KETERKAITAN SPASIAL PERBEDAAN PRODUKTIVITAS
TENAGA KERJA KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA
ARBA IN NUR BAWONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
Arba in Nur Bawono
ABSTRACT
ARBA IN NUR BAWONO. Spatial Dependence of Labour Productivity Disparities of Districts/Cities at Java Island. Under Direction of SETIA HADI,
KOMARSA GANDASASMITAand DIDIT OKTA PRIBADI
Using 115 districts/cities at Java Island and 9 sectors on the 2001-2008, this study use Esteban s shift share analysis to investigate the extent to which the existing interregional disparities in labour productivity can be attributed. The different between labour productivity of districts/cities and Java Island average is regressed on the three shift share components: industrial mix, productivity different, and allocative. However, labour productivity is not only influenced by three shift share components as explanatory variables but also by aspects related to surrounding districts/cities (neighborhood). Therefore, this research employed spatial econometric models, i.e. spatial lag model and spatial error model. We observed significant spatial effect for productivity different and the industrial mix component, productivity different as well as allocative components. The result found that labor productivity disparities across districts/cities in Java Island could be attributed to the industry mix, productivity different and allocative components. Whereas the highest coefficient regression value indicated by industrial mix component. Therefore, policies are needed not only for the transformation of labor from one sector (eg. primary sector) to other sectors (eg. secondary sector). It s necessary to promote policy emphasis on increasing sectoral labour productivity, for example through empowering labor skills and improving of socioeconomic infrastructure.
RINGKASAN
ARBA IN NUR BAWONO. Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas
Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Dibimbing oleh SETIA HADI,
KOMARSA GANDASASMITA dan DIDIT OKTA PRIBADI
Terdapat tiga macam ukuran yang biasa digunakan untuk mengkaji kinerja suatu wilayah, yaitu: output, output per kapita, dan output per pekerja. Ukuran yang akan dipilih tergantung dari tujuan penelitian. Penggunaan ouput per pekerja, yang sering didefinisikan sebagai produktivitas tenaga kerja memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: (i) lebih sensitif terhadap perbedaan jumlah penduduk (pekerja) dibanding dengan penggunaan output yang biasanya diwakili oleh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang bersifat agregat; (ii) dapat dilakukan dekomposisi secara sektoral dibanding dengan output per kapita (PDRB perkapita).
Penggunaan unit spasial (misalnya, kabupaten/kota) sebagai unit analisis perlu mempertimbangkan efek spasial, yaitu kemungkinan terjadinya nilai yang mirip pada wilayah yang berdekatan sebagaimana dinyatakan hukum geografi I (Tobler s first law of geography). Memperhatikan uraian di atas, permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah: (i) Apakah terdapat efek spasial pada perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan
produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tetangga di sekitarnya (neighborhood)?
(ii) Apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa? Sehubungan dengan masalah tersebut maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi masing-masing komponenshift
share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan menggunakan pendekatan model regresi spasial.
Produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota secara sektoral atau menurut lapangan usaha diukur oleh rasio PDRB kabupaten/kota menurut lapangan usaha terhadap jumlah tenaga kerja kabupaten/kota menurut lapangan usaha. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kamarianakis dan Le Gallo yang memformulasikan penyebab perbedaan produktivitas antar wilayah dengan menggunakan analisis
shift share yang dikembangkan Esteban. Dengan teknik dekomposisi, Esteban yang menggunakan data negara-negara Eropa menemukan bahwa perbedaan produktivitas antara suatu megara dengan produktivitas rata-rata Eropa, merupakan penjumlahan dari tiga faktor, yaitu: (i) struktur ekonomi masing-masing negara secara sektoral, (ii) perbedaan produktivitas tenaga kerja pada sektor yang sama di negara yang berbeda, dan (iii) perbedaan alokasi tenaga kerja di masing-masing sektor.
negatif jika terjadi penyebaran nilai, yaitu kabupaten/kota yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (rendah) dikelilingi oleh kabupaten-kabupaten/kota-kota lain yang justru bernilai rendah (tinggi).
Keberadaan pola spasial tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar perlunya menyusun sebuah model ekonometri spasial kontribusi masing-masing
komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja
kabupaten/kota di Pulau Jawa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun 2001 sampai dengan 2008 relatif tidak terdapat perubahan yang signifikan pada peringkat perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota terhadap rata-rata produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. Pengujian menggunakan uji beda peringkat Kendall (Kendall concordance test) menghasilkan nilai probabilitas, yaitu nilai asymp. Sig (asymptotic significant) sebesar < 0,05 dan koofisien konkordansi Kendall sebesar 0,975 yang berarti tingkat keselarasannya sangat tinggi atau peringkat kabupaten/kota berdasarkan nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antar tahun tidak banyak mengalami perubahan.
Persebaran tingkat produktivitas tenaga kerja tersebut dapat dipetakan
berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasinya. Rata-rata perbedaan
produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2001 sebesar 1,022 dengan standar deviasi 21,59. Dibandingkan dengan data tahun 2008 tidak
didapatkan perbedaan yang signifikan. Meskipun demikian terdapat
kecenderungan penurunan pada rata-rata produktivitas tenaga kerja menjadi -0,21, sedangkan nilai deviasi standar cenderung meningkat dan pada tahun 2008 menjadi 29,39 yang mengindikasikan peningkatan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota yang semakin senjang.
Terdapat perbedaan distribusi antara kabupaten/kota yang nilai perbedaan produktivitas tenaga kerjanya berada di bawah dan di atas rata-rata. Seluruh kabupaten/kota yang berada di bawah rata-rata memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antara rata-rata dikurangi dengan standar deviasi. Sedangkan pada kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di atas rata-rata lebih tersebar, sebagian berada pada rata-rata ditambah standar deviasi bahkan sampai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota memiliki produktivitas tenaga kerja yang rendah. Dengan kata lain terjadi kemerataan produktivitas tenaga kerja pada tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah.
Hasil analisis menggunakan regresi spasial dengan data panel yang menggabungkan sekaligus antara data 115 kabupaten/kota selama 8 tahun (dari
2001 sa,pai 2008) menyimpulkan bahwa ketiga komponen shift share
berpengaruh secara nyata terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja
kabupaten/kota di Pulau Jawa. Pengujian dengan menggunakan Lagrange
Multiplier (LM), uji Hausman dan membandingkamn antara R2 dan Corr2 dapat
disimpulkan bahwa untuk masing-masing variabel penjelas the Industry-Mix
Component ( i) dan the Productivity Differential Component ( i) model terbaik
yang didapatkan adalahspatial lag atauspatial autoregressive(SAR)fixed effect.
Sementara untuk variabel penjelas the Allocative Component ( i) model
Model regresi spasial yang dikembangkan juga memperlihatkan signifikansi
efek spasial pada hubungan antara masing-masing komponen shift share terhadap
perbedaan produktivitas tenaga kerja. Hal tersebut berarti perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota juga dipengaruhi oleh perubahan komponen
shift share (alokasi tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja sektoral) di kabupaten/kota tetangga.
Oleh karena itu, disarankan untuk merancang kebijakan yang tidak hanya memperhatikan transformasi tenaga kerja dari suatu sektor ke sektor lain, misalnya dari sektor primer ke sektor sektor sekunder. Tetapi perlu untuk memperhatikan produktivitas tenaga kerja secara sektoral, misalnya melalui peningkatan ketrampilan tenaga kerja, perbaikan infrastruktur sosial ekonomi pendukung, dan lain-lain. Peningkatan keahlian dan ketrampilan tersebut juga dapat menjadi solusi adanya hambatan perpindahan tenaga kerja dari satu sektor ke sektor lainnya.
Berdasarkan temuan adanya keterkaitan spasial maka disarankan koordinasi antar kabupaten/kota yang bertetangga untuk bersinergi meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Misalnya, untuk peningkatan infrastruktur sosial ekonomi yang dapat mendorong peningkatan produktivitas sektoral perlu
memperhatikan skala layanan dan efek limpahan manfaat (spillover effect)
sehingga dapat dirancang lebih efisien dalam pembiayaan dan pemanfaatan barang publik.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KETERKAITAN SPASIAL PERBEDAAN PRODUKTIVITAS
TENAGA KERJA KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA
ARBA IN NUR BAWONO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa
Nama : ARBA IN NUR BAWONO
NRP : A156070071
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ketua
Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc Didit Okta Pribadi, SP, M.Si
Anggota Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dapat diselesaikan.
Penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Setia Hadi, MS, Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc dan Didit Okta Pribadi, SP, M.Si masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing serta Dr. Ir. Baba Barus, M. Sc selaku penguji luar komisi atas motivasi, arahan dan masukan terhadap penulis untuk terus berusaha menyempurnakan karya ini. Terimaksih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan jajaran manajemen, segenap dosen pengajar, asisten dan staf kependidikan program studi Ilmu Perencanaan Wilayah SPs IPB. Rekan-rekan Mahasiswa SPs PWL Angkatan 2007 yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaan dan dorongan semangat untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Dede Rosdiana perlu disebut secara khusus bukan saja karena menjadi teman seperjuangan hingga deadline, tetapi juga atas kontribusinya membantu karya ini lebih rapi dan enak dibaca.
Terakhir, secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada ayah H. Nurul Huda (alm), ibu Hj. Sumini, dan seluruh keluarga terutama untuk Evi, Izzan, dan Hanan (istri dan kedua anak penulis) atas segala doa, perhatian, kasih sayang, pengertian, dan kesabarannya yang menjadi motivasi lebih bagi penulis untuk tetap terus melangkah.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1969 dari ayah H. Nurul Huda (Alm) dan ibu Hj. Sumini. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara.
Setelah menyelesaikan pendidikan dari SMA Negeri 1 Surakarta pada tahun 1988, penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Program Studi yang dipilih adalah Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan selesai pada tahun 1998.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Perumusan Masalah ... 4
Tujuan Penelitian ... 4
Manfaat Penelitian ... 5
Ruang Lingkup Penelitian ... 5
Kerangka Pemikiran ... 6
TINJAUAN PUSTAKA Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah ... 9
Produktivitas Tenaga Kerja Sebagai Ukuran Kinerja Pembangunan ... 11
Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia ... 13
Interaksi dan Keterkaitan Spasial (Spatial Dependence)... 17
Permodelan Ekonometri Spasial ... 20
Kajian Penelitian Terdahulu ... 25
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data ... 29
Analisis Dekomposisi Produktivitas Tenaga Kerja (Shift Share Analysis)... 32
Analisis Data Spasial (Exploratory Spatial Data Analysis/ESDA) ... 35
Matriks Keterkaitan Spasial (Spatial Weight Matrices) ... 37
Analisis Regresi Spasial Data Panel ... 39
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Umum ... 41
Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Antar Kabupaten/Kota ... 51
Perhitungan Komponen Shift Share ... 54
KomponenIndustrial Mix ... 55
KomponenProductivity Different ... 58
KomponenAllocative ... 60
Pola Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja ... 61
Matrik Kontiguitas Spasial ... 61
Pengujian Autokorelasi Spasial ... 63
Klaster Kabupaten/Kota Berdasar Perbedaaan Produktivitas Tenaga Kerja ... 64
Model Regresi Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja ... 68
Permodelan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja denganFixed Effect
Spasial ... 73
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 79
Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 83
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Perkembangan Pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) dan Tenaga Kerja berdasarkan Sektor tahun 1987, 1997, 2007 (dalam persen) ... 1
2. Variabel, Definisi dan Indikator yang Digunakan dalam Penelitian ... 32
3. Tipe Hubungan Wilayah dengan Wilayah Tetangganya ... 37
4. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha, Tahun 2001-2008 ... 44
5. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan PDRB Terhadap PDRB Pulau Jawa, 2001-2008 ... 45
6. Persentase Tenaga Kerja di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2008 ... 46
7. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan Jumlah Tenaga Kerja Terhadap Rata-rata Jumlah Tenaga Kerja di Pulau Jawa, 2001-2008 ... 47
8. Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Menurut lapangan Usaha Tahun 2001 2008 ... 49
9. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, 2001-2008 ... 50
10. Ringkasan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001 2008... 51
11. Hasil Pengujian Statistik Uji Keselarasan Kendall ... 54
12. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen
Industrial Mix ( = (Pij - Pjawa) * Xj.jawa) Tahun 2001 2008 ... 55 13. Perbandingan Konsentrasi Tenaga Kerja di Jakarta Selatan dan Kabupaten
Pamekasan Tahun 2008 ... 56
14. Perkembangan Struktur Tenaga Kerja di Kota Cirebon Tahun 2001 dan 2008 ... 57
15. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen
Productivity Differential i= jpjjawa(xji xjjawa) Tahun 2001 2008 ... 59
16. Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kota Kediri dan Kabupaten Blora serta Perbandingannya dengan Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa Tahun 2008 ... 60
17. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen
Allocative i= j(xji xjjawa)(pji pjjawa) Tahun 2001 2008 ... 61
18. Ringkasan Hasil Perhitungan Moran s I ... 63
19. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja
20. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja
Kabupaten/Kota di Pulau Jawa:the Productivity Differential Component ... 70
21. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja
Kabupaten/Kota di Pulau Jawa:the Allocative Component ... 70
22. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di
Pulau Jawa: the Industry-Mix Component... 71
23. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di
Pulau Jawa: the Productivity Differential Component ... 71
24. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di
Pulau Jawa: the Allocative Component ... 71
25. Nilai R2 dan Corr2Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota
di Pulau Jawa:the Industry-Mix Component ... 72
26. Nilai R2 dan Corr2Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota
di Pulau Jawa:the Productivity Differential Component ... 72 27. Uji Nilai R2 dan Corr2 Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Pikir Penelitian ... 7
2. Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia, 1993-2003 (berdasar Indeks Williamson) ... 13
3. Ilustrasi Model Keterkaitan antar Variabel Spasial ... 18
4. Tipe Keterkaitan antar Wilayah ... 38
5. Diagram Alir Algoritma Penentuan Model Regresi Spasial Data Panel ... 41
6. Perkembangan Agregat Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, 2001-2008 ... 49
7. Persebaran Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Tahun 2001 dan 2008... 52
8.a. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2001 ... 64
8.b. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa 2008 ... 65
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Kabupaten/Kota di Pulau Jawa ... 88
2. Rangking dan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja
Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001-2008 ... 91
3. Rangking dan Nilai Komponen Industry-Mix Kabupaten/Kota di Pulau
Jawa, 2001-2008 ... 94
4. Rangking dan Nilai Komponen Productivity Different Kabupaten/Kota di
Pulau Jawa, 2001-2008 ... 97
5. Rangking dan Nilai KomponenAllocativeKabupaten/Kota, 2001-2008 ... 100
6.a.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan
KomponenShift Share, Tahun 2001 ... 103 6.b.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan
KomponenShift Share, Tahun 2002 ... 106 6.c.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan
KomponenShift Share, Tahun 2003 ... 109 6.d.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan
KomponenShift Share, Tahun 2004 ... 112 6.e.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan
KomponenShift Share, Tahun 2005 ... 115 6.f.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan
KomponenShift Share, Tahun 2006 ... 118 6.g.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan
KomponenShift Share, Tahun 2007 ... 121 6.h.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan merupakan proses transformasi struktural yang mendorong
pergeseran alokasi sumberdaya. Model pembangunan ekonomi dengan penawaran
buruh yang tidak terbatas (unlimited labour supply) misalnya, menjelaskan bahwa
pembangunan akan berlangsung apabila sumberdaya terakumulasi sebagai akibat
peralihan surplus kapital dari sektor pertanian yang subsisten ke sektor kapitalis.
Atas nama pembangunan, terjadilah pengalihan surplus melalui penarikan tenaga
kerja, modal dan sumberdaya-sumberdaya lainnya.
Gagasan yang dikemukan oleh Lewis (1954, diacu dalam Jhingan 1990)
tersebut didasarkan pada pandangan bahwa di sektor subsisten tersedia buruh
dalam jumlah yang tak terbatas dan bersedia menerima upah sekadar cukup untuk
hidup. Karena penawaran buruh tersedia tidak terbatas, maka suatu industri dapat
terus didirikan dan dikembangkan tanpa batas dengan cara menarik buruh dari
sektor subsisten (pertanian) ke sektor industri.
Pada kenyataannya, pemikiran di atas tidak sepenuhnya tepat untuk
menggambarkan proses transformasi yang terjadi di Indonesia sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perkembangan Pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) dan Tenaga Kerja berdasarkan Sektor tahun 1987, 1997, 2007 (dalam persen)
Pangsa PDB Pangsa Tenaga Kerja
Sektor
1987 1997 2007 1987 1997 2007
Primer 35.49 23.78 24.90 55.55 42.08 42.24
Sekunder 18.34 24.84 27.10 0.15 0.27 12.38
Tersier 46.18 51.39 48.00 44.31 57.65 45.40
Sumber : BPS (diolah)
Kontribusi sektor primer cenderung mengalami penurunan dari 35,5 persen
pada tahun 1987 menjadi 24,9 persen pada tahun 2007. Sebaliknya, sektor
sekunder justru memperlihatkan kecenderungan memberikan kontribusi semakin
bawah kontribusi sektor primer, pada tahun 2007 telah mencapai lebih dari 27
persen, melampaui kontribusi sektor primer.
Sementara jika dilihat dari penyerapan tenaga kerja, sektor primer dan
tersier masih menjadi sektor yang menyerap tenaga paling besar. Meskipun
cenderung menurun, sampai dengan tahun 2007 masih diatas 40 persen dari total
tenaga kerja di Indonesia. Sektor sekunder yang memiliki pertumbuhan pangsa
terbesar terhadap PDB justru kurang memperlihatkan kemampuan menyerap
tenaga kerja.
Gambaran data tersebut menyajikan bahwa pertumbuhan sektor industri
modern tidak mengakibatkan pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang diserap ke
dalam proses produksi karena proses tersebut bersifat hemat tenaga kerja (Arief
dan Sasono 1984). Transformasi stuktur ekonomi dan struktur tenaga kerja yang
kurang seimbang dikuatirkan menyebabkan proses pemiskinan dan eksploitasi
sumberdaya manusia pada sektor primer (Kariyasa 2003). Lebih lanjut, perbedaan
pola transformasi ekonomi dengan ketenagakerjaan tersebut menyebabkan
terjadinya perubahan tingkat produktivitas tenaga kerja secara sektoral. Karena
terdapat perbedaan struktur perekonomian antar wilayah, perbedaan produktivitas
tenaga kerja secara sektoral tersebut akan menyebabkan disparitas pembangunan
antar wilayah.
Dinamika spasial pembangunan Indonesia memperlihatkan
ketidakseimbangan pertumbuhan antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya.
Perkembangan antar daerah memperlihatkan bahwa daerah di Pulau Jawa
umumnya mengalami perkembangan ekonomi jauh lebih cepat dibandingkan
dengan daerah lainnya di luar Jawa (Bhinadi 2002).
Bhakti (2004) melakukan kajian tentang kecenderungan disparitas antar
wilayah di Pulau Jawa dengan menggunakan analisis koefisien variasi tertimbang
(weighted coefficient of variation) yang diformulasikan oleh Williamson dengan
menggunakan PDRB perkapita tahun 1983-2001. Penelitian tersebut
menggunakan PDRB harga konstan dan provinsi-provinsi di Pulau Jawa sebagai
unit analisis. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pada rentang waktu
Penelitian tersebut juga digunakan untuk mengetahui sektor mana yang
memberikan kontribusi terhadap disparitas wilayah dengan mengestimasi
weighted coefficient of variation (CV) masing-masing sektor dan covariation
(COV) antar sektor. Perekonomian dikelompokan menjadi tiga sektor, yaitu: (i)
sektor pertanian, yang terdiri dari pertanian tanaman bahan makanan dan
perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan; (ii) sektor industri, yang
mencakup pertambangan dan pengglian, industri pengolahan, listrik, gas dan air
bersih, dan bangunan; (iii) sektor jasa, yaitu perdagangan, restoran dan hotel,
pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta
pemerintahan umum dan jasa-jasa kemasyarakatan.
Hasil estimasi menunjukkan nilai CV sektor pertanian relatif lebih kecil
dibanding sektor industri maupun jasa. Artinya, sektor pertanian tidak signifikan
memberikan kontribusi gejala terjadinya disparitas antar wilayah di Pulau Jawa.
Sebaliknya, nilai CV sektor industri dan sektor jasa relatif jauh lebih tinggi
dibanding sektor pertanian. Kondisi ini menggambarkan ketidakseimbangan antar
wilayah di kedua sektor tersebut.
Perhitungan covariation (COV) antara sektor industri dan sektor jasa
menunjukkan nilai positif yang cukup tinggi. Hal tersebut bermakna bahwa sektor
jasa merupakanderived demand atas sektor industri. Sedangkan nilaicovariation
(COV) antara sektor pertanian dan sektor industri maupun sektor pertanian dan
sektor jasa bernilai negatif, yang menunjukkan pergeseran PDRB sektor pertanian
ke sektor industri maupun sektor jasa.
Uraian di atas menggambarkan beberapa hal, yaitu: (i) terdapat
kecenderungan ketidakseimbangan proses transformasi ekonomi dan
ketenagakerjaan yang ditandai oleh perbedaan perubahan struktur ekonomi dan
struktur tenaga kerja secara sektoral, (ii) disparitas spasial di Pulau Jawa yang
cenderung meningkat diukur dari perbedaan pembangunan antar kabupaten/kota,
dan (iii) terdapat kontribusi sektoral dalam disparitas pembangunan antar wilayah.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai
disparitas atau perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa
dengan mempertimbangkan keterkaitan spasial di antara
Perumusan Masalah
Memahami karakterisik pertumbuhan suatu wilayah, merupakan hal yang
penting untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau
menghambat pembangunan, termasuk di dalamnya adalah pertumbuhan output
dan pergeseran alokasi tenaga kerja. Analisis dekomposisi pertumbuhan
menyediakan teknik analisis yang sangat berguna untuk melihat dinamika
pertumbuhan secara sektoral maupun spasial.
Pendekatan ekonometri spasial mempertegas pengakuan bahwa
pertumbuhan yang terjadi bukan berlangsung tanpa ruang (spaceless), akan tetapi
menempati ruang/wilayah tertentu bahkan memiliki keterkaitan secara spasial
(spatial dependence).
Memperhatikan uraian di atas, permasalahan yang menjadi perhatian dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan (disparitas) produktivitas
tenaga kerja antar kabupaten/kota di Pulau Jawa?
2. Apakah terdapat pola spasial (klaster) antara produktivitas tenaga kerja suatu
kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota lain di
sekitarnya (kabupaten/kota tetangga)?
3. Bagaimanakah model ekonometeri spasial kontribusi masing-masing
komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja
kabupaten/kota di Pulau Jawa?
Tujuan Penilitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengidentifikasi sumber-sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja
kabupaten/kota di Pulau Jawa melalui analisis dekomposisishift share.
2. Mengidentifikasi keberadaan pola spasial dalam bentuk klaster
kabupaten/kota berdasarkan tingkat perbedaan produktivitas tenaga kerja,
3. Mengembangkan model regresi spasial untuk mengestimasi kontribusi
masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk memahami
kondisi ketenagakerjaan kabupaten/kota di Pulau Jawa, khususnya alokasi tenaga
kerja dan tingkat produktivitas tenaga kerja secara agregat pada masing-masing
sektor perekonomian. Oleh karena itu hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
masukan bagi perencana pembangunan dalam merumuskan perencanaan
pembangunan bidang ketenagakerjaan sehingga pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.
Kontribusi penting yang juga dapat disumbangkan oleh penelitian ini adalah
memasukkan pertimbangan keterkaitan spasial untuk memperdalam pemahaman
sumber-sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja. Menyadari keterkaitan
spasial tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi perencana pembangunan di
suatu kabupaten/kota untuk dapat merancang program peningkatan produktivitas
tenaga kerja bersama-sama dengan kabupaten/kota lain disekitarnya secara
sinergis sehingga program yang dijalankan dapat lebih efektif dan efisien.
Ruang lingkup Penelitian
Lingkup lokasi penelitian ini adalah Pulau Jawa dengan unit analisa
sebanyak 115 kabupaten/kota keadaan tahun 2001-2008. Kabupaten/Kota tersebut
tersebar di 6 provinsi, yaitu sebanyak 6 wilayah administrasi di Provinsi DKI
Jakarta, 25 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, 35 kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Tengah, 5 kabupaten/kota di Provinsi DI Yogyakarta, 38 kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Timur, dan 6 kabupaten/kota di Provinsi Banten (Lampiran 1).
Pemilihan Pulau Jawa sebagai wilayah kajian didasarkan pada pertimbangan
sebagai berikut: (i) merupakan pusat aktifitas perekonomian dengan pangsa
ekonomi sekitar 59% terhadap PDRB Nasional berdasarkan data Pendapatan
Nasional Indonesia 2004-2007; (ii) berdasarkan data Survei Penduduk Antar
Sensus (SUPAS) 2005, dihuni oleh sebagian besar penduduk Indonesia, mencapai
hampir 60% dari jumlah penduduk; (iii) secara sektoral, industri manufaktur
cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa sejak tahun 1970-an (Aziz 1994).
lebih dari 80 persen tenaga kerja yang bekerja di sektor Industri dari tahun 1975
sampai dengan 1995 (Kuncoro 2004).
Lingkup subtansi adalah produktivitas tenaga kerja yang diukur secara
agregat (makro) yaitu rasio antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
dengan jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha atau sektor
perekonomian. Atribut Pulau Jawa untuk setiap indikator yang digunakan dalam
penelitian ini merujuk pada penjumlahan agregat dari seluruh kabupaten/kota di
Pulau Jawa. PDRB Pulau Jawa misalnya, dengan demikian merupakan hasil
penjumlahan PDRB seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa. Demikian juga dengan
jumlah tenaga kerja Pulau Jawa juga merupakan hasil penjumlahan agregat
seluruh tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa.
Perhatian ditekankan pada mengkaji perbedaan alokasi tenaga kerja antar
kabupaten/kota dan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota
pada masing-masing lapangan usaha. Kedua hal tersebut, yaitu perbedaan jumlah
alokasi tenaga kerja pada masing-masing sektor dan perbedaan produktivitas
tenaga kerja sektoral di setiap kabupaten/kota diduga menjadi penyebab
perbedaan produktivitas tenaga kerja.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini akan menganalisis sumber-sumber perbedaan produktivitas
tenaga kerja antar kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan mempertimbangkan
keterkaitan spasial antar kabupaten/kota tersebut. Perbedaan produktivitas tenaga
kerja tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan struktur ekonomi maupun alokasi
tenaga kerja untuk masing-masing sektor ekonomi yang berbeda antara suatu
kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya. Dengan demikian, perbedaan
produktivitas tenaga kerja tersebut perlu dikenali melalui analisis dekomposisi
untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkannya.
Pentingnya memasukkan analisis spasial didasari pemikiran bahwa suatu
unit spasial, dalam hal ini suatu kabupaten/kota melakukan interaksi dan
dipengaruhi oleh kabupaten-kabupaten/kota-kota yang menjadi tetangganya
Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka pikir penelitian ini dapat
digambarkan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Keterkaitan produktivitas
tenaga kerja kabupaten/kota tetangga (spatial weight
matrix)
Fenomena Pembangunan Kabupaten/Kota di Pulau Jawa
Transformasi struktur perekonomian (PDRB Sektoral)
Pergeseran penyerapan tenaga kerja secara sektoral
Produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota i
(Xi)
Produktivitas tenaga kerja
Pulau Jawa (XJAWA)
Perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota i (Xi- XJAWA)
Analisis dekomposisi (Shift Share Analysis)
Komponen industry mix
i= j(pji pjJAWA).xjJAWA
Komponenproductivity
different
i= jpjJAWA(xji xjJAWA)
Komponenallocative
i= j(x j
i x j
JAWA)(p j
i p j
JAWA)
Model ekonometri spasial
Estimasi pengaruh komponenshift share terhadap perbedaan
produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa
Analisis keterkaitan spasial
(ESDA/Exploratory Spatial Data Analysis)
Uji global Uji lokal
Moran s I statistic
Moran scatterplot
Local indicator of spatial association Moran significant maps
Klaster perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di
TINJAUAN PUSTAKA
Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah
Kuznets (1955) mengawali penelitian yang melihat perubahan kesenjangan
distribusi pendapatan. Menggunakan data beberapa negara (cross section) secara
runtun waktu (time series), Kuznets menemukan hubungan antara kesenjangan
pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita yang berbentuk huruf U terbalik
(inverted U hypothesis). Penamaan itu sesuai dengan pola distribusi pendapatan
yang karena perubahan longitudinal (time series) tampak seperti kurva berbentuk
huruf U yang terbalik. Pada awal proses pembangunan, disparitas distribusi
pendapatan akan naik sebagai akibat proses industrialisasi dan urbanisasi.
Akhirnya, pada tahap pembangunan lebih lanjut ketimpangan tersebut akan
menurun, yaitu ketika sektor industri di perkotaan sudah menyerap sebagian besar
tenaga kerja yang datang dari sektor pertanian di perdesaan.
Hasil kajian Williamson (1965) yang menggunakan data GDP berbagai
negara juga mendukung hipotesa U terbalik tersebut. Nilai indeks Williamson
menggambarkan disparitas yang terjadi akibat pertumbuhan output dan jumlah
penduduk di negara-negara yang menjadi wilayah kajian. Pengukuran disparitas
didasarkan pada penyimpangan pendapatan per kapita suatu wilayah dengan
pendapatan per kapita nasional. Dengan kata lain, indeks Williamson merupakan
modifikasi dari standar deviasi. Semakin besar nilainya menunjukkan tingkat
disparitas antar wilayah yang semakin lebar.
Salah satu penjelasan terhadap ketidakmerataan pembangunan antar wilayah
adalah distribusi sumberdaya alam yang tidak merata. Kekhasan sumberdaya alam
di suatu wilayah yang digunakan sebagai input produksi menjadi salah satu
penentu corak aktivitas ekonomi wilayah. Terlebih lagi, pada kenyataannya
terdapat hambatan yang menjadikan ketidaksempurnaan interaksi antar wilayah
(Hoover and Giarratani 1999), yang meliputi: (i) imperfect factor mobility
(ketidaksempurnaan mobilitas faktor produksi); (ii) imperfect factor divisibility
(ketidaksempurnaan pemisahan antar faktor produksi); dan (iii)imperfect mobility
of goods and services(ketidaksempurnaan mobilitas barang dan jasa).
Perbedaan faktor produksi yang dimiliki oleh suatu daerah (endowment
mengembangkan skala ekonomi (economies of scale) dan mengambil keuntungan dari peningkatan spesialisasi ekonomi. Proses akumulasi dan mobilisasi
sumberdaya berdasarkan kekhasan masing-masing daerah tersebut, baik berupa
akumulasi modal, ketrampilan tenaga kerja dan kepemilikan sumberdaya alam
merupakan pemicu laju pembangunan daerah bersangkutan. Heterogenitas
sumberdaya dan keragaman karakteristik suatu wilayah menyebabkan
kecenderungan terjadinya disparitas antar daerah dan antar sektor di wilayah
tersebut (Kuncoro 2004).
Perroux 1955, diacu dalam Sjafrizal (2008) mengemukakan konsep kutub
pertumbuhan (growth pole). Dasar teorinya adalah adanya ketidakseimbangan
pada interaksi antar industri. Pembangunan diawali oleh sektor industri
manufaktur yang dinamis, penggunaan teknologi modern yang secara relatif
berskala besar. Sektor ini biasanya disebut sebagai leading sector, yang kemudian
menjalar ke sektor-sektor lainnya. Dengan demikian, perkembangan tidak terjadi
secara serentak di berbagai daerah.
Model basis ekspor (export-base model) dapat digunakan untuk
menjelaskan perbedaan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Model yang
diperkenalkan oleh North 1956, diacudalamSjafrizal (2008) tersebut menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan kompetitif
(competitive advantage) daerah bersangkutan. Suatu daerah yang dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai keuntungan kompetitif
sebagai basis untuk ekspor (engine of growth), maka pertumbuhan daerah yang bersangkutan dapat ditingkatkan (Sjafrizal 2008; Blair 1995). Perbedaan
keuntungan kompetitif yang dimiliki oleh masing-masing daerah sebagai engine
of growth dapat menjelaskan kenyataan laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bervariasi. Terdapat daerah yang memiliki laju pertumbuhan tinggi dan ada pula
laju pertumbuahan ekonomi daerah yang sangat rendah.
Model basis ekonomi menjadi landasan analisis terjadinya spesialisasi di
suatu daerah. Permintaan eksternal terhadap output daerah akan memiliki efek
dominan dalam pertumbuhan daerah yang bersangkutan. Proses tersebut bersifat
kumulatif, karena stimulus ekspor selain memiliki dampak pengganda (multiplier
Proses akumulasi dan mobilisasi faktor produksi baik akumulasi modal,
tenaga kerja dan sumberdaya alam yang dimiliki suatu daerah merupakan pemicu
dalam laju pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Heterogenitas
karakteristik suatu wilayah mendorong perbedaan pertumbuhan antar sektor, dan
selanjutnya menyebabkan ketimpangan antar daerah.
Produktivitas Tenaga Kerja Sebagai Ukuran Kinerja Pembangunan
Terdapat tiga macam ukuran pertumbuhan yang biasa digunakan untuk
mengkaji kinerja pembangunan suatu wilayah, yaitu: output, output per kapita,
dan output per pekerja. Ukuran yang akan dipilih tergantung dari tujuan
analisis dalam penelitian (Armstrong and Taylor 1993). Pertumbuhan output,
biasanya digunakan untuk mengukur kapasitas produksi yang bergantung pada
kemampuan suatu wilayah untuk menarik modal dan tenaga kerja dari wilayah
lain. Pertumbuhan output per kapita dianggap dapat menggambarkan perubahan
kesejahteraan ekonomi wilayah. Pertumbuhan output per pekerja digunakan
sebagai indikator perubahan tingkat keunggulan wilayah melalui pertumbuhan
produktivitas.
Perbandingan antara ouput dan tenaga kerja, yang sering didefinisikan
sebagai produktivitas tenaga kerja dipandang paling dapat menggambarkan
fenomena transformasi ketenagakerjaan yang tidak sejalan dengan transformasi
struktur ekonomi. Penggunaan produktivitas tenaga kerja sebagai ukuran
disparitas juga memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: (i) lebih sensitif
terhadap perbedaan jumlah pekerja dibanding dengan penggunaan output total
yang biasanya diwakili oleh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang
bersifat agregat; (ii) dapat dilakukan dekomposisi secara sektoral dibanding
dengan output perkapita (PDRB perkapita).
Pada dasarnya ada dua pengertian produktivitas tenaga kerja, yaitu dari
pendekatan mikro dan pendekatan makro. Pengertian produktivitas tenaga kerja
dengan pendekatan mikro lebih mudah karena dikaitkan langsung dengan produk
barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Misalnya pada usaha
bata yang dihasilkan dalam satu satuan waktu tertentu (misalnya, satu bulan)
dibagi dengan jumlah pekerja pada waktu yang sama.
Pendekatan makro produktivitas tenaga kerja tidak semudah menghitung
dari segi mikro. Angka produktivitas yang diperoleh merupakan produktivitas
rata-rata pada suatu sektor ekonomi secara agregat. Ukuran produksi yang
digunakan adalah nilai tambah yang dihasilkan dalam suatu perekonomian, yaitu
menggunakan output ekonomi (PDRB). Sehingga produktivitas tenaga kerja
diukur berdasarkan besaran nilai output di suatu sektor dibagi dengan jumlah
penduduk yang bekerja di sektor tersebut.
Pengukuran produktivitas tenaga kerja tersebut memang mengandung
kelemahan karena tidak memasukkan perhitungan faktor produksi lainnya.
Perubahan produktivitas pada kenyataannya dapat disebabkan oleh penggunaan
peralatan/mesin yang lebih canggih, penggunaan teknologi baru, dan lain-lain.
Meskipun demikian, cara pengukuran di atas masih memadai untuk menunjukkan
perbandingan dan kecenderungan perubahan produktivitas tenaga kerja (BPS DKI
Jakarta 2008).
Disparitas produktivitas tenaga kerja antar daerah dapat disebabkan oleh dua
hal, yaitu: perbedaan produktivitas sektor yang sama di daerah yang berbeda, dan
perbedaan struktur ekonomi antar daerah. Dengan demikian, kedua hal tersebut
menyebabkan suatu daerah memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi
dibanding rata-rata wilayahnya. Pertama, produktivitas tenaga kerja di daerah tersebut, untuk seluruh atau sebagian besar sektor, memiliki tingkat yang lebih
tinggi di banding daerah-daerah lain di sekitarnya. Kedua, meskipun tidak
memiliki keunggulan produktivitas sektoral, tetapi daerah tersebut melakukan
spesialisasi pada sektor-sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang
tinggi.
Esteban (2000) memformulasikan pandangan di atas dengan menggunakan
analisis shift share. Esteban yang menggunakan data negara-negara Eropa
menemukan bahwa perbedaan produktivitas antara suatu region dengan
produktivitas rata-rata Eropa, merupakan penjumlahan dari tiga faktor, yaitu:
produktivitas sektor yang sama di wilayah yang berbeda, dan perbedaan alokasi
tenaga kerja di sektor-sektor yang lebih efisien.
Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia
Perbedaan kinerja pembangunan antar wilayah merupakan salah satu topik
kajian yang telah mendapat banyak perhatian di Indonesia. Akita dan Lukman
(1995) menggunakan koefisien Williamson tertimbang untuk mengukur
ketimpangan pendapatan antar wilayah tahun 1975 1992. Selain itu, untuk
mengetahui kontribusi sektor-sektor ekonomi dilakukan analisis dekomposisi
sektoral. Temuan pentingnya adalah bahwa meskipun ketimpangan antar wilayah
dengan menggunakan data PDRB non migas relatif stabil, terdapat perubahan
yang signifikan pada pengamatan kontribusi secara sektoral. Sektor tersier masih
memberikan kontribusi yang besar terhadap ketimpangan tetapi terlihat penurunan
secara gradual. Kontribusi sektor sekunder terhadap ketimpangan antar wilayah
mengalami peningkatan, seiring dengan peningkatan perannya dalam PDRB.
Sjafrizal (2008) memaparkan hasil penelitian ketimpangan pembangunan
dan tendesinya pada tahun 1993-2003. Penelitian ini juga melihat pengaruh DKI
Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Oleh
karena itu, ketimpangan berdasarkan indeks Wiliamson diukur dengan
menggunakan data termasuk DKI Jakarta dan tanpa DKI Jakarta (Gambar 2).
Sumber: diolah dari Sjafrizal (2008)
Temuan yang menarik adalah bahwa pengaruh DKI Jakarta terhadap
ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata cukup besar. Sjafrizal juga
membandingkan antara indeks Williamson Indonesia dengan beberapa negara.
Hasilnya perhitungan dengan mengeluarkan data DKI Jakarta masih
menghasilkan angka indeks Williamson di Indonesia yang tinggi dibanding
negara-negara lain dan tendensinya terus meningkat sepanjang waktu.
Akita (2003) membandingkan pola disparitas wilayah antara Indonesia dan
China. Temuan pentingnya adalah terdapat hubungan yang paralel antara
disparitas perekonomian (output) dan disparitas tenaga kerja. Artinya, pada saat
disparitas tinggi, disparitas tenaga kerja juga tinggi. Sebaliknya, jika disparitas
tenaga kerja rendah maka disparitas perekonomian juga rendah. Hasil penelitian
ini menunjukkan kontribusi penting tenaga kerja terhadap pembentukan output
(GDP) di kedua negara yang menjadi wilayah penelitian. Signifikansi tenaga kerja
dibanding faktor produksi modal (kapital) kemungkinan disebabkan kemiripan
perekonomian di kedua negara yang labor intensive, sehingga penyerapan tenaga
kerja cukup besar.
Hubungan antara produksi (output) dan faktor produksi tenaga kerja bersifat
kausalitas, yang berarti terjadi hubungan timbal balik sebagai faktor penyebab
maupun akibat. Disparitas perekonomian dapat menjadi sebab yang
mengakibatkan disparitas tenaga kerja, karena muncul kecenderungan mobilitas
arus tenaga kerja dari daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan rendah ke
tinggi. Sebaliknya, ketersediaan faktor produksi tenaga kerja di suatu daerah
menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan lebih tinggi dibanding
daerah lainnya.
Kataoka (2007) mengidentifikasi ketimpangan antar wilayah dengan
menggunakan teknik dekomposisi yang diperkenalkan oleh Duro dan Esteban
(1998). Melalui analisis dekomposisi, Kataoka mengidentifikasi faktor-faktor
yang menyebabkan ketimpangan pendapatan antar wilayah di Indonesia pada
periode tahun 1983-2006, sebelum dan setelah krisis ekonomi. Indeks Theil yang
kerja, (iii) rasio tenaga kerja yang benar-benar bekerja terhadap penduduk usia
kerja, dan (iv) rasio penduduk usia kerja terhadap total penduduk.
Temuannya menunjukkan terdapat perbedaan kecenderungan disparitas
antar wilayah antara perhitungan menggunakan PDRB dengan migas dan PDRB
tanpa migas. Perhitungan dengan PDRB dengan migas menunjukkan kenaikan
disparitas dibanding dengan PDRB tanpa migas. Hal ini mengindikasikan peran
penting migas dalam perekonomian Indonesia.
Lebih lanjut, kajian tersebut diperluas dengan analisis dekomposisi sektoral
produktivitas tenaga kerja. Disparitas produktivitas tenaga kerja antar daerah,
didekomposisi menjadi dua komponen, yaitu komponen dalam sektor (
within-sector component) dan komponen antar sektor (between sector component). Hasil analisis dekomposisi sektoral menunjukkan penurunan disparitas
produktivitas tenaga kerja pada periode penelitian. Kecenderungan tersebut
terutama disebabkan oleh penurunan disparitas antar sektor (between sector
component), yang turun dari 628,6 pada tahun 1989 menjadi 308,4 pada 2006. Penurunan kontribusi komponen antar sektor terhadap disparitas antar daerah
tersebut, terutama disebabkan oleh penurunan produktivitas tenaga kerja sektor
pertambangan, konstruksi dan jasa keuangan, yang secara nasional memiliki
tingkat produktivitas tenaga kerja rata-rata yang tinggi.
Di sisi lain, analisis terhadap komponen dalam sektor (within sector) menunjukkan faktor yang menyebabkan fluktuasi disparitas produktivitas tenaga
kerja berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya. Produktivitas tenaga kerja
sektor primer, kontruksi, utilitas, transportasi dan komunikasi, dan keuangan
mengalami peningkatan sedangkan sektor lainnya berkurang.
McCulloch dan Sjahrir (2008) menemukan beberapa kesimpulan menarik
terkait dengan faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan kabupaten/kota di
Indonesia pada era desentralisasi. Pertama, secara umum terjadi proses
konvergensi pendapatan antar wilayah. kabupaten/kota yang memiliki PDRB
rendah cenderung tumbuh lebih cepat dan relatif tidak terkena dampak krisis yang
menyebabkan penurunan pertumbuhan. Kedua, terdapat kecenderungan proses
klaster, yaitu kabupaten/kota yang tumbuh dengan tinggi akan memberikan
Ketiga, terjadi dampak komposisi sektoral meskipun sulit diidentifikasi karena tidak cukup bukti bahwa secara sistemik distibusi sektoral yang lebih
terkonsentrasi akan memberikan dampak pertumbuhan yang lebih cepat.Keempat,
kuantitas dan kualitas tenaga kerja berpengaruh positif secara signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota.
Susanti (2005) meneliti proses konvergensi produktivitas tenaga kerja pada
tingkat sektoral antar provinsi di Indonesia selama periode 1987-2003. Metode
yang dipakai untuk mengukur konvergensi adalah konvergensi sigma (
-convergence) dan konvergensi beta ( -convergence). Konvergensi sigma berhubungan dengan proses dispersi antar daerah yang umumnya diukur dengan
standar deviasi terhadap log PDB riil per kapita, semakin menurun sepanjang
waktu. Sedangkan konvergensi beta merupakan indikasi seberapa cepat suatu
indikator, misalnya output per tenaga kerja mendekati nilaisteady state-nya.
Analisis konvergensi sigma ( -convergence) memperlihatkan hasil
konvergensi produktivitas tenaga kerja terjadi secara kuat pada sektor
pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, dan produktivitas tenaga kerja
agregat. Artinya, terjadi penurunan disparitas produktivitas tenaga kerja antar
provinsi pada sektor-sektor tersebut. Sebaliknya sektor bangunan, sektor
keuangan, sektor persewaan dan jasa perusahaan mengalami divergensi, atau
disparitas produktivitas tenaga kerja antar provinsi pada sektor-sektor tersebut
semakin melebar.
Sementara analisis konvergensi absolute dari produktivitas tenaga kerja
sektoral dengan menggunakan konvergensi beta ( -convergence). menunjukkan
variasi selama periode penelitian. Kecepatan perubahan konvergensi absolute
produktivitas agregat lebih rendah jika dibandingkan dengan pengukuran secara
sektoral. Menggunakan regresi dengan metode panel data yang memungkinkan
perbedaan fungsi produksi antar perekonomian, maka sektor industri dan jasa
merupakan sektor-sektor yang memiliki kecepatan konvergensi paling tinggi. Hal
tersebut dapat dipahami karena sebagian besar aktivitas perekonomian sektor
industri dan jasa tersebut terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara di daerah
Interaksi dan Keterkaitan Spatial (Spatial Dependence)
Keragaman karakteristik merupakan faktor penting yang menjadi penyebab
perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Latar belakang sejarah, komposisi sosial
demografi, kondisi geografi, sebaran sumberdaya alam, kelembagaan dan
kebijakan politik adalah komponen yang menentukan perbedaan perkembangan
struktural wilayah (Todaro & Smith 2003). Kekhasan karakteristik wilayah secara
substantial (unique substances) tersebut ketika berpadu dengan keterkaitan
fungsional (functional interaction) dengan wilayah lain merupakan sumber
perubahan ke arah berbagai bentuk kemajuan, atau sebaliknya justru
memunculkan output yang tidak tepat secara ruang dan waktu (Saefulhakim,
2008).
Myrdal 1957, diacu dalam Jhingan (1990) dengan menggunakan konsep
dampak balik (backwash effect) dan dampak sebar (spread effect) menganalisis pola hubungan antar wilayah. Dampak balik didefinisikan sebagai semua
perubahan yang bersifat merugikan dari ekspansi ekonomi di suatu wilayah
karena sebab-sebab di luar wilayah tersebut. Sedangkan dampak sebar merujuk
pada dampak momentum pembangunan yang menyebar secara sentrifugal dari
pusat pembangunan ke wilayah-wilayah lainnya. Masalahnya adalah dampak
balik dan dampak sebar tersebut tidak mungkin berjalan seimbang. Merujuk pada
hasil kajian Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa, Myrdal menyimpulkan bahwa
keterbelakangan suatu negara terletak pada lemahnya dampak sebar dan kuatnya
dampak balik.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa proses pertumbuhan suatu daerah
selain dipengaruhi oleh karakteristik daerah itu sendiri juga ditentukan oleh
karakteristik wilayah di sekitarnya dan pola interaksi atau keterkaitan yang terjadi
secara spasial. Aziz (1994) menyatakan bahwa analisis yang mengabaikan unsur
spasial layak untuk dipertanyakan karena mempostulatkan bahwa segala proses
dan mekanisme terjadi di alam tanpa ruang (spaceless). Akibat lebih lanjut, hasil
pelaksanaan kebijakan yang didukung oleh kajian yang mengabaikan unsur
spasial berdeviasi terlalu besar dari hipotesa yang diharapkan.
Saefulhakim (2008) mengilustrasikan bahwa intensitas serangan hama dan
oleh karakteristik dan pola budidaya yang dilakukan di petak sawah tersebut.
Intensitas serangan hama dan penyakit, karakteristik lingkungan dan pola
budidaya yang dilakukan di petak-petak sawah sekitarnya dan petak-petak sawah
lain yang terkait dalam satu sistem jaringan irigasi/drainase juga turut
mempengaruhinya. Terdapat banyak bukti terhadap keterkaitan antar wilayah
seperti perdagangan antar wilayah, dampak eksternalitas infrastruktur dan
mobilitas tenaga kerja.
Fenomena keterkaitan antar wilayah tersebut, dalam teori ilmu wilayah
diformulasikan dalam berbagai konsep, antara lain: (i) interaksi spasial (spatial interaction); (ii) difusi spasial (spatial diffusion); (iii) hirarki spasial (spatial hierarchy); dan (iv) aliran antar daerah (interregional spillover).
Pola interaksi dan keterkaitan spasial tersebut, terkait dengan kinerja
pembangunan suatu daerah yang tidak hanya ditentukan oleh karakteristik
lingkungan dan manajemen daerah tersebut tetapi juga merupakan hasil dari
pengaruh dan interaksi dengan kinerja pembangunan, karakteristik lingkungan dan
manajemen pembangunan di daerah-daerah lain di sekitarnya. Ilustrasi keterkaitan
antar wilayah tersebut dapat digambarkan sebagaimana Gambar 3.
Dengan demikian, mengabaikan aspek spasial dalam penelitian wilayah
yang menggunakan unit spasial, misalnya kabupaten/kota sebagai unit analisis
dapat memberikan hasil yang bias. Akibat lebih lanjut, formulasi kebijakan yang
ditarik dari temuan penelitian tersebut juga menjadi tidak tepat.
Kajian yang memadukan antara analisis dekomposisi dan analisis spasial
dilakukan Nazara (2003) yang menggunakan teknik dekomposisi untuk melihat
pengaruh region tetangga terhadap kesenjangan antar provinsi di Indonesia. Untuk
keperluan tersebut, Nazara memodifikasi analisis dekomposisi shift share standar
yang diperkenalkan Dunn (1960) untuk analisis spasial. Modifikasi tersebut
diperlukan untuk mempertimbangkan terjadinya interaksi antara suatu region
dengan tetangganya. Interaksi tersebut, dapat memberikan manfaat posisif
maupun negatif terhadap region bersangkutan.
Teknik dekomposisishift share spasial tersebut diimplementasikan terhadap
data PDRB provinsi untuk tahun 1976-1998. Pengertian region, didasarkan pada
sistem konfigurasi provinsi di Indonesia, yaitu 26 provinsi dikelompokkan ke
dalam 5 super region: Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan
Indonesia Timur. Interaksi diasumsikan hanya terjadi antar provinsi di dalam
super region yang sama. Asumsi ini didasarkan pada hasil perhitungan matrik
Input-Output antar regional (Interregional IO) tahun 1999 yang menunjukkan transaksi input antara lebih banyak terjadi dalam region di banding antar region.
Nazara mengemukakan beberapa temuan penting. Pertama, terdapat
kecenderungan ketimpangan spasial yang makin besar dalam lima super region
tersebut selama tahun 1990-an dibanding tahun-tahun awal pengamatan.
Kedua, sektor tersier merupakan sektor yang paling kecil menunjukkan perbedaan antara satu region dengan region yang lain. Hal tersebut diduga
disebabkan oleh perkembangan Indonesia yang belum berorientasi pada sektor
jasa/tersier. Jawa sebagai super region yang paling maju, sehingga dapat
dikatakan sebagai wilayah yang paling berorientasi pada sektor jasa, fluktuasi efek
sektor tersebut yang paling besar terutama pada tahun 1980-an dan awal 1990-an.
Sedangkan di region lain yang sektor jasa belum memberikan kontribusi
Ketiga, kecenderungan ketimpangan spasial lebih stabil setalah akhir 1980-an. Pola yang menarik terjadi selama masa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998.
Pada periode itu, Ketimpangan spasial super region Kalimantan dan Indonesia
Timur menjadi semakin besar, sementara ketimpangan spasial super region
Sumatera dan Jawa sebaliknya justru semakin menurun. Sedangkan di dalam
super region Sulawesi relatif tidak terjadi perubahan ketimpangan spasial. Hal
tersebut diduga sebagai akibat krisis ekonomi yang lebih berdampakn pada
wilayah perkotaan di Indonesia bagian barat, khususnya Pulau Jawa. Sebaliknya,
di luar Pulau Jawa krisis ekonomi yang ditandai depresiasi rupiah justru
memberikan keuntungan nilai pada barang-barang ekspor khususnya produksi
minyak dan gas, dan juga perdagangan komoditas perkebunan.
Permodelan Ekonometri Spasial
Suatu model regresi linier menyatakan hubungan antara satu atau lebih
variabel independen yang dapat dinyatakan dalam model regresi linier (Drapper
dan Smith 1992). Adapun model regresi linier secara umum sebagai berikut.
x pxp
y 0 1 1
dengan yadalah variabel respon, 0,1p adalah koefisien parameter yang
diestimasi, dan adalah nilaierror regresi.
Suatu model ekonometrika harus memenuhi uji asumsi model regresi, yaitu
0, 2I
~
IIDN (suatu variable random yang identik, independen, dan
berdistribusi normal). Uraian mengenai pengujian masing-masing asumsi adalah
sebagai berikut:
Asumsi Berdistribusi Normal
Asumsi residual berdistribusi normal harus terpenuhi. Cara pengujian
residual berdistribusi normal atau tidak salah satunya dapat dilakukan dengan
Kolmogorov-Smirnov test. Apabila pengujian residual berdistribusi normal tidak dapat dipenuhi maka solusinya dapat dilakukan transformasi data, pendeteksian
Asumsi Homoskedastisitas
Asumsi homoskedastisitas adalah variansi residual bersifat identik atau
konstan, artinya varian setiap residual i Apabila varians residual tidak identik
maka disebut heteroskedastisitas. Salah satu cara untuk melihat ada tidaknya pola
heterokedastisitas dapat dilakukan dengan membuat plot antara residual yang
dikuadratkan denganytaksiran. Selain itu juga dapat dilakukan dengan uji Glejser
yaitu meregresikan nilai mutlak residual dengan variable independen. Bentuk
umum persamaannya adalah X (Gujarati, 2004). Jika parameter variabel
independen signifikan berarti varian residual cenderung tidak homogen.
Asumsi Independen
Asumsi independen menunjukkan tidak terdapat autokorelasi. Autokorelasi
adalah hubungan yang terjadi diantara residual yang tersusun dalam rangkaian
waktu (time series) atau dalam rangkaian ruang (data crossection). Salah satu
metode untuk mendeteksinya dengan cara melihat plot Autocorrelation Function
(ACF). Bila lag-nya tidak keluar dari garis batas maka tidak terjadi kasus autokorelasi.
Asumsi Tidak Ada Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan korelasi atau hubungan yang kuat diantara
variabel-variabel prediktor. Ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya
multikolinearitas, diantaranya dengan :
1. Variance Inflation Factor(VIF) yang tinggi, biasanya > 10 2. Korelasi antar variabel prediktor tinggi
3. Koefisien determinasi (R2) tinggi tetapi tidak ada variabel prediktor yang
signifikan
Model Regresi Spasial Data Panel
Dalam model regresi spasial data panel, data yang digunakan adalah data
gabungan antara time seriesdan crossection atau disebut juga dengan data panel.
digunakan data panel seimbang (balance panel data) dimana setiap unit
crossectionmemiliki jumlah observasitime seriesyang sama.
Secara umum model regresi spasial data panel dinyatakan dalam bentuk
persamaan sebagai berikut.
n 1 j it i it jt ijit W y x ,
y
n 1 j it it ij it Wdimanai adalah indeks pada dimensicrossection dengani = 1, .,n dant adalah
indeks pada dimensi waktu dengan t = 1, ,T. yit adalah unit pengamatan pada
variabel dependen unit ke i dan waktu ke t, Wijadalah matriks
pembobot/penimbang spasial dengan elemen-elemen diagonalnya sama dengan
nol. adalah koefisien spasial lag, adalah autokorelasi spasial pada error dan
adalah koefisien autokorelasi spasial. xit menunjukkan vektor observasi pada
variabel prediktor pada unit spasial ke-iuntuk periode waktu ke-t, adalah vektor
parameter dan itadalah error berdistribusi
2 , 0
~
IIDN untuk setiap i dan t.
imenunjukkan efek spasial.
Efek spasial dibedakan menjadi dua bagian yaitu dependensi spasial dan
heterogenitas spasial (Anselin 1988). Dependensi spasial terjadi akibat adanya
dependensi dalam data wilayah, sedangkan heterogenitas spasial terjadi akibat
adanya perbedaan antara satu wilayah dengan lainnya. Model spasial dengan efek
dependensi spasial terdiri atas spasial lag dan spasial error. Interaksi diantara
unit-unit spasial pada data panel juga akan memiliki variabel dependenlag spasial atau
spasial proses padaerror yang biasa disebut model spatial lag dan model spatial
error (Elhorst 2009).
a. Model SpasialLag (SAR)
Model spasial lag dinyatakan dengan persamaan berikut.
n 1 j it i it jt ijit W y x
y
adalah koefisien spasial lag.
Model spasial error dinyatakan dengan persamaan berikut.
n
1 j
it it ij it
it i it
it x ; W
y
adalah autokorelasi spasial pada error dan koefisien autokorelasi spasial.
Estimasi Model Spasial Data Panel
Berdasarkan Elhorst (2009) estimasi model pada data panel meliputi model
fixed effectdanrandom effect. Modelfixed effectadalah teknik mengestimasi data panel dengan menggunakan variabel dummy untuk mendapatkan adanya
perbedaan intercept. Model ini tergantung asumsi yang dibuat tentang intercept,
koefisien slope, dan residualnya. Ada beberapa kemungkinan yang akan muncul
yaitu:
1. Diasumsikaninterceptdanslopeadalah tetap sepanjang waktu
2. Diasumsikanslopeadalah tetap tetapiinterceptberbeda antar individu
3. Diasumsikan slope tetap tetapi intercept berbeda baik antar waktu maupun
antar individu
4. Diasumsikaninterceptdanslopeberbeda antar individu
5. Diasumsikaninterceptdanslopeberbeda antar waktu dan antar individu
ModelFixed Effect
a. Fixed Effect Spatial Lag Model
Model spasial lag dinyatakan dengan persamaan berikut.
n
1 j
it i it jt ij
it W y x
y
adalah koefisien spasial lag.
Anselin dan Hudak (1992) menyajikan estimasi parameter ,dan 2pada
model spasial lag dengan menggunakan Maksimum likelihood data crossection.
Prosedur estimasi pada persamaan (2) juga dapat menggunakan fungsi
b. Fixed Effect Spatial Error Model
Anselin dan Hudak (1992) menyajikan parameter ,dan 2
dari model
regresi linier termasukerrorautokorelasi dengan datacrossection.
Likelihood Ratio(LR)Test
Pengujian likelihood Ratio dilakukan untuk mengetahui apakah fixed effect
dan random effect memberikan pengaruh secara bersama-sama. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut (Elhorst 2009).
a. Fixed Effect
H0 : 0
H1 : 0
b. Random Effect
H0 : 1
H1 : 1
Statistik uji yang digunakan adalah -2s, dimana s adalah selisih antara log-likelihood model restricted dan model unrestricted. Keputusan yang digunakan adalah tolak H0 jikap-value<
Hausman Test
Untuk mengetahui apakah suatu model termasuk fixed effect atau random
effect pada model panel data digunakan uji Hausman. Model fixed effect
mengasumsikan variabel prediktor berkorelasi dengan residualnya, sedangkan
random effect mengasumsikan variabel prediktor tidak berkorelasi dengan
residualnya. Random Effect akan menghasilkan suatu estimasi yang tidak
konsisten bila terdapat korelasi. Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji
Hausmansebagai berikut. H0 : h0
H1 : h0
Statistik Uji yang digunakan adalah
FE RE
1 '
d d, d var d
dimana <