• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Limbah Batik Pewarna Alami dan Toksisitas Terhadap Larva Udang (Artemia salina Leach

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kualitas Limbah Batik Pewarna Alami dan Toksisitas Terhadap Larva Udang (Artemia salina Leach"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS LIMBAH BATIK PEWARNA ALAMI DAN

TOKSISITAS TERHADAP LARVA UDANG

(

Artemia salina Leach

)

BUDI KHASANA MAULIDDIN

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

BUDI KHASANA MAULIDDIN. Kualitas Limbah Batik Pewarna Alami dan

Toksisitas Terhadap Larva Udang

(Artemia salina Leach)

. Dibimbing oleh Prof

Dr.drh Maria Bintang, MS dan Dra. Hernani, MSc.

Air limbah dari proses membatik mengandung berbagai jenis bahan

organik dan anorganik. Hal ini ditunjukkan oleh tinggi dan rendahnya nilai pH,

kebutuhan oksigen kimia (KOK), kebutuhan oksigen biologi (KOB), kandungan

detergen dan lilin serta logam berat yang dapat menurunkan daya guna perairan

tersebut. Penggunaan zat warna alami secara teoritis memiliki limbah yang aman

karena limbahnya mudah terdegradasi secara biologis. Penelitian ini bertujuan

menguji kualitas limbah batik pewarna alami dan toksisitasnya terhadap larva

udang (

Artemia salina leach

), sehingga limbah yang dihasilkan aman untuk

lingkungan. Namun, limbah yang dihasilkan dari pewarnaan alami belum

sepenuhnya aman untuk lingkungan, karena pada tahapan-tahapan proses

membatik banyak masih menggunakan bahan kimia walaupun relatif kecil. Bahan

alami yang digunakan terbuat dari ekstrak kulit kayu secang. Analisis uji kualitas

limbah dan toksisitas terhadap larva udang menunjukkan hasil uji toksisitas

dengan LC

50

sebesar 1100,19 mg/L dan beberapa parameter seperti kandungan

besi 0,5587 mg/L; kalsium 4,5562 mg CaCO

3

/L; alumunium sebesar 5,9892; pH

6,31; KOB 89,155 mg/L; KOK 676,7 mg/L; minyak nabati 0,784 mg/L; dan

surfaktan anionik (LAS) 11,9741 mg/L. Penggunan ekstrak secang sebagai

pewarna batik cukup aman karena memiliki limbah dengan LC

50

diatas 1000

(3)

ABSTRACT

BUDI KHASANA MAULIDDIN.

The quality of the natural dye batik waste

and toxicity against shrimp larva (

Artemia salina

Leach).

Under the direction of

Prof Dr.drh Maria Bintang, MS and Dra. Hernani, MSc.

Waste water from the process of batik contain different types of organic

and inorganic materials. These demonstrated by the high and low values of pH,

chemical oxygen demand (COD), biological oxygen demand (BOD), content of

detergents and wax as well as heavy metals which can degrade the usability of

these water. The use of natural colouration theoretically safe because the waste is

biologically degradable easily.

The purpose of this research is to test the quality

of

the natural dye batik waste and toxicity against shrimp larva (

Artemia salina

Leach

),

so the waste produced safe for the environment.

The waste from the

natural coloration is not entirely safe for the environment, because in the process

of batik making, some stages are still using chemicals, although relatively small.

The natural ingredients has been used were made of bark extract secang wood.

Analysis test of the quality of waste and toxicity test of shrimp larvae showed that

LC

50

of 1100.19 mg/L and some parameters such as the iron content of 0.5587 mg

/ L; calcium 4.5562 mg CaCO

3

/L; alumunium at 5.9892; pH 6.31; BOD 89.155

mg/L; COD 676.7 mg/L; vegetable oil 0.784 mg/L; and anionic surfactant (LAS)

11.9741 mg/L. The usage of secang wood as a batik dye extract is quite safe

because of the LC

50

of the waste was above 1000 mg/L, although there were

(4)

KUALITAS LIMBAH BATIK PEWARNA ALAMI DAN

TOKSISITAS TERHADAP LARVA UDANG

(

Artemia salina Leach

)

BUDI KHASANA MAULIDDIN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul

: Kualitas Limbah Batik Pewarna Alami dan Toksisitas Terhadap Larva

Udang

(Artemia salina Leach)

Nama

: Budi Khasana Mauliddin

NRP

: G84063170

Disetujui

Diketahui

Ketua Departemen Biokimia

Dr.Ir. I Made Artika, M.App.Sc

NIP. 19630117 198903 1 000

Tanggal lulus:

Prof Dr.drh Maria Bintang, MS

Ketua

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga

selesainya penulisan skripsi yang berjudul Uji Kualitas Limbah Batik Pewarna

Alami dan Toksisitas Terhadap Larva Udang

(Artemia salina Leach)

. Skripsi ini

disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan mulai bulan April sampai

bulan Juli 2011 yang bertempat di Laboratorium Balai Besar Pascapanen dan

Laboratorium Kimia Lingkungan, Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Prof Dr.drh

Maria Bintang, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan

dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan

laporan ini dengan baik, serta kepada Ibu Dra. Hernani, MSc selaku pembimbing

dari Balai Besar Penelitian Pascapanen yang telah memberikan kesempatan,

bimbingan, dan pengarahannya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada

Bapak Edi, Bapak Fajar, Bapak Adom dan Mba Melly atas semua bantuannya

selama penulis mengerjakan penelitian di Laboratorium Pascapanen. Ucapan

terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Aii, Ibu Nunung, Bapak Nano, dan

Bapak Ismail yang telah membatu pengerjaan penelitian selama di Laboratorium

Kimia IPB. Ucapan terimakasih juga tertuju kepada Ibu, Bapak, dan Kakak saya

Desi Levianawati, serta Adik saya yang telah memberikan dukungan baik secara

moril maupun materiil serta ucapan terimakasih juga kepada Sri Resti

Rusdianawati yang telah memberikan dukungan dan perhatiannnya dan

teman-teman yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan penelitian dan

laporan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1987 sebagai anak

kedua dari pasangan Muhamad Nurkahfi dan Lena Herawati. Pada tahun 2006,

penulis lulus dari SMAN 1 Cikarang Selatan dan pada tahun yang sama diterima

masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan

Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Cair ... 2

Zat Warna ... 3

Mordan ... 3

Kebutuhan Oksigen Kimiawi (KOK) ... 4

Kebutuhan Oksigen Biologi (KOB) ... 4

Uji Toksisitas ... 5

Spektrofotometer Serapan Atom ... 5

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat ... 6

Metode ... 6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Toksisitas Larva Udang ... 8

Derajat Keasaman (pH) ... 9

Kebutuhan Oksigen Biokimia ... 9

Kebutuhan Oksigen Kimia ... 10

Penentuan Kadar Besi ... 10

Analisis Detergen ... 11

Analisis Minyak ... 11

Analisis Kadar Kalsium ... 11

Analisis Alumunium ... 12

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 12

Saran ... 12

DAFTAR PUSTAKA ... 12

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Tanaman Secang ... 3

2 Tempat Penetasan

A. salina

... 8

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Diagram Alir Penelitian ... 16

2 Diagram Alir Uji Toksisitas ... 17

3 Hasil Analisis Probit Limbah Pewarna Alami dari kulit kayu Secang .. 18

4 Analisis Probit Limbah Pewarna Sintesis ... 20

5 Analisis Kebutuhan Oksigen Kimiawi ... 22

6 Analisis Kebutuhan Oksigen Biokimiawi ... 23

7 Hasil Pengukuran Besi Dengan AAS ... 25

8 Hasil Pengukuran Almunium Dengan AAS ... 26

9 Hasil Pengukuran Kalsium dengan AAS ... 27

10 Analisis Kadar Minyak dan Lemak... 28

11 Pengukuran Kadar Detergen ... 29

12 Keputusan Menteri KLH no.-03/MENKLH/H/1991 ... 30

13 Keputusan Walikota Cilegon Provinsi Banten No. 4 Tahun 2002... 31

14 Baku Mutu Air Limbah Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990 .... 32

(10)

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia kaya akan keanekaragaman tanaman baik dari segi varietas maupun jumlahnya. Keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Luasnya kawasan Indonesia memiliki beranekaragam macam tanaman yang spesifik yang menyebabkan ragam hias industri pewarna alam mampu bersaing dipasar Internasional. Awal tahun 2005 telah dibukanya pasar bebas yang meluas dan industri tekstil mulai dapat berkembang lagi menjadi lebih pesat, baik tekstil tradisional seperti batik, tenun, songket, rajut maupun tekstil modern seperti tekstil dengan bahan campuran, misalnya kapas, poliester, kapas dengan poliester, woll (seperti kain mori, oxfort, drill, brocade, satin). Meningkatnya persaingan warna alami menyebabkan adanya tuntutan baru terhadap warna tekstil yang bervariasi. Warna pada bahan tekstil merupakan suatu unsur pokok untuk menarik perhatian konsumen, karena warna dapat menciptakan suatu keindahan atau suasana tertentu (Kusriniati 2007).

Kemajuan teknologi membuat orang dapat memproduksi zat warna sintetis dengan berbagai macam variasi warna, namun terdapat masalah atau dampak negatifnya dalam pewarnaan yaitu limbahnya menimbulkan banyak pencemaran lingkungan disekitarnya karena pada proses pewarnaan dan penyempurnaannya menggunakan zat kimia yang berbahaya yang dapat meracuni lingkungan seperti kostik soda, asam sulfat, asam klorida dan sebagainya (Kusriniati 2007).

Zat warna sintetis ini memang lebih baik dibandingkan dengan zat warna alami. Zat warna sintesis memiliki komposisi tetap, pilihan warnanya lebih bervariasi, penggunaannya jauh lebih mudah, hasil pewarnaan lebih cerah, tersedia untuk semua jenis serat dan pada umumnya tahan luntur (Kusriniati 2007).

Usaha yang mulai banyak diminati oleh para peneliti untuk menggali kembali potensi alam Indonesia adalah konsep gerakan kembali ke alam (back to nature). Telah banyak zat warna yang telah direkomendasikan sebagai pengganti zat warna sintesis. Secara teoritis zat warna alami memiliki limbah yang aman karena limbahnya mudah terdegradasi secara biologis.

Limbah yang dihasilkan dari pewarnaan batik dengan menggunakan zat warna alami belum sepenuhnya aman untuk lingkungan, karena pada proses membatik banyak menggunakan tahapan-tahapan yang masih menggunakan bahan kimia walaupun relatif kecil.

Air limbah dari proses membatik mengandung berbagai jenis bahan organik dan anorganik. Hal ini ditunjukkan oleh tinggi dan rendahnya nilai pH, kebutuhan oksigen kimia (KOK), kebutuhan oksigen biologi (KOB), kandungan detergen dan minyak lilin serta logam berat yang dapat menurunkan daya guna perairan tersebut.

Standar baku mutu yang dapat digunakan untuk parameter analisis yang dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tahun 1991 (Lampiran 12) seperti nilai pH berada pada 6 sampai 9, KOK 40 mg/L, KOB5 20 mg/L, besi terlarut 1 mg/L, minyak

mineral 1 mg/L. Selain itu baku mutu untuk surfaktan anionik (LAS) sesuai baku limbah cair industri Keputusan Walikota Cilegon Provinsi Banten no. 4 Tahun 2002 (Lampiran 13) sebesar 10 mg/L.

Limbah yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini adalah limbah cair buangan proses membatik. Limbah cair ini terdiri dari limbah buangan hasil pencucian kain, limbah buangan pewarnaan, limbah buangan fiksasi dan limbah buangan penghilang lilin pada kain. Pewarna yang dipakai adalah dari ekstrak secang. Pewarna ini pernah digunakan juga dalam pewarna minuman seperti bir pletok dan teh secang. Pewarna yang digunakan saat membatik adalah bahan alami yang terbuat dari ekstrak kulit kayu secang, tidak tertutup kemungkinan limbah yang dihasilkan dari proses membatik ini 100% aman. Hal ini disebabkan saat proses membatik masih menggunakan bahan-bahan kimia walaupun relatif kecil. Limbah yang dihasilkan perlu di uji terlebih dahulu toksisitasnya agar aman terhadap lingkungan.

(11)

TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Cair

Limbah merupakan zat padat, cair atau gas yang dihasilkan organisme atau sistem yang dibuang ke lingkungan dan tidak digunakan oleh organisme atau sistem yang menghasilkannya (Allaby 1977). Air limbah adalah kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta buangan lainnya (Sugiharto 1987). Sesuai dengan asalnya maka air limbah mempunyai komposisi yang sangat bervariasi dari setiap tempat dan setiap saat. Air limbah mempunyai sifat yang dapat dibedakan menjadi tiga besar bagian (Sundstrom 1979), yaitu : sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi.

Adapun parameter fisik yang penting adalah suhu, kekeruhan, bau dan warna (Sugiharto 1987). Parameter biologi yang digunakan adalah pengamatan jumlah bakteri. Parameter kimia yang digunakan adalah pH, KOK, KOB, dan besi. Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa, serta merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen di dalam air (Saeni 1989). pH perairan air tawar berkisar dari 5,0-9,0. Nilai pH yang baik adalah pH yang memungkinkan kehidupan biologis berjalan baik. Air limbah dan bahan industri yang dibuang ke perairan dapat mengubah pH air dan akhirnya dapat mengganggu kehidupan organisme di dalam air. Karena pH air akan mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam air dan mempengaruhi tersediannya hara-hara serta toksisitas dari unsur-unsur renik (Wardana 1995).

KOK menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang bersifat tahan terurai maupun yang tidak tahan terurai secara biologis (APHA 1992). KOB adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi) hampir semua zat organik terlarut dan sebagian zat organik tersuspensi pada suhu 20oC selama lima hari (APHA 1992).

Besi merupakan salah satu unsur yang penting dalam air permukaan dan air tanah. Unsur besi di dalam air diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tubuh yang sangat berguna bagi metabolisme tubuh. Besi juga merupakan zat terlarut dalam air yang sangat tidak diinginkan karena menyebabkan karat pada porselin, pakaian, dan juga menimbulkan rasa tidak enak bila di minum. Besi (II) sebagai ion hidrat yang dapat larut, Fe2+

adalah merupakan jenis besi yang penting dalam air tanah (Saeni 1989).

Industri tekstil merupakan industri yang menghasilkan limbah cair berwarna, yang dapat merusak keindahan perairan dan meracuni biota perairan tersebut. Industri tekstil mengubah serat buatan dan serat alam (kapas) menjadi barang jadi tekstil dengan serangkaian proses (Rubiyah 2007). Rangkaian proses yang menggunakan zat kimia, misalnya dalam proses pewarnaan dan pembilasan. Limbah industri tekstil secara fisik terlihat keruh, berwarna, berbau, dan berbusa, sehingga dari segi keindahan dipandang kurang baik.

Limbah tekstil merupakan limbah yang dihasilkan dalam proses pengkanjian, proes penghilangan kanji, bleacing, pemasakan, pewarnaan, pencetakan, dan proses penyempurnaan. Air buangan tekstil dapat bersifat asam atau basa, memiliki KOK dan KOB yang tinggi, berwarna, berbusa, bau, dan panas. Hal ini disebabkan oleh adanya penggunaan zat-zat kimia seperti asam, basa, kanji, oksidator, reduktor, elektrolit, zat aktif permukaan, zat warna, dan polimer sintesis dalam proses produksinnya (Kementrian Lingkungan Hidup 2007). Selain itu hasil buangan industri tekstil menghasilkan temperatur yang cukup tinggi, mengandung detergen, minyak, berwarna dan toksik (Kumar et al. 2007).

Air limbah yang dihasilkan dari proses membatik mengandung berbagai jenis bahan organik dan anorganik. Hal ini ditunjukkan oleh tinggi dan rendahnya nilai pH, kebutuhan oksigen kimia (KOK), kebutuhan oksigen biologi (KOB), kandungan detergen dan minyak lilin serta logam berat yang dapat menurunkan daya guna perairan tersebut.

Persyaratan air limbah yang aman ialah sesuai dengan ketentuan standar baku mutu air limbah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Baku mutu air limbah menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 20 tahun 1990 adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha atau kegiatan.

Standar baku mutu yang dapat digunakan untuk parameter analisis yang dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tahun 1991 (Lampiran 12) seperti nilai pH berada pada 6 sampai 9, KOK 40 mg/L, KOB5 20 mg/L, besi terlarut 1 mg/L, minyak

(12)

anionik (LAS) sesuai baku limbah cair industri Keputusan Walikota Cilegon Provinsi Banten no. 4 Tahun 2002 (Lampiran 13) sebesar 10 mg/L.

Zat Warna Alami

Zat warna alami pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji, bunga. Pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pewarna bahan tekstil beberapa diantaranya adalah daun pohon nila (indofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), kunyit (curcuma), teh (Camelia sinensis), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), daun jambu biji (Psidium guajava), kayu secang (Caesalpinia sappan Linn.) (Sewan 1973).

Secang merupakan tanaman yang tersebar di Asia Tenggara, Amerika, dan Afrika. Pohon secang memiliki tinggi 6 sampai 9 meter, bunga berwarna kuning, kayu berwarna merah kecoklatan dan sangat berat dengan serbuk kayu bertekstur halus, serta tumbuh liar di pegunungan (Pawar et al. 2008). Di

Indonesia, secang digunakan secara

tradisional sebagai obat pewarnaan kulit (khususnya di Pulau Sumbawa) dan kayu dari secang digunakan sebagai pewarna merah muda pada minuman (contohnya bir pletok, jamu khas Betawi) (Batubara et al. 2010).

Kayu secang sangat dikenal terutama di Sulawesi sebagai pemberi warna pada air minum yang dikenal sebagai teh secang. Secara empiris kayu secang dipakai sebagai obat luka, batuk berdarah, berak darah, darah kotor, penawar racun, sipilis, menghentikan

pendarahan, pengobatan pascapersalinan,

desinfektan, antidiare dan astringent (Winarti & Nurdjanah 2005).

Sanusi (1989) telah mengisolasi zat warna merah yang terkandung dalam kayu secang yang dikenal sebagai senyawa golongan

brazilin. Brazilin merupakan senyawa

antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur kimianya. Berdasarkan aktivitas

antioksidannya, brazilin diharapkan

mempunyai efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia (Moon et al.

1992). Selanjutnya Lim et al. (1997) dalam Winarti & Nurdjanah (2005) membuktikan bahwa indeks antioksidatif dari ekstrak kayu secang lebih tinggi daripada antioksidan komersial (BHT dan BHA). Peneliti lain

mengungkapkan bahwa brazilin diduga

mempunyai efek anti-inflamasi (Sukria 1993

dalam Sundari et al. 1998).

Kayu secang mempunyai khasiat sebagai antibakteri. Anis (1990) dalam Sundari et al.

(1998) melakukan penelitian terhadap

beberapa jenis ekstrak kayu secang sebagai

anti-bakteri penyebab tukak lambung.

Selanjutnya Sumarmi (1994) dalam Sundari et al (1998) menguji daya antibakteri kayu secang terhadap Staphylococcus aureus dan

Escherichia coli. Tanin dan asam galat yang terdapat di dalam secang diduga berperan untuk menghentikan pendarahan (Sundari et al. 1998). Tanin juga bersifat sebagai antibakteri dan astringent atau menciutkan dinding usus yang rusak karena asam atau bakteri. Kadar tanin ekstrak kayu secang yang diperoleh dengan perebusan selama 20 menit adalah 0,137% (Winarti 1998).

Di dalam larutan secang selain senyawa brazilin juga terdapat tanin yang memberi warna merah. Tanin termasuk kelompok besar senyawa organik kompleks (yang dapat berupa polimer) yang mempunyai sifat-sifat antara lain: larut baik dalam air, mudah teroksidasi dan mengandung coloring matter

tertentu yang dapat memberikan warna spesifik (Harbonne 1987).

Gambar 1 Tanaman Secang (Winarti 2005)

Mordan

Mordan berasal dari bahasa latin, modere yang berarti mengikat. Mordan juga disebut sebagai zat khusus yang dapat meningkatkan daya ikat berbagai pewarnaan pada kain. Sebelumnya mordan adalah senyawa yang mengandung bahan kimia antara lain krom, timah, tembaga, seng dan besi. Sekarang ini mordan untuk pewarna alami telah banyak dikembangkan dan tidak mengandung zat kimia serta ramah terhadap lingkungan antara lain kapur tohor, tawas, jeruk nipis, gula aren, tunjung dan soda abu sebagai alternatif yang digunakan sebagai mordan dalam pewarna tekstil (Kusriniati 2007).

(13)

dilakukan setelah kain yang masih basah, maka zat warna yang sudah ada pada serat akan berhamburan keluar dari pori-pori serat (Ruwana 2008).

Mordan tawas (Al2(SO4)3) dapat

digunakan sebagai zat pembangkit warna pada proses pewarnaan batik. Tawas adalah garam rangkap sulfat, aluminium sulfat yang dipakai untuk menjernihkan air atau campuran sebagai bahan untuk fiksasi pada proses pewarnaan Al2(SO4)3 (Depdikbud 1992).

Tawas berupa kristal putih gelap, tembus cahaya, rasanya agak asam kalau dijilat, bersifat menguatkan warna tetapi juga dapat digunakan sebagai penjernih air keruh, walaupun tawas berupa zat warna sintetis, tawas tidak mengandung racun dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Secara sederhana tawas sering digunakan sebagai obat untuk penghilang bau badan dan sariawan, karena PH 9 derajat keasaman yang rendah yaitu 8 mendekati normal maka pengaruh terhadap kulit semakin baik.

Pada pewarnaan dengan menggunakan mordan kapur (CaCO3), zat warna yang

terlarut di dalam larutan pewarna akan membentuk campuran dengan mordan kapur. Campuran pewarna dan mordan kapur ini membentuk ikatan kompleks yang terbentuk oleh ion logam mordan dan pewarna. Ikatan yang terjadi antara logam Ca2+ dengan senyawa pewarna adalah ikatan ionik. Satu elektron dari ion logam Ca2+ akan berikatan secara ionik dengan pewarna. Sedangkan satu elektron lagi akan berikatan ionik dengan molekul bahan (Hamid & Dasep 2005).

Selain mordan tawas dan kapur, mordan tunjung juga digunakan dalam penelitian ini. Tunjung yang mempunyai rumus molekul FeSO4 (fero sulfat) merupakan jenis garam

yang bersifat higrokospis, artinya mudah menyerap uap air dari udara. Air akan terikat secara kimia dalam molekul Kristal. Senyawa-senyawa yang mengandung air kristal dikenal dengan senyawa hidrat. Banyaknya molekul air kristal yang diikat oleh kristal pada kristal tunjung dapat dilihat rumus kimia hidrat berikut:

FeSO4 + 7 H2O FeSO4. 7 H2O

(ferro sulfat heptahidrat)

Tunjung memiliki sifat-sifat antara lain larut dalam air, tidak dapat larut dalam alkohol, tidak berbau dan beracun, menguap pada suhu 300oC. Penggunaan sebagai zat besi oksida, garam logam. Air tunjung aman bagi lingkungan, mudah didapat, murah harganya

serta terbukti dapat dipakai sebagai zat pembangkit warna (fiksator) (Ruwana 2008).

Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK)

Kebutuhan oksigen kimia merupakan oksidasi bahan organik secara kimia menggunakan K2Cr2O7 yang didestruksi

dengan asam sulfat pekat. Menurut Saeni (1989), suatu perairan yang banyak mengandung bahan organik, seperti selulosa, tannin, lignin, polisakarida dan senyawa lain yang resisten terhadap penguraian biologis, pengukuran KOK akan lebih sesuai dibandingkan penentuan kebutuhan oksigen biologi (KOB). Kandungan O2 yang

digunakan untuk menghancurkan bahan organik diukur oleh besarnya penggunaan zat oksidator kuat (k2Cr2O7) dalam suasana asam

dengan katalis perak sulfat. KOK umumnya lebih besar dari KOB karena jumlah senyawa kimia yang bisa dioksidasi secara kimia lebih besar dibandingkan secara biologis.

Oksidator kuat seperti KMnO4 telah lama

digunakan untuk mengukur KOK. Pengukuran yang demikian lebih kepada konsumsi O2 oleh

permangat daripada konsumsi O2 oleh

senyawa organik sehingga pengukuran KOB menjadi lebih besar daripada KOK. Hal ini mengindikasikan KMnO4 tidak efektif

mengoksidasi semua senyawa organik dalam air atau membuatnya relatif lemah sebagai oksidator dalam pengukuran KOK. K2Cr2O7

menunjukkan oksidator yang paling efektif, relatif murah, mudah dimurnikan, dan mendekati sempurna untuk mengoksidasi hampir semua senyawa organik (Santika 1987).

Sejumlah kelebihan K2Cr2O7 harus ada

saat semua bahan organik teroksidasi. Sekali teroksidasi, sejumlah kelebihan K2Cr2O7 harus

diukur untuk mengetahui jumlah Cr3+ dengan tepat. Kelebihan K2Cr2O7 dititrasi dengan

FAS (Fero Ammonium Sulfat) sampai semua kelebihan oksidator tereduksi menjadi Cr3+. Indikator redoks feroin ditambahkan selama titrasi. Saat semua kelebihan dikromat tereduksi, indikator feroin berubah warna dari hijau kebiruan sampai merah kecoklatan. Sejumlah FAS yang ditambahkan sebanding dengan jumlah kelebihan K2Cr2O7 dalam

contoh (Isa et al. 1980).

Kebutuhan Oksigen Biologi (KOB)

(14)

digunakan bila bahan organik dalam suatu volume air tertentu dirombak secara biologis. Air dengan KOB tinggi dan tidak mempunyai kemampuan membakar oksigennya, jelas tidak dapat mendukung kehidupan organisme yang membutuhkan oksigen (Saeni 1988).

Pengukuran KOB sangat penting dalam penanganan air limbah dan pengolahan kualitas air, karena parameter ini digunakan untuk menentukan perkiraan jumlah oksigen yang akan dibutuhkan untuk menstabilkan bahan organik yang ada secara biologi. Data KOB digunakan dalam fasilita penanganan limbah dan untuk pengukuran efisiensi beberapa proses penanganan. Oksidasi biokimiawi ini merupakan proses yang lambat dan secara teoritis memerlukan waktu tidak terbatas untuk melakukan reaksi sempurna. Dalam periode waktu 20 hari, oksidasi mencapai 95-99% sempurna dan dalam periode 5 hari yang umum digunakan untuk tes KOB oksidasi mencapai 60-70%. Suhu 20oC yang digunakan merupakan nilai rata-rata untuk daerah perairan arus lambat di daerah iklim sedang dan mudah ditiru dalam inkubator. Hasil yang berbeda akan diperoleh pada suhu yang berbeda karena kecepatan reaksi biokimia tergantung dari suhu (Saeni 1988).

Uji Toksisitas

BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) merupakan salah satu metode skrining bahan yang berpotensi toksik. Metode penelitian ini menggunakan larva udang (Artemia salina Leach) sebagai bioindikator. Larva udang ini merupakan organisme sederhana dari biota laut yang sangat kecil dan mempunyai kepekaan yang cukup tinggi terhadap toksikan (Parwati 1998). Telurnya memiliki daya tahan hidup selama beberapa tahun dalam keadaan kering. Telur udang dalam air laut akan menetas menjadi larva (nauplii) (Pujiati et al. 2002).

Uji BSLT dengan menggunakan A. salina dilakukan dengan menetaskan telur-telur tersebut dalam air laut yang dibantu dengan aerasi. Telur A. salina akan menetas sempurna menjadi larva dalam waktu 24 jam. A. salina yang baik digunakan untuk uji BSLT adalah yang berumur 48 jam sebab jika berumur lebih dari 48 jam dikhawatirkan kematian A. salina bukan disebabkan toksisitas ekstrak, melainkan oleh terbatasnya persediaan makanan (Meyer et al.1982).

Metode BSLT merupakan metode yang cukup praktis, cepat, mudah, murah, dan

cukup akurat. Pemeriksaan toksisitas diperlukan untuk mengetahui konsentrasi yang dapat menyebabkan keracunan sehingga dapat diketahui jumlah penggunaan konsentrasi yang tepat. Tingkat konsentrasi yang dapat menyebabkan keracunan ditentukan dengan letal konsentrasi 50 (LC50).

LC50 adalah konsentrasi dari suatu bahan

yang menyebabkan 50% kematian dalam suatu populasi. LC50 dapat digunakan untuk

menentukan toksisitas dari suatu zat. Data mortalitas hewan uji yang diperoleh dapat diolah untuk mendapatkan nilai LC50 dengan

selang kepercayaan 95% dengan menggunakan probit analysis method yang pertama kali dikemukakan oleh Finney (1971) (Tandjung 1995).

Golongan kimia yang aktif akan menghasilkan mortalitas yang tinggi. Jika nilai LC50 semakin kecil maka akan semakin

besar toksisitasnya, artinya dengan konsentrasi senyawa yang sangat rendah saja sudah mampu membunuh 50% populasi. Suatu sampel dikatakan sangat toksik terhadap larva udang apabila LC50 ≤ 30 µg/mL, toksik apabila mempunyai LC50 ≤ 1000 µg/mL dan

tidak toksik apabila LC50 > 1000 µg/mL

(Meyer et al. 1982).

Spektrofotometer Serapan Atom

Spektrofometer serapan atom (SSA) merupakan perangkat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah. Logam-logam yang mudah diuapkan seperti Cu, Zn, Pb, dan Cd umumnya ditentukan pada suhu rendah, sedangkan untuk unsur-unsur yang tidak mudah diatomisasi diperlukan suhu yang tinggi. Prinsip metode AAS adalah absorpsi cahaya oleh atom, yang atom-atom tersebut menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya (Khopkar 1990).

Cara kerja alat ini berdasarkan penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung didalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorpsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya (Darmono 1995).

(15)

dengan waktu yang diperlukan cepat dan mudah.

Khopkar (1990) menyebutkan bahwa AAS merupakan alat yang canggih dalam analisis. Hal ini disebabkan oleh kecepatan analisisnya, ketelitiannnya, dan tidak memerlukan pemisahan pendahuluan.

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : pipet (10; 20; 25 mL), buret 50 mL, gelas piala 50; 600 mL, Spektronic-20, labu Erlenmeyer 250 mL, timbangan, drum limbah, gelas ukur, botol 10 mL, pengaduk, lampu pijar 15 watt, labu kocok, pipet mikro, pipet tetes, labu takar, penagas air, labu bulat, botol KOB, pipet mohr 5 mL, spektrofotometer serapan atom 3300-ICE (Thermo), corong pisah, aluminium foil, sonikator, sudip, corong pemisah, labu minyak, oven, eksikator, neraca halus, dan aerator.

Bahan yang digunakan limbah cair pewarna alami (formulasi ekstrak secang 30 mL/L, 5 gr/L kapur, 5 gr/L tawas, 5 gr/L tunjung, detergen, kanji, lilin batik), limbah pewarna sintesis (pewarna sintesis 30 mL/L, 5 gr/L kapur, 5 gr/L tawas, 5 gr/L tunjung, detergen, kanji, lilin batik), garam ikan (garam untuk aquarium), dan telur larva udang Artemia salina, linier alkil sulfonat (LAS), metilen blue, NaH2PO4.H2O, indikator

fenolftalein, NaOH 1 N, kloroform, KIO3

0,025 N, KI 0,02 N, HCl 0,02 N, MnSO4 1 M, NaOH.KI, H2SO4 pekat,, Na2S2O3 0,025 N,

FAS 0,025 N, K2Cr2O7 0,025 N ,

Ag2SO4.H2SO4, buffer pH 10, NH4OH 4 M,

CaCO3 0,01 M, ZnSO4 0,01 M, EDTA 0,01

M, Larutan KSCN 3 N, K2S2O8, indikator

feroin dan heksana.

Metode

Pembuatan Larutan Aktif

Pembuatan stok ekstrak 2000 ppm dibuat dengan memipet 200 µL sampel limbah pewarna alami yang kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL, kemudian volumenya dipenuhi tepat dengan air laut buatan hingga 100 mL dan dikocok hingga homogen. Air laut dibuat dari 2 gr garam ikan yang dilarutkan 100 mL air. Konsentrasi

ekstrak 1000 ppm dibuat dengan cara memipet larutan stok ekstrak 2000 ppm sebanyak 5 mL kemudian dimasukan ke dalam botol ukuran 10 mL dan ditepatkan volumenya dengan air laut. Konsentrasi ekstrak 500 ppm dibuat dengan cara memipet larutan stok ekstrak 2000 ppm sebanyak 2,5 mL kemudian dimasukan ke dalam botol ukuran 10 mL dan ditepatkan volumenya dengan air laut. Konsentrasi ekstrak 100 ppm dibuat dengan cara memipet larutan stok ekstrak 2000 ppm sebanyak 0,5 mL kemudian dimasukan ke dalam botol ukuran 10 mL dan ditepatkan volumenya dengan air laut. Konsentrasi ekstrak 50 ppm dibuat dengan cara memipet larutan stok ekstrak 2000 ppm sebanyak 0,25 mL kemudian dimasukan ke dalam botol ukuran 10 mL dan ditepatkan volumenya dengan air laut. Konsentrasi ekstrak 20 ppm dibuat dengan cara memipet larutan stok ekstrak 2000 ppm sebanyak 0,1 mL kemudian dimasukan ke dalam botol ukuran 10 mL dan ditepatkan volumenya dengan air laut.

Uji Toksisitas Larva Udang (Modifikasi Meyer et al. 1982)

Sebanyak ± 20 mg telur A. salina dimasukkan ke dalam wadah penetasan yang berisi air laut buatan dan diberi penyinaran serta aerator. Setelah 24 jam telur yang sudah menetas menjadi larva (nauplii) dipindahkan ke wadah lain, nauplii tersebut sudah dapat digunakan sebagai hewan uji.

Sebanyak 25 ekor larva A. salina dimasukkan ke dalam botol 10 mL uji BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) yang berisi air laut dan dibuat konsentrasi ekstrak 0, 20, 50, 100, 500, 1000 ppm. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah larva udang yang mati dengan bantuan lampu dan kaca pembesar. Pengolahan data persen mortalitas kumulatif menggunakan analisis probit LC50 dengan selang kepercayaan 95%.

Grafik dibuat dengan menghubungkan log konsentrasi dan nilai probit, nilai LC50

diperoleh dengan cara menarik garis pada nilai 50% dari sumbu nilai probit sampai memotong sumbu grafik, perpotongan garis ditarik ke garis konsentrasi zat yang menyebabkan kematian larva 50%.

Analisis Data

(16)

disebut juga dengan model normit (Normal Probability Unit). Model probit dinyatakan dalam bentuk:

ξi = α+βxi

peluang bersyarat yang menduga nilai peubah respon regresi adalah:

Ф =

f(z) adalah fungsi dari peubah acak X yang

menyebar normal dengan µ=0 dan σ2

=1. Nilai probit didapat dari transformasi probit yaitu invers fungsi sebaran peluang normal kualitatif baku:

ξi = = α + βxi

Ф-1

(p(xi)) = α + βxi

P(x) = Ф(α + βxi) Keterangan:

Ф = fungsi sebaran kumulatif normal baku Nilai koefisien regresi probit yang diperoleh

dari persamaan terakhir adalah α = dan β =

, sedangkan nilai probit beraada pada interval -∞ sampai ∞, dengan bentuk kurva yang simetris pada titik p=0.5 (Robertson et al. 2007)

Hasil penelitian uji toksisitas diolah menggunakan analisis probit dengan perangkat lunak minitab versi 15 untuk melihat pengaruh pelarut, dan jumlah konsentrasi terhadap perolehan nilai LC50

ektrak limbah tekstil batik dari fraksi teraktif.

Penentuan Kebutuhan Oksigen Biologi (KOB5) (SNI M -69-1990-03)

Standardisasi larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3 0,025 N). 10 mL KIO3 0,025 N

ditambahkan 10 mL KI 0,02 N serta ditambahkan 10 mL HCl 0,02 N. Selanjutnya dititrasi dengan Na2S2O3 0,02 N hingga

menjadi kuning muda lalu ditambahkan amilum dan dititrasi lagi hingga tidak berwarna.

Sampel limbah diukur pHnya. Sampel diencerkan dengan 20 kali pengenceran. Setelah diencerkan dimasukkan ke dalam botol KOB0 dan KOB5 masing-masing 300

mL. untuk Botol KOB5 dikondisikan

gelapdengan suhu kurang lebih 20oC dan diinkubasi selama 5 hari. Sedangkan botol KOB0 ditambahkan MnSO4 1 M sebanyak 2

mL dan ditambahkan NaOH.KI 2 mL lalu dikocok dan didiamkan hingga mengendap. Setelah itu ditambahkan H2SO4 pekat

sebanyak 2 mL, lalu dikocok hingga larut dan didiamkan hingga dingin. Setiap sampel dipipet sebanyak 50 mL ke dalam 250 mL

labu Erlenmeyer lalu dititrasi dengan natrium tiosulfat 0,025 N hingga kuning muda lalu ditambahkan beberapa tetes amilum hingga biru lalu dititrasi hingga jernih. Untuk perlakuan KOB5 juga sama dengan KOB0.

Nilai KOB ditentukan dengan persamaan

Ppm KOB0 =

300 296 1000 2 3 2 2 ) ( X sampel vol x O BE x O S Na N X vol

KOB = (KOB0- KOB5) x faktor pengenceran

Penentuan Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) (SNI M -70-1990-03)

Standadisasi larutan fero ammonium sulfat ( FAS 0,025 N). 10 mL k2Cr2O7

ditambahkan 50 mL akuades serta 30 mL H2SO4 pekat lalu didinginkan. Selanjutnya

ditambahkan indicator feroin 5 tetes lalu dititrasi dengan FAS.

Sampel diencerkan dengan 20 kali pengenceran. 2,5 mL dari sampel ditera didalam labu takar 50 mL. Sampel yang sudah diencerkan, dipipet 20 mL lalu ditambahkan 50 mL K2Cr2O7 0,025 N dan 30 mL

Ag2SO4.H2SO4 selanjutnya di refluks selama

90 menit. Setelah itu didinginkan lalu dititrasi dengan FAS serta ditambahkan indikator feroin 5 tetes. Perubahan warna yang terjadi adalah dari kuning menjadi hijau kebiruan lalu coklat kemerahan. Nilai KOK ditentukan dengan persamaan:

KOK =

Sampel Vol O BE FAS N FAS vol Blanko vol 1000 2 . ) (

Penentuan Detergen Dalam Limbah Batik (SNI M-45-1990-03)

Sampel ditempatkan ke dalam corong pemisah, lalu sampel dibuat menjadi basa dengan penetesan larutan 1 M NaOH yang ditest diketahui dengan indikator fenolftalein, dan kemudian ditambahkan H2SO4 hingga

warna merah muda menghilang. Selanjutnya ditambahkan 10 mL kloroform dan 25 mL reagen metilen blue dan kocok selama 30 menit (pengocokkan yang berlebihan akan membentuk emulsi). Setelah itu dibiarkan agar fase yang terdapat dalam corong pemisah itu akan membentuk lapisan yang terpisah. Ulangi ekstraksi kloroform dua kali dengan menggunakan 10 mL kloroform pada tiap ekstraksi.

(17)

dikocok selama 30 detik dan alirkan lapisan pelarut kloroform melewati serabut dalam corong ke dalam labu takar 100 mL. kemudian serabut gelas dan corong dibilas dengan kloroform kemudian diencerkan menjadi 100 mL. selanjutnya diukur absorbansi pada 652 nm dengan menggunakan gelas blanko kloroform. Lalu kurva kalibrasi dibuat dengan menggunakan prosedur yang sama tetapi dengan menggunakan 0,2; 0,4; 0,8 pmm larutan LAS standar. Cara perhitungan detergen terlampir pada (Lampiran 11).

Penentuan Kadar Minyak Dalam Limbah Batik (SNI M-68-1990-03)

Sampel dipipet 50 mL dalam gelas piala 600 ml. ditambahkan 5-10 mL HCL 10%. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam corong pemisah serta ditambahkan heksana kedalam corong pemisah lalu dikocok. Larutan air dikeluarkan dan larutan minyak dalam heksana dikumpulkan dalam gelas piala. Selanjutnya dikocok beberapa kali hingga heksana berjumlah kurang lebih 100 mL. Larutan air dibuang dan larutan minyak dalam heksana dimasukkan lagi kedalam corong pemisah, lalu dikocok lagi, serta dicuci dengan air kurang lebih 10 mL hingga minyak tidak bereaksi asam lagi. Larutan minyak dalam heksana ini dikeringkan dengan natrium sulfat kering lalu disaring dan dimasukkan kedalam labu minyak. Pelarut disulingkan dan labu dikeringkan pada suhu kurang lebih 105oC. selanjutnya didinginkan dan ditimbang. Nilai kadar minyak/lemak ditentukan dengan persamaan :

Minyak/Lemak (mg/L) =

uji benda mL

B A ) 1000 (

Keterangan :

A = berat labu Erlenmeyer + sampel (gr) B = berat labu Erlenmeyer kosong (gr)

Penentuan Kadar Besi, Kalsium dan Alumunium dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SNI M-89- 1990-03)

Destruksi

Sampel uji diambil lalu dikocok lalu di ukur 50 mL secara duplo dan dimasukkan ke dalam gelas piala 100 mL. Sampel ditambahkan 5 mL HNO3 pekat dan panaskan

70 - 90 oC secara perlahan-lahan sampai sisa volumenya 15-20 mL. Selanjutnya ditambahkan lagi 5 mL HNO3 pekat kemudian

tutup gelas piala dengan kaca arloji dan dipanaskan lagi. Lalu dilajutkan penambahan asam dan pemanasan sampai semua logam larut terlihat dari sampel menjadi jernih.

Sampel ditambahkan lagi 2 mL HNO3

pekat dan panaskan kira-kira 10 menit. Lalu kaca arloji dibilas dan air bilasannya dimasukkan kedalam gelas piala. Sampel dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL lalu selanjutnya labu ukur dipenuhi aquades tepat 50 mL.

Hasil destruksi kemudian dianalisis kadar besi, kalsium, dan alumunium dengan AAS pada panjang gelombang masing-masing 248,3 ; 422,7; 309,3 nm (SNI M-89- 1990-03). Untuk pengukuran ketiga jenis logam dilakukan dengan penentuan kurva standar, yaitu kurva yang menghubungkan antara absorban dengan konsentrasi standar. Kadar logam dalam sampel dihitung dalam ppm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Toksisistas Larva Udang

Larva udang A. Salina yang digunakan untuk uji toksisitas diperoleh dari hasil penetasan menggunakan air laut buatan dengan bantuan aerator untuk menjaga kadar oksigen yang terlarut. Gelembung udara dari aerator berfungsi juga sebagai pengaduk telur sehingga telur tidak mengendap di dasar wadah. Alat penetasan telur A. Salina ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Tempat Penetasan A. salina

(18)

dalam air masuk ke dalam tubuh larva udang A. salina dan akan menyebabkan kematian. Kematian dari larva udang A. salina yang disebabkan oleh senyawa asing dalam air tersebut yang menjadi dasar untuk pengujian toksisitas dari pembuangan limbah batik ekstrak pewarna alami dalam penelitian ini.

Hasil pengujian toksisitas larva udang pada limbah batik ekstrak pewarna alami dari kulit kayu secang diperoleh LC50 sebesar

1100,19 mg/L dengan nilai R2 sebesar 97,9% (Lampiran 3). Nilai LC50 tersebut

menunjukkan bahwa limbah dari ektrak pewarna alami tidak memiliki potensi bioaktif karena lebih besar dari 1000 mg/L. Menurut Chozin et al. (1996), suatu senyawa memiliki potensi bioaktif jika nilai LC50-nya di bawah

1000 mg/L. Tabel 1 adalah data nilai LC50

hasil uji toksisitas larva udang A. salina dari limbah batik.

Tabel 1 LC50 limbah batik

Jenis sampel LC50 (mg/L)

Ketelitian (%) Limbah

Alami 1100,19 97,9

Limbah

Sintesis 936,273 97,9

Limbah batik dengan pewarna sintesis memiliki potensi bioaktif karena nilai LC50

-nya dibawah 1000 mg/L. Berdasarkan data yang diperoleh dari uji toksisitas untuk limbah dengan pewarna sintesis menpunyai nilai LC50

936,273 mg/L dengan ketelitian R2 = 97,9% (Lampiran 4). Perbedaan nilai LC50 antara

limbah batik pewarna alami dari ekstrak kayu secang dengan limbah pewarna sintesis adalah senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak pewarna tersebut.

Menurut Sanusi (1989), zat warna merah yang telah diisolasi dalam kayu secang sebagai pewarna alami merupakan senyawa golongan brazilin. Brazilin merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai

katekol dalam struktur kimianya. Berdasarkan aktivitas antioksidannya, brazilin diharapkan mempunyai efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia (Moon et al.

1992). Sedangkan untuk pewarna sintesis memiliki kandungan zat kimia yang dapat meracuni tubuh apabila terakumulasi di dalam tubuh dalam jumlah tertentu.

Limbah cair tekstil dari proses membatik memiliki warna yang berbeda setiap kali produksinya. Warna yang berbeda bergantung pada pewarna yang digunakan. Selain menguji toksisitas terdapat pula parameter-paremeter

yang di uji pada sampel limbah batik pewarna alami ekstrak kayu secang untuk melihat kualitas limbah yang dihasilkan lalu dibandingkan dengan baku mutu limbah industri tekstil. Data mengenai limbah batik pewarna alami sebelum mendapatkan perlakuan beserta baku mutu yang aman untuk dibuang kelingkungan dapat dilihat pada tabel 2 dan berdasarkan Keputusan Menteri KLH no.-03/MENKLH/H/1991 tentang baku mutu air limbah industri (Lampiran 12) dan Keputusan Walikota Cilegon Provinsi Banten No. 4 Tahun 2002 (Lampiran 13).

Tabel 2 Baku mutu dan Limbah batik pewarna

Parameter Nilai (mg/L)

Baku mutu baik (mg/L)

pH 6,31 6-9

KOB5 89,155 20

KOK 676,7 40

Besi (Fe) 0,5587 1

Minyak/lemak 0,784 1

Surfaktan anionik

(LAS) 11,9741 10

Derajat Keasaman (pH) Limbah Batik

Limbah dari proses membatik yang langsung diambil dari sumbernya diukur pH-nya untuk mengetahui derajat keasamanpH-nya. Sampel limbah diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter tipe sartorius PB-11. pH yang didapat dari sampel limbah sebesar 6,31mg/L. Nilai pH yang didapat dari sampel limbah berada pada kisaran standar baku mutu berdasarkan keputusan menteri KLH no.-03/MENKLH/H/1991 yaitu sekitar 6 sampai 9.

Pengukuran pH dilakukan untuk mengukur aktivitas ion hidrogen (H+) yang menunjukkan suasana asam atau basa pada sampel limbah tersebut. Menurut Saeni (1989), penentuan pH harus seketika setelah sampel diambil dan tidak dapat diawetkan karena nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia atau biokimia tidak stabil. Lingkungan perairan yang baik mempunyai pH mendekati normal atau basa karena pH tersebut mendorong proses penguraian bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat digunakan oleh fitoplankton.

Kebutuhan Oksigen Biologi (KOB) pada Limbah Batik

(19)

digunakan dalam proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme. Pengukuran nilai KOB membutuhkan waktu 5 hari agar diperoleh sekitar 60-70% kesempurnaan (Saeni 1989). Hasil analisis KOB yang dilakukan terhadap limbah batik pewarna alami dari ekstrak secang sebesar 89,155 mg/L (Lampiran 6). Nilai KOB ini tidak memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan Mentri KLH no.-03/MENKLH/H/1991, yaitu sebesar 20 mg/L (Lampiran 12).

Nilai KOB yang didapatkan dari perbandingan kandungan oksigen terlarut (OT) yang tersisa dari dua bagian sampel air. Bagian pertama, kandungan oksigen diukur setelah limbah diambil yaitu pada hari ke-0 (KOB0), sedangkan bagian kedua diukur

setelah inkubasikan selama 5 hari (KOB5).

Selama masa inkubasi, oksigen terlarut digunakan oleh mikroorganisme dalam proses kimiawi dan mikrobiologi untuk mendekomposisi bahan organik yang terlarut dalam limbah, sehingga akan terbebas dari material organik dan dapat dialirkan ke lingkungan dengan aman.

Menurut Achmad (2004), oksigen terlarut berperan dalam proses penguraian bahan organik, kehidupan organisme perairan, dan pengendapan ion-ion logam dalam air.

Ketidakhadirannya menyebabkan

dekomposisi anaerob dan pembentukan zat berbau busuk yang merugikan, seperti CH4

dan H2S.

Nilai KOB yang terukur tidak lebih besar dari nilai KOK. Menurut Purwaningsih (2008), perbedaan nilai tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu adanya bahan kimia yang tahan terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak tahan terhadap oksidasi kimia seperti lignin, terdapat bahan kimia yang dapat dioksidasi secara kimia dan peka terhadap oksidasi biokimia tetapi tidak dalam uji KOB5 seperti selulosa, lemak berantai

panjang atau sel-sel mikroba. Adanya bahan toksik dalam limbah yang akan mengganggu uji KOB tetapi tidak uji KOK, dikarenakan mikroorganisme dapat mati.

Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) pada Limbah Batik

KOK merupakan gambaran secara tidak langsung tentang konsentrasi bahan organik dalam air. Oleh karena itu, nilai KOK ini biasa digunakan sebagai indikator terjadinya pencemaran akibat berlimpahnya bahan organik dalam perairan. Nilai KOK tidak

menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik tersebut.

Menurut Alaerts & Santika (1984), nilai KOK yang diperoleh menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam 1 liter sampel air, dengan menggunakan zat pengoksidator K2Cr2O7 sebagai sumber oksigen. Analisis

KOK merupakan oksidasi kimia yang menyerupai proses oksidasi biologi di alam, sehigga tidak dapat membedakan antara zat yang sebenarnya tidak teroksidasi dan zat-zat yang teroksidasi secara biologi.

Pengukuran KOK dilakukan secara titrimetri menggunakan oksidator kuat K2Cr2O7. Nilai KOK dari sampel limbah

pewarna alami sebesar 676,7 mg/L (Lampiran 5), hasil KOK yang didapat sangat jauh dari standar baku mutu baik yang sudah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri KLH no.-03/MENKLH/H/1991 yaitu sebesar 40 mg/L (Lampiran 12). Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa limbah mengandung bahan organik yang berlimpah dan dapt bersifat racun apabila tidak ditindak lanjut.

Nilai KOK merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis, dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air. Dengan kata lain, semakin tinggi nilai KOK berarti semakin tinggi kandungan zat organik yang terkandung dalam perairan sehingga oksigen terlarut menjadi kecil (Fardiaz 1992).

Kadar Besi (Fe) dalam Limbah Batik

Besi adalah logam berwara perak dengan nomor atom 26, massa jenis 7,9 g/cm3, titik didih 2750oC, dan titik leleh 1535oC. Tingkat oksidasi besi yang paling banyak di alam adalah +2 dan +3. Besi di alam terikat sebagai senyawa anorganik dengan oksigen, karbonat, sulfur, klorida, dan karbonil (Nordberg et al. 2007).

Air dapat bermanfaat bagi makhluk hidup tetapi apabila air mengandung besi dengan konsentrasi yang tinggi hal ini justru dapat merugikan makhluk hidup. Air yang mengandung besi biasanya berwarna agak kuning, rasanya amis, menimbulkan karat besi pada sisi pipa atau bak, menimbulkan bakteri besi, dan dapat menodai kain atau perkakas rumah tangga (Hassanah 2006).

(20)

pewarna alami mengandung besi sebesar 0,5587 mg/L (Lampiran 7) . Adanya kandungan besi ini karena saat proses membatik menggunakan fiksator dengan tunjung yang mempunyai gugus Fe. Namun kandungan besi yang ada dalam limbah ini masih aman karena berada dibawah ambang batas baku mutu sebesar 1 mg/L berdasarkan

Keputusan Menteri KLH

no.-03/MENKLH/H/1991 (Lampiran 12). Kandungan besi yang masih berada dibawah baku mutu berarti untuk logam besi limbah ini aman untuk lingkungan sekitar.

Kadar Detergen dalam Limbah Batik

Detergen anionik (Linier Alkil Sulfonat) merupakan jenis detergen yang mudah diuraikan oleh bakteri. Detergen ini mempunyai gugus polar dan nonpolar. Gugus polar akan mengikat air dan gugus nonpolar akan mengikat kotoran seperti minyak atau lemak. Jenis detergen ini dapat mematahkan ikatan-ikatan hidrogen pada permukaan air. Selain itu molekul-molekul surfaktan membentuk ikatan di antara partikel kotoran dan air. Keadaan ini memungkinkan karena molekul surfaktan bersifat bipolar, ujung yang bersifat non-polar akan larut dalam kotoran dan ujung polar akan larut dalam air (Fessenden & Fessenden 2002).

Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap limbah batik pewarna alami diperoleh konsentrasi rerata detergen sebesar 11,9741 mg/L (Lampiran 11). Dari hasil analisis di atas bahwa nilai konsentrasi detergen yang terdapat di dalam limbah cukup tinggi dan melebihi standar mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 10 mg/L bedasarkan Keputusan Walikota Cilegon provinsi Banten No.4 Tahun 2002 (Lampiran 13). Apabila limbah ini langsung dibuang ke lingkungan perairan walaupun jenis surfaktan ini mudah diuraikan oleh bakteri tetapi tetap berbahaya dan dapat menyebabkan iritasi mata, korosi kulit, dan keracunan.

Kadar Minyak/Lemak dalam Limbah Batik

Asam lemak, bersama-sama dengan gliserol, merupakan penyusun utama minyak atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipid pada makhluk hidup (Pasaribu 2004).

Analisis kadar minyak menggunakan metode pengujian secara gravimetrik. Dari sampel limbah batik dengan pewarna alami

ektrak secang memilki kadar minyak sebesar 0,784 mg/L (Lampiran 10). Kadar tersebut didapat dengan cara pengurangan bobot akhir dikurangi bobot awal. Nilai konsentrasi minyak yang terkandung dalam limbah ini berada dibawah baku mutu sebesar 1 mg/L (Lampiran 13), dengan kata lain kandungan minyak yang terkandung dalam limbah aman apabila limbah ini langsung dibuang kelingkungan perairan dengan melihat parameter yang lain juga baik.

Kadar Kalsium (Ca2+) Limbah Batik

Analisis kadar kalsium dari sampel limbah batik pewarna alami ektrak secang menggunakan spektrofotometer serapan atom. Hasil dari rerata analisis kadar kalsium sebesar 4,5562 mg CaCO3/L (Lampiran 9).

Sedangkan nilai kesadahan menurut peraturan pemerintah No.20 Tahun 1990 tentang baku mutu air limbah untuk kesadahan CaCO3 ialah

sebesar 500 g/L (Lampiran 14).

Sedangkan menurut data yang di dapat dari sampel Limbah cair Industri Tekstil PT Unitex Bogor, dengan kadar Ca2+ sebesar 8 mg CaCO3/L memiliki nilai kesadahan antara

40-80 mg CaCO3/L (Lampiran 15). Hal ini

membuktikan kadar Ca2+ yang terdapat dari sampel limbah batik pewarna alami lebih baik. Dengan Ca2+ yang lebih rendah berarti kesadahan yang dimiliki limbah juga kecil.

Menurut Siregar (2004), semakin besar kadar Ca2+ dalam air olahan, maka semakin besar pula kesadahannya. Hal ini disebabkan oleh ion Ca2+ dari Ca(OH)2 berpengaruh

sangat nyata terhadap kesadahan. Hal ini disebabkan oleh ion Ca2+ dari Ca(OH)2 tidak

semuanya membentuk flok CaCO3. Sebagian

ion Ca2+ terlarut dalam air olahan yang mengakibatkan bertambahnya kesadahan air olahan.

Kadar Alumunium (Al3+) Limbah Batik

Alumunium adalah logam putih yang liat dan dapat ditempa, bubuknya berwarna abu-abu, memiliki nomor 13. Alumunium merupakan logam yang melimpah dan pada umumnya berada dalam bentuk bauksit (Al2O3.H2O) (Chang 1984).

(21)

dari hasil pengukuran Alumunium berada diatas dari standar baku mutu yang dikeluarkan menurut aturan pemerintah No.20 tahun 1990 sebesar 0,2 mg/L (Lampiran 14). Kadar alumunium sebesar 0,2 masuk ke dalam golongan A dimana air bisa diminum tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Penggunaan tawas pada pewarnaan batik selain untuk fiksasi pewarna juga bermanfaat sebagai koagulan limbah yang buruk untuk lingkungan. Kandungan alumunium pada tawas yang terdapat di dalam limbah sangat membantu untuk pengolahan limbah lebih lanjut. Menurut Shuval di dalam Siregar (2004), kapur, tawas, garam besi, dan polimer organik sintesis (polielektrolit) adalah bahan kimia yang biasa digunakan dalam koagulasi. Ion Alumunium merupakan koagulan yang baik. Alumunium paling banyak digunakan dalam limbah cair dan breaksi dengan bikarbonat dalam air, sehingga terjadi hidrolisis.

Menurut Siregar (2004), pemakaian tawas sebagai koagulan dapat menurunkan kekeruhan mulai 65% sampai 96%. Selain itu penambahan tawas dapat menurunkan KOB hingga 89%. Pengaturan pH koagulasi didasarkan atas kisaran pH dari koagulan yang digunakan. Kisaran pengaturan pH optimum tawas adalah 5,5-8. (Hammer 1986).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sampel limbah batik pewarna alami ekstrak secang tidak toksik terhadap larva udang dengan LC50 sebesar 1100,19 mg/L,

namun ada beberapa parameter yang memilki kadar di atas baku mutu yang ditetapkan pemerintah seperti KOB 89,155 mg/L, KOK 676,7 mg/L, detergen 11,9741 mg/L, dan logam Alumunium 5,9892 mg/L.

Saran

Diperlukan pengolahan limbah lebih lanjut untuk menentukan mutu limbah yang lebih baik sesuai dengan standar baku mutu pemerintah dengan penggunaan teknik pengolahan arang aktif, Lumpur aktif atau Polialumunium Clorida (PAC).

DAFTAR PUSTAKA

Achmad R. 2004. Kimia Lingkungan. Ed ke-1. Yogyakarta: ANDI.

Adijuwana H, Nur MA. 1989. Teknik Spektroskopi Dalam Analisis Biologis. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.

Alaerts, Santika SS. 1984. Metode penelitian air. Surabaya: Usaha Nasional Surabaya, Indonesia.

Allaby M. 1977. Dictionary of Environment. Souththompson: the Camelot Press Ltd.

APHA. 1992. Standar Methods for the Examination of Water and Wastewater. 18th edition. Washington DC: APHA, AWWA & WEF.

Batubara I, Mitsunaga T, Ohashi H. 2010. Brazilin from Caesalpinia sappan wood as an antiacne agent. Journal of Wood Science 56:77-81.

Chozin AS, Sutarno, Ruslan K. 1996. Uji Brine Shrimp dan analisis kandungan kimia fraksi ekstrak etanol 95% dan suren Toona sureni (BL) Merr. Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII, Perhipba Balittro, Bogor : 537-577.

Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UI press.

Depdikbud. 1992. Kamus Kimia Terapan 152.

Fardiaz S. 1992. Polusi air dan udara. Bogor: Pusat Antar-Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Fessenden J, Fessenden R. 2002. Kimia Organik Jilid I. Edisi ke-3. Terjemahan A.H. pudjaatmaka. Jakarta: Erlangga.

Hamid T dan Dasep M. 2005. Perubahan sifat fisika dan kimia kain sutera akibat pewarna alami kulit akar pohon mengkudu (Morinda Citrifolia). Jurnal Teknologi 2:163-170.

Hammer MJ. 1986. Water and Wastwater Tecnology. New Jersey: Prentice-Hall.

Harbornne JB. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Hassanah YU. 2006. Ekstraksi ioan Fe(III) dengan ekstraktan ammonium pirolidin dithiokarbamat (APDC) dalam pelarut etil iso butil keton [skripsi]. Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.

(22)

Lumpur: Rubber Research Institute of Malaysia.

[Kementrian Lingkungan Hidup]. 2007. Penanganan Limbah: Pengolahan dan Penanganan Limbah Tekstil. [terhubung berkala] http://www.menlh.go.id. [10 July 2011].

Khopkar SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Kumar P, Prasad B, Mishra IM, Chand Shri. 2007. Decolorization and COD Reduction of Dyeing Waste Water from a Cotton Textile Mill Using Thermolysis and Coagulation. Journal of Hazardous Materials 153: 635-645.

Kusriniati D. 2007. Pemanfaatan daun sengon (albizia falcataria) sebagai pewarna kain sutera menggunakan mordan tawas dengan konsentrasi yang berbeda: Pada busana camisole [Skripsi]. Semarang: Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang.

Meyer BN et al. 1982. Brine Shrimps: A Comvenient General Bioasaay For Active Plant Constituent. Planta Med 45: 31-34

Moon CK., Park KS, Kim SG, Won HS. 1992. Drug and chemical toxicology. Drug Chem. Toxicol. 15(1): 81-91.

Nordberg M, Fowler BA, Nordberg GF. 2007. Handbook on The Toxicology of Metals. Edisi ke-3. Copenhagen: Academic P.

Parwati T dan Simanjuntak P. 1998. Daya toksik beberapa tumbuhan obat tradisional Indonesia asal Nusa Tenggara Barat. Journal Biologi Indonesia. 11(3):118-125.

Pasaribu N. 2004. Minyak buah kelapa sawit. Sumatera Utara: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Pawar CR, Landge AD, Surana SJ. 2008. Phytochemical and pharmacological aspect of caesalpinia sappan. Jounal of Pharmacy Research 1:131-138.

Pujiati I, Ningsih S, Palupi S, Windono T. 2002. Uji toksisitas terhadap larva udang Artemia salina Leach. Dari fraksi n-heksan, kholoroform, etil asetat dan air ekstrak etanol rimpang temumangga (Curcuma mangga VaL). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI. Universitas Surabaya, Surabaya : 109-115.

Purwaningsih I. 2008. Pengolahan Limbah Cair Industri Batik Indah Raradjonggrang

Yogyakarta dengan Metode

Elektrokoagulasi Ditinjau dari Parameter Chemical Oxygen Demand (COD) dan Warna [skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia.

Robertson et al. 2007. Bioassays with Arthropods Second Edition. New York: CRC Press.

Rubiyah. 2007. Proses Produksi Kain.

[terhubung berkala]

http://www.rubiyah.com. [9 July 2011].

Ruwana I. 2008. Pengaruh Zat Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna pada Proses Pencelupan Kain Kapas dengan Menggunakan Zat Warna dari Limbah Kayu Jati. Teknologi dan Kejuruan 31:75-86.

Saeni MS. 1989. Kimia Lingkungan. Bogor: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati IPB.

Santika DA. 1987. Metode Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional.

Sanusi, M. 1989. Isolasi dan identifikasi zat warna kayu secang. Balai Industri Ujung Pandang.

Sewan Susanto (1973), Seni Kerajinan Batik Indonesia, BPKB, Yogayakarta

Siregar SP. 2004. Penentuan Dosis Koagulan Tawas, FeCl3, dan Ca(OH)2 Dalam Peningkatan mutu Limbah Cair Industri Tekstil [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1990. Cara UjiDetergen dalam Air dengan Spektorfotometer secara Biru metilena. SNI M-45-1990-03.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1990. Cara Uji Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (KOB) dengan Refluks. SNI M-69-1990-03.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1990. Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) dengan Refluks. SNI M-70-1990-03.

(23)

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1990. Cara Uji Minyak dan Lemak dalam air secara Gravitmetrik. SNI M-68-1990-03.

Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengolahan air Limbah. Jakarta: UI-press

Sundari D, Widowati L, dan Winarno MW. 1998. Informasi khasiat, keamanan dan fitokimia tanaman secang (Caesalpinia sappan L.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 4(3): 1-3.

Sundstrom DW, Kiei HE. 1979. Wastewater Treatment. New York: Prentice Hall.

Tandjung HSD. 1995. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.

Wardana WA. 1995. Dampak pencemaran lingkungan. Yogyakarta : Andi offset. Winarti C, Sembiring BS. 1998. Pengaruh

cara dan lama ekstraksi terhadap kadar tannin ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan Linn.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 4(3): 17-18.

(24)
(25)

Lampiran 1 Diagram Alir penelitian

Sampel Limbah pewarnaan Batik

dari Kulit Secang

Uji Toksisitas Limbah terhadap Larva Udang

Pengukuran KOB

5

dan KOK

Pengukuran Kadar Minyak dan Detergen

(26)

Lampiran 2 Diagram Alir Uji Toksisitas

Pembuatan Larutan sampel

Penyiapan Larutan Sampel (2000 ppm)

Penyemaian Benur Udang

Uji tosiitas Larva Udang

Sampel Limbah

0ppm, 20ppm,

50ppm, 100ppm,

500ppm, 1000ppm

200 µL Sampel Limbah

Labu ukur 100 mL lalu

ditera dg air laut buatan

2000ppm

(200 µL/100 mL)

Diberi ±30mg telur

udang/500mL

Disemaikan dalam Labu

kocok t=24 jam, dibawah

sinar lampu + aerator

Disiapkan botol 10 mL

sebanyak 18 yang berisi air

laut buatan

Dibuat 5 konsentrasi: 0, 20, 50, 100,

500, dan 1000 ppm

Tiap konsentrasi akan dimasukkan

25 ekor Larva udang

Larva udang di inkubasi selama 24

jam dibawah sinar lampu

(27)

Lampiran 3 Hasil analisis Probit Limbah Pewarna Alami dari Kulit Kayu Secang

Hasil Pengamatan Uji Toksisitas Larva Udang Terhadap Limbah Batik Secang

Konsentrasi

(ppm)

Larva Udang awal

(hidup)

Larva Udang akhir

(hidup)

Rata-rata

Larva Mati

1

2

3

1

2

3

1000 ppm

25

25

25

17

13

13

10,667

500 ppm

25

25

25

22

19

20

4,667

100 ppm

25

25

25

23

23

23

2

50 ppm

25

25

25

22

23

23

2,333

20 ppm

25

25

25

25

25

24

0,333

0 ppm

25

25

25

25

24

25

0,333

Contoh Perhitungan:

Contoh konsentrasi 1000 ppm :

Ulangan 1 = Jumlah larva awal

akhir = 25

17 = 8 (larva yang mati)

Ulangan 2 = Jumlah larva awal

akhir = 25

13 = 12 (larva yang mati)

Ulangan 3 = Jumlah larva awal

akhir = 25

13 = 12 (larva yang mati)

Rata-rata larva yang mati

3

12

12

8

= 10,6667

Hasil Data menggunakan Analisis Probit untuk Mencari LC

50

Distribution: Normal

Response Information

Variable Value Count larva mati Event 61 Non-event 389 larva awal Total 450

Estimation Method: Maximum Likelihood

Regression Table

Standard

Variable Coef Error Z P Constant -1,71458 0,122214 -14,03 0,000 LD 0,0015584 0,0001989 7,83 0,000 Natural

Response 0

Log-Likelihood = -145,879 Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P Pearson 6,93189 4 0,140 Deviance 7,61693 4 0,107

Tolerance Distribution Parameter Estimates

(28)

3000 2000

1000 0

-1000

99

95 90

80 70 60 50 40 30 20

10 5

1

LD

P

e

rc

e

n

t

M ean 1100,19 S tD ev 641,670 M edian 1100,19 IQ R 865,599 T able of S tatistics

Probability Plot for larva mati

Probit Data - ML Estimates Normal - 95% CI

Lanjutan Lampiran 3

Table of Percentiles

Standard 95,0% Fiducial CI

Percent death Percentile Error Lower Upper 1 -392,554 120,382 -699,389 -199,010 2 -217,636 100,769 -471,491 -53,7143 3 -106,656 88,9918 -328,235 39,8096 4 -23,1695 80,6399 -221,499 111,193 5 44,7400 74,2825 -135,567 170,148 6 102,542 69,2674 -63,2399 221,142 7 153,222 65,2404 -0,589902 266,621 8 198,601 61,9865 54,7718 308,075 9 239,871 59,3641 104,414 346,484 10 277,860 57,2732 149,426 382,522 20 560,150 54,2309 457,109 677,113 30 763,701 65,6321 649,810 918,693 40 937,627 80,9005 802,892 1136,69 50 1100,19 97,6077 940,990 1345,43

60 1262,76 115,632 1076,43 1556,82 70 1436,68 135,781 1219,61 1784,72 80 1640,24 160,052 1385,80 2052,82 90 1922,53 194,445 1614,83 2426,06 91 1960,51 199,118 1645,56 2476,38 92 2001,78 204,203 1678,93 2531,06 93 2047,16 209,805 1715,60 2591,21 94 2097,84 216,074 1756,53 2658,40 95 2155,65 223,237 1803,19 2735,07 96 2223,55 231,670 1857,97 2825,17 97 2307,04 242,061 1925,27 2935,99 98 2418,02 255,907 2014,67 3083,37 99 2592,94 277,795 2155,45 3315,79

(29)

Lampiran 4 Hasil Analisis Probit Limbah Pewarna Sintesis

Hasil Pengamatan Uji Toksisitas Larva Udang Terhadap Limbah Batik Sintesis

Konsentrasi

(ppm)

Larva Udang awal

(hidup)

Larva Udang akhir

(hidup)

Rata-rata

Larva Mati

1

2

3

1

2

3

1000 ppm

25

25

25

14

13

10

12,667

500 ppm

25

25

25

18

19

14

8

100 ppm

25

25

25

21

21

19

4,667

50 ppm

25

25

25

22

21

22

3,333

20 ppm

25

25

<

Gambar

Gambar 1 Tanaman Secang (Winarti 2005)
Gambar 2 Tempat Penetasan A. salina
Tabel 2 Baku mutu dan Limbah batik pewarna
Table of Percentiles
+3

Referensi

Dokumen terkait

Ada 3 (Tiga) aspek yang diamati atau dinilai pada siswa dalam melakukan gerak dasar Troll Depan yaitu sikap permulaan atau awal gerakan Roll Depan, pelaksanaan gerakan

ketersediaan air, serta mensimulasi dan merencanakan penggunaan lahan yang tepat untuk menjamin ketersediaan air pada DAS Waeruhu di Kota Ambon Propinsi Maluku.. Untuk melihat

Sedangkan persepsi pengaruh latar belakang pendidikan pedagang terhadap kesadaran kebersihan lingkungan sekitar Pasar Trayeman termasuk dalam kriteria “tinggi“, hal

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa mengatakan menata dengan rapi dan selalu menjaga kebersihannya, setiap pagi dan sore menyirami tanaman

Dari uraian diatas terlihat bahwa ekstrak daun teh mempunyai nilai IC50 yang lebih rendah dibandingkan produk teh hitam, hal ini berarti aktivitas antioksidan

Sehingga Kompleks Pameran dan Pusat Penjualan Produk Kerajinan Lokal Kotagede tersebut tidak hanya menawarkan produk kerajinan logam saja namun juga industri makanan khas Kotagede

Bagaimana aktivitas antibakteri fraksi etanol pada kulit Citrus reticulata terhadap bakteri Staphyloccus aureus ditinjau dari diameter zona hambat dengan menggunakan

Dalam pendidikan terdapat evaluasi pembelajaran yang bertujuan untuk mengukur sejauh mana keberhasilan pembelajaran, keberhasilan pembelajaran di sekolah salah