TENAGA GAS DAN UAP (PLTGU)
DI PERAIRAN PANTAI PEMARON, SINGARAJA-BALI
I PUTU MANDALA ARDHA KUSUMA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
I PUTU MANDALA ARDHA KUSUMA. Pemodelan Dispersi Termal Air Buangan (Cooling Water) Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) di Perairan Pantai Pemaron, Singaraja-Bali. Dibimbing oleh I WAYAN NURJAYA dan ALAN FRENDY KOROPITAN.
Suhu merupakan variabel yang paling penting untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan reproduksi organisme akuatik. Salah satu sumber pencemaran termal di laut berasal dari aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU). Sumber daya pesisir seperti ikan dan terumbu karang berpotensi menerima dampaknya.
Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2011 hingga Oktober 2011. Pemodelan berupa simulasi model dispersi termal berbasis hidrodinamika yang dicuplik berdasarkan kondisi ekstrim pasang surut, serta pengaruh angin musim di Indonesia. Input data model pola arus adalah batimetri, angin, pasang surut, selanjutnya untuk model sebaran termal menggunakan data ambient dan gradient suhu lingkungan. Data sebaran termal yang digunakan dalam pemodelan ini merupakan hasil survei lapang tim FPIK-IPB pada tahun 2005 terkait rencana pembangunan PLTGU di perairan pantai Pemaron, Singaraja-Bali.
Pada musim barat arus cenderung bergerak ke barat laut saat surut, dan ke tenggara saat pasang, dengan kisaran kecepatan antara 0,10-0,50 m/s. Pada musim timur arus cenderung bergerak ke barat saat surut, dan ke timur saat pasang, dengan kecepatan antar 0,05-0,10 m/s. Hasil pemodelan sebaran suhu air pendingin PLTGU Pemaron mengikuti pergerakan massa air laut dengan jarak sebaran maksimum pada kondisi pasang (flood). Sebaran maksimum sejauh 3,40 km musim barat dan 2,60 km musim timur ke arah timur laut dengan akibat menaikkan suhu perairan sekitar 0,25-0,50 0C di atas suhu alami. Suhu air
buangan panas ketika memasuki perairan sebesar 1,28 hingga 1,35 0C lebih tinggi dari suhu alami (29 0C). Suhu mulai terlihat mendekati suhu normal ketika
PEMODELAN DISPERSI TERMAL AIR BUANGAN
(
COOLING WATER
) PEMBANGKIT LISTRIK
TENAGA GAS DAN UAP (PLTGU)
DI PERAIRAN PANTAI PEMARON, SINGARAJA-BALI
I PUTU MANDALA ARDHA KUSUMA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul
PEMODELAN DISPERSI TERMAL AIR BUANGAN (COOLING WATER)
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA GAS DAN UAP (PLTGU) DI PERAIRAN PANTAI PEMARON, SINGARAJA-BALI
adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Januari 2012
© Hak cipta milik I Putu Mandala Ardha Kusuma, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Judul Skripsi : PEMODELAN DISPERSI TERMAL AIR
BUANGAN (COOLING WATER) PEMBANGKIT
LISTRIK TENAGA GAS DAN UAP (PLTGU)
DI PERAIRAN PANTAI PEMARON, SINGARAJA- BALI
Nama Mahasiswa : I Putu Mandala Ardha Kusuma
NIM : C54070007
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Dr. Alan Frendy Koropitan,S.Pi., M.Si NIP. 19640861 198903 1 001 NIP. 19751130 199903 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
Pemodelan Dispersi Termal Air Buangan (Cooling Water) Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) di Perairan Pantai Pemaron,
Singaraja-Bali.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya kepada:
1) Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc dan Dr. Alan Frendy Koropitan, S.Pi.,
M.Si selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, pengarahan, dan
motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2) Ir. Andri Purwandani yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi
dan menyelesaikan berbagai permasalahan dalam penelitian ini.
3) Dr. Ir. Nyoman Metta Nyanakumara Natih selaku dosen penguji tamu
yang banyak memberikan koreksi dan perbaikan agar penelitian ini
menjadi suatu karya yang baik.
4) Mama, Papa, Adik serta Raij Bastila atas kasih sayang, doa, dukungan,
nasehat, semangat, kesabaran dan bantuannya baik moril maupun materil.
5) Bang Santos, bang Oting, Krisdiantoro serta teman-teman ITK 44 yang
telah banyak membantu dalam penelitian ini.
Kesempurnaan skripsi ini tidak terlepas dari segala kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2012
iv
2.6. Regulasi Buangan Air Pendingin di Indonesia ... 9
2.7. Model Dispersi termal ... 10
3.4. Skenario Pemodelan Dispersi Termal ... 14
v
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48
5.1. Kesimpulan ... 48
5.2. Saran ... 49
DAFTAR PUSTAKA ... 50
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 ... 10
2. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ... 13
3. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ... 14
4. Waktu skenario berdasarkan angin musim dan kondisi ekstrim pasut ... 16
5. Skenario manning number model ... 22
6. Parameter lapangan dan numerik kasus PLTGU Pemaron ... 24
7. Komponen pasang surut bulan Januari 2005 ... 27
8. Komponen pasang suut bulan Juli 2005 ... 28
vii
1. Peta lokasi penelitian model dispersi termaldi perairan pantai
Pemaron, Singaraja-Bali ... 12
2. Diagram ali pemodelan dispersi termaldi perairan pantai Pemaron, Singaraja-Bali ... 15
3. Domain dasar pemodelan dispersi termaldi perairan pantai Pemaron, Singaraja-Bali ... 17
4. Kontur batimetri domain dasar pemodelan ... 19
5. Syarat batas terbuka domain dasar pemodelan ... 20
6. Lokasi pengukuran pasang surut di pelabuhan Celukan Bawang, Singaraja-Bali ... 21
7. Skenario bed resistance (manning number) ... 23
8. Hasil validasi data pasang surut bulan Januari 2005... 26
9. Hasil validasi data pasang surut bulan Juli 2005 ... 28
10.Plot arus hasil simulasi tanggal 11 Januari 2005 Pukul 02:30 ... 30
11.Plot arus hasil simulasi tanggal 11 Januari 2005 Pukul 05:00 ... 31
12.Plot arus hasil simulasi tanggal 11 Januari 2005 Pukul 15:00 ... 31
13.Plot arus hasil simulasi tanggal 11 Januari 2005 Pukul 22:30 ... 32
14.Plot arus hasil simulasi tanggal 6 Juli 2005 Pukul 10:00 ... 34
15.Plot arus hasil simulasi tanggal 6 Juli 2005 Pukul 17:30 ... 34
16.Plot arus hasil simulasi tanggal 7 Juli 2005 Pukul 06:00 ... 35
17.Plot arus hasil simulasi tanggal 7 Juli 2005 Pukul 11:00 ... 35
18.Dispersi termal hasil simulasi tanggal 11 Januari 2005 Pukul 02:30 .. 38
19.Dispersi termal hasil simulasi tanggal 11 Januari 2005 Pukul 05:00 .. 38
viii
21.Dispersi termal hasil simulasi tanggal 11 Januari 2005 Pukul 22:30 .. 39
22.Dispersi termal maksimum pada musim barat ... 40
23.Dispersi termal hasil simulasi tanggal 6 Juli 2005 Pukul 06:00 ... 41
24.Dispersi termal hasil simulasi tanggal 6 Juli 2005 Pukul 10:00 ... 42
25.Dispersi termal hasil simulasi tanggal 7 Juli 2005 Pukul 17:30 ... 42
26.Dispersi termal hasil simulasi tanggal 7 Juli 2005 Pukul 11:00 ... 43
ix
1. Dokumentasi Kegiatan Survei Lapang oleh Tim FPIK-IPB ... 52
2. Data Lapang Elevasi Pasang Surut (cm) Pelabuhan
Celukanbawang Tahun 2005 ... 54
3. Baris Program Visualisasi pada MATLAB ... 66
4. Hasil Analisis dengan Worldtide ... 67
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Denpasar, 25 Agustus 1989 dari
Bapak I Nyoman Sudarma dan Ibu Ni Wayan Atiri Dana.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2004-2007 Penulis menyelesaikan pendidikan di
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Denpasar. Pada
tahun 2007 penulis tercatat sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan , Program Studi ilmu dan Teknologi kelautan
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menempuh pendidikan di Fakultas Perikanan dan Ilmu dan
Kelautan Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di organisasi Brahmacarya, Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) dan
Himpunan Profesi (Himpro) Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan
(HIMITEKA). Selain itu juga Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah
oseanografi umum 2009, Koordinator asisten biologi laut 2009, asisten biologi
laut 2010, asisten metode observasi bawah air 2010, asisten oseanografi kimia
2010 dan Koordinator asisten oseanografi kimia 2011. Penulis juga aktif Program
Kreativitas Mahasiswa dalam bidang penelitian (PKMP), gagasan tertulis
(PKMGT) serta artikel ilmiah (PKMAI).
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Pemodelan Dispersi Termal Air
1
1.1. Latar Belakang
Suhu merupakan salah satu variabel lingkungan yang paling penting untuk
keberlangsungan hidup, pertumbuhan, dan reproduksi organisme akuatik (Effendi, 2003).
Suhu perairan tropis seperti di Indonesia dapat berubah karena pengaruh lingkungan
dalam jangka waktu tertentu. Suhu perairan dapat meningkat secara signifikan akibat
aktivitas industri yang membuang limbah berupa air panas secara langsung ke laut,
fenomena tersebut dikenal dengan polusi termal (thermal pollution). Sebagian besar sumber polusi termal di Indonesia adalah aktivitas pembangkit listrik yang biasanya
dibangun di pesisir pantai.
Pembangkit listrik seperti Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)
selain memasok kebutuhan listrik juga menghasilkan limbah air buangan (cooling water) yang langsung dibuang secara sirkuler ke laut. Pembuangan limbah tersebut secara
langsung ke laut tanpa melalui proses pendinginan kembali dapat menyebabkan pengaruh
baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap organisme yang hidup di
dalamnya. Studi mengenai karakteristik oseanografi dan kualitas air laut di lokasi
pembangkit listrik tersebut merupakan suatu kegiatan yang sangat penting sebagai
referensi dalam perencanaan pembangunan PLTGU.
Pada tahun 2004 di Desa Pemaron, Singaraja-Bali rencananya akan dibangun
PLTGU. Pembangkit listrik tersebut disinyalir akan membuang limbah air panas secara
langsung ke Pantai Pemaron. Sumber daya pesisir Pantai Pemaron yang berpotensi
terkena dampak akibat aktivitas PLTGU tersebut adalah ikan dan terumbu karang. Biota
laut ini secara tidak langsung terpapar oleh buangan air pendingin yang menyebabkan
kerusakan dengan tingkat yang berbeda-beda tergantung jarak meraka terhadap sumber
2
Prediksi sebaran dispersi termal di laut telah dikembangkan berdasarkan model
hidrodinamika untuk meniru fenomena alam yang terjadi di suatu perairan. Pemodelan
tersebut dapat dilakukan dengan perangkat lunak (software) yang tersedia saat ini. Salah satu perangkat lunak berbasis windows dapat digunakan dalam kajian pemodelan adalah
Mike 21 DHI.
Pemodelan dapat digunakan untuk melakukan analisis zona terdampak di perairan.
Saat beroperasi, PLTGU Pemaron diperkirakan dapat memberikan dampak terhadap
lingkungan, yaitu rencana pembuangan limbah air panas bersuhu lebih dari 2 0C secara
langsung ke Pantai Pemaron. Pemodelan sangat penting dilakukan mengingat peraturan
Kep. Men LH No. 51 tahun 2004 menyebutkan kenaikan suhu perairan oleh aktivitas
industri tidak boleh lebih dari 2 0C dari suhu perairan alami.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini akan dilakukan Pemodelan
hidrodinamika dan dispersi termal 2 dimensi. Model tersebut digunakan untuk melihat
pola arus dan sebaran suhu disekitar Pantai pemaron. Selanjutnya hasil simulasi model
tersebut akan dicuplik berdasarkan skenario kondisi ekstrim paras muka laut serta
menganalisis dampak air buangan terhadap biota perairan sekitarnya.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui sebaran buangan air panas berbasis
hidrodinamika dari air buangan (colling Water) Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) di Perairan Pantai Pemaron, Singaraja-Bali dengan berbagai skenario model,
3
2.1. Kondisi Umum Perairan
Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali
utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai
wisata berpasir yang sangat landai dan dangkal. Kawasan pesisir Bali Utara secara
umum merupakan pesisir yang memiliki substrat dasar perairan berupa pasir.
Kawasan Bali utara merupakan daerah dataran tinggi yang jarang ditemukan
sungai-sungai besar sehingga sangat sedikit proses sedimentasi. Berdasarkan peta
batimetri Dishidros tahun 1992, kawasan tersebut memiliki topografi pantai yang
landai. Pada jarak 200 m dari pantai kedalaman perairan hanya mencapai 20 m.
Kondisi pasang surut di daerah Pemaron dapat diketahui berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional (BAKORSURTANAL). Secara umum tipe pasang surut pada lokasi
tersebut yaitu tipe pasut campuran, sedangkan perbedaan ketinggian pasutnya
mencapai 1 m. Arus permukaan laut di perairan Pemaron dominan dipengaruhi
oleh arus pasang surut (tidal current) karena cakupan wilayah perairan Pemaron
yang sempit. Saat pasang arus membawa massa air menuju pantai sedangkan saat
surut arus membawa massa air menuju laut Bali.
Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Pemaron dikelola oleh
salah satu anak Perusahaan Listrik Negara (PLN) yaitu PT. Indonesian Power.
PLTGU tersebut mulai dibangun tahun 2004 guna menambah pasokan listrik
lokal bagi Kabupaten dan Kota Singaraja. Keberadaan PLTGU ini mendapat
sambutan pro dan kontra dari masyarakat luas terutama para pengamat
4
secara langsung ke Pantai sehingga sangat rentan terjadi pencemaran lingkungan.
Hal tersebut cukup berbahaya mengingat terdapat banyak objek wisata bahari
disekitarnya yang sering menjadi tujuan wisata.
2.2. Batimetri
Batimetri berasal dari bahasa Yunani yaitu „bathy’ yang berarti kedalaman
dan „metry’ yang berarti ilmu pengukuran. Jadi batimetri merupakan ilmu
pengukuran kedalaman, terutama di samudera dan laut serta memetakan topografi
dari kedalaman tersebut. Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk
konfigurasi dasar laut yang dinyatakan dengan angka-angka kedalaman dan
garis-garis kedalaman (Pipkin et al., 1999).
Indonesia memiliki kontur dan batimetri dasar laut yang sangat kompleks
karena adanya benturan/gesekan antara lempeng litosfer, yaitu lempeng Eurasia,
Filipina, Pasifik dan Samudera Hindia-Australia. Benturan kedua lempeng
tersebut akan mengakibatkan salah satu lempeng akan bergerak relatif terhadap
lempeng lain, sehingga di zona benturan ini akan terbentuk palung yang dalam.
Sebaliknya pada lempeng yang satunya akan terjadi penonjolan ke atas dimana
energi panas dilepas dan membentuk gunung-gunung api (Defrimilsa, 2003).
Kondisi batimetri suatu perairan dirangkum dalam suatu bidang datar yang
disebut peta batimetri. Peta batimetri dalam bidang kelautan memiliki banyak
kegunaan seperti dalam penentuan alur pelayaran, pembangunan jaringan pipa
bawah laut, navigasi, serta survei geologi kelautan. Peta batimetri juga berperan
dalam usaha penangkapan ikan secara langsung ataupun tidak langsung, karena
pengetahuan mengenai topografi dasar perairan yang bervariasi dapat dilakukan
Perairan Pemaron memiliki topografi perairan yang landai dengan
kedalaman yang cukup bervariasi. Perairan Pemaron termasuk perairan yang
dangkal karena hanya memiliki kedalaman rata-rata sebesar 20 meter. Semakin ke
arah laut lepas ( > 200 meter dari pantai), kedalaman perairan dapat mencapai 250
meter. Pemodelan dispersi termal 2D cukup representatif dilakukan apabila lokasi
penelitian tersebut tergolong perairan yang dangkal.
2.3. Pasang Surut
Pasang surut (pasut) merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya
permukaan air laut secara periodik. Fenomena pasang surut dipengaruhi oleh
faktor astronomis serta faktor non-astronomis. Faktor astronomis diakibatkan oleh
kombinasi gaya sentrifugal dan gaya tarik-menarik dari benda-benda astronomi
terutama oleh matahari dan bulan terhadap bumi. Pengaruh benda angkasa lainnya
dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya yang lebih kecil (Pond
dan Pickard, 1983). Faktor non-astronomis yang mempengaruhi pasang surut
terutama di perairan semi tertutup (teluk) antara lain adalah bentuk garis pantai
dan topografi dasar perairan (Pond dan Pickard, 1983).
Setiap perairan memiliki karakteristik pasut yang berbeda. Tipe pasut suatu
perairan dapat ditentukan oleh amplitudo dari berbagai komponen harmonik pasut
yang memasuki suatu perairan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
respon setiap lokasi terhadap gaya pembangkit pasut. Jika suatu perairan
mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, maka perairan
tersebut dikatakan memiliki pasut bertipe tunggal (diurnal tide), namun jika
terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari maka perairan tersebut
6
peralihan antara tipe tunggal dan tipe ganda atau disebut dengan tipe campuran
(mixed tide). Tipe pasut peralihan digolongkan menjadi dua bagian, yaitu tipe
campuran dominasi ganda serta tipe campuran dominasi tunggal (Wyrtki, 1961).
Tipe pasut dapat ditentukan berdasarkan bilangan Formzal (F) yang
dinyatakan dalam bentuk (Wyrkti, 1961; Pond dan Pickard, 1983)
... (1)
Dimana: F = Bilangan Formzal
O1 = Komponen pasang surut tunggal utama yang diakibatkan oleh pengaruh gaya tarik bulan.
K1 = Komponen pasang surut tunggal utama yang diakibatkan oleh pengaruh gaya tarik bulan dan matahari.
M2 = Komponen pasang surut ganda utama yang diakibatkan oleh pengaruh gaya tarik bulan.
S2 = Komponen pasang surut ganda utama yang diakibatkan oleh pengaruh gaya tarik matahari.
Berdasarkan formula tersebut nilai Formzal dapat ditentukan dengan mudah, Nilai
F akan menentukan tipe pasang surut perairan. Jika F bernilai :
Pasang surut yang terjadi di perairan Indonesia merupakan interaksi antara
pasang surut yang terjadi di samudera Pasifik dan samudera Hindia. Secara
umum, tipe pasut yang terjadi di perairan Indonesia dikelompokkan menjadi dua
yaitu pasut tunggal yang mendominasi perairan Indonesia bagian barat serta pasut
ganda yang mendominasi wilayah Indonesia bagian timur (Wyrkti, 1961).
2.4. Arus
Arus merupakan gerakan horizontal atau vertikal massa air hingga massa air
tersebut mencapai suatu kondisi yang stabil. Pergerakan arus di laut dibangkitkan
oleh beberapa gaya yang bekerja di laut tersebut. Terdapat dua gaya utama yang
berperan dalam pembangkit arus di perairan yaitu, gaya primer dan gaya
sekunder. Gaya primer berperan dalam menggerakkan arus dan menentukan
kecepatannya. Gaya primer terdiri dari gravitasi, gaya gesek angin (wind stress),
gaya dorong ke atas dan ke bawah (buoyancy), serta tekanan atmosfer. Gaya
sekunder berperan mempengaruhi arah gerakan dan kondisi aliran arus. Gaya
sekunder meliputi gaya coriolis dan gesekan lapisan air laut itu sendiri(Pond dan
Pickard, 1983).
Dinamika pasang surut akan menimbulkan perbedaan tekanan hidrostatis di
beberapa tempat sehingga mengakibatkan terjadinya arus yang disebut arus pasut
(tidal current). Arus pasut dominan biasanya terjadi di perairan sempit seperti
teluk, estuary, dan perairan yang dangkal (Gross, 1979). Semakin sempit perairan
maka pengaruh arus pasut semakin besar dan sebaliknya, semakin terbuka suatu
perairan maka pengaruhnya akan semakin kecil (Supangkat dan Sussana, 2001).
Arus pasang (flood tide) terjadi ketika permukaan air laut naik, sedangkan
8
arus pasut mencapai maksimum pada kondisi air pasang dan surut purnama.
Kecepatan arus akan semakin berkurang saat kondisi menuju air pasang atau surut
(Pond dan Pickard, 1983).
2.5. Angin
Angin didefinisikan sebagai gerakan udara mendatar (horizontal) yang
disebabkan oleh perbedaan tekanan udara antar dua tempat. Angin yang
berhembus di permukaan perairan akan menimbulkan wind wave, yaitu
gelombang yang ditimbulkan angin. Peristiwa ini merupakan pemindahan tenaga
gelombang di permukaan air dan gelombang itu sendiri meneruskan tenaganya
kepada peristiwa lainnya, diantaranya molekul air. Selain menimbulkan
gelombang di permukaan air, angin juga dapat menyebabkan terjadinya arus.
Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin muson. Angin
muson merupakan angin yang bertiup secara konstan ke arah tertentu pada satu
musim sedangkan pada musim yang lainnya angin bertiup secara konstan pula
pada arah yang berlawanan. Bulan Desember-Februari adalah musim dingin di
belahan bumi utara dan musim panas di belahan bumi selatan. Pada saat itu
terbentuklah pusat tekanan udara tinggi di atas daratan asia dan pusat tekanan
rendah di atas daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari
Asia menuju Australia, yang di Indonesia umumnya dikenal sebagai angin muson
barat. Sebaliknya pada bulan Juli-Agustus terjadilah pusat tekanan tinggi di atas
daratan Australia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Asia sehingga
mengakibatkan berhembusnya angin muson timur di Indonesia. Angin muson
2.6. Regulasi Buangan Air Pendingin di Indonesia
Pengelolaan limbah air pendingin (cooling water) di Indonesia cukup
mendapat perhatian, hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya beberapa peraturan
yang menetapkan baku mutu parameter suhu. Demi menjaga kelestarian fungsi
lingkungan laut, pemerintah dalam hal ini Menteri Negara Lingkungan Hidup
telah melakukan upaya pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat
mencemari atau merusak lingkungan laut. Salah upaya yang dilakukan adalah
menetapkan baku mutu suhu air laut serta kehidupan biota laut yang ditetapkan
melalui Keputussan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Tabel 1).
Keputusan Menteri tersebut memberi batasan bagi industri yang beroperasi
di wilayah pesisir agar tidak membuang limbah pada perairan yang ditentukan
adanya biota laut diatas ambang batas yang telah ditetapkan. Meskipun demikian,
kebijakan ini menimbulkan masalah dalam implementasinya mengingat aktivitas
industri di wilayah pesisir selama ini menggunakan baku mutu yang ditetapkan
oleh pemerintah daerah setempat yang bersifat sangat longgar sehingga beberapa
industri telah melampaui baku mutu yang ditetapkan dalam keputusan Menteri
tersebut.
Untuk menangani masalah ini, pemerintah kemudian mengaturnya di dalam Kepmen LH No.51 Tahun 2004 Pasal 5 (2) yang berbunyi “Dalam hal daerah
telah menetapkan baku mutu air laut lebih longgar sebelum ditetapkannya
keputusan ini, maka baku mutu air laut tersebut perlu disesuaikan dengan
10
melakukan evaluasi terhadap Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
di atas.
Tabel1. Baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004
(Sumber : Diadaptasi dari Lampiran 3 Kepmen LH No.51 Tahun 2004)
Keterangan :
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% dari kedalaman Euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata
musiman
2.7. Model Dispersi Termal
Model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang menunjukkan hubungan
langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab
akibat. Suatu model tidak lain merupakan seperangkat asumsi mengenai suatu
sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang memiliki
mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan
peubah-peubah (variable) penting dan tepat, serta menemukan
hubungan-hubungan antar peubah di dalam sistem tersebut.
Model dispersi termal telah dijadikan sebagai salah satu alat pendukung
dalam tahap desain perusahaaan yang bertujuan untuk menentukan metode dan
penempatan yang optimal dari masukan (intake) buangan air pendingin (cooling
water) dan untuk menghindari naiknya suhu alami diatas baku mutu yang
diizinkan. Dengan demikian model merupakan suatu alat yang wajib bagi
perusahaan untuk mendapatkan surat ijin operasional melalui studi penilaian
dampak buangan air pendingin yang berkenaan dengan dibebaskannya panas ke
12
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Oktober 2011 meliputi
penyusunan basis data, pemodelan dan simulasi pola sebaran suhu air buangan
(cooling water) di perairan Pantai Pemaron, Singaraja-Bali. Lokasi kajian
pemodelan ini adalah kawasan perairan sekitar pantai Lovina dan Desa Pemaron,
tepatnya antara Pantai Lovina ke arah timur hingga pantai sekitar Pura Segara
Penimbangan (Gambar 1).
Pengolahan data dilakukan di Laboratorium data prosesing, Bagian
Oseanografi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pengolahan data menggunakan perangkat computer portable (laptop) pribadi
selanjutnya proses simulasi skenario model dilakukan dengan komputer (CPU).
3.2. Sumber Data
3.2.1 Data Input Model
Data input yang digunakan dalam pemodelan ini meliputi data
hidrodinamika (Pasang surut, batimetri, arah dan kecepatan angin) musim barat
dan musim timur, suhu ambien perairan serta data gradient suhu (∆T) yang
berasal dari buangan air pendingin (cooling water) PLTGU Pemaron. Data yang
digunakan sebagai data utama dalam analisis pemodelan dispersi termal
ditabulasikan berdasarkan jenis, sifat, sumber dan satuan data seperti pada Tabel 2
berikut.
Tabel 2. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
No Jenis data Sifat data Sumber Satuan tujuan memperoleh data lapangan terkait rencana pembangunan PLTGU di Pemaron Singaraja-Bali (Lampiran 1).
3.2.2 Data Validasi Model
Data validasi merupakan data yang diperoleh berdasarkan pengamatan
langsung di lapangan. Data tersebut digunakan untuk melihat pola kesesuaian dari
data input model terhadap kondisi perairan sesungguhnya. Data yang digunakan
untuk validasi model adalah data pasang surut selama setahun di Pelabuhan
Celukanbawang pada tahun 2005 (Lampiran 2). Data tersebut merupakan hasil
14
(BAKOSURTANAL) di Pelabuhan Celukanbawang, Singaraja-Bali dengan
interval pengukuran per 1 jam.
3.3. Alat dan Bahan
Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa perangkat
observasi kondisi terkini di lapangan serta perangkat pengolahan data yang
ditabulasikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
Alat dan Bahan Kegunaan
Perangkat observasi lapang :
- GPS (Global Positioning System) Penentuan posisi
- Kamera digital Mengambil foto
- Alat tulis Mencatat informasi
Perangkat pengolahan data : Penyusunan basis data,
pengolahan data serta simulasi model Hardware dan Software Computer (Ms.Excel
2007, Surfer 9, MIKE 21 versi 2007, dan MatLab 2008)
3.4. Skenario Pemodelan Dispersi termal
Pemodelan diawali dengan pengumpulan dan penyusunan basis data
hidrodinamika model. Selanjutnya dilakukan pengolahan data input untuk
melakukan simulasi modul hidrodinamika pada program MIKE21. Data masukan
yang diolah antara lain pembuatan domain model dengan menggunakan data
batimetri perairan, pengolahan data arah maupun kecepatan angin yang dihitung
tiap-tiap grid serta data prediksi pasang surut. Data tersebut kemudian divalidasi
dengan menggunakan data hasil pengukuran di lapang. Proses selanjutnya adalah
membuat skenario model hidrodinamika dan dispersi termal berdasarkan kondisi
pasang surut yang telah divalidasi serta melengkapi data-data parameter
Bagian hidrodinamika digunakan untuk melihat kondisi hidrodinamika di
Perairan Pantai Pemaron antara lain berupa arah dan kecepatan arus (U dan V)
serta perubahan tinggi muka air laut (surface elevation) terhadap mean sea level
(MSL). Diagram alir dari seluruh proses pemodelan disajikan pada Gambar 2.
16
Simulasi model merupakan hasil akhir yang telah diproses (running) selama
15 hari. Hasil akhir tersebut dicuplik berdasarkan pengaruh angin musim serta
mempertimbangkan kondisi ekstrim pasang surut setempat. Kondisi ekstrim
tersebut adalah saat menuju surut, surut terendah, menuju pasang, serta pasang
tertinggi. Waktu pencuplikan ditentukan berdasarkan data pasang surut lapang
yang diwakili bulan Januari (musim barat) dan bulan Juli (musim timur). Waktu
pencuplikan tersebut ditabulasikan seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Waktu skenario berdasarkan angin musim dan kondisi ekstrim pasut
Bulan Kondisi Pasut Waktu Jam (WITA)
Januari
Menuju surut 11 Januari 2005 2:30 Surut terendah 11 Januari 2005 5:00 Menuju pasang 11 Januari 2005 15:00 Pasang tertinggi 11 Januari 2005 22:30
Juli
Menuju surut 06 Juli 2005 10:00
Surut terendah 06 Juli 2005 17:30
Menuju pasang 07 Juli 2005 6:00
Pasang tertinggi 07 Juli 2005 11:00
Hasil pencuplikan tersebut akan digunakan untuk mengetahui distribusi
pola arus serta sejauh mana pengaruh buangan limbah air pendingin dalam
rentang waktu 15 hari. Hasil akhir yang ditampilkan berupa distribusi pola arus
berdasarkan kondisi pasang surut tiap musimnya serta sebaran maksimum dari
limbah buangan air pendingin (cooling water) di Lokasi kajian pemodelan.
3.4.1 Domain Lokasi Pemodelan
Model sebaran dispersi termal dibangun dengan skenario di lokasi yang
memungkinkan terdapat sumber buangan limbah air panas menuju perairan pantai
pemaron dan sekitarnya. Penentuan domain model mencakup lokasi outlet
sebesar 27 x 21 kilometer atau setara dengan 522 x 432 grid. Desain domain
pemodelan berbentuk empat persegi panjang dengan posisi geografis 7050’ LS –
8015’ LS dan 114045 BT – 115015’ BT ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Domain dasar pemodelan dispersi termal di perairan pantai Pemaron Singaraja-Bali
3.4.2 Syarat Batas Model
Simulasi model dilakukan untuk kasus arus yang dibangkitkan oleh pasang
surut saja (tidal force). Syarat batas untuk model hidrodinamika dapat
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu:
1.Syarat batas tertutup
Syarat batas tertutup mengikuti persamaan
U
,
V
,
0
……… (2) Domain area model dispersi termal ini hanya memiliki sebuah syarat batastertutup yaitu batas bagian selatan. Batas selatan tersebut merupakan garis pantai
sepanjang Pelabuhan Celukanbawang kearah timur, Pantai Lovina hingga Pantai
18
2.Syarat batas terbuka (laut)
Elevasi pasang surut diberikan pada setiap syarat batas terbuka dengan
asumsi terdapat perbedaan gaya pembangkit pasang surut pada setiap syarat batas.
Nilai elevasi pasang surut sebagai data input model diperoleh dari hasil peramalan
pasang surut global oleh MIKE21 pada tanggal 1-15 Januari 2005 dan 1-15 Juli
2005. Selanjutnya untuk kecepatan arus pasang surut dan elevasi yang belum
diberikan, menggunakan syarat batas radiasi Orlanski (Kowalik dan Murty, 1993):
x 0
Keterangan : F = Kecepatan arus rata-rata atau elevasi pasang surut
C = Kecepatan gelombang panjang (gH)0.5
Domain area model dispersi termal memiliki tiga syarat batas terbuka, yaitu
batas timur, utara, dan barat yang seluruhnya adalah laut Bali. Syarat batas untuk
model penyebaran panas di laut mengikuti syarat batas hidrodinamika, dengan
mengganti kecepatan dan elevasi menjadi nilai suhu. Pada titik buangan air panas
(outlet) di berikan sumber air panas secara kontinu berdasarkan hasil simulasi di
kanal pembuangan.
3.5. Parameter Pemodelan
3.5.1 Parameter Hidrodinamika
Parameter hidrodinamika model diawali dengan merancang domain dasar
berdasarkan data batimetri pada program Mike Zero. Laut Bali memiliki nilai
batimetri yang bervariasi dengan kisaran kedalaman nol hingga 250 meter di
bawah permukaan laut. Kontur batimetri yang terbentuk menunjukkan nilai
batimetri yang terbentuk ditunjukkan oleh gradasi warna kuning hingga biru tua.
Nilai kedalaman mengalami penurunan saat mendekati garis pantai, pesisir
pantainya sendiri memiliki kedalaman anatar 5 hingga 10 meter dibawah
permukaan laut. Kontur Batimetri pada domain dasar model dispersi termal dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kontur batimetri domain dasar pemodelan
Waktu pemodelan yang dilakukan terdiri dari dua musim, yaitu musim barat
dan musim timur. Skenario hidrodinamika musim barat tersebut dimodelkan pada
tangga 1 Januari 2005 pukul 12:00:00 AM hingga 15 Januari 2005 pukul 12:00:00
AM. Hal yang sama juga diberlakukan untuk skenario musim timur tanggal 1 Juli
2005 pukul 12:00:00 AM hingga 15 Juli 2005 pukul 12:00:00 AM. Langkah
waktu pemodelan ditentukan sebesar 10 detik disesuaikan dengan syarat
kestabilan (Courant number). Courant number menunjukkan banyaknya grid
yang memproses hasil selama pemodelan berjalan dalam satu satuan waktu.
20
model dispersi termal ini adalah 120.960 detik dengan durasi waktu komputasi
selama 6 jam 42 menit.
Domain area pada skenario pemodelan menggunakan variasi pasang surut
air laut pada ketiga batas terbuka yaitu batas barat, batas utara, dan batas timur.
Selain itu, pemodelan ini juga menggunakan sebuah syarat batas tertutup berupa
garis pantai sepanjang pantai Celukanbawang hingga pantai Pemaron. Ilustrasi
open boundary pada pemodelan ini dapat dilihat pada Gambar 5
Gambar 5. Syarat batas terbuka domain dasar pemodelan
Data pasang surut hasil pemodelan bersumber dari data prediksi pasang
surut global MIKE21. Data tersebut divalidasi dengan data pasang surut hasil
pengukuran insitu yang bersumber dari BAKOSURTANAL. Data validasi
tersebut diambil pada tanggal 1 Januari hingga tanggal 31 Desember 2005 dengan
interval waktu pengukuran setiap 1 jam selama 365 hari. Hasil validasi data
pasang surut berupa grafik dan konstanta harmonik pasut. Visualisasi grafik
1
2
diolah berdasarkan baris program pada MATLAB (Lampiran 3). Selanjutnya,
konstanta harmonik pasut dianalisis menggunakan worldtide (Lampiran 4).
Pengamatan pasang surut tersebut dilakukan di Pelabuhan Celukanbawang
dengan posisi koordinat 08011’ LS dan 114049’ BT. Lokasi pengukuran data
lapang pasang surut dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Lokasi pengukuran pasang surut di pelabuhan Celukan Bawang, Singaraja-Bali
Domain model perairan Pemaron sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang
surut setempat sehingga perlu ditentukan nilai Drying depth dan Flooding depth.
Nilai Drying depth ditentukan dengan memasukkan nilai kedalaman minimum
yaitu 0,20 dan nilai maksimum untuk Flooding depth sebesar 0,30. Nilai masukan
parameter tersebut menandakan bahwa perhitungan pemodelan pada
masing-masing grid tidak akan dihitung pada kedalaman diatas 0,30 maupun pada
kedalaman dibawah 0,20 meter dari Mean Sea Level.
Initial surface elevation merupakan nilai awal tinggi muka lau domain saat
memulai pemodelan dalam satuan meter. Parameter Initial surface elevation
22
rata-rata tinggi muka laut pada seluruh syarat batas terbuka. Nilai Initial surface
elevation pada pemodelan ini sebesar 0,20 meter di bawah permukaan laut.
Parameter source and sink digunakan untuk menentukan adanya titik
sumber masukan dan keluaran air dalam domain. Pada skenario pemodelan
hidrodinamika ini ditentukan source yang berasal dari titik rencana pembangunal
kanal pembuangan cooling water yaitu pada koordinat grid (407, 95) dari domain
model.
Parameter eddy visicosity berhubungan dengan gaya gesek antara
molekul-molekul fluida yang bergerak dengan kecepatan berbeda dan menghasilkan gerak
turbulen (Alonso dan Finn, 1992). Dalam pemodelan hidrodinamika ini parameter
tersebut ditentukan dengan menggunakan formula smargorinsky. Tipe formula
Smargorinsky dihitung berdasarkan kecepatan mengalir fluida dengan nilai
konstan sebesar 0,50.
Nilai tahanan (bed resistance) pada domain model diberikan dalam
parameter Resistance. Nilai tahanan dasar berhubungan dengan kekasaran dasar
laut dan gaya gesek antara dasar laut dengan air (DHI, 2007). Konstanta tahanan
dasar dalam pemodelan ini menggunakan nilai Manning Number [m1/3/s] yang
dirancang berdasarkan kedalaman perairan. Skenario nilai tahanan dasar pada
pemodelan ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Skenario manning number model
Pembuatan skenario manning number tersebut dilakukan dengan program
Mike Zero seperti halnya membuat domain dasar model. Kontur dari skenario
manning number tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Skenario bed resistance (manning number)
Data angin yang digunakan untuk masukan model didapat dari Ifremer data
center dengan resolusi 0,25 km. Data angin tersebut merupakan data hasil
pengamatan satelit yang diukur setiap enam jam. Nilai tekanan yang diberikan
oleh angin terhadap permukaan laut diskenariokan bervariasi terhadap ruang dan
waktu. Nilai friksi angin pada pemodelan ini diskenariokan bervariasi terhadap
kecepatan angin dimana pada saat kecepatan angin bernilai nol maka besarnya
friksi adalah 0.0016. Nilai tersebut bervariasi linier dimana pada saat kecepatan
angin 10 m/s maka nilai friksinya adalah 0.0026. Hasil keluaran dari pemodelan
hidrodinamika tersebut memiliki output berupa surface elevation, U-velocity, dan
24
3.5.2 Parameter Dispersi termal
Parameter dispersi termal dimasukkan setelah menyelasaikan modul
hidrodinamika model. Parameter dispersi termal meliputi nilai suhu ambient
perairan, nilai gradient suhu perairan, serta parameter heat dissipating. Nilai dari
parameter tersebut diperoleh dari hasi survei lapang yang dilakukan oleh tim
FPIK-IPB terkait rencana pembangunan PLTGU di Pemaron, Singaraja-Bali.
Parameter dispersi termal tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Parameter lapangan dan numerik kasus PLTGU Pemaron
C 29 Pengukuran lapangan
13. Temperatur di outlet
Keterangan: A = Sumber dari data sekunder dari Laporan AMDAL sebelumnya.
Heat dissipating merupakan besarnya panas yang hilang akibat
penyebarannya di perairan dalam satuan waktu. Nilai dari heat dissipating
dihitung menggunakan persamaan adveksi-difusi dengan memperhitungkan nilai
perhitungan diperoleh hasil sebesar 0,5 0C/detik. Nilai tersebut dibagi dengan
langkah waktu model yaitu 10 detik sehingga nilai dari heat dissipating yang
26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Validasi Data
Pasang surut merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk
melakukan validasi model. Validasi data pada model ini ditunjukkan dengan
grafik serta tabulasi konstanta harmonik pasut, baik pada musim barat maupun
musim timur.
4.1.1 Validasi Musim Barat
Hasil pengolahan data pasang surut bulan Januari 2005 menunjukkan tipe
pasang surut perairan tersebut adalah campuran dominasi ganda (mixed tide
mainly semidiurnal). Hasil validasi data pasang surut Januari 2005 menunjukkan
terdapat perbedaan amplitudo yang dihasilkan baik saat pasang maupun surut.
Hasil validasi bulan Januari (musim barat) dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Hasil validasi data pasang surut bulan Januari 2005
Berdasarkan grafik pasang surut tersebut, diperoleh tabulasi dari konstanta
Tabel 7. Komponen pasang surut bulan Januari 2005
Komponen Pasut Sifat Data ∆H
Model Lapang
Berdasarkan Tabel 7 dapat kita lihat bahwa perbandingan nilai konstanta
harmonik kedua data tersebut tidak signifikan. Selisih amplitudo maksimum
sebesar 6,00 cm, menunjukkan terdapat selisih nilai elevasi mencapai 6,00 cm
pada kedua data pasut. Nilai tersebut tergolong rendah mengingat model yang
baik biasanya memiliki selisih amplitudo tidak lebih dari 10,00 cm. Hasil validasi
juga menunjukkan terdapat selisih fase yang tidak signifikan, dimana untuk O1
dan K1 (tunggal utama) tidak lebih dari 150 (1 jam) dan untuk M2 dan S2 (ganda
utama) tidak lebih dari 300 (1 jam). Beda fase maksimum untuk faktor tunggal
utama sebesar 2,380 (9,52 menit) dan untuk faktor ganda utama sebesar 1,670
(3,34 menit). Model yang baik biasanya memiliki beda fase tidak lebih dari 1 jam.
Variabel amplitude (cm) dari konstanta harmonik tersebut dapat digunakan
untuk menentukan nilai dari bilangan Formzal (F). Wyrtki (1961) serta Pond and
Pickard (1983) menyatakan bahwa tipe pasang surut suatu perairan dapat
ditentukan dengan mengetahui nilai Formzalnya. Data model memiliki nilai
28
kisaran nilai tersebut termasuk dalam kategori tipe pasang surut campuran
cenderung ganda (mixed tide mainly semidiurnal).
4.1.2 Validasi Musim Timur
Hasil pengolahan data pasut bulan Juli 2005 menunjukkan hasil serupa,
dimana tipe pasang surut perairan tersebut adalah campuran cenderung ganda
(mixed tide mainly semidiurnal). Hasil validasi dan konstanta harmonik pasut
bulan Juli dapat dilihat pada Gambar 9 dan Tabel 8.
Gambar 9. Hasil validasi data pasang surut bulan Juli 2005
Tabel 8. Komponen pasang surut bulan Juli 2005
Selisih amplitudo maksimum sebesar 6,40 cm, menunjukkan terdapat selisih
nilai elevasi mencapai 6,40 cm pada kedua data pasut. Validasi bulan Juli juga
menunjukkan terdapat selisih fase yang tidak signifikan. Beda fase maksimum
untuk faktor tunggal utama sebesar 1,610 (6,44 menit) dan untuk faktor ganda
utama sebesar 1,670 (2,94 menit). Data model memiliki nilai Formzal 0,99
sedangkan data lapangan memiliki nilai Formzal 0,80. Kedua range nilai tersebut
termasuk dalam kategori tipe pasang surut campuran cenderung ganda (mixed tide
mainly semidiurnal).
Hasil validasi menunjukkan bahwa model hidrodinamika ini termasuk
model yang baik. Selisih nilai amplitude dan fase saat validasi diakibatkan oleh
perbedaan nilai konstanta harmonik pasut model pada kedua musim. Hal tersebut
dapat terjadi akibat variasi kontur bathimetri di stasiun pengamatan. Nilai model
elevasi muka air laut dipengaruhi oleh nilai kedalaman. Semakin ke arah pantai
kontur bathimetri semakin bervariasi, variasi nilai kedalaman tersebut
mengakibatkan kontur bathimetri semakin rumit. Perbedaan yang terjadi pada
validasi data ini tergolong sangat kecil dan tidak banyak berpengaruh pada model
dispersi termal.
4.2. Hasil Simulasi Pola Arus
Arus merupakan fenomena naik turunnya massa air laut yang dapat
dibangkitkan oleh berbagai gaya baik secara eksternal maupun internal.
Pergerakan massa air atau arus ini merupakan media yang mampu memindahkan
bahang dari sumbernya ke tempat lain (Nurjaya dan Surbakti, 2010). Model pola
arus dibuat menggunakan persamaan matematika dengan bantuan software
30
pembangkitnya (Nurjaya dan Surbakti, 2010). Pola arus yang terjadi di perairan
Laut Bali dipengaruhi oleh pasang surut dan angin musim yang terjadi di
Indonesia (Wyrtki, 1961).
4.2.1 Pola Arus Musim Barat
Simulasi pola arus musim barat diwakili oleh bulan Januari yang merupakan
puncak musim barat di Indonesia. Pola arus disimulasikan berdasarkan skenario
kondisi ekstrim pasang surut. Gambar 10 sampai 13 merupakan hasil cuplikan
pola arus berdasarkan skenario tersebut.
Gambar 11. Plot arus hasil simulasi tanggal 11 Januari 2005 Pukul 05:00
Gambar 10 dan 11 menunjukkan cuplikan pola arus saat siklus surut
(menuju surut hingga surut terendah) pada musim barat. Saat kondisi menuju
surut (Gambar 10) dapat kita lihat terdapat percabangan arus (split) dari laut bali
bergerak ke arah barat dan timur pesisir pantai. Secara umum, massa air pada
siklus surut bergerak meninggalkan pantai. Arus siklus surut cenderung bergerak
menuju arah barat laut dengan kisaran kecepatan 0,20 m/s hingga 0,50 m/s.
32
Gambar 13. Plot arus hasil simulasi tanggal 11 Januari 2005 Pukul 22:30
Gambar 12 dan 13 menunjukkan cuplikan pola arus saat siklus pasang
(menuju pasang hingga pasang tertinggi) pada musim barat. Split arus dengan
intensitas rendah masih dapat diamati saat kondisi menuju pasang (Gambar 12).
Secara umum, massa air pada siklus surut bergerak meninggalkan pantai. Arus
siklus surut cenderung bergerak menuju arah tenggara dengan kisaran kecepatan
0,10 m/s hingga 0,20 m/s.
Hasil simulasi pola arus pada musim barat menunjukkan fenomena yang
sesuai dengan pola sirkulasi pasang surut air laut. Saat siklus surut massa air
bergerak meninggalkan pantai, sedangkan saat siklus pasang massa air bergerak
menuju pantai. Pola arus yang terjadi di pesisir pantai Pemaron tersebut dominan
di pengaruhi oleh desakan massa air dari laut Bali akibat fenomena pasang surut
air laut. Pada perairan sempit seperti teluk dan estuaria, pergerakan massa air
cenderung dipengaruhi oleh siklus pasang surut serta kontur bathimetri dasar
Arah arus model memiliki pola yang tidak teratur dan sebagian besar
menyimpang dari arah angin. Secara umum dapat kita lihat pergerakan arus di laut
lepas dominan menuju arah barat model saat surut serta menuju arah utara model
saat pasang. Kondisi berbeda dapat kita lihat saat massa air memasuki perairan,
dimana terbentuk kontur arah arus yang seolah memutar membentuk suatu sumbu.
Fenomena tersebut terjadi akibat variasi dari kontur bathimetri di perairan laut
bali. Kontur bathimetri yang semakin bervariasai akan meningkatan kompleksitas
perhitungan model hidrodinamika (DHI, 2007).
Kecepatan arus musim barat secara keseluruhan berkisar antara 0,10 m/s
hingga 0,50 m/s dengan arah arus yang sebagian besar menyimpang dari arah
angin.Model tersebut menunjukkan kecepatan arus saat siklus surut lebih tinggi
daripada saat siklus pasang dengan selisih kecepatan maksimum sebesar 0,30 m/s.
Hal serupa juga diperoleh pada penelitian yang dilakukan oleh Hamzah dan
Wenno (1987) yang menyatakan bahwa kecepatan arus maksimum terjadi saat
perairan memasuki fase surut purnama.
4.2.2 Pola Arus Musim Timur
Simulasi model musim timur diwakili oleh bulan Juli, dimana bulan tersebut
merupakan puncak dari musim timur di Indonesia. Gambar 14 sampai 17
merupakan hasil cuplikan pola arus berdasarkan skenario yang sama dengan
34
Gambar 14. Plot arus hasil simulasi tanggal 6 Juli 2005 Pukul 10:00
Gambar 15. Plot arus hasil simulasi tanggal 6 Juli 2005 Pukul 17:30
Gambar 14 dan 15 menunjukkan cuplikan pola arus saat siklus surut pada
musim timur. Berdasarkan gambar, saat surut terendah massa air di perairan
meninggalkan pantai menuju laut lepas dengan pola sedikit berbeda dengan saat
menuju surut. Waktu pencuplikan pola arus saat menuju surut sangat dekat
dengan kondisi pasang tertinggi. Hal tersebut mengakibatkan sebagian arus masih
pukul 17.30 karena pergerakan arus yang dihasilkan sangat kecil dan sulit untuk
diamati. Arus saat menuju surut cenderung bergerak ke arah timur dengan
kecepatan maksimum 0,10 m/s. Arus saat surut terendah cenderung bergerak
menuju arah barat dengan kecepatan 0,05 m/s.
Gambar 16. Plot arus hasil simulasi tanggal 7 Juli 2005 Pukul 06:00
36
Gambar 16 dan 17 menunjukkan cuplikan pola arus saat siklus pasang pada
musim timur. Berdasarkan gambar, saat pasang tertinggi massa air di perairan
bergerak mendekati pantai pantai dengan pola sedikit berbeda dengan saat menuju
pasang. Waktu pencuplikan pola arus saat menuju pasang merupakan kondisi
mendekati Mean Sea Level (MSL). Hal tersebut mengakibatkan sebagian arus
bergerak seolah siklus surut karena pada kondisi tersebut terjadi sedikit penurunan
elevasi paras muka laut. Terjadinya penurunan elevasi saat kondisi MSL
merupakan fenomena dari pasang surut perairan yang bertipe campuran.
Pencuplikan tidak dilakukan antara pukul 06.00 hingga pukul 11.30 karena
pergerakan arus yang dihasilkan sangat kecil dan sulit untuk diamati. Arus saat
menuju pasang cenderung bergerak ke arah barat dengan kecepatan maksimum
0,05 m/s. Arus saat pasang tertinggi cenderung bergerak menuju arah timur
dengan kecepatan 0,05 m/s.
Pola arus pada musim barat tidak memperlihatkan terjadinya split arus
seperti yang terjadi pada musim barat. Pada musim timur arus bergerak konstan
menuju satu arah. Pola arus pada musim barat maupun musim timur secara umum
memiliki karakteristik yang serupa. Pola arus pada musim timur juga dominan
dipengaruhi oleh pasang surut. Cuplikan pola arus musim timur menunjukkan
sedikit perbedaan saat memasuki fase menuju surut serta menuju pasang. Arah
arus yang terbentuk pada dua skenario tersebut berlawanan dengan kondisi yang
seharusnya terjadi. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh karakteristik dari pasang
surut perairan bertipe campuran serta interval waktu pencuplikan yang cukul
panjang. Perbedaan tersebut mengakibatkan pergerakan massa air yang terjadi
pasang surut sebelumnya, sehingga terjadi sedikit perbedaan pada saat
pencuplikan pola arus. Perbedaan tersebut tidak terjadi pada seluruh domain
model karena pola arus yang terbentuk pantai Pemaron menunjukkan kesesuaian
dengan sirkulasi pasang surut sesungguhnya.
Simulasi pola arus sangat mempengaruhi hasil simulasi sebaran dispersi
termal di perairan. Buangan limbah air pendingan (cooling water) di perairan akan
terdispersi berdasarkan pola pergerakan hidrodinamika. Kecepatan dan arah
sebaran dispersi termal pada setiap musimnya akan mengikuti pola arus hasil
simulasi. Keberhasilan melakukan simulasi hidrodinamika merupakan kunci
keberhasilan simulasi dispersi termal di perairan.
4.3. Hasil Simulasi Dispersi Termal
Dispersi termal merupakan proses penyebahan bahang secara horizontal di
perairan akibat adanya suatu sumber buangan panas (thermal point) yang masuk
ke perairan secara adveksi dan difusi. Difusi disebabkan karena adanya gradien
suhu antara yang dibuang dengan suhu ambien air laut yang lebih rendah. Adveksi
adalah pemindahan massa air yang disebabkan oleh arus yang dapat dibangkitkan
oleh pasang-surut, gelombang dan angin.
4.3.1 Dispersi Termal Musim Barat
Hasil simulasi sebaran dispersi termal di perairan Pantai Pemaron
menunjukkan rencana pembangunan PTLGU tersebut akan memberikan
perubahan suhu lingkungan dalam radius jarak tertentu. Hasil pencuplikan
dispersi termal air buangan (cooling water) berdasarkan skenario kondisi pasang
38
Gambar 18. Dispersi termal hasil simulasi tanggal 11 Januari 2005 Pukul 02:30
Gambar 20. Dispersi termal hasil simulasi tanggal 11 Januari 2005 Pukul 15:00
40
Selanjutnya, hasil pencuplikan sebaran termal maksimum hasil simulasi
ditampilkan pada Gambar 22.
Gambar 22. Dispersi termal maksimum pada musim barat
Hasil cuplikan model dispersi termal pada siklus surut menunjukkan pola
sebaran air buangan bergerak menuju arah timur laut. Jarak sebar maksimum
sejauh 1 km, namun terdapat outlayer pada jarak 3,40 km dari kanal pembuangan.
Outlayer tersebut disebabkan oleh adanya split arus pada siklus surut (Gambar 10
dan 11). Pada siklus pasang sebaran termal cenderung bergerak menuju arah timur
laut dengan jarak sebaran sejauh 1,50 km.
Sebaran termal maksimum musim barat terjadi pada tanggal 10 januari 2005
pukul 14.00 WITA saat kondisi perairan pada fase pasang (flood). Hal tersebut
sesuai dengan hasil pencuplikan dimana jarak sebar terjauh terjadi saat siklus
pasang. Berdasarkan Gambar 22 dapat kita lihat bahwa panas menyebar secara Radius max : 3.4 Km
dT max : 1.28 0C
horizontal dengan radius penyebaran maksimum 3,40 km dari kanal pembuangan
air pendingin (cooling water) PLTGU. Gradasi warna merah menunjukkan
terdapat perbedaan suhu limbah air buangan. Saat terjadi sebaran maksimum,
suhu air buangan maksimum mencapai 1,35 0C. Pada jarak 0,40 km, 0,80 km, dan
3,40 km dari kanal pembuangan, masih terdapat perbedaan suhu yang signifikan.
Selanjutnya diatas jarak 3,40 km dari kanal pembuangan, suhu perairan sudah
kembali mendekati suhu alaminya.
4.3.2 Dispersi Termal Musim Timur
Seperti skenario pada musim barat, sebaran termal musim timur juga akan
dicuplik berdasarkan kondisi pasang surut. Hasil cuplikan dispersi termal tersebut
ditunjukkan pada Gambar 23 sampai 26. Selanjutnya hasil pencuplikan sebaran
termal maksimum ditampilkan pada Gambar 27.
42
Gambar 24. Dispersi termal hasil simulasi tanggal 6 Juli 2005 Pukul 10:00
Gambar 26. Dispersi termal hasil simulasi tanggal 7 Juli 2005 Pukul 11:00
Gambar. 27.Dispersi termal maksimum pada musim timur Radius max : 2.6 Km
dT max : 1.35 0C
44
Hasil cuplikan model dispersi termal saat menuju surut menunjukkan pola
sebaran air buangan bergerak menuju arah timur laut sejauh 1,60 km dari kanal
pembuangan. Saat kondisi surut tetrendah, termal juga menyebar ke arah timur
laut sejauh 1 km. Hasil serupa juga ditunjukkan saat siklus pasang, dimana
sebaran termal cenderung bergerak menuju arah timur laut dengan jarak sebaran
sejauh 1,50 km.
Hasil simulasi termal terjauh musim timur terjadi pada tanggal 12 Juli 2005
pukul 13.30 WITA saat kondisi perairan pada fase pasang (flood). Berdasarkan
Gambar 27 air panas menyebar secara horizontal dengan radius penyebaran
maksimum 2,60 km dari kanal pembuangan air pendingin (cooling water)
PLTGU. Saat terjadi penyebaran maksimum, suhu pada kanal sebesar 1.28 0C dari
suhu ambient. Pada jarak 0,40 km, 1,80 km, dan 2,60 km dari kanal pembuangan,
masih terdapat perbedaan suhu yang signifikan. Selanjutnya diatas jarak 2,60 km
dari kanal pembuangan, suhu perairan sudah kembali mendekati suhu alaminya.
Hasil simulasi sebaran dispersi termalpada musim barat dan musim timur
tidak berbeda secara signifikan. Hal tersebut dapat terlihat dari pola sebaran
terjauh yang sama-sama terjadi saat siklus pasang. Suhu di outlet pembuangan
limbah panas, serta arah sebaran buangan panas menuju arah timur laut.
Berdasarkan data primer rencana pembangunan PLTGU tahun 2005 disebutkan
suhu yang dibuang mencapai 3,20 0C dari suhu ambient (Tabel 6). Hal tersebut
tidak terlihat pada hasil simulasi model karena secara keseluruhan, suhu
maksimum yang terjadi sebesar 1.35 0C. Hal tersebut dikarenakan saat memasuki
terjadi percampuran bahang dimana suhu air buangan menjadi turun karena
peristiwa penguapan.
Sebagian besar pembangkit listrik tenaga gas dan uap di dunia memproduksi
listrik dan melepaskan air buangan (cooling water) ke perairan pantai sekitarnya.
Cooling water apabila tidak diolah (treatment) terlebih dahulu maka panas yang
ditimbulkan dapat membunuh terumbu karang sampai jarak 1-2 km dari muara
pembuangan air pendingin (Sorokin, 1995). Cooling water yang panas tersebut
akan berbahaya bagi terumbu karang dan fauna bentik disekitarnya (Nudebecker,
1981 in Sorokin, 1995). Cooling water yang telah digunakan dalam proses
pendinginan selain suhunya meningkat, juga mengandung chlorine sebagai bahan
antifouling dan antiseptik. Chlorine digunakan agar di sepanjang kanal tidak
terjadi penyumbatan akibat menempelnya organisme laut di permukaan kanal.
Konsentrasi chlorine sebesar 1 mg/l akan meracuni hewan benthik, terutama
larvanya (Best et al., 1981 in Sorokin, 1995).
Hasil kajian Smith dan Buddemeier (1992) menunjukkan bahwa kepekaan
karang terhadap suhu sangat adaptif, tegantung spesies dan tergantung pula pada
sejarah panjang fluktuasi suhu lingkungan sekitarnya. Pada kenaikan suhu 3-4 0C
di atas suhu maksimum normal dengan lama pemaparan sekitar 2-3 hari dapat
menyebabkan terjadinya pemutihan atau bila terjadi kenaikan sekitar 1-2 0C di
atas suhu maksimum normal dalam jangka waktu beberapa minggujuga akan
menyebabkan pemutihan terumbu karang (Smith dan Buddemeier, 1992). Setelah
memutih koral akan mengalami stress sampai kematian atau bila tetap hidup akan
46
pertumbuhan jasad renik (microbial) dan kemudian akan menyebabkan kematian
koral (Mitchell dan Chet, 1975 in Sorokin, 1995).
Hasil kajian Smith dan Buddemeier 1992 tersebut dipadukan dengan hasil
pemodelan sebaran suhu akibat buangan air pendingin PLTGU Pemaron yang
memperkirakan bahwa pada kondisi sebaran terjauh, massa air dengan kenaikan
suhu 1 0C di atas suhu lingkungan (rata-rata 29 0C) akibat adanya pembuangan air
pendingin akan menyebar ke utara sejauh 0,40 km (400 m) baik pada musim barat
maupun pada musim timur, maka di sekitar lokasi pembuangan air pendingin
masih memungkinkan untuk adanya kehidupan di dasar periaran tersebut.
Selanjutnya dari kajian pemodelan tersebut memperkirakan massa air dengan
kenaikan suhu 0,50 0C akan menyebar ke arah timur laut sejauh 3,40 km (3.400
m) pada musim barat dan 2,60 km (2.600 m) pada musim timur. Berdasarkan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu
Air Laut untuk Biota Laut, khususnya untuk terumbu karang, suhu maksimumnya
berkisar antara 28-30 0C. Suhu perairan rata-rata di pantai Pemaron adalah 29 0C,
maka batas toleransi suhu air buangan tersebut masih dapat dipenuhi.
Seperti yang kita ketahui bahwa pantai utara bali memiliki daya tarik wisata
yang cukup tinggi terutama karena banyaknya populasi lumba-lumba.
Peningkatan suhu perairan yang melebihi batas toleransi dapat mengancam
keberadaan populasi lumba-lumba. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan
bahwa suhu perairan tempat di mana hewan ini ditemukan berkisar antara 27
hingga 34 0C, dengan suhu rata-rata 29 0C. Berdasarkan model 2 dimensi
penyebaran suhu di daerah outlet buangan air pendingin, suhu yang melebihi nilai
Sementara lumba-lumba yang dijumpai di lokasi ini berjarak minimal 3,70 km
dari garis pantai di wilayah Pemaron. Hasil observasi menunjukkan bahwa
sebagian besar populasi lumba-lumba terkonsentrasi pada wilayah Temukus dan
Seririt yang berjarak lebih dari 7,50 km di sebelah barat lokasi air buangan
PLTGU Pemaron. Dengan demikian, pengaruh langsung dari pembuangan limbah
48
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Hasil simulasi pola arus menunjukkan bahwa arus bergerak sesuai dengan
pola sirkulasi pasang surut. Pada musim barat, arus cenderung bergerak ke arah
barat laut saat siklus surut dan bergerak ke arah tenggara saat siklus pasang
dengan kisaran kecepatan antara 0,10-0,50 m/s. Pada musim timur, arus
cenderung bergerak ke arah barat saat siklus surut dan bergerak ke arah timur saat
siklus pasang dengan kisaran kecepatan antara 0,05-0,10 m/s. Hasil simulasi
sebaran suhu air pendingin PLTGU Pemaron mengikuti pola pergerakan massa air
laut dengan sebaran terjauh pada kondisi pasang (flood). Jarak sebaran thermal
terjauh adalah 3,40 km dari kanal pembuangan pada musim barat dan 2,60 km
dari kanal pembuangan pada musim timur. Sebaran thermal bergerak ke arah
timur laut dengan akibat menaikkan suhu perairan sekitar 0,25 0C di atas suhu
alami. Peningkatan suhu maksimum di sekitar lokasi pembuangan limbah air
pendingin PLTGU Pemaron sebesar 1,35 0C pada musim barat dan 1,28 0C pada
musim timur. Limbah air panas dengan suhu maksimum hanya menyebar sejauh
400 m ke arah timur laut.
Berdasarkan hasil pemodelan sebaran suhu terhadap teori ekologi terumbu
karang dan lumba-lumba, maka di sekitar lokasi pembuangan air pendingin masih
memungkinkan untuk adanya kehidupan biota tersebut. Terumbu karang masih
dapat menerima toleransi kenaikan suhu hingga 3-4 0C pada radius 1-2 km.
Populasi lumba-lumba terdapat pada jarak 7,50 km dari pantai pemaron sehingga
5.2. Saran
Pemodelan sangat efektif digunakan untuk mengkaji suatu aktivitas yang
berkaitan dengan ekosistem. Pemodelan dispersi termal dapat digunakan sebagai
kajian awal untuk menentukan kebijakan dari aktivitas pembuangan limbah air
panas di perairan. Model yang baik memiliki pola yang mendekati kondisi
sesungguhnya di lapangan. Oleh karena itu, saran yang dapat direkomendasikan
untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukannya validasi terhadap arus agar
validasi data dapat dilihat secara lebih detail.
Radiasi matahari juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap suhu
perairan. Berdasarkan hasil penelitian dapat kita lihat bahwa dispersi termal
terjauh tiap musimnya selalu terjadi pada siang hari. Oleh karena itu, sebaiknya
perlu dibuat juga skenario dengan pertimbangan model siang hari serta malam
50
DAFTAR PUSTAKA
Alonso, M dan E.J. Finn. 1992. Dasar-Dasar Fisika Universitas. Penerbit Erlangga. Jakarta
Dishidros. 1992. Peta Batimetri Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL Nomor 290. Dishidros. Jakarta
Defrimilsa. 2003. Studi Perbandingan Profil Batimetri Perairan Utara Belitung Hasil Deteksi Sistem Akustik Bim Terbagi SIMRAD EY-500 Dengan Profil Batimetri Peta Dishidros TNI-AL. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Danish Hydrodynamic Institute.2007. Hydrodynamics Module of MIKE 21 Flow Model. Scientific Documentation, DHI Water Environmental. Copenhagen.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Cetakan Pertama. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Gross, M.G.1979. Oceanography: A View of Earth. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliff. New Jersey.
Hamzah, M.S dan Wenno, L.F. 1987. Sirkulasi Arus Teluk Ambon In TELUK AMBON I. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ambon
IFREMER. 2005. Sumber Data Angin.
ftp://ftp.ifremer.fr/pub/ifremer/cersat/products/gridded/mwf-blended/data/ [16 Juli 2011]
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Kantor Kementerian Negara
Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Jakarta.
Kowalik, Z. dan T.S. Murty. 1993. Numerical modelling of ocean dynamics.
Advance Series on Ocean Engineering, vol. 5. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Singapore
Nurjaya, I.W dan H. Surbakti. 2010. Model Dispersi Bahang Hasil Buangan Air Proses Pendinginan PLTGU Cilegon CCPP ke Perairan Pantai Margasari di Sisi Barat Teluk Banten In Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol. 2, No. 1, Hal. 31-49, Juni 2010. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pipkin, W. dan Bernard. 1999. Laboratory Exercises in Oceanography. Fourth Ed. Macmillan Publishing Company. New York.
Pond, S. dan G. L. Pickard.1983. Introductory Dynamical Oceanography, 2th edition. Pergammon Press. London.
Supangkat, A. dan Susana. 2001. Introduction to Oceanography. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Smith, S.V. dan R.W. Buddemeier. 1992. Global change and coral reef ecosystems.
Annu.Rev.Ecol.Syst. 23:89-118.
Sorokin, Y.I. 1995. Coral reef ecology. Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg.
Tim Studi FPIK-IPB. 2005. Studi Kajian Ekosistem Terumbu Karang dan Lumba-Lumba di Kawasan Perairan Lovina Kabupaten Buleleng – Bali. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan Survei Lapang oleh Tim FPIK-IPB
Gerbang menuju PLTGU Pemaron, Singaraja-Bali
PLTGU PEMARON
Sumber: PT. Indonesia Power
53
Lokasi kanal pembuangan cooling water PLTGU Pemaron
Foto udara PLTGU Pemaron, Singaraja-Bali
Sumber: PT. Indonesia Power