meratifikasi Optional Protocol CEDAW. Di samping masalah-masalah yang berkembang, peraturan yang sudah diidentifikasi diskriminatif sejak lama, pun belum berubah. Misalnya, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, KUHAP yang berkaitan dengan sistem pembuktian, dan UU Kewarganegaraan. UU ini semakin telah dianalisis sangat berpotensi untuk sebagai pelanggaran hak-hak perempuan, di samping sebagai legitimasi bagi banyak pihak melakukan kekerasan terhadap perempuan, baik secara fisik, ekonomi, psikis, sosial dan seksual.

Hal yang sangat krusial dalam pelaksanaan Konvensi Perempuan adalah upaya pengubahan budaya patriarki—hal mana merupakan konsern utama dari Konvensi Perempuan. Budaya ini akan semakin kukuh dengan tidak diubahnya peraturan yang diskriminatif dan sikap pejabat pemerintah yang secara terang-terangan melegalkan posisi perempuan yang subordinat di depan publik (poligami secara terbuka oleh pejabat negara). Pengetahuan pemerintah pada umumnya di berbagai level yang tidak memadai terhadap situasi perempuan di Indonesia masih menjadi kendala besar dalam menyusun program yang lebih jitu untuk perempuan. Hal ini tercermin dalam ungkapan dari pejabat tinggi tidak mendukung adanya quota partisipasi perempuan dalam bidang politik dan pemerintahan. Hal yang sama tercermin pula dalam penyusunan anggaran pemerintah (baik di tingkat pusat dan daerah). Menguatnya fundamentalisme di beberapa wilayah yang didukung oleh penguasa setempat juga semakin menyulitkan proses perubahan budaya yang lebih demokratis dan non diskriminatif. Melihat hal tersebut, patut disadari,

(45)

pelaksanaan Konvensi Perempuan di Indonesia masih belum memadai setelah hampir seperempat abad Konvensi tersebut diratifikasi. Meskipun ada langkah-langkah yang mulai dilakukan oleh pemerintah, namun langkah-langkah tersebut belum bersinergi dengan prakteknya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah patut dihargai, namun tetap harus dikritisi. Kecendrungan pelaksanaan hak-hak perempuan yang ‘menspesifikkan persoalan perempuan’ sangat penting. Hal tersebut perlu didukung dengan pembenahan arus politik dan ekonomi makro, jika arus ini tidak disentuh tidak akan mengubah posisi perempuan. Keengganan menyoroti budaya patriarki secara mendalam dan mentolerir subordinasi yang dilakukan oleh para penegak dan aparatur pemerintahan akan membuat posisi perempuan semakin rentan. Artinya hak-hak yang telah diakui di dalam Konvensi Perempuan tidak dapat diakses oleh perempuan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari kasus sengketa tanah yang sampai ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan nomor perkara 72/G.TUN/2005/PTUN-MDN tersebut gugatan datang dari

Penelitian ini berjudul Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Mengubah Dan Menetapkan Undang-Undang Dasar Setelah Perubahan Undang- Undang Dasar Negara

Pada tugas akhir ini yang dibahas adalah bagaimana menerapkan metode goal programming untuk membuat model penentuan rute dengan kendala-kendala yang dimiliki perusahaan

Multimedia merupakan media periklanan yang unik dan sangat kuat karena mengandung elemen penglihatan, video dan suara yang dapat dikombinasikan dengan strategi

Dengan menggunakan metode Penelitian dan Pengembangan (research & development), pada penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu produk baru atau

Dari dua puluh kesalahan yang dikemukakan oleh Darsel diatas maka kesalahan yang masih sering dilakukan oleh kepala dalam melaksanakan supervisi kepada guru

Bank Negara Indonesia (BBNI) memproyeksikan target pertumbuhan kredit pada tahun 2016 akan mencapai di kisaran 15%-17% atau lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan industri yang

Peserta wajib mentaati perintah/peraturan tentang pelaksanaan ujian wawancara yang akan diberikan menjelang dan selama ujian berlangsung. (Bagi