HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI
DENGAN BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK
(Kasus Sekolah Dasar Negeri 04 Dramaga, Bogor, Jawa Barat)
Oleh : VIORA TORIZA
I34063121
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
This research was conducted in SDN 04 DRAMAGA Bogor, West Java.
Method that was used to determine the respondents was Startified Random Sampling.
Method used to analyze the data is average scores and Structural Equation Modeling (SEM). The average score was used to describe the individual characteristics, sosial environment, psychological factors, exposure to television and cognitive learning in children. SEM was used to determine the relationship between individual characteristics and sosial environment with television exposure and the relationship between sosial environment, psychological factors and exposure to the medium of television with the child’s cognitive learning. In this study, the medium of television exposure in children is high but low cognitive learning. There was a significant relationship (p <0,05) between individual characteristics and sosial environment with television exposure in children. There is also a significant relationship (p <0,05) between sosial environment and exposure to the medium of television with the child's cognitive learning. In reversal, there was not any significant relationship (p <0,05) between the cognitive psychology factors to learning in children.
RINGKASAN
VIORA TORIZA. HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN
BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK (KASUS: SEKOLAH DASAR NEGERI 04
DRAMAGA, BOGOR, JAWA BARAT). DI BAWAH BIMBINGAN
AMIRUDDIN SALEH.
Terpaan media televisi adalah penggunaan media televisi dilihat dari frekuensi
dan durasi penggunaan televisi. Sedangkan istilah kognitif meliputi setiap perilaku
mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi,
pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan. Oleh karena itu belajar kognitif
dapat diartikan sebagai proses untuk mengetahui atau mengelolah dan penggunaan
pengetahuan.
Saat ini televisi merupakan teman terdekat bagi anak-anak. Tingginya waktu
menonton televisi pada anak saat ini bahkan telah melebihi waktu yang anak habiskan
di sekolah. Televisi sendiri memiliki beberapa kelebihan sebagai media pendidikan
daripada media massa yang lain. Salah satunya kelebihan tersebut adalah televisi
memadukan unsur audio dan visual. Kelebihan televisi tersebut membuat program
yang menyangkut hal-hal mengenai pendidikan akan lebih mudah diterima oleh
anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah pengetahuan anak tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis hubungan karakteristik
individu, lingkungan sosial dengan terpaan media televisi. (2) Menganalisis
hubungan lingkungan sosial, faktor psikologi, dan terpaan media dengan belajar
kognitif
Variabel yang mempengaruhi terpaan media televisi antara lain adalah
karakteristik individu. Karakteristik individu ini sendiri meliputi usia, uang saku dan
waktu luang. Di samping karakteristik individu juga terdapat variabel lain yang
mempengaruhi terpaan media televisi yaitu lingkungan sosial. Adapun indikator
variabel lingkungan sosial antara lain adalah sekolah (guru dan teman sekolah),
tetangga dan teman sepermainan serta keluarga. Faktor lingkungan sosial ini juga
lingkungan sosial variabel lain yang mempengaruhi belajar kognitif anak Sekolah
Dasar adalah faktor psikologi meliputi sikap, bakat, minat dan motivasi.
Penelitian ini dilaksanakan di SDN04 Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penentuan
lokasi penelitian dilakukan secara secara sengaja (purposive) didasarkan
pertimbangan bahwa SDN04 Dramaga merupakan salah satu Sekolah Dasar yang ada
di daerah lingkar kampus. Penelitian dilakukan selama tiga bulan yaitu Juli-
September 2009.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung oleh data
kualitatif (field notes). Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan
metode survei, dengan teknik wawancara terstuktur. Populasi penelitian adalah siswa
SDN04 Dramaga, Bogor yang berjumlah 665 orang sedangkan jumlah responden
yang diambil berjumlah 70 orang. Responden dipilih dengan menggunakan teknik
penarikan sampel stratified random sampling dan dipilih siswa kelas IV, V dan VI.
Pemilihan kelas ini mempertimbangkan bahwa anak pada tingkatan kelas tersebut
anak telah memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik sehingga lebih
mampu memahami pertanyaan/ pernyataan. Selain itu, anak pada tingkat kelas
tersebut lebih dapat menyatakan keinginan atau pendapatnya sehingga dapat
menjawab pertanyaan/ pernyataan yang diajukan. Kemudian setiap kelas diambil
masing-masing 20 persen. Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik
deskriptif, berupa frekuensi, persentase, media, rataan skor; dan analisis statistik
inferensial, berupa uji hubungan Stuctural Equation Modeling (SEM).
Hasil penelitian menunjukan terpaan media televisi pada anak cukup tinggi
namun belajar kognitifnya rendah. Anak-anak umunya menonton televisi lebih dari
lima jam perharinya melebihi waktu yang mereka habiskan di sekolah. Rendahnya
belajar kognitif pada anak disebabkan karena pada usia Sekolah Dasar, anak
cenderung menonton televisi bukan untuk memenuhi kebutuhan kognitifnya namun
hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan.
Terdapat hubungan signifikan (p<0,05) antara karakteristik individu dan
lingkungan sosial dengan terpaan media televisi pada anak. Semakin tinggi usia anak
kebutuhan kognitifnya. Rendahnya uang jajan menyebabkan tingginya terpaan media
televisi pada anak. Jika dilihat dari faktor lingkungan semakin tinggi peran orang tua/
keluarga, sekolah dan teman sekolah serta tetangga dan teman sepermainan
mendukung untuk menonton acara/program tertentu maka semakin tinggi pula
terpaan media televisi yang terjadi pada anak.
Terdapat juga hubungan yang signifikan (p<0,05) antara lingkungan sosial
dan terpaan media televisi dengan belajar kognitif pada anak. Semakin lingkungan
sosial (orang tua/keluarga, sekolah dan teman sekolah serta tetangga dan teman
sepermainan) mendukung untuk belajar kognitif maka semakin rendah belajar
kognitif tersebut. Terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi belajar kognitif
sepeti faktor kesehatan. Tinggi terpaan media televisi pada anak juga menyebabkan
rendahnya belajar kognitif pada anak. Hal ini dikarenakan pada anak SD umumnya
motivasi menonton televisi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan
semata dan mengabaikan pemenuhan kebutuhan kognitif. Namun terdapat hubungan
yang tidak signifikan (p<0,05) antara faktor psikologi dengan belajar kognitif pada
anak. Dengan kata lain tidak ada hubungan antara faktor psikologi dan belajar
kognitif.
HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK (KASUS SDN 04 DRAMAGA, BOGOR, JAWA BARAT)
Oleh: Viora Toriza
I34063121
SKRIPSI
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
LEMBAR PENGESAHAN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh:
Nama : Viora Toriza
Nomor Pokok : I34063121
Judul : Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Belajar Kognitif pada
Anak (Kasus SDN 04 Dramaga, Bogor Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr.Ir. Amiruddin Saleh, MS NIP. 19611113 198811 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adi Wibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN BELAJAR
KOGNITIF PADA ANAK (KASUS SEKOLAH DASAR NEGERI 04
DRAMAGA BOGOR )” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN
TINGI ATAU LEMBAGA LAIN. MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN.
Bogor, Februari 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Viora Toriza. Penulis dilahirkan di Lahat,
Sumatera Selatan pada tanggal 15 Januari 1989. Penulis merupakan anak pertama
dari tiga bersaudara dari Bapak Candra Hutapri, SH dan Ibu Nirwana, S.Pd. Penulis
menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Santo Yosef Lahat
(1993-1994), Sekolah Dasar (SD) Santo Yosef Lahat (1994-2000), Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Santo Yosef Lahat (2000-2003) dan Sekolah Menengah Umum
(SMU) di SMU Santo Yosef Lahat (2003-2006). Kemudian pada tahun 2006, penulis
diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI)
Selama di kampus, penulis juga tergabung dalam Organisasi Mahasiswa
Daerah Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya (OMDA IKAMUSI) sebagai anggota
divisi internal OMDA IKAMUSI pada tahun 2007. Selain itu penulis juga pernah
aktif sebagai asisten praktikum Mata Kuliah Sosiologi Umum (2008-2009) dan
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmatNya,
skripsi yang berjudul “HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN
BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK (KASUS SEKOLAH DASAR NEGERI 04
DRAMAGA BOGOR, JAWA BARAT)” ini dapat diselesaikan sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.
Besarnya waktu yang dihabiskan anak terutama pada usia Sekolah Dasar
untuk menonton televisi melebihi waktu yang anak habiskan di sekolah. Televisi
telah diibaratkan sebagai kotak saingan bagi sekolah. Televisi memiliki beberapa
keunggulan untuk dijadikan sebagai media pendidikan. Salah satunya kelebihan
tersebut adalah televisi memadukan unsur audio dan visual. Kelebihan televisi
tersebut membuat program yang menyangkut hal-hal mengenai pendidikan akan
lebih mudah diterima oleh anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah
pengetahuan (kognitif) anak tersebut. Oleh karena itulah menarik untuk melihat
keterkaitan terpaan media televisi dengan belajar kognitif pada anak itu sendiri.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun penulis dalam
penulisan karya ilmiah ke depan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi khalayak
banyak.
Bogor, Februari 2010
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu media massa elektronik yang paling digemari saat ini adalah televisi.
Di zaman sekarang ini televisi bukanlah barang yang langka dan hanya dimiliki oleh
kalangan tertentu saja. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir semua orang memiliki
televisi. Bahkan saat ini televisi telah menjangkau lebih dari 90 persen penduduk di
negara berkembang. Televisi yang dulu mungkin hanya menjadi konsumsi kalangan
dan umur tertentu saja, saat ini telah dapat dinikmati dan sangat mudah dijangkau
oleh semua kalangan tanpa batas usia.1
Dwikurnia (2008) menyatakan bahwa televisi dapat diartikan sebagai sebuah
alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata “tele” dan “vision”
yang mempunyai arti masing-masing. ”Tele” berarti jauh dan “vision” berarti
tampak. Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan
televisi itu sendiri dapat disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini
dapat merubah peradaban dunia. Televisi selalu indentik dengan kata siaran televisi,
dimana menurut Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia Nomor:
54/B KEP/MENPEN/1971 tentang Penyelenggaraan Siaran Televisi di Indonesia,
siaran televisi berarti siaran-siaran dalam bentuk gambar dan suara yang dapat
ditangkap (dilihat dan didengarkan) oleh umum baik dengan sistem pemancaran
dalam gelombang-gelombang elektromagnetik maupun lewat kabel-kabel.
Selain sebagai sarana hiburan, televisi juga merupakan sarana informasi dan
ilmu pengetahuan. Televisi dapat mengerutkan dunia dan melaksanakan penyebaran
berita dan gagasan dengan cepat. Adanya media televisi dunia, kelihatan semakin
kecil. Masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk memperoleh informasi yang
lebih baik tentang apa yang terjadi di dunia. Berita-berita aktual dapat langsung
1
Dwikurnia. Teknologi Televisi.
disebarkan ke berbagai pelosok dunia secara langsung. Gempa bumi, penyakit
menular, kriminalitas, peristiwa olahraga terkini yang terjadi di belahan dunia dapat
disaksikan bersama-sama oleh berjuta-juta orang. Selain itu televisi juga selalu
menayangkan informasi-informasi yang akurat tentang pendidikan dan ilmu
pengetahuan.
Thamrin (2008) menyatakan bahwa siaran-siaran televisi akan memanjakan
orang-orang pada saat-saat luang seperti saat liburan, sehabis bekerja bahkan dalam
suasana sedang bekerjapun orang-orang masih menyempatkan diri untuk menonton
televisi. Suguhan acara yang variatif dan menarik membuat orang tersanjung untuk
meluangkan waktunya duduk di depan televisi. Bahkan suguhan program-program
acara yang variatif dan menarik telah menjadikan televisi sebagai salah satu sahabat
terdekat bagi keluarga terutama anak.
Sebagian besar anak-anak merasa lebih nyaman duduk di depan televisi
ketimbang bermain di luar rumah. Seorang anak dapat menghabiskan tiga sampai
empat jam perharinya untuk duduk menonton televisi, tapi tak sedikit anak yang
menonton televisi lima sampai enam jam perhari bahkan lebih pada hari-hari tertentu,
seperti Sabtu dan Minggu.2
Hal ini diperkuat dengan survei termutakhir UNICEF pada 2007(Thamrin,
2008). Hasil survei ini bak dering jam weker yang pantas membuat orangtua awas.
Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa, para bocah di Indonesia terpekur rata-rata lima
jam sehari di depan layar kaca atau total jenderal 1.560 hingga 1.820 jam setahun.
Angka ini, menurut UNICEF, jauh lebih gemuk ketimbang jumlah belajar mereka
yang 1.000 jam setahun di sekolah. Maka jadilah kotak televisi sekolah tandingan
bagi anak-anak ini. Padahal Thamrin (2008) menyatakan bahwa seharusnya anak usia
lima tahun hanya menonton televisi selama 1,5 jam per hari atau paling lama dua jam
per hari. Itu juga tidak terus-menerus, dibagi-bagi, misalnya satu jam setelah pulang
2
Sabda Hidup,Pengaruh Televisi dan Film, http:// www.tftwindo. org / livingwords
sekolah, dan satu jam lagi setelah mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) di malam
hari.
Hidup (2008) menyebutkan bahwa lebih dari setengah anak-anak di Amerika
Serikat mempunyai televisi di kamar mereka. Usia remaja paling banyak menonton
televisi di kamar dan hampir sepertiga anak-anak pra sekolah memiliki televisi di
kamar mereka dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton televisi.
Disebutkan juga adanya beberapa orang siswa sebuah sekolah yang bergantian bolos
dari sekolah demi menonton sebuah tayangan opera sabun di televisi. Di Indonesia
mungkin tidak sampai menjangkau persentase sebesar ini namun pengaruh televisi
juga telah banyak membentuk pola pikir dari anak-anak Indonesia.3 Lebih lanjut
dijelaskan bahwa:
“Dari pada rewel, daripada main di luar, menjadi beberapa alasan para orang tua membiarkan anak-anaknya berjam-jam duduk menonton televisi. Tapi tanpa kita sadari bahwa hal tersebut akan menyebabkan “kecanduan’’ pada anak. Meski televisi adalah hiburan, namun menonton televisi secara
berlebihan menyimpan bahaya yang besar...”4
Dapat dikatakan bahwa televisi sedikitnya telah banyak mempengaruhi pola
perilaku anak-anak, salah satunya adalah mempengaruhi perilaku belajar anak, salah
satunya dalam hal kognitif. Perilaku anak menonton televisi kadang sangat menyita
waktu mereka, membuat mereka lupa beraktivitas, dan pada akhirnya menghancurkan
gairah belajar mereka. Anak-anak memiliki perilaku untuk menunda tugas-tugas
sekolah mereka demi menonton sebuah film yang mereka tunggu.
Namun selain itu, televisi juga membawa dampak lain terhadap perilaku belajar
kognitif. Salah satunya kelebihan televisi adalah memadukan unsur audio dan visual.
Dewasa ini pun stasiun-stasiun televisi pun berlomba untuk mengemas acara tersebut
semenarik mungkin, ilustratif, ringan dan tanpa membutuhkan pemikiran yang sulit,
sehingga anak-anak mudah untuk menangkap pesan yang ingin disampaikan.
Kelebihan televisi tersebut membuat program yang menyangkut hal-hal mengenai
3
ibid
4
pendidikan akan lebih mudah diterima oleh anak-anak sehingga pada akhirnya akan
menambah pengetahuan anak tersebut. Program “televisi pendidikan anak’’ yang
menayangkan pengetahuan-pengetahuan atau pelajaran-pelajaran sekolah dapat
menimbulkan rasa ingin tahu para anak yang pada akhirnya akan meningkatkan
motivasi belajar anak.
Faktor karakteristik individu dan lingkungan sosial ternyata mempengaruhi
terpaan media televisi pada anak-anak. Karakteristik individu seperti jenis kelamin,
umur dan kepribadian mempengaruhi terpaan media pada anak-anak Sekolah Dasar.
Begitu pula dengan lingkungan sosial peran orang tua dalam hal pendidikan anak
sudah seharusnya berada pada urutan pertama, orang tualah yang paling mengerti
benar akan karakter/sifat-sifat baik dan buruk anak-anaknya, apa saja yang mereka
sukai dan apa saja yang mereka tidak sukai. Sedangkan faktor lingkungan sosial lain
seperti teman juga mempengaruhi terpaan media televisi terhadap anak.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan utama yang diangkat dalam
penelitian adalah apakah terpaan media televisi mempengaruhi perilaku belajar
kognitif anak sekolah. Permasalahan ini cukup penting untuk diteliti, melihat terpaan
media televisi yang cukup besar pada anak-anak sekolah dewasa ini. Selain itu faktor
karakteristik individu dan lingkungan sosial mempengaruhi terpaan media televisi
tersebut. Oleh karena itu, perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Sejauhmana hubungan karakteristik individu, lingkungan sosial dengan terpaan
media televisi?
2. Sejauh mana hubungan lingkungan sosial, faktor psikologi, dan terpaan media
televisi dengan belajar kognitif?
1.3. Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan utama yang ingin dicapai dalam
belajar kognitif anak sekolah. Terpaan media dan perilaku belajar kognitif anak
tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakteristik anak itu sendiri, faktor psikologi dan
lingkungan sosial anak. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Menganalisis hubungan karakteristik individu, lingkungan sosial dengan terpaan
media televisi.
2. Menganalisis hubungan lingkungan sosial, faktor psikologi, dan terpaan media
dengan belajar kognitif.
1.4. Kegunaan
Masalah terpaan media televisi terutama bagi anak-anak usia sekolah, dewasa
ini merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi banyak pihak baik oleh
keluarga, akademisi dan pemerintah. Oleh karena itu, penelitian ini, diharapkan dapat
berguna bagi:
1. Akademik
Penelitian berjudul “Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Belajar Kognitif
pada Anak” ini dapat digunakan oleh mahasiswa untuk memahami hubungan
terpaan media televisi dan perilaku belajar kognitif khususnya pada anak SD serta
hubungan karakteristik individu dan lingkungan sosial dengan terpaan media
televisi dan hubungan faktor lingkungan sosial, faktor psikologi dan terpaan media
televisi dengan perilaku belajar kognitif pada anak.
2. Pemerintah
Dewasa ini sebagian besar waktu anak dihabiskan dengan menonton televisi. Hal
ini diikuti pula dengan peluang televisi untuk menjadi media pembelajaran.
Melihat hal tersebut, maka penelitian dapat menjadi masukan bagi pemerintah
dalam menentukan kebijakan mengenai pertelevisian agar program-program yang
ditayangkan stasiun-stasiun televisi dapat lebih baik dan mendukung belajar
3. Masyarakat
Bagi masyarakat, penelitian dapat juga dijadikan masukan dalam mengontrol
perilaku menonton televisi anak Sekolah Dasar secara berlebihan yang dilakukan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Televisi
2.1.1 Sejarah dan Perkembangan Televisi
Istanto (1995) menyatakan sejarah perkembangan televisi diawali pada tahun
1884, seorang mahasiswa di Berlin menciptakan sebuah alat yang merupakan
cikal-bakal pesawat televisi. Namun prinsip-prinsip televisi ini tidak dapat dilepaskan dari
penemuan teknologi radio. Pada tahun itu pula penemuan Paul Nipkow itu
dipatenkan. Istanto (1995) juga menyatakan bahwa Nipkow bercita-cita menciptakan
prinsip-prinsip pembentukan gambar yang kemudian dikenal sebagai jantra Nipkow.
Gagasan awal televisi adalah transmisi elektrik dari elemen gambar dan suara secara
simultan. Dane pada tahun 1802 menemukan teknologi radio yang berprinsip bahwa
pesan dapat dikirim melalui kawat beraliran listrik dalam jarak pendek. Kemudian
James Maxwell menemukan prinsip baru untuk mewujudkan gelombang
elektromagnetis yaitu gelombang yang digunakan televisi tahun 1965. Gerakan
magnetis dapat mengarungi ruang angkasa dengan kecepatan yang sama dengan
kecepatan cahaya. Penemuan Maxwell ini kemudian dikembangkan oleh Guglemo
Marconi. Pada tahun 1875 George Carey di Boston mengembangkan gambar televisi.
Namun penayangan elemen-elemen gambar dengan cepat garis demi garis, frame
demi frame ditampilkan oleh WE Sawyer dari Amerika dan Maurice Leblanc dari
Perancis pada tahun 1880.
Istanto (1995) menyebutkan bahwa gelar Bapak pertelevisian dunia jatuh pada
Paul Nipkow yang mempatenkan ciptaannya pada tahun 1884. Sedangkan John Lugie
Baird menemukan dasar-dasar bagi televisi berwarna yang kemudian berhasil pula
menciptakan prinsip-prinsip bagi pengembangan teknik gambar hidup atau bioskop.
Menyusul kemudian Ernst FW Alexander dari General Electric New York yang pada
tanggal 11 September 1928 berhasil menayangkan drama televisi untuk pertama
kalinya di Amerika Serikat. Seorang ahli berkebangsaan Rusia yang hijrah ke
Amerika Serikat, Vladimir K.Zworykin pada tahun 1923 merancang tabung kamera
penemuan ini dilanjutkan dengan mempatenkan televisi elektronis berwarna pada
tahun 1925. Ciptaannya ini didemonstrasikan di New York World’s Fair pada tahun
1939.
Siaran televisi pertama di Indonesia ditayangkan pada tanggal 17 Agustus 1962
bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke XVII.
Siaran tersebut berlangsung mulai pukul 07.30 sampai pukul 11.02 waktu Indonesia
bagian barat untuk meliput upacara peringatan hari Proklamasi di Istana Negara.
Inilah momentum dimana Indonesia mengukuhkan diri sebagai Negara Asia ke empat
yang memiliki media penyiaran televisi setelah Jepang, Philipina dan Thailand.
(Subidyo,2004)
Subidyo (2004) menyatakan pula liputan perdana TVRI adalah upacara
pembukaan Asian Games ke IV di Stadion Utama Senayan Jakarta. Liputan pertama
TVRI ini dikoordinir oleh Organizing Comitte Asian Games IV yang dibentuk khusus
untuk event olahraga itu, di bawah naungan Biro Radio dan Televisi Departemen
Penerangan. Pada tanggal 12 November 1962, TVRI mengudara secara regular setiap
hari. TVRI pertama kali menayangkan iklan 1 Maret 1963, seiring ditetapkannya
TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui keputusan Presiden RI
Nomor 215 tahun 1963. Saat ini siaran telah dapat menjangkau hampir semua
provinsi di seluruh Indonesia berkat pemanfaatan satelit Palapa bahkan mampu pula
menjangkau wilayah Asean. Munculnya TVRI kemudian disusul pula dengan
munculnya stasiun-stasiun televisi swasta lainnya.
2.1.2 Isi dan Fungsi Televisi
Menurut Siregar (2001) dalam Testiandini (2006), isi siaran televisi dibagi
menjadi dua yaitu:
1. Faktual, berasal dari empiris/sosiologis dan bersifat objektif. Materi dari faktual
ada yang bersifat keras yang terikat dengan aktualitas, serta bersifat lunak yang
lebih menekankan nilai human interest. Fungsi primer dari materi faktual adalah
sosial (informasional). Walaupun terdapat juga fungsi hiburannya namun hanya
2. Fiksional berasal dari dunia humanities psychology dan bersifat subjektif. Fungsi
primer dari materi fiksional adalah psikologi (menghibur). Materi fiksional juga
memiliki fungsi informasional namun hanya bersifat sekunder.
Menurut Hoffman (1999) dalam Testiandini (2006), fungsi televisi dalam
masyarakat tidak dilihat lagi sebagai sarana pendidikan dan juga tidak seharusnya
menjadi sarana promosi perdagangan. Adapun fungsi televisi adalah:
1. Pengawasan situasi masyarakat dan dunia, bisa juga disebut sebagai fungsi
informasi, namun istilah ini tidak digunakan karena dikhawatirkan menimbulkan
salah paham seakan-akan televisi adalah sarana penerangan bagi penguasa kepada
masyarakat. Fungsi televisi sebenarnya adalah mengamati kejadian yang terjadi
dalam masyarakat kemudian melaporkan sesuai dengan kenyataan yang
ditemukan.
2. Menghubungkan satu dengan yang lain, televisi dapat saja menghubungkan hasil
pengawasan satu dengan hasil pengawasan lain secara lebih gamplang daripada
sebuah dokumen tertulis. Dengan demikian televisi dapat berfungsi sesuai dengan
kepentingan masyarakat dan dapat membuka mata pemirsa.
3. Menyalurkan kebudayaan, sebenarnya fungsi ini dapat disebutkan sebagai fungsi
pendidikan. Namun istilah “pendidikan” tidak digunakan karena di dalam
kebudayaan audiovisual tidak ada kurikulum.
4. Hiburan, fungsi ini memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena kalau tidak
menghibur umumnya sebuah tayangan tidak akan ditonton. Namun hiburan bukan
berarti hiburan semata tanpa ada sesuatu yang dapat diambil pelajaran dari suatu
program.
5. Pengarahan masyarakat untuk bertindak dalam keadaan darurat , televisi harus
proaktif dalam memberi motivasi.
2.2 Terpaan Media Televisi
Menurut Sari (1993) dalam Testiandini (2006), terpaan media (media exposure)
adalah upaya untuk mencari data khalayak mengenai penggunaan media baik jenis
dalam Testiandini (2006) juga menambahkan bahwa frekuensi penggunaan media
merupakan pengumpulan data khalayak tentang berapa kali (hari) seseorang
menggunakan televisi dalam satu minggu. (untuk meneliti program harian), berapa
kali (minggu) seseorang menggunakan media dalam satu bulan (untuk program
mingguan dan tengah bulan) serta berapa kali (bulan) seseorang menggunakan media
dalam satu tahun.
Sebagian besar anak-anak merasa lebih nyaman duduk di depan televisi
ketimbang bermain di luar rumah. Seorang anak dapat menghabiskan tiga sampai
empat jam perharinya untuk duduk menonton televisi, tapi tak sedikit anak yang
menonton televisi lima sampai enam jam perhari bahkan lebih pada hari-hari tertentu,
seperti Sabtu dan Mingg (Hidup, 2008).
Hasil survei ini bak dering jam weker yang pantas membuat orangtua awas.
Data Perserikatan Bangsa Bangsa (Thamrin, 2008) menyatakan bahwa para bocah di
Indonesia terpekur rata-rata lima jam sehari di depan layar kaca atau total jenderal
1.560 hingga 1.820 jam setahun. Angka ini, menurut UNICEF, jauh lebih gemuk
ketimbang jumlah belajar mereka yang 1.000 jam setahun di sekolah. Maka jadilah
kotak televisi sekolah tandingan bagi anak-anak ini. Padahal Thamrin (2008)
menyatakan bahwa seharusnya anak usia lima tahun hanya menonton televisi selama
1,5 jam per hari atau paling lama dua jam per hari. Itu juga tidak terus-menerus,
dibagi-bagi, misalnya satu jam setelah pulang sekolah, dan satu jam lagi setelah
mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) di malam hari.
Survei lain yang dilakukan menyebutkan bahwa lebih dari setengah anak-anak
di Amerika Serikat mempunyai televisi di kamar mereka. Usia remaja paling banyak
menonton televisi di kamar dan hampir sepertiga anak-anak pra sekolah memiliki
televisi di kamar mereka dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton
televisi. Disebutkan juga adanya beberapa orang siswa sebuah sekolah yang
bergantian bolos dari sekolah demi menonton sebuah tayangan opera sabun di
televisi. Di Indonesia mungkin tidak sampai menjangkau persentase sebesar ini
namun pengaruh televisi juga telah banyak membentuk pola pikir dari anak-anak
Isnaini (2006) menyebutkan bahwa Yayasan Pengembangan Media Anak
menyatakan penelitiannya pada 2002 yang menunjukkan bahwa jam menonton
televisi pada anak Indonesia mencapai 30-35 jam/ minggu atau 1560-1820/ tahun.
Hal ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di Sekolah Dasar yang tidak sampai
1000 jam/ tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa televisi telah menjadi guru yang
menawan di luar kelas, menjadi saingan guru sesungguhnya di dalam kelas atau
pendidikan dalam keluarga.
Hal ini diperkuat oleh Vera (2007) yang menyatakan bahwa:
“Tidak dapat dipungkiri peran televisi saat ini semakin besar saja. Peranannya sebagai media komunikasi visual sangat luar biasa dibandingkan media-masa yang lain. Temuan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia tahun 1996 yang dilansir majalah [aikon!] media alternatif menyebutkan bahwa anak-anak Indonesia (usia 6-15 tahun) harus menyisihkan waktu 22-26 jam per minggu untuk menonton televisi. Bahkan anak Amerika sejak usia delapan belas bulan sudah secara mendalam dikonfrontasikan pada medium televisi. Pada akhir humaniora-nya jumlah jam menonton televisi dari anak-anak muda Amerika mencapai 16.000 jam. Ketika usia mencapai 20 tahun secara total hampir
mencapai juta reclamesport atau mencapai rata-rata 1000 per pekan)”
Padahal, Thamrin (2008) mengungkapkan penilaian terhadap kualitas program
acara televisi secara umum dan diperoleh hasil 0,5 persen menyatakan sangat baik,
27,2 persen menyatakan baik, 41,9 persen menyatakan biasa saja, 24,6 persen
menyatakan buruk, 4,2 persen menyatakan sangat buruk, dan 1,6 persen menyatakan
tidak tahu. Selain itu dikatakan pula bahwa 80,1 persen responden menyatakan bahwa
tayangan hiburan di televisi justru tidak ramah anak alias berbahaya jika ditonton
oleh anak-anak, 68,6 persen responden menyatakan tayangan hiburan di televisi
buruk dan sangat buruk dalam memberi model perilaku yang baik kepada
pemirsanya, 50,8 persen responden menyatakan bahwa program hiburan di televisi
amat buruk dalam meningkatkan empati sosial, yakni memberi kesadaran untuk
peduli terhadap orang lain dan 70,7 persen responden menyebut program hiburan di
televisi menunjukkan kualitas buruk dalam mengangkat tema yang relevan dalam
2.3. Belajar pada Anak
Biggs (1991) dalam Syah (2003) mendefinisikan belajar dalam tiga macam
rumusan yaitu: rumusan kuantitatif, rumusan institusional, dan rumusan kualitatif.
Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau
pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi belajar
dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai siswa.
Syah (2003) menyebutkan secara kuantitatif (tinjauan kelembagaan), belajar
dipandang sebagai proses validitas (pengabsahan) terhadap penguasaan siswa atas
materi-materi yang telah ia pelajari. Ukurannya ialah semakin baik mutu mengajar
yang dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang
kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai.
Adapun pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) adalah proses
memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia
di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya
pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini
dan nanti dihadapi siswa (Syah, 2003)
2.4 Belajar Kognitif pada Anak
Istilah cognitive berasal dari kata cognition berarti mengetahui. Dalam arti yang
luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan
(Neisser dalam Syah, 2003). Dalam perkembangan selajutnya, istilah kognitif
menjadi popular sebagai salah satu domain atau wilayah ranah psikologi manusia
yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan
keyakinan.
Menurut Syah (2003) ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang perlu
dikembangkan segera, khususnya oleh guru yaitu:
1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran.
2. Strategi meyakinkan arti penting isi materi pelajaran dan aplikasi serta menyerap
Menurut Syah (2003), belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi
kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh
interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal
dari lingkungan.
Syah (2003) menyatakan implikasi teori perkembangan kognitif dalam
pembelajaran adalah:
a. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan
sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-temannya.
2.5 Hubungan Karakteristik Individu, Faktor Psikologi dan Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi dan Belajar Kognitif Anak
2.5.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Terpaan Media Televisi
Testiandini (2006) menyatakan perbedaan pola dan pengaruh menonton televisi
berdasarkan perbedaan karakteristrik individu. Perbedaan pola dan pengaruh
menonton televisi berdasarkan karakteristik individu adalah sebagai berikut.
1. Jenis kelamin
Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006), responden laki-laki menunjukkan
motivasi yang rendah untuk memenuhi kebutuhan kognitifnya dari menonton
televisi. Sebaliknya responden wanita menunjukkan motivasi yang sangat tinggi
Purwanto (1998) dalam Testiandini (2006) menyatakan bahwa laki-laki lebih
menyukai menonton televisi seperti kuis, acara olahraga dan film aksi, sedangkan
perempuan lebih menyukai menonton sinetron, telenovela, infortainment.
2. Usia
Hasil penelitian Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006), menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang cukup berarti antara karakteristik individu responden
dengan motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Semakin
rendah usia responden maka semakin semakin rendah pula motivasi menonton
televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Sejalan dengan Kuswanto, hasil
penelitian Bajari (1995) dalam Testiandini (2006), juga menunjukkan bahwa
semakin tua usia ternyata responden semakin lebih banyak mencurahkan waktu
untuk melakukan kontak dengan media massa.
3. Uang saku
Hasil penelitian Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006) menunjukkan bahwa
semakin rendah tingkat ekonomi ternyata tingkat motivasi untuk memenuhi
kebutuhan kognitif dari belajar akan berkurang. Namun hal berbeda disampaikan
oleh Bajari (1995) dalam Testiandini (2006). Bajjari menunjukkan bahwa semakin
tinggi penghasilan ternyata semakin menyisihkan televisi karena kesenangan non
media yang lebih luas.
4. Tipe kepribadian.
Tipe kepribadian mempengaruhi selera dalam memilih suatu jenis acara. Selain itu
tipe kepribadian diperkirakan juga akan mempengaruhi respons dan efek yang
akan dirasakan setelah mengakses media massa (Testiandini 2006)
5. Pendidikan
Hasil penelitian Bajari (1995) dalam Testiandini (2006), menunjukkan bahwa
pendidikan dan tanggung jawab pekerja professional yang lebih tinggi dapat
mengakibatkan pilihan acara yang berbeda. Selain itu disebutkan pula bahwa
semakin tinggi pendididkan responden maka kebutuhan untuk memperoleh
6. Waktu luang
Waktu luang orang yang pekerjaannya banyak bisa diduga cenderung akan
menggunakan waktu kosongnya untuk beristirahat daripada menonton televisi.
Sedangkan orang yang waktu kerjanya lebih sedikit mungkin lebih banyak
meluangkan waktunya untuk menonton televisi (Testiandini 2006)
2.5.2 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi pada Anak
Lingkungan sosial seperti lingkungan keluarga dan teman-teman memiliki
hubungan nyata dengan terpaan media televisi pada anak. Ketika menonton televisi,
biasanya anak didampingi oleh orang tua atau keluarga. Maka dapat dikatakan bahwa
semakin sering suatu keluarga menonton televisi maka semakin sering pula anak
menonton televisi dan sebaliknya semakin jarang suatu keluarga menonton televisi,
maka semakin jarang pula seorang anak menonton televisi. Selain itu orang tua juga
berperan dalam mengawasi anaknya dalam menonton televisi (Testiandini 2006).
Tasmin (2002) menyatakan bahwa perilaku orang tua dalam mengawasi pola
menonton televisi pada anaknya antara lain, yaitu:
1. Mendampingi anak ketika menonton televisi dan memberi penjelasan.
Hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian dan
mendampingi anak ketika menonton televisi. Jika anak bertanya jawablah
pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak. Banyak
hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang
memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari
orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya salah atau benar,
anak mungkin tidak tahu. Di sini tugas orang tua untuk selalu memberi pengertian
kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang
diterapkan orang tua juga bisa teratasi kalau orang tua memberi penjelasan kepada
anak.
2. Bersama dengan anak membuat jadwal kegiatan.
Anak juga perlu diajarkan bahwa ada waktu tersendiri untuk setiap kegiatan. Atur
Walaupun anak sudah relaks dengan menonton televisi, anak tetap butuh waktu
untuk bermain. Televisi mengkondisikan anak menjadi pasif, hanya menerima dan
menyerap informasi dengan posisi tubuh yang juga pasif. Oleh karenanya anak
tetap butuh waktu untuk bermain (terutama bermain dengan anak lain) supaya
mereka tetap aktif dan mampu bersosialisasi.
3. Menyeleksi program tayangan televisi yang cocok untuk anak.
Jika tidak sempat mendampingi anak. Orang tua sebaiknya menyeleksi tayangan
televisi mana yang cocok untuk anak. Sebelum anak diizinkan untuk menonton
program tersebut, orang tua telah mengetahui apakah program tersebut cocok atau
tidak untuk anak.
4. Membangun kerjasama dengan seluruh anggota keluarga.
Bangunlah kerjasama dengan seluruh anggota keluarga, karena kerjasama dari
seluruh anggota keluarga (termasuk pengasuh) sangat diperlukan. Pastikan bahwa
seluruh keluarga memiliki pengertian yang sama mengenai anak dan masalah
televisi tersebut.
5. Konsistensi dalam bertindak.
Orang tua atau pengasuh selalu bertindak secara konsisten dan tidak bosan-bosan
dalam memberikan pengertian kepada anak, sehingga anak tahu dengan jelas mana
yang boleh mana yang tidak, mana yang baik mana yang buruk.
Kurniasih (2006) menyatakan bahwa lingkungan sosial yang juga berhubungan
nyata dengan perilaku menonton televisi adalah lingkungan teman. Lingkungan
teman dapat menyebabkan seseorang untuk tertarik menonton tayangan tertentu,
dimana teman sering menonton, mengajak dan menceritakan kembali jalan cerita
tayangan tersebut.
2.5.3 Hubungan Faktor Psikologi dengan Belajar Kognitif pada Anak
Syah (2003) menyatakan bahwa karakteristik individu yang mempengaruhi
1. Aspek Fisiologi
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat
kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat
dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ yang lemah,
apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya dapat menurunkan kualitas ranah
cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak
berbekas.
2. Aspek Psikologi
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologi yang dianggap mempengaruhi
perilaku belajar, namun faktor –faktor yang dianggap lebih esensial adalah:
a. Intelegensi siswa
Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik
untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan
cara yang tepat. Tingkat kecerdasan atau intelegensi siswa tidak dapat
diragukan lagi sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini
bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin
besar peluangnya untuk meraih sukses.
b. Sikap siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afeksi berupa kecenderungan
untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap terhadap objek
orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap
positif, terutama terhadap mata pelajaran merupakan awal yang baik bagi
proses belajar siswa tersebut.
c. Bakat siswa
Dalam perkembangannya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu untuk
melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan
latihan. Sehingga dapat dikatakan bahwa, bakat dapat mempengaruhi
tinggi-rendahnya prestasi belajar bidang-bidang tertentu. Pemaksaan kehendak
memilih jurusan keahlian tertentu yang sebenarnya tidak sesuai dengan
bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik.
d. Minat siswa
Secara sederhana, minat berarti kecenderungan dan gairah yang tinggi atau
keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat dapat mempengaruhi kualitas
pencapaian hasil belajar dalam bidang-bidang studi tertentu. Seorang siswa
yang berminat terhadap bidang studi tertentu, akan memusatkan perhatiannya
lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian pemusatan perhatian yang
insentif inilah yang memungkinkan siswa untuk belajar lebih giat dan akhirnya
mencapai prestasi yang diinginkan.
e. Motivasi siswa
Dalam perkembangannya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
(1) motivasi intrinsik dan (2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal
dan keadaan yang berasal dari diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya
melakukan tindakan belajar. Contohnya perasaan menyenangi pelajaran dan
kebutuhannya terhadap materi tersebut. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah
hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga dapat
mendorong untuk melakukan tindakan belajar.
Perspektif psikologi kognitif menyatakan bahwa motivasi yang lebih signifikan
bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak
bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Selanjutnya, dorongan mencapai
prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan
juga memberi pengaruh kuat dan relatif lebih langgeng dibanding dengan dorongan
hadiah atau dorongan keharusan dari orangtua dan guru.
2.5.4 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Belajar Kognitif pada Anak
Lingkungan yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orang
tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktek pengolahan keluarga,
ketegangan keluarga dan demografi keluarga (letak rumah) semuanya dapat
Syah (2003) menyatakan bahwa lingkungan sosial sekolah seperti para guru,
para staf administrasi dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat
belajar siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik
dan memperlihatkan suri-teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar,
misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi
kegiatan belajar siswa.
Lingkungan sosial siswa yang mempengaruhi belajar kognitif meliputi
masyarakat dan tetangga serta teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan
siswa tersebut. Kondisi masyarakat kumuh yang serba kekurangan dan sebagian besar
adalah anak pengangguran misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar
siswa. Paling tidak, siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan
teman belajar dan berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan
belum dimilikinya.
2.6 Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Perilaku Belajar Kognitif Anak
Efek kognitif komunikasi masa menurut Robert (2003) dalam Kurniasih (2006)
yaitu komunikasi masa secara tidak langsung menimbulkan perilaku tertentu tetapi
cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan
dan citra. Inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku. Media massa bekerja
untuk menyampaikan informasi dan informasi itu dapat membentuk,
mempertahankan atau meredefinisikan citra. Media menampilkan realitas yang sudah
diseleksi (realitas tangan kedua), misalnya televisi memilih tokoh-tokoh tertentu
untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lain dan karena seseorang tidak
dapat dan tidak sempat mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media sehingga
cenderung menerima informasi itu hanya berdasarkan pada apa yang dilaporkan
media. Akhirnya seseorang membentuk citra tentang lingkungan sosial seseorang
berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.
Isnaini (2006) menyatakan bahwa selama ini, usaha untuk menjadikan televisi
sebagai media pembelajar, masih berporos pada bagaimana cara program televisi
televisi, seperti ide awal munculnya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan
beberapa program Aku Cinta Indonesia (ACI), Cerdas-cermat dan Televisi-edukasi
yang yang diluncurkan Pusat Teknologi dan Komunikasi (Pustekkom) tahun 2004
dan direlai di seluruh kabupaten di Indonesia tahun 2006. Lebih lanjut Isnaini (2006)
menyatakan bahwa semua program televisi sebenarnya memiliki nilai edukasi yang
dapat digali dan diintegrasikan dalam rangka membangun karakter siswa ataupun
individu. Dengan menggunakan teori belajar “penguatan positif” dan “penguatan
negatif” dapat digunakan untuk membuat stategi pembelajaran yang diminati oleh
siswa.
Isnaini (2006) menyatakan bahwa televisi dapat membawa dampak buruk pada
anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi
yang simpel, memikat dan membuat ketagihan sangat mungkin membuat anak
menjadi malas belajar. Hal ini berikutnya akan membentuk pola pikir yang sederhana
pada anak. Terlalu sering menonton televisi dan malas membaca menyebabkan anak
memiliki pola pikir sederhana, tidak kritis, linier atau searah yang pada akhirnya akan
mempengaruhi imajinasi intelektual, kreativitas dan perkembangan kognitifnya.
Televisi juga dapat mengurangi konsentrasi anak, rentang waktu konsentrasi anak
hanya sekitar tujuh menit, persis seperti acara dari iklan ke iklan. Hal ini dapat
membatasi daya konsentrasi anak.
Melihat realita di atas, maka guru dan orang tua harus berinisiatif untuk
membangun karakter anak dengan memanfaatkan, dan menjadikan televisi sebagai
mitra dalam pembelajaran. Guru dan orang tua harus secara aktif mendesain sistem
dan strategi untuk menjadikan tayangan televisi sebagai pembelajaran bahkan
mendesak untuk memasukan program ini dalam mata pelajaran yang berlaku secara
nasional.
Sadiman (1984) menyatakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk
mengajak pembelajar untuk mengemukakan pengalamannya menonton televisi
misalnya: 1) Apa program/ tayangan yang ditonton? 2) Kesimpulan apa yang dapat
diambil? 3) Hikmah apa yang dapat disarikan? 4) Apakah pernah mengalami hal yang
tayangan. Selanjutnya guru/ orang tua dapat mengajak pembelajar untuk berdiskusi
mengenai tayangan yang ditontonnya dengan harapan diskusi dapat meningkatkan
daya apresiasinya. Hal ini sangat efektif dilakukan jika dikaitkan dengan mata
pelajaran tertentu yang kental dengan nuansa nilai seperti PPKN dan Pendidikan
Agama.
Menurut Sadiman (1984) kelebihan-kelebihan televisi sebagai media
pendidikan antara lain adalah sebagai berikut.
1. Televisi dapat menerima, menggunakan dan mengubah atau membatasi semua
bentuk media lain, menyesuaikan dengan tujuan.
2. Televisi merupakan medium yang menarik, modern dan selalu siap diterima oleh
anak-anak karena mereka mengenalkannya sebagai bagian dari kehidupan luar
sekolah mereka.
3. Televisi dapat memikat perhatian sepenuhnya dari penonton. Seperti halnya film,
televisi menyajikan informasi visual dan lisan secara simultan.
4. Televisi memiliki realitas dari film, tapi juga memiliki kelebihan yang lain yaitu
immediancy (objek yang baru saja ditangkap kamera dapat segera
dipertontonkan).
5. Sifatnya langsung dan nyata. Dengan televisi anak dapat tahu kejadian-kejadian
mutakhir, mereka dapat mengadakan kontak dengan orang-orang besar / tertentu
dalam bidangnya, melihat dan mendengarkan mereka berbicara.
Kelebihan-kelebihan televisi tersebut akan membuat program yang
menyampaikan hal-hal mengenai pendidikan akan mudah diterima oleh anak-anak
sehingga pada akhirnya akan menambah pengetahuan anak tersebut. Guru dan orang
tua harus secara aktif mendesain sistem dan strategi untuk menjadikan tayangan
televisi sebagai pembelajaran bahkan mendesak untuk memasukan program ini dalam
mata pelajaran yang berlaku secara nasional. Salah satunya dengan mengajak
pembelajar untuk mengemukakan pengalamannya menonton televisi
Televisi dapat pula membawa dampak buruk pada kegiatan belajar kognitif
anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi
belajar kognitif anak ternyata juga sangat mungkin membuat anak menjadi malas
belajar. Anak-anak menjadi malas membaca sehingga menyebabkan anak memiliki
pola pikir sederhana, tidak kritis, linier atau searah yang pada akhirnya akan
mempengaruhi imajinasi intelektual, kreativitas dan perkembangan kognitifnya.
Selain itu banyaknya program yang tidak cocok dengan usia anak-anak
menyebabkan tambahan pengetahuan yang diperoleh anak dapat dikatakan tidak baik/
tidak cocok untuk anak tersebut sehingga nanti akan berpengaruh pada
kepercayaan/keyakinan anak tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi sikap
anak.
Adapun keterkaitan antara variabel-variabel tersebut, tersaji dalam kerangka
[image:32.612.102.575.345.624.2]pemikiran di bawah ini.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 1 di atas menjelaskan bahwa karakteristik individu seperti usia, uang
saku dan waktu luang mempengaruhi terpaan media televisi pada anak SD. Selain Lingkungan Sosial:
• Sekolah (guru,
teman sekolah)
• Tetangga dan
teman sepermainan
• Keluarga
Karakteristik individu:
• Usia
• Uang saku
• Waktu luang
Terpaan Media Televisi:
•frekuensi
penggunaan
•durasi
penggunaan
•pilihan pesan
Belajar Kognitif:
•penguasan
materi
•tambahan
pengetahuan Faktor Psikologi:
• Sikap
• Bakat
• Minat
karakteristik individu, lingkungan sosial seperti sekolah (guru dan teman sekolah),
tetangga dan teman sepermainan serta keluarga juga tidak dapat dilepaskan
hubungannya dengan terpaan media televisi pada anak SD.
Faktor psikologi dan lingkungan sosial juga ikut serta mempengaruhi perilaku
belajar kognitif. Faktor psikologi yang mempengaruhi belajar kognitif adalah aspek
yang meliputi sikap, bakat, minat dan motivasi. Dilihat dari lingkungan sosial, yang
dapat digolongkan menjadi hal yang mempengaruhi perilaku belajar kognitif adalah
lingkungan sekolah (guru dan teman sekolah), tetangga dan teman sepermainan, serta
keluarga.
Terpaan media sendiri akan mempengaruhi perilaku belajar kognitif pada anak.
Terpaan media pada anak dapat dilihat dari frekuensi dan durasi anak menggunakan
televisi dalam sehari sedangkan pengaruh dengan perilaku belajar dapat dilihat dari
aspek banyaknya materi yang didapat dan tambahan pengetahuan yang diperoleh.
Berdasarkan kerangka pemikiran dapat disusun hipotesis sebagai berikut:
H1= Terdapat hubungan signifikan antara karakteristik individu dan terpaan media
pada anak.
H2= Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan terpaan media pada
anak.
H3= Terdapat hubungan signifikan antara faktor psikologi dan perilaku belajar
kognitif pada anak.
H4= Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan perilaku belajar
kognitif pada anak.
H5= Terdapat hubungan signifikan antara terpaan media televisi dan perilaku belajar
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 04 Kelurahan
Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut
dilakukan dengan cara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa SDN 04
Dramaga merupakan salah satu Sekolah Dasar yang ada di daerah lingkar kampus.
Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama tiga bulan yaitu Juli sampai
September 2009.
3.2 Penetapan Populasi dan Responden Penelitian
Populasi yang diambil adalah siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) 04
Kelurahan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Populasi total dalam
penelitian berjumlah 665 orang dengan 346 orang sebagai populasi sasaran
sedangkan jumlah responden yang diambil sebanyak 70 orang. Teknik yang
digunakan untuk memilih responden adalah Stratified Random Sampling. Pemilihan
kelas ini mempertimbangkan bahwa anak pada tingkatan kelas tersebut anak telah
memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik sehingga lebih mampu
memahami pertanyaan/ pernyataan. Selain itu, anak pada tingkat kelas tersebut lebih
dapat menyatakan keinginan atau pendapatnya sehingga dapat menjawab pertanyaan/
pernyataan yang diajukan. Kemudian setiap kelas diambil masing-masing 20 persen.
Dari enam kelas yang ada dipilih kelas IV, V dan VI. Setelah pemilihan kelas
Distribusi populasi dan sampel penelitian tersaji pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Distribusi Populasi dan Sampel Responden
Kelas Populasi total (orang) Populasi Sasaran
(orang)
Sampel (orang)
I 126 - -
II 105 - -
III 105 - -
IV 97 97 20
V 120 120 24
VI 132 132 26
Jumlah 665 346 70
Sumber: data SDN.04 Dramaga 2009
3.3 Desain Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif yang
didukung oleh data kualitatif. Penelitian kuantitatif di sini menggunakan desain
survei deskriptif kolerasi. Dimana penelitian ini berusaha menggambarkan
karakteristik individu, lingkungan sosial dan faktor psikologi serta hubungannya
dengan terpaan media televisi/belajar kognitif anak. Selain itu penelitian ini juga
berusaha menggambarkan terpaan media televisi dan belajar kognitif pada anak serta
hubungan keduanya.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner yang disebarkan
dan diisi oleh responden sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa
data mengenai keadaan umum lokasi penelitian yang diperoleh dari kantor Kepala
Sekolah.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner
terdiri dari sejumlah pertanyaan terdiri dari pertanyaan terbuka, dimana jawaban
responden tidak dibatasi sehingga dapat mengungkap lebih banyak hal dan
pertanyaan tertutup, dimana jawaban telah disediakan.
Kuesioner yang disebar dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama berisikan
pertanyaan/pernyataan mengenai lingkungan sosial baik yang mempengaruhi terpaan
media televisi maupun belajar kognitif anak. Bagian ketiga berisikan
pertanyaan/pernyataan mengenai faktor psikologi. Bagian keempat berisikan
pertanyaan/pernyataan mengenai terpaan media televisi. Bagian kelima berisikan
pertanyaan/pernyataan belajar kognitif anak Sekolah Dasar.
3.5 Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk
mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan
sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu:
1. Karakteristik Individu adalah kondisi atau keadaan spesifik individu yang berkaitan
langsung dengan dirinya. Variabel atau pengubah ini dapat diukur dengan:
a. Mengidentifikasi umur anak SD yaitu lamanya seseorang hidup dari sejak
lahir sampai saat penelitian dilakukan yang diukur dengan satuan tahun
(dibulatkan berdasarkan angka terdekat dengan tanggal lahir) dengan
menggunakan skala rasio;
b. Mengidentifikasi uang saku anak SD yaitu banyaknya uang yang dibawa
seorang anak ketika ke luar dari rumah. Indikator ini ukur dengan skala
ordinal dan dibedakan menjadi kategori tinggi, sedang dan rendah dan
c. Mengidentifikasi waktu luang anak SD adalah banyaknya waktu yang
dimiliki oleh anak SD selain kegiatan sekolah dan kegiatan-kegiatan lain yang
diikuti setelah jam sekolah. Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan
dibedakan menjadi kategori tinggi, sedang dan rendah.
2. Karakteristik Lingkungan Sosial adalah kondisi atau situasi yang menggambarkan
suasana di sekitar anak SD dan dapat diukur dengan indikator-indikator sebagai
berikut:
a. Mengidentifikasi sekolah (guru, teman sekolah) yaitu orang-orang yang
berinteraksi dengan anak sekolah dasar di sekolah (guru dan teman sekolah)
kognitif. Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi
kategori tinggi, sedang dan rendah;
b. Mengidentifikasi tetangga dan teman sepermainan yaitu orang-orang yang
berinteraksi dengan anak SD di lingkungan tempat tinggal dan memiliki
kemungkinan mempengaruhi terapaan media televisi/belajar kognitif.
Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi kategori tinggi,
sedang dan rendah dan
c. Mengidentifikasi keluarga yaitu orang tua dan anggota keluarga lain yang
memiliki hubungan darah dengan anak SD tersebut dan memiliki
kemungkinan mempengaruhi terpaan media/belajar kognitif anak SD.
Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi kategori tinggi,
sedang dan rendah.
3. Faktor Psikologi yang mempengaruhi belajar kognitif pada anak SD yaitu
aspek-aspek kejiwaan yang mempengaruhi belajar kognitif anak Sekolah Dasar dan dapat
diukur dengan menggunakan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi sikap anak SD yaitu kecenderungan untuk merespons
dengan cara yang relatif tetap terhadap suatu objek orang, barang, dan
sebagainya dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi,
sedang dan rendah;
b. Mengidentifikasi bakat anak SD yaitu kemampuan individu untuk melakukan
tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan
dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan
rendah;
c. Mengidentifikasi minat anak sekolah dasar yaitu kecenderungan atau gairah
yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu dan diukur
menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah dan
d. Mengidentifikasi motivasi anak SD yaitu hal dan keadaan yang berasal dari
diri anak SD yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar dan
4. Terpaan Media Televisi adalah penggunaan media televisi dilihat frekuensi
penggunaan, durasi penggunaan (longevity) serta pilihan pesan. Frekuensi, durasi
dan pilihan stasiun/ program acara yang dipilih dilihat dalam kurun waktu satu hari
dengan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi frekuensi anak SD menonton televisi yaitu berapa kali
seorang anak sekolah dasar menonton televisi per harinya dan diukur
menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah;
b. Mengidentifikasi durasi anak SD menonton televisi yaitu jumlah jam anak
menonton acara/ program tertentu di televisi dan diukur menggunakan skala
ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah.
c. Mengidentifikasi pilihan pesan anak SD yaitu keinginan anak terhadap pesan
yang dingin didapat dari menonton televisi terutama yang mengangkut belajar
kognitif dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang
dan rendah.
5. Belajar Kognitif adalah proses untuk mengetahui atau mengelolah dan
menggunakan pengetahuan dan dapat diukur dengan:
a. Mengidentifikasi banyaknya materi acara yang dikuasai oleh anak SD yaitu
jumlah keseluruhan materi yang diperoleh anak SD dari satu acara/ program
tertentu yang ditontonnya dan diukur menggunakan skala ordinal dengan
kriteria tinggi, sedang dan rendah dan
b. Mengidentifikasi tambahan pengetahuan yang didapat yaitu peningkatan
pengetahuan dari pengetahuan awal ke pengetahuan sekarang dan diukur
menggunakan skala ordinal dengan kriteria tinggi, sedang dan rendah.
Pada setiap variabel diberikan tiga pilihan jawaban dari pertanyaan/pertanyaan
yang ada. Pilihan tersebut adalah rendah, sedang dan tinggi. Setiap pilihan
mendapatkan skor 1-3. Semakin besar nilai skor maka menunjukan bahwa
Perhitungan nilai skor diatur sebagai berikut:
x 100%
Jumlah skor akhir yang didapat oleh masing-masing variabel kemudian
diatur sebagai berikut:
0,01 - 30,33 = rendah
33,34 - 66,66 = sedang
66,67 - 100 = tinggi
3.6 Validitas dan Reliabilitas Instrumen
3.6.1 ValiditasInstrumen
Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data
(mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur (Priyatno 2008). Validitas dalam penelitian didapat dengan jalan
menyesuaikan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat dengan teori-teori yang ada dan
pendapat dari ahli, termasuk konsultasi dengan dosen serta dengan menggunakan
koefisien product moment Pearson. Secara statistik angka korelasi yang diperoleh
dibandingkan dengan nilai kritis tabel korelasi.
Secara lengkap rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
r = nilai koefisien validitas N = jumlah responden X = skor pertanyaan pertama Y = skor total
Setelah dilakukan uji kuesioner kepada 10 responden maka diperoleh hasil
validitasi instrument. Dari 88 pertanyaan yang diajukan terdapat tujuh pertanyaan
yang memiliki hasil uji validitas lebih kecil dibandingkan dengan nilai r tabel (0,632).
3.6.2 Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas instrumen menunjukkan pada pengertian apakah instrumen dapat
mengukur sesuatu yang diukur secara konsisten dari waktu ke waktu (Priyatno 2008).
Uji Reliabilitas Instrumen dilakukan dengan menggunakan uji koefisien reliabilitas
teknik belah dua dengan membagi butir pertanyaan-pertanyaan yang valid tersebut
menjadi belahan genap dan belahan ganjil.
Pengukuran koefisien reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan rumus
sebagai berikut:
Keterangan:
rtot = angka koefisien reliabilitas keseluruhan item
rtt = angka korelasi belahan pertama dan kedua
Setelah dilakuakn uji kuesioner pada 10 responden diperoleh nilai reliabilitas
sebesar 0,70 untuk karaketristik individu, 0,71 untuk lingkungan sosial, 0,73 untuk
faktor psikologi, 0,89 untuk terpaan media televisi dan 0,85 untuk belajar kognitif.
Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa kuesioner telah valid.
3.7 Analisis data
Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif, berupa
frekuensi, persentase, median, rataan skor dan analisis statistik inferensial, berupa uji
hubungan Stuctural Equation Modeling (SEM). Analisis frekuensi, persentase dan
median digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik individu berupa umur.
Rataan skor digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik individu berupa uang
saku dan waktu luang, lingkungan sosial, faktor psikologi, terpaan media dan belajar
kognitif pada anak. SEM digunak