• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah

Kuznets (1955) mengawali penelitian yang melihat perubahan kesenjangan distribusi pendapatan. Menggunakan data beberapa negara (cross section) secara runtun waktu (time series), Kuznets menemukan hubungan antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita yang berbentuk huruf U terbalik (inverted U hypothesis). Penamaan itu sesuai dengan pola distribusi pendapatan yang karena perubahan longitudinal (time series) tampak seperti kurva berbentuk huruf U yang terbalik. Pada awal proses pembangunan, disparitas distribusi pendapatan akan naik sebagai akibat proses industrialisasi dan urbanisasi. Akhirnya, pada tahap pembangunan lebih lanjut ketimpangan tersebut akan menurun, yaitu ketika sektor industri di perkotaan sudah menyerap sebagian besar tenaga kerja yang datang dari sektor pertanian di perdesaan.

Hasil kajian Williamson (1965) yang menggunakan data GDP berbagai negara juga mendukung hipotesa U terbalik tersebut. Nilai indeks Williamson menggambarkan disparitas yang terjadi akibat pertumbuhan output dan jumlah penduduk di negara-negara yang menjadi wilayah kajian. Pengukuran disparitas didasarkan pada penyimpangan pendapatan per kapita suatu wilayah dengan pendapatan per kapita nasional. Dengan kata lain, indeks Williamson merupakan modifikasi dari standar deviasi. Semakin besar nilainya menunjukkan tingkat disparitas antar wilayah yang semakin lebar.

Salah satu penjelasan terhadap ketidakmerataan pembangunan antar wilayah adalah distribusi sumberdaya alam yang tidak merata. Kekhasan sumberdaya alam di suatu wilayah yang digunakan sebagai input produksi menjadi salah satu penentu corak aktivitas ekonomi wilayah. Terlebih lagi, pada kenyataannya terdapat hambatan yang menjadikan ketidaksempurnaan interaksi antar wilayah (Hoover and Giarratani 1999), yang meliputi: (i) imperfect factor mobility

(ketidaksempurnaan mobilitas faktor produksi); (ii) imperfect factor divisibility

(ketidaksempurnaan pemisahan antar faktor produksi); dan (iii)imperfect mobility of goods and services(ketidaksempurnaan mobilitas barang dan jasa).

Perbedaan faktor produksi yang dimiliki oleh suatu daerah (endowment factor) dan hambatan mobilitasnya tersebut mendorong setiap daerah

mengembangkan skala ekonomi (economies of scale) dan mengambil keuntungan dari peningkatan spesialisasi ekonomi. Proses akumulasi dan mobilisasi sumberdaya berdasarkan kekhasan masing-masing daerah tersebut, baik berupa akumulasi modal, ketrampilan tenaga kerja dan kepemilikan sumberdaya alam merupakan pemicu laju pembangunan daerah bersangkutan. Heterogenitas sumberdaya dan keragaman karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya disparitas antar daerah dan antar sektor di wilayah tersebut (Kuncoro 2004).

Perroux 1955, diacu dalam Sjafrizal (2008) mengemukakan konsep kutub

pertumbuhan (growth pole). Dasar teorinya adalah adanya ketidakseimbangan pada interaksi antar industri. Pembangunan diawali oleh sektor industri manufaktur yang dinamis, penggunaan teknologi modern yang secara relatif berskala besar. Sektor ini biasanya disebut sebagai leading sector, yang kemudian menjalar ke sektor-sektor lainnya. Dengan demikian, perkembangan tidak terjadi secara serentak di berbagai daerah.

Model basis ekspor (export-base model) dapat digunakan untuk

menjelaskan perbedaan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Model yang

diperkenalkan oleh North 1956, diacudalamSjafrizal (2008) tersebut menyatakan

bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan kompetitif (competitive advantage) daerah bersangkutan. Suatu daerah yang dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai keuntungan kompetitif sebagai basis untuk ekspor (engine of growth), maka pertumbuhan daerah yang bersangkutan dapat ditingkatkan (Sjafrizal 2008; Blair 1995). Perbedaan keuntungan kompetitif yang dimiliki oleh masing-masing daerah sebagai engine of growth dapat menjelaskan kenyataan laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bervariasi. Terdapat daerah yang memiliki laju pertumbuhan tinggi dan ada pula laju pertumbuahan ekonomi daerah yang sangat rendah.

Model basis ekonomi menjadi landasan analisis terjadinya spesialisasi di suatu daerah. Permintaan eksternal terhadap output daerah akan memiliki efek dominan dalam pertumbuhan daerah yang bersangkutan. Proses tersebut bersifat

kumulatif, karena stimulus ekspor selain memiliki dampak pengganda (multiplier

Proses akumulasi dan mobilisasi faktor produksi baik akumulasi modal, tenaga kerja dan sumberdaya alam yang dimiliki suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Heterogenitas karakteristik suatu wilayah mendorong perbedaan pertumbuhan antar sektor, dan selanjutnya menyebabkan ketimpangan antar daerah.

Produktivitas Tenaga Kerja Sebagai Ukuran Kinerja Pembangunan

Terdapat tiga macam ukuran pertumbuhan yang biasa digunakan untuk mengkaji kinerja pembangunan suatu wilayah, yaitu: output, output per kapita, dan output per pekerja. Ukuran yang akan dipilih tergantung dari tujuan analisis dalam penelitian (Armstrong and Taylor 1993). Pertumbuhan output, biasanya digunakan untuk mengukur kapasitas produksi yang bergantung pada kemampuan suatu wilayah untuk menarik modal dan tenaga kerja dari wilayah lain. Pertumbuhan output per kapita dianggap dapat menggambarkan perubahan kesejahteraan ekonomi wilayah. Pertumbuhan output per pekerja digunakan sebagai indikator perubahan tingkat keunggulan wilayah melalui pertumbuhan produktivitas.

Perbandingan antara ouput dan tenaga kerja, yang sering didefinisikan sebagai produktivitas tenaga kerja dipandang paling dapat menggambarkan fenomena transformasi ketenagakerjaan yang tidak sejalan dengan transformasi struktur ekonomi. Penggunaan produktivitas tenaga kerja sebagai ukuran disparitas juga memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: (i) lebih sensitif terhadap perbedaan jumlah pekerja dibanding dengan penggunaan output total yang biasanya diwakili oleh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang bersifat agregat; (ii) dapat dilakukan dekomposisi secara sektoral dibanding dengan output perkapita (PDRB perkapita).

Pada dasarnya ada dua pengertian produktivitas tenaga kerja, yaitu dari pendekatan mikro dan pendekatan makro. Pengertian produktivitas tenaga kerja dengan pendekatan mikro lebih mudah karena dikaitkan langsung dengan produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Misalnya pada usaha pembuatan batu bata maka produktivitas tenaga kerja diukur dengan jumlah batu

bata yang dihasilkan dalam satu satuan waktu tertentu (misalnya, satu bulan) dibagi dengan jumlah pekerja pada waktu yang sama.

Pendekatan makro produktivitas tenaga kerja tidak semudah menghitung dari segi mikro. Angka produktivitas yang diperoleh merupakan produktivitas rata-rata pada suatu sektor ekonomi secara agregat. Ukuran produksi yang digunakan adalah nilai tambah yang dihasilkan dalam suatu perekonomian, yaitu menggunakan output ekonomi (PDRB). Sehingga produktivitas tenaga kerja diukur berdasarkan besaran nilai output di suatu sektor dibagi dengan jumlah penduduk yang bekerja di sektor tersebut.

Pengukuran produktivitas tenaga kerja tersebut memang mengandung kelemahan karena tidak memasukkan perhitungan faktor produksi lainnya. Perubahan produktivitas pada kenyataannya dapat disebabkan oleh penggunaan peralatan/mesin yang lebih canggih, penggunaan teknologi baru, dan lain-lain. Meskipun demikian, cara pengukuran di atas masih memadai untuk menunjukkan perbandingan dan kecenderungan perubahan produktivitas tenaga kerja (BPS DKI Jakarta 2008).

Disparitas produktivitas tenaga kerja antar daerah dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: perbedaan produktivitas sektor yang sama di daerah yang berbeda, dan perbedaan struktur ekonomi antar daerah. Dengan demikian, kedua hal tersebut menyebabkan suatu daerah memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibanding rata-rata wilayahnya. Pertama, produktivitas tenaga kerja di daerah tersebut, untuk seluruh atau sebagian besar sektor, memiliki tingkat yang lebih tinggi di banding daerah-daerah lain di sekitarnya. Kedua, meskipun tidak memiliki keunggulan produktivitas sektoral, tetapi daerah tersebut melakukan spesialisasi pada sektor-sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang tinggi.

Esteban (2000) memformulasikan pandangan di atas dengan menggunakan

analisis shift share. Esteban yang menggunakan data negara-negara Eropa

menemukan bahwa perbedaan produktivitas antara suatu region dengan produktivitas rata-rata Eropa, merupakan penjumlahan dari tiga faktor, yaitu: komposisi atau struktur masing-masing wilayah secara sektoral, perbedaan

produktivitas sektor yang sama di wilayah yang berbeda, dan perbedaan alokasi tenaga kerja di sektor-sektor yang lebih efisien.

Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia

Perbedaan kinerja pembangunan antar wilayah merupakan salah satu topik kajian yang telah mendapat banyak perhatian di Indonesia. Akita dan Lukman (1995) menggunakan koefisien Williamson tertimbang untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar wilayah tahun 1975 1992. Selain itu, untuk mengetahui kontribusi sektor-sektor ekonomi dilakukan analisis dekomposisi sektoral. Temuan pentingnya adalah bahwa meskipun ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan data PDRB non migas relatif stabil, terdapat perubahan yang signifikan pada pengamatan kontribusi secara sektoral. Sektor tersier masih memberikan kontribusi yang besar terhadap ketimpangan tetapi terlihat penurunan secara gradual. Kontribusi sektor sekunder terhadap ketimpangan antar wilayah mengalami peningkatan, seiring dengan peningkatan perannya dalam PDRB.

Sjafrizal (2008) memaparkan hasil penelitian ketimpangan pembangunan dan tendesinya pada tahun 1993-2003. Penelitian ini juga melihat pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, ketimpangan berdasarkan indeks Wiliamson diukur dengan menggunakan data termasuk DKI Jakarta dan tanpa DKI Jakarta (Gambar 2).

Sumber: diolah dari Sjafrizal (2008)

Temuan yang menarik adalah bahwa pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata cukup besar. Sjafrizal juga membandingkan antara indeks Williamson Indonesia dengan beberapa negara.

Hasilnya perhitungan dengan mengeluarkan data DKI Jakarta masih

menghasilkan angka indeks Williamson di Indonesia yang tinggi dibanding negara-negara lain dan tendensinya terus meningkat sepanjang waktu.

Akita (2003) membandingkan pola disparitas wilayah antara Indonesia dan China. Temuan pentingnya adalah terdapat hubungan yang paralel antara disparitas perekonomian (output) dan disparitas tenaga kerja. Artinya, pada saat disparitas tinggi, disparitas tenaga kerja juga tinggi. Sebaliknya, jika disparitas tenaga kerja rendah maka disparitas perekonomian juga rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan kontribusi penting tenaga kerja terhadap pembentukan output (GDP) di kedua negara yang menjadi wilayah penelitian. Signifikansi tenaga kerja dibanding faktor produksi modal (kapital) kemungkinan disebabkan kemiripan

perekonomian di kedua negara yang labor intensive, sehingga penyerapan tenaga

kerja cukup besar.

Hubungan antara produksi (output) dan faktor produksi tenaga kerja bersifat kausalitas, yang berarti terjadi hubungan timbal balik sebagai faktor penyebab maupun akibat. Disparitas perekonomian dapat menjadi sebab yang mengakibatkan disparitas tenaga kerja, karena muncul kecenderungan mobilitas arus tenaga kerja dari daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan rendah ke tinggi. Sebaliknya, ketersediaan faktor produksi tenaga kerja di suatu daerah menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan lebih tinggi dibanding daerah lainnya.

Kataoka (2007) mengidentifikasi ketimpangan antar wilayah dengan menggunakan teknik dekomposisi yang diperkenalkan oleh Duro dan Esteban (1998). Melalui analisis dekomposisi, Kataoka mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan pendapatan antar wilayah di Indonesia pada periode tahun 1983-2006, sebelum dan setelah krisis ekonomi. Indeks Theil yang dibobot dengan jumlah penduduk (Theil L index) didekomposisi menjadi empat komponen, yaitu: (i) produktivitas tenaga kerja, (ii) tingkat penggunaan tenaga

kerja, (iii) rasio tenaga kerja yang benar-benar bekerja terhadap penduduk usia kerja, dan (iv) rasio penduduk usia kerja terhadap total penduduk.

Temuannya menunjukkan terdapat perbedaan kecenderungan disparitas antar wilayah antara perhitungan menggunakan PDRB dengan migas dan PDRB tanpa migas. Perhitungan dengan PDRB dengan migas menunjukkan kenaikan disparitas dibanding dengan PDRB tanpa migas. Hal ini mengindikasikan peran penting migas dalam perekonomian Indonesia.

Lebih lanjut, kajian tersebut diperluas dengan analisis dekomposisi sektoral produktivitas tenaga kerja. Disparitas produktivitas tenaga kerja antar daerah, didekomposisi menjadi dua komponen, yaitu komponen dalam sektor (within- sector component) dan komponen antar sektor (between sector component).

Hasil analisis dekomposisi sektoral menunjukkan penurunan disparitas produktivitas tenaga kerja pada periode penelitian. Kecenderungan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan disparitas antar sektor (between sector component), yang turun dari 628,6 pada tahun 1989 menjadi 308,4 pada 2006. Penurunan kontribusi komponen antar sektor terhadap disparitas antar daerah tersebut, terutama disebabkan oleh penurunan produktivitas tenaga kerja sektor pertambangan, konstruksi dan jasa keuangan, yang secara nasional memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja rata-rata yang tinggi.

Di sisi lain, analisis terhadap komponen dalam sektor (within sector) menunjukkan faktor yang menyebabkan fluktuasi disparitas produktivitas tenaga kerja berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya. Produktivitas tenaga kerja sektor primer, kontruksi, utilitas, transportasi dan komunikasi, dan keuangan mengalami peningkatan sedangkan sektor lainnya berkurang.

McCulloch dan Sjahrir (2008) menemukan beberapa kesimpulan menarik terkait dengan faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan kabupaten/kota di

Indonesia pada era desentralisasi. Pertama, secara umum terjadi proses

konvergensi pendapatan antar wilayah. kabupaten/kota yang memiliki PDRB rendah cenderung tumbuh lebih cepat dan relatif tidak terkena dampak krisis yang

menyebabkan penurunan pertumbuhan. Kedua, terdapat kecenderungan proses

klaster, yaitu kabupaten/kota yang tumbuh dengan tinggi akan memberikan dampak pertumbuhan yang tinggi pula terhadap kabupaten/kota disekitarnya.

Ketiga, terjadi dampak komposisi sektoral meskipun sulit diidentifikasi karena tidak cukup bukti bahwa secara sistemik distibusi sektoral yang lebih

terkonsentrasi akan memberikan dampak pertumbuhan yang lebih cepat.Keempat,

kuantitas dan kualitas tenaga kerja berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota.

Susanti (2005) meneliti proses konvergensi produktivitas tenaga kerja pada tingkat sektoral antar provinsi di Indonesia selama periode 1987-2003. Metode

yang dipakai untuk mengukur konvergensi adalah konvergensi sigma ( -

convergence) dan konvergensi beta ( -convergence). Konvergensi sigma berhubungan dengan proses dispersi antar daerah yang umumnya diukur dengan standar deviasi terhadap log PDB riil per kapita, semakin menurun sepanjang waktu. Sedangkan konvergensi beta merupakan indikasi seberapa cepat suatu indikator, misalnya output per tenaga kerja mendekati nilaisteady state-nya.

Analisis konvergensi sigma ( -convergence) memperlihatkan hasil

konvergensi produktivitas tenaga kerja terjadi secara kuat pada sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, dan produktivitas tenaga kerja agregat. Artinya, terjadi penurunan disparitas produktivitas tenaga kerja antar provinsi pada sektor-sektor tersebut. Sebaliknya sektor bangunan, sektor keuangan, sektor persewaan dan jasa perusahaan mengalami divergensi, atau disparitas produktivitas tenaga kerja antar provinsi pada sektor-sektor tersebut semakin melebar.

Sementara analisis konvergensi absolute dari produktivitas tenaga kerja

sektoral dengan menggunakan konvergensi beta ( -convergence). menunjukkan

variasi selama periode penelitian. Kecepatan perubahan konvergensi absolute produktivitas agregat lebih rendah jika dibandingkan dengan pengukuran secara sektoral. Menggunakan regresi dengan metode panel data yang memungkinkan perbedaan fungsi produksi antar perekonomian, maka sektor industri dan jasa merupakan sektor-sektor yang memiliki kecepatan konvergensi paling tinggi. Hal tersebut dapat dipahami karena sebagian besar aktivitas perekonomian sektor industri dan jasa tersebut terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara di daerah lainnya menyebar relatif tidak merata.

Interaksi dan Keterkaitan Spatial (Spatial Dependence)

Keragaman karakteristik merupakan faktor penting yang menjadi penyebab perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Latar belakang sejarah, komposisi sosial demografi, kondisi geografi, sebaran sumberdaya alam, kelembagaan dan kebijakan politik adalah komponen yang menentukan perbedaan perkembangan struktural wilayah (Todaro & Smith 2003). Kekhasan karakteristik wilayah secara substantial (unique substances) tersebut ketika berpadu dengan keterkaitan fungsional (functional interaction) dengan wilayah lain merupakan sumber perubahan ke arah berbagai bentuk kemajuan, atau sebaliknya justru memunculkan output yang tidak tepat secara ruang dan waktu (Saefulhakim, 2008).

Myrdal 1957, diacu dalam Jhingan (1990) dengan menggunakan konsep

dampak balik (backwash effect) dan dampak sebar (spread effect) menganalisis pola hubungan antar wilayah. Dampak balik didefinisikan sebagai semua perubahan yang bersifat merugikan dari ekspansi ekonomi di suatu wilayah karena sebab-sebab di luar wilayah tersebut. Sedangkan dampak sebar merujuk pada dampak momentum pembangunan yang menyebar secara sentrifugal dari pusat pembangunan ke wilayah-wilayah lainnya. Masalahnya adalah dampak balik dan dampak sebar tersebut tidak mungkin berjalan seimbang. Merujuk pada hasil kajian Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa, Myrdal menyimpulkan bahwa keterbelakangan suatu negara terletak pada lemahnya dampak sebar dan kuatnya dampak balik.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa proses pertumbuhan suatu daerah selain dipengaruhi oleh karakteristik daerah itu sendiri juga ditentukan oleh karakteristik wilayah di sekitarnya dan pola interaksi atau keterkaitan yang terjadi secara spasial. Aziz (1994) menyatakan bahwa analisis yang mengabaikan unsur spasial layak untuk dipertanyakan karena mempostulatkan bahwa segala proses dan mekanisme terjadi di alam tanpa ruang (spaceless). Akibat lebih lanjut, hasil pelaksanaan kebijakan yang didukung oleh kajian yang mengabaikan unsur spasial berdeviasi terlalu besar dari hipotesa yang diharapkan.

Saefulhakim (2008) mengilustrasikan bahwa intensitas serangan hama dan penyakit tanaman yang terjadi pada suatu petak sawah, tidak hanya ditentukan

oleh karakteristik dan pola budidaya yang dilakukan di petak sawah tersebut. Intensitas serangan hama dan penyakit, karakteristik lingkungan dan pola budidaya yang dilakukan di petak-petak sawah sekitarnya dan petak-petak sawah lain yang terkait dalam satu sistem jaringan irigasi/drainase juga turut mempengaruhinya. Terdapat banyak bukti terhadap keterkaitan antar wilayah seperti perdagangan antar wilayah, dampak eksternalitas infrastruktur dan mobilitas tenaga kerja.

Fenomena keterkaitan antar wilayah tersebut, dalam teori ilmu wilayah diformulasikan dalam berbagai konsep, antara lain: (i) interaksi spasial (spatial interaction); (ii) difusi spasial (spatial diffusion); (iii) hirarki spasial (spatial hierarchy); dan (iv) aliran antar daerah (interregional spillover).

Pola interaksi dan keterkaitan spasial tersebut, terkait dengan kinerja pembangunan suatu daerah yang tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan manajemen daerah tersebut tetapi juga merupakan hasil dari pengaruh dan interaksi dengan kinerja pembangunan, karakteristik lingkungan dan manajemen pembangunan di daerah-daerah lain di sekitarnya. Ilustrasi keterkaitan antar wilayah tersebut dapat digambarkan sebagaimana Gambar 3.

Dengan demikian, mengabaikan aspek spasial dalam penelitian wilayah yang menggunakan unit spasial, misalnya kabupaten/kota sebagai unit analisis dapat memberikan hasil yang bias. Akibat lebih lanjut, formulasi kebijakan yang ditarik dari temuan penelitian tersebut juga menjadi tidak tepat.

Kajian yang memadukan antara analisis dekomposisi dan analisis spasial dilakukan Nazara (2003) yang menggunakan teknik dekomposisi untuk melihat pengaruh region tetangga terhadap kesenjangan antar provinsi di Indonesia. Untuk keperluan tersebut, Nazara memodifikasi analisis dekomposisi shift share standar yang diperkenalkan Dunn (1960) untuk analisis spasial. Modifikasi tersebut diperlukan untuk mempertimbangkan terjadinya interaksi antara suatu region dengan tetangganya. Interaksi tersebut, dapat memberikan manfaat posisif maupun negatif terhadap region bersangkutan.

Teknik dekomposisishift share spasial tersebut diimplementasikan terhadap data PDRB provinsi untuk tahun 1976-1998. Pengertian region, didasarkan pada sistem konfigurasi provinsi di Indonesia, yaitu 26 provinsi dikelompokkan ke dalam 5 super region: Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur. Interaksi diasumsikan hanya terjadi antar provinsi di dalam super region yang sama. Asumsi ini didasarkan pada hasil perhitungan matrik

Input-Output antar regional (Interregional IO) tahun 1999 yang menunjukkan transaksi input antara lebih banyak terjadi dalam region di banding antar region.

Nazara mengemukakan beberapa temuan penting. Pertama, terdapat

kecenderungan ketimpangan spasial yang makin besar dalam lima super region tersebut selama tahun 1990-an dibanding tahun-tahun awal pengamatan.

Kedua, sektor tersier merupakan sektor yang paling kecil menunjukkan perbedaan antara satu region dengan region yang lain. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perkembangan Indonesia yang belum berorientasi pada sektor jasa/tersier. Jawa sebagai super region yang paling maju, sehingga dapat dikatakan sebagai wilayah yang paling berorientasi pada sektor jasa, fluktuasi efek sektor tersebut yang paling besar terutama pada tahun 1980-an dan awal 1990-an. Sedangkan di region lain yang sektor jasa belum memberikan kontribusi signifikan terhadap PDRB, fluktuasinya relatif kecil.

Ketiga, kecenderungan ketimpangan spasial lebih stabil setalah akhir 1980- an. Pola yang menarik terjadi selama masa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Pada periode itu, Ketimpangan spasial super region Kalimantan dan Indonesia Timur menjadi semakin besar, sementara ketimpangan spasial super region Sumatera dan Jawa sebaliknya justru semakin menurun. Sedangkan di dalam super region Sulawesi relatif tidak terjadi perubahan ketimpangan spasial. Hal tersebut diduga sebagai akibat krisis ekonomi yang lebih berdampakn pada wilayah perkotaan di Indonesia bagian barat, khususnya Pulau Jawa. Sebaliknya, di luar Pulau Jawa krisis ekonomi yang ditandai depresiasi rupiah justru memberikan keuntungan nilai pada barang-barang ekspor khususnya produksi minyak dan gas, dan juga perdagangan komoditas perkebunan.

Permodelan Ekonometri Spasial

Suatu model regresi linier menyatakan hubungan antara satu atau lebih variabel independen yang dapat dinyatakan dalam model regresi linier (Drapper dan Smith 1992). Adapun model regresi linier secara umum sebagai berikut.

     x pxp y 0 1 1 

dengan yadalah variabel respon, 0,1p adalah koefisien parameter yang diestimasi, dan adalah nilaierror regresi.

Suatu model ekonometrika harus memenuhi uji asumsi model regresi, yaitu

0, 2I

~

IIDN (suatu variable random yang identik, independen, dan

berdistribusi normal). Uraian mengenai pengujian masing-masing asumsi adalah sebagai berikut:

Asumsi Berdistribusi Normal

Asumsi residual berdistribusi normal harus terpenuhi. Cara pengujian residual berdistribusi normal atau tidak salah satunya dapat dilakukan dengan

Kolmogorov-Smirnov test. Apabila pengujian residual berdistribusi normal tidak dapat dipenuhi maka solusinya dapat dilakukan transformasi data, pendeteksian dataoutlier(pencilan), dan regresibootstrap.

Asumsi Homoskedastisitas

Asumsi homoskedastisitas adalah variansi residual bersifat identik atau konstan, artinya varian setiap residual i Apabila varians residual tidak identik maka disebut heteroskedastisitas. Salah satu cara untuk melihat ada tidaknya pola heterokedastisitas dapat dilakukan dengan membuat plot antara residual yang dikuadratkan denganytaksiran. Selain itu juga dapat dilakukan dengan uji Glejser yaitu meregresikan nilai mutlak residual dengan variable independen. Bentuk

umum persamaannya adalah X  (Gujarati, 2004). Jika parameter variabel

independen signifikan berarti varian residual cenderung tidak homogen.

Asumsi Independen

Asumsi independen menunjukkan tidak terdapat autokorelasi. Autokorelasi adalah hubungan yang terjadi diantara residual yang tersusun dalam rangkaian waktu (time series) atau dalam rangkaian ruang (data crossection). Salah satu

metode untuk mendeteksinya dengan cara melihat plot Autocorrelation Function

Dokumen terkait