• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

RATA-RATA TENAGA

KERJA PULAU JAWA 507.352 522.691 524.688

Tabel 7. (Lanjutan) 2001 2005 2008 Pering- kat Kabupaten/ Kota Tenaga Kerja (orang) Kabupaten/ Kota Tenaga Kerja (orang) Kabupaten/ Kota Tenaga Kerja (orang) .. .. .. .. .. ..

106 Kota Batu 94.149 Kota Sukabumi 85.426Kota

Probolinggo 96.976 107 Kota Pasuruan 84.323 Kota Probolinggo 83.824 Kota Batu 88.555 108 Kota Madiun 77.777 Kota Pasuruan 73.870 Kota Salatiga 78.668 109 Kota Sukabumi 77.114 Kota Madiun 73.407 Kota Pasuruan 76.569 110 Kota Salatiga 66.028 Kota Salatiga 71.292 Kota Madiun 75.180

111 Kota Blitar 61.618 Kota Banjar 59.668 Kota Banjar 66.424

112 Kota Banjar 60.736 Kota Magelang 54.475 Kota Blitar 61.992 113 Kota Mojokerto 55.412 Kota Blitar 53.999 Kota Magelang 56.107 114 Kota Magelang 49.000 Kota Mojokerto 51.126 Kota Mojokerto 53.661 115 Kepulauan Seribu 7.038 Kepulauan Seribu 7.028 Kep. Seribu 6.981 Sumber:Data diolah (2011)

Produktivitas Tenaga Kerja

Berdasarkan kedua data yang telah dipaparkan di atas, yaitu dengan membagi nilai PDRB kabupaten/Kota dengan jumlah tenaga kerja kabupaten/kota maka diperoleh nilai produktivitas tenaga kerja kabupaten/Kota. Berdasarkan ketersediaan data, produktivitas tenaga kerja dapat dihitung secara rinci untuk masing-masing sektor di setiap Kabupaten/Kota pada setiap tahun, yaitu tahun 2001 sampai dengan 2008.

Secara agregat produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa cenderung meningkat. Pada tahun 2001 rata-rata seorang tenaga kerja menghasilkan output sebesar Rp. 13,49 juta rupiah per tahun dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp. 19,31 juta rupiah per tahun (Gambar 6).

Sementara secara sektoral, sektor Keuangan merupakan sektor dengan produktivitas tenaga kerja terbesar. Setiap tenaga kerja sektor keuangan secara rata-rata menghasilkan Rp. 119,6 juta rupiah/tahun, disusul dengan sektor Listrik, Gas dan Air Bersih/LGA (Rp. 97,48 juta rupiah/tenaga kerja/tahun), sektor Industri Pengolahan (30,65 juta rupiah/tenaga kerja/tahun). Perhatian perlu diberikan kepada sektor LGA karena beberapa Kabupaten/Kota tidak memiliki tenaga kerja di sektor ini. Hal tersebut dapat terjadi karena berkaitan dengan

masalah kesulitan klasifikasi jenis perkejaan ataupun karena sektor ini memang hemat tenaga kerja.

Gambar 6. Perkembangan Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa Tahun 2001 - 2008

Sektor pertanian merupakan sektor dengan tingkat produktivitas tenaga kerja terendah, rata-rata setiap tenaga kerja menghasilkan output Rp. 5,43 juta rupiah/tahun (Tabel 8). Sedangkan di sektor pertambangan rata-rata setiap tenaga kerja memberikan output sebesar Rp. 18,44 juta rupiah/tahun. Perlu diingat bahwa PDRB yang digunakan pada analisis ini adalah PDRB tanpa migas sehingga produktivitas tenaga kerja sektor pertambangan hanya mencakup PDRB dari sub- sektor Pertambangan tanpa migas dan Penggalian, tidak termasuk dari sub-sektor Migas.

Tabel 8. Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Menurut lapangan Usaha Tahun 2001 - 2008

Sektor/Lapangan Usaha Produktivitas Tenaga Kerja

(Juta Rp/TK/Tahun)

Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan

Perikanan 5,43

Pertambangan 18,44

Industri Pengolahan 30,65

Listrik, Gas dan Air Bersih 97,48

Bangunan 18,17

Perdagangan, Hotel, dan Restoran 17,65

Pengangkutan dan Komunikasi 17,55

Jasa-Jasa 12,29

Sumber: Data diolah (2011)

Rendahnya produktivitas di sektor pertanian menjadi salah satu indikasi terjadi masalah dalam transformasi ketenagakerjaan. Seharusnya ketika permintaan tenaga kerja di sektor pertanian telah lebih rendah dibanding dengan penawarannya maka kelebihan penawan tenaga kerja tersebut diserap oleh sektor- sektor lainnya. Kenyataannya terdapat hambatan (barrier) yang menghalangi perpindahan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian ke sektor lainnya, misalnya pengetahuan dan ketrampilan tertentu yang harus dimiliki tenaga kerja.

Kondisi sektor pertanian yang over supply jumlah tenaga kerja tersebut

merupakan penjelas tertekannya produktivitas sektor pertanian pada tingkat yang rendah.

Tabel 9 menyajikan peringkat sepuluh kabupaten/kota teratas dan sepuluh terbawah berdasarkan nilai produktivitas tenaga kerja pada tahun 2001, 2005 dan 2008. Secara umum tidak terdapat perubahan yang berarti pada peringkat kabupaten/kota di Pulau Jawa.

Tabel 9. Sepuluh Teratas dan Terbawah Peringkat Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota Berdasarkan Perbandingan Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Pulau Jawa, 2001-2008

2001 2005 2008 Pering- kat Kabupaten/ Kota Produktivitas (Juta Rp/TK/ Tahun) Kabupaten/ Kota Produktivitas (Juta Rp/TK/ Tahun) Kabupaten/ Kota Produktivitas (Juta Rp/TK/ Tahun)

1 Jakarta Pusat 174,30 Jakarta Pusat 204,39 Jakarta Pusat 215,12

2 Kota Kediri 143,73 Kota Kediri 147,10 Kota Kediri 178,64

3 Jakarta Utara 80,06 Jakarta Utara 91,13 Jakarta Utara 98,26 4 Jakarta Selatan 72,89 Jakarta Selatan 86,12 Kota Cilegon 86,82 5 Kota Cilegon 67,76 Kota Cilegon 78,67 Jakarta Selatan 80,65

6 Bekasi 48,94 Bekasi 56,53 Kota Tangerang 69,60

7 Jakarta Barat 45,09 Jakarta Timur 54,10 Kota Surabaya 63,89

8 Jakarta Timur 43,59 Jakarta Barat 52,50 Bekasi 57,70

9 Kota Surabaya 39,52 Kota Cirebon 46,07 Jakarta Timur 55,10 10 Kota Cirebon 39,01 Kota Surabaya 46,03 Jakarta Barat 52,05

.. .. .. .. .. ..

PRODUKTIVITAS

PULAU JAWA 13,49 16,28 19,31

.. .. .. .. .. ..

106 Tegal 3,81 Trenggalek 4,67 Pemalang 5,54

107 Wonogiri 3,78 Pemalang 4,63 Trenggalek 5,49

108 Trenggalek 3,78 Wonogiri 4,61 Wonogiri 5,03

109 Wonosobo 3,62 Tegal 4,45 Kebumen 4,88

110 Pasuruan 3,59 Bondowoso 4,23 Pekalongan 4,58

111 Blora 3,53 Wonosobo 3,93 Wonosobo 4,57

113 Grobogan 3,33 Blora 3,86 Blora 4,33

114 Pamekasan 3,25 Grobogan 3,69 Grobogan 4,09

115 Pacitan 2,80 Pacitan 3,58 Pacitan 3,81

Sumber: Data diolah (2011)

Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Antar Kabupaten/Kota

Perbedaan produktivitas tenaga kerja adalah selisih antara produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja lebih besar dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa akan memiliki nilai perbedaan yang positif. Sebaliknya untuk kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja lebih kecil dari produktivitas Pulau Jawa maka perbedaan produktivitasnya akan bertanda negatif. Semakin besar nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja menunjukkan kabupaten/kota tersebut memiliki produktivitas tenaga kerja yang semakin tinggi.

Hasil perhitungan perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa tahun 2001 sampai dengan 2008 dapat diringkas sebagaimana disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Ringkasan Nilai Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, 2001-2008

Tahun Rata-rata Standar Deviasi Nilai Maximum Nilai

Minimum 2001 1,02 23,63 160,81 -10,70 2002 0,96 25,38 168,86 -13,07 2003 0,91 26,43 169,87 -12,22 2004 0,52 26,90 177,73 -13,32 2005 0,67 26,68 188,12 -12,69 2006 0,64 28,14 197,53 -13,51 2007 3,11 42,76 343,00 -14,90 2008 -0,21 29,39 195,81 -15,50

Sumber: Data diolah (2011)

Rata-rata perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota di Pulau Jawa pada tahun 2001 sebesar 1,022 dengan standar deviasi 21,59. Dibandingkan dengan data tahun 2008 tidak didapatkan perbedaan yang signifikan. Meskipun demikian terdapat kecenderungan penurunan pada rata-rata produktivitas tenaga kerja menjadi -0,21, sedangkan nilai deviasi standar cenderung meningkat dan

pada tahun 2008 menjadi 29,39 yang mengindikasikan peningkatan perbedaan produktivitas tenaga kerja antar kabupaten/kota yang semakin senjang.

Persebaran tingkat produktivitas tenaga kerja tersebut dapat dipetakan berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasinya (Gambar 7).

Gambar 7. Persebaran Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai Rata-rata dan Standar Deviasi Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja Tahun 2008

Tahun 2001 sebanyak 89 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di bawah rata-rata dan 26 kabupaten/kota berada di atas rata-rata. Sedangkan pada tahun 2008 sebanyak 90 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di bawah rata-rata dan 25 kabupaten/kota yang lain berada di atas rata-rata.

Terdapat perbedaan distribusi antara kabupaten/kota yang nilai perbedaan produktivitas tenaga kerjanya berada di bawah dan di atas rata-rata. Seluruh kabupaten/kota yang berada di bawah rata-rata, baik berdasarkan data tahun 2001 maupun 2008 memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antara rata-rata dikurangi dengan standar deviasi.

Hasil perhitungan tahun 2001 pada kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas di atas rata-rata meskipun hanya berjumlah 26, memiliki nilai yang lebih tersebar. Sebanyak 16 kabupaten/kota memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan deviasi standar. Sebanyak 5 kabupaten/kota memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu nilai rata-rata ditambah dengan dua kali standar deviasi, sedangkan 5 kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja lebih tinggi berada pada nilai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi.

Data tahun 2008 menghasilkan 25 kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja di atas rata-rata. Kabupaten/kota yang memiliki nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan deviasi standar sebanyak 15. Sedangkan 5 kabupaten/kota memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu nilai rata-rata ditambah dengan dua kali standar deviasi, dan 5 kabupaten/kota sisanya memiliki perbedaan produktivtas tenaga kerja sebesar nilai rata-rata ditambah dengan tiga kali standar deviasi.

Jakarta Pusat merupakan wilayah yang memiliki selisih perbedaan produktivitas tenaga kerja yang tertinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa. Produktivitas tenaga kerja Jakarta Pusat pada tahun 2008 sebesar Rp. 215,12 juta rupiah /tahun sementara produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa Rp. 19,31 juta rupiah/tahun sehingga perbedaanya sebesar Rp. 195,81 juta rupiah/tahun. Kabupaten Pacitan dengan nilai produktivitas tenaga kerja terendah

menempati posisi paling bawah karena memiliki selisih negatif terbesar dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa.

Nilai dan peringkat perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Pengujian perbedaan peringkat selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 dapat dilakukan dengan melakukan uji keselarasan Kendall (Kendall Concordance Test). Ringkasan hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil Pengujian Statistik Uji Keselarasan Kendall

N 8

Kendall's Wa .975

Chi-Square 889.214

df 114

Asymp. Sig. .000

a. Kendall's Coefficient of Concordance

Sumber: Data diolah (2011)

Berdasarkan nilai probabilitas, yaitu nilai asymp. Sig (asymptotic

significant) yang hasilnya < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang menyatakan terdapat perbedaan ditolak, sehingga kesimpulannya tidak terdapat perbedaan di antara peringkat kabupaten/kota dari tahun 2001 sampai 2008. Berdasarkan koofisien konkordansi Kendall sebesar 0,975 berarti tingkat keselarasannya sangat tinggi atau peringkat kabupaten/kota berdasarkan nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja antar tahun tidak banyak mengalami perubahan.

Perhitungan KomponenShift share

Nilai perbedaan produktivitas tenaga kerja kabupaten/kota dapat didekomposisi atau diuraikan menjadi tiga komponen, yaitu industrial mix, productivity different dan allocative. Komponen-komponen tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber perbedaan produktivitas tenaga kerja dikarenakan perbedaan alokasi tenaga kerja atau perbedaan produktivitas sektoral

antar kabupaten/kota. Hasil perhitungan masing-masing komponen tersebut dipaparkan pada bagian selanjutnya.

KomponenIndustrial Mix

Komponen industrial mix menggambarkan senjang produktivitas tenaga

kerja yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi tenaga kerja di masing-masing kabupaten/kota terkait dengan produktivitas tenaga kerja di wilayah yang lebih luas (Pulau Jawa). Nilai komponen industrial mix akan tinggi jika terjadi konsentrasi tenaga kerja di suatu kabupaten/kota (Pji > PjJawa) pada sektor yang

memiliki produktivitas agregat yang tinggi. Sebaliknya jika terjadi konsentrasi yang rendah (Pji < PjJawa) pada sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja

Pulau Jawa yang tinggi, maka nilai komponen industrial mix kabupaten/kota

tersebut akan rendah.

Ringkasan hasil perhitungan komponen industrial mix yang menunjukkan peringkat masing-masing kabupaten/kota ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen

Industrial Mix ( = (Pij - Pjawa) * Xj.jawa) Tahun 2001 2008

2001 2005 2008 Pering- Kat Kabupaten/ Kota Kabupaten/ Kota Kabupaten/ Kota

1 Kota Cirebon 20,72 Kota Depok 11,71 Jakarta Selatan 10,96 2 Kota Bekasi 18,32 Jakarta Selatan 10,03 Kota Depok 10,66 3 Kota Depok 18,09 Kota Tangerang 9,88 Kota Tangerang 10,24 4 Kota Bandung 17,82 Kota Bogor 8,98 Jakarta Timur 9,90 5 Kota Bogor 16,34 Tangerang 8,75 Kota Surabaya 9,90 6 Kota Sukabumi 15,90 Kota Bandung 8,50 Jakarta Barat 9,30 7 Kota Tangerang 8,33 Kota Cimahi 8,45 Jakarta Pusat 9,15 8 Kota Cimahi 7,86 Jakarta Barat 8,29 Kota Bekasi 9,02 9 Jakarta Timur 7,72 Kota Bekasi 8,13 Kota Cilegon 8,81 10 Jakarta Selatan 7,71 Jakarta Pusat 8,01 Sidoarjo 8,81

.. .. .. .. .. .. ..

106 Ngawi -4,82 Sumenep -5,64 Kuningan -6,46

107 Lebak -5,05 Bondowoso -5,72 Cianjur -6,51

Tabel 12. (Lanjutan) 2001 2005 2008 Pering- Kat Kabupaten/ Kota Kabupaten/ Kota Kabupaten/ Kota

109 Grobogan -5,47 Bangkalan -5,79 Grobogan -6,63

110 Ponorogo -5,58 Blora -6,09 Wonogiri -6,71

111 Pacitan -5,59 Pamekasan -6,12 Blora -6,79

112 Pamekasan -5,64 Kepulauan Seribu -6,31 Gunung Kidul -6,99

113 Gunung Kidul -5,65 Pacitan -6,36 Ngawi -7,25

114 Blora -5,95 Ngawi -6,79 Sampang -7,37

115 Sampang -6,45 Sampang -7,97 Pamekasan -9,47

Sumber: Data diolah (2011)

Fenomena perbedaan nilaiindustrial mix di atas dapat dipahami lebih lanjut dengan membandingkan struktur ketenagakerjaan antar kabupaten/kota. Sebagai contoh dibandingkan antara Jakarta Selatan dan Kabupaten Pamekasan yang

masing-masing merupakan wilayah dengan nilai komponen industrial mix

tertinggi dan terendah. (Tabel 13).

Tabel 13. Perbandingan Konsentrasi Tenaga Kerja di Jakarta Selatan dan Kabupaten Pamekasan Tahun 2008 (dalam persen)

Tenaga Kerja (Persen) Sektor Jakarta Selatan Kabupaten Pamekasan Produktivitas TK Pulau Jawa (juta Rp/orang/tahun) Keuangan 10,47 0,08 116,18

Listrik, Gas dan Air

0,35 0,00 96,49 Industri Pengolahan 7,58 4,76 40,25 Angkutan dan Komunikasi 8,91 3,38 21,68 Pertambangan 0,68 0,42 19,80 Perdagangan 37,98 6,63 19,66 Bangunan 5,63 1,53 18,76 Jasa-jasa 27,76 6,31 14,72 Pertanian 0,65 76,89 5,85

Sumber: Data diolah (2011)

Jakarta Selatan yang memiliki perbedaan produktivitas positif terbesar dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa memiliki konsentrasi tenaga

kerja pada sektor-sektor yang memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Sebaliknya Kabupaten Pamekasan yang memiliki perbedaan negatif terbesar tenaga kerjanya kurang terkonsentrasi pada sektor-sektor yang memiliki produktivitas tinggi tetapi justru terkonsentrasi pada sektor yang produktivitasnya rendah.

Tenaga kerja di Jakarta Selatan pada sektor Keuangan yang memiliki produktivitas tenaga kerja tertinggi (Rp. 116 juta rupiah/tahun) jauh lebih terkonsentrasi (10,47 persen) dibanding dengan Kabupaten Pamekasan yang hanya 0,08 persen pada sektor yang sama. Demikian juga dengan sektor Industri, sektor Angkutan, sektor Perdagangan dan sektor Jasa yang juga memiliki produktivitas tenaga kerja tinggi konsentrasi tenaga kerja di Jakarta Selatan relatif lebih besar disbanding dengan tenaga kerja di Kabupaten Pamekasan. Sebaliknya, tenaga kerja di Kabupaten Pamekasan sebagian besar (lebih dari 75 persen) terkonsentrasi di sektor Pertanian yang memiliki produktivitas tenaga kerja terendah (Rp. 5,8 juta rupiah/tahun).

Gambaran menarik lainnya adalah terkait dengan transformasi tenaga kerja pada kurun waktu pengamatan. Sebagai contoh adalah Kota Cirebon yang pada tahun 2001 memiliki nilai komponen industrial mix terbesar (20,72) sehingga berada pada peringkat pertama, pada tahun 2008 tergeser kedudukannya dan berada pada peringkat 17 dengan nilai komponen industrial mix sebesar 7,33. Hal tersebut dapat ditelusuri dari pergesaran konsentrasi tenaga kerja di Kota Cirebon sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Perkembangan Struktur Tenaga Kerja di Kota Cirebon pada Tahun 2001 dan 2008 2001 2008 Sektor Pangsa (persen) Produktivitas Pulau Jawa (JutaRp/orang/tahun) Pangsa (persen) Produktivitas Pulau Jawa (JutaRp/orang/tahun) Pertanian 1,78 4,46 3,62 5,85 Pertambangan 0,73 21,20 1,03 19,80 Industri Pengolahan 11,94 25,18 3,22 40,25

Listrik, Gas dan Air 0,63 110,14 2,27 96,49

Bangunan 4,71 17,31 9,06 18,76

Perdagangan 37,17 14,04 51,37 19,66

Angkutan dan Komunikasi 10,05 13,92 13,80 21,68

Keuangan 28,38 78,63 5,56 116,18

Nilai Komponen Industrial

Mix 20,72 7,33

Sumber: Data diolah (2011)

Penurunan pangsa tenaga kerja di sektor Keuangan dari tahun 2001 (sebesar 28,38 persen) menjadi 5,56 persen pada tahun 2008, padahal sektor tersebut memiliki produktivitas tinggi (bahkan pada tahun 2008 menjadi sektor yang paling produktif) menjadi salah satu penyebab penurunan nilai komponen

industrial mix. Demikian juga pergeseran konsentrasi tenaga kerja yang terjadi di sektor Industri Pengolahan juga turut menyumbang penurunan nilai komponen

industrial mix di Kota Cirebon. Meskipun terjadi peningkatan konsentrasi tenaga kerja di sektor perdagangan yang juga mengalami peningkatan produktivitas tenaga kerja, tetapi kondisi tersebut tidak dapat mengkompensasi penurunan nilai komponen nilaiindustrial mix.

KomponenProductivity Differential

Nilai komponen productivity differential menyumbang pada perbedaan

produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa melalui perbedaan produktivitas masing-masing sektor. Suatu sektor di kabupaten/kota yang memiliki produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa di sektor yang sama, akan memiliki nilai komponen productivity differential yang besar. Sebaliknya jika produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota pada suatu sektor lebih rendah dari produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa untuk sektor tersebut maka nilai komponen nilai komponenproductivity differential juga akan rendah.

Dengan kata lain, komponen ini menggambarkan kondisi spesifik suatu wilayah yang bersifat kompetitif. Suatu kabupaten/kota memiliki tingkat produktivitas yang tinggi pada suatu sektor karena mendapat dukungan kebijakan, sumberdaya manusia dan investasi di sektor tersebut. Oleh karena itu perbedaan kemampuan SDM, tingkat teknologi, alokasi investasi, ketersediaan infrastruktur, dan lain-lain dapat menjadi penyebab perbedaan produktivitas sektoral antar kabupaten/kota di Pulau Jawa.

Hasil perhitungan komponenproductivity defferential yang disajikan dalam bentuk ringkasan sepuluh teratas dan terbawah nilai salah satu komponen shift share tersebut dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Peringkat Sepuluh Teratas dan Terbawah Berdasarkan Nilai Komponen

Productivity Differential i= jpjjawa(xji xjjawa) Tahun 2001 2008

2001 2005 2008 Pering- kat Kabupaten/ Kota i Kabupaten/ Kota i Kabupaten/ Kota i

1 Jakarta Pusat 87,88 Jakarta Pusat 101,73 Kota Kediri 102,38

2 Kota Kediri 85,14 Kota Kediri 89,59 Jakarta Pusat 97,41

3 Jakarta Utara 48,10 Jakarta Utara 57,65 Bekasi 89,07

4 Kota Cilegon 33,41 Kota Cilegon 51,16 Kota Cirebon 68,04

5 Jakarta Timur 29,43 Kepulauan Seribu 51,12 Jakarta Utara 59,77 6 Kepulauan Seribu 27,88 Jakarta Selatan 41,63 Kota Cilegon 47,69 7 Jakarta Selatan 27,28 Kota Cirebon 39,36 Jakarta Timur 28,32 8 Kota Cirebon 27,20 Jakarta Timur 29,11 Jakarta Selatan 26,15

9 Bekasi 19,60 Bekasi 21,15 Kota Tangerang 25,45

10 Jakarta Barat 19,38 Jakarta Barat 20,34 Karawang 25,36

.. .. .. .. .. ... ..

106 Brebes -8,29 Sampang -10,70 Temanggung -12,38

107 Demak -8,31 Demak -10,72 Pacitan -12,64

108 Pacitan -8,37 Grobogan -10,72 Banyumas -12,72

109 Wonogiri -8,67 Purbalingga -10,73 Tegal -12,80

110 Pemalang -8,82 Kebumen -10,74 Pemalang -12,81

111 Purbalingga -8,88 Wonosobo -11,17 Grobogan -12,86

112 Pasuruan -8,94 Brebes -11,17 Pekalongan -13,28

113 Wonosobo -8,95 Tegal -11,39 Wonogiri -13,32

114 Tegal -9,49 Blora -11,63 Wonosobo -13,84

115 Bondowoso -9,63 Bondowoso -12,06 Blora -14,14

Sumber: Data diolah (2011)

Perbedaan nilai komponen productivity differential di atas dapat dijelaskan lebih lanjut dengan membandingkan tingkat produktivitas tenaga kerja sektoral di Kota Kediri dan Kabupaten Blora yang masing-masing pada tahun 2008 merupakan wilayah dengan nilai komponen productivity differential tertinggi dan terendah. (Tabel 16).

Kota Kediri yang memiliki nilai komponen productivity differential paling besar mempunyai nilai produktivitas tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa kecuali untuk sektor

Pertambangan, sektor LGA, sektor Bangunan, dan sektor Jasa. Sektor-sektor yang memiliki produktivitas yang tinggi tersebut juga didukung oleh konsentrasi tenaga kerja yang tinggi juga, misalnya sektor Perdagangan dan sektor Industri. Sebaliknya di Kabupaten Blora seluruh sektor perekonomian memiliki nilai produktivitas tenaga kerja yang lebih rendah dibanding produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa, bahkan pada sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti sektor Pertanian dan sektor Perdagangan.

Tabel 16. Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kota Kediri dan Kabupaten Blora Tahun 2008

Kota Kediri Kabupaten Blora

Sektor Produk- Tivitas Perbedaan dengan Produktivitas Jawa Tenaga Kerja Produk- Tivitas Perbedaan dengan Produktivitas Jawa Tenaga Kerja Produk tivitas Pulau Jawa Pertanian 6,06 0,21 7.630 3,84 -2,00 278.500 5,85 Pertambangan 3,69 -16,11 472 15,04 -4,76 4.688 19,80 Industri 558,27 518,02 26.980 8,47 -31,78 14.947 40,25

Listrik, Gas dan Air 58,92 -37,57 932 30,70 -65,78 329 96,49

Bangunan 3,07 -15,69 11.247 3,52 -15,25 18.835 18,76

Perdagangan 140,40 120,74 41.271 3,85 -15,80 74.793 19,66

Angkutan 23,54 1,86 8.438 6,49 -15,19 9.126 21,68

Keuangan 320,62 204,44 2.349 27,71 -88,47 5.140 116,18

Jasa-jasa 10,28 -4,45 24.966 2,85 -11,87 51.144 14,72

Sumber: Data diolah (2011)

Keterangan:

Produktivitas : Juta Rp/Orang/Tahun Perbedaan dengan produktivitas jawa : Juta Rp/Orang/Tahun

Tenaga kerja : Orang

KomponenAllocative

Komponen allocative merupakan gabungan kedua komponen sebelumnya,

yaitu nilai yang menyebabkan perbedaan produktivitas tenaga kerja suatu kabupaten/kota dibanding wilayah yang lebih luas (produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa) baik yang disebabkan oleh perbedaan produktivitas tenaga kerja sektoral maupun alokasi tenaga kerja secara sektoral.

Oleh karena itu nilai komponen allocative ditentukan oleh kemampuan

suatu wilayah untuk mentransformasi tenaga kerja dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor yang memiliki produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi.

Bentuk ringkas peringkat sepuluh teratas dan terbawah kabupaten/kota

berdasarkan komponen allocative dapat dilihat pada Tabel 17. Sedangkan

selengkapnya nilai dan peringkat kabupaten/kota berdasarkan komponen

allocative selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2008 dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 17. Peringkat Sepuluh Teratas dan Sepuluh Terbawah Berdasarkan Nilai

Komponen Allocative i = j(xji xjjawa)(pji pjjawa) Tahun 2001,

2005 dan 2008 2001 2005 2008 Pering- kat Kabupaten/ Kota i Kabupaten/ Kota i Kabupaten/ Kota i

1 Jakarta Pusat 66,05 Jakarta Pusat 78,37 Jakarta Pusat 89,26

2 Kota Kediri 40,75 Kota Kediri 36,20 Kota Kediri 51,51

3 Jakarta Selatan 24,41 Jakarta Selatan 18,19 Jakarta Selatan 24,24

4 Kota Cilegon 16,36 Bekasi 13,33 Kota Tangerang 14,61

5 Jakarta Utara 13,25 Jakarta Utara 10,98 Kota Cilegon 11,02

6 Bekasi 12,16 Jakarta Barat 7,59 Jakarta Utara 10,47

7 Jakarta Barat 6,51 Sampang 6,91 Kota Surabaya 9,44

8 Kota Surabaya 5,57 Bondowoso 5,36 Blora 5,95

9 Sampang 3,78 Blora 5,29 Wonogiri 5,75

10 Kota Cimahi 3,66 Kota Surabaya 4,39 Garut 4,72

..

106 Jakarta Timur -7,05 Kota Pasuruan -5,70 Purwakarta -12,26

107 Kota Magelang -8,30 Kota Magelang -6,63 Kota Bogor -13,05

108 Kepulauan Seribu -14,97 Jepara -7,96 Bogor -13,23

109 Kota Bogor -15,29 Kota Bekasi -8,15 Kota Depok -14,37

110 Kota Bandung -17,61 Lebak -8,42 Kota Bekasi -18,42

111 Kota Bekasi -18,71 Tangerang -9,89 Karawang -18,85

112 Kota Pekalongan -18,73 Kota Cirebon -13,01 Subang -22,07

113 Kota Depok -19,19 Kota Depok -14,20 Kepulauan Seribu -22,08 114 Kota Cirebon -22,40 Kota Pekalongan -18,60 Kota Cirebon -49,01 115 Kota Sukabumi -30,55 Kepulauan Seribu -42,14 Bekasi -50,21 Sumber: Data diolah

Lampiran 6.a. sampai dengan 6.h. menyajikan hasil perhitungan perbedaan

produktivitas tenaga kerja dan kontribusi masing-masing komponen analisis shift

share (yi yJAWA = i + i + i) dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2008.

Pola Spasial Perbedaan Produktivitas Tenaga Kerja

Matrik Kontiguitas Spasial

Perbedaan produktifitas tenaga kerja antara suatu kabupaten/kota dengan produktivitas tenaga kerja Pulau Jawa perlu dilihat lebih lanjut secara spasial.

Fokus pembahasan akan diarahkan pada meneliti apakah terdapat pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan pada nilai produktivitas tenaga kerja maupun komponenshift share yang merupakan penyusun nilai produktifitas tenaga kerja.

Untuk keperluan tersebut maka perlu dibangun suatu model keterkaitan spasial di antara kabupaten-kabupaten/kota-kota di Pulau Jawa dengan

menggunakanspatial weight matrix (matrikW). Sesuai dengan fokus pembahasan

untuk melihat pola pengelompokan , maka digunakan pendekatan ketetanggaan sebagai matrikW. Artinya keterkaitan spasial diasumsikan terjadi pada kabupaten- kabupaten/kota-kota yang berbatasan dan berdekatan.

Secara umum tidak ada hambatan mobilitas antar kabupaten/kota yang bertetangga dan diasumsikan interaksi tidak hanya terjadi antar kabupaten/kota yang berbatasan langsung tetapi juga pada beberapa kabupaten/kota lainnya yang menjadi tetangga dari kabupaten/kota yang berbatasan langsung. Oleh karena itu matrik W yang digunakan untuk keperluan analisis spasial pada penelitian ini adalahqueen contiguity orde 4.

Pemilihan orde 4 juga dapat mengatasi masalah ketetanggan pada sebuah kabupaten/kota yang berlokasi di dalam kabupaten/kota lainnya. Kota Bogor misalnya, jika menggunakan orde 1 maka hanya bertetangga dengan Kabupaten Bogor saja tetapi dengan menggunakan orde 4 akan bertetangga dengan 22 kabupaten/kota lainnya.

Perlakuan khusus perlu diberikan untuk Kepulauan Seribu di Provinsi DKI Jakarta dan Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep di Provinsi Jawa Timur karena wilayah-wilayah tersebut berada di kepulauan/pulau yang terpisah dari dataran utama Pulau Jawa. Kepulauan Seribu misalnya, Karena tidak memiliki batas bersama dengan wilayah lain dianggap tidak memiliki

Dokumen terkait