• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS

UP TAKE

KANDUNGAN LOGAM BERAT DARI

KOMPOS LUMPUR

WATER TREATMENT PLANT

OLEH

TANAMAN

ENHAR HAKIM

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

ENHAR HAKIM. Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman. Dibimbing oleh Dr. Satyanto K. Saptomo, STP, MSi dan Allen Kurniawan, ST, MT.

Pemanfaatan lumpur hasil pengolahan sangat minim dan kurang diperhatikan oleh banyak kalangan industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan kompos dari lumpur pengolahan air minum sebagai media tanam, mengidentifikasi adanya kandungan logam berat pada kompos yang terserap pada tanaman, dan mendegradasi kandungan logam berat pada lumpur dengan cara fitoremediasi. Metode yang digunakan adalah pemanfaatan kompos WTP sebagai media tanam tanpa campuran tanah. Pada pengujian menggunakan tiga macam kompos WTP yang berbeda-beda. Kompos 1 berasal dari WTP PT. Krakatau Tirta Industri, Cilegon, Jawa Barat. Kompos 2 berasal dari WTP PDAM Tirta Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Kompos 3 berasal dari WTP PDAM Tirta Kahuripan, Cibinong Jawa Barat. Pada ketiga uji tanaman mengalami pertumbuhan yang subur dan mengalami proses degradasi logam berat. Hasil ketiga uji kandungan logam berat pada tanaman setelah panen menunjukkan nilai di atas ambang batas SNI 7387 tahun 2009 tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan. Tanaman dengan menggunakan kompos WTP tidak aman untuk dikonsumsi. Pendegradasian logam berat pada saat dalam bentuk lumpur WTP hingga tanaman dipanen mengalami penurunan nilai logam berat. Hal ini menunjukkan kelayakan pemanfaatan lumpur WTP dengan cara pengomposan dan pengaplikasian pada media tanam. Kompos WTP dapat menyuburkan tanaman, tetapi tidak untuk tanaman pangan.

.

(3)

ABSTRACT

ENHAR HAKIM. Analysis Up Take Content Heavy Metal from Composting the Sludge Water Treatment Plant by Plants. Supervised by Dr. Satyanto K. Saptomo, STP, MSi and Allen Kurniawan, ST, MT.

Utilization of sludge processing results are very minimal and less noticed by many among the industry. This research aims to identify the feasibility of compost of sludge processing drinking water as a medium for planting, identifying the presence of heavy metals content in the compost that is absorbed in plants, and degrades the contents of heavy metals in sludge by means of fitoremediasi. The method used is the utilization of compost as a medium for planting without WTP mixed soil. On testing using three kinds of different compost WTP. Compost 1 comes from WTP PT. Krakatau Tirta Industry, Cilegon, West Java. Compost 2 comes from WTP PDAM Tirta Pakuan Bogor, West Java. Compost 3 comes from WTP PDAM Tirta Kahuripan Cibinong, West Java. On the third having a lush growth of vegetation and experience the process of degradation the heavy metals. The results of the three trials heavy metal content in plants after harvest showed values above the threshold limit of SNI 7387 in 2009 about The Limit of Heavy Metal Contamination in Food. Composting plant using WTP is not safe for consumption. Degradation of heavy metals in the form of mud at the WTP to harvest heavy metals impaired. This demonstrates the feasibility of the utilization of WTP sludge by composting and application of the growing media. Compost WTP can fertilize the plants, but not for food crops.

(4)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(5)

ANALISIS

UP TAKE

KANDUNGAN LOGAM BERAT DARI

KOMPOS LUMPUR

WATER TREATMENT PLANT

OLEH

TANAMAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

pada

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(6)

Judul Skripsi : Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman.

Nama mahasiswa : Enhar Hakim

NIM : F44080052

Disetujui oleh,

Dr. Satyanto K. Saptomo, STP, MSi Pembimbing I

Allen Kurniawan, ST, MT Pembimbing II

Diketahui oleh,

Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, MAgr Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

(7)

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji dan syukur penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir ini yang berjudul “Analisis Up Take

Kandungan Logam Berat dari Kompos Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanamanyang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, dari bulan Maret 2012 hingga Desember 2012.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Satyanto K, Saptomo, STP, MSi selaku dosen pembimbing pertama penelitian dan Allen Kurniawan, ST, MT selaku dosen pembimbing kedua penelitian.

Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih atas do’a kedua orangtua dan teman

-teman dalam memberikan semangat. Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penelitian ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, 4 Februari 2013

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 2

Tujuan 2

Manfaat 2

TUJUAN PUSTAKA 3

Karakteristik Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum 3

Sumber Lumpur 3

Karakteristik Fisik Lumpur 4

Karakteristik Kimia Lumpur 4

Karakteristik Biologi Lumpur 11

Pemanfaatan Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum 11

Pengomposan 12

Faktor Yang Mempengaruhi Pengomposan 12

Karakteristik Lumpur dan Mutu Kompos 17

Teknik Remediasi Tanah 17

Soil Venting 18

Soil Vapour Extraction (SVE) 18

Bioremediasi 19

Proses Fitoremediasi 21

Mekanisme Proses 23

Media Proses/Tanam 25

BAHAN DAN METODE 28

Tempat Dan Waktu 28

Alat Dan Bahan 28

Metode Pelaksanaan 28

HASIL DAN PEMBAHASAN 31

Karakteristik Lumpur 31

Proses Pengomposan 33

Karakteristik Pengomposan 37

Pengaruh Kandungan Logam Berat Terhadap Tanaman 40

SIMPULAN DAN SARAN 50

Kesimpulan 50

Saran 50

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN 55

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Rasio C/N berbagai bahan baku yang dapat dibuat sebagai kompos 13 Tabel 2 Faktor penting dalam perencanaan proses pengomposan secara

aerobik 16

Tabel 3 Aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan

tanamannya 22

Tabel 4 Kualitas lumpur sebelum pengomposan 31

Tabel 5 Karakteristik lumpur 32

Tabel 6 Klasifikasi pengomposan berdasarkan cara pembuatannya 36 Tabel 6 Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan 37 Tabel 7 Perbandingan kualitas kompos WTP dengan SNI 19-7030-2004 38 Tabel 8 Standar kualitas kompos SNI 19-7030-2004 39

Tabel 9 Uji pertama pada tanaman kangkung 44

Tabel 10 Uji kedua pada tanaman kangkung dan cabe 45 Tabel 11Uji ketiga lumpur pada kangkung dan rumput gajah mini 46

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1Proses tranportasi Soil Vapour Extraction 19 Gambar 2 Alfalfa legum salah satu tumbuhan hyperaccumulator 27

Gambar 3 Diagram alir penelitian 30

Gambar 4 Pembibitan kangkung pada uji pertama dengan pupuk komersil

(kiri) dan kompos 2 (kanan) 44

Gambar 5 Tanaman kangkung uji kedua dengan kompos : A. Komersil, B.

kompos 1, dan C. kompos 2 45

Gambar 6 Rumput gajah mini dan kangkung pada uji ketiga dengan

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Kadar air uji ketiga 56

Lampiran 2 Kadar air uji kedua 56

Lampiran 3 Parameter yang perlu diperhatikan dengan seksama dalam

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan industri yang cukup pesat di Indonesia mengakibatkan meningkatnya jumlah limbah, sehingga dapat menimbulkan permasalahan lingkungan apabila tidak ditangani secara serius. Pemanfaatan lumpur hasil pengolahan sangat minim dan kurang diperhatikan oleh banyak kalangan industri. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir biaya pengeluaran pengolahan lanjutan untuk setiap proses produksi. Dampak negatif yang dilihat dalam jangka pendek tidak terlalu berpengaruh terhadap lingkungan sekitar, karena hanya menghasilkan tumbuhan liar. Namun dampak negatif dalam jangka panjang dapat mengganggu karakteristik alamiah tanah.

Perusahaan air minum merupakan salah satu instansi yang menghasilkan limbah berupa lumpur padat dan lumpur cair di setiap akhir proses produksi. Pada umumnya lumpur cair dibuang langsung ke badan air seperti sungai, sedangkan lumpur padat dibiarkan menumpuk pada suatu lahan. Instansi ini menghasilkan produksi lumpur yang besar dari hasil sedimentasi air baku (sungai), sebagian besar berupa bahan organik. Selain bahan organik, lumpur mengandung logam berat dengan konsentrasi yang beragam. Logam berat seperti Cd, Pb, Hg, Cu, Cr, dan Zn tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Logam-logam tersebut dihasilkan oleh bahan kimia yang digunakan dalam proses penjernihan dan sterilisasi air yang akan digunakan dalam proses pengolahan air baku. Pada kegiatan domestik dan non domestik selain perusahaan air minum, logam tersebut dapat berasal dari limbah bahan makanan, kegiatan rumah tangga, industri, percetakan, pabrik kimia, tekstil, farmasi, dan lainnya yang kemungkinan berada di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai), ketika air baku tersebut digunakan untuk proses pengolahan air bersih.

Mengingat lumpur tidak dimanfaatkan secara optimal, maka dampak negatif yang dirasakan adalah timbulnya bau kurang sedap sebagai akibat dari reaksi-reaksi biokimia pada saat reduksi. Meningkatnya kuantitas lumpur di lingkungan tanpa adanya pengolahan, menyebabkan beban lingkungan dalam mereduksi lumpur semakin besar. Diperlukan cara untuk pemanfaatan lumpur lebih lanjut ataupun cara untuk mereduksi kandungan logam berat yang ada pada lumpur untuk tidak berpotensi mencemari lingkungan.

(12)

Pupuk kompos merupakan salah satu produk pemanfaatan lumpur hasil pengolahan, dengan menggunakan biaya yang relatif rendah dan proses pengomposan yang tidak terlalu lama. Selain itu, lumpur hasil pengolahan air terkadang termasuk dalam kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), yang keberadaannya belum diketahui, sehingga membutuhkan penanganan lanjutan untuk mereduksi kandungan logam berat. Panduan pengelolaan limbah lumpur disesuaikan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dengan PP No. 18/1999 tentang pengolahan limbah B3.

Pupuk kompos WTP dapat digunakan sebagai media tanam, namun diperlukan pengamatan terhadap penyebaran kandungan logam berat kompos yang kemungkinan dapat diserap oleh tanaman. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan menganalisis kelayakan kompos WTP yang menjadi media tanam.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif pemanfaatan limbah lumpur Water Treatment Plant (WTP) pada suatu industri dengan cara pengomposan lumpur dan fitoremediasi dengan tanaman. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan kompos dari lumpur pengolahan air minum sebagai media tanam, mengidentifikasi adanya kandungan logam berat pada kompos yang terserap pada tanaman, mendegradasi kandungan logam berat pada lumpur dengan cara fitoremediasi.

Manfaat Penelitian

(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum

Proses pengolahan air minum yang menggunakan air sungai sebagai bahan baku menghasilkan produk utama berupa air bersih yang siap dikonsumsi. Selain produk utama tersebut, dihasilkan juga limbah berupa lumpur. Limbah lumpur dalam proses pengolahan ini merupakan hasil proses pengendapan (presedimentasi dan sedimentasi) serta penyaringan (filtrasi). Dalam air sungai biasanya terdapat padatan terlarut dan tersuspensi. Zat terlarut terdiri dari oksigen, karbohidrat, basa, asam, senyawa mikroorganisme dan berbagai pencemar yang bergantung pada lokasi, suhu, dan tekanan. Padatan tersuspensi dalam air sungai diantaranya mengandung lumpur, sisa tanaman, dan limbah industri. Diantara zat-zat tersebut ada yang dapat menyuburkan tanah atau dapat digunakan untuk keperluan lain (Mahida 1992 dalam Yeni 2001).

Produksi lumpur per hari menurut Supriyanto (1993) dalam Halim (2003) pada umumnya 10-50% dari beban COD limbah yang diolah. Lumpur akan selalu diproduksi sebagai hasil dari pertumbuhan bakteri atau mikroorganisme pengurai selama proses berlangsung. Karakteristik dari lumpur residu dihasilkan pada dasarnya merupakan fungsi dari proses pengolahan, penambahan bahan kimia, dan kuantitas air baku. Pengertian akan kuantitas lumpur, kandungan padatan, dan sifat padatan sangatlah penting untuk memilih dan mendesain perangkat proses yang tepat (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Lumpur tersebut kemudian dibentuk menjadi suatu produk yang disebut wet spray yang mengandung 2% kadar kering. Dapat pula kandungan air dalam lumpur ditekan dengan alat filter press atau belt press sehingga menghasilkan produk dengan kadar air 40%

(L’Hermite 1988 dalam Halim 2003).

Sumber Lumpur

Lumpur pengolahan air didefinisikan sebagai akumulasi padatan atau endapan yang dikeluarkan dari bak sedimentasi (pengendapan) atau clarifier pada instalasi pengolahan air maupun industri pada umumnya. Sumber utama residu pengolahan air adalah lumpur koagulasi aluminium atau lumpur besi, lumpur proses softening, dan pencucian balik filter. Lumpur mengandung konsentrasi tinggi garam aluminium atau besi dengan campuran bahan organik dan anorganik dan presipitat. Dahulu pengeringan akan lumpur koagulasi adalah tugas yang sangat sulit dan pada akhirnya dibuang langsung ke sumber air seperti sungai atau danau. Namun saat ini lumpur diolah untuk pembuangan akhir dan air backwash

dan clarifier dikembalikan ke fasilitas pengolahan untuk didaur ulang (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012).

(14)

dekomposisi aktif atau mendukung kondisi anaerob. Hasilnya lumpur dapat diakumulasikan pada bak sedimentasi selama beberapa hari dan bulan, dan dibuang secara berkala (Kurniasih 2012).

Kuantitas padatan yang dihasilkan pada koagulasi bergantung pada total padatan tersuspensi yang terkandung pada air, tipe, dan dosis koagulan, dan efisiensi bak sedimentasi. Umumnya 60-90% dari padatan total dihilangkan pada bak sedimentasi. Padatan yang tersisa dihilangkan pada proses filtrasi. Tidak terdapat korelasi pasti antara kekeruhan dan total padatan tersuspensi. Rasio total padatan tersuspensi dengan kekeruhan normalnya bervariasi dari 0.5-2. Total padatan pada fasilitas koagulasi aluminium dapat bervariasi antara 8-210 kg/100m3 dari air baku yang diolah (Kurniasih 2012).

Karakteristik Fisik Lumpur

Karakteristik fisik lumpur merupakan hasil endapan dari air limbah suatu industri. Karakteristik fisik air limbah industri meliputi bau, temperatur, warna, kekeruhan dan kandungan zat padat. Zat padat ini terdiri dari materi yang dapat di flotasi, materi yang dapat diendapkan dan materi koloid, dan materi terlarut. Sifat fisik air limbah yang merupakan penentuan derajat kekotoran air limbah sangat dipengaruhi oleh kandungan zat padat. Jumlah total endapan terdiri dari benda-benda yang mengendap, terlarut, dan tercampur. Air limbah yang partikel ukuran besar memudahkan proses pengendapan, sedangkan apabila air limbah berisikan partikel ukuran yang sangat kecil akan menyulitkan dalam proses pengendapan. Besarnya endapan dinyatakan dalam mg/l air limbah. Hal ini sangat penting untuk mengetahui derajat pengendapan dan jumlah endapan yang ada dalam badan air (Gunawan 2006).

Salah satu sifat fisik yang digunakan dalam analisis kualitas air limbah yaitu padatan tersuspensi (total suspended solid). Analisa zat padat dalam air sangat penting bagi penentuan komponen-komponen air secara lengkap, dan untuk perencanaan dan pengawasan dalam proses-proses pengolahan air buangan. Padatan tersuspensi di dasar badan air akan mengganggu kehidupan didalam badan air, dan akan mengalami dekomposisi yang dapat menurunkan kadar oksigen di dalam air. Padatan dapat menyebabkan kekeruhan air, menyebabkan penyimpangan sinar matahari, sehingga berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap organisme di badan air (Gunawan 2006).

Karakteristik Kimia Lumpur

Sifat kimia air limbah maupun lumpur yang merupakan bahan organik terlarut dapat menghabiskan oksigen dalam limbah serta menimbulkan rasa dan bau yang menyengat. Pada umumnya zat organik berisikan kombinasi karbon, hidrogen, dan oksigen bersama-sama dengan nitrogen. Umumnya kandungan bahan organik berisikan 40-60% protein dan 25-50% berupa karbohidrat. Semakin banyak jumlah dan jenis bahan organik, hal ini akan mempersulit dalam pengelolaan air limbah. Menurut Gunawan (2006), beberapa sifat kimia yang digunakan sebagai parameter kualitas air, yaitu :

a. pH

(15)

terlarut. Pada instalasi pengolahan air buangan secara biologi, pH harus dikontrol supaya berada dalam rentang yang cocok untuk organisme tertentu yang digunakan. Baku mutu pH berkisar pada rentang yang cukup besar di sekitar pH netral, yaitu 6-9. Hal ini bukan berarti bahwa perubahan pH yang terjadi sepanjang rentang tersebut sama sekali tidak berdampak terhadap mahluk hidup dan lingkungan sekitar. pH merupakan faktor penting yang menentukan pola distribusi biota akuatik. Karena itu perubahan pH yang terkecil dapat memberi dampak besar terhadap toksisitas polutan seperti amonia. Dampak dari sejumlah polutan dapat bervariasi, mulai dari tidak terdeteksi sampai sangat serius tergantung pada pH.

b. Bichemical Oxygen Demand (BOD)

BOD adalah suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses biologi yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi) hampir semua zat organik yang terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air. Penentuan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri. Penguraian zat organisme adalah peristiwa alamiah, bila suatu badan air dicemari oleh zat organis, bakeri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut yang dapat mengakibatkan kematian biota dalam air dan keadaan menjadi anaerob dan dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut, semakin besar angka BOD maka menunjukkan bahwa derajat pengotoran limbah adalah semakin besar.

Pemerikasaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat organik dan anorganik dengan oksigen didalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerob. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk CO₂, air, dan amonia. Mikroorganisme pada awalnya menggunakan bahan organik secara cepat untuk metabolisme serta pembentukan sel akan menyebabkan meningkatkan BOD dalam 1-3 hari. Sesudah bahan organik dicerna, maka kebutuhan akan oksigen akan turun.

Reaksi biologis pada tes BOD dilakukan pada temperatur inkubasi 20°C dan dilakukan selama 5 hari. Mengingat dengan waktu tersebut sebanyak 60-70% kebutuhan terbaik karbon dapat tercapai, sehingga mempunyai istilah BOD5. Jumlah zat organis yang ada didalam air diukur melalui jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk mengoksidasi zat organis tersebut, kemudian indikasi kandungan zat organik dapat ditentukan, makin banyak kebutuhan oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk menguraikannya, maka semakin tinggi nilai BOD.

c. Chemical Oxygen Demand (COD)

COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada didalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat

(16)

d. Dissolved Oxygen (DO)

Semua gas di udara dapat terlarut dalam air namun memiliki kelarutan yang berbeda-beda. Oksigen termasuk gas yang sukar larut dalam air dan hanya dapat terlarut karena perbedaan tekanan parsial air dan udara, bukan dengan reaksi kimia. Kelarutan oksigen dalam air juga berbeda-beda terhadap temperatur, berkisar antara 14.6 mg/l (0°C, 1 atm) – 7 mg/l (35°C, 1 atm). Dalam kondisi kritis, jumlah maksimum oksigen yang dapat larut dalam air hanya 8 mg/l. Kelarutan oksigen semakin rendah jika garam dalam air semakin tinggi.

DO adalah faktor yang menentukan apakah perubahan yang terjadi dalam air limbah disebabkan oleh proses aerob atau anaerob. Organisme aerob menggunakan oksigen bebas untuk mengoksidasi senyawa-senyawa organik dan anorganik menghasilkan senyawa akhir yang tidak berbahaya. Organisme anaerob mereduksi garam-garam anorganik seperti sulfat dan menghasilkan senyawa akhir yang berbahaya. Karena jumlah organisme aerob dan anaerob di alam sama-sama banyak, maka sangat penting untuk menjaga supaya tersedia oksigen dalam jumlah yang cukup bagi organisme aerob dan kondisi yang tidak cocok bagi organisme anaerob. Karena itu pemantauan DO perlu dilakukan terhadap badan air penerima dan dalam proses biologi pengolahan air buangan domestik maupun industri.

e. Phosphat

Semua air permukaan dapat mendukung pertumbuhan organisme akuatik seperti plankton (zooplankton dan fitoplankton), ganggang, dan cyanobacteria. Pertumbuhan tanaman dalam air dapat dibatasi oleh beberapa faktor seperti cahaya dan karakteristik fisik air tersebut. Pada banyak kasus, faktor pembatas tersebut adalah ketersediaan nutrisi anorganik terutama fosfat. Semakin banyak nutrisi yang masuk dalam badan air, semakin besar pertumbuhan tanaman, sehingga karakteristik biologi badan air dapat berubah

Buangan organik dalam air adalah sumber nutrisi yang penting bagi tanaman karena dekomposisi materi organik akan menghasilkan fosfat, nitrat, dan nutrisi lain yang dibutuhkan oleh tanaman. Buangan domestik banyak mengandung fosfat yang berasal dari bubuk deterjen (air cucian). Akibat perkembangan deterjen sintesis, kandungan fosfor anorganik dalam deterjen berkisar antara 2-3 mg/l dan kandungan fosfor organik berkisar antara 0.5-1 mg/l. Kandungan fosfor anorganik dalam limbah domestik saat ini diperkirakan mencapai 2-3 kali lebih banyak daripada ketika deterjen sintesis belum digunakan secara luas, kecuali jika pemerintah setempat membatasi penggunaan deterjen berbahan dasar fosfat.

Organisme yang digunakan dalam proses pengolahan air buangan secara biologi memerlukan sejumlah fosfor untuk reproduksi dan sintesa sel baru. Namun limbah domestik mengandung fosfor dalam jumlah yang jauh lebih besar dari yang dibutuhkan oleh mikroorganisme tersebut. Hal itu dapat dibuktikan dengan besarnya kandungan fosfat dalam efluen pengolahan biologi air limbah.

f. Chlorine bebas

(17)

bawaan air. Walaupun mikroba pathogen dalam air telah banyak tersisihkan selama proses pengolahan sebelumnya, namun masih mungkin tersisa sejumlah mikroba pathogen terutama virus. Karena itu biasanya desinfeksi merupakan proses terakhir pengolahan air.

Clorine digunakan dalam bentuk clorine bebas atau hipokrit. Selain bereaksi dengan mikroba pathogen, clorine juga bereaksi dengan senyawa- senyawa lain dalam air seperti amonia, besi, mangan, sulfide, dan beberapa senyawa organik. Karena itu perlu ditambahkan clorine yang tersedia dalam jumlah cukup untuk membunuh mikroba pathogen. Chlorine bereaksi dengan air hipoklorit dan asam hipoklorit menurut reaksi berikut :

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses desinfeksi antara lain adalah jumlah dan jenis mikroba pathogen yang ingin dihilangkan, jenis dan konsentrasi desinfektan yang digunakan, temperatur air, waktu kontak, karakteristik fisik dan kimia air yang akan diolah, pH, dan pencampuran. Dosis clorine seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pemantauan konsentrasi chlorine di ujung bak klorinasi perlu dilakukan secara teratur untuk meninjau efektivitas proses klorinasi. Karakteristik air yang diolah dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan musim dan cuaca. Dari hasil pemantauan tersebut dapat diantisipasi sumber-sumber kontaminasi.

g. Amonia (NH3N)

Amonia terdapat secara alami dalam berbagai konsentrasi pada air tanah, air permukaan, dan air buangan. Amonia dapat berasal dari reduksi senyawa organik yang mengandung nitrogen, deaminasi senyawa amina, hidrolisa urea, dan akibat penggunaannya untuk deklorinasi dalam instalasi pengolahan air. Jumlah amonia dalam air tanah relatif sedikit karena diserap oleh tanah. Amonia bersifat sangat toksik terhadap banyak organisme, terutama ikan dan invertebrata, sedangkan amonium (NH4) bersifat kurang toksik. Konsentrasi amonia dalam air tergantung pada pH dan temperatur. Semakin tinggi pH dan temperatur, semakin tinggi juga konsentrasi amonia. Konsentrasi amonia juga menentukan tingkat toksisitas larutan. Nitrifikasi adalah proses oksidasi biologi amonia menjadi nitrat oleh bakteri autotrof, dengan nitrit sebagai senyawa antara.

Karakteristik kimia air limbah industri terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yaitu zat organik terdiri dari karbohidrat, minyak lemak, protein, zat organik yang dapat menimbulkan kanker dan mutasi, surfactant, senyawa organik

volatile, dan lain-lain. Karakteristik kimia untuk lumpur pada umumnya dibagi menjadi dua bagian. Karakteristik kimia lumpur aluminium terkandung BOD5 30-300 mg/l, COD 30-5000 mg/l, pH 6-8, dan total padatan 0.1-4%. Karakteristik kimia lumpur besi terkandung BOD5 30-300 mg/l, COD 30-5000 mg/l , pH 7.4-8.5 mg/l, dan total padatan 0.25-3.5 % (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012).

Fraksi organik lumpur secara kimiawi dapat dirumuskan sebagai C₂H7O2N atau perumusan yang lebih kompleks lagi sebagai C60H87O23N12P, sehingga kandungan C53% dan rasio C/N empiris 4.3. Untuk basis fraksi anorganik yang 10% terdiri dari P2O5 (50%), SO3 (15%), Na2O (11%), CaO (9%), MgO (8%), K2O (6%), dan Fe2O3 (1%) (Metcalf dan Eddy, 1991 dalam Halim 2003).

(18)

Karakteristik di lapangan untuk lumpur sangat bervariasi tergantung jenis industri, tambahan bahan kimia selama proses pengolahan dan sistem dewatering dari lumpur. Umumnya solid content dalam dewatered lumpur 20-40% atau kandungan air 60-80%, sedangkan rasio C/N dengan bias biodegradable C sekitar 6-15%.

Parameter yang diukur dalam percobaaan ini dilakukan terhadap sifat-sifat kimia media tanam. Parameter sifat kimia media tanaman yang dianalisis adalah Al, Fe, Pb, Cd, Mn yang memungkinkan terkontaminasi ke dalam tanaman.

a. Unsur Aluminium (Al)

Aluminium (Al) sebenarnya merupakan racun bagi tanaman. Walaupun demikian tanaman mempunyai daya ketenggangan tertentu terhadap aluminium. Dalam keadaan tertentu tanaman dapat membatasi serapan aluminium, sehingga terhindar dari keracunan aluminium. Tanaman dapat membentuk dinding tebal pada akar rambut dengan ujung akar yang membengkak menyerupai kail (Soepardi 1983).

Menurut Kocian (1995) dalam Nurlaela (2007) senyawa Aluminium terbagi menjadi 3 bentuk yaitu mononuklear (Al3+), Aluminium kompleks, dan Aluminium polinuklear. Endapan unsur Al(OH)3 terbentuk pada pH netral, sedangkan Al(OH)4- terbentuk pada pH yang tinggi. Untuk pH yang rendah (kurang dari 4) akan terbentuk Al (H2O)63+ atau dikenal dengan Al3+ yang merupakan toksik paling berbahaya dalam bentuk Al bagi tumbuhan (Matsumoto 2000 dalam Nurlaela 2007).

Pengaruh Aluminium terhadap pertumbuhan tanaman antara lain menurunkan penyerapan kation bivalen oleh akar terutama penyerapan Ca2+ dan Mg2+, menghambat pembelahan sel-sel meristem akar, serta menurunkan penyerapan SO42-, PO42-, dan Cl- (Nurlaela 2007). Kerusakan tanaman akibat unsur Aluminium ini nampak dengan jelas pada akar. Akar menjadi tebal, pendek, dan terhambat perpanjangannya (Delhaize et al 1993 dalam Nurlaela 2007). Keracunan Al terutama terlihat pada ujung akar. Adanya Aluminium yang berlebih dapat menyebabkan akar utama menjadi kerdil dan akar lateral terhambat pertumbuhannya (Samac DA dan Tesfaye M 2003 dalam Nurlaela 2007).

Menurut Kochian (1995) dalam Nurlaela (2007), terdapat beberapa mekanisme yang dilakukan oleh tanaman untuk mengatasi keracunan Aluminium yaitu ekslusif Aluminium pada ujung akar, melepaskan ligan pengkelat Aluminium seperti asam sitrat, oksalat, malat, dan meningkatkan pH rizosfer. Tanaman toleran dan sensitif terhadap Aluminium, akan mengakumulasi Aluminium pada tanah masam yang mengandung Aluminium (Samac DA dan Tesfaye M 2003 dalam Nurlaela 2007). Salah satu kriteria tanaman yang toleran terhadap Al yaitu dapat mengurangi absorpsi dan translokasi Aluminium ke bagian tajuk karena sebagian besar Al telah disimpan di vakuola sel akar (Matsumono 2000 dalam Nurlaela 2007).

(19)

penelitian menggunakan panjang akar relatif dengan batas 50% dianggap tenggang, seperti pada kedelai (Sopandie et al 2000 dalam Syafrudin et al 2006) dan pada tanaman padi (Jagau 2001 dalam Syafrudin et al 2006).

b. Unsur Kadmium (Cd)

Kadmium adalah logam berat yang banyak digunakan dalam industri. Kadmium (Cd) termasuk golongan IIB dalam tabel periodik dengan nomor atom 48, bobot atom 112.40, massa jenis 8.65 g/cm3, dan titik leleh 320.9°C. Unsur Cd juga merupakan golongan logam beracun, tidak hanya untuk pertumbuhan tanaman, tetapi juga bagi manusia dan hewan. Cd merupakan hara nonesensial bagi tanaman, namun mempunyai afinitas yang tinggi terhadap gugus tiol (-SH) dalam enzim dan protein. Oleh karena itu, keberadaan Cd akan mengganggu aktvitas enzim, metabolisme, besi, dan menyebabkan klorosis pada daun (Alloway 1990 dalam Khatimah 2006)

Seperti logam–logam lainnya, Cd juga terkandung dalam batuan beku dan sedimen. Kandungan total Cd dalam tanah kurang dari 8 ppm, sedangkan pada tanah yang kaya akan logam, kandungan Cd tanah tersebut bisa mencapai 800 ppm. Unsur Cd di alam tidak pernah ditimbang tersendiri, selalu sebagai produk sampingan logam lain, misalnya Zn (Leagreid et al 1999 dalam Khatimah 2006). Unsur Cd dapat terlarut dalam tanah, diserap oleh permukaan organik maupun anorganik, terikat kuat dalam mineral-mineral tanah, diendapkan oleh senyawa-senyawa yang berada di dalam tanah, dan terkandung dalam bahan hidup. Faktor-faktor yang mengatur fase padat dan fase cair Cd dalam tanah sangat kompleks yaitu dengan distribusi Cd yang merupakan dasar sehubungan dengan ketersediaannya dalam tanaman (Lagereff 1972 dalam Khatimah 2006)

Unsur Cd dalam tanah dapat menjadi penyebab gangguan penyerapan unsur hara oleh akar tanaman melalui interaksi kompetitif antagonis maupun sinergis dengan ion hara mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur Cd bersifat antagonis dengan Zn, tetapi bersifat sinergis dengan Fe dan Mn. Unsur Cd dan Zn secara kimiawi hampir serupa, tetapi tingkat toksisitas Zn lebih rendah dan merupakan unsur esensial bagi tanaman (Lepp 1981 dalam Khatimah 2006).

Unsur Cadmium bersifat tidak esensial dan beracun, bahkan tingkat toksisitasnya menempati urutan kedua setelah raksa (Laws 1981 dalam Dewi 2010). Gejala awal keracunan Cadmium dapat berupa timbulnya warna kuning pada gigi, gangguan penciuman, sampai yang lebih serius, yaitu emfisema dan proteinuria yang sangat membahayakan manusia. Piorowski dan Coleman (1980) dalam Dewi (2010) menyatakan keracunan Cadmium dapat berupa kerusakan ginjal, kehilangan sel-sel darah merah, kerapuhan tulang dan tekanan darah tinggi. Kandungan Cadmium yang masih diperbolehkan dalam komoditi konsumsi menurut standar Departemen Kesehatan RI adalah sebesar 1.00 ppp.

c. Unsur Besi (Fe)

(20)

berlangsung terus. Unsur Fe yang berlebih dalam jumlah tertentu dapat bromida) atau hampir tidak terlarut sebagai karbonat dan hidroksida. Unsur Pb di alam terdapat sebagai PbS (galena), PbSO4 (anglesite), PbCO3, dan Pb (OH)2 (Cotton dan Wilkinson 1989 dalam Khatimah 2006).

Menurut Bohn (1979) dalam Khatimah (2006) timah cenderung terakumulasi dan tersedimentasi dalam tanah karena kelarutannya yang rendah dan relatif bebas dari degradasi oleh mikroorganisme. Timah dalam tanah banyak dijumpai dalam bentuk dapat dipertukarkan, dijerap, karbonat organik, sulfida, dan hidrous oksida. Timah yang berasal dari udara sekitar dan ditambahkan ke permukaan tanah tidak akan mengalami pergerakan ke bawah tanaman. Hal ini disebabkan oleh banyaknya timah yang dijerap pada permukaan mineral liat dan koloid organik dan pembentukan kelat timbal oleh badan organik, sehingga kelarutannya rendah.

Timah merupakan unsur yang tidak esensial baik untuk tanaman maupun hewan. Timah selalu terikat kuat dengan bahan organik atau koloid terendapkan. Hal ini membantu mengurangi penyerapan timah oleh tanaman. Mobilitas timah dalam jaringan tanaman terjadi dalam bentuk ion dan kompleks-kompleks kelat. Adanya logam berat dalam tanah dapat menyebabkan perubahan kapasitas tukar kation (KTK) dan perubahan komposisi unsur hara (Buckman dan Brady 1969 dalam Khatimah 2006).

e. Unsur Mangan (Mn)

Mangan diserap tanaman untuk pembentukan zat protein dan vitamin terutama vitamin C. Selain itu, Mn penting untuk dapat mempertahanakan kondisi hijau daun pada daun yang tua. Fungsi Mangan yaitu sebagai enzim feroksidase dan sebagai aktifator macam-macam enzim. Tersedia mangan bagi tanaman tergantung pada pH tanah. Dimana pada pH rendah mangan akan banyak tersedia. Kekurangan Mn dapat dilakukan dengan memberikan 1% MnSO4H₂O , sedangkan apabila kelebihan Mn dapat dilakukan dengan jalan menambahkan zat fosfor dan kapur. Unsur Mn yang berlebihan dapat menyebabkan sifat racun bagi tanaman.

(21)

Tanaman yang keracunan Mn menunjukkan gejala seperti pertumbuhan lambat, adanya noda berwarna coklat kekuningan diantaranya urat daun, ujung daun mengering pada saat tanaman berumur 8 MST (Minggu Setelah Tanam), klorosis pada daun muda, pertumbuhan yang lambat, dan hasil produksi rendah (Surachman 2010).

Karakteristik Biologis Lumpur

Karakteristik air limbah industri, yang merupakan mikroorganisme yang terdapat dalam air limbah industri. Pemerikasaan air secara biologis sangat penting dan dapat dilakukan terhadap semua jenis air, terutama dilakukan untuk menentukan standar kualitas air. Mengingat bahwa air merupakan sumber kehidupan utama bagi mahluk hidup. Pemeriksaan air secara mikrobiologis baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif dapat dipakai sebagai pengukuran derajat pencemaran.

Di setiap badan air, baik air alam maupun air buangan terdapat bakteri atau mikroorganisme. Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme terpenting dalam sistem penanganan limbah. Bakteri ada yang bersifat pathogen sehingga merugikan dan ada yang bersifat non pathogen/menguntungkan. Bakteri pathogen bermacam-macam bentuk dan jenisnya sehingga sulit dideteksi. Analisa mikrobiologi untuk bakteri-bakteri tersebut maka diperlukan adanya indikator organisme. Indikator organisme menunjukkan adanya pencemaran oleh tinja manusia dan hewan sehingga mudah dideteksi. Dengan demikian apabila indikator organisme tersebut ditemui dalam sampel air, berarti air tersebut tercemar oleh tinja dan kemungkinan besar mengandung bakteri pathogen. Analisa menggunakan indikator organisme adalah metode yang paling umum dan dilaksanakan secara rutin.

Indikator organisme yang paling umum digunakan adalah bakteri coliform

khususnya Eschericia coli, karena jumlah bakteri ini sangat banyak dan memilki ketahanan paling besar terhadap desinfektan, sehingga jika jenis coliform sudah tidak ada setelah proses desinfeksi, maka diharapkan mikroorganisme lain juga sudah mati. Efisiensi suatu proses pengolahan air buangan, tidak dapat menghilangkan semua mikroba. Karena itu perlu dilakukan pemantauan terhadap konsentrasi mikroba pathogen dalam badan air penerima, terutama pada air yang digunakan untuk kegiatan domestik/rumah tangga. Air tidak boleh mengandung bakteri-bakteri golongan coli melebihi batas-batas yang telah ditentukan yaitu 1 coli/100 ml air. Hal ini bertujuan untuk keselamatan lingkungan (Wardana 1999 dalam Gunawan 2006). Karakteristik lumpur secara biologis, mikroorganisme tersebut terdiri dari group prokaryotik dan group eukaryotik. Komposisi dasar sel terdiri dari sekitar 90% organik dan 10% anorganik dan produksi lumpur per hari pada umumnya 10-50% dari beban COD limbah yang diolah (Supriyanto 1993 dalam Halim 2003).

Pemanfaatan Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum

(22)

dihasilkan dari lumpur kurang bagus atau mudah rapuh (Tim Peneliti Pengembangan dan Permukiman PU 1994 dalam Yeni 2001). Namun tidak sedikit lumpur dibiarkan menumpuk dan tidak dimanfaatkan secara optimal di berbagai industri. Adanya banyak pertimbangan dari bagian manajemen perusahaan misalnya, terkait waktu, dana, efisiensi pemanfaatan untuk sebuah lumpur sisa pengolahan sebuah industri.

Pengomposan

Pengomposan (composting) didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dan stabilitas dari bahan organik pada suhu termofili. Sebagain hasil produksi panas secara biologis, dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk padatan (agregat) komplek, dan apabila diberikan pada lahan tidak akan menimbulkan efek yang merugikan terhadap lingkungan (Haug 1980 dalam Halim 2003).

Menurut Metcalf dan Eddy (1991), dalam pengomposan merupakan biodegradasi dari bahan organik menjadi suatu produk yang stabil. Proses pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk yang tidak mengganggu baik selama penyimpanan maupun aplikasinya, seperti bau busuk, bakteri pathogen. Selama proses pengomposan, suhu akan mencapai kisaran 50-70ºC, sehingga bakteri pathogen dari lumpur akan mati.

Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), dalam proses pengomposan terjadi perubahan-perubahan antara lain :

a. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak lilin menjadi CO dan air.

b. Protein, melalui amida-amida dan asam-asam amino menjadi amoniak, CO₂ dan air.

c. Pengikatan beberapa unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama Nitrogen disamping Phospat, Kalium dan lain- lain yang terlepas kembali bila mikroorganisme itu mati.

d. Peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman.

Selama proses ada tiga tahapan berbeda dalam kaitannya dengan suhu yang diamati, yaitu mesofilik dan cooling (tahap pendinginan). Pada tahap awal mesofilik suhu proses akan naik dari suhu lingkungan ke-40ºC dengan adanya kapang dan bakteri pembentukan asam. Suhu proses akan terus meningkat ke tahap termofilik antara 40-70ºC, dimana mikroorganisme akan digantikan oleh bakteri termofilik, actinomycetes dan termofilik kapang. Pada kisaran suhu termofilik proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara maksimal. Tahap pendinginan ditandai dengan penurunan aktifitas dengan bakteri dan kapang mesofilik. Selama tahap cooling, proses penguapan air dari mineral yang telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilitas pH dan penyempurnaan pembentukan asam humik (Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003).

Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan

(23)

a. Rasio C/N

Proses pembuatan kompos tergantung pada kerja mikroorganisme yang memerlukan sumber karbon untuk mendapatkan energi dan bahan bagi sel-sel baru, bersama dengan pasokan N untuk protein sel. Rasio karbon nitrogen (C/N) dalam campuran pertama berkisar antara 25-35. Jika rasio terlalu tinggi, maka prosesnya akan memakan waktu lama sebelum cukup karbon dioksidasi menjadi karbon dioksida, dan sebaiknya jika terlalu rendah, maka nitrogen yang merupakan komponen pupuk penting dari kompos, akan dibebaskan sebagai amonia. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, maka dapat ditambahkan dengan bahan nitrogen seperti kotoran ternak, sedangkan apabila terlalu rendah dapat pula ditambahkan dengan bahan kaya karbon seperti jerami, sekam atau serbuk-serbuk kayu (Dalzell et al 1987 dalam Halim 2003).

Pada pengomposan sejumlah amonium terbentuk dari perombakan protein dan asam amino. Amonium yang terbentuk dapat mengalami tiga hal, yaitu digunakan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak, sebagian hilang melalui penguapan dan sebagian lagi diubah menjadi nitrit (Haug 1980 dalam Halim, 2003). Unsur karbon dan nitrogen keduanya dibutuhkan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme, yaitu 30 bagian karbon (C) dan 1 bagian nitrogen (N) atau rasio C/N = 30 dalam perbandingan berat. Tidak ada unsur makro atau unsur tambahan lain yang ditemukan sebagai faktor penghambat pada proses pengomposan lumpur (Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003).

Pada proses pengomposan optimum rasio C/N ideal adalah 20-40 dan rasio yang terbaik adalah 30. Rasio merupakan faktor terpenting dalam pengomposan, karena proses pengomposan tergantung pada kegiatan mikroba yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel bersamaan dengan nitrogen untuk pembentuk selnya. Besarnya rasio C/N tergantung pada jenis bahan yang digunakan (CPIS 1992 dalam Andhika 2003).

b. Suhu Pengomposan

Mikroorganisme dalam melakukan proses dekomposisi menghasilkan panas. Proses dekomposisi kompos pada umumnya mencapai suhu antara 32-60ºC. Suhu di bawah 32ºC proses berlangsung lambat, sedangkan suhu diatas 60ºC mikroorganisme tidak dapat bertahan. Suhu pada gundukan kompos tergantung pada panas yang hilang pada aerasi proses pendinginan. Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembap, gundukan kompos dapat lebih besar untuk meminimalkan kehilangan panas. Ketika pengomposan kehilangan banyak Tabel 12 Rasio C/N berbagai bahan baku yang dapat dibuat sebagai kompos

Jenis Bahan Rasio C/N

Lumpur aktif 6

Lumpur yang belum dicerna 11

Pepolongan 19

Gulma hijau 13

Rumput-rumputan 20

Jerami 30-80

Serbuk gergaji busuk 208

(24)

nitrogen pada lingkungan kering atau panas, gundukan kompos diperkecil dan pembalikan diperlukan untuk menyediakan oksigen. Kondisi optimum pengomposan dari pencapaian suhu antara 55-65ºC (Richard 1996 dalam Halim 2003). Menurut Indriani (1999) dalam Halim (2003), bila suhu terlalu tinggi mikroorganisme akan mati, sedangkan bila suhu relatif rendah mikroorganisme belum dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikroorganisme pada proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga suhu tetap optimal sering dilakukan pembalikan.

c. Susunan Bahan dan Ukuran partikel

Ukuran partikel bahan menentukan ukuran volume dan volume pori-pori bahan. Jika ukuran partikel bertambah kecil, maka jumlah pori-pori bertambah. Pori-pori kecil dapat menghambat pergerakan udara yang biasanya merupakan masalah pada proses pengomposan. Ukuran partikel menentukan luas permukaan dari suatu bahan. Makin halus suatu partikel, makin luas permukaan yang terbuka terhadap kegiatan mikroorganisme (Halim 2003).

Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), sampai batas tertentu semakin kecil ukuran potongan bahan, semakin cepat pula waktu pembusukannya. Hal ini dikarenakan semakin banyak permukaan yang tersedia bagi bakteri untuk menyerang dan menghancurkan meterial-material tersebut. Apabila perajangan terlalu kecil, timbunan akan menjadi tersumbat dan tidak terkena udara.

d. Kelembapan dan Aerasi

Dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme juga tergantung dari kelembapan yang terdapat pada bahan tersebut (Haug 1980 dalam Halim 2003). Menurut Academy of Science (1981) dalam Halim (2003), bahwa kadar air adalah bagian penting dalam proses pengomposan dan membutuhkan kelembapan antara 50-70%. Kadar air yang optimum penting untuk memperoleh kompos yang bermutu tinggi, karena semua mikroorganisme pada proses pengomposan membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya. Air adalah bahan penting bagi protoplasma sel yang berfungsi sebagai pelarut makanan. Kadar air di bawah 20% mengakibatkan proses metabolisme terhambat dan berjalan lambat jika kadar air di atas 70%.

Air diperlukan selama pengomposan untuk memelihara kelembapan yang tepat bagi aktivitas mikroorganisme. Kadar air ideal pada pengomposan adalah 40-60%. Pada kadar air yang terlalu besar, bahan kompos menjadi lebih rapat dan mengakibatkan pengurangan jumlah udara yang bersikulasi, sehingga menghasilkan kondisi anaerobik. Apabila kadar air tidak mencukupi, suhu bahan kompos menjadi lebih rendah, walapun suhu bahan pusat kompos tetap tinggi. Kondisi tersebut mengakibatkan penambahan waktu penguraian. Jika kompos terlalu basah, dapat ditambahkan beberapa material kering seperti potongan kayu dan dedaunan. Hal ini dapat meningkatkan porositas agar air dan udara dapat mengalir dengan baik (Richard 1996 dalam Halim 2003).

(25)

pengomposan sebagian air akan teruapkan sehingga perlu dilakukan pengaturan dengan penyemprotan, misalnya bersamaan dengan pembalikan pada proses

windrow, untuk menjaga kondisi kadar air yang optimum selama proses pengomposan (Richard 1996 dalam Halim 2003). Windrow merupakan adalah proses pembuatan kompos paling sederhana dan paling murah dengan hanya menumpukkan bahan-bahan kompos pada suatu lahan.

Gundukan dari kompos juga memberikan pengaruh pada kadar air, pada situasi kering, pembentukan cekungan bagian atas gundukan akan memaksimalkan penyerapan air dan curahan hujan dapat menambah kandungan air yang hilang sebagai uap. Apabila dalam keadaan basah, gundukan kompos dibentuk naik supaya dapat meminimalkan absorpsi dengan menumpahkan air (Richard 1996 dalam Halim 2003). Menurut Dalzell et al (1987) dalam Halim (2003), proses pengomposan memperlukan udara yang cukup ke semua bagian tumpukan kompos untuk memasok oksigen pada mikroorganisme dan mengeluarkan karbon dioksida yang dihasilkan. Tidak adanya udara (kondisi anaerobik) akan menimbulkan perkembangbiakan berbagai macam mikroorganisme yang menyebabkan keasaman dan pembusukan tumpukan yang menimbulkan bau busuk.

e. Nilai pH Pengomposan

Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), pengontrolan pH agar tetap pada kondisi yang optimal perlu dilakukan, karena keasaman yang terlalu rendah (pH tinggi) menyebabkan kenaikkan konstruksi oksigen yang mengakibatkan hasil yang buruk terhadap lingkungan. Menurut CPIS (1992) dalam Halim (2003), menambahkan pH yang terlalu tinggi juga menyebabkan unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi amoniak, sebaliknya pada kondisi asam (pH rendah) dapat menyebabkan matinya sebagian besar mikroorganisme. Menurut Hadiwiyoto (1983) dalam Halim (2003), pengontrolan pH dapat dilakukan dengan penambahan kotoran hewan, urea, atau pupuk nitrogen untuk menurunkan pH, sedangkan pemberian kapur dan abu dapur untuk menaikkan pH.

Kondisi pH optimum untuk pertumbuhan bakteri pada umumnya adalah antara 6-7.5 dan 5.5-8 untuk fungi. Selama proses tumpukan, umumnya kondisi pH bervariasi dan akan terkontrol dengan sendirinya. Kondisi pH awal yang relatif tinggi, misalnya akibat penggunaan CaO pada lumpur, akan melarutkan nitrogen dalam kompos dan selanjutnya akan diemisikan sebagai amoniak. Tidaklah mudah untuk mengatur kondisi pH dalam tumpukan massa kompos untuk pencapaian pertumbuhan biologis yang optimum. Pengaturan kondisi pH belum ditemukan kontrol opresional yang efektif (Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003).

f. Kebutuhan oksigen

(26)

Tabel 13 Faktor penting dalam perencanaan proses pengomposan secara aerobik

Faktor Keterangan

Jenis lumpur

Jenis untreated dan digested sludge keduanya dapat dikomposkan. Untreated sludge lebih berpotensi menimbulkan masalah bau, terutama pada aplikasi windrow. Untreated sludge

lebih mempunyai ketersediaan energi, lebih mudah terdegradasi dan mempunyai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi.

Amendments

dan bulking agents

Beberapa karakteristiknya, seperti kadar air, ukuran partikel, dan karbon tersedia sangat berperan terhadap proses dan kualitas produk akhir. Bahan-bahan tersebut harus mudah didapat dan murah seperti : serpihan kayu, gergaji, jerami, sekam dan kulit padi, recycled compost dan lain-lain.

Rasio C/N Rasio C/N awal harus sekitar 25-30 perbandingan berat. Unsur kesetimbangan sistem, atau kandungan oksigen antara 5-10% di semua bagian tumpukan untuk tercapainya hasil yang optimum Kadar air Dari campuran kompos antara 40-60%. Berkurangnya kadar air

akibat penguapan, terutama pada sistem windrow dapat ditambahkan bersamaan dengan proses pembalikan

pH Harus antara 6-9 kondisi pH yang relatif tinggi akan meningkatkan emisi nitrogen sebagai amoniak

Suhu Suhu optimum untuk stabilisasi 45-55°C. Pada kondisi terbaik, suhu akan mencapai 50-55°C pada kondisi awal dan meningkat ke 55-65°C saat periode pengomposan berlangsung. Suhu yang terlalu tinggi akan menurunkan aktifitas kerja mikroba. Periode selanjutnya temperatur akan menurun pada tahap cured process, sekaligus untuk menurunkan kadar air

Mixing dan

turning

Untuk mencegah kekeringan, pengerasan, penggumpulan dan aliran kontak udara yang tidak merata, material dalam tumpukan proses harus diaduk dan dibalik secara terjadwal sesuai kebutuhan. Frekuensi pembalikan tergantung sistem pengomposan.

Logam berat dan trace organics

Kandungan dalam lumpur dan kompos akhir harus dipantau secara teratur untuk menjamin kualitas produk akhirnya tidak melampaui ambang batas untuk aplikasi lebih lanjut.

Kondisi lokasi

Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi, termasuk ketersediaan lahan, akses, jarak terhadap sumber lumpur dan bulking agent, penggunaan lahan sekitar, ketersediaan zona penyangga, tenaga kerja, kondisi iklim.

(27)

Diperlukannya kandungan oksigen >5% untuk menjaga kestabilan kondisi aerobik, meskipun pada kondisi konsentrasi oksigen di dalam tumpukan yang hanya sekitar 0.5% tidak didapati adanya kondisi anaerobik (Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003).

g. Mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan

Mikororganisme yang biasa bekerja pada proses pengomposan adalah bakteri, kapang, Actinomycetes, dan protozoa (Indriani 1999 dalam Halim 2003). Menurut Hadiwiyoto (1983) dalam Halim (2003) pengomposan akan berjalan lama apabila jumlah mikroorganisme perombak pada mulanya sedikit. Semakin banyak jumlah mikroorganisme pada awal suatu proses, fase adaptasinya semakin singkat. Untuk memperbanyak jumlah mikroorganisme pada awal pengomposan dapat ditambahkan bibit berupa kotoran ternak atau limbah cair, karena baik kotoran ternak atau limbah cair banyak mengandung bakteri perombak.

Karakteristik Lumpur dan Mutu Kompos

Karakteristik lumpur seperti pemahaman akan kuantitas hasil lumpur, kandungan padatan, dan sifat padatan sangatlah penting untuk memilih dan mendesain perangkat proses yang tepat (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Pemanfaatan lumpur salah satunya dapat dijadikan pupuk kompos. Kandungan organik yang baik pada lumpur dapat dimanfaatkan dengan proses pengomposan. Dalam pembentukan kompos sendiri membutuhkan adanya kandungan unsur hara yang sebagian ada pada lumpur WTP. Kompos dari lumpur WTP menurut hasil analisis telah memiliki kandungan logam berat lebih sedikit dibandingkan logam berat pada saat berupa lumpur, hal ini dikarenakan telah terdegradasi oleh mikroorganisme dalam proses pengomposan.

Kandungan utama kompos merupakan bahan organik. Kompos mengandung unsur hara seperti nitrogen, fosfat, kalium, dan magnesium. Kandungan unsur hara kompos tidak tetap. Hal ini dipengaruhi oleh bahan yang dikomposkan, cara pengomposan, dan cara penyimpanan (Anonim 1999 dalam Halim 2003).

Teknik Remediasi Tanah

Remediasi memiliki suatu arti yaitu perbaikan. Remediasi tanah adalah pemulihan tanah yang terkontaminasi oleh zat-zat pencemar seperti logam berat dan atau senyawa organik untuk mengembalikan fungsi tanah, sehingga dapat dimanfaatkan kembali dan tidak menimbulkan masalah bagi lingkungan (Hakim et al 2005). Teknologi pada umumnya dapat dilakukan dengan isolasi, immobilisasi, reduksi toksisitas, pemisahan fisis dan ekstraksi. Teknologi secara ekstraksi untuk remediasi tanah antara lain soil washing, phyrometallurgical, in-situ, soil flushing dan elektrokinetic treatment (Cyntia 1997 dalam Hakim et al 2005).

(28)

liquid) adalah sumber pencemar kontinyu yang bermasalah. LNAPL dan DNAPL dapat menimbulkan kontaminasi terlarut. LNAPL lebih mudah dilokalisir dan dikurangi daripada DNAPL. Komposisi LNAPL lebih biodegradable sehingga dapat diturunkan dengan aspirasi/pemompaan. DNAPL dilokalisir dahulu baru kemudian diturunkan konsentrasinya (Soil ... 2012).

Soil Venting

Tanah ventilasi adalah teknologi yang menggunakan udara untuk mengekstrak kontaminan volatile dari tanah yang terkontaminasi. Tanah ventilasi (Soil venting) yang mencakup ekstraksi udara dan injeksi merupakan salah satu metode utama yang digunakan di Amerika Serikat untuk menghilangkan VOC (Volatile Organik Compounds) dari tak jenuh. Teknologi ini juga dikenal sebagai tanah uap ekstraksi (Soil vapour extraction). Para Desainer harus memiliki ahli geologi, hidrogeologi, ilmuwan tanah, ahli kimia untuk merancang suatu sistem yang optimal. Sebuah pengetahuan dasar kimia juga diperlukan untuk mengembangkan sampling kualitas dan rencana pemantauan. Teknologi ini tepat guna dalam menghilangkan kontaminan organik berbahaya dari tanah bawah permukaan (Soil ... 2012).

Banyak model tanah ventilasi mengasumsikan bahwa lokal partisi dari kontaminan ke dalam berbagai tahapan yang diatur oleh kendala ekuilibrium (Johnson et al 1990 dalam Lingineni dan Dhir 1995). Salah satu proses utama yang mempengaruhi kinerja tanah. Sistem ventilasi adalah perpindahan masa dari interfase kontaminan fraksi dalam kondisi aliran adveki, diciptakan oleh gradient tekanan bawah permukaan. Teknologi ini telah diterima oleh banyak kalangan selama dekade terakhir karena kebutuhan dari suatu in-situ, biaya efektif, metode untuk mengatasi berbagai kontaminasi masalah yang diciptakan oleh kebocoran bawah permukaan.

Soil Vapour Extraction (SVE)

Soil Vapour Extraction merupakan salah satu teknologi pengolahan air tanah. Air sparging adalah stripping udara secara in-situ yang sederhana. Air sparging berfungsi memompa udara untuk meningkatkan aktifitas degradasi pada mikroba. Sistem SVE terdiri dari satu atau lebih sumur ekstraksi yang diputar di zona tak jenuh, blower, dan sering juga di injeksi udara. Sumur-sumur injeksi diisi udara dan compressor ke akuifer. Stripping udara ini digunakan untuk mentransfer senyawa organik volatile (VOC) dari air tanah ke udara. Soil Vapor Extraction

atau ekstraksi uap tanah disertai air sparging digunakan untuk menangkap aliran udara terkontaminasi. Ekstraksi uap tanah menggunakan serangkaian sumur tersaring di zona tak jenuh untuk menangkap uap tanah (Soil ... 2012).

Faktor-faktor yang menetukan fase uap kontaminan dan transportasi Soil Vapor Extraction di zona tak jenuh diantaranya:

a. Pencemaran transportasi dan penghapusan.

(29)

ditahan oleh beberapa kapiler antar partikel padat, seperti organik teradsorpsi yang terkait dengan permukaan.

b. Pencemaran properti.

Sifat fisika dan kimia sangat mempengaruhi alur dan transportasi kontaminan. Properti ini mempengaruhi distribusi kontaminan antara empat fase pada tanah, seperti fase gas (uap), dilarutkan dalam pori-pori (fase air), teradsorpsi pada permukaan partikel (fase padat), dan sebagai NAPL.

c. Sifat tanah.

Sifat fisik dan kimia kontaminan seperti media berpori dan karakteristik cairan sangat mempengaruhi alur dan kontaminan dan transportasi. Berikut alur kontaminan dan transportasi SVE dapar dilihat pada Gambar 1.

Sumber : Soil ... 2012.

Gambar 4Proses tranportasi Soil Vapour Extraction

Bioremediasi

Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme yang telah dipilih untuk ditumbuhkan pada polutan tertentu sebagai upaya untuk menurunkan kadar polutan tersebut. Pada saat proses bioremediasi berlangsung, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi struktur polutan beracun menjadi tidak kompleks sehingga menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya. Sehubungan dengan bioremediasi, Pemerintah Indonesia telah mempunyai payung hukum yang mengatur standar baku kegiatan bioremediasi dalam mengatasi permasalahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan perminyakan serta bentuk pencemaran lainnya (logam berat dan pestisida) melalui Kementerian Lingkungan Hidup, Kep Men LH No.128 tahun 2003, tentang tatacara dan persyaratan teknis dan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis (bioremediasi) yang juga mencantumkan bahwa bioremediasi dilakukan dengan menggunakan mikroba lokal (Priadie 2012).

(30)

namun telah memainkan peran sentral dalam pengolahan limbah konvensional sejak tahun 1900-an (Mara, Duncan, and Horan 2003 dalam Priadie 2012). Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada pengolahan air limbah yang mengandung senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida dan herbisida (Tortora 2010 dalam Priadie 2012), maupun nutrisi dalam air seperti nitrogen dan fosfat pada perairan tergenang (Great Lakes Bio systems. Inc. Co 0rb-3.com dalam Priadie 2012).

Teknik bioremediasi dapat dilaksanakan secara in-situ maupun cara ex -situ. Teknik bioremediasi in-situ umumnya diaplikasikan pada lokasi tercemar ringan, lokasi yang tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik kontaminan yang

volatile. Bioremediasi ex-situ merupakan teknik bioremediasi dengan cara lahan atau air yang terkontaminasi diangkat, kemudian diolah dan diproses pada lahan khusus yang disiapkan untuk proses bioremediasi. Penanganan semacam ini lebih aman terhadap lingkungan karena agen pendegradasi yang dipergunakan adalah mikroba yang terurai secara alami (Budianto 2008 dalam Charlena 2010).

Bioremediasi secara ex-situ dapat dilakukan dengan teknik landfarming

dan bioslurry. Landfarming merupakan salah satu kategori jenis bioremediasi ex -situ yang dapat mempersingkat waktu untuk pembersih lahan yang terkontaminasi dibandingkan dengan cara fisika, kimia, dan biologi. Teknik landfarming ini membutuhkan penggalian dan penempatan pada tumpukan-tumpukan. Tumpukan-tumpukan itu secara berkala dipindahkan untuk dicampurkan dan diatur kelembapannya. Pengaturan pH tanah dan penambahan nutrisi dibutuhkan untuk meningkatkan aktivitas biologi (Poon 1996 dalam Charlena 2010).

Menurut Garcia et al (2010) dalam Charlena (2010), teknik landfarming

merupakan metode yang seringkali dipilih untuk tanah yang terkontaminasi hidrokarbon, karena relatif lebih murah, dan berpotensi berhasil. Bioremediasi dengan teknik bioslurry menggunakan bioreaktor berupa bejana (container) atau reaktor yang digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry).

Slurry bioreaktor tidak hanya digunakan untuk mendegradasi limbah berbentuk fase cairan dan slurry, namun dapat mendegradasi limbah padat/tanah.

Menurut Banerji (1997) dalam Charlena (2010), fase bioslurry dapat memiliki tingkat kepadatan 10-40%. Slurry ini kemudian disimpan dalam bioreaktor. Dalam bioreaktor slurry akan diberikan nutrisi dalam kondisi lingkungan yang terkontrol agar mikroba dapat melakukan proses degradasi dengan baik. Selain penambahan nutrisi, ke dalam reaktor diberikan suplai udara atau oksigen untuk menjaga agar kondisi aerobik pada bioreaktor tetap terjaga. Pengadukan dilakukan secara mekanik atau pneumatik. Keuntungan proses bioremediasi dengan menggunakan slurry bioreaktor adalah mempercepat proses transfer massa antara fase padat dan cair, kontrol lingkungan dapat berlangsung dengan baik, mudah dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor, dan berpotensi dalam mencegah kontaminasi oleh mikroba pengganggu.

Landfarming dan slurry bioreaktor merupakan salah satu teknologi bioremediasi yang terus berkembang hingga saat ini. Metode landfarming maupun

(31)

dalam menangani limbah minyak bumi. Seberapa efektif bioremediasi dalam merombak hidrokarbon dari limbah minyak bumi pada fase slurry dan fase padat, merupakan permasalahan yang perlu diketahui dan dikembangkan.

Proses Fitoremediasi

Fitoremedisasi dapat dilakukan secara in-situ (langsung di tempat terjadinya pencemaran), maupun secara ex-situ atau menggunakan kolam buatan yang merupakan bioreaktor besar untuk penanganan limbah. Tanaman dapat digunakan secara langsung dalam bentuk alaminya lengkap terdiri bagian akar, batang, dan daun maupun dalam bentuk kultur jaringan tanaman. Secara tradisional, tanaman telah lama digunakan untuk proses penjernihan air. Mekanisme yang terjadi adalah proses koagulasi menggunakan ekstrak tanaman yang bersifat koagulan. Tanaman enceng gondok (Eichornia crassipes) telah lama digunakan untuk pengolahan air limbah secara tradisional.

Konsep fitoremediasi lebih berkembang dengan aplikasi baru untuk dekontaminasi tanah yang tercemar oleh senyawa-senyawa organik maupun anorganik. Perkembangan yang pesat di bidang penelitian fitoremediasi tidak lepas dari kemajuan di bidang biologi molekuler, rekayasa genetika dan teknologi enzim. Fitoremediasi dapat dijadikan indikator adanya pencemaran air dan udara (Pratomo 2004).

Adanya batasan konsentrasi polutan yang dapat ditolerir oleh tanaman. Tanaman secara umum hanya dapat hidup pada limbah dengan BOD kurang dari 300 mg/l. Keuntungan dari teknik fitoremediasi antara lain adalah efisiensi biaya untuk volume pencemar yang besar dan konsentrasi rendah, tidak membutuhkan peralatan yang rumit dan pekerja spesialis, lebih ramah lingkungan dan lainnya (Erakhumen 2007 dalam Abadi 2008).

Macam-macam logam berat dan unsur radioaktif dibersihkan oleh tanaman melalui cara berikut ini :

a. Biodegradasi dalam rizosfer

Dalam proses ini, tanaman mengeluarkan senyawa organik dan enzim melalui akar (eksudat akar), sehingga daerah rizosfer merupakan lingkungan yang sangat baik untuk tempat tumbuhnya mikroba dalam tanah. Mikroba di daerah rizosfer akan mempercepat proses biodegradasi kontaminan.

b. Fitostabilitasi

Dalam proses stabilisasi, berbagai senyawa yang dihasilkan oleh tanaman dapat mengimobilisasi kontaminan, sehingga diubah menjadi senyawa yang stabil. Tanaman mencegah migrasi polutan, dengan mengurangi runoff, erosi permukaan, dan aliran air bawah tanah.

c. Fitoakumulasi (fitoekstraksi)

Akar tanaman dapat menyerap kontaminan bersamaan dengan penyerapan

nutrient dan air. Massa Kontaminan tidak dirombak, tetapi diendapkan di bagian trubus dan daun tanaman. Metode ini digunakan terutama untuk menyerap limbah yang mengandung logam berat.

(32)

Tabel 14 Aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan tanamannya

Aplikasi Media Polutan Jenis Tanaman

1. Fitovolatilisasi Tanah, air

(33)

d. Rizofiltrasi (sistem hidroponik untuk pembersihan air)

Rizofiltrasi prinsipnya sama dengan fitoakumulasi, tetapi tanaman yang digunakan untuk membersihkan ditumbuhkan dalam media cair (sistem hidroponik). Sistem ini dapat digunakan untuk mengolah air bawah tanah secara

ex-situ. Air bawah tanah dipompa ke permukaan untuk diolah menggunakan tanaman. Sistem hidroponik memerlukan media cari buatan yang dikondisikan seperti dalam tanah, misalnya diberi campuran pasir dan mineral perlit, atau vermikulit. Setelah tanaman jenuh dengan kontaminan, kemudian dipanen dan diproses.

e. Fitovolatilisasi

Dalam proses ini, tanaman menyerap air yang mengandung kontaminan organik melalui akar, diangkut ke bagian daun, dan mengeluarkan kontaminan yang sudah didetoksifikasi ke udara melalui daun.

f. Fitodegradasi

Kontaminan organik diserap ke dalam tanaman. Dalam proses metabolisme, tanaman dapat merombak kontaminan yang sudah bersifat toksik.

g. Pengendalian hidrolisis

Tanaman yang berbentuk pohon, secara tidak langsung dapat membersihkan lingkungan, dengan cara mengendalikan pergerakan air bawah tanah. Pohon merupakan pompa alami, saat akar yang berada pada lapisan air bawah tanah menyerap air dalam jumlah besar. Pohon poplar merupakan salah satu contoh pohon yang dapat menyerap 30 galon air per hari. Pohon Cottonwood dapat menyerap lebih dari 350 galon per hari.

Mekanisme Proses

Mekanisme kerja fitoremediasi mencakup proses fitoekstraksi, rhizofiltasi, fitodegradasi, fitostabilitasi dan fitovolatilisasi (Kelly 1999 dalam Moenir 2010). Fitoekstraksi adalah penyerapan logam berat oleh akar tanaman dan mengakumulasikan logam berat tersebut ke bagian-bagian tanaman seperti akar, batang, dan daun. Rhizofiltasi adalah pemanfaaan kemampuan akar tanaman untuk menyerap, mengendapkan, mengakumulasikan logam berat dari aliran limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme logam berat di dalam jaringan tanaman oleh enzim seperti dehalogenase dan oksigenase. Fitostabilitasi adalah kemampuan tanaman tanaman dalam mengekskresikan (mengeluarkan) suatu senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi logam berat di daerah rizosfer (perakaran), sedangkan Fitovolatilisasi terjadi ketika tanaman menyerap logam berat dan melepaskannya ke udara lewat daun dan ada kalanya logam berat mengalami degradasi terlebih dahulu sebelum dilepas lewat daun (Anonim 1999 dalam Moenir 2010).

Secara umum mekanisme penyerapan logam berat oleh tanaman berlangsung secara aktif (active up take) dan penyerapan secara pasif (passive up take).

1. Penyerapan logam berat secara aktif (active up take) oleh tanaman, meliputi tiga proses yaitu:

Gambar

Tabel 13 Faktor penting dalam perencanaan proses pengomposan secara aerobik
Gambar 4 Proses tranportasi Soil Vapour Extraction
Tabel 14 Aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan
Gambar 5 Alfalfa legum salah satu tanaman  hyperaccumulator
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nekatere klju ne besede s podro ja knjižni arstva: KNJIŽNI ARSTVO- dejavnost posebne stroke JAVNA KNJIŽNI ARSKA SLUŽBA- na in izvajanja dejavnosti, ki je v interesu države

Ayat di atas menerangkan bahwa Ibnu Umar R.A juga pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang wanita yang aku nikahi dengan maksud agar dia halal kembali dinikahi bekas

Berdasarkan dari hasil pemaparan tersebut penulis merasa tertarik untuk mengangkat topik yang berkaitan dengan hal di atas, alasan yang lebih jelasnya yaitu perjumpaan agama

Setelah menyelesaikan pembelajaran ini mahasiswa mampu membuat keputusan terkait masalah yang berhubungan dengan sistem hematologi pada anak dan mengaplikasikan

Dilihat dari hasil penelitian, substrat fermentasi yang paling optimal dalam produksi enzim adalah substrat tongkol jagung dengan nilai aktivitas enzim yang

Regulasi transkripsi dapat terjadi melalui interaksi tidak langsung dengan fungsi suatu faktor transkripsi, antara lain dengan blokade tempat pengikatan faktor

2.. Beberapa tahun terakhir ini* telah banyak pabrikan kendaraan mengaplikasikan teknologi in%eksi bahan bakar di setiap produknya. Beberapa produsen otomoti

Taksi bandara merupakan sebuah transportasi non-pribadi yang disediakan oleh pihak pengelola bandara untuk menunjang kegiatan di bandara sebagai pelayanan prima