ANALISIS SPASIAL CITRA SATELIT LANDSAT UNTUK PENENTUAN LOKASI BUDI DAYA KERAMBA JARING APUNG IKAN KERAPU
DI PERAIRAN PULAU SEMUJUR KABUPATEN BANGKA TENGAH
KENIA YOLANDA SARI
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
RINGKASAN
KENIA YOLANDA SARI. Analisis Spasial Citra Satelit LANDSAT untuk Penentuan Lokasi Budi Daya Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu di Perairan Pulau Semujur, Kabupaten Bangka Tengah. Dibimbing oleh VINCENTIUS PAULUS SIREGAR.
Pengembangan kawasan konservasi sebagai wilayah pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam sangat tepat dilakukan di sekitar pulau-pulau kecil. Salah satu pengembangan sea farming adalah lokasi budi daya Keramba Jaring Apung (KJA). Usaha budi daya KJA ikan kerapu memberikan beberapa
keuntungan yaitu penerapan teknologi yang relatif mudah dibandingkan budi daya lain dan dapat memelihara ikan dengan kepadatan tinggi tanpa khawatir akan kekurangan oksigen. Permintaan pasar terhadap ikan kerapu masih sangat tinggi dan diminati di pasar internasional.
Penggunaan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi (SIG) telah banyak dimanfaatkan untuk memetakan kawasan pesisir dan pengkajian budi daya perikanan termasuk KJA.
Penelitian ini bertujuan mengkaji wilayah potensial budi daya KJA ikan kerapu di perairan Pulau Semujur, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. Metode yang digunakan untuk menganalisis parameter
kesesuaian adalah metode IDW (Inverse Distance Weighted). Untuk mendeteksi substrat dasar perairan dari citra satelit LANDSAT digunakan algoritma “indeks dasar perairan” yaitu transformasi kanal biru dan hijau dari citra dengan algoritma Y = ln a – ki/kj*ln b. Nilai ki/kj sebesar 0,8780 yang diperoleh dari citra dengan melakukan komposit RGB 421 dan training area yang berwarna cyan sebagai pendugaan awal keberadaan substrat dasar perairan berupa terumbu karang.
Analisa spasial dilakukan dengan metode cell based modeling, dengan hasil dikelompokkan atas 3 kategori kesesuaian lokasi budidaya yaitu sangat sesuai, sesuai, dan tidak sesuai. Lokasi dengan kategori sangat sesuai meliputi stasiun 9,10, dan 11 dengan luas sebesar 0,1169 km2. Wilayah dengan kategori sesuai hanya terdapat di stasiun 12 dengan luas sebesar 0,3932 km2 sedangkan wilayah tidak sesuai meliputi sebagian besar wilayah pengukuran lapang dengan luas sebesar 0,8010 km2.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASINYA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
ANALISIS SPASIAL CITRA SATELIT LANDSAT UNTUK
PENENTUAN LOKASI BUDI DAYA KERAMBA JARING
APUNG IKAN KERAPU DI PERAIRAN PULAU SEMUJUR,
KABUPATEN BANGKA TENGAH
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Desember 2011
© Hak cipta milik Kenia Yolanda Sari, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
ANALISIS SPASIAL CITRA SATELIT LANDSAT
UNTUK PENENTUAN LOKASI BUDI DAYA
KERAMBA JARING APUNG IKAN KERAPU
DI PERAIRAN PULAU SEMUJUR
KABUPATEN BANGKA TENGAH
KENIA YOLANDA SARI
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
SKRIPSI
Judul Skripsi : ANALISIS SPASIAL CITRA SATELIT LANDSAT UNTUK PENENTUAN LOKASI BUDI DAYA KERAMBA JARING APUNG IKAN KERAPU DI PERAIRAN PULAU SEMUJUR, KABUPATEN BANGKA TENGAH
Nama Mahasiswa : Kenia Yolanda Sari Nomor Pokok : C54070040
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr.Ir.Vincentius P. Siregar,DEA. NIP. 19561103 198503 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan petunjuk-Nya yang telah memberikan kemudahan sehingga terselesaikannya penelitian ini. Dalam penelitian ini, Penulis mengkaji topik mengenai salah satu budi daya ikan laut yang memiliki nilai ekonomis penting. Penelitian ini berjudul Analisis Spasial Citra Satelit Landsat untuk Penetuan Lokasi Budi Daya Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu di Perairan Pulau Semujur Kabupaten Bangka Tengah. Penulis banyak mendapat bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih, di antaranya:
1) Orang tua, saudara dan sahabat yang selalu memberikan kasih sayang, semangat dan doa.
2) Bapak Dr.Ir.Vincentius P. Siregar,DEA. selaku dosen pembimbing utama dan telah memberikan arahan sehingga terselesaikannya skripsi ini dengan baik.
3) Instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka Tengah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Bangka Tengah, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Bogor yang telah memberi kemudahan dalam pengumpulan data.
4) Teman-teman seperjuangan ITK’44 untuk segala hal yang telah diberikan baik kebersamaan maupun motivasi bagi Penulis.
5) Teman –teman lainnya dan seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini belum sempurna. Namun, semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber informasi.
Bogor, Desember 2011
DAFTAR ISI
2.4. Persyaratan kualitas air ikan kerapu……….. 7
2.4.1. Arah dan kecepatan arus ... 8
2.5. Kesuburan perairan………. 12
2.6. Penginderaan jauh dan citra satelit………. 13
2.7. Sistem informasi geografis dan cell based modelling……… 13
3. METODOLOGI
3.3.1. Pengolahan citra satelit LANDSAT ... 18
3.3.2. Pengolahan citra satelit Aqua MODIS ... 19
3.3.3. Pengolahan data angin ... 21
3.3.4. Pengolahan data pasang surut ... 21
3.3.5. Pemrosesan basis data ... 22
3.4. Metode analisis oksigen terlarut ... 23
3.5. Matriks kesesuaian zona potensial KJA ... 25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi umum kabupaten Bangka Tengah ... 30
4.2. Penentuan parameter perairan berdasarkan citra satelit ... 33
4.2.1. Sebaran konsentrasi klorofil-a dan SPL ... 33
4.2.2. Substrat dasar perairan ... 38
4.2.3. Keterlindungan lokasi ... 42
4.3. Faktor pendukung budi daya KJA ikan kerapu ... 42
4.3.1. Kedalaman ... 43
4.3.2. Arus dan pasang surut ... 45
4.3.3. Kecerahan ... 49
4.3.4. Oksigen terlarut ... 52
4.3.5. Salinitas ... 54
4.3.6. Suhu ... 56
4.3.7. pH ... 58
4.3.8. Jarak dari kawasan pertambangan... 59
4.4. Analisis kesesuaian wilayah budi daya KJA dengan cell based modelling ... 62
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 68
5.2. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA... 69
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Klasifikasi konsentrasi klorofil-a ... 12 2. Koefisien c pada kanal 31 dn 32 untuk satelit Aqua MODIS ... 20 3. Matriks kesesuaian perairan budi daya KJA ikan kerapu ... 23 4. Hasil pengamatan kondisi terumbu karang
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Lokasi kota Pangkalpinang dan Desa Kurau ... 4
2. Operasi piksel tiap model pada cell based modeling ... 15
3. Lokasi penelitian dan stasiun pengambilan sampel ... 16
4. Diagram alir penelitian ... 24
5. Proses Overlay untuk kesesuaian budi daya KJA ... 29
6. Ikan Kerapu Sunu dalam KJA di perairan Pulau Semujur... 32
7. Konsentrasi rata-rata klorofil-a di perairan Bangka tahun 2010-2011 ... 34
8. Sebaran spasial klorofil-a tahun 2010 pada (a) musim barat (Februari); (b) musim peralihan 1(Mei); (c) musim timur (Juli); (d) musim peralihan 2 (September) ... 36
9. Rata-Rata SPL di Perairan Bangka Tahun 2010-2011 37
10. Sebaran spasial SPL tahun 2010 pada (a) musim barat (Februari); (b) musim peralihan 1(Mei); (c) musim timur (Juli); (d) musim peralihan 2 (September) ... 37
11. Komposit 421 pada citra satelit LANDSAT Di perairan Pulau Panjang dan Pulau Semujur ... 38
12. Histogram hasil transformasi algoritma untuk klasifikasi tipe substrat dasar di perairan Pulau Semujur ... 39
13. Sebaran substrat dasar di perairan Pulau Semujur ... 41
14. Keterlindungan lokasi di perairan Pulau Semujur ... 43
15. Sebaran kedalaman di perairan Pulau Semujur ... 44
16. Sebaran kecepatan arus di perairan Pulau Semujur ... 46
17. Arah dan kecepatan angin bulan MAret 2011 ... 48
18. Pola pasut di perairan Pulau Semujur ... 48
19. Tipe pasut di Indonesia ... 49
20. Sebaran kecerahan di perairan Pulau Semujur ... 50
21. Sebaran oksigen terlarut di perairan Pulau Semujur ... 52
22. Sebaran salinitas di perairan Pulau Semujur ... 55
23. Distribusi salinitas di lapisan permukaan di perairan Bangka Tengah ... 56
24. Sebaran suhu di perairan Pulau Semujur ... 57
25. Sebaran pH di perairan Pulau Semujur ... 58
26. Buffer jarak pertambangan terhadap lokasi budi daya KJA di perairan Pulau Semujur ... 60
27. Arah dan kecepatan arus di perairan timur laut Bangka ... 62
28. Kesesuaian wilayah budi daya KJA ikan kerapu di perairan Pulau Semujur ... 65
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Contoh perhitungan tipe pasang surut ... 74
2. Koefisien attenuasi (ki/kj) ... 75
3. Nilai SPL dan klorofil hasil pengolahan citra Aqua MODIS ... 76
4. Data parameter fisika-kimia perairan setiap stasiun ... 77
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pangkalpinang, Bangka Belitung
pada tanggal 15 Desember 1989 dari pasangan Bapak Jhoni
Aryadi dan Ibu Hindun. Penulis adalah anak kedua dari empat
bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri
(SMAN) 1 Jl Usman Ambon, Pangkalpinang pada tahun 2004–2007. Penulis
melanjutkan studi sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Program Studi Ilmu
dan Teknologi Kelautan melalui jalus USMI (Ujian Saring Masuk IPB).
Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif berorganisasi
dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) tahun
2009–2010. Penulis juga aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM-FPIK IPB) selama 2 periode yaitu tahun 2009–2010 dan tahun 2010–2011.
Selain itu, penulis juga pernah mengikuti kegiatan seminar dan aktif menjadi
anggota kepanitian dalam beberapa acara.
Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang
berjudul “Analisis Spasial Citra Satelit Landsat untuk Penentuan Lokasi Budi
Daya Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu di Perairan Pulau Semujur
1.1. Latar Belakang
Secara umum, pulau-pulau kecil yang berada di Kepulauan Bangka
Belitung memiliki potensi sumber daya yang sangat besar dan belum diketahui
secara jelas. (DKP, 2004). Berdasarkan SK Bupati Bangka Tengah telah
ditetapkan Kawasan Konservasi Laut Daerah atau disingkat dengan KKLD pada
tanggal 17 Juli 2007. KKLD merupakan kawasan unggul dengan tingkat
keanekaragaman hayati tinggi yang memiliki nilai ekonomis skala optimal.
Kawasan ini meliputi Pulau Panjang, Pulau Semujur, Pulau Ketawai, Pulau
Bebuar dan Pulau Gusung Asam serta perairannya dimana terdapat interaksi dan
keterkaitan ekologis dan sosial ekonomi budaya masyarakat setempat.
Pengembangan kawasan konservasi sebagai wilayah pemanfaatan dan pelestarian
sumber daya alam sangat cocok dilakukan di sekitar pulau-pulau kecil.
Pengembangan budi daya laut atau yang lebih dikenal dengan marikultur di
Indonesia telah lama dan cukup berkembang, salah satunya dengan pemanfaatan
keramba jaring apung (KJA).
KJA merupakan alternatif budi daya untuk mengatasi permintaan
perikanan yang terus menerus meningkat. Komoditi budi daya laut diutamakan
pada produk unggulan seperti ikan Kerapu Sunu (Plectropomus sp.). Ikan ini sebagai komoditi perikanan yang bernilai jual tinggi dan sangat potensial untuk
dikembangkan. Permintaan pasar terhadap ikan Kerapu Sunu juga sangat baik dan
Strategi pemanfaatan ruang KKLD yang telah menetapkan kegiatan budi
daya laut secara terpadu, optimal dan berkelanjutan telah dikembangkan dan
masih ada hingga saat ini adalah ikan Kerapu Sunu (Plectropomus sp.) di Perairan Pulau Semujur. Namun, kegiatan budi daya yang dilakukan hanya terbatas pada
pembesaran. Para petani hanya mengandalkan pasok benih dari penangkapan di
alam.
Lokasi budi daya adalah faktor yang sangat penting untuk menghindari
kegagalan. Faktor utamanya adalah kondisi lingkungan perairan untuk menjaga
keseimbangan ekosistem lingkungan yang berdampak pada budi daya seperti
aktivitas pertambangan timah lepas pantai. Pemanfaatan data penginderaan jauh
(Inderaja) dan sistem informasi geografi (SIG) telah banyak dilakukan untuk
mengidentifikasi kelayakan kegiatan KJA. Penggunaan teknologi inderaja dapat
mencakup suatu areal yang luas dalam waktu bersamaan sehingga menghemat
waktu dan biaya. Selain itu, dapat diperoleh informasi yang bersifat kontinyu.
Penelitian yang berhubungan dengan penentuan lokasi budi daya menggunakan
data Inderaja dan SIG sudah banyak dilakukan (Perez et al. 20003; Mainassy et al., 2005; Pasek, 2007; Suyarso, 2008; Hartoko dan Kangkan, 2009; dan Putra, 2011).
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengkaji wilayah potensial budi daya KJA ikan
kerapu di Perairan Pulau Semujur, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung dengan memanfaatkan analisis spasial citra satelit
2.1. Kondisi Umum Perairan Pulau Semujur
Pulau Semujurtermasuk wilayah di kecamatan Pangkalan Baru,
Kabupaten Bangka Tengah. Pulau ini dijadikan sebagai salah satu Kawasan
Konservasi Laut Daerah (KKLD). Secara geografis, pulau ini terletak pada
koordinat 02°09’08” LS dan 106°17’44” BT dengan luas sebesar 40 ha (DKP,
2007). Keunikan dari Pulau Semujur adalah memiliki bentuk yang dapat berubah
menyerupai bulan sabit dan kebalikannya tergantung dari perubahan musim.
Nelayan menggunakan kondisi perubahan bentuk pulau sebagai sandaran kapal
pada bagian barat pulau di sekitar bibir pantai dan sebagai penempatan KJA di
bagian selatan pulau (DKP, 2007).
Pulau ini dapat ditempuh selama ±75 menit menggunakan perahu motor
jika berangkat dari Desa Kurau. Jarak antara Pangkalpinang (Ibukota Provinsi
Bangka) dan Kurau bisa ditempuh melalui perjalanan darat dalam waktu ±30
menit. Namun, apabila kondisi cuaca baik maka pulau ini dapat ditempuh
langsung dalam waktu berkisar antara 1-2 jam dari Pangkalpinang (DKP, 2004).
Lokasi kota Pangkalpinang dan Desa Kirau pada peta ditunjukkan pada Gambar 1.
Pulau Semujur termasuk salah satu pulau berpenghuni yang terdiri dari 50 kepala
keluarga (DKP, 2007). Penduduk di pulau ini terdiri dari nelayan yang bersifat
tidak permanen. Biasanya nelayan tersebut menempati pulau selama 4–5 hari
Gambar 1. Lokasi Kota Pangkalpinang dan Desa Kurau
Nelayan di Pulau Semujur menangkap ikan dengan menggunakan bubu.
Penggunaan alat tangkap ini bertujuan untuk menjaga ikan tetap dalam kondisi
hidup sehingga ikan dapat dijual dengan harga yang lebih mahal. Dalam satu kali
penangkapan ikan dengan menggunakan bubu, nelayan memperoleh ikan
sebanyak ±3–4 kg. Biasanya, ikan yang ditangkap merupakan ikan karang seperti
ikan Kerapu Sunu. Selanjutnya ikan hasil tangkapan akan dijual kepada patron
2.2. Budi Daya Ikan Kerapu Dalam KJA
Ikan kerapu merupakan spesies ikan karnivora yang mempunyai nilai
pasar yang tinggi. Para ahli menyebutkan terdapat sekitar 91 jenis kerapu di
Indonesia. Sejak dua dekade terakhir permintaan pasar internasional terhadap
beberapa jenis kerapu meningkat tajam terutama oleh Hongkong (pasar utama)
dan Singapura. Jenis kerapu tersebut di antaranya Kerapu Tikus (Cromileptes altivetis), Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus), Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan Kerapu Lumpur (Ephinephelus suillus) (Nainggolan et al., 2003)
Kegiatan budi daya kerapu perlu dikembangkan secara intensif melalui
budi daya KJA. KJA atau disebut jaring apung (cage culture) dilakukan dengan sistem teknologi akuakultur yang menggunakan jaring yang mengapung dan
ditempatkan di perairan seperti danau, waduk, laguna, selat, dan teluk (Effendi,
2004). Keuntungan dari penggunaan KJA adalah biaya konstruksi keramba lebih
murah yang dapat disesuaikan dengan kemampuan modal, produktivitas tinggi
dan mudah dipantau, tidak memerlukan pengelolaan air yang khusus seperti aerasi
(Masser, 2008). Selain itu, KJA dapat memelihara ikan dengan kepadatan tinggi
tanpa khawatir akan kekurangan oksigen (Basyarie, 2001). Benih ikan untuk budi
daya banyak diperoleh dari alam dan dapat dipelihara dengan cara pemijahan
dalam bak (DJPB, 2011).
2.3. Karakteristik Lokasi Budi Daya Ikan Kerapu
Dalam budi daya perikanan laut, perairan merupakan habitat yang
faktor penting untuk menunjang kelayakan usaha budi daya. Perubahan ekosistem
baik komponen fisik, biologi maupun kimia dapat berdampak terhadap laju
pertumbuhan dan produktivitas kerapu. Dalam penelitian ini, ada beberapa faktor
yang dikaji untuk memenuhi persyaratan hidup ikan Kerapu Sunu.
2.3.1. Keterlindungan Lokasi
Pengembangan budi daya KJA ikan kerapu ditentukan juga oleh
keterlindungan lokasi perairan. Lokasi terlindung di antaranya di sekitar teluk atau
selat yang sempit, daerah laguna (goba) dan daerah rataan karang serta laut yang
terhindar dari hempasan gelombang dan angin kuat. Perairan yang terlindung
terletak di antara pulau-pulau kecil, daerah teluk yang sempit atau daerah yang
terdapat rataan karang yang panjang (Ngangi, 2003).
2.3.2. Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan berkaitan dengan penempatan dan pemasangan
keramba. Budi daya KJA sebaiknya ditempatkan pada kedalaman air yang cukup
untuk menjaga agar substrat dasar tetap bersih dari tumpukan limbah hasil
samping budi daya tersebut (Perez et al., 2003). Hal ini akan menciptakan kondisi anaerobik sehingga dapat menghasilkan senyawa kimia toksik (beracun) bila
oksigen habis (Subandar et al., 2005). Kedalaman perairan yang ideal untuk budi daya KJA ikan kerapu adalah 7-40 m (Effendi, 2004) dan 5- 15 m (Akbar dan
2.3.3. Substrat Dasar Perairan
Pertimbangan ekosistem dari segi komponen fisik terutama substrat dasar
perairan perlu diperhatikan untuk usaha pembesara KJA ikan kerapu . Habitat
ikan kerapu berada di sekitar terumbu karang dan perairan pantai (Sriyati dan
Pratajaya, 2006). Substrat yang berupa terumbu karang berperan penting dalam
ketersediaan makanan bagi ikan kerapu. Perairan yang mendukung untuk budi
daya KJA ikan kerapu sebaiknya dipilih yang jenis substrat dasar berupa pasir,
batu atau karang. Dasar perairan berlumpur tidak sesuai untuk budi daya KJA.
Jenis substrat berlumpur menunjukkan kekuatan arus di perairan tersebut lemah
dan terjadi sedimentasi partikel organik tersuspensi yang tinggi (Effendi, 2004).
Beveridge, 1987 in Subandar et al., 2005 menyebutkan bahwa dasar perairan berbatu mengindikasikan kekuatan energy kinetik dari arus yang dapat
menghindarkan penumpukan limbah di dasar perairan.
2.4. Persyaratan Kualitas Air Ikan Kerapu
Kualitas air yang dipilih harus memenuhi persyaratan kehidupan dan
pertumbuhan ikan meliputi sifat fisik, kimia dan biologi (Rochdianto, 2002).
Dalam hal ini dikaji 6 faktor mempengaruhi budi daya ikan kerapu sunu di
antaranya arah dan kecepatan arus, kecerahan, oksigen terlarut, salinitas, suhu dan
2.4.1. Arah dan Kecepatan Arus
Arus berperan untuk peletakan keramba jaring apung di perairan laut. Arus
laut berfungsi sebagai transportasi massa air yang mendistribusikan kandungan
oksigen terlarut dan unsur hara, membersihkan kotoran dan mengurangi
organisme penempel. Arus yang kuat akan menimbulkan gelombang tinggi
sehingga menganggu dan merusak KJA (Utojo et al,. 2005). Kisaran optimal kecepatan arus untuk budi daya KJA adalah 15–35 cm/detik (Effendi, 2004). Bila
kecepatan arus melebihi 100 cm/detik maka sebaiknya tidak dipilih untuk wilayah
budi daya KJA (Beveridge, 1987 in Subandar et al., 2005). Biasanya pada daerah terlindung, arus laut yang bergerak ditimbulkan oleh pasang surut/pasut (Subandar
et al., 2005). Arus laut dipengaruhi oleh angin musiman dan suhu permukaan laut yang selalu berubah-ubah (Wibisono, 2005).
2.4.2. Kecerahan
Kecerahan merupakan kemampuan cahaya matahari untuk menembus
perairan. Kemampuan cahaya tersebut dipengaruhi oleh kekeruhan air. Kekeruhan
yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi. Misalnya
pernapasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi
cahaya ke dalam air. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekeruhan air adalah
partikel halus yang tersuspensi seperti lumpur, jasad renik (plankton) dan warna
air.
melakukan pengukuran (Jeffries dan Mills, 1996 in Effendi, 2003). Kecerahan perairan berperan dalam pengembangan budi daya KJA ikan kerapu. Kecerahan
perairan yang baik untuk wilayah budi daya KJA ikan kerapu adalah >2 m (Akbar
dan Sudaryanto, 2002).
2.4.3. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut sangat dibutuhkan dalam kehidupan organisme. Perairan
dengan kadar oksigen sangat rendah sangat berbahaya bagi organisme akuatik
(Effendi, 2003). Perairan dengan populasi fitoplankton tinggi memiliki
konsentrasi oksigen terlarut yang berfluktuasi tajam. Pada siang hari terjadi
fotosintesis sehingga meningkatkan jumlah kandungan oksigen di perairan.
Sebaliknya pada malam hari terjadi respirasi yang akan menurunkan kandungan
oksigen terlarut (Irianto, 2005).
Pada lapisan atas, permukaan laut memiliki kadar normal oksigen terlarut
sebesar 4,5–9,0 mg/l. Faktor yang mempengaruhi oksigen terlarut yaitu suhu,
salinitas, dan tekanan hidrostatik. Semakin meningkat suhu dan salinitas perairan
maka oksigen terlarut semakin kecil. Begitu juga halnya dengan tekanan
hidrostatik jika semakin dalam perairan maka oksigen terlarut semakin kecil
(Sanusi, 2006). Penurunan oksigen terlarut di dalam air disebabkan oleh
adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak mengkonsumsi oksigen
sewaktu penguraian berlangsung. Untuk kepentingan perikanan sebaiknya
perairan memiliki kandungan oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/l (Effendi,
2.4.4. Suhu
Pemilihan lokasi KJA harus terlindung dari perubahan suhu. Perubahan
suhu secara ekstrim akan mempengaruhi biota secara tidak langsung melalui
konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 °C akan meningkatkan
laju metabolisme sehingga konsumsi oksigen akan semakin besar sekitar 2–3 kali
lipat (Effendi, 2003). Pada kenyataannya, suhu perairan yang meningkat maka
perairan cepat mengalami kejenuhan oksigen atau mengurangi daya larut oksigen
dalam air (Ghufran dan Kordi, 2007). Untuk pertumbuhan ikan kerapu memiliki
suhu optimal berkisar antara 27–29 °C (Akbar dan Sudaryanto, 2002). Kisaran
suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20–30 °C
(Effendi, 2003).
Suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman. Pada musim
pancaroba dimana angin bertiup lemah dan tidak menentu diikuti permukaan laut
yang sangat tenang mengakibatkan proses pemanasan yang kuat di permukaan
(Nontji, 2006). Kondisi demikian akan mempengaruhi suhu di lapisan permukaan
mencapai maksimum.
2.4.5. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion dalam 1 kg air laut (Boyd, 1988 in
Effendi, 2003). Salinitas berpengaruh terhadap tekanan osmotik dimana salinitas
yang tinggi, tekanan osmotik juga akan semakin besar (Ghufran dan Kordi,2007).
Pengukuran salinitas dinyatakan dalam unit ppt atau ‰. Salinitas akan meningkat
Perairan estuari memiliki salinitas yang sangat berfluktuasi. Hal ini
dipengaruhi oleh percampuran antara massa air laut dengan massa air sungai.
Pada perairan estuari dimana aliran sungai bermuara tidak dianjurkan untuk lokasi
budi daya ikan kerapu. Lokasi yang berdekatan dengan muara sering mengalami
stratifikasi salinitas yang dapat menghambat masuknya oksigen dari udara ke air.
Salinitas perairan yang ideal untuk budi daya ikan kerapu sunu adalah 30–35 ‰
(Akbar dan Sudaryanto, 2002).
2.4.6. pH
Derajat keasaman atau yang biasa disebut pH (potensial hydrogen) menunjukkan nilai aktivitas ion hidrogen dalam air (kadar molar). Nilai pH
menggambarkan tingkat asam atau basa suatu perairan. Sifat asam atau basa
berada pada kisaran nilai 0–14, dimana pH=7 adalah netral (Sanusi, 2006). Pada
pH yang rendah akan mengurangi kandungan oksigen terlarut di perairan sehingga
menurunkan konsumsi oksigen oleh ikan dan menurunkan metabolisme. Sebagian
besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH pada
kisaran 7,0–8,5 (Effendi, 2003). Kisaran pH optimal untuk kerapu adalah 7–8
(Ghufran dan Kordi, 2007).
pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Salah satunya adalah
senyawa ammonia yang tidak terionisasi ditemukan pada perairan yang bersifat
basa atau memiliki nilai pH tinggi. Senyawa tersebut lebih mudah terserap ke
jaringan tubuh organisme akuatik dan bersifat racun. Selain itu, nilai pH
jika pH rendah. Pada pH rendah juga akan meningkatkan toksisitas logam berat.
(Effendi, 2003).
2.5. Kesuburan Perairan
Klorofil-a merupakan parameter yang sangat menentukan produktivitas
primer di perairan pantai atau laut. Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di
perairan pantai dan pesisir disebabkan adanya suplai nutrien melalui run-off dari
daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai
disebabkan tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Hal ini
disebabkan oleh berkurangnya intensitas cahaya matahari yang dapat menembus
perairan sehingga proses fotosintesis terhambat.
Penginderaan terhadap fitoplankton berdasarkan pigmen warna hijau yang
terdapat pada setiap tumbuhan, dimana semua fitoplankton mengandung dominan
klorofil-a. Klorofil cenderung menyerap spektrum warna biru (400-500 nm) dan
spektrum warna merah (600–700 nm) serta memantulkan warna hijau (500-600
nm) pada tumbuhan. Pantulan spektrum cahaya oleh klorofil tersebut dapat
diindera oleh sensor satelit. Hasilnya menunjukkan sebaran biomassa fitoplankton
dalam satuan klorofil (mg/m3) (Nontji, 2006).
Berikut ini klasifikasi konsentrasi klorofil-a menurut Arsjad et al., 2004. Tabel 1. Klasifikasi Konsentrasi Klorofil-a
Kelas Konsentrasi (mg/m3) Keterangan
I <0.3 Konsentrasi rendah/clear water
II 0,3–0,5 Konsentrasi sedang/medium rich phytoplankton
III 0,5–1,0 Konsentrasi tinggi/rich phytoplankton
IV 1,0–2 Khlorofil-a dan muatan suspensi
tinggi/slightly turbid water
2.6. Penginderaan Jauh dan Citra Satelit
Pemanfaatan wahana antariksa berupa sensor satelit telah banyak
digunakan untuk mendeteksi objek permukaan bumi yang disesuaikan dengan
informasi yang dibutuhkan pengguna. Citra satelit mampu menghasilkan
informasi yang dapat dianalisis lebih lanjut dan diaplikasikan di berbagai bidang
(Sebayang, 2002; Prasasli et al,. 2004; Tarigan 2008; Siregar, 2010; Bailey dan Boryan, 2010; Nizalapur et al., 2011)
2.7. Sistem Informasi Geografis Dan Cell Based Modelling
Umumnya analisis spasial SIG ditunjang dengan penggunaan software
seperti ArcGIS. Analisis spasial ArcGIS mampu menciptakan, query, memetakan dan menganalisis data berbasis raster, mengintegrasikan analisis raster dan vektor
sehingga meghasilkan informasi baru serta menampilkan informasi multiple layer. Dalam hal ini, analisis spasial yang digunakan untuk memodelkan keadaan di
alam adalah cell based modeling. Model ini merupakan analisis data spasial bertipe raster yang menggambarkan wilayah atau mengidentifikasikan fenomena
berdasarkan sel atau piksel.
Pemodelan sel raster pada cell based modeling dibagi dalam lima kelompok, di antaranya: (ESRI, 2002)
1. Operasi piksel yang melibatkan satu sel (Local Functions).
2. Operasi piksel yang melibatkan beberapa sel terdekat (Focal Functions). 3. Operasi piksel pada suatu kelompok sel (Zonal Functions).
4. Operasi piksel yang melibatkan gabungan dari keseluruhan sel dalam raster
5. Kombinasi dari keempat operasi yang menampilkan aplikasi secara khusus
(Application Functions).
Ilustrasi piksel tiap model pada cell based modeling ditunjukkan pada Gambar 2.
Pemilihan metode cell based modelling didasarkan pada keunggulan data raster. Dalam kajian ini digunakan sumber data raster berasal dari citra satelit
Landsat dimana keunggulan data raster lebih kompatibel dengan citra satelit dan
memiliki variabilitas spasial yang tinggi untuk representasi kondisi lapang. Selain
itu, overlay dan kombinasi data raster mudah dilakukan dengan data inderaja serta mempunyai kemampuan analisis dan pemodelan spasial tingkat lanjut. Namun,
metode ini juga memiliki kelemahan yaitu memiliki volume data yang
berkapasitas lebih besar dan memiliki tampilan spasial berupa data raster yang
berbentuk sel (Prahasta, 2001). Pemilihan lokasi budi daya perikanan dalam KJA
banyak dilakukan berdasarkan analisis SIG (FAO, 1976; Perez et al.,2003; Pasek 2007; Husnayaen, 2008; Hartoko dan Kangkan, 2009; Szuster dan Albasri, 2010).
3) Zonal Functions 4) Global Functions
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Februari hingga September 2011 meliputi survei lapang, pengambilan data kualitas air, pengumpulan data pendukung, pengolahan data satelit serta penyelesaian penulisan skripsi. Wilayah penelitian berada di perairan timur laut Bangka, tepatnya kawasan perairan Pulau Semujur, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. Lokasi penelitian terletak pada koordinat 2o9’5.3”LS–2o 9’ 53.1”LS dan
106o17’18.3”BT–106o17’48.2”BT (Gambar 3).
Letak stasiun pengambilan sampel ditentukan berdasarkan lokasi budidaya KJA ikan Kerapu Sunu yang telah ada di perairan Pulau Semujur yaitu pada stasiun 1. Selain itu, juga dilihat dari pengaruh pasang surut (pasut) dimana pada stasiun 1 saat surut terendah masih dalam kisaran yang baik untuk budidaya KJA ikan kerapu.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1. Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian di antaranya : 1. GPS (Global Positioning System) Garmin Colorado 400i.
2. Laptop dan beberapa perangkat lunak seperti perangkat lunak untuk konversi data format txt menjadi shapefile (shp), perangkat lunak untuk interpolasi data vektor dan raster, pengolahan citra satelit, IDL 7.0 Virtual
Machine Application, MS. Excel,perangkat lunak untuk ramalan pasut
dan pengolahan komponen pasut, perangkat lunak untuk menampilkan sebaran spasial konsentrasi klorofil-a dan SPL.
3. Kompas bidik, floating droudge, secchi disk, refraktometer, thermometer, pH meter digital.
4. Kamera digital.
3.2.1. Bahan Penelitian
1. Peta Batimetri Pulau Bangka-pantai timur laut skala 1:50.000 yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal tahun 2005 digunakan untuk menginterpolasi titik kedalaman.
2. Peta Rupa Bumi Indonesia, Kabupaten Bangka Tengah dengan skala 1: 50.000 oleh BAPPEDA Bangka Tengah tahun 2005 digunakan untuk peta dasar.
3. Citra Satelit LANDSAT 7+ETM resolusi spasial 30x30 m dengan akuisisi 19 Oktober 2010 dan Path/Row: 123/062 digunakan untuk mendeteksi substrat dasar perairan dan keterlindungan lokasi.
4. Citra satelit MODIS untuk ekstraksi konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dengan resolusi spasial 4km berupa data komposit 8 harian dengan periode Januari 2009–Maret 2011.
5. Data ramalan pasang surut tahun 2011. 6. Data angin bulanan periode Maret 2011.
7. Data lokasi pertambangan berupa posisi geografis oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Bangka Tengah tahun 2011.
3.3. Metode Pengolahan Data
3.3.1. Pengolahan Citra Satelit LANDSAT
(stripping) pada citra sehingga perlu dilakukan perbaikan untuk mendapatkan tampilan citra yang lebih baik. Untuk menghilangkan stripping citra digunakan perangkat lunak IDL 7.0 Virtual Machine Application.
Penajaman citra digunakan untuk memperoleh penampakan citra yang kontras dan meningkatkan informasi yang diperoleh sehingga objek mudah diinterpretasi. Untuk identifikasi substrat dasar perairan digunakan model algoritma (Green et al., 2000 in Siregar 2010) yang berasal dari penurunan persamaan Standard Exponential Attenuation Model Lyzenga 1978 in Siregar 2010. Algoritma tersebut menggunakan kanal 1 dan kanal 2 pada LANDSAT 7+ETM dimana memiliki penetrasi yang baik ke dalam kolom air. Model algoritma ditunjukkan pada persamaan berikut (Green et al. 2000 in Siregar 2010):
di mana : Y = indeks dasar perairan
a = kanal biru pada Landsat7+ETM b =kanal hijau pada Landsat7+ETM
ki/kj =rasio koefisien atenuasi kanal biru dan hijau
3.3.2. Pengolahan Citra Satelit Aqua MODIS
Data yang diturunkan dari Citra Satelit MODIS berupa klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL). Sebaran konsentrasi klorofil-a diperoleh dari Aqua
MODIS level 3 berupa data digital berformat Global Area Coverage dengan resolusi spasial 4km dan telah terkoreksi radiometrik maupun geometrik. Begitu
juga halnya dengan sebaran nilai SPL (11 µ daytime). Data diperoleh melalui
Ocean Color Web (Feldman, 2011). Penerapan algoritma untuk data level 3 sudah
dilakukan secara otomatis.
Untuk ekstraksi nilai konsentrasi klorofil-a menggunakan algoritma OC3M
(Ocean Chlorophyll 3-band algorithm MODIS). Algoritma ini menggunakan nilai
tertinggi dari rasio kanal 443 nm dan 488 nm terhadap 551 nm. Model algoritma
OC3M oleh O’Reilly et al., 2000 ditunjukkan pada persamaan di bawah ini:
Ca = 100.283 – 2.753 * R + 1.457 * R2 + 0.659*R3 – 1.403*R4………. 2
dimana : Ca = konsentrasi klorofil-a (mg/m3)
R = rasio reflektansi
Rrs = pantulan pada spektrum panjang gelombang
Untuk estimasi nilai SPL menggunakan algoritma MPFSST (Miami Pathfinder
Sea Surface Temperature) dengan persamaan berikut ini (Brown dan Minnet
1999):
Modis SST = c1 + c2*T31 + c3*T31-32 + c4*(sec(ө) – 1)*T31-32 ………….… 4
dimana : T31-32 = suhu kecerahan air dari kanal 31 dan 32
ө = sudut zenith satelit
sedangkan konstanta c1, c2, c3 dan c4 ditunjukkan pada Tabel 2 di bawah ini :
Tabel 2. Koefisien c pada Kanal 31 dn 32 untuk Satelit Aqua MODIS Koefisien T30 - T31 <=0.7 T30 - T31 > 0.7
c1 1,11071 1,196099
c2 0,958687 0,988837
c3 0,174123 0,130063
c4 1,876752 1,627125
Sumber : Brown dan Minnet (1999)
3.3.3. Pengolahan Data Angin
Data angin yang digunakan adalah data unduhan yang diperoleh dari ECMWF (2011).Data ini memiliki resolusi 1,5 x 1,5o. Data yang diperoleh dalam format
Netcdf (.nc) yang berisi parameter waktu (yyyy-mm-dd-hh-mm-ss), bujur, lintang,
serta data vektor yang terdiri dari komponen angin zonal (u) dan komponen angin
meridional (v). Data diekstrak menggunakan perangkat lunak di mana diambil
titik lokasi yang mencakupikajian wilayah penelitian. Selanjutnya komponen u
dikonversi menjadi arah (r) dengan kisaran 00-3600 dan komponen v menjadi
nilai kecepatan ( ) dengan satuan m/s. Panjang garis vektor menunjukkan
kecepatan angin sedangkan arah garis vektor menunjukkan arah angin. Selain itu,
juga digunakan perangkat lunak ntuk melihat arah dan kecepatan angin dominan.
3.3.4. Pengolahan Data Pasang Surut
Data pasang surut (pasut) merupakan data ramalan yang diperoleh dari
perangkat lunak. Data ramalan yang digunakan selama 1 bulan yaitu bulan Maret
2011. Nilai pasut dinyatakan dalam satuan cm. Selanjutnya di analisis dengan
menggunakan perangkat lunak untuk mendapatkan konstanta pasut yang terdiri
dari O1, K1, M2 dan S2. Berdasarkan konstanta pasut akan dihasilkan bilangan
Formzahl (persamaan 5) sehingga dapat diketahui tipe pasut di perairan Pulau
Semujur. Klasifikasi tipe pasut berdasarkan bilangan Formzahl yaitu :
F≤0,25 = pasut tipe ganda (semidiurnal)
0,25<F≤ 1,5 = pasut campuran dominan ganda
1,5<F≤ 3,0 = pasut campuran dominan tunggal
dimana : O1 = amplitudo komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan
K1 = amplitude komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh
gaya tarik matahari
M2 = amplitude komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan
S2 = amplitude komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh
gaya tarik matahari
3.3.5. Pemrosesan Basis Data
Basis data merupakan sekumpulan data yang digunakan dari berbagai
sumber baik berupa data spasial maupun data atribut. Data atribut berupa suhu,
salinitas, pH, oksigen terlarut, kecerahan, kecepatan arus dan kedalaman
direpresentasikan sebagai titik (point). Data tersebut diinterpolasi dari data titik
menjadi area (polygon). Data spasial berupa substrat dasar perairan,
keterlindungan lokasi dan peta rupa bumi Indonesia bagian perairan timur laut
Bangka yaitu perairan Pulau Semujur sebagai peta dasar. Hasil interpolasi
masing-masing parameter akan disusun peta tematik yaitu peta sebaran secara
spasial.
Untuk wilayah keterlindungan dilihat secara subjektif berdasarkan letak
titik stasiun sampling terhadap keberadaan pulau-pulau kecil, teluk, laguna dan
berupa posisi geografis. Data tersebut dibuat menggunakan metode Multiple Ring
Buffer untuk mengetahui jarak dari kawasan pertambangan terhadap lokasi
pengambilan sampel, dimana ketentuan jarak disesuaikan dengan studi pustaka
pada Tabel 3.
Metode interpolasi yang digunakan yaitu metode IDW (Inverse Distance
Weighted). Penelitian Pramono (2008) disimpulkan bahwa metode IDW
menghasilkan interpolasi yang lebih akurat dimana nilai mendekati nilai minimum
dan maksimum dari sampel data. Ashraf et al., (1997) in Prasasti et al., (2005)
juga menyebutkan bahwa metode IDWcukup baik dalam menduga nilai contoh
pada suatu lokasi. Diagram alir pemrosesan basis data dapat dilihat pada Gambar
4.
3.4. Metode Analisis Oksigen Terlarut
Penentuan nilai oksigen terlarut menggunakan metode standar Winkler
atau metode Iodometri. Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan
larutan MnCl2 dan NaOH+KI sehingga terbentuk endapan cokelat Mn(OH)2. .
Kemudian ditambahkan H2SO4 maka endapan akan terlarut kembali menjadi
berwarna kuning dan juga akan membebaskan molekul iodine (I2) dari KI yang
ekuivalen dengan oksigen terlarut. Selanjutnya dititrasi dengan larutan standar
Na2S2O3 dan menggunakan indikator larutan amilum. Pengukuran banyaknya
oksigen terlarut adalah ekuivalen dengan banyaknya larutan Na2S2O3 yang
Tabel 3. Matriks Kesesuaian Perairan Budi Daya KJA Ikan Kerapu No Parameter Bobot
(o/o)
Satuan Sangat sesuai (S1)
Sumber : Dimodifikasi dari Akbar dan Sudaryanto (2002) dan Effendi(2004)1; Effendi(2004) dan Beveridge (1987) in Subandar et al. (2005)2; Ngangi (2003)3; Effendi(2004) dan Nainggolan et al. (2003)4; Akbar dan Sudaryanto (2002)5; Effendi (2000)6; Pasek (2007)7
Gambar 4. Diagram Alir Penelitian
24
3.5. Matriks Kesesuaian Zona Potensial KJA
Klasifikasi tingkat kesesuaian lahan dilakukan dengan menyusun matriks
kesesuaian berdasarkan pemberian skor pada parameter pembatas budi daya KJA.
Penyusunan matriks ini berkaitan dengan prasyarat hidup ikan kerapu berdasarkan
studi pustaka. Dalam penelitian ini, penulis mengkaji beberapa parameter
biologi-fisik-kimia perairan yang mempengaruhi budi daya ikan kerapu di antaranya suhu,
pH, salinitas, kecerahan, oksigen terlarut, kedalaman, kecepatan arus, substrat
dasar perairan, dan keterlindungan lokasi. Faktor lainnya yaitu jarak dari kawasan
pertambangan yang dapat menjadi sumber pencemaran. Kriteria yang digunakan
merupakan kajian dan modifikasi dari berbagai sumber (Akbar dan Sudaryanto,
2002 dan Effendi, 2004; Effendi, 2004 dan Beveridge 1987 in Subandar et al.,
2005; Ngangi, 2003; Effendi, 2004 dan Nainggolan et al., 2003; Akbar dan
Sudaryanto, 2002; Effendi, 2000; Pasek, 2007).
Metode penyusunan matriks kesesuaian yang dipilih adalah metode
scoring atau pembobotan. Metode scoring digunakan untuk mengetahui nilai yang
menjadi pembatas dimana setiap parameter memiliki pengaruh yang berbeda
untuk menunjang perairan budi daya ikan kerapu. Setiap parameter akan disusun
dan ditentukan skor dan bobot berdasarkan studi pustaka untuk digunakan dalam
penilaian atau penentuan tingkat kesesuaian wilayah budi daya. Parameter yang
dapat memberikan pengaruh lebih kuat diberi bobot lebih tinggi dari pada
parameter yang lebih lemah pengaruhnya.
Dalam kajian ini diberikan bobot yang berkisar 5–20% dan skor 1–3 yang
disajikan pada tabel sebelumnya. Nilai bobot dan skor pada keseluruhan
lunak. Selanjutnya dilakukan proses penggabungan pada polygon yang berdekatan
atau disebut dengan dissolve untuk mendapatkan klasifikasi kesesuaian
berdasarkan kode. Perhitungan tiap kelas dirumuskan sebagai berikut (Ariyanti et
al., 2007).
dimana : Y = total bobot nilai
ai = bobot pada tiap parameter Xn = skor pada tiap parameter
Setiap parameter yang telah direklasifikasi dengan pemberian bobot dan
skor, maka dilakukan input rumus untuk mendapatkan pengkelasan nilai
kesesuaian. Interval kelas kesesuaian diperoleh berdasarkan metode Equal
Interval guna membagi jangkauan nilai-nilai atribut ke dalam sub-sub
jangkauan dengan ukuran yang sama (Prahasta, 2002). Klasifikasi kelas
kesesuaian dibagi menjadi tiga selang kelas. Tiap selang kelas diperoleh
berdasarkan penjumlahan dari perkalian nilai maksimum tiap nilai bobot dan skor
dikurangi dengan penjumlahan dari perkalian minimum tiap nilai bobot dan skor
kemudian dibagi jumlah kelas. Secara matematis dapat ditulis seperti persamaan
berikut (Ariyati et al., 2007).
dimana : I = interval kelas kesesuaian lahan
k = jumlah kelas kesesuaian lahan yang diinginkan
Berdasarkan perhitungan dimana Nmaksimum adalah 2,25 dan Nminimum adalah
2,05 maka diperoleh selang kelas sebesar 0,0667. Untuk kelas S3 diperoleh dari
skor total kelas S3 (2,0500) ditambah 0,0667. Nilai kelas S2 diperoleh dari nilai
S3 maksimum (2,1167) ditambah 0,0667. Kelas S1 diperoleh dari nilai S2 maksimum (2,1833) ditambah 0,0667. Setiap tingkat kesesuaian dapat ditetapkan selang nilainya sebagai berikut :
1. Kelas sangat sesuai (S1) dengan selang nilai : 2,1834–2,2500 2. Kelas sesuai (S2) dengan selang nilai : 2,1168–2,1833 3. Kelas tidak sesuai (S3) dengan selang nilai : 2,0500–2,1167
Ketentuan kelas kesesuaian didefinisikan sebagai berikut (FAO, 1976): 1. Sangat sesuai (S1)
Kategori ini menunjukkan bahwa wilayah yang dikaji sangat sesuai untuk perairan budi daya ikan kerapu. Pengembangan budi daya di perairan tersebut tidak memiliki faktor pembatas yang berarti atau bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.
2. Sesuai (S2)
Kategori ini menunjukkan bahwa wilayah perairan tergolong cocok untuk kegiatan budi daya. Namun, perairan tersebut mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh terhadap produktivitas budi daya sehingga diperlukan perlakuan tambahan dan masukan teknologi.
3. Tidak sesuai (S3)
3.6. Metode Cell Based Modelling Untuk Penentuan Zona Potensial KJA Metode cell based modeling sebagai analisis spasial dalam SIG digunakan untuk menentukan wilayah yang berpotensi sebagai budi daya KJA ikan kerapu. Metode ini menganalisis data pada berbagai tingkat sel berupa pengkelasan tiap parameter yang menjadi faktor pendukung budi daya. Parameter yang bersumber dari pengukuran lapang, ekstraksi citra satelit serta data posisi geografis
pertambangan akan dikelaskan sesuai kriteria. Wilayah potensial budi daya akan diperoleh dengan melakukan analisis spasialpada data raster yang disebut Raster
Calculator (Weighted overlay) (Gambar 5).
Overlay adalah proses menumpukkan 2 atau lebih layer dari parameter
pada lokasi yang sama. Overlay berperan untuk mempertimbangkan kelayakan suatu wilayah untuk tujuan tertentu. Data kajian dari keseluruhan parameter yang berformat grid (sel) mengikuti operasi zonal functions. Operasi ini melibatkan sekelompok sel yang memiliki nilai tertentu sehingga membentuk zona
Gambar 5. Proses Overlay untuk Kesesuaian Budi Daya KJA Bobot 15%
Bobot 10%
Bobot 5%
Peta Kesesuian Budi daya KJA Raster overlay
Kec. arus Kedalaman
Ket. lokasi Substrat Kecerahan DO Salinitas
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum Kabupaten Bangka Tengah
Kabupaten Bangka Tengah terdiri dari 4 kecamatan dan 12 pulau-pulau kecil yang terletak di sebelah barat dan timur dengan panjang garis pantai ±195 km. Kondisi iklim di Bangka Tengah tergolong iklim tropis basah type A dengan variasi curah hujan berkisar 72,2–410,2 mm tiap bulan pada tahun 2005, dengan curah hujan terendah pada bulan Februari. Berdasarkan data dari Stasiun
Meteorologi Pangkalpinang 2005, suhu rata-rata kabupaten ini menunjukkan variasi antara 25,70–27,70 oC. Untuk kelembaban udara berkisar 78–87% sedangkan intensitas penyinaran matahari rata-rata berkisar 19,0–57,3% dan tekanan udara berkisar 1008,9–1011,4 mb (Agustiar, 2011)
Kabupaten ini berada di perairan Laut Cina Selatan dan pertengahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kabupaten ini tergolong lokasi strategis sebagai pusat pengembangan industri maritim yang relatif dekat dengan pasar Malaysia, Singapura, Batam dan Jawa. Musim kemarau berlangsung pada bulan Juli, Agustus dan September. Pada siang hari angin bergerak dari arah timur dan pada malam hari dari arah barat. Kecepatan angin rata-rata setiap bulan adalah 3 knot dan kecepatan tertinggi terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September (DKP, 2007)
Semujur. Pulau Semujur dikelilingi pantai dan laut dengan beragam biota laut yang berasosiasi dengan terumbu karang. Kondisi terumbu karang di perairan sebelah barat Pulau Semujur pada kedalaman 4–7 m masih dalam keadaan baik meskipun dijumpai beberapa patahan karang ataupun karang mati. Persentase penutupan terumbu karang di perairan Pulau Semujur dapat dilihat pada Tabel 4 (DKP, 2007)
Tabel 4. Hasil Pengamatan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Semujur
Sumber : DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2007) dikoreksi Tim Konsultan 2007
Sumberdaya perikanan di kawasan ini masih tersedia khususnya jenis ikan karang. Usaha budi daya laut di Pulau Semujur telah berjalan selama ±5 tahun. dan masih ada hingga sekarang yang ditunjukkan pada Gambar 6. Pengembangan budi daya tersebut berupa pembesaran dalam skala kecil. Pasokan benih ikan kerapu sunu diperoleh dari alam hasil tangkapan nelayan yang kemudian ditampung di keramba. Umumnya alat tangkap yang digunakan adalah bubu. Lokasi Koordinat
Persen Penutupan Karang
Keterangan Hidup
Karang
putih Mati Lunak Kriteria
Gambar 6. Ikan Kerapu Sunu dalam KJA di Perairan Pulau Semujur
Berdasarkan kajian dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2006) diketahui bahwa kualitas perairan Pulau Semujur
tergolong sesuai dan memenuhi batas kriteria untuk biota laut (Tabel 5). Pengamatan kualitas air tersebut terletak pada koordinat 106o16’10,48”BT dan 2o10’5,376”LS.
Tabel 5. Hasil Pengukuran Kualitas Air di Perairan Pulau Semujur
No Parameter Nilai
1 Suhu 31oC
2 Salinitas 33 ppt
3 pH 7,2
4 Oksigen terlarut 9,1 mg/l
5 NH3-N 0,002 mg/l
6 NO3-N 0,081 ppm
7 NO2-N 0,049 ppm
8 PO4-P 0,009 mg/l
4.2. Penentuan Parameter Perairan Berdasarkan Citra Satelit
4.2.1. Sebaran Konsentrasi klorofil-a dan SPL
Sebaran konsentrasi klorofil-a digunakan untuk melihat kesuburan
perairan Pulau Bangka. Data yang digunakan selama 1 tahun yaitu periode Januari 2010 hingga Maret 2011. Nilai minimum konsentrasi klorofil-a pada Januari 2010 hingga Maret 2011 menunjukkan nilai yang hampir sama berkisar 0,1568–0,5643 mg/ m3 kecuali pada bulan September 2010 sebesar 1,3100 mg/ m3. Berbeda dengan nilai maksimum klorofil-a pada Januari–November 2010 memiliki nilai berfluktuasi kemudian mengalami penurunan pada Desember–Februari 2011 dan meningkat bulan Maret 2011. Bila dilihat dari kisaran rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan tiap bulannya berkisar antara 0,3567–1,5371 mg/m3 seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Konsentrasi Rata-Rata Klorofil-a di Perairan Bangka Tahun 2010-2011
bulanan oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) diketahui bahwa sebagian besar wilayah Indonesia curah hujannya di atas 150 mm pada bulan Maret 2011. Namun, beberapa daerah seperti Pulau Bangka mengalami curah hujan lebih dari 200 mm dan bersifat Atas Normal (AN) (BMKG, 2011). Profil sebaran spasial klorofil-a di setiap musim dapat dilihat pada Gambar 8.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 8. Sebaran Spasial Klorofil-a Tahun 2010 (a) Pada Musim Barat (Februari); (b) Musim Peralihan 1 (Mei); (c) Musim Timur (Juli); (d) Musim Peralihan 2 (September)
Berdasarkan perhitungan oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) diketahui bahwa distribusi fitoplankton pada bulan Juni–Juli 2004 di perairan Bangka bagian timur adalah tinggi yang terdapat di sekitar perairan dekat sungai Baturusa. Distribusi fitoplankton yang diperoleh yaitu >2,0 juta sel/m3. Tingginya fitoplankton mengindikasikan bahwa klorofil-a diperairan juga akan tinggi. Hal ini dikarenakan klorofil-a merupakan indikator dari kelimpahan fitoplankton dan menentukan produktivitas primer di laut. Konsentrasi klorofil tinggi (kaya fitoplankton) apabila konsentrasi klorofil-a sebesar 0,5–1,0 mg/m3 (Arsjad et al., 2004),. Perairan seperti ini terdapat di perairan Bangka sebelah Timur hingga ke laut lepas, Bangka bagian Barat dan sekitar Laut Natuna. Hal ini diduga akibat banyaknya zat hara dari daratan yang terbawa arus. Selain itu, di bagian Timur Pulau Bangka bermuara sungai Baturusa yang mengakibatkan zat hara dari daratan bermuara ke sungai dan dibawa oleh aliran arus menuju ke perairan laut. Namun, konsentrasi klorofil-a >2 mg/m3 menunjukkan bahwa muatan suspensi di perairan tersebut tinggi (Arsjad et al,, 2004). Konsentrasi demikian terdapat di sekitar Selat Bangka di mana perairan tersebut banyak bermuara sungai-sungai.
Nontji (2006) mengatakan bahwa suhu dapat mempengaruhi fotosintesis di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung adalah reaksi kimia enzimatik yang berperan dalam proses fotosintesis. Pengaruh suhu tidak langsung adalah suhu akan menentukan kondidi hidrologis suatu perairan berdasarkan kandungan fitoplankton. Suhu yang baik untuk kehidupan
Berdasarkan data komposit mingguan citra satelit Aqua MODIS diketahui bahwa SPL maksimum di perairan Bangka pada Januari 2010 hingga Maret 2011 berkisar antara 28–34 oC. SPL terendah terjadi pada bulan Januari 2011 sebesar 28,88 oC sedangkan SPL tertinggi terjadi pada bulan Mei 2010 sebesar 34,07 oC. Bila dilihat dari rata-rata sebaran SPL berkisar antara 27–31 oC (Gambar 9) dan ini menunjukkan perairan yang sesuai untuk kehidupan fitoplankton. Nilai rata-rata SPL tertinggi terjadi pada bulan Mei 2010 yaitu 31,78 oC dan SPL terendah pada bulan Agustus 2010 yaitu 27,77 oC. Selain itu, nilai rata-rata SPL pada bulan Januari–Maret 2010 lebih tinggi dibandingkan bulan Januari–Maret 2011.
Gambar 9. Rata-Rata SPL di Perairan Bangka Tahun 2010-2011
yang kuat di permukaan. Pada grafik rata-rata SPL (Gambar 9) diketahui bahwa bulan Mei diperoleh SPL tertinggi. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut sedang mengalami musim peralihan 1 (Maret–Mei). Sebaran spasial SPL Tahun 2010 di setiap musim dapat dilihat pada Gambar 10.
(a) (b)
(c) (d)
4.2.2. Substrat Dasar Perairan
Substrat dasar perairan sebagai habitat yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup ikan kerapu. Pendugaan awal substrat dasar perairan dapat dilihat dari citra satelit dengan melakukan komposit RGB 421. Komposit 421 ini dilakukan untuk membuat training area pada substrat dasar berupa terumbu karang yang terlihat pada citra. Sebaran terumbu karang akan terlihat jelas di perairan Pulau Semujur dengan penajaman citra sebesar 99%. Penampakan terumbu karang pada citra komposit ditunjukkan dengan warna biru cyan (Gambar 11).
Gambar 11. Komposit 421 Pada Citra Satelit LANDSAT di Perairan Pulau Panjang dan Pulau Semujur
Penampakan substrat dasar secara maksimal dapat diterapkan dengan melakukan penajaman citra berdasarkan model algoritma Green et al, 2000 in Siregar, 2010. Hasil transformasi algoritma akan diperoleh nilai koefisien
digunakan yaitu Y = ln a – 0,8780 *ln b. Selanjutnya akan terlihat perbedaan dari pallet warna pada citra hasil transfomasi. Perbedaan warna pada citra
menunjukkan tipe substrat perairan yang dikelompokkan menjadi 3 yaitu laut, terumbu karang, dan pasir. Laut ditunjukkan pada warna biru, terumbu karang memiliki warna cyan-hijau tegas, dan pasir ditunjukkan pada warna putih. Histogram hasil transformasi model algoritma Green et al., 2000 in Siregar, 2010 ditunjukkan pada Gambar 12. Pada histogram tersebut diperoleh nilai dari ketiga tipe substrat menggunakan metode klasifikasi terbimbing/terselia adalah 8,49373– 9,30250 dan nilai histogram pada tiap kelas adalah sebagai berikut :
1. Laut : 8,4937–8,8660
2. Terumbu karang : 8,8666–9,1056 3. Pasir : 9,1057–9,3025
Gambar 12. Histogram Hasil Transformasi Algoritma untuk Klasifikasi Tipe Substrat Dasar di Perairan Pulau Semujur
dengan produksi organisme makanan ikan kerapu, tempat berlindung, sebagai area berpijah maupun perawatan (nursery ground). Namun, substrat ini tidak digolongkan substrat yang paling sesuai untuk penentuan wilayah budi daya KJA ikan kerapu. Hal ini disebabkan oleh terumbu karang rentan terhadap kerusakan dan perlu pertimbangan untuk melakukan pelestarian agar tidak mengganggu organisme yang hidup di sekitarnya.
Peta substrat dasar memperlihatkan sebaran substrat yang menyebar di sekitar perairan Pulau Semujur dan Pulau Panjang (Gambar 13) di mana perairan di kedua pulau masih didominasi oleh substrat terumbu karang yang ditunjukkan oleh warna hijau yang mengelilingi kedua pulau tersebut. Substrat dasar lainnya berupa pasir yang menyebar di sekitar perairan. Habitat yang cocok untuk ikan kerapu berupa pasir, batu atau karang (Effendi, 2004).
Pengelompokkan kelas untuk substrat dasar dibedakan menjadi 3 (Effendi, 2004 dan Nainggolan et al., 2003), salah satunya kelas sangat sesuai berupa karang. Substrat karang digolongkan sangat sesuai sebagai substrat dasar bagi pengembangan KJA ikan kerapu. Karang dapat mencegah terjadinya kekeruhan perairan dan tidak perlu dilakukan pelestarian untuk mencegah kerusakan dari pembangunan keramba. Namun pada daerah penelitian tidak ditemukan adanya karang. Kategori dua kelas lainnya yaitu kelas sesuai berupa pasir dan terumbu karang yang ditunjukkan pada warna hijau dan kuning, dan kelas tidak sesuai berupa lumpur.
saat pengukuran lapang juga diketahui bahwa di dekat stasiun 7 dan 8 terdapat gosong pasir. Untuk substrat lumpur tidak ditemukan pada stasiun sampling. Substrat lumpur tidak sesuai sebagai substrat dasar budi daya KJA kerapu karena rentan terhadap kekeruhan perairan. Substrat lumpur juga mengindikasikan arus yang lemah sehingga berperan dalam penumpukan limbah di dasar perairan. Selain itu, arus yang lemah dapat menghambat sirkulasi massa air. Luasan tiap substrat dasar di perairan Pulau Semujur dan Pulau Panjang dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Luasan dan Tipe Substrat Dasar di Perairan Pulau Panjang dan Pulau Semujur
Tipe substrat Luas (km2)
Laut 30,3678
Terumbu karang 2,565
Pasir 0,2358
4.2.3. Keterlindungan Lokasi
Letak geografis pulau Semujur di pertengahan wilayah Kepulauan Bangka Belitung dan adanya beberapa pulau kecil disekitarnya menjadikan wilayah ini terlindung. Angin yang berhembus saat berlangsungnya pengukuran lapang dikategorikan tidak kuat atau tenang. Pengukuran lapang yang dilakukan
sebanyak 15 stasiun terletak di antara perairan Pulau Panjang dan Pulau Semujur terlihat pada Gambar 14 dan bahwa di sekitar kedua pulau dikelilingi karang dan ini tergolong perairan yang sesuai untuk lokasi budi daya KJA ikan kerapu. Ini sesuai dengan pernyataan Ngangi (2003), perairan terlindung terletak di antara pulau-pulau kecil, daerah teluk yang sempit atau daerah yang terdapat karang yang panjang. Keterlindungan lokasi yang dijadikan sebagai budi daya KJA ikan kerapu terkait dengan pemasangan struktur keramba agar tidak mudah rusak akibat pengaruh gelombang dan angin.
4.3. Faktor Pendukung Budi Daya KJA Ikan Kerapu
4.3.1. Kedalaman
perairan yang akan dijadikan kawasan budi daya. Titik kedalaman di peroleh dari peta batimetri kemudian diinterpolasi untuk mendapatkan kontur kedalaman perairan.
Peta kedalaman di perairan Pulau Semujur menunjukkan bahwa perairan ini tergolong perairan dangkal. Nilai kedalaman berkisar antara 4–9 m yang ditunjukkan dengan perbedaan warna yang terbagi dalam beberapa selang kelas berdasarkan metode IDW (Gambar 15). Matriks kesesuaian menunjukkan bahwa
Gambar 15. Sebaran Kedalaman di Perairan Pulau Semujur
kedalaman yang paling sesuai untuk pengembangan budi daya KJA kerapu adalah 15–25 m. Pada kedalaman ini efektif untuk peletakan keramba. Daerah dengan kedalaman 5–16 m dan 26–40 m tergolong sesuai untuk wilayah pemasangan keramba. Sebaliknya pada perairan dengan kedalaman terlalu dekat dengan dasar sehingga rentan terhadap penumpukan kotoran dari sisa pakan dan hasil
Pada gambar menunjukkan sebagian besar lokasi sampling di perairan Pulau Semujur tergolong kedalaman perairan yang sesuai untuk budi daya KJA ikan kerapu. DKP (2007) menjelaskan bahwa kondisi batimetri laut (kedalaman perairan) di perairan Bangka Tengah dan sekitarnya relatif landai. Di beberapa tempat bahkan dijumpai kondisi laut yang langsung dalam atau curam seperti di Pulau Panjang. Kedalaman di laut ini berkisar antara selang 0–10 m, 10–20 m dan 20–50 m.
4.3.2. Arus dan Pasang Surut
Arus laut yang terukur di stasiun pengamatan tergolong arus yang
bergerak di permukaan perairan tersebut. Bila dilihat dari Gambar 16, kecepatan arus permukaan di perairan Pulau Semujur tergolong rendah. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh letak stasiun pengukuran lapang yang berada di antara pulau-pulau sehingga arus cenderung melemah. Nilai kecepatan arus berkisar 0–9 cm/s dengan arah dominan 120o–155 o ke arah tenggara. Kisaran optimal kecepatan arus untuk budi daya KJA adalah 15–35 cm/detik (Effendi, 2004). Bila kecepatan arus melebihi 100 cm/detik maka sebaiknya tidak dipilih untuk wilayah budi daya KJA. Ini mengindikasikan perairan di lokasi sampling tidak sesuai untuk budi daya KJA kerapu. Skor kesesuaian untuk wilayah tidak sesuai bernilai 1 berdasarkan matriks kesesuaian.
Gambar 16. Sebaran Kecepatan Arus di Perairan Pulau Semujur
pada arus yang lemah dapat mengurangi sirkulasi air di sekitar keramba. Pengkelasan kecepatan arus perairan yang sangat sesuai sebagai wilayah penempatan KJA sebesar 15–35 cm, kelas sesuai dengan kecepatan arus 10–14 cm dan 36–100 cm, dan kelas tidak sesuai dengan kecepatan arus <10cm dan >100 cm.
pada Gambar 17 diketahui arah angin dominan bergerak dari barat laut menuju tenggara sebesar 36%. Pergerakan angin lainnya di perairan Pulau Semujur dari barat menuju timur sebesar 24%, dari utara menuju selatan sebesar 14% dan sebagian kecil menuju ke utara, barat, barat daya dan barat laut. Kecepatan angin yang bergerak di perairan tersebut tergolong lemah yang berkisar antara 0,5–5,7 m/s.
Pengukuran lapangarus laut yang dilakukan pada bulan Maret sedang mengalami musim peralihan pertama atau disebut musim pancaroba satu (Nontji, 2006). Pada bulan ini pergerakan angin menjadi lemah dan arahnya yang tidak menentu. Begitu juga halnya dengan Pulau Semujur yang berada di kawasan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan dimana komposisi laut dan daratan yang bervariasi sehingga menerima bahang tidak menentu dari energi matahari. Ini juga terlihat dari cuaca yang berganti pada saat pengamatan, yaitu hujan di pagi hari
sedangkan sekitar pukul 09.00 WIB hujan berhenti dan cuaca menjadi semakin cerah saat siang sekitar pukul 12.00 WIB.
Perbedaan terlihat di stasiun 7 dan 8 dimana tidak ada arus yang bergerak. Ini di tandai dengan tali floating drodge yang tidak meregang saat pengukuran. Pada stasiun ini juga terlihat sampah yang mengumpul karena arus lemah
Gambar 17. Arah dan Kecepatan Angin Bulan Maret 2011
Faktor lain yang berpengaruh terhadap peristiwa terjadinya arus adalah faktor pasang surut. Menurut Subandar et al., (2005) biasanya pada daerah terlindung, arus laut yang bergerak dominan ditimbulkan oleh pasut. Begitu juga halnya dengan arus di perairan Pulau Semujur lebih banyak dipengaruhi oleh pasut. Arus pasut menyebabkan pergerakan air laut menuju ke arah pantai atau sebaliknya (Browden,1980 in LIPI, 2004). Grafik pola pasut di perairan Semujur hasil analisis dari perangkat lunak dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 18. Pola Pasut di Perairan Pulau Semujur
tunggal (diurnal) dimana terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. Pola pasut demikian diduga dapat mengurangi sirkulasi air di sekitar budidaya KJA ikan kerapu. Pasut di perairan Pulau Semujur merupakan pegerakan massa air laut dari Laut Cina Selatan dan Laut Natuna yang merambat memasuki pulau-pulau kecil di sekitar perairan timur Bangka. Kawasan Pulau Semujur termasuk wilayah perairan Bangka Tengah dimana sebelah timur berbatasan dengan Selat Karimata. Menurut Nontji (1987), perairan Selat Karimata memiliki jenis pasut harian tunggal. Hal ini juga terlihat pada keempat tipe pasut di perairan Indonesia (Gambar 19).
Sumber : www.scribd.com
Gambar 19. Tipe Pasut di Indonesia
4.3.3. Kecerahan
pendukung usaha budi daya. Kecerahan perairan di perairan Pulau Semujur berkisar antara 2–8 m (Gambar 20) diketahui bahwa sebagian besar lokasi
Gambar 20. Sebaran Kecerahan di Perairan Pulau Semujur
Kondisi cuaca saat pengukuran lapang di mulai pukul 09.40 WIB sedikit berawan karena sebelumnya daerah tersebut mengalami hujan. Pada pukul 12.00 WIB cuaca semakin cerah dimana saat dilakukan pengukuran lapang di stasiun 10. Kecerahan berkaitan dengan bahan organik yang terlarut di perairan. Untuk budi daya KJA ikan kerapu dibutuhkan perairan dengan tingkat kecerahan yang sangat tinggi yaitu harus lebih dari dua meter ( Akbar dan Sudaryanto, 2002).
Menurut LIPI (2008), faktor curah hujan dapat mengakibatkan proses siltasi berjalan aktif sepanjang pantai bagian barat perairan yang padat
pemukiman sehingga nilai kecerahan perairan berubah. Berdasarkan Ghufran dan Kordi (2007), parameter air yang mudah dipengaruhi oleh hujan adalah salinitas, pH dan kecerahan.
Kecerahan yang tinggi mengindikasikan bahwa intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan juga tinggi sehingga pertumbuhan fitoplankton juga akan berlangsung baik. Sebaliknya, kecerahan rendah berarti perairan tersebut memiliki kekeruhan yang tinggi. Kekeruhan ini menunjukkan banyaknya kandungan partikel terlarut yang dapat menghambat masuknya cahaya matahari. Seperti yang telah disebutkan bahwa sinar matahari berguna bagi fitoplankton untuk
melakukan fotosintesis. Banyaknya partikel terlarut dapat mengganggu
4.3.4. Oksigen Terlarut
Perubahan konsentrasi unsur kimia merupakan indikator perubahan kualitas perairan. Salah satu unsur kimia tersebut adalah kandungan oksigen terlarut. Umumnya oksigen terlarut di perairan laut sebesar ±8 mg/l. Sebaran spasial oksigen terlarut diperoleh dengan menginterpolasi titik pengukuran lapangan sebanyak 15 titik yang menyebar di antara perairan Pulau Semujur dan Pulau Panjang (Gambar 21).
Nilai sebaran oksigen terlarut hasil interpolasi di perairan Pulau Semujur memiliki rata- rata 8,36 mg/l. Bila dilihat dari segi kandungan DO dinyatakan bahwa perairan Pulau Semujur ideal untuk budi daya KJA ikan kerapu. Untuk kehidupan biota laut secara layak, kandungan oksigen terlarut harus lebih besar daripada 4.0 mg/l (Sanusi, 2006). DKP (2007), menyebutkan bahwa perairan Pulau Semujur tergolong perairan subur dengan kadar oksigen terlarut sebesar 9.1 mg/l yang terletak pada koordinat 106o16’10,48” BT dan 2o10’5,376” LS. Kondisi geografis pulau ini yang berada di tengah Kepulauan Bangka Belitung sehingga letaknya jauh dari pencemaran limbah pabrik. Kondisi demikian sangat mendukung sebagai lokasi usaha budi daya. Pada saat pengukuran lapang juga diketahui bahwa perairan di sekitar pulau ini berwarna biru. Hal demikian juga menyebabkan kadar oksigen terlaut di perairan tersebut memiliki kisaran yang tidak berbeda.
Pengkelasan nilai oksigen terlarut yang diperoleh dari pengkelasan raster ulang (Zonal Function) dibedakan menjadi kelas sangat sesuai, sesuai dan tidak sesuai. Perairan sangat sesuai memiliki kandungan oksigen terlarut >6 mg/l. Kadar oksigen terlarut demikian mampu memenuhi konsumsi oksigen ikan untuk respirasi. Sama halnya dengan kadar oksigen terlarut yang berkisar 4–6 mg/l tergolong sesuai untuk wilayah perairan KJA. Sebaliknya, perairan yang mengandung kadar oksigen terlarut <4 mg/l tidak sesuai untuk wilayah