• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSAN PRAPERADILAN DALAM PERKARA SETYA NOVANTO (Studi Putusan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PUTUSAN PRAPERADILAN DALAM PERKARA SETYA NOVANTO (Studi Putusan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PUTUSAN PRAPERADILAN DALAM PERKARA SETYA NOVANTO

(Studi Putusan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.)

(Jurnal Skripsi)

Oleh

REGA REYHANSYAH

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PUTUSAN PRAPERADILAN DALAM PERKARA SETYA NOVANTO

(Studi Putusan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.)

Oleh

Rega Reyhansyah, Tri Andrisman, Rini Fathonah Email: regaspandalaz@ymail.com.

Praperadilan merupakan wewenang tambahan Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan lain-lain) yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 terdapat perluasan objek praperadilan yaitu pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah pertimbangan hukum hakim mengabulkan permohonan praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.? (2) Apakah putusan praperadilan dalam perkara Setya Novanto sudah memenuhi rasa keadilan? Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Narasumber penelitian adalah Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Pertimbangan hukum hakim mengabulkan permohonan praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. adalah adanya cacat hukum dan tidak terdapat cukup 2 (dua) alat bukti yang sah yang dapat menetapkan Pemohon sebagai Tersangka. Penetapan yang dilakukan oleh Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tidak didasarkan kepada prosedur dan tata cara ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP dan Standar Operasional Prosedur Komisi Pemberntasan Korupsi. Selain itu hakim praperadilan mendasarkan putusan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memberikan perluasan objek praperadilan dengan menambahkan petetapan tersangka sebagai objek praperadilan. (2) Putusan praperadilan terhadap perkara Setya Novanto dalam kasus tindak pidana KTP elektronik tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang seharusnya penanganan perkaranya dilakukan secara luar biasa pula, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut, seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan, sehingga tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat yang mengharapkan pemberantasan korupsi.

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF PRETRIAL DECISION ON SETYA NOVANTO CASE (Study of Decision Number: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.)

By

REGA REYHANSYAH

The Pretrial Court is an adjunct authority of the District Court to examine cases relating to the use of forcible means of arrest, detention, search, seizure, etc.) by investigators and prosecutors. According to the Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XII/2014 there is an extension of pretrial object, namely the validity of the suspect's determination. The problems in this research are: (1) What is the legal consideration of the judge to grant pre-trial application in Pretrial Decision Number: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.? (2) Is the pretrial decision on SetyaNovanto case fulfilling the sense of justice? The research approach used is normative juridical approach and empirical juridical approach. The research subjects are the Pretrial Judge at the South Jakarta District Court and the Lecturer of the Criminal Law Division of Faculty of Law Unila. Data collection was done by literature study and field study, then analyzed qualitatively. The results of the study and discussion show: (1) Judge legal considerations granting pre-trial application in Pretrial Decision Number: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. is a defect of the law and there are not enough 2 (two) legal evidences that may determine the Petitioner as a Suspect. The determination made by the Respondent to determine the Petitioner as a Suspect is not based on the procedures and procedures of Law Number 30 of 2002 on Corruption Eradication Commission, Criminal Procedure Code and Operational Standard of Corruption Commission Procedure. In addition, the pretrial judge based the decision on the Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XII/2014 which provides an extension of pretrial objects by adding suspect accusations as objects of pretrial. (2) The pretrial ruling on the Setya Novanto case in the case of the criminal act of electronic ID card does not fulfill the sense of community justice because corruption crime is an extraordinary crime that should be handled in an extraordinary way, and the parties involved either directly or not directly in the occurrence or facilitate the implementation of the crime, should be punished in accordance with the weight or lightness of the mistakes made, so as not to conflict with the sense of justice of society who expects eradication of corruption.

(4)

I. PENDAHULUAN

Praperadilan merupakan wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang: sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Praperadilan sebagai lembaga yang lahir bersamaan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Praperadilan bukan lembaga peradilan yang mandiri atau berdiri sendiri terlepas dari pengadilan negeri, karena dari perumusan Pasal 1 butir 10 Jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada pengadilan negeri (hanya kepada pengadilan negeri).1

Praperadilan merupakan upaya yang diatur KUHAP untuk menjamin agar perlindungan akan hak asasi manusia, ketidakpastian hukum dan keadilan dapat terlaksana sebagaimana yang dicita-citakan. Praperadilan sebagai pemberian wewenang tambahan kepada

1Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan Ruang

Lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, hlm.3.

pengadilan negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan lain-lain) yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.2

Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang praperadilan adalah hakim tunggal, sebagaimana ditegaskan Pasal 78 Ayat (2) KUHAP, yaitu Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera. KUHAP tidak menjelaskan lebih lanjut alasan praperadilan dipimpin hakim tunggal, hal ini berkaitan dengan prinsip pemeriksaan dengan acara cepat yang mengharuskan pemeriksaan praperadilan selesai dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari dan bentuk putusan praperadilan yang sederhana. Hal ini bisa diwujudkan jika diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa praperadilan dilakukan dengan acara cepat mulai dari penunjukan hakim, penetapan hari sidang, pemanggilan para pihak dan pemeriksaan sidang guna dapat menjatuhkan putusan selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari. Bertitik tolak dari prinsip acara pemeriksaan cepat, bentuk putusan praperadilan pun sudah selayaknya menyesuaikan diri dengan sifat proses tadi. Oleh karena itu, bentuk putusan praperadilan cukup sederhana tanpa mengurangi isi pertimbangan yang jelas

2 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang,

Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu

(5)

berdasar hukum dan undang-undang. Namun, jangan sampai sifat kesederhanaan bentuk putusan menghilangkan penyusunan pertimbangan yang jelas dan memadai. Sifat kesederhanaan bentuk putusan praperadilan tidak boleh mengurangi dasar alasan pertimbangan yang utuh dan menyeluruh. Maknanya adalah sifat proses praperadilan yang dilakukan dengan pemeriksaan cepat dan bentuk putusannya yang sederhana inilah yang menjadi alasan kenapa hakim praperadilan adalah hakim tunggal. Objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP terdiri dari dua hal yaitu:

1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

2) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Perkembangan hukum selanjutnya Mahkamah Konstitusi telah memperluas objek praperadilan yang tidakhanya sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP saja, karena pada tanggal 28 April 2015, dalam putusannya Nomor: 21/PUU-XII/2014 memutuskan salah satunya bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak termasuk penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan. Artinya, setelah putuan Mahkamah Konstitusi tersebut, pengujian sah tidaknya penetapan tersangka menjadi objek praperadilan.

Isu hukum dalam penelitian ini adalah adanya pro dan kontra terkait perluasan objek praperadilan mengenai pengujian sah tidaknya penetapan tersangka. Ada

pihak mendukung dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan suatu kemajuan dalam hukum acara pidana yang semakin melindungi hak asasi manusia. Ada juga pihak yang tidak sependapat dengan alasan bahwa hal tersebut sudah melanggar prinsip legalitas, di mana seharusnya hanya yang tertera di dalam KUHAP saja lah, yang diatur sebagai objek praperadilan, yang bisa diajukan ke acara praperadilan. Sedangkan sah tidaknya penetapan tersangka tidak masuk ke dalam objek yang dapat diajukan ke praperadilan dalam KUHAP. Permohonan praperadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka bermula ketika Hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saat itu, salah satu permohonan praperadilan yang diajukan dan diterima adalah mengenai sah tidaknya penetapan tersangka yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Budi Gunawan. Putusan Hakim Sarpin ini bukan merupakan putusan pertama yang mengabulkan permohonan praperadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka. Setidaknya, ada 1 (satu) putusan sebelum putusan Hakim Sarpin yang mengabulkan permohonan tersebut, yaitu putusan Hakim Suko Harsono dalam perkara praperadilan dengan Pemohon Bachtiar Abdul Fatah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.3

Permohonan pengujian sah tidaknya penetapan tersangka pada lembaga praperadilan kemudian berlanjut dan dalam beberapa putusan praperadilan

3

(6)

atas pengujian sah tidaknya penetapan tersangka, hakim tidak menerima pengujian penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Salah satunya Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. Pemohon dalam perkara ini adalah Setya Novanto melalui Tim Kuasa hukumnya, melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku Termohon, yang menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka tindak pidana korupsi Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011 s/d 2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

Hakim yang menangani perkara ini telah menjatuhkan putusan praperadilan dalam eksepsi yaitu menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya dan dalam dalam pokok perkara:

1. Mengabulkan Permohonan Praperadilan Pemohon untuk sebagian;

2. Menyatakan penetapan Tersangka terhadap Setya Novanto (Pemohon) yang dikeluarkan oleh Termohon berdasarkan Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017, dinyatakan tidak sah;

3. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto (Pemohon) berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017; Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara kepada negara sebesar nihil. 4

4 Putusan Praperadilan Nomor:

97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel

Permasalahan penelitian ini adalah: 1. Apakah pertimbangan hukum hakim

mengabulkan permohonan praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.?

2. Apakah putusan praperadilan dalam perkara Setya Novanto sudah memenuhi rasa keadilan?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

II.PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Praperadilan pada Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/ 2017/PN.Jkt.Sel.

Praperadilan menurut Pasal 1 Angka 10 KUHAP adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang: sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

(7)

penghentian penuntutan; serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Objek praperadilan mengalami perluasan tidak hanya sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP saja, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, yang di antaranya memutuskan bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak termasuk penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan. Artinya, setelah putuan Mahkamah Konstitusi tersebut, pengujian sah tidaknya penetapan tersangka menjadi objek praperadilan yang dapat dimohonkan kepada hakim Praperadilan.

Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang praperadilan adalah hakim tunggal, sebagaimana ditegaskan Pasal 78 Ayat (2) KUHAP, yaitu Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera.Praperadilan diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal karena pada dasarnya praperadilan diperiksa dan diputus berdasarkan acara pemeriksaan cepat dan ini berkaitan juga dengan bentuk putusan praperadilan yang sederhana. Sifat proses praperadilan yang dilakukan dengan pemeriksaan cepat inilah yang menjadi alasan hakim praperadilan adalah hakim tunggal. Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. diajukan oleh Pemohon Setya Novanto melalui Tim Kuasa hukumnya, melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku Termohon, yang menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka tindak pidana

korupsi Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011 s/d 2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

Pemohon dalam perkara ini memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan C.q. Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili Permohonan Praperadilan a quo berkenan menjatuhkan putusan dengan amar putusan:

1. Mengabulkan Permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan batal/batal demi hukum dan tidak sah penetapan Tersangka terhadap Setya Novanto (Pemohon) yang dikeluarkan oleh Termohon berdasarkan Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017, Perihal: Pemberitahuan Dimulainya Penyidikandengan segala akibat hukumnya;

3. Memerintahkan Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto (Pemohon) berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017; 4. Memerintahkan Termohon untuk

mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto (PEMOHON) sejak Putusan dalam perkara ini diucapkan dalam hal dilakukan pencekalan terhadap Setya Novanto (Pemohon);

(8)

6. Menyatakan batal dan tidak sah segala Penetapan yang telah dikeluarkan oleh Termohon terhadap Setya Novanto (Pemohon);

7. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara praperadilan a quo.

Pertimbangan hukum hakim dalam mengabulkan permohonan Praperadilan pada Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/ PN.Jkt.Sel. adalah alat bukti yang dijadikan sebagai dasar penetapan tersangka, setelah dipelajari dan diteliti tidak disertai dengan berita acara penyitaan, yang tidak sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan:

(1) Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya

(2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini

(3) Penyidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang sekurang-kurangnya memuat:

c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut

d. Tanda tangan dan identitas penyidk yang melakukan penyitaan, dan

e. Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut

(4) Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) disampaikan kepada tersangka atau keluarganya

Cepi Iskandar5 menyatakan bahwa

dalam perkara a quo, Termohon dalam cara memperoleh bukti-bukti tersebut disamping prosesnya harus sesuai prosedur juga harus berdasarkan ketentuan undang-undang, sehingga seluruh tindakan yang dilakukan Termohon, khusus dalam perkara a quo

dalam memperoleh buktibukti tersebut dengan cara yang sah, artinya dalam perkara a quo khusus untuk penyitaan perolehan bukti harus dengan Sprindik No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 bukan Sprindik untuk perkara orang lain dan dalam perkara a quo perolehan bukti penyitaan harus melalui proses penyidikan bukan proses penyelidikan karena dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berhak melakukan penyitaan sesuai pasal tersebut di atas adalah penyidik.

Berdasarkan bukti-bukti tersebut, setelah diteliti dan dipelajari bahwa Termohon dalam perkara a quo telah melakukan tindakan-tindakan penyitaan berdasarkan sprindik-sprindik atas nama Ir. Sugiharto, Irman dan Andi Narogong,

5Hasil Wawancara dengan Cepi Iskandar, Hakim

(9)

sedangkan dalam perkara a quo Surat Perintah Penyidikan baru dikeluarkan berdasarkan bukti T-24 Surat Perintah Penyitaan Nomor: Sprin.Sita-58/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017, artinya Termohon dalam perkara a quo

baru mempunyai kewenangan melakukan tindakan-tindakan penyitaansetelah tanggal 17 Juli 2017, sehingga menurut Hakim Praperadilan penyitaan-penyitaan yang dilakukan oleh Termohon harus dilakukan dalam tahap penyidikan, karena sesuai dalam ketentuan Pasal 47 Ayat (1) bahwa atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya, (2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini, (3) Penyidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang sekurang-kurangnya memuat: a) nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita, (b) Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukannya penyitaan, (c) Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau beda berharga lain tersebut, (d) Tanda tangan dan identitas penyidk yang melakukan penyitaan, dan (e) Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut, (4) Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) disampaikan kepada tersangka atau keluarganya;

Cepi Iskandar6 berpendapat bahwa apa

yang telah dilakukan oleh Termohon dalam perkara a quo dalam melakukan tindakan-tindakan di luar tata cara dan prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hakim Praperadilan memahami maksud Termohon bahwa dalam rangka upaya melakukan pemberantasan korupsi, Termohon harus melakukan pemberantasan sampai ke akar-akarnya, apabila telah terjadi tindak pidana korupsi KPK sebagai lembaga yang independent harus dapat mencari sampai ke aktor intelektualnya, demikian pula dalam perkara a quo Termohon harus mencari sampai aktor intelektualnya didapatkan, namun demikian dalam upaya pemberantasan korupsi Termohon tidak boleh lupa telah diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas

Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

6Hasil Wawancara dengan Cepi Iskandar, Hakim

(10)

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban KPK.

Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas bahwa Sprindik No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 hanya berlaku untuk Pemohon, demikian pula Sprindik yang digunakan dalam perkara Nomor Sprin.Lidik-53/07/2013 tanggal 26 Juli 2013, Nomor: Sprin.Dik-20/01/03/2017 Tanggal 21 Maret 2017 (Andi Agustinus als Andi Narogong), Nota Dinas Nomor: ND-147/24/JPU/03/2017 tanggal 31 Maret 2017 perihal Laporan Perkembangan Hasil Persidangan Perkara Tindak Pidana Korupsi atas nama Terdakwa Irman dan Sugiharto, Nota Dinas Nomor: ND-151/24/JPU/04/2017 tanggal 4 April 2017 perihal Laporan Perkembangan Hasil Persidangan Perkara Tindak Pidana Korupsi a/n Terdakwa Irman dan Sugiharto, Nota Dinas Nomor: ND-249/24/JPU/06/2017 tanggal 15 Juni 2017 perihal Laporan Perkembangan Hasil Persidangan Perkara Tindak Pidana a/n Terdakwa Irman dan

Sugiharto, Nota Dinas Nomor: ND-261/24/JPU/06/2017 tanggal 20 Juni 2017 perihal Laporan Perkembangan Hasil Persidangan Perkara Tindak Pidana atas nama Terdakwa Irman dan Sugiharto;

Setiap Perintah Penyelidikan, Surat Perintah Penyidikan, Nota Dinas, Laporan Perkembangan Hasil Persidangan Perkara Tindak Pidana Korupsi menurut Hakim Praperadilan harus sesuai dengan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2013, yaitu antara lain adanya prosedur-prosedur Kemudahan dan kejelasan, Efisiensi dan efektivitas, Keselarasan, Keterukuran, Dinamis, Berorientasi pada pengguna (mereka yang dilayani), Kepatuhan hukum dan Kepastian hukum. Dengan demikian maka menjadi tidak sesuai dengan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan seperti tersebut di atas manakala ada Sprindik orang lain digunakan untuk perkara orang lain, demikian halnya dalam perkara a quo

Sprindik No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 harus digunakan untuk perkara Pemohon tidak boleh digunakan untuk perkara orang lain, demikian pula sebaliknya, Sprindik orang lain tidak dapat digunakan dalam perkara a quo

(Pemohon) karena akan terjadi ketidakjelasan (inefisiensi) dan tidak efektif, tidak selaras, tidak terukur, dan tidak adanya kepastian hukum.

Cepi Iskandar7 berpendapat bahwa upaya pemberantasan korupsi bukan

7Hasil Wawancara dengan Cepi Iskandar, Hakim

(11)

berarti tidak boleh mencari alat-alat bukti yang diperoleh dari alat-alat bukti lain yang perkaranya melibatkan beberapa orang, tidak boleh digunakan dalam perkara a quo, akan tetapi Termohon harus berpedoman pada prosedur dan tatacara yang benar sesuai dengan amanat undang-undang tersebut dan di dalam perkara a quo sebagaimana telah dipertimbangkan di atas di antaranya adanya tindakan-tindakan dari Termohon yang akan mengambil bukti-bukti dalam perkara yang dilakukan secara bersama-sama (delik penyertaan), menurut Hakim Praperadilan tidak boleh diambil langsung menjadi bukti dalam perkara a quo, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan prosedur, dalam perkara a quo, apabila Termohon akan melakukan upaya paksa penyitaan harus dalam tahap penyidikan bukan dalam tahap penyelidikan dan prosedur lainnya yang harus ditempuh seperti dalam perkara a quo tahap penyidikan memeriksa ulang saksi-saksi, melakukan penyitaan, mencari dokumen yang mengambil dari perkara orang lain dalam delik penyertaan, tidak boleh langsung diambil-alih.

Penetapan yang dilakukan oleh Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tidak di dasarkan kepada prosedur dan tata cara ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP dan SOP KPK, maka penetapan Pemohon (Setya Novanto) sebagai Tersangka adalah tidak sah. Selanjutnya hakim praperadilan menimbang bahwa petitum No. 2 yang menyatakan batal/batal demi hukum dan tidak sah penetapan Tersangka terhadap Setya Novanto (Pemohon) yang dikeluarkan oleh

Termohon berdasarkan Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017, Perihal: Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dengan segala akibat hukumnya, oleh karena beralasan hukum maka patut untuk dikabulkan dengan perubahan redaksi. Petitum No. 3 Memerintahkan Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto (Pemohon) berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017. Menimbang bahwa dalam petitum no. 3 ini dikabulkan/tidaknya didasarkan kepada petitum no. 2, oleh karena petitum no. 2 dikabulkan maka petitum 3 beralasan hukum untuk dikabulkan;

Menimbang bahwa dalam petitum no. 4 Memerintahkan Termohon untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto (Pemohon) sejak Putusan dalam perkara ini diucapkan dalam hal dilakukan pencekalan terhadap Setya Novanto (Pemohon). Dalam petitum no. 4 ini, kewenangan untuk memerintahkan Termohon untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto (Pemohon) sejak Putusan dalam perkara ini diucapkan dalam hal dilakukan pencekalan terhadap Setya Novanto, menurut Hakim Praperadilan merupakan kewenangan administrasi dari pejabat administrasi yang mengeluarkan penetapan tersebut, oleh karena itu petitum no. 4 tidak dapat dikabulkan

(12)

karena Termohon belum melakukan upaya paksa maka petitum dalam no. 5 tersebut tidak beralasan hukum harus ditolak. Dalam petitum no. 6 menyatakan batal dan tidak sah segala Penetapan yang telah dikeluarkan oleh Termohon terhadap Setya Novanto (Pemohon). Selanjutnya petitum no. 6 adalah berlebihan karena dengan telah dinyatakan penetapan Pemohon (Setya Novanto) sebagai Tersangka tidak sah, maka dengan sendirinya segala penetapan yang telah dikeluarkan oleh Termohon terhadap Setya Novanto (Pemohon) tidak mempunyai kekuatan hukum. Petitum no. 7 Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara praperadilan a quo; Hakim menimbang, bahwa oleh karena Termohon di pihak yang kalah maka dihukum untuk membayar biaya perkara yaitu sebesar nihil;

Cepi Iskandar8 menyatakan bahwa mengingat dan memperhatikan ketentuan Undang-Undang No.08 Tahun 1981, Undang-Undang No.30 Tahun 2002, Putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, serta peraturan hukum lainnya yang berhubungan dengan perkara ini mengadli dalam eksepsi yaitu menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara yaitu mengabulkan Permohonan Praperadilan Pemohon untuk sebagian; menyatakan penetapan Tersangka terhadap Setya Novanto (Pemohon) yang dikeluarkan oleh Termohon berdasarkan

8Hasil Wawancara dengan Cepi Iskandar, Hakim

Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kamis 28 Desember 2017.

Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017, dinyatakan tidak sah dan memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto (Pemohon) berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No.Sprin.Dik-56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017 tersebut.

B. Putusan Praperadilan dalam Perkara Setya Novanto Ditinjau dari Aspek Keadilan Masyarakat

Hakim Praperadilan dalam Putusan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. Pemohon mengabulkan permohonan Setya Novanto yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tindak pidana korupsi Pengadaan Paket Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (KTP Elektronik) Tahun 2011 s/d 2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Sesuai dengen putusan tersebut maka penetapan Tersangka terhadap Setya Novanto (Pemohon) yang dikeluarkan oleh Termohon berdasarkan Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017 menjadi batal/batal demi hukum dan tidak sah.

(13)

tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh-sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat. Putusan praperadilan terhadap perkara Setya Novanto dalam kasus tindak pidana KTP elektronik bertolak belakang dengan semangat dan maksud Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000, karena dikabulkanya permohonan tersangka tersebut dapat menimbulkan pandangan negatif masyarakat terhadap proses penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya.9

9 Lilik Mulyadi.. Putusan Hakim dalam Hukum

Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik

Firganefi10 menyatakan bahwa peranan

hakim dalam menegakkan hukum, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan. Demi menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dalam pemeriksaan atas terdakwa, hakim senantiasa berpedoman pada sistem pembuktian yang digariskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Menilai kebenaran keterangan para saksi maupun terdakwa, hakim harus memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian keterangan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu, cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Penyusunan dan Permasalahannya,Citra Aditya Bakti, Bandung 2010., hlm. 155.

10Hasil Wawancara dengan Firganefi Dosen

(14)

III.PENUTUP

A.Simpulan

1. Pertimbangan hukum hakim mengabulkan permohonan praperadilan dalam Putusan Praperadilan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel. adalah adanya cacat hukum dan tidak terdapat cukup 2 (dua) alat bukti yang sah yang dapat menetapkan Pemohon sebagai Tersangka. Penetapan yang dilakukan oleh Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tidak didasarkan kepada prosedur dan tata cara ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP dan Standar Operasional Prosedur Komisi Pemberntasan Korupsi. Selain itu hakim praperadilan mendasarkan putusan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memberikan perluasan objek praperadilan dengan menambahkan petetapan tersangka sebagai objek praperadilan.

2. Putusan praperadilan terhadap perkara Setya Novanto dalam kasus tindak pidana KTP elektronik tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang seharusnya penanganan perkaranya dilakukan secara luar biasa pula, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut, seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang

dilakukan, sehingga tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat yang mengharapkan pemberantasan korupsi.

B. Saran

1. Hakim yang menangani tindak pidana korupsi di masa yang akan datang diharapkan untuk lebih konsisten mengemban amanat pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan cara lebih cermat dan tepat dalam menjatuhkan putusan terhadap pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Afiah, Ratna Nurul. 1986. Praperadilan

dan Ruang Lingkupnya,

Akademika Pressindo, Jakarta.

Lamintang, P.A.F. dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan

KUHAP Menurut Ilmu

Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta .

Mulyadi, Lilik. 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya,Citra Aditya Bakti, Bandung.

http://www.gagasannasional.com/pra- peradilan-atas-sah-tidaknya-penetapan-tersangka/.Diakses Jumat 27 Oktober 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan melakukan perancangan suatu program aplikasi yang dapat mengolah data-data percobaan pertanian menggunakan analisis ragam dan

Kajian ini bertujuan mengkaji (1) tahap penggunaan bahasa Arab lisan dalam kalangan pelajar UiTM, (2) hubungan korelasi antara penggunaan bahasa Arab lisan dengan

Meskipun tidak ada perbedaan pada performa pertumbuhan antara kolam dengan rasio Na/K ideal (kolam B) dengan rasio Na/K tinggi (kolam C), namun secara fisiologis

Penelitian ini dilakukan pada 6 Oktober hingga 12 Desember 2014 dengan tujuan mengetahui pengaruh faktor kualitas air terhadap tingkat infeksi WSSV pada udang vannamei

Gita Ardy Putri. “Analisis Trust, Website Quality dan Orientasi Belanja terhadap Minat Beli Online Shop pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pancasakti

Selain itu, ijazah kepada santri yang lulus tersebut tidak ditandai dengan selembar kertas seperti yang terjadi dalam pesantren modern, tetapi dicukupkan dengan

Artinya variabel daya tanggap (X4) terhadap kepuasan konsumen (Y) berpengaruh signifikan secara parsial, dan nilai signifikan sebesar 0,001 < taraf signifikansi 0,05

bertentangan untuk dapat mengetahui manakah di antara yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Sebagaimana diketahui, hadits sebagai hujjah bukan hanya