• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan Temporal Parameter-Parameter Atmospheric Boundary Layer (Studi Kasus: Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan Temporal Parameter-Parameter Atmospheric Boundary Layer (Studi Kasus: Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka)"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI KASUS: BOGOR, KARAWANG, DAN PULAU PRAMUKA)

RESA PRATIKASARI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

RESA PRATIKASARI. Teoritical and Empirical Studied of Spatial and Temporal Distribution of Atmospheric Boundary Layer Parameters

(Supervised by: AHMAD BEY AND RAHMAT HIDAYAT)

Atmospheric Boundary Layer is the lowest portion of the atmosphere which is formed as a consequences of direct interactions between the atmosphere and the underlying land or water surface over short time scales of the order of an hour to a day. Such interactions result in sharp variations in wind speed, temperature, and scalar concentrations near the surface.

Radiosonde data at Bogor, Karawang, and Pramuka Island stations are used to investigate the characteristics of the boundary layer of the region. As supported by theory, it is found that the height of boundary layer is much less over sea than it is over land due to less extensive thermal response of water. Humidity in the lower atmospheric layer is found to be high over sea, while cloud base is located at, relatively, low altitude. Characteristics of the boundary layer is further discussed using meteorological parameters including potential temperature, virtual potential temperature, mixing ratio, wind speed and direction, static stability parameter, and Richardson number.

(3)

RINGKASAN

RESA PRATIKASARI. Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan Temporal Parameter-Parameter Atmospheric Boundary Layer (Studi Kasus: Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka)

Permukaan bumi merupakan batas paling bawah atmosfer. Lapisan atmosfer dekat permukaan bumi yang sangat dinamis dan dapat langsung merespon karakter-karakter permukaan dalam rentang waktu yang relatif singkat (kurang dari satu hari). Disebut Atmospheric Boundary Layer (ABL).

Karakter ABL yang bervariasi secara spasial dan temporal menyebabkan ABL memiliki karakter berbeda di tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda. Ini merupakan salah satu ciri ABL yang menyebabkan ABL menjadi unik. Keunikan lain ABL adalah adanya turbulensi pada lapisan ini yang dapat membantu dalam proses-proses mekanis di atmosfer.

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan iklim tropis memilki karakter ABL yang berbeda dengan wilayah-wilayah lain di daerah lintang menengah. Karakter ABL di wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur meteorologi yang bersifat lokal seperti suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin. Dalam anlisa ABL, nilai unsur-unsur meteorolgi tersebut diperoleh dengan menggunakan radiosonde.

(4)

KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIS

DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL PARAMETER-PARAMETER

ATMOSPHERIC BOUNDARY LAYER

(STUDI KASUS: BOGOR, KARAWANG, DAN PULAU PRAMUKA)

RESA PRATIKASARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan Temporal

Parameter-Parameter

Atmospheric Boundary Layer

(Studi Kasus:

Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka)

Nama

: Resa Pratikasari

NRP

: G24070005

Disetujui:

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey

Dr. Rahmat Hidayat S. Si, M. Sc

NIP. 19510823 197603 1 002

NIP. 19740301 200003 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen,

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

NIP. 19600305 198703 002

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, pengatur segala urusan yang telah memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Tidak lupa shalawat dan salam terhaturkan kehadirat Nabi Muhammad SAW utusan dan suri tauladan yang baik.

Skripsi dengan judul “Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan Temporal

Parameter-Parameter Atmospheric Boundary Layer (Studi Kasus: Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka)” ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Melalui skripsi ini, penulis menganalisis tentang karakteristik ABL secara spasial dan temporal di wilayah tropis yang diwakili oleh Wilayah Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka.

Penulis mengharapkan bahwa penelitian ini memberikan manfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya. Semoga melalui penelitian ini penulis bisa berbagi kebaikan untuk banyak pihak dan mampu memberikan sumbangsih pemikiran bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Bogor, Agustus 2011

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pengatur dan pelancar segala urusan. Atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey dan Dr. Rahmat Hidayat S. Si, M. Sc, selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan pemikirannya untuk memberikan bimbingan, arahan serta kritik dan saran yang membangun hingga penulis menyelesaikan penelitian ini. 2. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati. M.Si dan Bapak Muhammad Taufik S. Si, M. Si selaku dosen

penguji yang telah memberikan banyak saran dan masukan demi kesempurnaan Skripsi ini. 3. Bapak Sonny Setiawan S. Si, M. Si, Bapak Bregas Budianto Ass. Dpl, dan Ibu Dr. Ir. Tania

June M. Sc yang telah memberikan masukan-masukan dan saran yang sangat membantu dalam penyelesaian penelitian ini.

4. Segenap staf pengajar dan pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi, yang memberikan bimbingan, arahan, nasehat, serta ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

5. Bapak Sundarianto dan Ibu Susilowati, yang selalu mendukung, mendoakan, menyemangati, memotivasi dan menginspirasi penulis untuk terus berusaha dan pantang menyerah; Adik-adikku Dwi Putri Larasati dan Dimas Agung Pangestu yang selalu ceria menyemangati penulis; Keluarga besar Abah Nunung Komarudin (Alm) dan Mbah Sukasdi (Alm) yang senantiasa memberikan dukungan dan doa buat penulis, terutama Emih (Kartini) dan Om Sidik Ade Putra.

6. Teman-teman GFM 44 (Fitrie, Tika, Eka, Rini, Bang Yo, Riri, Andi, Mas Adi, Pasha, Unduh, Afdal, Blake, Anies, Azim, Bembi, Ade, Dilla, Dimas, Ii, Firda, Achi, Amien, Joko, Harry, Iwan, Kristian, Naren, Loris, Nanas, Nedy, Ike, Mas Nur, Iyud, Pujo, Pepe, Rendra, Nono, Anto, Sigit, Syamsu, Teguh, Tetet, Wari, Winda, Wiwid, dan Yasmin) yang telah memberikan persahabatan yang indah, dukungan, dan motivasi; juga buat adik-adik GFM 45 dan GFM 46.

7. Teman-teman Dupatu 2007 (Ansori, Afandi, Agnes Mayang, Agnes T, Ajeng, Andika, Bangkit, Difran, Larno, Heri ST, Heri, Mellysa, Muhsin, Muslikin, neni, Nova, Novita,

Rohatin, Sapta, Pe’i, Yeli, Tsani, dan Iyus) telah menjadi teman seperjuangan dalam meraih

mimpi dan cita-cita.

8. Eva, Riska, Iref, Retno, Anya’, dan Gigih terima kasih untuk 12 tahun kebersamaan yang

telah memberikan banyak kenangan dan pelajaran hidup. Terima kasih sudah menjadi saudara dalam suka dan duka.

9. Asih, Retno, Lutfi, Mbak tuti, Septi, Kak Hetty, Kak Nugi, Teteh Euis, dan Bi Nuni yang selalu menasehati dan menyemangati di saat penulis khilaf dan malas.

Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi banyak pihak, bagi khasanah ilmu pengetahuan, serta tanah kelahiran, bangsa, dan negara. Amin.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang dilahirkan di sebuah desa terpencil di Timur Provinsi Lampung pada tanggal 16 Juli 1989 dari pasangan Bapak Sundarianto dan Ibu Susilowati.

Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis yaitu pendidikan formal di SD Negeri 1 Labuhan Ratu Dua pada tahun 1995-2001, pada tahun 2001-2004 penulis melanjutkan pendidikan formal di SMP N 1 Way Jepara, dan pada tahun 2004-2007 penulis menempuh pendidikan formal di SMA N 1 Way Jepara. Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Geofisika dan Meteorologi melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Bendahara Himpunan profesi HIMAGRETO. Selama menjadi mahasiswa IPB penulis aktif menjadi panitia di berbagai kegiatan seperti pemilihan rektor IPB, pemilihan ketua BEM TPB, pemilihan ketua BEM FMIPA, pemilihan Presiden Mahasiswa IPB, Masa Perkenalan Mahasiswa

Baru (MPKMB), Masa Perkenalan Fakultas (MPF), Masa Perkenalan Departemen (MPD), Earth’s

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xii

Daftar Lampiran ... xiii

I. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang... ... 1

1.2Tujuan... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Atmospheric Boundary Layer (ABL) ... 1

2.2 Beberapa Penelitian Tentang Atmospheric Boundary Layer di Beberapa Wilayah 2 2.2.1 Wangara, New South Wales, Australia (1967) ... 2

2.2.2 Tarong, Queensland, Australia (1989) ... 3

2.2.3 Pantai California, USA ... 3

2.2.4 Selatan Inggris (1969) ... 3

2.2.5 Samudra Atlantik (1969 dan 1983) ... 4

2.3 Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka ... 4

III.METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 4

3.2 Alat dan Data ... 4

3.2.1 Alat ... 4

3.2.2 Data (Bahan) ... 5

3.3 Metode Penelitian ... 5

3.3.1 Menentukan nilai variabel ABL berdasarkan data radiosonde ... 6

3.3.2 Mengkonversi data ... 6

3.3.3 Membuat profil vertikal variabel-variabel ABL ... 6

3.3.4 Menentukan ketebalan ABL ... 6

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Teori Meteorologi Atmospheric Boundary Layer ... 6

4.1.1 Konsep Atmospheric Boundary Layer ... 7

4.1.1.1 Definisi Atmospheric Boundary Layer... ... 7

4.1.1.2 Formasi Atmospheric Boundary Layer ... 7

4.1.1.3 Evolusi dan Struktur Atmospheric Boundary Layer ... 8

4.1.2 Parameter Karakter Atmospheric Boundary Layer... 8

4.1.2.1 Stabilitas Atmosfer ... 9

4.1.2.2 Profil Vertikal Suhu dan Kelembaban ... 11

4.1.2.3 Profil Verikal Kecepatan Angin... ... 12

4.1.3 Atmospheric Boundary Layer di Wilayah Lautan ... 13

4.2 Profil Vertikal Variabel-Variabel ABL di Tiga Daerah Kajian ... 13

4.2.1Bogor ... 13

4.2.2Karawang ... 15

4.2.3Pulau Pramuka ... 16

4.3 Perbandingan karakter ABL di Tiga Wilayah Kajian ... 18

4.4 Ketebalan ABL sebagai fungsi spasial dan temporal ... 19

4.5 Variasi Diurnal Suhu Potensial Virtual, Mixing Ratio, dan Kecepatan Angin ... 21

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 22

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbandingan Karakter ABL secara Spasial dan Temporal... 18

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Profil vertikal variasi diurnal kelembaban spesifik pada hari ke-33 pada penelitian di Wangara 2

2. Variasi diurnal suhu profil suhu potensial dan ketebalan ABL selama hari ke-33 (a), hari ke-33

s.d hari ke-34 penelitian Wangara (b), kurva A, CBL; kurva B, SBL (c) ... 2

3. Profil vertikal konsentrasi aerosol (a) dan profil vertikal suhu potensial (b) pukul 11.00 WS pada penelitian di Tarong, Queensland ... 3

4. Inversi di pantai California ... 3

5. Variasi diurnal suhu udara di tiga ketinggian yang berbeda (1.2m, 7m, dan 17m) pada bulan Juni dan desember ... 3

6. Peta wilayah kajian (Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka) ... 4

7. Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999) ... 6

8. Troposfer dibagi menjadi dua bagian yaitu Boundary Layer dan free atmosfer ... 7

9. Variasi suhu potensial di dalam Atmospheric Boundary Layer dan Free Atmosfer. Siklus harian pemanasan dan pendinginan yang kita kenal di dekat permukaan tidak terjadi di atas Boundary Layer ... 7

10. ABLdi bagi menjadi tiga bagian mixed layer (ML), stable boundary layer (SBL), dan residual layer (RL)... 8

11.Evolusi CBL dan SBL dalam merespon pemanasan dan pendinginan permukaan ... 8

12.Kondisi atmosfer unstable ... 9

13.Kondisi atmosfer stable ... 10

14.Karakteristik stabilitas statis nonlokal berdasarkan suhu potensial virtual ... 11

15.Sketsa profil vertikal suhu (T), suhu potensial (θ), kelembaban spesifik (q), dan kecepatan angin (V). FA=Free Atmosfer, EZ=Entrainment Zone, ML=Mixed Layer, SL=Surface Layer, CI=Capping Inversion, RL=Residual Layer, SBL=Stable Boundary Layer, zi= ketinggian capping inversion, Vg=angin geostrofik ... 12

16. Evolusi profil angin di dalam ABL selama cuaca cerah di daratan ... 12

17.Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Bogor. Suhu potensial virtual (a); mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d); kecepatan angin meridional (e); kecepatan angin zonal (f) ... 14

18.Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Karawang. Suhu potensial virtual (a); mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d); kecepatan angin meridional (e); kecepatan angin zonal (f) ... 16

19.Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Pulau Pramuka. Suhu potensial virtual (a); mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d) ... 18

(13)

21.Variasi diurnal kecepatan angin Bogor ... 21

22.Variasi diurnal potensial virtual dan mixing ratio Karawang ... 21

23.Variasi diurnal kecepatan angin Karawang ... 21

24.Variasi diurnal potensial virtual dan mixing ratio Pulau Pramuka ... 22

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar Istilah ... 26

2. Richardson Number Wilayah Bogor ... 27

3. Richardson Number Wilayah Karawang... . 28

4. Profil Vertikal Variabel-Variabel Atmospheric Boundary Layer (ABL) ... 29

(15)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permukaan bumi merupakan batas paling bawah dari atmosfer. Di antara permukaan bumi dan atmosfer terdapat lapisan yang merupakan tempat terjadinya proses-proses transport yang dibatasi dari ketinggian 100-3000 m yang disebut sebagai Atmospheric Boundary Layer (Stull 1999). Atmospheric Boundary Layer (ABL) didefinisikan Stull sebagai bagian dari troposfer yang dipengaruhi langsung oleh pemukaan bumi dan merespon gaya permukaan dalam rentang waktu satu jam sampai satu hari. Gaya permukaan yang mempengaruhi ABL yaitu gaya gesek antar lapisan udara. Selain gaya permukaan, ABL juga dipengaruhi oleh evaporasi dan transpirasi, transfer panas, emisi polutan, dan tanah lapang yang menyebabkan modifikasi aliran.

Sesungguhnya penelitian tentang ABL begitu penting bagi kehidupan manusia, tetapi di Indonesia penelitian tentang ABL belum banyak dilakukan, hal ini dibuktikan dengan sedikitnya referensi tentang ABL di Indonesia. Pentingnya penelitian ABL dilakukan karena banyak fenomena cuaca dan iklim yang dipengaruhi oleh interaksi atmosfer dan permukaan bumi. Proses-proses di permukaan bumi dan ABL juga penting untuk dipahami agar dapat di simulasikan dalam model komputer guna keperluan peramalan cuaca, menduga sebaran polutan, dan pengaruh aktivitas manusia terhadap ikilm masa depan. Prediksi hujan dan suhu udara esok hari juga membutuhkan perhitungan dari proses-proses di dalam ABL. Untuk kualitas udara, penting untuk mengetahui konsentrasi polutan yang masuk ke dalam atmosfer serta arah dan jarak polutan itu ditransportasikan, dan hal tersebut dapat dijelaskan jika kita memahami karakter ABL.

Dalam penelitian tentang ABL, digunakan unsur-unsur meteorologi sebagai variabel. Variabilitas unsur-unsur meteorologi secara diurnal di Indonesia relatif besar, sehingga karakter ABL secara diurnal memberikan perbedaan yang nyata. Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor cuaca secara diurnal karakter ABL juga sangat dipengaruhi oleh topografinya. Di daratan, konveksi maksimum terjadi pada siang hari, sehingga ABL maksimum terjadi pada siang hari. Di lautan variasi ketebalan ABL lebih kecil dibandingkan dengan daratan secara temporal. Suhu permukaan laut hanya mengalami sedikit perubahan secara diurnal karena

percampuran dengan suhu lautan dalam. Selain itu, air juga memilki kapasitas panas yang besar sehingga dapat menyerap jumlah panas yang besar dari radiasi matahari. Baik di daratan maupun di lautan, secara umum ketebalan ABLdipengaruhi oleh konveksi dan shear angin.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian tentang Kajian Teoritis dan Empiris Distribusi Spasial dan Temporal Parameter-Parameter Atmospheric Boundary Layer (Studi Kasus: Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka) adalah sebagai berikut:

1. Memahami teori meteorologi ABL 2. Mengkaji dan membandingkan pola

profil vertikal unsur-unsur meteorologi yang mencirikan karakter ABL di tiga wilayah kajian yaitu Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka

3. Menentukan ketebalan ABL sebagai fungsi spasial dan temporal berdasarkan data sounding di tiga wilayah kajian

II. TINJAUAN

PUSTAKA

2.1 Atmospheric Boundary Layer (ABL)

ABL didefinisikan sebagai lapisan paling bawah atmosfer yang dicirikan oleh pengaruh langsung permukaan bumi. Di dalam ABL, turbulen yang chaotic membentuk lapisan ini sehingga lapisan ini disebut juga sebagai Mixed Layer (ML). Turbulen dapat terbentuk melalui proses konvektif (gaya bouyance) atau mekanik (shear angin). Karena adanya turbulensi di dalam ABL menyebabkan proses-proses didalam ABL menjadi kompleks sehingga dalam menentukan ketebalan ABL diperlukan pendekatan-pendekatan tertentu seperti pendekatan-pendekatan profil vertikal suhu dan kecepatan angin, interpretasi data citra, dan pendekatan menggunakan model satu dimensi sederhana (Benkley dan Schulman 1979).

(16)

Metode yang paling dapat dipercaya untuk menentukan ketebalan ABL adalah berdasarkan pengukuran langsung intensitas turbulen atau konsentrasi polutan. Pengukuran tersebut akan menunjukkan kecenderungan terjadinya gradien yang besar dekat puncak ABL yang disebut Capping Inversion (CI). Ketebalan ABL yang diduga dari kondisi konvektif pada siang hari menggunakan teknik profile-intersection yang pertama kali dilakukan oleh Holzworth (1967). Teknik tersebut berdasarkan prosedur yang mengekstrapolasi suhu yang naik secara adiabatik (suhu potensial) hingga memotong profil suhu. Puncak ABL didasarkan pada elevasi inversi atau stable layer yang menutupi Convective Boundary Layer (CBL). Teknik Holzworth tidak memasukkan unsur adveksi suhu dan kelembaban, sehingga variasi ketebalan ABL berdasarkan teknik ini tergantung pada suhu permukaan (Holzworth 1967 dalam Berman 1999).

Berdasarkan penelitian Berman et al (1995) yang menggunakan metode Holzworth di Timur Laut Amerika Serikat pada musim panas (antara pukul 12.00-16.00 WS) di dapatkan ketebalan maksimum ABL mencapai 300 m di atas lautan dan 2500 m di atas daratan pedalaman. Ketebalan ABL di wilayah pantai sangat dipengaruhi oleh arah angin. Ketika aliran udara menjauhi pantai, ABL lautan tidak dapat menmbus masuk ke daratan sehingga ketebalannya tetap tinggi. Sedangkan ketika aliran udara mendekati pantai membawa udara dingin dari lautan yang cenderung menurunkan suhu permukaan dan ketebalan ABL (Berman S. dkk, 1999).

Dalam menentukan ketebalan ABL, kajian tentang fluks panas sangat penting, karena fluks panas merupakan salah satu faktor pembangkit turbulensi. Panas dalam ABL secara umum dimodelkan dengan menggunakan asumsi bahwa fluks panas virtual menurun secara linear terhadap ketinggian. Dalam menentukan Entrainment Zone (EZ), fluks panas virtual biasanya digambarkan dengan penurunan di daerah dekat puncak ABL yang besarnya 10-20% dari nilai penurunan permukaan. Kenaikan fluks panas virtual menyebabkan akselerasi termal menurun terhadap ketinggian yang menyebabkan gaya bouyance berkurang drastis. Di bagian tengah lapisan ABL, panas menembus keseimbangan gaya bouyance yang mengarah kepada fluks panas negatif. Sebagai contoh adalah proses melemahnya stratifikasi termal di bagian atas ABL yang

membentuk EZ (Mahrt L dan Paumer J, 1984).

2.2 Beberapa Penelitian Tentang

Atmospheric Boundary Layer (ABL) di

Beberapa Wilayah

2.2.1 Wangara, New South Wales,

Australia (1967)

Observasi tentang profil vertikal kelembanan spesifik dan suhu potansial virtual dilakukan di Wangara pada hari ke-33. Permukaan wilayah ini cenderung kering dengan sedikit tumbuh-tumbuhan (didominasi oleh rumput-rumput kering, legume, dan cotonbush). Dalam menghilangkan evaporasi yang intensif di permukaan, profil kelembaban spesifik mendekati homogen pada siang hari di dalam ABL, dengan nilai kelembaban spesifik berubah terhadap perubahan ML.

Gambar 1 Profil vertikal variasi diurnal

kelembaban spesifik pada hari ke-33 pada penelitian di Wangara

(17)

Sesaat sebelum matahari tenggelam radiasi netto yang hilang dari permukaan, menyebabkan terbentuknya inversi di dekat permukaan. inversi nokturnal menebal saat sore hari hingga malam hari yang menghasilakan divergensi radiasi dan sensible heat flux. Pada awal sore hari mixed layer masih berada diatas inversi nocturnal, walapun sangat lemah (Arya 1988).

2.2.2 Tarong, Queensland, Australia

(1989)

Gambar 3 Profil vertikal konsentrasi aerosol (a) dan profil vertikal suhu potensial (b) pukul 11.00 WS pada penelitian di Tarong, Queensland

Di daerah tropis, struktur ABL sangat tergantung oleh musim dan kondisi yang mengganggu seperti ITCZ. Dalam perkembangan awan cumulunimbus menghasilkan definisi yang samar tentang ABL, sedangkan dalam kondisi yang tidak terganggu batas ABL didefinisikan sebagai kenaikan angin pasat. Dalam menentukan batas ABL Sawford (1989) menggunakan parameter konsentrasi aerosol dan suhu potensial virtual. Penelitian tersebut dilakukan di Tarong, Queensland 7 september 1989 pukul 11.00 waktu setempat. Berdasarkan penelitian tersebut di dapatkan ketebalan ABL 1100 m (Kaimal dan Finnigan 1994).

2.2.3 Pantai California, USA

Gambar 4 menunjukkan profil vertikal suhu udara dan suhu titik embun berdasarkan data radiosonde di Pantai California. Dari gambar tersebut terlihat bahwa pertemuan suhu udara dan suhu titik embun merupakan batas Stable Layer (SL) (300 m). Dan suhu udara terus mengalami kenaikan hingga CI pada ketinggian 900 m.

Gambar 4 Inversi di pantai California (modifikasi dari: Ahrens 2002)

2.2.4 Selatan Inggris (1969)

Suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin merupakan variabel utama dalam penentuan karakter ABL. Dalam penelitian di Selatan Inggris ketiga variabel tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan pada bulan Juni (musim panas) dan pada bulan Desember (musim dingin). Variasi ketiga variabel tersebut lebih tinggi pada musim panas di bandingkan pada musim dingin

(Arya 1988).

Gambar 5 Variasi diurnal suhu udara di tiga ketinggian yang berbeda (1.2m, 7m, dan 17m) pada bulan Juni dan desember (sumber: Arya P 1988)

2.2.5 Samudra Atlantik (1969 dan 1983)

(18)

1969 melalui eksperimen ATEX (Atlantic Tradewind Experiment) dan pada tahun 1983 melalui eksperiment JASIN. Pada eksperimen ATEX yang dilakukan bulan Februari di dapatkan bahwa perbedaan suhu permukaan laut dan suhu udara di atasnya kurang dari 0.5˚C, ketebalan ABL untuk wilayah lautan ±600 m dan lapisan transisi isotermal ketebalannya ±50 m. Sedangkan pada eksperimen JASIN yang di lakukan di Atlantik Timur Laut didapatkan batas lapisan stratocumulus yang digunakan sebagai parameter ketebalan ABL adalah 500 m. Lapisan ABL yang dangkal juga terdapat di daerah pantai ketika aliran udara hangat dari darat mengalir ke lautan yang dingin.

2.3 Bogor, Karawang, dan Pulau

Pramuka

Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka merupakan wilayah di Pulau Jawa yang memiliki karakter cuaca yang berbeda, karena ketiganya terletak di dataran dengan ketinggian yang berbeda.

Gambar 6 Peta wilayah kajian (Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka)

Kota Bogor terletak pada ketinggian 190 sampai 330 m dari permukaan laut. Udaranya relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26 °C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70%. Suhu rata-rata terendah di Bogor adalah 21,8 °C, paling sering terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Arah mata angin dipengaruhi oleh angin muson. Bulan Mei sampai Maret dipengaruhi angin muson barat (Pemerintah Kota Bogor 2010). Profil vertikal unsur-unsur cuaca wilayah Bogor di peroleh dari data sounding Bogor yang berasal dari stasiun Bogor yang terletak 6.58 S dan 106.79 E pada ketinggian 248 m dpl.

Wilayah kajian yang kedua adalah Kabupaten Karawang. Sesuai dengan bentuk morfologinya Kabupaten Karawang terdiri dari dataran rendah yang mempunyai temperatur udara rata-rata 270C dengan

tekanan udara rata-rata 0,01 mb, penyinaran matahari 66% dan kelembaban nisbi 80%. Curah hujan tahunan berkisar antara 1.100 – 3.200 mm/tahun. Pada bulan Januari sampai April bertiup angin Muson Timur Laut dan sekitar bulan Juni bertiup angin Muson Tenggara. Kecepatan angin antara 30 – 35 km/jam, lamanya tiupan rata-rata 5 – 7 jam (Pemerintah Kabupaten Karawang 2010). Data variabel meteorologi Karawang diperoleh dari data sounding di stasiun Karawang yang terletak pada 107.51 E dan 6.38 S pada ketinggian 53 m dpl.

Pulau Pramuka adalah salah satu gugusan Kepulauan Seribu yang merupakan pusat pemerintahan kabupaten administrasi Kepulauan Seribu (Dinas Pariwisata Kep. Seribu 2010). Karena letaknya berada di tengah-tengah perairan (Laut Jawa) data sounding dari Pulau Pramuka digunakan untuk menganalisis profil ABL untuk lautan. Data sounding dari Pulau Pramuka di ambil dari satsiun Pulau Pramuka yang terletak pada 106.62 E dan 5.74 S pada ketinggian 1 m dpl.

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Udara, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB pada Bulan Februari 2011 hingga Bulan Juni 2011

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Seperangkat Personal Computer (PC) yang digunakan untuk mengolah data 2. Perangakat lunak Microsoft Office 3. Perangkat lunak Matlab 7.7.041 (2008b)

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah data radiosonde pada tanggal 1 Februari 2010 –10 Februari 2010 yang di ambil pada pukul 01.00, 04.00, 07.00, 10.00, 13.00, 16.00, 19.00, dan 22.00 WIB dari tiga stasiun pengamatan yaitu Bogor, Karawang, dan Pulau Pramuka, yang terdiri dari data tekanan udara (P), ketinggian (Z), ketinggian

(19)

(RH), dan suhu titik embun (Td). Data diperoleh dari BMKG atau dapat pula di unduh dari alamat website

http://www.esrl.noaa.gov/raobs/, data dalam

bentuk .txt, kemudian dikonversi ke dalam bentuk .xls (Haryoko 2010).

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Menentukan nilai variabel ABL

berdasarkan data radiosonde

Karakter ABL sangat erat kaitannya dengan kondisi stabilitas atmosfer, sehingga dalam penentuan karakter ABL yang digunakan sebagai variabel adalah variabel-variabel stabilitas seperti suhu virtual (Tv),

suhu potensial virtual (θv), mixing ratio (R),

dan parameter stabilitas statis (S). Variabel-variabel yang digunakan adalah Variabel- variabel-variabel udara lembab karena dalam penelitian ini daerah kajiannya merupakan daerah tropis dengan kelembaban tinggi. Variabel lain yang tidak termasuk ke dalam variabel stabilitas tetapi sangat mempengaruhi karakter ABL adalah kecepatan angin rata-rata (M) dan Richardson number (Ri). Dalam menentukan nilai variabel-variabel tersebut digunakan beberapa persamaan sebagai berikut:

1. Suhu virtual (Tv)

Suhu virtual merupakan suhu parsel udara kering yang memiliki tekanan dan kerapatan yang sama dengan parsel udara lembab. Berdasarkan data radiosonde, untuk menentukan nilai suhu virtual (Tv) terlebih dahulu menentukan nilai variabel-variabel kelembaban.

Menentukan nilai tekanan uap jenuh (es) menggunakan persamaan Classius Clapeyron

= 6.11 10

/( + )...(1)

Ket: = ℎ ℃

= 7.567 = 239.7 �

(Riegel 1992)

Nilai tekanan uap jenuh yang telah didapat disubstitusi ke persamaan kelembaban spesifik jenuh (μs)

=

.

...(2)

Ket: ε = Rd/Rv = 0.622

P = tekanan udara (mb) (Stull 2000)

Nilai kelembaban spesifik jenuh (μs) tersebut digunakan untuk menentukan nilai kelembaban spesifik (μ) dengan menggunakan persaman kelembaban relatif (RH).

��= �

� 100%...(3)

=

�� �

100%

.

...(4)

(Riegel 1992)

Setelah mendapatkan nilai variabel-variabel kelembaban diperoleh nilai kelembaban spesifik (μ) yang digunakan dalam penentuan nilai suhu virtual (Tv) dengan menggunakan persamaan:

= (1 + 0.608

)

...(4)

(Riegel 1992)

2. Suhu Potensial Virtual (θv)

Suhu potensial virtual merupakan variabel turunan dari persamaan status pada proses adiabatik dan merupakan parameter stabilitas statis non-lokal (Arya 2001). Dalam menentukan nilai suhu potensial virtual, nilai suhu virtual di substitusikan ke persamaan suhu potensial virtual.

=

0 �

.

...(5)

Ket: Po = 1000 mb

P = tekanan udara (mb) Kd = Rd/Cpd = 0.286 (Riegel 1992)

3. Mixing Ratio (r)

Mixing ratio merupakan variabel yang menyatakan ratio antara massa uap air dengan massa udara kering (Riegel 1992).

=

1−�...(6)

(20)

4. Parameter Stabilitas Statis lokal (s)

Parameter stabilitas statis merupakan nilai yang digunakan untuk mengidentifikasi ketidakstabilan atmosfer. Tetapi penggunaan parameter ini sudah tidak relevan lagi, sehingga untuk mengidentifikasi ketidakstabilan atmosfer digunakan parameter stabilitas statis

non-lokal (θ) (Arya 2001). Untuk menentukan

parameter stabilitas statis lokal digunakan persamaan:

=

��

� ...(7) (Arya P 2001)

5. Richardson Number (Ri)

Richardson Number merupakan ratio antara gaya bouyance (faktor konveksi) dengan shear angin. Nilai Ri digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya turbulensi (Holton 2004).

��

=

� . ∆� . ∆

. ∆ 2+ ∆ 2

...(8)

(Arya P 2001)

3.3.2 Mengkonversi data

Data yang telah diolah dalam perangkat lunak Ms. Excel yang ber-ekstensi .xls dikonversi ke dalam bentuk .mat (matlab) agar lebih mudah dalam pembuatan profil vertikal variabel-variabel ABL.

3.3.3 Membuat profil vertikal

variabel-variabel ABL

Nilai-nilai variabel ABL yang telah ber-ekstensi .mat diplotkan dalam plot tiga dimensi menggunakan syntax dalam software matlab dan disimpan dalam bentuk .fig (Away 2006).

3.3.4 Menentukan ketebalan ABL

Berdasarkan pola profil suhu potensial virtual secara diurnal, ditentukan ketebalan ABL dengan terlebih dahulu menentukan ketebalan Mixing Layer (ML), Stable Boundary Layer (SBL), dan Residual Layer (RL) dengan menggunakan prinsip stabilitas statis non-lokal.

Gambar 7 Profil vertikal suhu potensial virtual sebagai parameter stabilitas statis non-lokal (sumber: Stull, 1999).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Teori Meteorologi Atmospheric

Boundary Layer

4.1.1 Konsep Atmospheric Boundary Layer

(ABL)

Konsep ABL dalam aliran fluida pertama kali ditemukan oleh Froud yang melakukan penelitian tentang tahanan gaya gesek dari lempengan tipis ketika diseret di dalam air pada tahun 1870an. Sedangkan pemahaman tentang ABL sendiri pertama kali dipublikasikan dalam sebuah literatur oleh Prandtl tahun 1905 yang bekerja di bidang aerodinamik yang fokus pada aliran fluida dengan viskositas rendah hingga tinggi. Dalam penelitiannya ia memperkenalkan transisi dan kekasapan sebuah lapisan aerodinamik yang tipis (Garrat 1992).

Dalam konteks atmospheric, para ahli meteorologi cukup sulit untuk mendefinisikan ABL. Dengan usaha yang cukup keras akhirnya ABL didefinisikan sebagai lapisan udara yang berhubungan langsung dengan permukaan bumi yang memberikan pengaruh langsung pada permukaan (gaya gesek, pemanasan, dan pendinginan) dalam rentang waktu yang relatif singkat (kurang dari satu hari) (Garrat 1992).

4.1.1.1Definisi Atmospheric Boundary Layer

(ABL)

(21)

laten dan panas terasa diantara permukaan bumi dan udara. Bagaimanapun, fluks tidak dapat secara langsung mencapai keseluruhan atmosfer. Fluks-fluks tersebut dihasilkan oleh troposfer pada lapisan yang dangkal dekat permukaan bumi yang disebut Atmospheric Boundary Layer (ABL). Kondisi di dalam lapisan ABL tersebut menyebabkan siklus diurnal (harian) beberapa unsur-unsur meteorologi (suhu, kelembaban, dan angin) dan variasi polusi udara. Turbulensi intensif juga terjadi di dalam lapisan ABL, inilah salah satu karakter alami yang menyebabkan ABL begitu unik (Stull 2000).

ABL didefinisikan Stull (1999) sebagai bagian dari troposfer yang dipengaruhi

langsung oleh pemukaan bumi dan

merespon karakter-karakter permukaan dalam rentang waktu satu jam atau

kurang. Karakter permukaan yang

mempengaruhi ABL yaitu gaya gesek antar lapisan udara, evaporasi dan transpirasi, transfer panas, emisi polutan, dan tanah lapang yang menyebabkan modifikasi aliran. Secara langsung, keseluruhan troposfer dapat berubah dengan merespon karakter-karakter permukaan, tetapi respon ini relatif lemah di luar batas ABL. Dengan demikian, kalimat merespon karakter permukaan dalam rentang waktu satu jam atau kurang bukan berarti bahwa ABL mencapai keseimbangannya dalam waktu tersebut, hanya saja perubahan paling kecil dimulai dalam rentang waktu tersebut (Stull 1999).

4.1.1.2 Formasi Atmospheric Boundary

Layer (ABL)

ABL yang sering turbulen menyebabkan percampuran sehingga bagian bawah atmosfer menjadi homogen, daerah ini dinamakan sebagai daerah turbulensi. Suhu potensial udara dari atmosfer standar yang lebih hangat di bagian atas bercampur dengan suhu potensial udara di bagian bawah yang lebih dingin menghasilkan suhu potensial udara campuran yang sedang dan seragam dengan naiknya ketinggian. Kondisi ABLyang sangat turbulen ini menyebabkan ABL disebut sebagai Mixed Layer (ML). Di atas MLudara tidak dimodifikasi oleh turbulen sehingga profil suhu udara sama dengan skenario standar atmosfer, lapisan ini disebut sebagai

Free Atmosphere (FA).

Adanya turbulen di ML menyebabkan terjadinya lapisan campuran, sedangkan pada lapisan di atasnya yaitu FA yang tidak tercampur terjadi kenaikan suhu. Daerah ini disebut sebagai daerah inversi, ketinggian

inversi disimbolkan dengan zi dan daerah ini digunakan sebagai ukuran dalam menentukan ketebalan ABL. Inversi pada lapisan FA berperan seperti cap (penutup) bagi ABL. Jika turbulen memaksa keluar dari ABL, maka udara akan lebih dingin dari lingkungan sekitarnya, sehingga Bouyance Force (gaya apung) yang kuat akan menekan kembali ke lapisan campuran. Batas inversi pada lapisan atas ABL menyebabkan troposfer terbagi menjadi dua bagian yaitu ABL yang sangat turbulen (ML) dan FA yang lebih laminar (Gambar 8).

Gambar 8 Troposfer dibagi menjadi dua bagian

yaitu Boundary Layer dan free atmosfer

(modifikasi dari: Stull 1999)

Ketebalan ABLsangat di pengaruhi oleh faktor lokasi dan waktu. Turbulen menyebabkan ABL merasakan langsung pengaruh permukaan bumi (Stull 2000).

Gambar 9 Variasi suhu potensial di dalam

Atmospheric Boundary Layer dan Free Atmosfer. Siklus harian pemanasan dan pendinginan yang kita kenal di dekat

permukaan tidak terjadi di atas

Boundary Layer (modifikasi dari: Stull 2000)

4.1.1.3Evolusi dan Struktur Atmospheric

Boundary Layer (ABL)

ABL dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu Mixed Layer (ML) atau Convective

Boundary Layer (CBL) yang terjadi pada

siang hari saat kondisi atmosfer unstable,

FA

ABL Troposfer

Tropopause

(22)

Stable Boundary Layer (SBL)yang terbentuk saat kondisi atmosfer stable terbentuk di bawah Residual Layer (RL) yaitu lapisan atmosfer yang netral, kedua lapisan ini terbentuk pada malam hari (Gambar 10).

Gambar 10 ABLdi bagi menjadi tiga bagian mixed

layer (ML), stable boundary layer (SBL), dan residual layer (RL)

(modifikasi dari: Stull 1999)

Surface Layer (SL) disebut juga sebagai Prandtl Layer, lapisan ini ketebalannya antara 20-100 m. Pada lapisan ini turbulen relatif konstan terhadap ketinggian. Pengaruh gaya koriolis dapat diabaikan dekat permukaan, jadi pembentukan angin di dalam Prandtl Layer dapat diabaikan. Kecepatan angin meningkat dengan kuat pada lapisan ini, kecepatannya bahkat lebih kuat setengah kali lipat dari kecepatan angin pada puncak ABL (Zdunkowski dan Bott 2003).

Di atas lapisan Prandtl yang merupakan ML disebut juga sebagai Ekman Layer, ketebalannya mencapai 1000 m tergantung pada stabilitas atmosfer. Turbulensi pada lapisan ini menurun hingga nol pada puncak ekman layer. Di atas Ekman Layer aliran udara relatif tidak turbulen (turbulensi sangat lemah). Pengaruh gaya koriolis pada lapisan ini menyebabkan pembentukan vektor angin. Daerah antara permukaan bumi hingga puncak Ekaman Layer di sebut Planetary Boundary Layer (Atmospheric Boundary Layer) (Zdunkowski dan Bott 2003).

Dalam siklus ABL di daratan, transisi terjadi di antara dua model dasar yang mendekati kondisi netral. Seperti siklus diurnal yang menunjukkan dua tahapan utama, pertama model unstable, pada model ini lapisan campuran terjadi setelah matahari terbit dan berlangsung sampai sore hari atau ketika evening trantition terjadi. Kedua, model stable yang terbentuk setelah matahari terbenam dan mulai menghilang ketika pagi hari menjelang matahari terbit, memberikan

sedikit jeda hingga lapisan campuran terjadi lagi (Columbie 2008).

ABL secara kontinyu merespon pemanasan dan pendinginan permukaan bumi, yang menyebabkan ABL memiliki kondisi yang berbeda yang digambarkan dalam bentuk yang sederhana. Bentuknya mengikuti pergerakan matahari, ketika matahari terbit sebuah CBL terbentuk di dekat permukaan kemudian sinar matahari memanaskan permukaan. CBL tumbuh pada pagi hari hingga mencapai ketebalan 1-2 km pada siang hari. Inversi permukaan umumnya ada sebelum matahari terbit yang menjadi lapisan penutup, lapisan ini terus naik seiring dengan naiknya CBL (Kaimal dan Finnigan 1994).

Gambar 11 Evolusi CBL dan SBL dalam merespon pemanasan dan pendinginan permukaan (modifikasi dari: Garrat 1992)

4.1.2 Parameter Karakter Atmospheric

Boundary Layer (ABL)

ABL adalah lapisan yang sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi. Interaksi antara ABL dan permukaan bumi menyebabkan terjadinya proses-proses unik yang menjadi karakter ABL. Karakter-karakter ABL tersebut dapat diidentifikasi oleh beberapa parameter/variabel meteorologi seperti suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin. Selain variabel-variabel meteorologi tersebut, faktor stabilitas atmosfer juga menjadi hal yang penting dalam menentukan karakter ABL.

4.1.2.1Stabilitas Atmosfer

(23)

angin. Sedangkan pada stabilitas dinamis mempertimbangkan gaya apung dan shear angin.

Stabilitas Statis

Stabilitas statis membagi kondisi atmosfer menjadi tiga yaitu kondisi unstable, neutral, dan stable. Ketiga kondisi tersebut didasarkan pada laju penurunan suhu terhadap ketinggian (lapse rate). Ahrens (2002) membagi laju penurunan suhu ke dalam tiga kategori yaitu SALR (Saturated Adiabatic Lapse Rate), DALR (Dry Adiabatic Lapse Rate), dan ELR (Environmental Lapse Rate). Berdasarkan data radisonede nilai lapse rate tersebut adalah:

SALR = 6˚C/1000 m

ELR = 4˚C/1000 m, stable

DALR = 10˚C/1000 m

ELR = 11˚C/1000 m, unstable

a) Unstable

Kondisi unstable terjadi ketika ELR lebih besar dari DALR. Kondisi ketidakstabilan (conditional instability) terjadi ketika ELR berada diantara SALR dan DALR. Rata-rata

ELR di tropsfer adalah 6.5˚C/1000m. Nilai ini

berada diantara DALR dan rata-rata SALR, dengan demikian kondisi atmosfer di troposfer cenderung dalam kondisi ketidakstabilan (Ahrens 2002).

Penyebab ketidakstabilan adalah suhu udara lebih dingin dibandingkan dengan suhu permukaan. Penyebab suhu udara menjadi dingin adalah:

1. Angin yang membawa udara dingin (adveksi dingin)

2. Perawanan yang mengemisikan radiasi infra merah ke atmosfer.

Penyebab suhu permukaan menjadi lebih hangat adalah:

1. Pemanasan matahari pada siang hari 2. Aliran udara hangat yang dibawa oleh

angin

3. Pergerakan udara yang melalui permukaan yang hangat

Jika gaya apung memindahkan parsel udara ke bagian yang lebih atas dari titik mula-mula, maka udara diantara ketinggian titik mula-mula dengan ketinggian parsel saat berpindah menjadi tidak stabil. Karena ketidakstabilan ini persel udara akan terus bergerak ke atas menghasilkan srkulasi konvektif bahkan awan konvektif.

Untuk menentukan daerah tidak stabil menggunakan perpindahan parsel udara secara stabilitas statis non-lokal. Parsel udara yang

memiliki suhu potensial relatif maksimum berdasarkan konsep akan naik secara adiabatik. Begitu pula sebaliknya, parsel udara yang memiliki suhu potensial yang relatif minimum akan turun secara adiabatik pula hingga menyentuh sounding atau permukaan tanah. Daerah tempat pergerakan persel tersebut disebut sebagai daerah statically unstable. Suhu potensial relatif maksimum adalah suhu parsel udara yang lebih hangat dari suhu lingkungan, sedangkan suhu potensial relatif minimum adalah suhu parsel udara yang lebih rendah dari suhu lingkungan (Stull 2000).

(a)

(b)

Gambar 12 Kondisi atmosfer unstable pada parsel

udara kering (a); Kondisi atmosfer

unstable pada parsel udara jenuh (b) (modifikasi dari: Ahrens 2002)

b) Neutral

(24)

∆ ≈ −

г

г atau ∆�

∆ ≈

0 г − г

(Stull 2000). c) Stable

Kondisi stable adalah suatu kondisi dimana ELR selalu lebih kecil dari SALR.

Pada kondisi stabil, ELR 4˚C/1000 m

sehingga nilai ELR selalu lebih kecil dari SALR dan DALR pada semua level. Pada kondisi stable, atmosfer menahan gerakan vertikal parsel udara menyebabkan parsel udara cenderung bergerak secara horizontal. Pada kondisi ini akan terbentuk awan secara horizontal seperti awan cirrostratus, altostratus, nimbostratus, atau stratus.

Kondisi stable terjadi ketika laju suhu lingkungan sangat kecil dan ketika perbedaan suhu udara dan suhu udara permukaan relatif kecil. Kondisi stabil juga terjadi apabila suhu permukaan lebih dingin dibandingkan dengan suhu udara di atasnya. Suhu lingkungan dapat menjadi dingin disebabkan oleh beberapa faktor:

1. Pendinginan permukaan pada malam hari 2. Aliran udara permukaan dingin yang

dibawa oleh angin (cold advection) 3. Pergerakan udara yang melalui permukaan

yang dingin

Bagian dari sounding dimana penurunan suhu terhadap ketinggian lebih kecil dari adiabatik, dan kondisinya berbeda dengan nonlocally unstable, kondisi ini disebut statically stable. Parsel udara yang bergerak di daerah ini akan mengalami gaya apung yang berlawanan arah dengan perpindahannya.

∆ ∆ >−

г

г atau ∆�

∆ > 0 г − г

Dalam kondisi tidak jenuh parsel udara akan statically stable jika suhu potensial bertambah terhadap ketinggian (Stull 2000).

(a)

(b)

Gambar 13 Kondisi atmosfer stable pada parsel udara kering (a); kondisi stable pada parsel udara jenuh (b). (modifikasi dari: Ahrens, 2002)

Stabilitas statis non-lokal

Stabilitas statis non-lokal merupakan pembaharuan dari stabilitas statis lokal. Karena stabilitas statis lokal dianggap sudah tidak relevan dalam menggambarkan stabilitas atmosfer. Pada stabilitas statis lokal stabilitas atmosfer digambarkan menggunakan parameter stabilitas statis (s) yang dirumuskan:

= �/ �� /��

Tetapi parameter ini kurang relevan untuk menggambarkan seluruh kondisi stabilitas atmosfer di dalam ABLkarena pada Surface Layer (SL) kondisi atmosfer superadiabatik menyebabkan parsel udara mengalami perpindahan yang signifikan sebelum parsel udara mencapai ML. Oleh sebab itu stabilitas statis lokal diubah menjadi stabilitas statis non-lokal yang menggunakan parameter suhu

potensial virtual (θv).

(25)

Gambar 14 Karakteristik stabilitas statis nonlokal berdasarkan suhu potensial virtual (sumber: Arya P 2001)

Stabilitas Dinamis

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penentuan stabilitas atmosfer dengan menggunakan pendekatan stabilitas dinamik tidak hanya memperhatikan faktor gaya apung tetapi shear angin juga memiliki peran penting. Dalam stabilitas aliran angin dapat menjadi turbulen dalam statically stable jika shear angin cukup kuat. Dalam menentukan stabilitas atmosfer dan turbulensi pada stabilitas dinamis digunakan parameter

Richadson number yang tidak berdimensi.

��

=

� . ∆ +Г . ∆

. ∆ 2+ ∆ 2

atau

��

=

� . ∆� . ∆

. ∆ 2+ ∆ 2

atau

��

=

�� 2 . ∆ 2

∆ 2+2

Dimana ∆ , ∆ , dan ∆ adalah suhu virtual dan kecepatan angin yang pada ketinggian ∆ = 2− 1. Lapse rate

adiabatik kering Гd = 9.8 K/km. Suhu udara

dalam Kelvin. Pada udara yang relatif kering

Tv ≡ T dan θv ≡ θ.

Dalam pendekatannya, untuk menentukan Dynamic Unstable dan turbulensi digunakan Richardson Number. Suatu kondisi atmosfer dikatan tidak stabil dan turbulen apabila Ri < Ric. Ric adalah Critical Richardson Number yang bernilai 0.25. Untuk Richardson Number yang bernilai lebih besar dari 0.25 menunjukkan bahwa kondisi atmosfer Statically Stable. Sedangkan kondisi atmosfer yang tidak stabil menghasilkan Richardson Number yang bernilai lebih kecil dari 0.25 bahkan bernilai negatif, yang dinamakan

Dynamical Instability. Udara yang menjadi Dynamical Instability sering disebut sebagai gelombang kevin-helmholtz.

Baik stabilitas dinamis maupun stabilitas statis belum memberikan pengukuran yang tepat tentang eksistensi turbulensi. Dalam stabilitas statis tidak memasukkan pengaruh shear angin dalam menghasilkan turbulensi. Sedangkan dalam stbilitas dinamis tidak memasukkan proses-proses non-lokal yang dapat menghasilkan turbulensi. Sehingga dalam menentukan turbulensi diperlukan kedua pendekatan tersebut (Stull 2000).

4.1.2.2Profil Vertikal Suhu dan

Kelembaban

Pemanasan permukaan menyebabkan lapisan thermal naik dari permukaan yang menghasilkan turbulensi. Gaya gesek permukaan yang menyebabkan angin dekat permukaan lebih lambat daripada angin pada lapisan yang lebih atas, juga menghasilkan turbulensi. Turbulensi dihasilkan oleh proses percampuran suhu potensial dekat permukaan yang nilainya relatif lebih rendah dengan suhu potensial dari ketinggian tertentu yang nialinya lebih tinggi. Dengan demikian profil suhu potensial dapat digunakan untuk menentukan ketebalan ABL.

Capping Inversion (CI) adalah batas atas ABL yang dicirikan dengan stabilitas statis, yang menekan turbulen di dalamnya. Turbulen dari bawah sulit menembus CI dan tetap berada di dalam ABL. Dengan demikian turbulensi membantu pembentukan CIdan CI memerangkap turbulen di dalam ABL (Wallace dan Hobbs 2006).

Stable Boundary Layer (SBL) atau Nocturnal Boundary Layer (NBL) terbentuk di dekat permukaan pada malam hari, proses pembentukannya dengan cara merespon pendinginginan dari permukaan. Di bagian atas, CIyang terbentuk pada siang hari masih tetap ada. SBL dekat permukaan menghasilkan turbulensi yang lemah. Diantara dua SBL terdapat Residual Layer (RL) dengan turbulensi sama dengan nol, merupakan residual panas, kelembaban, dan polutan, dan tempat terjadinya Mixed Layer (ML) pada siang hari (Wallace dan Hobbs 2006).

Gambar 15 juga menunjukkan profil

kelembaban spesifik, μ. Evaporasi dari

(26)

FA kelembaban menurun drastis melalui CI (Wallace dan Hobbs 2006).

Gambar 15 Sketsa profil vertikal suhu (T), suhu potensial (θ), kelembaban spesifik

(μ), dan kecepatan angin (V) pada

siang hari dan malam hari. FA=Free

Atmosfer, EZ=Entrainment Zone, ML=Mixed Layer, SL=Surface Layer, CI=Capping Inversion, RL=Residual Layer, SBL=Stable Boundary Layer,

zi= ketinggian capping inversion,

Vg=angin geostrofik (modifikasi dari: Wallace dan Hobbs 2006)

Pada malam hari, udara lembab sebagian besar berada di tengah dan di bagian atas ABL. Pendinginan permukaan dapat menyebabkan pembentukan embun dan forst yang mengurangi kelembaban di lapisan bawah ABL. Pada kondisi lain, ketika tidak terjadi embun dan forst, kelembaban relatif homogen pada bagian tengah dan bawah ABL (Wallace dan Hobbs 2006).

Profil vertikal suhu dan kelembaban udara di lautan secara diurnal memiliki variasi yang kecil (perubahannya sedikit), ini disebabkan suhu permukaan laut yang sedikit sekali berubah. Perbedaan suhu permukaan laut pada

siang hari dan malam hari kurang dari 0.5˚C.

(Arya 1988).

4.1.2.3 Profil Verikal Kecepatan

Angin

Besar dan arah angin dekat permukaan serta variasinya terhadap ketinggian di ABL memiliki karakter yang unik yaitu turbulensi

yang tidak terdapat pada lapisan-lapisan atmosfer lainnya (Arya 2001).

Gambar 16 Evolusi profil angin di dalam ABL

selama cuaca cerah di dartan

(sumber: Stull 2000)

Di daratan selama cuaca cerah angin mengalami siklus diurnal seperti pada gambar 16. Beberapa jam ssetelah matahari terbit (pukul 09.00 WS) dimana ketebalan ABL masih dangkal (300 m) kecepatan angin relatif homogen terhadap ketinggian dan mendekati nol di dekat permukaan. Pada siang hari, saat ABL lebih tebal, kecepatan angin tetap moderate dekat permukaan dan terus meningkat lebih cepat dengan bertambahnya ketinggian. Setelah matahari terbenam, intensitas turbulensi biasanya berkurang, dan gaya gesek permukaan menghasilkan angin di lapisan bawah. Bagaimanapun, tanpa turbulensi, udara di tengah ABL tidak akan merasakan gaya gesek permukaan dan tidak akan mengalami percepatan. Pada pukul 03.00 WS kecepatan angin di beberapa ratus meter di atas permukaan mendekati kecepatan angin geostrofik, walapun kecepatan angin di permukaan relatif kecil (Stull 2000).

4.1.3 Atmospheric Boundary Layer (ABL)

di Wilayah Lautan

Penutupan awan pada ABL di atas lautan berbeda dengan di daratan, hal ini di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

 Kelembaban relatif udara permukaan yang cenderung lebih tinggi (> 75%).

 Karena RH udara yang lebih tinggi pembentukan awan lebih intensif.

(27)

 Di beberapa daerah, drizzle memiliki peran yang penting dalam keseimbangan panas dan air di ABL.

 Siklus diurnal tidak terlalu penting, dan siklus tersebut di atur oleh faktor fisik yang berbeda .

(Wallace dan Hobbs 2006).

Di daerah daratan tropis yang merupakan dasar inversi angin pasat (~1.500 m) memiliki vertikal transfer yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Midlatitudes termasuk konveksi awan cumulus. Ketika awan terbentuk, Subcloud Layer berperan sebagai CI dan dasar dari Subcloud Layer

dimana θv mulai meningkat terhadap

ketinggian adalah nilai dasar awan, yang menjadi batas atas ABL dan digunakan untuk menentukan ketinggian proses-proses konveksi dibawahnya (LeMone 1978 dalam Kaimal dan Finnigan 1994). Sedangkan untuk wilayah lautan di daerah tropis, gradien suhu cenderung mendekati nilai adiabatik, dan konveksi dibangkitkan oleh panas laten dari fluks kelembaban di permukaan. Namun demikian, CBL di lautan mrnunjukkan kesamaan dengan CBL di daratan pada daerah tropis (LeMone 1978 dalam Kaimal dan Finnigan 1994).

4.2 Profil Vertikal Diurnal

Variabel-Variabel ABL di Tiga Wilayah Kajian pada Tanggal 02 Februari 2010

4.2.1 Bogor

Bogor terletak di antara 106°43’ BT

-106°51’ BT dan 6°30’ LS - 6°41’ LS serta

mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 m, maksimal 350 m, dan pada stasiun pengamatan di Kota Bogor ketinggiannya terletak pada 248 m dpl. Dalam menetukan karakter ABL digunakan profil vertikal variabel-variabel ABL yaitu suhu potensial

virtual (θv), kecepatan angin (M), kecepatan

angin meridional (U), kecepatan angin zonal (V), suhu virtual (Tv), mixing ratio (r), dan parameter stabilitas statis lokal (s) yang digunakan sebagai pembanding parameter stabilitas statis non-lokal (θ).

Profil vertikal variabel-variabel ABL digunakan untuk menganalisa karakter ABL. Ketebalan merupakan salah satu dari karakter ABL, dalam menentukan ketebalan ABL, profil vertikal variabel yang digunakan adalah suhu potensial virtual dan Mixing Ratio. Karakter suhu potensial virtual di Wilayah Bogor pada siang hari lebih homogen pada lapisan ML dan titik CI lebih tinggi

dibandingkan dengan malam hari, pagi hari, atau sore hari. Pola tersebut mengindikasikan bahwa ketebalan ABL paling besar terjadi pada siang hari dan akan menyusut pada waktu peralihan yaitu pagi dan sore hari dan ketebalan ABL paling kecil terjadi pada malam hari. Siang hari suhu udara dekat permukaan mencapai suhu maksimumnya sehingga gaya apung yang terjadi pada siang hari maksimum (konveksi maksimum), selain karena gaya apung faktor lain yang dapat mempengaruhi kehomogenan suhu potensial virtual adalah angin yang membawa udara lebih dingin. Ketika aliran angin yang membawa udara dingin melalui daratan yang lebih panas, menyebabkan terjadinya kondisi unstable, kondisi unstable ini menyebabkan parsel udara terekspansi secara adiabatik sehingga suhu potensial virtual senantiasa konstan hingga titik jenuhnya. Semakin tinggi suhu permukaan semakin kuat gaya apung yang menyebabkan semakin tebal ABL. Hal ini mendukung pernyataan Garrat (1992) tentang ketebalan ABL pada siang hari di musim panas yang mencapai 5.000 m di daerah lintang menengah.

(28)

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 17 Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Bogor. Suhu potensial virtual (a); mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d); kecepatan angin meridional (e); kecepatan angin zonal (f).

Berdasarkan profil vertikal variabel suhu potensial virtual dan Mixing Ratio di Daerah Bogor, ketebalan ABL di Daerah Bogor rata-rata pada malam hari 165 m, nilai ini lebih besar pada siang hari yang mencapai lebih dari 1450 m. Jika dibandingkan dengan ketebalan ABL di daratan pedalaman pada lintang menengah yang berkisar antara 1100-1200 m (Wallace dan Hobbs 2006), ketebalan ABL di Daerah Bogor lebih besar, ini

disebabkan letak topografis dan lama penyinaran matahari.

Profil vertikal kecepatan angin terdiri dari kecepatan angin rata-rata, kecepatan angin zonal, dan kecepatan angin meridional. Untuk Wilayah Bogor, secara vertikal arah angin menyebar secara merata sepanjang hari, tidak ada arah angin dominan, namun pola kecepatan angin naik secara tajam (logaritmik) pada lapisan SL dan turun mendekati kecepatan angin geostrofik seiring dengan meningkatnya profil angin terhadap 298 300 302 304 306 308 310 312

200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200

suhu potensial virtual (K)

k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

290 292 294 296 298 300 302 304 306 308 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200

suhu virtual (K)

k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

-8 -6 -4 -2 0 2 4

200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200

kecepatan angin zonal (m /s)

ke ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

0.01 0.011 0.012 0.013 0.014 0.015 0.016 0.017 0.018 0.019 0.02 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200

m ixing ratio

k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

0 1 2 3 4 5 6 7 8

200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200

kecepatan angin (m /s)

k e ti n g g ia n ( m ) pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4

200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200

kecepatan angin m eridional (m /s)

(29)

ketinggian, hingga mencapai CI. Kecepatan angin di Wilayah Bogor pada malam hari lebih besar dibandingkan pada siang hari, hal ini karena ada pengaruh turbulensi yang kuat pada siang hari, sedangkan pada malam hari pengaruh turbulensi akan menghilang, sehingga aliran angin cenderung laminar dengan kecepatan angin yang relatif lebih kuat dibandingkan siang hari.

Variabel Richardson Number (Ri) yang merupakan rasio antara faktor konveksi (Bouyance Force) dan faktor shear angin menjadi parameter penentu terjadinya turbulensi. Jika ABL dalam kondisi unstable dan Ri < 0, turbulensi sangat kuat. Untuk kondisi stable dan nilai Ri > 0, turbulensi akan menghilang. Berdasarkan penelitian untuk nilai Ri kurang dari 0.25 (faktor shear angin melebihi faktor konveksi) turbulensi cukup intensif di dalam stable layer (Holton 2004).

4.2.2 Karawang

Karawang terletak di bagian Utara Provinsi Jawa Barat dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Secara geografis Kabupaten Karawang terletak antara 107º02`–

107º40` BT dan 5º56’–6º34` LS dengan luas

wilayah 1.737,30 km2. Daerah Karawang sebagian besar merupakan daerah dataran rendah, dan hanya sebagian kecil dataran tinggi yang terletak di bagian selatan. Pada stasiun pengamatan di Kabupaten Karawang ketinggiannya adalah 53 m dpl. Daerah Karawang berbatasan langsung dengan laut (daerah pantai). Pada dasarnya Daerah Karawang adalah daratan, tetapi mendapat pengaruh angin dan konduksi panas dari lautan.

Daerah Karawang adalah daerah dataran rendah yang berbatasan lansung dengan lautan (pantai). Berdasarkan profil vertikal variabel suhu potensial virtual dan mixing ratio di Daerah Karawang, di dapatkan ketebalan ABL di Daerah Karwang rata-rata pada siang hari 1150 m dan pada malam hari 246 m. Garrat (1992) menjelaskan bahwa daerah pantai memilki ketebalan ABL yang lebih kecil dibandingkan dengan ketebalan daratan pada umumnya, kondisi ini disebabkan oleh perbedaan suhu udara dan suhu permukaan daratan dan lautan. perbedaan suhu udara dan suhu permukaan pada daerah ini tergantung pada arah angin bertiup. Perbedaannya besar bila angin bertiup dari arah daratan dan sebaliknya.

Untuk profil vertikal variabel kecepatan angin karakternya sama dengan Daerah Bogor, yaitu memilki kecepatan tinggi dan alirannya relatif laminar pada malam hari dan pada siang hari terjadi turbulensi dengan kecepatan angin relatif kecil dibandingkan malam hari. Walaupun memiliki karakter yang sama dengan daratan, kekuatan kecepatan angin di Daerah Karawang lebih besar dibandingkan dengan Daerah Bogor. Secara diurnal kecepatan angin di Daerah Karawang lebih kuat pada siang hari di bandingkan pada malam hari, ini menunjukkan pengaruh angin laut lebih kuat dibandingkan pengaruh angin darat.

(a) (b)

298 300 302 304 306 308 310 312 0

500 1000 1500 2000 2500

suhu potensial virtual (K)

k

e

ti

n

g

g

ia

n

(

m

)

pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

0.01 0.012 0.014 0.016 0.018 0.02 0.022 0

500 1000 1500 2000 2500

m ixiing ratio

k

e

ti

n

g

g

ia

n

(

m

)

(30)

(c) (d)

[image:30.595.102.512.80.413.2]

(e) (f)

Gambar 18 Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Karawang. Suhu potensial virtual (a); mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d); kecepatan angin meridional (e); kecepatan angin zonal (f).

4.2.3 Pulau Pramuka

Pulau Pramuka merupakan salah satu dari gugusan Kepulauan Seribu yang terletak di Bagian Timur, yang dikelilingi oleh Laut Jawa. Secara geografis Pulau Pramuka

terletak antara 5°44’-5°45’ LS dan 106°36’–

106°37’ BT serta memiliki luas 30,08 ha

dengan ketinggian 1 m dpl. Berdasarkan letak geografisnya tersebut, dapat diasumsikan bahwa karakter ABL di Pulau Pramuka dapat menginterpretasikan karakter ABL untuk wilayah lautan karena kondisi atmosfer Pulau Pramuka mendapat pengaruh yang sangat besar dari lautan. Profil vertikal suhu potensial virtual di Pulau Pramuka pada siang hari mirip dengan profil vertikal suhu potensial di Daerah Bogor dan Karawang pada siang hari. Dari hasil penggambaran profil vertikal suhu potensial di Pulau Pramuka pada siang hari terlihat adanya ML atau stabilitas atmosfer yang merepresentasikan kondisi unstable, tetapi ketebalannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan ketebalan ABL di Daerah Bogor dan Karawang.Ketebalan ABL di Pulau Pramuka ini rata-rata siang hari 433 m dan pada malam hari 40 m. Berdasarkan penelitian JASIN oleh

Businger dan Charnock tahun 1983 di Laut Atlantik Timur Laut batas lapisan stratocumulus yang digunakan sebagai parameter ketebalan ABL adalah 500 m (Garrat 1992). Dengan demikian variabel ABL di Pulau Pramuka dapat mewakili karakter ABL untuk wilayah lautan. Wallace dan Hobbs (2006) menyatakan bahwa karakter ABL di lautan pada siang hari sama dengan karakter ABL pada malam hari di daratan, tetapi ada suatu kondisi khusus dimana karakter di lautan pada siang hari sama dengan daratan pada siang hari. Kondisi tersebut terjadi Bulan Januari dimana pada bulan-bulan tersebut terjadi arus panas di lautan (Kurosio dan Gulf-Stream ) yang meng-ekspansi hingga perairan Indonesia yang menyebabkan perairan di Indonesia lebih hangat, di tambah dengan terjadinya angin pasat yang menuju ekuator dan barat yang membawa udara dingin sehingga menyebabkan perpindahan transport panas antara permukaan laut dan udara yang mengakibatkan kondisi atmosfer menjadi unstable walaupun lemah, sehingga pada kondisi-kondisi seperti ini karakter ABL di lautan sedikit berubah, mengikuti karakter

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

0 500 1000 1500 2000 2500

kecepatan angin (m /s)

k

e

ti

n

g

g

ia

n

(

m

)

pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

290 292 294 296 298 300 302 304 306 308 310 0

500 1000 1500 2000 2500

suhu virtual (K)

k

e

ti

n

g

g

ia

n

(

m

)

pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

-4 -2 0 2 4 6 8 10

0 500 1000 1500 2000 2500

kecepatan angin (m /s)

k

e

ti

n

g

g

ia

n

(

m

)

pukul 01.00 pukul 04.00 pukul 07.00 pukul 10.00 pukul 13.00 pukul 16.00 pukul 19.00 pukul 22.00

-4 -2 0 2 4 6 8 10

0 500 1000 1500 2000 2500

kecepatan angin (m /s)

k

e

ti

n

g

g

ia

n

(

m

)

(31)

ABL di daratan tetapi dengan kondisi yang lebih lemah. Di lautan turbulensi terjadi pada siang hari seperti di daratan, tetapi faktor yang membangkitkan turbulensi di wilayah lautan adalah pemanasan dari bawah awan (konveksi) dan pendinginan dari puncak awan yang bergerak ke bawah (emisi gelombang panjang pada puncak awan), namun kekuatan turbulensi di lautan lebih lemah dibandingkan dengan daratan.

Profil vertikal variabel Mixing Ratio juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi ketebalan ABL, kondisi Mixing Ratio di Pulau Pramuka berbeda dengan daerah Bogor dan Karawang. Kelembabannya sangat tinggi di dekat permukaan, menyebabkan ketinggian CI lebih rendah dibandingkan dengn Daerah Bogor dan Karawang. Kondisi ini sangat memungkinkan terbentuknya awan yang intensif di Pulau Pramuka. Wallace dan Hobbs (2006) menyatakan bahwa kelembaban di lautan sangat tinggi bahkan lebih dari 75%, kondisi ini menyebabkan pembentukan awan diatas lautan lebih intensif dibandingkan dengan di daratan. Karena kelembaban yang tinggi menyebabkan sebagian besar wilayah lautan di naungi oleh awan terutama awan stratus dan awan stratocumulus. Seperti

halnya suhu potensial virtual, ketebalan mixing ratio di Pulau Pramuka lebih kecil dibandingkan dengan daerah Bogor dan Karawang.

Variabel lainnya yang juga mempengaruhi karakter ABL di Pulau Pramuka adalah kecepatan angin. Kecepatan angin di Pulau Pramuka lebih besar dibandingkan dengan Daerah Bogor dan Karawang, karena di Pulau Pramuka penghalang aliran angin lebih sedikit (gaya gesek permukaan lebih kecil) menyebabkan alirannya relatif lebih laminar. Kecepatan angin yang cukup tinggi secara horizontal dan aliran yang relatif laminar dapat membantu distribusi panas pada permukaan lautan. Profil vertikal kecepatan angin di Pulau Pramuka mengalami kenaikan yang tajam pada daerah SL kemudian turun mendekati kecepatan angin geostrofik pada daerah CI. Secara umum semua karakter variabel-variabel ABL di Pulau Pramuka tidak berubah terlalu besar secara diurnal, gaya apung yang lemah menyebabkan ketebalan ABL di Pulau Pramuka lebih kecil dibandingkan Daerah Bogor dan Karawang dan sedikitnya penghalang dalam aliran angin menyebabkan kecepatan angin relatif lebih kuat di Pulau Pram

Gambar

Gambar 18  Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Karawang. Suhu potensial virtual (a);
Gambar 19  Profil vertikal diurnal parameter-parameter ABL Wilayah Pulau Pramuka. Suhu potensial virtual (a); mixing ratio (b); suhu virtual (c); kecepatan angin rata-rata (d)
Tabel 1 Perbandingan karakter ABL secara spasial dan temporal
Tabel 2  Rata-Rata Nilai Ketebalan ABL di Tiga Wilayah Kajian.
+7

Referensi

Dokumen terkait