• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan dengan metode kepustakaan bersumber dari berbagai publikasi BPS. Data dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pendapatan regional menurut lapangan usaha dan data tenaga kerja menurut lapangan usaha. Data-data tersebut merupakan data sekunder yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan DKI Jakarta.

Data pendapatan regional adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten-kabupaten/kota-kota di Pulau Jawa yang dirinci menurut lapangan usaha. Untuk menghilangkan pengaruh harga, digunakan PDRB harga konstan.

Data tenaga kerja menurut lapangan usaha merupakan data jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut kabupaten-kabupaten/kota-kota di Pulau jawa dan dirinci menurut lapangan usaha. Lapangan usaha sebagai rincian data PDRB maupun jumlah tenaga kerja dirinci menjadi sembilan sektor yang meliputi:

1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 2. Pertambangan & Penggalian

3. Industri Pengolahan

4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan dan Kontruksi

6. Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel 7. Pengangkutan, Perdagangan & Komunikasi

8. Keuangan, Asuransi, Persewaan Bangunan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa Kemasyarakatan

Secara praktis, produktivitas merupakan konsep yang mengukur efisiensi penggunaan input terhadap output yang dihasilkan. Sesuai dengan definisi tersebut, produktivitas tenaga kerja dapat diukur menggunakan data nilai tambah suatu daerah, yaitu PDRB dibandingkan dengan jumlah pekerja. Dengan demikian, produktivitas tenaga kerja masing-masing kabupaten/kota secara

sektoral atau menurut lapangan usaha diukur oleh rasio PDRB kabupaten/kota menurut lapangan usaha terhadap jumlah tenaga kerja kabupaten/kota menurut lapangan usaha.

Perbedaan produktivitas tenaga kerja dalam penelitian ini didefinisakan sebagai selisih antara produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja agregat Pulau Jawa. Jika xi dan xjawa berturut-turut

merupakan tingkat produktivitas tenaga kerja di suatu kabupaten/kota i dan produktivitas tenaga kerja agregat Pulau Jawa, maka perbedaan produktivitas tenaga kerja dirumuskan sebagai xi xjawa.

Referensi cakupan waktu analisis dengan menggunakan data PDRB dan tenaga kerja dari tahun 2001 2008 dimaksudkan untuk dapat memperoleh suatu gambaran perkembangan dan transformasi sektoral tenaga kerja.

Perlu diberikan beberapa catatan terkait dengan data-data yang digunakan.

Pertama, untuk data PDRB menurut lapangan usaha relatif mudah didapatkan dan tersedia untuk seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa pada setiap tahun penelitian, 2001 sampai dengan 2008. Untuk perbandingan antar kabupaten/kota dipilih nilai PDRB tanpa migas karena kabupaten/kota yang memiliki PDRB yang berasal dari sub-sektor migas hanya kurang dari 10 persen dari total kabupaten/kota di Pulau Jawa. Sementara untuk perbandingan antar waktu digunakan data PDRB atas dasar harga konstan 2000.

Pada beberapa kabupaten/kota, terutama data tahun 2000, 2001 dan 2003, data PDRB yang dipublikasikan menggunakan tahun dasar 1993. Perbedaan tahun dasar tersebut memerlukan untuk dilakukan penyeragaman terhadap nilai PDRB menjadi atas dasar harga konstan 2000. Metode untuk penyesuaian nilai PDRB itu adalah dengan mencari satu titik tahun yang PDRB-nya dihitung atas dasar harga konstan 1993 maupun 2000. Selanjutnya dicari angka pembanding, yaitu dengan membagi antara PDRB atas dasar harga konstan 2000 dengan PDRB atas dasar harga konstan 1993. Angka pembanding tersebut selanjutnya digunakan untuk mengalikan nilai PDRB yang masih bertahun dasar 1993 sehingga didapat PDRB atas dasar harga konstan 2000.

Kedua, untuk data jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama, untuk beberapa kasus perlu dilakukan penyesuian sebagai berikut:

a. Pada beberapa kabupaten/kota selain 9 (Sembilan) lapangan pekerjaan utama

terdapat klasifikasi sektor Lainnya untuk tenaga kerja yang sulit

diklasifikasikan ke dalam sektor yang ada. Jumlah tenaga kerja sektor ini untuk keperluan penelitian ini diabaikan mengingat selain karena tidak semua kabupaten/kota mengakomodir klasifikasi tersebut juga secara total jumlahnya sedikit.

b. Pada beberapa kasus lainnya, data yang tersedia untuk beberapa kabupaten/kota hanya memuat 5 (lima) sektor yaitu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, sektor jasa-jasa, dan sektor lainnya. Untuk menyamakan klasifikasi lapangan pekerjaan maka klasifikasi lainnya yang merupakan gabungan tenaga kerja sektor pertambangan, sektor LGA, sektor konstruksi, sektor angkutan, dan sektor keuangan dibagi secara proporsional sesuai dengan proporsi tenaga kerja di antara kelima sektor tersebut berdasarkan data tahun sebelum atau sesudahnya.

c. Data tenaga kerja di Kota Tasikmalaya, Kota Cimahi, dan Kota Banjar untuk tahun 2001 dan 2002 tidak tersedia karena masih menyatu di kabupten induk sebelum pemekaran, yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Ciamis. Untuk mengatasi hal tersebut, dihitung proporsi data tenaga kerja tahun 2003 di ketiga Kota tersebut terhadap tenaga kerja di masing-masing kabupaten induknya. Proporsi tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk menentukan jumlah tenaga kerja di ketiga Kota tersebut sekaligus sebagai koreksi jumlah tenaga kerja di masing-masing kabupaten induk dengan mengurangkannya secara proporsional.

Ringkasan variabel, definisi dan indikator yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Variabel, Definisi dan Indikator yang Digunakan dalam Penelitian

Variabel Definisi Indikator

PDRB Jumlah nilai barang dan jasa

(output) atau nilai tambah

yang dihasilkan oleh suatu daerah (kabupaten/kota) dalam periode tertentu, biasanya satu tahun.

PDRB menurut lapangan usaha di masing- masing kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan harga konstan 2000. Data PDRB yang dikumpulkan dari publikasi BPS Provinsi atau kabupaten/kota memiliki satuan juta rupiah. PDRB Jawa dalam penelitian ini merupakan penjumlahan agregat dari seluruh PDRB kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa.

Tenaga Kerja Input tenaga kerja untuk menghasilkan output (PDRB).

Penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang bekerja seminggu yang lalu menurut lapangan usaha masing-masing Kabupaten dan Kota di Pulau Jawa. Data tenaga kerja dikumpulkan dari publikasi BPS Provinsi atau kabupaten/kota memiliki satuan orang. Sampai dengan tahun 2006, data Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menggunakan batas usia 10 tahun ke atas untuk klasifikasi penduduk yang bekerja. Tenaga kerja Jawa dalam penelitian ini merupakan penjumlahan agregat dari seluruh tenaga kerja kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa.

Produktivitas Tenaga Kerja

Efisiensi penggunaan input (tenaga kerja) terhadap output (PDRB) yang dihasilkan

Rasio atau hasil dari nilai PDRB dibagi dengan jumlah tenaga kerja masing-masing Kabupaten dan Kota di Pulau Jawa. Misalkan, produktivitas sektor pertanian di suatu kabupaten/kota sebesar 2,5 berarti di kabupaten/kota tersebut rata-rata tenaga kerja di sektor pertanian menghasilkan output sebesar Rp. 2,5 juta per tahun. Produktivitas Jawa dalam penelitian ini merupakan rasio antara PDRB Jawa dibagi dengan Tenaga Kerja Jawa.

Ketimpangan Produktivitas Tenaga Kerja

Perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu daerah (kabupaten/kota) dibanding tingkat produktivtas agregat di Pulau Jawa

Selisih atau hasil pengurangan antara produktivitas tenaga kerja Jawa dengan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota.

Analisis Dekomposisi Produktivitas Tenaga Kerja (Shift share Analysis)

Perbedaan produktivitas tenaga kerja dapat didekomposisi dengan

menggunakan analisis shift share sebagaimana yang dilakukan oleh Esteban

(2000). Menurut Esteban, sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja di suatu wilayah dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) komponen, yaitu: komposisi atau struktur masing-masing wilayah secara sektoral, perbedaan produktivitas sektor

yang sama di wilayah yang berbeda, dan perbedaan alokasi tenaga kerja di sektor- sektor yang lebih efisien.

Pendekatan Esteban telah diaplikasikan oleh Kamarianakis (2003) dan Ezcurra,et. al (2005) untuk mengukur disparitas produktivitas tenaga kerja di Uni Eropa. Kamarianakis menganalisis disparitas produktivitas 205 region (NUTS 2) terhadap produktivitas Uni Erupa (EU). Formulasi pendekatan Esteban yang dipaparkan dalam penelitian ini dimodifikasi dengan mengganti notasi EU dengan Jawa untuk memudahkan dalam analisis selanjutnya.

pji = pangsa tenaga kerja sektor j di kabupaten/kota i,

sehingga jpji = 1 untuk seluruh kabupaten/kota i.

pjjawa = pangsa tenaga kerja sektor j di Jawa, sehingga jpjjawa = 1

xji = produktivitas tenaga kerja sektor j di kabupaten/kota i

xjjawa= produktivitas tenaga kerja sektor j di Jawa

Berdasarkan formula di atas, produktivitas tenaga kerja di kabuten/kota i merupakan hasil penjumlahan antara pangsa tenaga kerja per sektor dikalikan dengan produktivitas di sektor yang sama. Demikian juga produktivitas di Jawa, sehingga dapat dituliskan:

xi = pji . xji

xjawa = jpjjawa . xjjawa

Disparitas produktivitas tenaga kerja antara kabupaten/kota i dengan Jawa dapat dituliskan sebagai:

xi- xjawa

Selanjutnya, sumber disparitas produktivitas tenaga kerja tersebut dapat diuraikan lebih lanjut berdasarkan analisis dekomposisi Shift share sebagai berikut:

1. The Industry-Mix Component ( i)

Komponen industrial mix kabupaten/kota i mengukur disparitas produktivitas antara kabupaten/kota i dan Jawa berdasarkan komposisi tenaga kerja secara sektoral di masing-masing kabupaten/kota. Diasumsikan bahwa produktivitas antara kabupaten/kota i dengan Jawa adalah sama untuk masing-masing sektor, sehingga dapat diformulasikan sebagai:

Nilai i akan positif jika kabupaten/kota I memiliki spesialisasi (pji > pjjawa)

pada sektor yang mempunyai produktivitas tinggi atau sebaliknya tidak berspesialisasi(pji< pjjawa)pada sektor yang mempunyai produktivitas rendah.

2. The Productivity Differential Component ( i)

Komponen Perbedaan Produktivitas sektoral kabupaten/kota i mengukur perbedaan produktivitas di masing-masing sektor di kabupaten/kota i dan Jawa, sehingga dapat dirumuskan sebagai:

i= jpjjawa(xji xjjawa)

nilai i akan positif jika kabupaten/kota memiliki produktivitas sektoral yang

lebih besar dibanding produktivitas sektoral Jawa. 3. The Allocative Component ( i)

Komponen Alokatif i merupakan gabungan dari kedua komponen yang telah

dijelaskan sebelumnya, dapat dituliskan sebagai:

i= j(xji xjjawa)(pji pjjawa)

Komponen ini akan bernilai positif jika suatu kabupaten/kota melakukan spesialisasi pada sektor-sektor yang memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibanding tingkat produktivitas rata-rata di Jawa. Nilai i akan maksimum jika suatu kabupaten/kota i berspesialisasi secara penuh pada sektor yang memiliki produktivitas paling tinggi. Dengan demikian, komponen ini merupakan ukuran efisiensi masing-masing kabupaten/kota dalam mengalokasikan sumberdaya (tenaga kerja) pada sektor-sektor yang memiliki tingkat produktivitas yang berbeda.

Perbedaan produktivitas kabupaten/kota dengan produktivitas Pulau Jawa secara lengkap dapat didefinisikan sebagai:

xi xjawa = i + i + i

Persamaan di atas dapat dibaca sebagai perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa merupakan hasil penjumlahan dari nilai komponen industry-mix, productivity different, dan

allocative.

Analisisshift share yang dikembangkan Esteban juga memungkinkan untuk

dilakukan pengujian disparitas produktivitas tenaga kerja dengan menggunakan model satu komponen tunggal untuk masing-masing komponen dekomposisi.

Untuk tujuan tersebut, dilakukan analisis regresi cross-section terhadap model- model berikut:

xi xjawa = a + b i + ,i i = 1, , N xi xjawa = a + b i + ,i i = 1, , N xi xjawa = a + b i + ,i i = 1, , N

Keterangan: N adalah banyaknya kabupaten/kota di Jawa.

Pengujian komponen secara tunggal ini dimaksudkan untuk melihat lebih

jauh terhadap peran masing-masing komponen shift share sebagai sumber

disparitas antar wilayah yang disebabkan oleh perbedaan produktivitas tenaga kerja secara sektoral antar kabupaten/kota.

Analisis Data Spasial (Exploratory Spatial Data Analysis/ESDA)

Autokorelasi spasial dapat didefinisikan sebagai kejadian suatu nilai yang mirip berada pada lokasi yang mirip. Autokorelasi spasial akan bernilai positif jika terdapat pengelompokan (clustering) kabupaten/kota yang memiliki nilai yang sama, yaitu kabupaten/kota dengan tingkat produktivitas yang tinggi (rendah) dikitari oleh kabupaten/kota tetangga yang juga memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (rendah). Sebaliknya nilai autokorelasi spasial akan negatif jika terjadi penyebaran nilai, yaitu kabupaten/kota yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (rendah) dikelilingi oleh kabupaten-kabupaten/kota-kota lain yang justru bernilai rendah (tinggi).

Analisis eksplorasi data spasial (Exploratory Spatial Data Analysis/ESDA) merupakan teknik analisis untuk menampilkan penyebaran data secara spasial, mengidentifikasi ketidakteraturan lokasi, mendeteksi pola hubungan spasial dan menyajikan kelompok spasial yang berbeda (Anselin, 1999). ESDA terdiri dari serangkaian analisis yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pengujian Global

Pengujian terhadap keterkaitan spasial (spatial autocorrelation) akan menggunakan uji statistik Moran s I.

Nilai zi adalah vektor dari n observasi kabupaten/kota di Pulau Jawa yang

berbeda dari nilai rata-ratanya. Nilai S0 adalah faktor yang telah distandarisasi

atau j iwij. Statistik Moran s I memberikan indikasi umum derajat hubungan

antara nilai observasi vektor zi dengan nilai rata-rata tertimbang tetangga yaitu

vector Wzi (vector spatial lag). Nilai Moran s I yang lebih besar dari nilai rata-

ratanya E(I) = -1/(n-1) menunjukkan spatial autocorrelation positif sebaliknya jika lebih kecil berarti terjadi autokorelasi spasial negatif.

Pengujian Lokal

Uji statistik Moran s I merupakan uji global yang belum dapat menggambarkan struktur wilayah terkait dengan autokeralasi spasial secara parsial. Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran pengelompokan dan penyebaran wilayah yang memilki pertumbuhan tenaga kerja yang tinggi atau rendah perlu dilakukan uji statistik korelasi spasial secara lokal menggabungkan antara Moran scatterplot dan Local Indicator of Spatial Association (LISA) sebagaimana digunakan oleh Anselin (1999).

Pengujian autokorelasi spasial secara lokal menggunakan Local Moran s I

untuk kabupaten/kota i dan tahun t adalah sebagai berikut:

Iij = m0 = j(Xij-t)2/n

dimana xi adalah variabel observasi di kabupaten/kota i,  adalah rata-rata

variabel observasi dan mo adalah jumlah dari kuadrat selisih nilai variabel

tetangganya dengan rata-ratanya. Nilai positif dari Ii berarti terjadi

pengelompokan spasial kabupaten/kota yang memiliki nilai yang sama.

Sebaliknya jika nilainya negatif maka pengelompokan terjadi antara kabupaten/kota yang memiliki nilai yang berbeda antara kabupaten/kota yang diamati dengan kabupaten/kota tetangganya. Dengan menggabungkan informasi dari Moran Scatterplots dan uji LISA yang signifikan dapat dibuat Moran Significance Map.

Pemetaan dengan menggunakan Moran scatterplot akan menyajikan empat

kuadran yang menggambarkan empat tipe hubungan suatu wilayah dengan wilayah-wilayah lain disekitarnya sebagai tetangga (neighbors), sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3. Tipe Hubungan Wilayah dengan Wilayah Tetangganya

Tipe Keterangan

HH Suatu wilayah yang memiliki nilai tinggi dan dikitari oleh wilayah- wilayah tetangga yang juga berilai tinggi

HL Suatu wilayah yang memiliki nilai tinggi dan dikitari oleh wilayah- wilayah tetangga yang mempunyai nilai yang rendah

LH Suatu wilayah yang memiliki nilai rendah dan dikitari oleh wilayah- wilayah tetangga yang mempunyai nilai yang tinggi

LL Suatu wilayah yang memiliki nilai rendah dan dikitari oleh wilayah- wilayah tetangga yang juga mempunyai nilai yang rendah

Keterangan:

H = High/Tinggi L = Low/Rendah

Matrik Keterkaitan Spasial (Spatial Weight Matrices)

Interaksi spasial antar kabupaten/kota dihitung dengan menggunakan matriks W, yang mengukur tingkat keterkaitan spasial antara kabupaten/kota r dengan kabupaten/kota s untuk r, s = 1, , n. Pola interaksi spasial tersebut mengikuti pendekatan yang merupakan implementasi analisis spasial dari Hukum Geografi I (Tobler s first law of geography) yang menyatakan:

Everything is related to everything else, but near things are more related than distant things .

Pembentukan matriks keterkaitan spasial yang sering disebut matrik W dapat menggunakan berbagai teknik pembobotan berdasarkan matriks jarak, biaya perjalanan, waktu tempuh, aliran sumberdaya, maupun aturan umum ketetanggaan. Anselin (2002) mengusulkan 3 (tiga) pendekatan untuk mendefinisikan matriks W, yaitucontiguity,distance, dangeneral.

Matriks W berdasarkan persentuhan batas wilayah (contiguity) menyatakan

bahwa interaksi spasial terjadi antar wilayah yang bertetangga, yaitu yang

memiliki persentuhan batas wilayah(common boundary).

Matriks W berdasarkan aturan umum ketetanggaan (contiguity) antar

kabupaten/kota, dimana jika berbatasan langsung diberi nilai 1, dan 0 untuk lainnya. Pada prakteknya, definisi batas wilayah tersebut memiliki beberapa alternatif. Secara umum terdapat berbagai tipe interaksi, yaitu Rook contiguity,

Bishop contiguity dan Queen contiguity. Gambar 4 menjelaskan pengertian masing-masing kontiguitas berdasarkan jenis dan arah batas wilayah.

Pengujian autokorelasi spasial dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa orde ketetanggaan. Metode orde ke-1 (kesatu), berarti hanya kabupaten/kota yang berbatasan langsung yang dianggap sebagai tetangga. Metode orde ke-2 (kedua) mengasumsikan tetangga dari kabupaten/kota tetangga yang berbatasan langsung juga termasuk kabupaten/kota tetangga yang masih terjadi efek spasial, dan seterusnya untuk orde yang lebih tinggi.

Rook Contiguity Bishop Contiguity Queen Contiguity

Kabupaten/kota pengamatan bersentuhan langsung dengan sisi-sisi

kabupaten/kota tetangga sehingga akan memiliki 4 tetangga

Kabupaten/kota pengamatan bersentuhan langsung dengan sudut diagonal kabupaten/kota tetangga sehingga akan memiliki 4 tetangga

Merupakan gabungan antara Rook dan Bishop, sehingga akan memiliki 8 tetanga

Gambar 4. Tipe Keterkaitan antar Wilayah.

Sedangkan berdasarkan jarak (distance), interaksi ketetanggaan

ditentukan oleh jarak antar dua wilayah. Sesuai dengan hukum gravitasi, semakin dekat jarak antar dua wilayah yang bertetangga maka semakin kuat interaksi yang terjadi. Sebaliknya semakin jauh jarak antar dua wilayah yang bertetangga maka semakin lemah interaksinya. Terdapat dua variasi matriks W berdasarkan jarak yaitu dengan menggunakan jarak antara dua wilayah (distance band) dan sejumlah tertentu wilayah yang ditentukan sebagai tetangga (k-nearest neighbors). Pendekatan jarak (distance) mengasumsikan semakin dekat jarak antar kabupaten/kota akan memiliki hubungan yang lebih kuat (Arbia, et. al.). Oleh

karena itu, digunakan perhitungan inverse distance matrices, yang dapat

dirumuskan sebagai berikut: Wij(d) = 0 jika i = j

Wij(d) = 1/dij2 jika i j, dan dij D

dimana dij merupakan jarak ekludian antara titik tengah (centroids)

kabupaten/kota i dan j, dan D adalah cutoff atau batas jarak terjauh yang diasumsikan sudah tidak terjadi interaksi.

Matriks W dalam pengertian yang lebih umum (general) dapat berupa jarak

dalam pengertian tidak sesungguhnya, yang lebih merepresentasikan daya tarik suatu wilayah dan hambatan mobilitas antar wilayah (Anselin 2002). Asumsi yang terlalu ketat yang menganggap keterkaitan hanya terjadi pada wilayah yang berbatasan seringkali tidak relevan. Pergerakan penduduk dan perdagangan misalnya, dalam banyak kasus terjadi antar wilayah yang meskipun kedua wilayah tersebut tidak berbatasan langsung. Misalkan, jarak ekonomi interaksi ketenagakerjaan antar dua wilayah dapat dituliskan sebagai [ri rj], sehingga

bobot interaksi antara kedua wilayah tersebut dapat dituliskan sebagai 1/[ri rj], di

manar adalah jumlah tenaga kerja.

Analisis Regresi Spasial Data Panel

Model ekonometri yang digunakan dalam penelitian merupakan regresi data

panel yang menggabungkan antara datacross section 115 kabupaten/kota dan data

time series 8 tahun pengamatan dari tahun 2001 sampai dengan 2008. Langkah- langkah yang digunakan dalam analisis regresi spasial untuk data panel dapat diringkas sebagai berikut:

1. Menentukan data yang akan digunakan dalam penelitian, yaitu hasil perhitungan perbedaan produktivitas tenaga kerja setiap kabupaten/kota di

Pulau Jawa dan ketiga komponenshift share.

2. Menentukan matriks interaksi spasial, yang dalam penelitian ini menggunakan

queen contiguityuntuk memodelkan aspek ketetanggaan antar kabupaten/kota.

3. Menentukan pengaruh dependensi spasial lag model dan error model dengan

ujilikelihood ratio

4. Membatasieffectspasial terhadapfixed effectdanrandom effect

5. Menentukan nilai LR test untuk melihat adanya efek spasial

6. Menentukan apakah model yang akan digunakan merupakan fixed effect atau

7. Melakukan estimasi parameter dari model tersebut dengan metodeMaksimum Likelihood Estimator(MLE)

8. Melakukan interpretasi dari hasil yang diperoleh

Algoritma pemilihan model fixed effect dan random effect regresi spasial data panel dengan menggunakan bantuan software Matlab adalah sebagai berikut: 1. Mulai

2. Loaddata penelitian yang sudah disimpan dalam bentuk data.dat

3. Loadmatriks pembobot yang sudah disimpan dalam bentuk matriks.dat

4. Inputnilai periode waktu (T) yaitu T = 8, dan jumlah wilayah n = 115

5. Lakukan Proses UjiLikelihood Rasiountuk spasiallag model

Asumsi asumsi :

a. Spatial fixed effectdenganSpatially dependent variable.

Jika nilai probabilitas > 0.05 tolak Spatial lag model dengan fixed effect

variabel spasial. Jika probabilitas < 0.05, lanjut ke langkah f. b. Spatial random effectdenganSpatially dependent variable.

Jika nilai probabilitas > 0.05 tolakSpatial lag modeldenganrandom effect

variabel spasial. Jika probabilitas < 0.05, lanjut ke langkah f. 6. Lakukan uji Hausman pada spasial lag model

Asumsi jika nilai probabilitas Hausman < 0.05 tolakspatial random effect

7. Lakukan Proses Uji Likelihood Rasio untuk spasial error model Sama seperti langkah e, dengan asumsi - asumsi

a. Spatial fixed effectdenganSpatially dependent variable.

Jika nilai probabilitas > 0.05 tolakSpatial error model dengan fixed effect

variabel spasial. Jika probabilitas < 0.05, lanjut ke langkah h. b. Spatial random effectdenganSpatially dependent variable.

Jika nilai probabilitas > 0.05 tolak Spatial error model dengan random effectvariabel spasial. Jika probabilitas < 0.05, lanjut ke langkah h.

8. Lakukan uji Hausman padaspasial error model

Asumsi jika nilai probabilitas Hausman > 0.05 tolakspatial random effect

9. Selesai.

Diagram alir untuk menentukan model regresi spasial dapat dilihat pada Gambar 5.

Mulai

Load Data Load Matrik

Bobot

Input waktu dan jumlah unit (T, N)

LR test Lag Model + Fixed Effect (SAR fixed effect)

LR-test ( < 0,05)?

LR test Lag Model + Random Effect (SAR random effect)

LR-test ( < 0,05)?

LR test Error Model + Fixed Effect (SEM fixed effect)

LR test Error Model + Random Effect (SEM random effect)

LR-test ( < 0,05)?

LR-test ( < 0,05)?

Hausman test Hausman test

H-test ( < 0,05)? H-test ( < 0,05)? Lag Model + Fixed Effect (SAR fixed effect)

Lag Model + Random Effect (SAR random effect)

Error Model + Fixed Effect (SEM fixed effect)

Error Model + Random Effect (SEM random effect) Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Tidak Selesai Tidak

Dokumen terkait