• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan spasial perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keterkaitan spasial perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa"

Copied!
291
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN SPASIAL PERBEDAAN PRODUKTIVITAS

TENAGA KERJA KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA

ARBA IN NUR BAWONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Arba in Nur Bawono

(4)

ABSTRACT

ARBA IN NUR BAWONO. Spatial Dependence of Labour Productivity Disparities of Districts/Cities at Java Island. Under Direction of SETIA HADI,

KOMARSA GANDASASMITAand DIDIT OKTA PRIBADI

Using 115 districts/cities at Java Island and 9 sectors on the 2001-2008, this study use Esteban s shift share analysis to investigate the extent to which the existing interregional disparities in labour productivity can be attributed. The different between labour productivity of districts/cities and Java Island average is regressed on the three shift share components: industrial mix, productivity different, and allocative. However, labour productivity is not only influenced by three shift share components as explanatory variables but also by aspects related to surrounding districts/cities (neighborhood). Therefore, this research employed spatial econometric models, i.e. spatial lag model and spatial error model. We observed significant spatial effect for productivity different and the industrial mix component, productivity different as well as allocative components. The result found that labor productivity disparities across districts/cities in Java Island could be attributed to the industry mix, productivity different and allocative components. Whereas the highest coefficient regression value indicated by industrial mix component. Therefore, policies are needed not only for the transformation of labor from one sector (eg. primary sector) to other sectors (eg. secondary sector). It s necessary to promote policy emphasis on increasing sectoral labour productivity, for example through empowering labor skills and improving of socioeconomic infrastructure.

(5)

RINGKASAN

ARBA IN NUR BAWONO. Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas

Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Dibimbing oleh SETIA HADI,

KOMARSA GANDASASMITA dan DIDIT OKTA PRIBADI

Terdapat tiga macam ukuran yang biasa digunakan untuk mengkaji kinerja suatu wilayah, yaitu: output, output per kapita, dan output per pekerja. Ukuran yang akan dipilih tergantung dari tujuan penelitian. Penggunaan ouput per pekerja, yang sering didefinisikan sebagai produktivitas tenaga kerja memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: (i) lebih sensitif terhadap perbedaan jumlah penduduk (pekerja) dibanding dengan penggunaan output yang biasanya diwakili oleh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang bersifat agregat; (ii) dapat dilakukan dekomposisi secara sektoral dibanding dengan output per kapita (PDRB perkapita).

Penggunaan unit spasial (misalnya, kabupaten/kota) sebagai unit analisis perlu mempertimbangkan efek spasial, yaitu kemungkinan terjadinya nilai yang mirip pada wilayah yang berdekatan sebagaimana dinyatakan hukum geografi I (Tobler s first law of geography). Memperhatikan uraian di atas, permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah: (i) Apakah terdapat efek spasial pada perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota tetangga di sekitarnya (neighborhood)? (ii) Apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa? Sehubungan dengan masalah tersebut maka tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi masing-masing komponenshift

share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan menggunakan pendekatan model regresi spasial.

Produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota secara sektoral atau menurut lapangan usaha diukur oleh rasio PDRB kabupaten/kota menurut lapangan usaha terhadap jumlah tenaga kerja kabupaten/kota menurut lapangan usaha. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kamarianakis dan Le Gallo yang memformulasikan penyebab perbedaan produktivitas antar wilayah dengan menggunakan analisis

shift share yang dikembangkan Esteban. Dengan teknik dekomposisi, Esteban yang menggunakan data negara-negara Eropa menemukan bahwa perbedaan produktivitas antara suatu megara dengan produktivitas rata-rata Eropa, merupakan penjumlahan dari tiga faktor, yaitu: (i) struktur ekonomi masing-masing negara secara sektoral, (ii) perbedaan produktivitas tenaga kerja pada sektor yang sama di negara yang berbeda, dan (iii) perbedaan alokasi tenaga kerja di masing-masing sektor.

(6)

negatif jika terjadi penyebaran nilai, yaitu kabupaten/kota yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi (rendah) dikelilingi oleh kabupaten-kabupaten/kota-kota lain yang justru bernilai rendah (tinggi).

Keberadaan pola spasial tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar perlunya menyusun sebuah model ekonometri spasial kontribusi masing-masing

komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja

kabupaten/kota di Pulau Jawa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama tahun 2001 sampai dengan 2008 relatif tidak terdapat perubahan yang signifikan pada peringkat perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota terhadap rata-rata produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. Pengujian menggunakan uji beda peringkat Kendall (Kendall concordance test) menghasilkan nilai probabilitas, yaitu nilai asymp. Sig (asymptotic significant) sebesar < 0,05 dan koofisien konkordansi Kendall sebesar 0,975 yang berarti tingkat keselarasannya sangat tinggi atau peringkat kabupaten/kota berdasarkan nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antar tahun tidak banyak mengalami perubahan.

Persebaran tingkat produktivitas tenaga kerja tersebut dapat dipetakan

berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasinya. Rata-rata perbedaan

produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2001 sebesar 1,022 dengan standar deviasi 21,59. Dibandingkan dengan data tahun 2008 tidak

didapatkan perbedaan yang signifikan. Meskipun demikian terdapat

kecenderungan penurunan pada rata-rata produktivitas tenaga kerja menjadi -0,21, sedangkan nilai deviasi standar cenderung meningkat dan pada tahun 2008 menjadi 29,39 yang mengindikasikan peningkatan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota yang semakin senjang.

Terdapat perbedaan distribusi antara kabupaten/kota yang nilai perbedaan produktivitas tenaga kerjanya berada di bawah dan di atas rata-rata. Seluruh kabupaten/kota yang berada di bawah rata-rata memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antara rata-rata dikurangi dengan standar deviasi. Sedangkan pada kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di atas rata-rata lebih tersebar, sebagian berada pada rata-rata ditambah standar deviasi bahkan sampai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota memiliki produktivitas tenaga kerja yang rendah. Dengan kata lain terjadi kemerataan produktivitas tenaga kerja pada tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah.

Hasil analisis menggunakan regresi spasial dengan data panel yang menggabungkan sekaligus antara data 115 kabupaten/kota selama 8 tahun (dari

2001 sa,pai 2008) menyimpulkan bahwa ketiga komponen shift share

berpengaruh secara nyata terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja

kabupaten/kota di Pulau Jawa. Pengujian dengan menggunakan Lagrange

Multiplier (LM), uji Hausman dan membandingkamn antara R2 dan Corr2 dapat

disimpulkan bahwa untuk masing-masing variabel penjelas the Industry-Mix

Component ( i) dan the Productivity Differential Component ( i) model terbaik

yang didapatkan adalahspatial lag atauspatial autoregressive(SAR)fixed effect. Sementara untuk variabel penjelas the Allocative Component ( i) model

(7)

Model regresi spasial yang dikembangkan juga memperlihatkan signifikansi

efek spasial pada hubungan antara masing-masing komponen shift share terhadap

perbedaan produktivitas tenaga kerja. Hal tersebut berarti perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota juga dipengaruhi oleh perubahan komponen

shift share (alokasi tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja sektoral) di kabupaten/kota tetangga.

Oleh karena itu, disarankan untuk merancang kebijakan yang tidak hanya memperhatikan transformasi tenaga kerja dari suatu sektor ke sektor lain, misalnya dari sektor primer ke sektor sektor sekunder. Tetapi perlu untuk memperhatikan produktivitas tenaga kerja secara sektoral, misalnya melalui peningkatan ketrampilan tenaga kerja, perbaikan infrastruktur sosial ekonomi pendukung, dan lain-lain. Peningkatan keahlian dan ketrampilan tersebut juga dapat menjadi solusi adanya hambatan perpindahan tenaga kerja dari satu sektor ke sektor lainnya.

Berdasarkan temuan adanya keterkaitan spasial maka disarankan koordinasi antar kabupaten/kota yang bertetangga untuk bersinergi meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Misalnya, untuk peningkatan infrastruktur sosial ekonomi yang dapat mendorong peningkatan produktivitas sektoral perlu memperhatikan skala layanan dan efek limpahan manfaat (spillover effect) sehingga dapat dirancang lebih efisien dalam pembiayaan dan pemanfaatan barang publik.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

KETERKAITAN SPASIAL PERBEDAAN PRODUKTIVITAS

TENAGA KERJA KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA

ARBA IN NUR BAWONO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa

Nama : ARBA IN NUR BAWONO

NRP : A156070071

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ketua

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc Didit Okta Pribadi, SP, M.Si

Anggota Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Keterkaitan Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa dapat diselesaikan.

Penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Setia Hadi, MS, Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc dan Didit Okta Pribadi, SP, M.Si masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing serta Dr. Ir. Baba Barus, M. Sc selaku penguji luar komisi atas motivasi, arahan dan masukan terhadap penulis untuk terus berusaha menyempurnakan karya ini. Terimaksih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan jajaran manajemen, segenap dosen pengajar, asisten dan staf kependidikan program studi Ilmu Perencanaan Wilayah SPs IPB. Rekan-rekan Mahasiswa SPs PWL Angkatan 2007 yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaan dan dorongan semangat untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Dede Rosdiana perlu disebut secara khusus bukan saja karena menjadi teman seperjuangan hingga deadline, tetapi juga atas kontribusinya membantu karya ini lebih rapi dan enak dibaca.

Terakhir, secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada ayah H. Nurul Huda (alm), ibu Hj. Sumini, dan seluruh keluarga terutama untuk Evi, Izzan, dan Hanan (istri dan kedua anak penulis) atas segala doa, perhatian, kasih sayang, pengertian, dan kesabarannya yang menjadi motivasi lebih bagi penulis untuk tetap terus melangkah.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2011

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1969 dari ayah H. Nurul Huda (Alm) dan ibu Hj. Sumini. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara.

Setelah menyelesaikan pendidikan dari SMA Negeri 1 Surakarta pada tahun 1988, penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Program Studi yang dipilih adalah Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan selesai pada tahun 1998.

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 5

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

Kerangka Pemikiran ... 6

TINJAUAN PUSTAKA Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah ... 9

Produktivitas Tenaga Kerja Sebagai Ukuran Kinerja Pembangunan ... 11

Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia ... 13

Interaksi dan Keterkaitan Spasial (Spatial Dependence)... 17

Permodelan Ekonometri Spasial ... 20

Kajian Penelitian Terdahulu ... 25

METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data ... 29

Analisis Dekomposisi Produktivitas Tenaga Kerja (Shift Share Analysis)... 32

Analisis Data Spasial (Exploratory Spatial Data Analysis/ESDA) ... 35

Matriks Keterkaitan Spasial (Spatial Weight Matrices) ... 37

Analisis Regresi Spasial Data Panel ... 39

HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Umum ... 41

Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Antar Kabupaten/Kota ... 51

Perhitungan Komponen Shift Share ... 54

KomponenIndustrial Mix ... 55

KomponenProductivity Different ... 58

KomponenAllocative ... 60

Pola Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja ... 61

Matrik Kontiguitas Spasial ... 61

Pengujian Autokorelasi Spasial ... 63

Klaster Kabupaten/Kota Berdasar Perbedaaan Produktivitas Tenaga Kerja ... 64

Model Regresi Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja ... 68

(16)

Permodelan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja denganFixed Effect

Spasial ... 73

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 79

Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perkembangan Pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) dan Tenaga Kerja berdasarkan Sektor tahun 1987, 1997, 2007 (dalam persen) ... 1

2. Variabel, Definisi dan Indikator yang Digunakan dalam Penelitian ... 32

3. Tipe Hubungan Wilayah dengan Wilayah Tetangganya ... 37

4. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha, Tahun 2001-2008 ... 44

5. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan PDRB Terhadap PDRB Pulau Jawa, 2001-2008 ... 45

6. Persentase Tenaga Kerja di Pulau Jawa menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2008 ... 46

7. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan Jumlah Tenaga Kerja Terhadap Rata-rata Jumlah Tenaga Kerja di Pulau Jawa, 2001-2008 ... 47

8. Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Menurut lapangan Usaha Tahun 2001 2008 ... 49

9. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, 2001-2008 ... 50

10. Ringkasan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001 2008... 51

11. Hasil Pengujian Statistik Uji Keselarasan Kendall ... 54

12. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen

Industrial Mix ( = (Pij - Pjawa) * Xj.jawa) Tahun 2001 2008 ... 55 13. Perbandingan Konsentrasi Tenaga Kerja di Jakarta Selatan dan Kabupaten

Pamekasan Tahun 2008 ... 56

14. Perkembangan Struktur Tenaga Kerja di Kota Cirebon Tahun 2001 dan 2008 ... 57

15. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen

Productivity Differential i= jpjjawa(xji xjjawa) Tahun 2001 2008 ... 59

16. Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kota Kediri dan Kabupaten Blora serta Perbandingannya dengan Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa Tahun 2008 ... 60

17. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen

Allocative i= j(xji xjjawa)(pji pjjawa) Tahun 2001 2008 ... 61

18. Ringkasan Hasil Perhitungan Moran s I ... 63

19. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja

(18)

20. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa:the Productivity Differential Component ... 70

21. Uji Likelihood Ratio Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja

Kabupaten/Kota di Pulau Jawa:the Allocative Component ... 70

22. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di

Pulau Jawa: the Industry-Mix Component... 71 23. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di

Pulau Jawa: the Productivity Differential Component ... 71 24. Uji Hausman Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di

Pulau Jawa: the Allocative Component ... 71 25. Nilai R2 dan Corr2Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota

di Pulau Jawa:the Industry-Mix Component ... 72 26. Nilai R2 dan Corr2Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota

di Pulau Jawa:the Productivity Differential Component ... 72 27. Uji Nilai R2 dan Corr2 Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di

(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 7

2. Ketimpangan Pembangunan Antar Provinsi di Indonesia, 1993-2003 (berdasar Indeks Williamson) ... 13

3. Ilustrasi Model Keterkaitan antar Variabel Spasial ... 18

4. Tipe Keterkaitan antar Wilayah ... 38

5. Diagram Alir Algoritma Penentuan Model Regresi Spasial Data Panel ... 41

6. Perkembangan Agregat Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, 2001-2008 ... 49

7. Persebaran Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Tahun 2001 dan 2008... 52

8.a. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Tahun 2001 ... 64

8.b. Moran Scatter Plot Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa 2008 ... 65

(20)
(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kabupaten/Kota di Pulau Jawa ... 88

2. Rangking dan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja

Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001-2008 ... 91

3. Rangking dan Nilai Komponen Industry-Mix Kabupaten/Kota di Pulau

Jawa, 2001-2008 ... 94

4. Rangking dan Nilai Komponen Productivity Different Kabupaten/Kota di

Pulau Jawa, 2001-2008 ... 97

5. Rangking dan Nilai KomponenAllocativeKabupaten/Kota, 2001-2008 ... 100

6.a.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2001 ... 103 6.b.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2002 ... 106 6.c.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2003 ... 109 6.d.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2004 ... 112 6.e.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2005 ... 115 6.f.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2006 ... 118 6.g.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

KomponenShift Share, Tahun 2007 ... 121 6.h.Perhitungan Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota dan

(22)
(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan merupakan proses transformasi struktural yang mendorong

pergeseran alokasi sumberdaya. Model pembangunan ekonomi dengan penawaran

buruh yang tidak terbatas (unlimited labour supply) misalnya, menjelaskan bahwa pembangunan akan berlangsung apabila sumberdaya terakumulasi sebagai akibat

peralihan surplus kapital dari sektor pertanian yang subsisten ke sektor kapitalis.

Atas nama pembangunan, terjadilah pengalihan surplus melalui penarikan tenaga

kerja, modal dan sumberdaya-sumberdaya lainnya.

Gagasan yang dikemukan oleh Lewis (1954, diacu dalam Jhingan 1990)

tersebut didasarkan pada pandangan bahwa di sektor subsisten tersedia buruh

dalam jumlah yang tak terbatas dan bersedia menerima upah sekadar cukup untuk

hidup. Karena penawaran buruh tersedia tidak terbatas, maka suatu industri dapat

terus didirikan dan dikembangkan tanpa batas dengan cara menarik buruh dari

sektor subsisten (pertanian) ke sektor industri.

Pada kenyataannya, pemikiran di atas tidak sepenuhnya tepat untuk

menggambarkan proses transformasi yang terjadi di Indonesia sebagaimana dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan Pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) dan Tenaga Kerja berdasarkan Sektor tahun 1987, 1997, 2007 (dalam persen)

Pangsa PDB Pangsa Tenaga Kerja

Sektor

1987 1997 2007 1987 1997 2007

Primer 35.49 23.78 24.90 55.55 42.08 42.24

Sekunder 18.34 24.84 27.10 0.15 0.27 12.38

Tersier 46.18 51.39 48.00 44.31 57.65 45.40

Sumber : BPS (diolah)

Kontribusi sektor primer cenderung mengalami penurunan dari 35,5 persen

pada tahun 1987 menjadi 24,9 persen pada tahun 2007. Sebaliknya, sektor

sekunder justru memperlihatkan kecenderungan memberikan kontribusi semakin

(24)

bawah kontribusi sektor primer, pada tahun 2007 telah mencapai lebih dari 27

persen, melampaui kontribusi sektor primer.

Sementara jika dilihat dari penyerapan tenaga kerja, sektor primer dan

tersier masih menjadi sektor yang menyerap tenaga paling besar. Meskipun

cenderung menurun, sampai dengan tahun 2007 masih diatas 40 persen dari total

tenaga kerja di Indonesia. Sektor sekunder yang memiliki pertumbuhan pangsa

terbesar terhadap PDB justru kurang memperlihatkan kemampuan menyerap

tenaga kerja.

Gambaran data tersebut menyajikan bahwa pertumbuhan sektor industri

modern tidak mengakibatkan pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang diserap ke

dalam proses produksi karena proses tersebut bersifat hemat tenaga kerja (Arief

dan Sasono 1984). Transformasi stuktur ekonomi dan struktur tenaga kerja yang

kurang seimbang dikuatirkan menyebabkan proses pemiskinan dan eksploitasi

sumberdaya manusia pada sektor primer (Kariyasa 2003). Lebih lanjut, perbedaan

pola transformasi ekonomi dengan ketenagakerjaan tersebut menyebabkan

terjadinya perubahan tingkat produktivitas tenaga kerja secara sektoral. Karena

terdapat perbedaan struktur perekonomian antar wilayah, perbedaan produktivitas

tenaga kerja secara sektoral tersebut akan menyebabkan disparitas pembangunan

antar wilayah.

Dinamika spasial pembangunan Indonesia memperlihatkan

ketidakseimbangan pertumbuhan antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya.

Perkembangan antar daerah memperlihatkan bahwa daerah di Pulau Jawa

umumnya mengalami perkembangan ekonomi jauh lebih cepat dibandingkan

dengan daerah lainnya di luar Jawa (Bhinadi 2002).

Bhakti (2004) melakukan kajian tentang kecenderungan disparitas antar

wilayah di Pulau Jawa dengan menggunakan analisis koefisien variasi tertimbang

(weighted coefficient of variation) yang diformulasikan oleh Williamson dengan

menggunakan PDRB perkapita tahun 1983-2001. Penelitian tersebut

menggunakan PDRB harga konstan dan provinsi-provinsi di Pulau Jawa sebagai

unit analisis. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pada rentang waktu

(25)

Penelitian tersebut juga digunakan untuk mengetahui sektor mana yang

memberikan kontribusi terhadap disparitas wilayah dengan mengestimasi

weighted coefficient of variation (CV) masing-masing sektor dan covariation

(COV) antar sektor. Perekonomian dikelompokan menjadi tiga sektor, yaitu: (i)

sektor pertanian, yang terdiri dari pertanian tanaman bahan makanan dan

perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan; (ii) sektor industri, yang

mencakup pertambangan dan pengglian, industri pengolahan, listrik, gas dan air

bersih, dan bangunan; (iii) sektor jasa, yaitu perdagangan, restoran dan hotel,

pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta

pemerintahan umum dan jasa-jasa kemasyarakatan.

Hasil estimasi menunjukkan nilai CV sektor pertanian relatif lebih kecil

dibanding sektor industri maupun jasa. Artinya, sektor pertanian tidak signifikan

memberikan kontribusi gejala terjadinya disparitas antar wilayah di Pulau Jawa.

Sebaliknya, nilai CV sektor industri dan sektor jasa relatif jauh lebih tinggi

dibanding sektor pertanian. Kondisi ini menggambarkan ketidakseimbangan antar

wilayah di kedua sektor tersebut.

Perhitungan covariation (COV) antara sektor industri dan sektor jasa

menunjukkan nilai positif yang cukup tinggi. Hal tersebut bermakna bahwa sektor

jasa merupakanderived demand atas sektor industri. Sedangkan nilaicovariation

(COV) antara sektor pertanian dan sektor industri maupun sektor pertanian dan

sektor jasa bernilai negatif, yang menunjukkan pergeseran PDRB sektor pertanian

ke sektor industri maupun sektor jasa.

Uraian di atas menggambarkan beberapa hal, yaitu: (i) terdapat

kecenderungan ketidakseimbangan proses transformasi ekonomi dan

ketenagakerjaan yang ditandai oleh perbedaan perubahan struktur ekonomi dan

struktur tenaga kerja secara sektoral, (ii) disparitas spasial di Pulau Jawa yang

cenderung meningkat diukur dari perbedaan pembangunan antar kabupaten/kota,

dan (iii) terdapat kontribusi sektoral dalam disparitas pembangunan antar wilayah.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai

disparitas atau perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa

dengan mempertimbangkan keterkaitan spasial di antara

(26)

Perumusan Masalah

Memahami karakterisik pertumbuhan suatu wilayah, merupakan hal yang

penting untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau

menghambat pembangunan, termasuk di dalamnya adalah pertumbuhan output

dan pergeseran alokasi tenaga kerja. Analisis dekomposisi pertumbuhan

menyediakan teknik analisis yang sangat berguna untuk melihat dinamika

pertumbuhan secara sektoral maupun spasial.

Pendekatan ekonometri spasial mempertegas pengakuan bahwa

pertumbuhan yang terjadi bukan berlangsung tanpa ruang (spaceless), akan tetapi menempati ruang/wilayah tertentu bahkan memiliki keterkaitan secara spasial

(spatial dependence).

Memperhatikan uraian di atas, permasalahan yang menjadi perhatian dalam

penelitian ini adalah:

1. Apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan (disparitas) produktivitas

tenaga kerja antar kabupaten/kota di Pulau Jawa?

2. Apakah terdapat pola spasial (klaster) antara produktivitas tenaga kerja suatu

kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota lain di

sekitarnya (kabupaten/kota tetangga)?

3. Bagaimanakah model ekonometeri spasial kontribusi masing-masing

komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas tenaga kerja

kabupaten/kota di Pulau Jawa?

Tujuan Penilitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengidentifikasi sumber-sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja

kabupaten/kota di Pulau Jawa melalui analisis dekomposisishift share.

2. Mengidentifikasi keberadaan pola spasial dalam bentuk klaster

kabupaten/kota berdasarkan tingkat perbedaan produktivitas tenaga kerja,

3. Mengembangkan model regresi spasial untuk mengestimasi kontribusi

masing-masing komponen shift share terhadap perbedaan produktivitas

(27)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk memahami

kondisi ketenagakerjaan kabupaten/kota di Pulau Jawa, khususnya alokasi tenaga

kerja dan tingkat produktivitas tenaga kerja secara agregat pada masing-masing

sektor perekonomian. Oleh karena itu hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

masukan bagi perencana pembangunan dalam merumuskan perencanaan

pembangunan bidang ketenagakerjaan sehingga pertumbuhan ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.

Kontribusi penting yang juga dapat disumbangkan oleh penelitian ini adalah

memasukkan pertimbangan keterkaitan spasial untuk memperdalam pemahaman

sumber-sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja. Menyadari keterkaitan

spasial tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi perencana pembangunan di

suatu kabupaten/kota untuk dapat merancang program peningkatan produktivitas

tenaga kerja bersama-sama dengan kabupaten/kota lain disekitarnya secara

sinergis sehingga program yang dijalankan dapat lebih efektif dan efisien.

Ruang lingkup Penelitian

Lingkup lokasi penelitian ini adalah Pulau Jawa dengan unit analisa

sebanyak 115 kabupaten/kota keadaan tahun 2001-2008. Kabupaten/Kota tersebut

tersebar di 6 provinsi, yaitu sebanyak 6 wilayah administrasi di Provinsi DKI

Jakarta, 25 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, 35 kabupaten/kota di Provinsi

Jawa Tengah, 5 kabupaten/kota di Provinsi DI Yogyakarta, 38 kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Timur, dan 6 kabupaten/kota di Provinsi Banten (Lampiran 1).

Pemilihan Pulau Jawa sebagai wilayah kajian didasarkan pada pertimbangan

sebagai berikut: (i) merupakan pusat aktifitas perekonomian dengan pangsa

ekonomi sekitar 59% terhadap PDRB Nasional berdasarkan data Pendapatan

Nasional Indonesia 2004-2007; (ii) berdasarkan data Survei Penduduk Antar

Sensus (SUPAS) 2005, dihuni oleh sebagian besar penduduk Indonesia, mencapai

hampir 60% dari jumlah penduduk; (iii) secara sektoral, industri manufaktur

cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa sejak tahun 1970-an (Aziz 1994).

(28)

lebih dari 80 persen tenaga kerja yang bekerja di sektor Industri dari tahun 1975

sampai dengan 1995 (Kuncoro 2004).

Lingkup subtansi adalah produktivitas tenaga kerja yang diukur secara

agregat (makro) yaitu rasio antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

dengan jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha atau sektor

perekonomian. Atribut Pulau Jawa untuk setiap indikator yang digunakan dalam

penelitian ini merujuk pada penjumlahan agregat dari seluruh kabupaten/kota di

Pulau Jawa. PDRB Pulau Jawa misalnya, dengan demikian merupakan hasil

penjumlahan PDRB seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa. Demikian juga dengan

jumlah tenaga kerja Pulau Jawa juga merupakan hasil penjumlahan agregat

seluruh tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa.

Perhatian ditekankan pada mengkaji perbedaan alokasi tenaga kerja antar

kabupaten/kota dan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota

pada masing-masing lapangan usaha. Kedua hal tersebut, yaitu perbedaan jumlah

alokasi tenaga kerja pada masing-masing sektor dan perbedaan produktivitas

tenaga kerja sektoral di setiap kabupaten/kota diduga menjadi penyebab

perbedaan produktivitas tenaga kerja.

Kerangka Pemikiran

Penelitian ini akan menganalisis sumber-sumber perbedaan produktivitas

tenaga kerja antar kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan mempertimbangkan

keterkaitan spasial antar kabupaten/kota tersebut. Perbedaan produktivitas tenaga

kerja tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan struktur ekonomi maupun alokasi

tenaga kerja untuk masing-masing sektor ekonomi yang berbeda antara suatu

kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya. Dengan demikian, perbedaan

produktivitas tenaga kerja tersebut perlu dikenali melalui analisis dekomposisi

untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkannya.

Pentingnya memasukkan analisis spasial didasari pemikiran bahwa suatu

unit spasial, dalam hal ini suatu kabupaten/kota melakukan interaksi dan

dipengaruhi oleh kabupaten-kabupaten/kota-kota yang menjadi tetangganya

(29)

Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka pikir penelitian ini dapat

digambarkan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Keterkaitan produktivitas

tenaga kerja kabupaten/kota tetangga (spatial weight

matrix)

Fenomena Pembangunan Kabupaten/Kota di Pulau Jawa

 Transformasi struktur perekonomian (PDRB Sektoral)

 Pergeseran penyerapan tenaga kerja secara sektoral

Produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota i

(Xi)

Produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa (XJAWA)

Perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota i (Xi- XJAWA)

Analisis dekomposisi (Shift Share Analysis)

 Komponen industry mix

i= j(pji pjJAWA).xjJAWA

 Komponenproductivity

different

i= jpjJAWA(xji xjJAWA)

 Komponenallocative

i= j(x j

i x j

JAWA)(p j

i p j

JAWA)

Model ekonometri spasial

Estimasi pengaruh komponenshift share terhadap perbedaan

produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa

Analisis keterkaitan spasial

(ESDA/Exploratory Spatial Data Analysis)

Uji global Uji lokal

Moran s I statistic

Moran scatterplot

Local indicator of spatial association Moran significant maps

Klaster perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di

(30)
(31)

TINJAUAN PUSTAKA

Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah

Kuznets (1955) mengawali penelitian yang melihat perubahan kesenjangan

distribusi pendapatan. Menggunakan data beberapa negara (cross section) secara runtun waktu (time series), Kuznets menemukan hubungan antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita yang berbentuk huruf U terbalik

(inverted U hypothesis). Penamaan itu sesuai dengan pola distribusi pendapatan yang karena perubahan longitudinal (time series) tampak seperti kurva berbentuk huruf U yang terbalik. Pada awal proses pembangunan, disparitas distribusi

pendapatan akan naik sebagai akibat proses industrialisasi dan urbanisasi.

Akhirnya, pada tahap pembangunan lebih lanjut ketimpangan tersebut akan

menurun, yaitu ketika sektor industri di perkotaan sudah menyerap sebagian besar

tenaga kerja yang datang dari sektor pertanian di perdesaan.

Hasil kajian Williamson (1965) yang menggunakan data GDP berbagai

negara juga mendukung hipotesa U terbalik tersebut. Nilai indeks Williamson

menggambarkan disparitas yang terjadi akibat pertumbuhan output dan jumlah

penduduk di negara-negara yang menjadi wilayah kajian. Pengukuran disparitas

didasarkan pada penyimpangan pendapatan per kapita suatu wilayah dengan

pendapatan per kapita nasional. Dengan kata lain, indeks Williamson merupakan

modifikasi dari standar deviasi. Semakin besar nilainya menunjukkan tingkat

disparitas antar wilayah yang semakin lebar.

Salah satu penjelasan terhadap ketidakmerataan pembangunan antar wilayah

adalah distribusi sumberdaya alam yang tidak merata. Kekhasan sumberdaya alam

di suatu wilayah yang digunakan sebagai input produksi menjadi salah satu

penentu corak aktivitas ekonomi wilayah. Terlebih lagi, pada kenyataannya

terdapat hambatan yang menjadikan ketidaksempurnaan interaksi antar wilayah

(Hoover and Giarratani 1999), yang meliputi: (i) imperfect factor mobility

(ketidaksempurnaan mobilitas faktor produksi); (ii) imperfect factor divisibility

(ketidaksempurnaan pemisahan antar faktor produksi); dan (iii)imperfect mobility of goods and services(ketidaksempurnaan mobilitas barang dan jasa).

(32)

mengembangkan skala ekonomi (economies of scale) dan mengambil keuntungan dari peningkatan spesialisasi ekonomi. Proses akumulasi dan mobilisasi

sumberdaya berdasarkan kekhasan masing-masing daerah tersebut, baik berupa

akumulasi modal, ketrampilan tenaga kerja dan kepemilikan sumberdaya alam

merupakan pemicu laju pembangunan daerah bersangkutan. Heterogenitas

sumberdaya dan keragaman karakteristik suatu wilayah menyebabkan

kecenderungan terjadinya disparitas antar daerah dan antar sektor di wilayah

tersebut (Kuncoro 2004).

Perroux 1955, diacu dalam Sjafrizal (2008) mengemukakan konsep kutub

pertumbuhan (growth pole). Dasar teorinya adalah adanya ketidakseimbangan pada interaksi antar industri. Pembangunan diawali oleh sektor industri

manufaktur yang dinamis, penggunaan teknologi modern yang secara relatif

berskala besar. Sektor ini biasanya disebut sebagai leading sector, yang kemudian menjalar ke sektor-sektor lainnya. Dengan demikian, perkembangan tidak terjadi

secara serentak di berbagai daerah.

Model basis ekspor (export-base model) dapat digunakan untuk

menjelaskan perbedaan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Model yang

diperkenalkan oleh North 1956, diacudalamSjafrizal (2008) tersebut menyatakan

bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh keuntungan kompetitif

(competitive advantage) daerah bersangkutan. Suatu daerah yang dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mempunyai keuntungan kompetitif

sebagai basis untuk ekspor (engine of growth), maka pertumbuhan daerah yang bersangkutan dapat ditingkatkan (Sjafrizal 2008; Blair 1995). Perbedaan

keuntungan kompetitif yang dimiliki oleh masing-masing daerah sebagai engine of growth dapat menjelaskan kenyataan laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bervariasi. Terdapat daerah yang memiliki laju pertumbuhan tinggi dan ada pula

laju pertumbuahan ekonomi daerah yang sangat rendah.

Model basis ekonomi menjadi landasan analisis terjadinya spesialisasi di

suatu daerah. Permintaan eksternal terhadap output daerah akan memiliki efek

dominan dalam pertumbuhan daerah yang bersangkutan. Proses tersebut bersifat

kumulatif, karena stimulus ekspor selain memiliki dampak pengganda (multiplier

(33)

Proses akumulasi dan mobilisasi faktor produksi baik akumulasi modal,

tenaga kerja dan sumberdaya alam yang dimiliki suatu daerah merupakan pemicu

dalam laju pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Heterogenitas

karakteristik suatu wilayah mendorong perbedaan pertumbuhan antar sektor, dan

selanjutnya menyebabkan ketimpangan antar daerah.

Produktivitas Tenaga Kerja Sebagai Ukuran Kinerja Pembangunan

Terdapat tiga macam ukuran pertumbuhan yang biasa digunakan untuk

mengkaji kinerja pembangunan suatu wilayah, yaitu: output, output per kapita,

dan output per pekerja. Ukuran yang akan dipilih tergantung dari tujuan

analisis dalam penelitian (Armstrong and Taylor 1993). Pertumbuhan output,

biasanya digunakan untuk mengukur kapasitas produksi yang bergantung pada

kemampuan suatu wilayah untuk menarik modal dan tenaga kerja dari wilayah

lain. Pertumbuhan output per kapita dianggap dapat menggambarkan perubahan

kesejahteraan ekonomi wilayah. Pertumbuhan output per pekerja digunakan

sebagai indikator perubahan tingkat keunggulan wilayah melalui pertumbuhan

produktivitas.

Perbandingan antara ouput dan tenaga kerja, yang sering didefinisikan

sebagai produktivitas tenaga kerja dipandang paling dapat menggambarkan

fenomena transformasi ketenagakerjaan yang tidak sejalan dengan transformasi

struktur ekonomi. Penggunaan produktivitas tenaga kerja sebagai ukuran

disparitas juga memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut: (i) lebih sensitif

terhadap perbedaan jumlah pekerja dibanding dengan penggunaan output total

yang biasanya diwakili oleh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang

bersifat agregat; (ii) dapat dilakukan dekomposisi secara sektoral dibanding

dengan output perkapita (PDRB perkapita).

Pada dasarnya ada dua pengertian produktivitas tenaga kerja, yaitu dari

pendekatan mikro dan pendekatan makro. Pengertian produktivitas tenaga kerja

dengan pendekatan mikro lebih mudah karena dikaitkan langsung dengan produk

barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Misalnya pada usaha

(34)

bata yang dihasilkan dalam satu satuan waktu tertentu (misalnya, satu bulan)

dibagi dengan jumlah pekerja pada waktu yang sama.

Pendekatan makro produktivitas tenaga kerja tidak semudah menghitung

dari segi mikro. Angka produktivitas yang diperoleh merupakan produktivitas

rata-rata pada suatu sektor ekonomi secara agregat. Ukuran produksi yang

digunakan adalah nilai tambah yang dihasilkan dalam suatu perekonomian, yaitu

menggunakan output ekonomi (PDRB). Sehingga produktivitas tenaga kerja

diukur berdasarkan besaran nilai output di suatu sektor dibagi dengan jumlah

penduduk yang bekerja di sektor tersebut.

Pengukuran produktivitas tenaga kerja tersebut memang mengandung

kelemahan karena tidak memasukkan perhitungan faktor produksi lainnya.

Perubahan produktivitas pada kenyataannya dapat disebabkan oleh penggunaan

peralatan/mesin yang lebih canggih, penggunaan teknologi baru, dan lain-lain.

Meskipun demikian, cara pengukuran di atas masih memadai untuk menunjukkan

perbandingan dan kecenderungan perubahan produktivitas tenaga kerja (BPS DKI

Jakarta 2008).

Disparitas produktivitas tenaga kerja antar daerah dapat disebabkan oleh dua

hal, yaitu: perbedaan produktivitas sektor yang sama di daerah yang berbeda, dan

perbedaan struktur ekonomi antar daerah. Dengan demikian, kedua hal tersebut

menyebabkan suatu daerah memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi

dibanding rata-rata wilayahnya. Pertama, produktivitas tenaga kerja di daerah tersebut, untuk seluruh atau sebagian besar sektor, memiliki tingkat yang lebih

tinggi di banding daerah-daerah lain di sekitarnya. Kedua, meskipun tidak memiliki keunggulan produktivitas sektoral, tetapi daerah tersebut melakukan

spesialisasi pada sektor-sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang

tinggi.

Esteban (2000) memformulasikan pandangan di atas dengan menggunakan

analisis shift share. Esteban yang menggunakan data negara-negara Eropa

menemukan bahwa perbedaan produktivitas antara suatu region dengan

produktivitas rata-rata Eropa, merupakan penjumlahan dari tiga faktor, yaitu:

(35)

produktivitas sektor yang sama di wilayah yang berbeda, dan perbedaan alokasi

tenaga kerja di sektor-sektor yang lebih efisien.

Perbedaan Kinerja Pembangunan Antar Wilayah di Indonesia

Perbedaan kinerja pembangunan antar wilayah merupakan salah satu topik

kajian yang telah mendapat banyak perhatian di Indonesia. Akita dan Lukman

(1995) menggunakan koefisien Williamson tertimbang untuk mengukur

ketimpangan pendapatan antar wilayah tahun 1975 1992. Selain itu, untuk

mengetahui kontribusi sektor-sektor ekonomi dilakukan analisis dekomposisi

sektoral. Temuan pentingnya adalah bahwa meskipun ketimpangan antar wilayah

dengan menggunakan data PDRB non migas relatif stabil, terdapat perubahan

yang signifikan pada pengamatan kontribusi secara sektoral. Sektor tersier masih

memberikan kontribusi yang besar terhadap ketimpangan tetapi terlihat penurunan

secara gradual. Kontribusi sektor sekunder terhadap ketimpangan antar wilayah

mengalami peningkatan, seiring dengan peningkatan perannya dalam PDRB.

Sjafrizal (2008) memaparkan hasil penelitian ketimpangan pembangunan

dan tendesinya pada tahun 1993-2003. Penelitian ini juga melihat pengaruh DKI

Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Oleh

karena itu, ketimpangan berdasarkan indeks Wiliamson diukur dengan

menggunakan data termasuk DKI Jakarta dan tanpa DKI Jakarta (Gambar 2).

Sumber: diolah dari Sjafrizal (2008)

(36)

Temuan yang menarik adalah bahwa pengaruh DKI Jakarta terhadap

ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata cukup besar. Sjafrizal juga

membandingkan antara indeks Williamson Indonesia dengan beberapa negara.

Hasilnya perhitungan dengan mengeluarkan data DKI Jakarta masih

menghasilkan angka indeks Williamson di Indonesia yang tinggi dibanding

negara-negara lain dan tendensinya terus meningkat sepanjang waktu.

Akita (2003) membandingkan pola disparitas wilayah antara Indonesia dan

China. Temuan pentingnya adalah terdapat hubungan yang paralel antara

disparitas perekonomian (output) dan disparitas tenaga kerja. Artinya, pada saat

disparitas tinggi, disparitas tenaga kerja juga tinggi. Sebaliknya, jika disparitas

tenaga kerja rendah maka disparitas perekonomian juga rendah. Hasil penelitian

ini menunjukkan kontribusi penting tenaga kerja terhadap pembentukan output

(GDP) di kedua negara yang menjadi wilayah penelitian. Signifikansi tenaga kerja

dibanding faktor produksi modal (kapital) kemungkinan disebabkan kemiripan

perekonomian di kedua negara yang labor intensive, sehingga penyerapan tenaga

kerja cukup besar.

Hubungan antara produksi (output) dan faktor produksi tenaga kerja bersifat

kausalitas, yang berarti terjadi hubungan timbal balik sebagai faktor penyebab

maupun akibat. Disparitas perekonomian dapat menjadi sebab yang

mengakibatkan disparitas tenaga kerja, karena muncul kecenderungan mobilitas

arus tenaga kerja dari daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan rendah ke

tinggi. Sebaliknya, ketersediaan faktor produksi tenaga kerja di suatu daerah

menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan lebih tinggi dibanding

daerah lainnya.

Kataoka (2007) mengidentifikasi ketimpangan antar wilayah dengan

menggunakan teknik dekomposisi yang diperkenalkan oleh Duro dan Esteban

(1998). Melalui analisis dekomposisi, Kataoka mengidentifikasi faktor-faktor

yang menyebabkan ketimpangan pendapatan antar wilayah di Indonesia pada

periode tahun 1983-2006, sebelum dan setelah krisis ekonomi. Indeks Theil yang

(37)

kerja, (iii) rasio tenaga kerja yang benar-benar bekerja terhadap penduduk usia

kerja, dan (iv) rasio penduduk usia kerja terhadap total penduduk.

Temuannya menunjukkan terdapat perbedaan kecenderungan disparitas

antar wilayah antara perhitungan menggunakan PDRB dengan migas dan PDRB

tanpa migas. Perhitungan dengan PDRB dengan migas menunjukkan kenaikan

disparitas dibanding dengan PDRB tanpa migas. Hal ini mengindikasikan peran

penting migas dalam perekonomian Indonesia.

Lebih lanjut, kajian tersebut diperluas dengan analisis dekomposisi sektoral

produktivitas tenaga kerja. Disparitas produktivitas tenaga kerja antar daerah,

didekomposisi menjadi dua komponen, yaitu komponen dalam sektor ( within-sector component) dan komponen antar sektor (between sector component).

Hasil analisis dekomposisi sektoral menunjukkan penurunan disparitas

produktivitas tenaga kerja pada periode penelitian. Kecenderungan tersebut

terutama disebabkan oleh penurunan disparitas antar sektor (between sector component), yang turun dari 628,6 pada tahun 1989 menjadi 308,4 pada 2006. Penurunan kontribusi komponen antar sektor terhadap disparitas antar daerah

tersebut, terutama disebabkan oleh penurunan produktivitas tenaga kerja sektor

pertambangan, konstruksi dan jasa keuangan, yang secara nasional memiliki

tingkat produktivitas tenaga kerja rata-rata yang tinggi.

Di sisi lain, analisis terhadap komponen dalam sektor (within sector) menunjukkan faktor yang menyebabkan fluktuasi disparitas produktivitas tenaga

kerja berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya. Produktivitas tenaga kerja

sektor primer, kontruksi, utilitas, transportasi dan komunikasi, dan keuangan

mengalami peningkatan sedangkan sektor lainnya berkurang.

McCulloch dan Sjahrir (2008) menemukan beberapa kesimpulan menarik

terkait dengan faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan kabupaten/kota di

Indonesia pada era desentralisasi. Pertama, secara umum terjadi proses

konvergensi pendapatan antar wilayah. kabupaten/kota yang memiliki PDRB

rendah cenderung tumbuh lebih cepat dan relatif tidak terkena dampak krisis yang

menyebabkan penurunan pertumbuhan. Kedua, terdapat kecenderungan proses

klaster, yaitu kabupaten/kota yang tumbuh dengan tinggi akan memberikan

(38)

Ketiga, terjadi dampak komposisi sektoral meskipun sulit diidentifikasi karena tidak cukup bukti bahwa secara sistemik distibusi sektoral yang lebih

terkonsentrasi akan memberikan dampak pertumbuhan yang lebih cepat.Keempat,

kuantitas dan kualitas tenaga kerja berpengaruh positif secara signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota.

Susanti (2005) meneliti proses konvergensi produktivitas tenaga kerja pada

tingkat sektoral antar provinsi di Indonesia selama periode 1987-2003. Metode

yang dipakai untuk mengukur konvergensi adalah konvergensi sigma (

-convergence) dan konvergensi beta ( -convergence). Konvergensi sigma berhubungan dengan proses dispersi antar daerah yang umumnya diukur dengan

standar deviasi terhadap log PDB riil per kapita, semakin menurun sepanjang

waktu. Sedangkan konvergensi beta merupakan indikasi seberapa cepat suatu

indikator, misalnya output per tenaga kerja mendekati nilaisteady state-nya.

Analisis konvergensi sigma ( -convergence) memperlihatkan hasil

konvergensi produktivitas tenaga kerja terjadi secara kuat pada sektor

pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, dan produktivitas tenaga kerja

agregat. Artinya, terjadi penurunan disparitas produktivitas tenaga kerja antar

provinsi pada sektor-sektor tersebut. Sebaliknya sektor bangunan, sektor

keuangan, sektor persewaan dan jasa perusahaan mengalami divergensi, atau

disparitas produktivitas tenaga kerja antar provinsi pada sektor-sektor tersebut

semakin melebar.

Sementara analisis konvergensi absolute dari produktivitas tenaga kerja

sektoral dengan menggunakan konvergensi beta ( -convergence). menunjukkan

variasi selama periode penelitian. Kecepatan perubahan konvergensi absolute

produktivitas agregat lebih rendah jika dibandingkan dengan pengukuran secara

sektoral. Menggunakan regresi dengan metode panel data yang memungkinkan

perbedaan fungsi produksi antar perekonomian, maka sektor industri dan jasa

merupakan sektor-sektor yang memiliki kecepatan konvergensi paling tinggi. Hal

tersebut dapat dipahami karena sebagian besar aktivitas perekonomian sektor

industri dan jasa tersebut terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara di daerah

(39)

Interaksi dan Keterkaitan Spatial (Spatial Dependence)

Keragaman karakteristik merupakan faktor penting yang menjadi penyebab

perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Latar belakang sejarah, komposisi sosial

demografi, kondisi geografi, sebaran sumberdaya alam, kelembagaan dan

kebijakan politik adalah komponen yang menentukan perbedaan perkembangan

struktural wilayah (Todaro & Smith 2003). Kekhasan karakteristik wilayah secara

substantial (unique substances) tersebut ketika berpadu dengan keterkaitan fungsional (functional interaction) dengan wilayah lain merupakan sumber perubahan ke arah berbagai bentuk kemajuan, atau sebaliknya justru

memunculkan output yang tidak tepat secara ruang dan waktu (Saefulhakim,

2008).

Myrdal 1957, diacu dalam Jhingan (1990) dengan menggunakan konsep

dampak balik (backwash effect) dan dampak sebar (spread effect) menganalisis pola hubungan antar wilayah. Dampak balik didefinisikan sebagai semua

perubahan yang bersifat merugikan dari ekspansi ekonomi di suatu wilayah

karena sebab-sebab di luar wilayah tersebut. Sedangkan dampak sebar merujuk

pada dampak momentum pembangunan yang menyebar secara sentrifugal dari

pusat pembangunan ke wilayah-wilayah lainnya. Masalahnya adalah dampak

balik dan dampak sebar tersebut tidak mungkin berjalan seimbang. Merujuk pada

hasil kajian Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa, Myrdal menyimpulkan bahwa

keterbelakangan suatu negara terletak pada lemahnya dampak sebar dan kuatnya

dampak balik.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa proses pertumbuhan suatu daerah

selain dipengaruhi oleh karakteristik daerah itu sendiri juga ditentukan oleh

karakteristik wilayah di sekitarnya dan pola interaksi atau keterkaitan yang terjadi

secara spasial. Aziz (1994) menyatakan bahwa analisis yang mengabaikan unsur

spasial layak untuk dipertanyakan karena mempostulatkan bahwa segala proses

dan mekanisme terjadi di alam tanpa ruang (spaceless). Akibat lebih lanjut, hasil pelaksanaan kebijakan yang didukung oleh kajian yang mengabaikan unsur

spasial berdeviasi terlalu besar dari hipotesa yang diharapkan.

Saefulhakim (2008) mengilustrasikan bahwa intensitas serangan hama dan

(40)

oleh karakteristik dan pola budidaya yang dilakukan di petak sawah tersebut.

Intensitas serangan hama dan penyakit, karakteristik lingkungan dan pola

budidaya yang dilakukan di petak-petak sawah sekitarnya dan petak-petak sawah

lain yang terkait dalam satu sistem jaringan irigasi/drainase juga turut

mempengaruhinya. Terdapat banyak bukti terhadap keterkaitan antar wilayah

seperti perdagangan antar wilayah, dampak eksternalitas infrastruktur dan

mobilitas tenaga kerja.

Fenomena keterkaitan antar wilayah tersebut, dalam teori ilmu wilayah

diformulasikan dalam berbagai konsep, antara lain: (i) interaksi spasial (spatial interaction); (ii) difusi spasial (spatial diffusion); (iii) hirarki spasial (spatial hierarchy); dan (iv) aliran antar daerah (interregional spillover).

Pola interaksi dan keterkaitan spasial tersebut, terkait dengan kinerja

pembangunan suatu daerah yang tidak hanya ditentukan oleh karakteristik

lingkungan dan manajemen daerah tersebut tetapi juga merupakan hasil dari

pengaruh dan interaksi dengan kinerja pembangunan, karakteristik lingkungan dan

manajemen pembangunan di daerah-daerah lain di sekitarnya. Ilustrasi keterkaitan

antar wilayah tersebut dapat digambarkan sebagaimana Gambar 3.

(41)

Dengan demikian, mengabaikan aspek spasial dalam penelitian wilayah

yang menggunakan unit spasial, misalnya kabupaten/kota sebagai unit analisis

dapat memberikan hasil yang bias. Akibat lebih lanjut, formulasi kebijakan yang

ditarik dari temuan penelitian tersebut juga menjadi tidak tepat.

Kajian yang memadukan antara analisis dekomposisi dan analisis spasial

dilakukan Nazara (2003) yang menggunakan teknik dekomposisi untuk melihat

pengaruh region tetangga terhadap kesenjangan antar provinsi di Indonesia. Untuk

keperluan tersebut, Nazara memodifikasi analisis dekomposisi shift share standar yang diperkenalkan Dunn (1960) untuk analisis spasial. Modifikasi tersebut

diperlukan untuk mempertimbangkan terjadinya interaksi antara suatu region

dengan tetangganya. Interaksi tersebut, dapat memberikan manfaat posisif

maupun negatif terhadap region bersangkutan.

Teknik dekomposisishift share spasial tersebut diimplementasikan terhadap data PDRB provinsi untuk tahun 1976-1998. Pengertian region, didasarkan pada

sistem konfigurasi provinsi di Indonesia, yaitu 26 provinsi dikelompokkan ke

dalam 5 super region: Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan

Indonesia Timur. Interaksi diasumsikan hanya terjadi antar provinsi di dalam

super region yang sama. Asumsi ini didasarkan pada hasil perhitungan matrik

Input-Output antar regional (Interregional IO) tahun 1999 yang menunjukkan transaksi input antara lebih banyak terjadi dalam region di banding antar region.

Nazara mengemukakan beberapa temuan penting. Pertama, terdapat

kecenderungan ketimpangan spasial yang makin besar dalam lima super region

tersebut selama tahun 1990-an dibanding tahun-tahun awal pengamatan.

Kedua, sektor tersier merupakan sektor yang paling kecil menunjukkan perbedaan antara satu region dengan region yang lain. Hal tersebut diduga

disebabkan oleh perkembangan Indonesia yang belum berorientasi pada sektor

jasa/tersier. Jawa sebagai super region yang paling maju, sehingga dapat

dikatakan sebagai wilayah yang paling berorientasi pada sektor jasa, fluktuasi efek

sektor tersebut yang paling besar terutama pada tahun 1980-an dan awal 1990-an.

Sedangkan di region lain yang sektor jasa belum memberikan kontribusi

(42)

Ketiga, kecenderungan ketimpangan spasial lebih stabil setalah akhir 1980-an. Pola yang menarik terjadi selama masa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998.

Pada periode itu, Ketimpangan spasial super region Kalimantan dan Indonesia

Timur menjadi semakin besar, sementara ketimpangan spasial super region

Sumatera dan Jawa sebaliknya justru semakin menurun. Sedangkan di dalam

super region Sulawesi relatif tidak terjadi perubahan ketimpangan spasial. Hal

tersebut diduga sebagai akibat krisis ekonomi yang lebih berdampakn pada

wilayah perkotaan di Indonesia bagian barat, khususnya Pulau Jawa. Sebaliknya,

di luar Pulau Jawa krisis ekonomi yang ditandai depresiasi rupiah justru

memberikan keuntungan nilai pada barang-barang ekspor khususnya produksi

minyak dan gas, dan juga perdagangan komoditas perkebunan.

Permodelan Ekonometri Spasial

Suatu model regresi linier menyatakan hubungan antara satu atau lebih

variabel independen yang dapat dinyatakan dalam model regresi linier (Drapper

dan Smith 1992). Adapun model regresi linier secara umum sebagai berikut.

   

x pxp

y 0 1 1 

dengan yadalah variabel respon, 0,1p adalah koefisien parameter yang

diestimasi, dan adalah nilaierror regresi.

Suatu model ekonometrika harus memenuhi uji asumsi model regresi, yaitu

0, 2I

~

IIDN (suatu variable random yang identik, independen, dan

berdistribusi normal). Uraian mengenai pengujian masing-masing asumsi adalah

sebagai berikut:

Asumsi Berdistribusi Normal

Asumsi residual berdistribusi normal harus terpenuhi. Cara pengujian

residual berdistribusi normal atau tidak salah satunya dapat dilakukan dengan

Kolmogorov-Smirnov test. Apabila pengujian residual berdistribusi normal tidak dapat dipenuhi maka solusinya dapat dilakukan transformasi data, pendeteksian

(43)

Asumsi Homoskedastisitas

Asumsi homoskedastisitas adalah variansi residual bersifat identik atau

konstan, artinya varian setiap residual i Apabila varians residual tidak identik

maka disebut heteroskedastisitas. Salah satu cara untuk melihat ada tidaknya pola

heterokedastisitas dapat dilakukan dengan membuat plot antara residual yang

dikuadratkan denganytaksiran. Selain itu juga dapat dilakukan dengan uji Glejser yaitu meregresikan nilai mutlak residual dengan variable independen. Bentuk

umum persamaannya adalah X  (Gujarati, 2004). Jika parameter variabel

independen signifikan berarti varian residual cenderung tidak homogen.

Asumsi Independen

Asumsi independen menunjukkan tidak terdapat autokorelasi. Autokorelasi

adalah hubungan yang terjadi diantara residual yang tersusun dalam rangkaian

waktu (time series) atau dalam rangkaian ruang (data crossection). Salah satu

metode untuk mendeteksinya dengan cara melihat plot Autocorrelation Function

(ACF). Bila lag-nya tidak keluar dari garis batas maka tidak terjadi kasus autokorelasi.

Asumsi Tidak Ada Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan korelasi atau hubungan yang kuat diantara

variabel-variabel prediktor. Ada beberapa cara untuk mendeteksi adanya

multikolinearitas, diantaranya dengan :

1. Variance Inflation Factor(VIF) yang tinggi, biasanya > 10 2. Korelasi antar variabel prediktor tinggi

3. Koefisien determinasi (R2) tinggi tetapi tidak ada variabel prediktor yang signifikan

Model Regresi Spasial Data Panel

Dalam model regresi spasial data panel, data yang digunakan adalah data

(44)

digunakan data panel seimbang (balance panel data) dimana setiap unit

crossectionmemiliki jumlah observasitime seriesyang sama.

Secara umum model regresi spasial data panel dinyatakan dalam bentuk

persamaan sebagai berikut.

     n 1 j it i it jt ij

it W y x ,

y

   n 1 j it it ij it W

dimanai adalah indeks pada dimensicrossection dengani = 1, .,n dant adalah

indeks pada dimensi waktu dengan t = 1, ,T. yit adalah unit pengamatan pada

variabel dependen unit ke i dan waktu ke t, Wijadalah matriks

pembobot/penimbang spasial dengan elemen-elemen diagonalnya sama dengan

nol. adalah koefisien spasial lag, adalah autokorelasi spasial pada error dan

adalah koefisien autokorelasi spasial. xit menunjukkan vektor observasi pada

variabel prediktor pada unit spasial ke-iuntuk periode waktu ke-t, adalah vektor

parameter dan itadalah error berdistribusi

2

, 0 ~

IIDN untuk setiap i dan t.

imenunjukkan efek spasial.

Efek spasial dibedakan menjadi dua bagian yaitu dependensi spasial dan

heterogenitas spasial (Anselin 1988). Dependensi spasial terjadi akibat adanya

dependensi dalam data wilayah, sedangkan heterogenitas spasial terjadi akibat

adanya perbedaan antara satu wilayah dengan lainnya. Model spasial dengan efek

dependensi spasial terdiri atas spasial lag dan spasial error. Interaksi diantara

unit-unit spasial pada data panel juga akan memiliki variabel dependenlag spasial atau spasial proses padaerror yang biasa disebut model spatial lag dan model spatial error (Elhorst 2009).

a. Model SpasialLag (SAR)

Model spasial lag dinyatakan dengan persamaan berikut.

     n 1 j it i it jt ij

it W y x

y

adalah koefisien spasial lag.

(45)

Model spasial error dinyatakan dengan persamaan berikut.

      n 1 j it it ij it it i it

it x ; W

y

adalah autokorelasi spasial pada error dan koefisien autokorelasi spasial.

Estimasi Model Spasial Data Panel

Berdasarkan Elhorst (2009) estimasi model pada data panel meliputi model

fixed effectdanrandom effect. Modelfixed effectadalah teknik mengestimasi data panel dengan menggunakan variabel dummy untuk mendapatkan adanya

perbedaan intercept. Model ini tergantung asumsi yang dibuat tentang intercept, koefisien slope, dan residualnya. Ada beberapa kemungkinan yang akan muncul yaitu:

1. Diasumsikaninterceptdanslopeadalah tetap sepanjang waktu

2. Diasumsikanslopeadalah tetap tetapiinterceptberbeda antar individu

3. Diasumsikan slope tetap tetapi intercept berbeda baik antar waktu maupun antar individu

4. Diasumsikaninterceptdanslopeberbeda antar individu

5. Diasumsikaninterceptdanslopeberbeda antar waktu dan antar individu

ModelFixed Effect

a. Fixed Effect Spatial Lag Model

Model spasial lag dinyatakan dengan persamaan berikut.

     n 1 j it i it jt ij

it W y x

y

adalah koefisien spasial lag.

Anselin dan Hudak (1992) menyajikan estimasi parameter ,dan 2pada

model spasial lag dengan menggunakan Maksimum likelihood data crossection.

Prosedur estimasi pada persamaan (2) juga dapat menggunakan fungsi

(46)

b. Fixed Effect Spatial Error Model

Anselin dan Hudak (1992) menyajikan parameter ,dan 2

dari model

regresi linier termasukerrorautokorelasi dengan datacrossection.

Likelihood Ratio(LR)Test

Pengujian likelihood Ratio dilakukan untuk mengetahui apakah fixed effect

dan random effect memberikan pengaruh secara bersama-sama. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut (Elhorst 2009).

a. Fixed Effect

H0 : 0

H1 : 0

b. Random Effect

H0 : 1

H1 : 1

Statistik uji yang digunakan adalah -2s, dimana s adalah selisih antara log-likelihood model restricted dan model unrestricted. Keputusan yang digunakan adalah tolak H0 jikap-value<

Hausman Test

Untuk mengetahui apakah suatu model termasuk fixed effect atau random effect pada model panel data digunakan uji Hausman. Model fixed effect

mengasumsikan variabel prediktor berkorelasi dengan residualnya, sedangkan

random effect mengasumsikan variabel prediktor tidak berkorelasi dengan

residualnya. Random Effect akan menghasilkan suatu estimasi yang tidak

konsisten bila terdapat korelasi. Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji

Hausmansebagai berikut. H0 : h0

H1 : h0

Statistik Uji yang digunakan adalah

 

FE RE

1 '

d d, d var d

(47)

dimana

 

2

*' *

1 FE 1 * *' 2

RE X X X X

d

var      

Keputusan adalah tolak H0 jikap-value<

Goodness of Fit

Koefisien determinasi (R2) pada regresi spasial data panel lebih sulit dilakukan karena R2 pada regresi OLS dengan disturbance covariance 2Ike

bentuk umum model regresi denga

Gambar

Tabel 1 Perkembangan Pangsa Produk Domestik Bruto (PDB) dan Tenaga Kerja berdasarkan Sektor tahun 1987, 1997, 2007 (dalam  persen)
Gambar 1. Kerangka Pikir PenelitianKeterkaitan produktivitas
Gambar 3. Ilustrasi Model Keterkaitan antar Variabel Spasial (Saefulhakim, 2008)
Tabel 2. Variabel, Definisi dan Indikator yang Digunakan dalam Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini Untuk mengetahui pengaruh tingkat upah terhadap produktivitas tenaga kerja di kota Binjai dan Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan terhadap

Untuk mengetahui perbedaan produktivitas aktual dari hari ke hari pada setiap tenaga kerja dapat dilakukan pengujian Chi-Square. Serta untuk hubungan antara

PENGARUH MOTIVASI TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA BANGUNAN DI YOGYAKARTA, Vincentius De Paulo Citra, NPM 07.02.12821, tahun 2011, Manajemen Konstruksi, Program Studi

Penelitian ini berjudul “ Analisis Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja di kota Binjai “ Produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui peningkatan kompetensi tenaga kerja,

Dengan menggunakan analisis kontribusi dan analisis produktivitas kesimpulan penelitian adalah kontribusi tenaga kerja di sektor pertanian yang paling besar sumbangannya

Penelitian dilakukan dengan teknik penelitian statistik dekskriptif kuantitatif, menemukan hasil bahwa dengan memberikan motivasi kepada karyawan, maka produktivitas

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Mencari perbandingan produktivitas antara tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja yang didatangkan dari luar kota Jambi dalam

http://e-journal.hamzanwadi.ac.id/index.php/gdk| 261 SIMPULAN Hasil dari analisis spasial perkembangan penyerapan tenaga kerja, belanja modal, penanaman modal dalam negeri,