• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Belajar Kognitif pada Anak (Kasus SDN 04 Dramaga, Bogor Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Belajar Kognitif pada Anak (Kasus SDN 04 Dramaga, Bogor Jawa Barat)"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI

DENGAN BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK

(Kasus Sekolah Dasar Negeri 04 Dramaga, Bogor, Jawa Barat)

Oleh : VIORA TORIZA

I34063121

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

This research was conducted in SDN 04 DRAMAGA Bogor, West Java.

Method that was used to determine the respondents was Startified Random Sampling.

Method used to analyze the data is average scores and Structural Equation Modeling (SEM). The average score was used to describe the individual characteristics, sosial environment, psychological factors, exposure to television and cognitive learning in children. SEM was used to determine the relationship between individual characteristics and sosial environment with television exposure and the relationship between sosial environment, psychological factors and exposure to the medium of television with the child’s cognitive learning. In this study, the medium of television exposure in children is high but low cognitive learning. There was a significant relationship (p <0,05) between individual characteristics and sosial environment with television exposure in children. There is also a significant relationship (p <0,05) between sosial environment and exposure to the medium of television with the child's cognitive learning. In reversal, there was not any significant relationship (p <0,05) between the cognitive psychology factors to learning in children.

(3)

RINGKASAN

VIORA TORIZA. HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN

BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK (KASUS: SEKOLAH DASAR NEGERI 04

DRAMAGA, BOGOR, JAWA BARAT). DI BAWAH BIMBINGAN

AMIRUDDIN SALEH.

Terpaan media televisi adalah penggunaan media televisi dilihat dari frekuensi

dan durasi penggunaan televisi. Sedangkan istilah kognitif meliputi setiap perilaku

mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi,

pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan. Oleh karena itu belajar kognitif

dapat diartikan sebagai proses untuk mengetahui atau mengelolah dan penggunaan

pengetahuan.

Saat ini televisi merupakan teman terdekat bagi anak-anak. Tingginya waktu

menonton televisi pada anak saat ini bahkan telah melebihi waktu yang anak habiskan

di sekolah. Televisi sendiri memiliki beberapa kelebihan sebagai media pendidikan

daripada media massa yang lain. Salah satunya kelebihan tersebut adalah televisi

memadukan unsur audio dan visual. Kelebihan televisi tersebut membuat program

yang menyangkut hal-hal mengenai pendidikan akan lebih mudah diterima oleh

anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah pengetahuan anak tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis hubungan karakteristik

individu, lingkungan sosial dengan terpaan media televisi. (2) Menganalisis

hubungan lingkungan sosial, faktor psikologi, dan terpaan media dengan belajar

kognitif

Variabel yang mempengaruhi terpaan media televisi antara lain adalah

karakteristik individu. Karakteristik individu ini sendiri meliputi usia, uang saku dan

waktu luang. Di samping karakteristik individu juga terdapat variabel lain yang

mempengaruhi terpaan media televisi yaitu lingkungan sosial. Adapun indikator

variabel lingkungan sosial antara lain adalah sekolah (guru dan teman sekolah),

tetangga dan teman sepermainan serta keluarga. Faktor lingkungan sosial ini juga

(4)

lingkungan sosial variabel lain yang mempengaruhi belajar kognitif anak Sekolah

Dasar adalah faktor psikologi meliputi sikap, bakat, minat dan motivasi.

Penelitian ini dilaksanakan di SDN04 Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penentuan

lokasi penelitian dilakukan secara secara sengaja (purposive) didasarkan

pertimbangan bahwa SDN04 Dramaga merupakan salah satu Sekolah Dasar yang ada

di daerah lingkar kampus. Penelitian dilakukan selama tiga bulan yaitu Juli-

September 2009.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung oleh data

kualitatif (field notes). Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan

metode survei, dengan teknik wawancara terstuktur. Populasi penelitian adalah siswa

SDN04 Dramaga, Bogor yang berjumlah 665 orang sedangkan jumlah responden

yang diambil berjumlah 70 orang. Responden dipilih dengan menggunakan teknik

penarikan sampel stratified random sampling dan dipilih siswa kelas IV, V dan VI.

Pemilihan kelas ini mempertimbangkan bahwa anak pada tingkatan kelas tersebut

anak telah memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik sehingga lebih

mampu memahami pertanyaan/ pernyataan. Selain itu, anak pada tingkat kelas

tersebut lebih dapat menyatakan keinginan atau pendapatnya sehingga dapat

menjawab pertanyaan/ pernyataan yang diajukan. Kemudian setiap kelas diambil

masing-masing 20 persen. Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik

deskriptif, berupa frekuensi, persentase, media, rataan skor; dan analisis statistik

inferensial, berupa uji hubungan Stuctural Equation Modeling (SEM).

Hasil penelitian menunjukan terpaan media televisi pada anak cukup tinggi

namun belajar kognitifnya rendah. Anak-anak umunya menonton televisi lebih dari

lima jam perharinya melebihi waktu yang mereka habiskan di sekolah. Rendahnya

belajar kognitif pada anak disebabkan karena pada usia Sekolah Dasar, anak

cenderung menonton televisi bukan untuk memenuhi kebutuhan kognitifnya namun

hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan.

Terdapat hubungan signifikan (p<0,05) antara karakteristik individu dan

lingkungan sosial dengan terpaan media televisi pada anak. Semakin tinggi usia anak

(5)

kebutuhan kognitifnya. Rendahnya uang jajan menyebabkan tingginya terpaan media

televisi pada anak. Jika dilihat dari faktor lingkungan semakin tinggi peran orang tua/

keluarga, sekolah dan teman sekolah serta tetangga dan teman sepermainan

mendukung untuk menonton acara/program tertentu maka semakin tinggi pula

terpaan media televisi yang terjadi pada anak.

Terdapat juga hubungan yang signifikan (p<0,05) antara lingkungan sosial

dan terpaan media televisi dengan belajar kognitif pada anak. Semakin lingkungan

sosial (orang tua/keluarga, sekolah dan teman sekolah serta tetangga dan teman

sepermainan) mendukung untuk belajar kognitif maka semakin rendah belajar

kognitif tersebut. Terdapat faktor lain yang turut mempengaruhi belajar kognitif

sepeti faktor kesehatan. Tinggi terpaan media televisi pada anak juga menyebabkan

rendahnya belajar kognitif pada anak. Hal ini dikarenakan pada anak SD umumnya

motivasi menonton televisi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan

semata dan mengabaikan pemenuhan kebutuhan kognitif. Namun terdapat hubungan

yang tidak signifikan (p<0,05) antara faktor psikologi dengan belajar kognitif pada

anak. Dengan kata lain tidak ada hubungan antara faktor psikologi dan belajar

kognitif.

(6)

HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK (KASUS SDN 04 DRAMAGA, BOGOR, JAWA BARAT)

Oleh: Viora Toriza

I34063121

SKRIPSI

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(7)

LEMBAR PENGESAHAN

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh:

Nama : Viora Toriza

Nomor Pokok : I34063121

Judul : Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Belajar Kognitif pada

Anak (Kasus SDN 04 Dramaga, Bogor Jawa Barat)

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr.Ir. Amiruddin Saleh, MS NIP. 19611113 198811 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adi Wibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(8)

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN BELAJAR

KOGNITIF PADA ANAK (KASUS SEKOLAH DASAR NEGERI 04

DRAMAGA BOGOR )” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN

TINGI ATAU LEMBAGA LAIN. MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK

MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU

DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN.

Bogor, Februari 2010

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis memiliki nama lengkap Viora Toriza. Penulis dilahirkan di Lahat,

Sumatera Selatan pada tanggal 15 Januari 1989. Penulis merupakan anak pertama

dari tiga bersaudara dari Bapak Candra Hutapri, SH dan Ibu Nirwana, S.Pd. Penulis

menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Santo Yosef Lahat

(1993-1994), Sekolah Dasar (SD) Santo Yosef Lahat (1994-2000), Sekolah Menengah

Pertama (SMP) Santo Yosef Lahat (2000-2003) dan Sekolah Menengah Umum

(SMU) di SMU Santo Yosef Lahat (2003-2006). Kemudian pada tahun 2006, penulis

diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI)

Selama di kampus, penulis juga tergabung dalam Organisasi Mahasiswa

Daerah Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya (OMDA IKAMUSI) sebagai anggota

divisi internal OMDA IKAMUSI pada tahun 2007. Selain itu penulis juga pernah

aktif sebagai asisten praktikum Mata Kuliah Sosiologi Umum (2008-2009) dan

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmatNya,

skripsi yang berjudul “HUBUNGAN TERPAAN MEDIA TELEVISI DENGAN

BELAJAR KOGNITIF PADA ANAK (KASUS SEKOLAH DASAR NEGERI 04

DRAMAGA BOGOR, JAWA BARAT)” ini dapat diselesaikan sebagai salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.

Besarnya waktu yang dihabiskan anak terutama pada usia Sekolah Dasar

untuk menonton televisi melebihi waktu yang anak habiskan di sekolah. Televisi

telah diibaratkan sebagai kotak saingan bagi sekolah. Televisi memiliki beberapa

keunggulan untuk dijadikan sebagai media pendidikan. Salah satunya kelebihan

tersebut adalah televisi memadukan unsur audio dan visual. Kelebihan televisi

tersebut membuat program yang menyangkut hal-hal mengenai pendidikan akan

lebih mudah diterima oleh anak-anak sehingga pada akhirnya akan menambah

pengetahuan (kognitif) anak tersebut. Oleh karena itulah menarik untuk melihat

keterkaitan terpaan media televisi dengan belajar kognitif pada anak itu sendiri.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun penulis dalam

penulisan karya ilmiah ke depan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi khalayak

banyak.

Bogor, Februari 2010

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu media massa elektronik yang paling digemari saat ini adalah televisi.

Di zaman sekarang ini televisi bukanlah barang yang langka dan hanya dimiliki oleh

kalangan tertentu saja. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir semua orang memiliki

televisi. Bahkan saat ini televisi telah menjangkau lebih dari 90 persen penduduk di

negara berkembang. Televisi yang dulu mungkin hanya menjadi konsumsi kalangan

dan umur tertentu saja, saat ini telah dapat dinikmati dan sangat mudah dijangkau

oleh semua kalangan tanpa batas usia.1

Dwikurnia (2008) menyatakan bahwa televisi dapat diartikan sebagai sebuah

alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata “tele” dan “vision”

yang mempunyai arti masing-masing. ”Tele” berarti jauh dan “vision” berarti

tampak. Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan

televisi itu sendiri dapat disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini

dapat merubah peradaban dunia. Televisi selalu indentik dengan kata siaran televisi,

dimana menurut Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia Nomor:

54/B KEP/MENPEN/1971 tentang Penyelenggaraan Siaran Televisi di Indonesia,

siaran televisi berarti siaran-siaran dalam bentuk gambar dan suara yang dapat

ditangkap (dilihat dan didengarkan) oleh umum baik dengan sistem pemancaran

dalam gelombang-gelombang elektromagnetik maupun lewat kabel-kabel.

Selain sebagai sarana hiburan, televisi juga merupakan sarana informasi dan

ilmu pengetahuan. Televisi dapat mengerutkan dunia dan melaksanakan penyebaran

berita dan gagasan dengan cepat. Adanya media televisi dunia, kelihatan semakin

kecil. Masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk memperoleh informasi yang

lebih baik tentang apa yang terjadi di dunia. Berita-berita aktual dapat langsung

1

Dwikurnia. Teknologi Televisi.

(12)

disebarkan ke berbagai pelosok dunia secara langsung. Gempa bumi, penyakit

menular, kriminalitas, peristiwa olahraga terkini yang terjadi di belahan dunia dapat

disaksikan bersama-sama oleh berjuta-juta orang. Selain itu televisi juga selalu

menayangkan informasi-informasi yang akurat tentang pendidikan dan ilmu

pengetahuan.

Thamrin (2008) menyatakan bahwa siaran-siaran televisi akan memanjakan

orang-orang pada saat-saat luang seperti saat liburan, sehabis bekerja bahkan dalam

suasana sedang bekerjapun orang-orang masih menyempatkan diri untuk menonton

televisi. Suguhan acara yang variatif dan menarik membuat orang tersanjung untuk

meluangkan waktunya duduk di depan televisi. Bahkan suguhan program-program

acara yang variatif dan menarik telah menjadikan televisi sebagai salah satu sahabat

terdekat bagi keluarga terutama anak.

Sebagian besar anak-anak merasa lebih nyaman duduk di depan televisi

ketimbang bermain di luar rumah. Seorang anak dapat menghabiskan tiga sampai

empat jam perharinya untuk duduk menonton televisi, tapi tak sedikit anak yang

menonton televisi lima sampai enam jam perhari bahkan lebih pada hari-hari tertentu,

seperti Sabtu dan Minggu.2

Hal ini diperkuat dengan survei termutakhir UNICEF pada 2007(Thamrin,

2008). Hasil survei ini bak dering jam weker yang pantas membuat orangtua awas.

Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa, para bocah di Indonesia terpekur rata-rata lima

jam sehari di depan layar kaca atau total jenderal 1.560 hingga 1.820 jam setahun.

Angka ini, menurut UNICEF, jauh lebih gemuk ketimbang jumlah belajar mereka

yang 1.000 jam setahun di sekolah. Maka jadilah kotak televisi sekolah tandingan

bagi anak-anak ini. Padahal Thamrin (2008) menyatakan bahwa seharusnya anak usia

lima tahun hanya menonton televisi selama 1,5 jam per hari atau paling lama dua jam

per hari. Itu juga tidak terus-menerus, dibagi-bagi, misalnya satu jam setelah pulang

2

Sabda Hidup,Pengaruh Televisi dan Film, http:// www.tftwindo. org / livingwords

(13)

sekolah, dan satu jam lagi setelah mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) di malam

hari.

Hidup (2008) menyebutkan bahwa lebih dari setengah anak-anak di Amerika

Serikat mempunyai televisi di kamar mereka. Usia remaja paling banyak menonton

televisi di kamar dan hampir sepertiga anak-anak pra sekolah memiliki televisi di

kamar mereka dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton televisi.

Disebutkan juga adanya beberapa orang siswa sebuah sekolah yang bergantian bolos

dari sekolah demi menonton sebuah tayangan opera sabun di televisi. Di Indonesia

mungkin tidak sampai menjangkau persentase sebesar ini namun pengaruh televisi

juga telah banyak membentuk pola pikir dari anak-anak Indonesia.3 Lebih lanjut

dijelaskan bahwa:

“Dari pada rewel, daripada main di luar, menjadi beberapa alasan para orang tua membiarkan anak-anaknya berjam-jam duduk menonton televisi. Tapi tanpa kita sadari bahwa hal tersebut akan menyebabkan “kecanduan’’ pada anak. Meski televisi adalah hiburan, namun menonton televisi secara

berlebihan menyimpan bahaya yang besar...”4

Dapat dikatakan bahwa televisi sedikitnya telah banyak mempengaruhi pola

perilaku anak-anak, salah satunya adalah mempengaruhi perilaku belajar anak, salah

satunya dalam hal kognitif. Perilaku anak menonton televisi kadang sangat menyita

waktu mereka, membuat mereka lupa beraktivitas, dan pada akhirnya menghancurkan

gairah belajar mereka. Anak-anak memiliki perilaku untuk menunda tugas-tugas

sekolah mereka demi menonton sebuah film yang mereka tunggu.

Namun selain itu, televisi juga membawa dampak lain terhadap perilaku belajar

kognitif. Salah satunya kelebihan televisi adalah memadukan unsur audio dan visual.

Dewasa ini pun stasiun-stasiun televisi pun berlomba untuk mengemas acara tersebut

semenarik mungkin, ilustratif, ringan dan tanpa membutuhkan pemikiran yang sulit,

sehingga anak-anak mudah untuk menangkap pesan yang ingin disampaikan.

Kelebihan televisi tersebut membuat program yang menyangkut hal-hal mengenai

3

ibid

4

(14)

pendidikan akan lebih mudah diterima oleh anak-anak sehingga pada akhirnya akan

menambah pengetahuan anak tersebut. Program “televisi pendidikan anak’’ yang

menayangkan pengetahuan-pengetahuan atau pelajaran-pelajaran sekolah dapat

menimbulkan rasa ingin tahu para anak yang pada akhirnya akan meningkatkan

motivasi belajar anak.

Faktor karakteristik individu dan lingkungan sosial ternyata mempengaruhi

terpaan media televisi pada anak-anak. Karakteristik individu seperti jenis kelamin,

umur dan kepribadian mempengaruhi terpaan media pada anak-anak Sekolah Dasar.

Begitu pula dengan lingkungan sosial peran orang tua dalam hal pendidikan anak

sudah seharusnya berada pada urutan pertama, orang tualah yang paling mengerti

benar akan karakter/sifat-sifat baik dan buruk anak-anaknya, apa saja yang mereka

sukai dan apa saja yang mereka tidak sukai. Sedangkan faktor lingkungan sosial lain

seperti teman juga mempengaruhi terpaan media televisi terhadap anak.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan utama yang diangkat dalam

penelitian adalah apakah terpaan media televisi mempengaruhi perilaku belajar

kognitif anak sekolah. Permasalahan ini cukup penting untuk diteliti, melihat terpaan

media televisi yang cukup besar pada anak-anak sekolah dewasa ini. Selain itu faktor

karakteristik individu dan lingkungan sosial mempengaruhi terpaan media televisi

tersebut. Oleh karena itu, perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Sejauhmana hubungan karakteristik individu, lingkungan sosial dengan terpaan

media televisi?

2. Sejauh mana hubungan lingkungan sosial, faktor psikologi, dan terpaan media

televisi dengan belajar kognitif?

1.3. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan utama yang ingin dicapai dalam

(15)

belajar kognitif anak sekolah. Terpaan media dan perilaku belajar kognitif anak

tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakteristik anak itu sendiri, faktor psikologi dan

lingkungan sosial anak. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Menganalisis hubungan karakteristik individu, lingkungan sosial dengan terpaan

media televisi.

2. Menganalisis hubungan lingkungan sosial, faktor psikologi, dan terpaan media

dengan belajar kognitif.

1.4. Kegunaan

Masalah terpaan media televisi terutama bagi anak-anak usia sekolah, dewasa

ini merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi banyak pihak baik oleh

keluarga, akademisi dan pemerintah. Oleh karena itu, penelitian ini, diharapkan dapat

berguna bagi:

1. Akademik

Penelitian berjudul “Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Belajar Kognitif

pada Anak” ini dapat digunakan oleh mahasiswa untuk memahami hubungan

terpaan media televisi dan perilaku belajar kognitif khususnya pada anak SD serta

hubungan karakteristik individu dan lingkungan sosial dengan terpaan media

televisi dan hubungan faktor lingkungan sosial, faktor psikologi dan terpaan media

televisi dengan perilaku belajar kognitif pada anak.

2. Pemerintah

Dewasa ini sebagian besar waktu anak dihabiskan dengan menonton televisi. Hal

ini diikuti pula dengan peluang televisi untuk menjadi media pembelajaran.

Melihat hal tersebut, maka penelitian dapat menjadi masukan bagi pemerintah

dalam menentukan kebijakan mengenai pertelevisian agar program-program yang

ditayangkan stasiun-stasiun televisi dapat lebih baik dan mendukung belajar

(16)

3. Masyarakat

Bagi masyarakat, penelitian dapat juga dijadikan masukan dalam mengontrol

perilaku menonton televisi anak Sekolah Dasar secara berlebihan yang dilakukan

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Televisi

2.1.1 Sejarah dan Perkembangan Televisi

Istanto (1995) menyatakan sejarah perkembangan televisi diawali pada tahun

1884, seorang mahasiswa di Berlin menciptakan sebuah alat yang merupakan

cikal-bakal pesawat televisi. Namun prinsip-prinsip televisi ini tidak dapat dilepaskan dari

penemuan teknologi radio. Pada tahun itu pula penemuan Paul Nipkow itu

dipatenkan. Istanto (1995) juga menyatakan bahwa Nipkow bercita-cita menciptakan

prinsip-prinsip pembentukan gambar yang kemudian dikenal sebagai jantra Nipkow.

Gagasan awal televisi adalah transmisi elektrik dari elemen gambar dan suara secara

simultan. Dane pada tahun 1802 menemukan teknologi radio yang berprinsip bahwa

pesan dapat dikirim melalui kawat beraliran listrik dalam jarak pendek. Kemudian

James Maxwell menemukan prinsip baru untuk mewujudkan gelombang

elektromagnetis yaitu gelombang yang digunakan televisi tahun 1965. Gerakan

magnetis dapat mengarungi ruang angkasa dengan kecepatan yang sama dengan

kecepatan cahaya. Penemuan Maxwell ini kemudian dikembangkan oleh Guglemo

Marconi. Pada tahun 1875 George Carey di Boston mengembangkan gambar televisi.

Namun penayangan elemen-elemen gambar dengan cepat garis demi garis, frame

demi frame ditampilkan oleh WE Sawyer dari Amerika dan Maurice Leblanc dari

Perancis pada tahun 1880.

Istanto (1995) menyebutkan bahwa gelar Bapak pertelevisian dunia jatuh pada

Paul Nipkow yang mempatenkan ciptaannya pada tahun 1884. Sedangkan John Lugie

Baird menemukan dasar-dasar bagi televisi berwarna yang kemudian berhasil pula

menciptakan prinsip-prinsip bagi pengembangan teknik gambar hidup atau bioskop.

Menyusul kemudian Ernst FW Alexander dari General Electric New York yang pada

tanggal 11 September 1928 berhasil menayangkan drama televisi untuk pertama

kalinya di Amerika Serikat. Seorang ahli berkebangsaan Rusia yang hijrah ke

Amerika Serikat, Vladimir K.Zworykin pada tahun 1923 merancang tabung kamera

(18)

penemuan ini dilanjutkan dengan mempatenkan televisi elektronis berwarna pada

tahun 1925. Ciptaannya ini didemonstrasikan di New York World’s Fair pada tahun

1939.

Siaran televisi pertama di Indonesia ditayangkan pada tanggal 17 Agustus 1962

bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke XVII.

Siaran tersebut berlangsung mulai pukul 07.30 sampai pukul 11.02 waktu Indonesia

bagian barat untuk meliput upacara peringatan hari Proklamasi di Istana Negara.

Inilah momentum dimana Indonesia mengukuhkan diri sebagai Negara Asia ke empat

yang memiliki media penyiaran televisi setelah Jepang, Philipina dan Thailand.

(Subidyo,2004)

Subidyo (2004) menyatakan pula liputan perdana TVRI adalah upacara

pembukaan Asian Games ke IV di Stadion Utama Senayan Jakarta. Liputan pertama

TVRI ini dikoordinir oleh Organizing Comitte Asian Games IV yang dibentuk khusus

untuk event olahraga itu, di bawah naungan Biro Radio dan Televisi Departemen

Penerangan. Pada tanggal 12 November 1962, TVRI mengudara secara regular setiap

hari. TVRI pertama kali menayangkan iklan 1 Maret 1963, seiring ditetapkannya

TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui keputusan Presiden RI

Nomor 215 tahun 1963. Saat ini siaran telah dapat menjangkau hampir semua

provinsi di seluruh Indonesia berkat pemanfaatan satelit Palapa bahkan mampu pula

menjangkau wilayah Asean. Munculnya TVRI kemudian disusul pula dengan

munculnya stasiun-stasiun televisi swasta lainnya.

2.1.2 Isi dan Fungsi Televisi

Menurut Siregar (2001) dalam Testiandini (2006), isi siaran televisi dibagi

menjadi dua yaitu:

1. Faktual, berasal dari empiris/sosiologis dan bersifat objektif. Materi dari faktual

ada yang bersifat keras yang terikat dengan aktualitas, serta bersifat lunak yang

lebih menekankan nilai human interest. Fungsi primer dari materi faktual adalah

sosial (informasional). Walaupun terdapat juga fungsi hiburannya namun hanya

(19)

2. Fiksional berasal dari dunia humanities psychology dan bersifat subjektif. Fungsi

primer dari materi fiksional adalah psikologi (menghibur). Materi fiksional juga

memiliki fungsi informasional namun hanya bersifat sekunder.

Menurut Hoffman (1999) dalam Testiandini (2006), fungsi televisi dalam

masyarakat tidak dilihat lagi sebagai sarana pendidikan dan juga tidak seharusnya

menjadi sarana promosi perdagangan. Adapun fungsi televisi adalah:

1. Pengawasan situasi masyarakat dan dunia, bisa juga disebut sebagai fungsi

informasi, namun istilah ini tidak digunakan karena dikhawatirkan menimbulkan

salah paham seakan-akan televisi adalah sarana penerangan bagi penguasa kepada

masyarakat. Fungsi televisi sebenarnya adalah mengamati kejadian yang terjadi

dalam masyarakat kemudian melaporkan sesuai dengan kenyataan yang

ditemukan.

2. Menghubungkan satu dengan yang lain, televisi dapat saja menghubungkan hasil

pengawasan satu dengan hasil pengawasan lain secara lebih gamplang daripada

sebuah dokumen tertulis. Dengan demikian televisi dapat berfungsi sesuai dengan

kepentingan masyarakat dan dapat membuka mata pemirsa.

3. Menyalurkan kebudayaan, sebenarnya fungsi ini dapat disebutkan sebagai fungsi

pendidikan. Namun istilah “pendidikan” tidak digunakan karena di dalam

kebudayaan audiovisual tidak ada kurikulum.

4. Hiburan, fungsi ini memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena kalau tidak

menghibur umumnya sebuah tayangan tidak akan ditonton. Namun hiburan bukan

berarti hiburan semata tanpa ada sesuatu yang dapat diambil pelajaran dari suatu

program.

5. Pengarahan masyarakat untuk bertindak dalam keadaan darurat , televisi harus

proaktif dalam memberi motivasi.

2.2 Terpaan Media Televisi

Menurut Sari (1993) dalam Testiandini (2006), terpaan media (media exposure)

adalah upaya untuk mencari data khalayak mengenai penggunaan media baik jenis

(20)

dalam Testiandini (2006) juga menambahkan bahwa frekuensi penggunaan media

merupakan pengumpulan data khalayak tentang berapa kali (hari) seseorang

menggunakan televisi dalam satu minggu. (untuk meneliti program harian), berapa

kali (minggu) seseorang menggunakan media dalam satu bulan (untuk program

mingguan dan tengah bulan) serta berapa kali (bulan) seseorang menggunakan media

dalam satu tahun.

Sebagian besar anak-anak merasa lebih nyaman duduk di depan televisi

ketimbang bermain di luar rumah. Seorang anak dapat menghabiskan tiga sampai

empat jam perharinya untuk duduk menonton televisi, tapi tak sedikit anak yang

menonton televisi lima sampai enam jam perhari bahkan lebih pada hari-hari tertentu,

seperti Sabtu dan Mingg (Hidup, 2008).

Hasil survei ini bak dering jam weker yang pantas membuat orangtua awas.

Data Perserikatan Bangsa Bangsa (Thamrin, 2008) menyatakan bahwa para bocah di

Indonesia terpekur rata-rata lima jam sehari di depan layar kaca atau total jenderal

1.560 hingga 1.820 jam setahun. Angka ini, menurut UNICEF, jauh lebih gemuk

ketimbang jumlah belajar mereka yang 1.000 jam setahun di sekolah. Maka jadilah

kotak televisi sekolah tandingan bagi anak-anak ini. Padahal Thamrin (2008)

menyatakan bahwa seharusnya anak usia lima tahun hanya menonton televisi selama

1,5 jam per hari atau paling lama dua jam per hari. Itu juga tidak terus-menerus,

dibagi-bagi, misalnya satu jam setelah pulang sekolah, dan satu jam lagi setelah

mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) di malam hari.

Survei lain yang dilakukan menyebutkan bahwa lebih dari setengah anak-anak

di Amerika Serikat mempunyai televisi di kamar mereka. Usia remaja paling banyak

menonton televisi di kamar dan hampir sepertiga anak-anak pra sekolah memiliki

televisi di kamar mereka dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton

televisi. Disebutkan juga adanya beberapa orang siswa sebuah sekolah yang

bergantian bolos dari sekolah demi menonton sebuah tayangan opera sabun di

televisi. Di Indonesia mungkin tidak sampai menjangkau persentase sebesar ini

namun pengaruh televisi juga telah banyak membentuk pola pikir dari anak-anak

(21)

Isnaini (2006) menyebutkan bahwa Yayasan Pengembangan Media Anak

menyatakan penelitiannya pada 2002 yang menunjukkan bahwa jam menonton

televisi pada anak Indonesia mencapai 30-35 jam/ minggu atau 1560-1820/ tahun.

Hal ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di Sekolah Dasar yang tidak sampai

1000 jam/ tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa televisi telah menjadi guru yang

menawan di luar kelas, menjadi saingan guru sesungguhnya di dalam kelas atau

pendidikan dalam keluarga.

Hal ini diperkuat oleh Vera (2007) yang menyatakan bahwa:

“Tidak dapat dipungkiri peran televisi saat ini semakin besar saja. Peranannya sebagai media komunikasi visual sangat luar biasa dibandingkan media-masa yang lain. Temuan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia tahun 1996 yang dilansir majalah [aikon!] media alternatif menyebutkan bahwa anak-anak Indonesia (usia 6-15 tahun) harus menyisihkan waktu 22-26 jam per minggu untuk menonton televisi. Bahkan anak Amerika sejak usia delapan belas bulan sudah secara mendalam dikonfrontasikan pada medium televisi. Pada akhir humaniora-nya jumlah jam menonton televisi dari anak-anak muda Amerika mencapai 16.000 jam. Ketika usia mencapai 20 tahun secara total hampir

mencapai juta reclamesport atau mencapai rata-rata 1000 per pekan)”

Padahal, Thamrin (2008) mengungkapkan penilaian terhadap kualitas program

acara televisi secara umum dan diperoleh hasil 0,5 persen menyatakan sangat baik,

27,2 persen menyatakan baik, 41,9 persen menyatakan biasa saja, 24,6 persen

menyatakan buruk, 4,2 persen menyatakan sangat buruk, dan 1,6 persen menyatakan

tidak tahu. Selain itu dikatakan pula bahwa 80,1 persen responden menyatakan bahwa

tayangan hiburan di televisi justru tidak ramah anak alias berbahaya jika ditonton

oleh anak-anak, 68,6 persen responden menyatakan tayangan hiburan di televisi

buruk dan sangat buruk dalam memberi model perilaku yang baik kepada

pemirsanya, 50,8 persen responden menyatakan bahwa program hiburan di televisi

amat buruk dalam meningkatkan empati sosial, yakni memberi kesadaran untuk

peduli terhadap orang lain dan 70,7 persen responden menyebut program hiburan di

televisi menunjukkan kualitas buruk dalam mengangkat tema yang relevan dalam

(22)

2.3. Belajar pada Anak

Biggs (1991) dalam Syah (2003) mendefinisikan belajar dalam tiga macam

rumusan yaitu: rumusan kuantitatif, rumusan institusional, dan rumusan kualitatif.

Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau

pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi belajar

dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai siswa.

Syah (2003) menyebutkan secara kuantitatif (tinjauan kelembagaan), belajar

dipandang sebagai proses validitas (pengabsahan) terhadap penguasaan siswa atas

materi-materi yang telah ia pelajari. Ukurannya ialah semakin baik mutu mengajar

yang dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang

kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai.

Adapun pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) adalah proses

memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia

di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya

pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini

dan nanti dihadapi siswa (Syah, 2003)

2.4 Belajar Kognitif pada Anak

Istilah cognitive berasal dari kata cognition berarti mengetahui. Dalam arti yang

luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan

(Neisser dalam Syah, 2003). Dalam perkembangan selajutnya, istilah kognitif

menjadi popular sebagai salah satu domain atau wilayah ranah psikologi manusia

yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,

pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan

keyakinan.

Menurut Syah (2003) ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang perlu

dikembangkan segera, khususnya oleh guru yaitu:

1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran.

2. Strategi meyakinkan arti penting isi materi pelajaran dan aplikasi serta menyerap

(23)

Menurut Syah (2003), belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan

tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi

kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh

interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru

hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau

berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal

dari lingkungan.

Syah (2003) menyatakan implikasi teori perkembangan kognitif dalam

pembelajaran adalah:

a. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru

mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.

b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan

baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan

sebaik-baiknya.

c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan

diskusi dengan teman-temannya.

2.5 Hubungan Karakteristik Individu, Faktor Psikologi dan Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi dan Belajar Kognitif Anak

2.5.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Terpaan Media Televisi

Testiandini (2006) menyatakan perbedaan pola dan pengaruh menonton televisi

berdasarkan perbedaan karakteristrik individu. Perbedaan pola dan pengaruh

menonton televisi berdasarkan karakteristik individu adalah sebagai berikut.

1. Jenis kelamin

Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006), responden laki-laki menunjukkan

motivasi yang rendah untuk memenuhi kebutuhan kognitifnya dari menonton

televisi. Sebaliknya responden wanita menunjukkan motivasi yang sangat tinggi

(24)

Purwanto (1998) dalam Testiandini (2006) menyatakan bahwa laki-laki lebih

menyukai menonton televisi seperti kuis, acara olahraga dan film aksi, sedangkan

perempuan lebih menyukai menonton sinetron, telenovela, infortainment.

2. Usia

Hasil penelitian Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006), menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang cukup berarti antara karakteristik individu responden

dengan motivasi menonton televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Semakin

rendah usia responden maka semakin semakin rendah pula motivasi menonton

televisi untuk memenuhi kebutuhan kognitif. Sejalan dengan Kuswanto, hasil

penelitian Bajari (1995) dalam Testiandini (2006), juga menunjukkan bahwa

semakin tua usia ternyata responden semakin lebih banyak mencurahkan waktu

untuk melakukan kontak dengan media massa.

3. Uang saku

Hasil penelitian Kuswanto (1993) dalam Testiandini (2006) menunjukkan bahwa

semakin rendah tingkat ekonomi ternyata tingkat motivasi untuk memenuhi

kebutuhan kognitif dari belajar akan berkurang. Namun hal berbeda disampaikan

oleh Bajari (1995) dalam Testiandini (2006). Bajjari menunjukkan bahwa semakin

tinggi penghasilan ternyata semakin menyisihkan televisi karena kesenangan non

media yang lebih luas.

4. Tipe kepribadian.

Tipe kepribadian mempengaruhi selera dalam memilih suatu jenis acara. Selain itu

tipe kepribadian diperkirakan juga akan mempengaruhi respons dan efek yang

akan dirasakan setelah mengakses media massa (Testiandini 2006)

5. Pendidikan

Hasil penelitian Bajari (1995) dalam Testiandini (2006), menunjukkan bahwa

pendidikan dan tanggung jawab pekerja professional yang lebih tinggi dapat

mengakibatkan pilihan acara yang berbeda. Selain itu disebutkan pula bahwa

semakin tinggi pendididkan responden maka kebutuhan untuk memperoleh

(25)

6. Waktu luang

Waktu luang orang yang pekerjaannya banyak bisa diduga cenderung akan

menggunakan waktu kosongnya untuk beristirahat daripada menonton televisi.

Sedangkan orang yang waktu kerjanya lebih sedikit mungkin lebih banyak

meluangkan waktunya untuk menonton televisi (Testiandini 2006)

2.5.2 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Terpaan Media Televisi pada Anak

Lingkungan sosial seperti lingkungan keluarga dan teman-teman memiliki

hubungan nyata dengan terpaan media televisi pada anak. Ketika menonton televisi,

biasanya anak didampingi oleh orang tua atau keluarga. Maka dapat dikatakan bahwa

semakin sering suatu keluarga menonton televisi maka semakin sering pula anak

menonton televisi dan sebaliknya semakin jarang suatu keluarga menonton televisi,

maka semakin jarang pula seorang anak menonton televisi. Selain itu orang tua juga

berperan dalam mengawasi anaknya dalam menonton televisi (Testiandini 2006).

Tasmin (2002) menyatakan bahwa perilaku orang tua dalam mengawasi pola

menonton televisi pada anaknya antara lain, yaitu:

1. Mendampingi anak ketika menonton televisi dan memberi penjelasan.

Hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian dan

mendampingi anak ketika menonton televisi. Jika anak bertanya jawablah

pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak. Banyak

hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang

memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari

orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya salah atau benar,

anak mungkin tidak tahu. Di sini tugas orang tua untuk selalu memberi pengertian

kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang

diterapkan orang tua juga bisa teratasi kalau orang tua memberi penjelasan kepada

anak.

2. Bersama dengan anak membuat jadwal kegiatan.

Anak juga perlu diajarkan bahwa ada waktu tersendiri untuk setiap kegiatan. Atur

(26)

Walaupun anak sudah relaks dengan menonton televisi, anak tetap butuh waktu

untuk bermain. Televisi mengkondisikan anak menjadi pasif, hanya menerima dan

menyerap informasi dengan posisi tubuh yang juga pasif. Oleh karenanya anak

tetap butuh waktu untuk bermain (terutama bermain dengan anak lain) supaya

mereka tetap aktif dan mampu bersosialisasi.

3. Menyeleksi program tayangan televisi yang cocok untuk anak.

Jika tidak sempat mendampingi anak. Orang tua sebaiknya menyeleksi tayangan

televisi mana yang cocok untuk anak. Sebelum anak diizinkan untuk menonton

program tersebut, orang tua telah mengetahui apakah program tersebut cocok atau

tidak untuk anak.

4. Membangun kerjasama dengan seluruh anggota keluarga.

Bangunlah kerjasama dengan seluruh anggota keluarga, karena kerjasama dari

seluruh anggota keluarga (termasuk pengasuh) sangat diperlukan. Pastikan bahwa

seluruh keluarga memiliki pengertian yang sama mengenai anak dan masalah

televisi tersebut.

5. Konsistensi dalam bertindak.

Orang tua atau pengasuh selalu bertindak secara konsisten dan tidak bosan-bosan

dalam memberikan pengertian kepada anak, sehingga anak tahu dengan jelas mana

yang boleh mana yang tidak, mana yang baik mana yang buruk.

Kurniasih (2006) menyatakan bahwa lingkungan sosial yang juga berhubungan

nyata dengan perilaku menonton televisi adalah lingkungan teman. Lingkungan

teman dapat menyebabkan seseorang untuk tertarik menonton tayangan tertentu,

dimana teman sering menonton, mengajak dan menceritakan kembali jalan cerita

tayangan tersebut.

2.5.3 Hubungan Faktor Psikologi dengan Belajar Kognitif pada Anak

Syah (2003) menyatakan bahwa karakteristik individu yang mempengaruhi

(27)

1. Aspek Fisiologi

Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat

kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat

dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ yang lemah,

apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya dapat menurunkan kualitas ranah

cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak

berbekas.

2. Aspek Psikologi

Banyak faktor yang termasuk aspek psikologi yang dianggap mempengaruhi

perilaku belajar, namun faktor –faktor yang dianggap lebih esensial adalah:

a. Intelegensi siswa

Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik

untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan

cara yang tepat. Tingkat kecerdasan atau intelegensi siswa tidak dapat

diragukan lagi sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini

bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin

besar peluangnya untuk meraih sukses.

b. Sikap siswa

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afeksi berupa kecenderungan

untuk mereaksi atau merespons dengan cara yang relatif tetap terhadap objek

orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap

positif, terutama terhadap mata pelajaran merupakan awal yang baik bagi

proses belajar siswa tersebut.

c. Bakat siswa

Dalam perkembangannya, bakat diartikan sebagai kemampuan individu untuk

melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan

latihan. Sehingga dapat dikatakan bahwa, bakat dapat mempengaruhi

tinggi-rendahnya prestasi belajar bidang-bidang tertentu. Pemaksaan kehendak

(28)

memilih jurusan keahlian tertentu yang sebenarnya tidak sesuai dengan

bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik.

d. Minat siswa

Secara sederhana, minat berarti kecenderungan dan gairah yang tinggi atau

keinginan yang besar terhadap sesuatu. Minat dapat mempengaruhi kualitas

pencapaian hasil belajar dalam bidang-bidang studi tertentu. Seorang siswa

yang berminat terhadap bidang studi tertentu, akan memusatkan perhatiannya

lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian pemusatan perhatian yang

insentif inilah yang memungkinkan siswa untuk belajar lebih giat dan akhirnya

mencapai prestasi yang diinginkan.

e. Motivasi siswa

Dalam perkembangannya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:

(1) motivasi intrinsik dan (2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal

dan keadaan yang berasal dari diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya

melakukan tindakan belajar. Contohnya perasaan menyenangi pelajaran dan

kebutuhannya terhadap materi tersebut. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah

hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga dapat

mendorong untuk melakukan tindakan belajar.

Perspektif psikologi kognitif menyatakan bahwa motivasi yang lebih signifikan

bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak

bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Selanjutnya, dorongan mencapai

prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan

juga memberi pengaruh kuat dan relatif lebih langgeng dibanding dengan dorongan

hadiah atau dorongan keharusan dari orangtua dan guru.

2.5.4 Hubungan Lingkungan Sosial dengan Belajar Kognitif pada Anak

Lingkungan yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar adalah orang

tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktek pengolahan keluarga,

ketegangan keluarga dan demografi keluarga (letak rumah) semuanya dapat

(29)

Syah (2003) menyatakan bahwa lingkungan sosial sekolah seperti para guru,

para staf administrasi dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat

belajar siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik

dan memperlihatkan suri-teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar,

misalnya rajin membaca dan berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi

kegiatan belajar siswa.

Lingkungan sosial siswa yang mempengaruhi belajar kognitif meliputi

masyarakat dan tetangga serta teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan

siswa tersebut. Kondisi masyarakat kumuh yang serba kekurangan dan sebagian besar

adalah anak pengangguran misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar

siswa. Paling tidak, siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan

teman belajar dan berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan

belum dimilikinya.

2.6 Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Perilaku Belajar Kognitif Anak

Efek kognitif komunikasi masa menurut Robert (2003) dalam Kurniasih (2006)

yaitu komunikasi masa secara tidak langsung menimbulkan perilaku tertentu tetapi

cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan

dan citra. Inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku. Media massa bekerja

untuk menyampaikan informasi dan informasi itu dapat membentuk,

mempertahankan atau meredefinisikan citra. Media menampilkan realitas yang sudah

diseleksi (realitas tangan kedua), misalnya televisi memilih tokoh-tokoh tertentu

untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh lain dan karena seseorang tidak

dapat dan tidak sempat mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media sehingga

cenderung menerima informasi itu hanya berdasarkan pada apa yang dilaporkan

media. Akhirnya seseorang membentuk citra tentang lingkungan sosial seseorang

berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.

Isnaini (2006) menyatakan bahwa selama ini, usaha untuk menjadikan televisi

sebagai media pembelajar, masih berporos pada bagaimana cara program televisi

(30)

televisi, seperti ide awal munculnya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan

beberapa program Aku Cinta Indonesia (ACI), Cerdas-cermat dan Televisi-edukasi

yang yang diluncurkan Pusat Teknologi dan Komunikasi (Pustekkom) tahun 2004

dan direlai di seluruh kabupaten di Indonesia tahun 2006. Lebih lanjut Isnaini (2006)

menyatakan bahwa semua program televisi sebenarnya memiliki nilai edukasi yang

dapat digali dan diintegrasikan dalam rangka membangun karakter siswa ataupun

individu. Dengan menggunakan teori belajar “penguatan positif” dan “penguatan

negatif” dapat digunakan untuk membuat stategi pembelajaran yang diminati oleh

siswa.

Isnaini (2006) menyatakan bahwa televisi dapat membawa dampak buruk pada

anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi

yang simpel, memikat dan membuat ketagihan sangat mungkin membuat anak

menjadi malas belajar. Hal ini berikutnya akan membentuk pola pikir yang sederhana

pada anak. Terlalu sering menonton televisi dan malas membaca menyebabkan anak

memiliki pola pikir sederhana, tidak kritis, linier atau searah yang pada akhirnya akan

mempengaruhi imajinasi intelektual, kreativitas dan perkembangan kognitifnya.

Televisi juga dapat mengurangi konsentrasi anak, rentang waktu konsentrasi anak

hanya sekitar tujuh menit, persis seperti acara dari iklan ke iklan. Hal ini dapat

membatasi daya konsentrasi anak.

Melihat realita di atas, maka guru dan orang tua harus berinisiatif untuk

membangun karakter anak dengan memanfaatkan, dan menjadikan televisi sebagai

mitra dalam pembelajaran. Guru dan orang tua harus secara aktif mendesain sistem

dan strategi untuk menjadikan tayangan televisi sebagai pembelajaran bahkan

mendesak untuk memasukan program ini dalam mata pelajaran yang berlaku secara

nasional.

Sadiman (1984) menyatakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk

mengajak pembelajar untuk mengemukakan pengalamannya menonton televisi

misalnya: 1) Apa program/ tayangan yang ditonton? 2) Kesimpulan apa yang dapat

diambil? 3) Hikmah apa yang dapat disarikan? 4) Apakah pernah mengalami hal yang

(31)

tayangan. Selanjutnya guru/ orang tua dapat mengajak pembelajar untuk berdiskusi

mengenai tayangan yang ditontonnya dengan harapan diskusi dapat meningkatkan

daya apresiasinya. Hal ini sangat efektif dilakukan jika dikaitkan dengan mata

pelajaran tertentu yang kental dengan nuansa nilai seperti PPKN dan Pendidikan

Agama.

Menurut Sadiman (1984) kelebihan-kelebihan televisi sebagai media

pendidikan antara lain adalah sebagai berikut.

1. Televisi dapat menerima, menggunakan dan mengubah atau membatasi semua

bentuk media lain, menyesuaikan dengan tujuan.

2. Televisi merupakan medium yang menarik, modern dan selalu siap diterima oleh

anak-anak karena mereka mengenalkannya sebagai bagian dari kehidupan luar

sekolah mereka.

3. Televisi dapat memikat perhatian sepenuhnya dari penonton. Seperti halnya film,

televisi menyajikan informasi visual dan lisan secara simultan.

4. Televisi memiliki realitas dari film, tapi juga memiliki kelebihan yang lain yaitu

immediancy (objek yang baru saja ditangkap kamera dapat segera

dipertontonkan).

5. Sifatnya langsung dan nyata. Dengan televisi anak dapat tahu kejadian-kejadian

mutakhir, mereka dapat mengadakan kontak dengan orang-orang besar / tertentu

dalam bidangnya, melihat dan mendengarkan mereka berbicara.

Kelebihan-kelebihan televisi tersebut akan membuat program yang

menyampaikan hal-hal mengenai pendidikan akan mudah diterima oleh anak-anak

sehingga pada akhirnya akan menambah pengetahuan anak tersebut. Guru dan orang

tua harus secara aktif mendesain sistem dan strategi untuk menjadikan tayangan

televisi sebagai pembelajaran bahkan mendesak untuk memasukan program ini dalam

mata pelajaran yang berlaku secara nasional. Salah satunya dengan mengajak

pembelajar untuk mengemukakan pengalamannya menonton televisi

Televisi dapat pula membawa dampak buruk pada kegiatan belajar kognitif

anak-anak, salah satunya televisi dapat mengurangi semangat belajar. Bahasa televisi

(32)

belajar kognitif anak ternyata juga sangat mungkin membuat anak menjadi malas

belajar. Anak-anak menjadi malas membaca sehingga menyebabkan anak memiliki

pola pikir sederhana, tidak kritis, linier atau searah yang pada akhirnya akan

mempengaruhi imajinasi intelektual, kreativitas dan perkembangan kognitifnya.

Selain itu banyaknya program yang tidak cocok dengan usia anak-anak

menyebabkan tambahan pengetahuan yang diperoleh anak dapat dikatakan tidak baik/

tidak cocok untuk anak tersebut sehingga nanti akan berpengaruh pada

kepercayaan/keyakinan anak tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi sikap

anak.

Adapun keterkaitan antara variabel-variabel tersebut, tersaji dalam kerangka

[image:32.612.102.575.345.624.2]

pemikiran di bawah ini.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Gambar 1 di atas menjelaskan bahwa karakteristik individu seperti usia, uang

saku dan waktu luang mempengaruhi terpaan media televisi pada anak SD. Selain Lingkungan Sosial:

• Sekolah (guru,

teman sekolah)

• Tetangga dan

teman sepermainan

• Keluarga

Karakteristik individu:

• Usia

• Uang saku

• Waktu luang

Terpaan Media Televisi:

•frekuensi

penggunaan

•durasi

penggunaan

•pilihan pesan

Belajar Kognitif:

•penguasan

materi

•tambahan

pengetahuan Faktor Psikologi:

• Sikap

• Bakat

• Minat

(33)

karakteristik individu, lingkungan sosial seperti sekolah (guru dan teman sekolah),

tetangga dan teman sepermainan serta keluarga juga tidak dapat dilepaskan

hubungannya dengan terpaan media televisi pada anak SD.

Faktor psikologi dan lingkungan sosial juga ikut serta mempengaruhi perilaku

belajar kognitif. Faktor psikologi yang mempengaruhi belajar kognitif adalah aspek

yang meliputi sikap, bakat, minat dan motivasi. Dilihat dari lingkungan sosial, yang

dapat digolongkan menjadi hal yang mempengaruhi perilaku belajar kognitif adalah

lingkungan sekolah (guru dan teman sekolah), tetangga dan teman sepermainan, serta

keluarga.

Terpaan media sendiri akan mempengaruhi perilaku belajar kognitif pada anak.

Terpaan media pada anak dapat dilihat dari frekuensi dan durasi anak menggunakan

televisi dalam sehari sedangkan pengaruh dengan perilaku belajar dapat dilihat dari

aspek banyaknya materi yang didapat dan tambahan pengetahuan yang diperoleh.

Berdasarkan kerangka pemikiran dapat disusun hipotesis sebagai berikut:

H1= Terdapat hubungan signifikan antara karakteristik individu dan terpaan media

pada anak.

H2= Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan terpaan media pada

anak.

H3= Terdapat hubungan signifikan antara faktor psikologi dan perilaku belajar

kognitif pada anak.

H4= Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan sosial dan perilaku belajar

kognitif pada anak.

H5= Terdapat hubungan signifikan antara terpaan media televisi dan perilaku belajar

(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 04 Kelurahan

Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut

dilakukan dengan cara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa SDN 04

Dramaga merupakan salah satu Sekolah Dasar yang ada di daerah lingkar kampus.

Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama tiga bulan yaitu Juli sampai

September 2009.

3.2 Penetapan Populasi dan Responden Penelitian

Populasi yang diambil adalah siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) 04

Kelurahan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Populasi total dalam

penelitian berjumlah 665 orang dengan 346 orang sebagai populasi sasaran

sedangkan jumlah responden yang diambil sebanyak 70 orang. Teknik yang

digunakan untuk memilih responden adalah Stratified Random Sampling. Pemilihan

kelas ini mempertimbangkan bahwa anak pada tingkatan kelas tersebut anak telah

memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik sehingga lebih mampu

memahami pertanyaan/ pernyataan. Selain itu, anak pada tingkat kelas tersebut lebih

dapat menyatakan keinginan atau pendapatnya sehingga dapat menjawab pertanyaan/

pernyataan yang diajukan. Kemudian setiap kelas diambil masing-masing 20 persen.

Dari enam kelas yang ada dipilih kelas IV, V dan VI. Setelah pemilihan kelas

(35)
[image:35.612.102.534.122.236.2]

Distribusi populasi dan sampel penelitian tersaji pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Distribusi Populasi dan Sampel Responden

Kelas Populasi total (orang) Populasi Sasaran

(orang)

Sampel (orang)

I 126 - -

II 105 - -

III 105 - -

IV 97 97 20

V 120 120 24

VI 132 132 26

Jumlah 665 346 70

Sumber: data SDN.04 Dramaga 2009

3.3 Desain Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif yang

didukung oleh data kualitatif. Penelitian kuantitatif di sini menggunakan desain

survei deskriptif kolerasi. Dimana penelitian ini berusaha menggambarkan

karakteristik individu, lingkungan sosial dan faktor psikologi serta hubungannya

dengan terpaan media televisi/belajar kognitif anak. Selain itu penelitian ini juga

berusaha menggambarkan terpaan media televisi dan belajar kognitif pada anak serta

hubungan keduanya.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner yang disebarkan

dan diisi oleh responden sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa

data mengenai keadaan umum lokasi penelitian yang diperoleh dari kantor Kepala

Sekolah.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner

terdiri dari sejumlah pertanyaan terdiri dari pertanyaan terbuka, dimana jawaban

responden tidak dibatasi sehingga dapat mengungkap lebih banyak hal dan

pertanyaan tertutup, dimana jawaban telah disediakan.

Kuesioner yang disebar dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama berisikan

(36)

pertanyaan/pernyataan mengenai lingkungan sosial baik yang mempengaruhi terpaan

media televisi maupun belajar kognitif anak. Bagian ketiga berisikan

pertanyaan/pernyataan mengenai faktor psikologi. Bagian keempat berisikan

pertanyaan/pernyataan mengenai terpaan media televisi. Bagian kelima berisikan

pertanyaan/pernyataan belajar kognitif anak Sekolah Dasar.

3.5 Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk

mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan

sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu:

1. Karakteristik Individu adalah kondisi atau keadaan spesifik individu yang berkaitan

langsung dengan dirinya. Variabel atau pengubah ini dapat diukur dengan:

a. Mengidentifikasi umur anak SD yaitu lamanya seseorang hidup dari sejak

lahir sampai saat penelitian dilakukan yang diukur dengan satuan tahun

(dibulatkan berdasarkan angka terdekat dengan tanggal lahir) dengan

menggunakan skala rasio;

b. Mengidentifikasi uang saku anak SD yaitu banyaknya uang yang dibawa

seorang anak ketika ke luar dari rumah. Indikator ini ukur dengan skala

ordinal dan dibedakan menjadi kategori tinggi, sedang dan rendah dan

c. Mengidentifikasi waktu luang anak SD adalah banyaknya waktu yang

dimiliki oleh anak SD selain kegiatan sekolah dan kegiatan-kegiatan lain yang

diikuti setelah jam sekolah. Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan

dibedakan menjadi kategori tinggi, sedang dan rendah.

2. Karakteristik Lingkungan Sosial adalah kondisi atau situasi yang menggambarkan

suasana di sekitar anak SD dan dapat diukur dengan indikator-indikator sebagai

berikut:

a. Mengidentifikasi sekolah (guru, teman sekolah) yaitu orang-orang yang

berinteraksi dengan anak sekolah dasar di sekolah (guru dan teman sekolah)

(37)

kognitif. Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi

kategori tinggi, sedang dan rendah;

b. Mengidentifikasi tetangga dan teman sepermainan yaitu orang-orang yang

berinteraksi dengan anak SD di lingkungan tempat tinggal dan memiliki

kemungkinan mempengaruhi terapaan media televisi/belajar kognitif.

Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi kategori tinggi,

sedang dan rendah dan

c. Mengidentifikasi keluarga yaitu orang tua dan anggota keluarga lain yang

memiliki hubungan darah dengan anak SD tersebut dan memiliki

kemungkinan mempengaruhi terpaan media/belajar kognitif anak SD.

Indikator ini ukur dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi kategori tinggi,

sedang dan rendah.

3. Faktor Psikologi yang mempengaruhi belajar kognitif pada anak SD yaitu

aspek-aspek kejiwaan yang mempengaruhi belajar kognitif anak Sekolah Dasar dan dapat

diukur dengan menggunakan indikator-indikator sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi sikap anak SD yaitu kecenderungan untuk merespons

dengan cara yang relatif tetap terhadap suatu objek orang, barang, dan

sebagainya dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi,

sedang dan rendah;

b. Mengidentifikasi bakat anak SD yaitu kemampuan individu untuk melakukan

tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan

dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan

rendah;

c. Mengidentifikasi minat anak sekolah dasar yaitu kecenderungan atau gairah

yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu dan diukur

menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah dan

d. Mengidentifikasi motivasi anak SD yaitu hal dan keadaan yang berasal dari

diri anak SD yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar dan

(38)

4. Terpaan Media Televisi adalah penggunaan media televisi dilihat frekuensi

penggunaan, durasi penggunaan (longevity) serta pilihan pesan. Frekuensi, durasi

dan pilihan stasiun/ program acara yang dipilih dilihat dalam kurun waktu satu hari

dengan indikator-indikator sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi frekuensi anak SD menonton televisi yaitu berapa kali

seorang anak sekolah dasar menonton televisi per harinya dan diukur

menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah;

b. Mengidentifikasi durasi anak SD menonton televisi yaitu jumlah jam anak

menonton acara/ program tertentu di televisi dan diukur menggunakan skala

ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah.

c. Mengidentifikasi pilihan pesan anak SD yaitu keinginan anak terhadap pesan

yang dingin didapat dari menonton televisi terutama yang mengangkut belajar

kognitif dan diukur menggunakan skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang

dan rendah.

5. Belajar Kognitif adalah proses untuk mengetahui atau mengelolah dan

menggunakan pengetahuan dan dapat diukur dengan:

a. Mengidentifikasi banyaknya materi acara yang dikuasai oleh anak SD yaitu

jumlah keseluruhan materi yang diperoleh anak SD dari satu acara/ program

tertentu yang ditontonnya dan diukur menggunakan skala ordinal dengan

kriteria tinggi, sedang dan rendah dan

b. Mengidentifikasi tambahan pengetahuan yang didapat yaitu peningkatan

pengetahuan dari pengetahuan awal ke pengetahuan sekarang dan diukur

menggunakan skala ordinal dengan kriteria tinggi, sedang dan rendah.

Pada setiap variabel diberikan tiga pilihan jawaban dari pertanyaan/pertanyaan

yang ada. Pilihan tersebut adalah rendah, sedang dan tinggi. Setiap pilihan

mendapatkan skor 1-3. Semakin besar nilai skor maka menunjukan bahwa

(39)

Perhitungan nilai skor diatur sebagai berikut:

x 100%

Jumlah skor akhir yang didapat oleh masing-masing variabel kemudian

diatur sebagai berikut:

0,01 - 30,33 = rendah

33,34 - 66,66 = sedang

66,67 - 100 = tinggi

3.6 Validitas dan Reliabilitas Instrumen

3.6.1 ValiditasInstrumen

Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data

(mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat mengukur apa yang

seharusnya diukur (Priyatno 2008). Validitas dalam penelitian didapat dengan jalan

menyesuaikan pertanyaan-pertanyaan yang dibuat dengan teori-teori yang ada dan

pendapat dari ahli, termasuk konsultasi dengan dosen serta dengan menggunakan

koefisien product moment Pearson. Secara statistik angka korelasi yang diperoleh

dibandingkan dengan nilai kritis tabel korelasi.

Secara lengkap rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan:

r = nilai koefisien validitas N = jumlah responden X = skor pertanyaan pertama Y = skor total

Setelah dilakukan uji kuesioner kepada 10 responden maka diperoleh hasil

validitasi instrument. Dari 88 pertanyaan yang diajukan terdapat tujuh pertanyaan

yang memiliki hasil uji validitas lebih kecil dibandingkan dengan nilai r tabel (0,632).

(40)

3.6.2 Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas instrumen menunjukkan pada pengertian apakah instrumen dapat

mengukur sesuatu yang diukur secara konsisten dari waktu ke waktu (Priyatno 2008).

Uji Reliabilitas Instrumen dilakukan dengan menggunakan uji koefisien reliabilitas

teknik belah dua dengan membagi butir pertanyaan-pertanyaan yang valid tersebut

menjadi belahan genap dan belahan ganjil.

Pengukuran koefisien reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan rumus

sebagai berikut:

Keterangan:

rtot = angka koefisien reliabilitas keseluruhan item

rtt = angka korelasi belahan pertama dan kedua

Setelah dilakuakn uji kuesioner pada 10 responden diperoleh nilai reliabilitas

sebesar 0,70 untuk karaketristik individu, 0,71 untuk lingkungan sosial, 0,73 untuk

faktor psikologi, 0,89 untuk terpaan media televisi dan 0,85 untuk belajar kognitif.

Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa kuesioner telah valid.

3.7 Analisis data

Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif, berupa

frekuensi, persentase, median, rataan skor dan analisis statistik inferensial, berupa uji

hubungan Stuctural Equation Modeling (SEM). Analisis frekuensi, persentase dan

median digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik individu berupa umur.

Rataan skor digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik individu berupa uang

saku dan waktu luang, lingkungan sosial, faktor psikologi, terpaan media dan belajar

kognitif pada anak. SEM digunak

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 1.  Distribusi Populasi dan Sampel Responden
Gambar 3. Model Persamaan Terstuktur Bivariate 2
Gambar 6. Model Persamaan Terstuktur Bivariate 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini menunjukkan Public Relations PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region V Surabaya telah melakukan serangkaian strategi Public

Penulisan Ilmiah ini adalah membuat web site suatu tempat pendidikan dan pelatihan yaitu PUSDIKLAT KEJAKSAAN RI dengan menggunakan XML, Macromedia Dreamweaver MX dan ASP. Sebagai

yang menyampaikan penawaran atau tidak ada penawaran yang lulus evaluasi penawaran , maka Pokja ULPD Kemenkeu Provinsi Sumatera Utara menyatakan bahwa tidak ada

Setelah berbagai data yang dibutuhkan dalam penelitian diperoleh dan menghasilkan, (1) Strategi pemasaran yang dilakukan oleh Home Industry Kecap Asin Cap Jempol A-1 di

menyediakan dana dari sumber lainnya atau modal sendiri dengan kata lain Capital adalah untuk mengetahui sumber-sumber pembiayaan yang dimiliki nasabah terhadap

Terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan tekanan darah pada remaja di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta., ditunjukkan dengan hasil uji

Akhir kata, semoga Tugas Akhir ini dapat berguna bagi semua pihak yang membaca, khususnya bagi mahasiswa Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Universitas Atma

[r]