RESOLUSI KONFLIK DAN GERAKAN SEPARATISME GAM DI ACEH Study Kasus Peran CMI Sebagai Mediator Konflik Antara
Pemerintahan RI dan GAM di Aceh
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Politik (S.Sos) Jenjang Pendidikan Strata I Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh:
FATIMAH SAPRIANINGSIH Nim: 107033201673
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYAHTULLAH
JAKARTA
iii
ABSTRAK
Fatimah SapriaNingsih
Resolusi Konflik Dan Gerakan Separatisme GAM Di Aceh
Skripsi ini memaparkan tentang bagaimana peran CMI sebagai mediator dalam menangani konflik GAM dengan pemerintah Indonesia yang telah terjadi begitu lama. Kekecewaan yang melanda rakyat Aceh akibat adanya diskriminasi dibidang ekonomi dikarenakan tidak meratanya pembangunan antara pusat dan daerah menjadi dasar perlawanan rakyat Aceh diwakili oleh GAM untuk memisahkan diri dari NKRI. Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah RI untuk mengajak pihak GAM berunding dan menyelesaikan permasalahan di Aceh dengan cara damai dan tetap dalam bingkai NKRI guna mengurangi korban dari pihak sipil.
Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah RI dengan melaksanakan beberapa upaya damai seperti Jedah Kemanusian, Moratorium, Perjanjian CoHA yang difasilitasi oleh HDC, namun hal ini tetap saja tidak memperoleh suatu kesepakatan karena pihak GAM tetap menuntut untuk merdeka dari NKRI sampai pada akhirnya hadirlah CMI sebagai mediator perdamaian, terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh menjadi salah satu faktor diselenggarakannya pertemuan antara delegasi GAM dan delegasi Indonesia di Helsinki, Finlandia untuk membicarakan perdamaian antara keduanya.
iv
Asalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas
berkat ramat, karunia,serta ridho-Nya kepada penulis, sehingga penulis diberikan
jalan dan kemudahannya dalam pembuatan skripsi ini yang berjudul “RESOLUSI
KONFLIK DAN GERAKAN SEPARATISME GAM DI ACEH”. Tak lupa juga penulis panjatkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Rasulullah SAW
yang membawa kita dari jaman jahiliyah ke jaman yang penuh ilmu pengetahuan.
Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh
ujian Sarjana Politik Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari akan kekurangan dan keterbatasan kemampuan dalam
hal pembuatan karya ilmiah ini dengan sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang dapat yang dapat memberikan
masukan-masukan berguna sebagai wujud menutupi kekurangan dalam pembuatan skripsi
ini. Penulis berharap dalam karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang
membutuhkan. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibunda Yusnahari Harahap dan ayahanda Asmir Saragih. tercinta yang
telah memberikan dukungan, kepercayaan dan doa yang tiada
henti-hentinya kepada penulis. Semoga Allah Subhanahu Wata‟ala memberikan
kesehatan dan kebahagiaan serta kemuliaan kepada mereka, dan semoga
penulis dapat membahagiakan keduanya, amin Ya Robbal „ Alamin. 2. Kakak-kakakku tersayang, Budiman, Indrawan, Juli Usman, Erna wati,
berserta Ponakanku terkasih, Zahra Nur Azizia, dan Muhammad Latif
Maulana Karim Galingging, yang turut memberikan dukungan semangat
v
3. Bapak Idris Thaha. M.Si selaku pembimbing yang selalu mendampingi
penulis dengan tiada kata lelah, ditengah kesibukan beliau sebagai dosen.
4. Bapak Prof. Bahtiar Effendy selaku Dekan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) khususnya
Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
mengajarkan banyak ilmu kepada penulis.
6. Segenap Tata Usaha Prodi Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya untuk Pak Jajang dan Ibu Supri yang telah membantu
penulis dalam mengurus kebutuhan administrasi dan lain-lain.
7. Terima kasih kepada Asep Irawan kekasih ku tercinta yang selalu sabar
membantu dan mendampingi dalam pembuatan skripsi ini.
8. Terima kasih juga untuk Ust. Noval, dan Abang Faisal atas doa dan
semangatnya yang selalu mendukung untuk penulisan skripsi ini.
9. Dan yang terakhir untuk Sahabat-sahabat penulis seperjuangan, khususnya
Prodi Ilmu Politik angkatan 2007, Neneng Nur Awaliah, Siti Masitoh,
Yuyun, dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terima kasih
atas dukungan dan kebaikan kalian semua.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 16 September 2011
LEMBAR PERSETUJUAN………... i
A. Awal Perlawanan Rakyat Aceh ... 18
B. Sejarah Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka ... 23
BAB III LANGKAH PEMERINTAH INDONESIA MENGAKHIRI KONFLIK GAM SEBELUM CMI MENJADI MEDIATOR... 28
A. Periode Pra Daerah Operasi Militer ... 29
B. Periode Daerah Operasi Militer ... 30
C. Periode Paska Daerah Operasi Militer ... 31
1. Penandatanganan Kesepakatan Penghentian Permusuhan……... 32
2. Kegagalan Pelaksanaan CoHA……… 33
3. Pemberlakuan Darurat Militer……….. 35
4. Pemberlakuan Keadaan Darurat Sipil……….. 37
A. Situasi Aceh Paska Kegagalan CoHA ... 39
B. Tinjauan Mengenai CMI ... 43
C. Proses Perundingan Helsinki……... 46
1. Putaran Perundingan CMI Tahap Pertama………...…… 47
2. Putaran Perundingan CMI Tahap Kedua………. 52
3. Putaran Perundingan CMI Tahap Ketiga………...……….. 55
4. Putaran Perundingan CMI Tahap Keempat………. 59
5. Putaran Perundingan CMI Tahap Kelima……… 61
BAB V KESIMPULAN... 66
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gerakan Aceh merdeka (GAM) adalah suatu gerakan yang terorganisir untuk
memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari Republik Indonesia. Aceh merupakan salah
satu propinsi ke-1 di Indonesia. Dalam bahasa Inggris GAM disebut FAM, yaitu Free
Aceh Movement. Dan AGAM, yaitu Angkatan Gerakan Aceh Merdeka yang
merupakan salah satu institusi yang bernaung di bawah organisasi GAM.1
Keinginan GAM untuk merdeka dari Indonesia diawali dari rasa kekecewaan
yang mendalam atas hal yang di lakukan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Aceh.
Yang menyebabkan masyarakat Aceh berada di bawah garis kemiskinan,
berpendidikan rendah, dan hancurnya identitas lokal.
Kenyataan ini yang membuat tokoh-tokoh eks DI/TII Aceh menjadi prihatin.
Nilai-nilai agama semakin terpinggirkan dan seakan tak populer lagi untuk mendapat
tempat di tengah-tengah akibat meluasnya dampak industri Aceh, di Lhokseumawe,
Aceh Utara.2 Melihat kenyataan itu para tokoh eks DI/TII untuk kembali berjihat
untuk melepaskan diri dari pemerintahan RI dan membangun negara Aceh yang
berasaskan norma-norma keislaman dan akhirnya pada 24 Mei 1977, para tokoh eks
1Wawancara Teuku Don dengan Tabloid Kronika 22 Januari 2000 dalam “Aceh Sekarang
dan Masa Depan”, artikel diakses pada tanggal 7 Juni 2011 dari http://www.mail-afchive.com/[email protected]/msg06245.html.
2
Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, (Jakarta:
2
DI/TII di tambah dengan para tokoh muda memproklamasikan dirinya sebuah
gerakan perlawanan yang di beri nama Gerakan Aceh Merdeka. Proklamasi ini
berlangsung dengan sangat sederhana di kaki gunung Halimun.3 Yang di mana
pemimpin tertinggi GAM dipegang Daud Beureueh, sedangkan untuk wali negara
disepakati dipercayakan pada Hasan Tiro.
Keinginan GAM untuk merdeka dari Indonesia merupakan rasa kekecewaan
yang mendalam atas hal yang di lakukan pemerintah Indonesia. Karena pada saat itu
di mana Soeharto mengkonstruksi pembangunan yang berpondasi pada pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas politik, yang mengakibatkan adannya perubahan di dalam
sistem tatanan politik dan ekonomi di wilayah Aceh. Kekayaan alam Aceh yang
melimpah kemudian dieksploitasi demi kemajuan ekonomi Indonesia.
Berbagai pabrik di dirikan di Aceh, seperti pabrik Liquid Natural Gas (LNG)
di Arun dan pabrik Pupuk Iskandar Muda. Kontrol atas semua hasil-hasil ekonomi
dan segala macam hal dalam mengembangkan industri yang ada di Aceh diletakkan
pemerintah pusat. Pada sisi lain, pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan
yang signifikan jika dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh
wilayah tersebut. Sehingga mengakibatkan adanya ketidakmerataan pembangunan
antara pusat dan daerah. Inilah yang menjadi alasan lahirnya separatis dari
sekelompok masyarakat Aceh yang menamakan dirinya GAM di bawah
kepemimpinan Hasan di Tiro pada 1977.4
3
Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, (Jakarta: PT. Grafindo,
2001),, h. 49.
4Ibid,
Tidak lama setelah “deklarasi kemerdekaan” tersebut, kekuatan bersenjata
GAM mulai menyerang pasukan pemerintah Indonesia. Serangan tersebut dibalas
dengan operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah Indonesia. Pada 1983,
kekuatan GAM sudah dikalahkan dilapangan oleh pemerintah Indonesia dan Hasan di
Tiro sebagai pemimpin GAM melarikan diri ke Swedia. Namun pada dekade
1980-an, kekuatan GAM menguat kembali, merasionalisasi status politiknya dan
memperkuat sayap militernya untuk menjaga stabilitas nasional, pemerintah
Indonesia merespon sikap pemberontakan tersebut dengan melakukan operasi militer
skala besar. Maka dari itu pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas dengan
cara menerapkan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dalam rangka
menumpas GAM.5
Namun pemberlakuan status DOM belum juga berhasil menumpas GAM.
Masalah ini terus menerus berlarut membuat terganggunya stabilitas nasional
Indonesia. Segala upaya yang di lakukan pemerintah Indonesia selalu gagal
menumpas GAM. Kegagalan pemerintah dalam mengatasi konflik separatis GAM
telah mendorong negara-negara lain seperti, Swedia dan Finlandia, organisasi
Internasional, seprti PBB dan ASEAN dan organisasi nonnegara, seperti Henry
Dunant Cebter (HDC) dan Crisis Management Initiative (CMI) untuk membantu
memecahkan persoalan tersebut dengan menawarkan diri menjadi penengah atau
mediator antara pemerintah Indonesia dan GAM. Keinginan dari pihak asing untuk
menjadi mediator perdamaian antara Indonesia dan GAM bertujuan agar perselisihan
5
Sukidi, “Wajah Pluralisme Islam Modermi” Tanwir Jurnal Pemikiran Agama dan
4
yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan GAM di selesaikan dengan cara damai
dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan.
Akhirnya kedua belah pihak kemudian sepakat untuk memilih HDC, alasan di
pilihnya HDC karena lembaga ini tidak partisan, professional, dan tidak memihak.
Keterlibatan HDC pertama kali di Indonesia mulai pada Januari 2000 ketika Presiden
Abdurrahman Wahid meminta HDC untuk memfasilitasi dialog kemanusiaan guna
menyelesaikan konflik Aceh.6 Permintaan ini kemudian di tanggapi positif oleh HDC.
Aksi pertama yang di lakukan HDC adalah membawa RI-GAM secara bersama-sama
ke meja perundingan yang kemudian disusul dengan serangkaian dialog yang dihadiri
kedua belah pihak. Berbagai dialog telah membawa kedua belah pihak
menandatangani sebuah akhir kesepakatan penghentian permusuhan Cessation of
Hostilities Agrement (CoHA) pada Desember 2002.7
Akan tetapi pada Mei 2003, perundingan benar-benar menemukan jalan
buntu. Pembicaraan tidak dilanjutkan lagi.8 Ini disebabkan karena mereka tidak
pernah berhasil menemukan titik kompromi mengenai isu fundamental mengenai
keberadaan Aceh tetap bagian integral dari NKRI atau menjadi merdeka. Para
pemimpin Indonesia selalu mengedepankan menjaga integritas wilayah dan
sebaliknya, mencegah disintegrasi. Sedangkan pemimpin GAM bersikukuh mengenai
hak untuk kemerdekaan diri, ini yang menjadikan proses damai gagal. Rasa saling
percaya yang telah terbangun melalui dialog interaktif kemudian mulai menyusut.
6
Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer (Jakarta: Kencana 2009),
h.143.
7
Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h.109.
8
Farid Husain, ed., To See The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh (Jakarta: Health and
Tiap hari bertambah orang Aceh yang hilang atau meninggal. Dan di kalangan tentara
kita dan masyarakat sipil juga jatuh korban. Akhirnya pada tahap inilah, maka CoHA
menjadi diabaikan dan resolusi konflik yang dimediasi oleh HDC terhenti, pada masa
Presiden Megawati Soekarnoputri.9
Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya antara GAM dan Indonesia telah
terjadi kontak senjata yang menimbulkan kekerasan. Dalam bidang ilmu politik
konflik yang berwujud kekerasan disebut konflik separatis.10 Dengan demikian
konflik antara GAM dan Indonesia adalah konflik antar kelompok yang disebut
konflik separatis.
Adapun separatis seperti di definisikan oleh Walter S. Jones, adalah gerakan
yang ingin dan menuntut pemisahan secara formal antara wilayah, dengan tujuan
membentuk negara yang terpisah.11 Dalam hal, GAM adalah gerakan yang ingin
memisahkan Aceh sebagai wilayah dengan Indonesia, seperti yang telah di jelaskan
pada awal tulisan ini.
B. Rumusan Masalah
Penyelesaian konflik separatis di suatu negara memang tidak mudah
diwujudkan, apalagi konflik tersebut berlangsung cukup lama dan menelan banyak
korban jiwa. Selama ini berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia
9
Novri, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, h.144.
10
Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah Definisi dan Perkembangan Konsep (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2007), h. 77.
11
Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan Ekonomi, Politik
6
belum berhasil membawa pihak GAM untuk mau melakukan perundingan damai
dengan sungguh-sungguh. Sampai pada saat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
pada tahun 2004, yang dimenangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
wakil Presiden Yusuf Kalla bermaksud melanjutkan kembali perundingan
perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Inisiatif perundingan ini
menandai babak penting dalam perkembangan konflik politik antara RI dan GAM,
setelah kegagalan perundingan yang diplopori Presiden Megawati Soekarno Putri
(2000-2003).
Salah satu institusi penting untuk menopang perundingan damai itu adalah
Crisis Management Initiative (CMI). Crisis Management Initiative (CMI) di dirikan
pada tahun 2000 oleh mantan Presiden Finlandia dan juga sekaligus menjabat sebagai
ketua CMI yaitu Marttin Ahtisaari. Organisasi CMI ini adalah organisasi non-laba
yang secara inovativ mempromosikan dan berkerja untuk pertahanan dan keamanan.
CMI berkerja untuk memperkuat kapasitas masyarakat internasional di dalam
manajemen krisis dan resolusi konflik yang menyeluruh.12
Berbeda dengan HDC yang secara internasional kurang diperhitungkan, CMI
lebih berpengaruh. Berkat kepemimpinan Martti Ahtisaari dalam menyelesaikan
konflik, CMI mempunyai posisi tawar yang tinggi dikarenakan mendapatkan
dukungan dana dari para donatur di Uni Eropa.
Berdasarkan latar belakang dan gambaran di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini:
12
http://en.wikipedia.org. “Crisis_Management_Initiative”, Artikel diakses pada tanggal 7
Mengapa Crisis Management Initiative (CMI) dapat sebagai mediator dalam
menangani konflik GAM dengan pemerintah Indonesia untuk mencari penyelesaian
konflik separatis?
C. Pembatasan Masalah
Untuk mendapat pemahaman yang lebih mendalam dan tidak melebar ke
topik lain, maka penulis memfokuskan batasan masalah yang akan dibahas pada
skripsi ini yaitu masalah dimulai dari tahun 2004 ketika CMI secara resmi di terima
sebagai mediator dalam membantu menyelesaikan masalah separatis GAM oleh
pemerintah Indonesia dan sampai pada tahun 2005 saat CMI telah berhasil
mengupayakan pertemuan antara pemerintah Indonesia dan pihak separatis GAM
dalam berbagai perundingan damai.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkann rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan dan menjelaskan keberhasilan CMI sebagai mediator dalam
menangani penyelesaian masalah separatis GAM di Indonesia secara damai.
2. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini penulis mengharapkan agar dapat memberikan manfaat
akademis khususnya bagi penulis sendiri untuk mendapatkan pengembangan dan
teman-8
teman angkatan akademika dapat menambah informasi sumbangan pemikiran dan
bahan kajian penelitian.
E. Kerangka Teori 1. Teori Konflik
Konflik merupakan gejala serba hadir dalam masyarakat atau istilah lain
dikenal dengan “everyday to life”, artinya seperti tidak ada individu atau masyarakat
tanpa konflik. Konflik sudah menjadi bagian keseharian hidup manusia.13
Ralf Dahrendorf, menyatakan bahwa, konflik merupakan suatu akibat dari
proses integrasi di dalam masyarakat tang tidak tuntas (tidak terselesaikan). Dalam
konteks ini Dahrenrorf mengatakan bahwa, konflik merupakan sebuah gejala
penyakit sosial yang dapat merusak persatuan dan kesatuan masyarakat. Konflik
semacam inilah yang dapat merusak dan meluluhlantakan sebuah negara kesatuan
hancur berkeping-keping.14
Konflik separatis di Indonesia muncul akibat dari adanya pertentangan antara
pemerintah Indonesia dan kelompok separatis GAM. Sikap saling bermusuhan antara
kedua belah pihak tersebut terlihat dalam berbagai aksi-aksi teror dan kekerasan yang
di lancarkan oleh kelompok GAM yang di tanggapi oleh pemerintah Indonesia
melalui tindakan-tindakan militer. Penyebab konflik tersebut karena munculnya rasa
kekecewaan mendalam karena tidak diperlakukan secara adil, adanya diskriminasi
13
Budi, Sosiologi Politik, h.76.
14
Rusadi Kantaprawira dan Leo, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu
dalam bidang politik dan ekonomi oleh pemerintah Indonesia, maka dari itu GAM
ingin melepaskan diri dari negara kesatuan republik Indonesia.
Sebab sudah lebih tiga puluh tahun konflik yang tiada henti terjadi di Aceh
antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tidak ada tanda-tanda konflik
tersebut akan terhenti. Pada tahun 2000, HDC telah mengambil prakarsa sebagai
mediator untuk membangun dialog antara Pemerintah dengan GAM.15 Prakarsa itu
sempat membuat kesepakatan mendinginkan keadaan dengan ditandatanganinya
Cessation of Hostilities Agreemant (CoHA) pada 9 Desember 2002 oleh pihak
pemerintah RI-GAM, dan pihak mediator HDC dan juga di buat kesepakatan zona
damai, tentara Indonesia maupun GAM dilarang menggunakan senjatanya di zona
tersebut kecuali saat berada di pos masing-masing.
Separatisme menurut Alexis Heraclides seperti dikutip oleh Rajat Ganguly
dan Ian Macduff “Separatism, by contras, covers all aspecs of political alienation
that include a desire for reduction of control by central authority” ( Separatisme
merupakan semua aspek pengasingan politik termaksud di dalamnya adalah adanya
keinginan untuk mengurangi kontrol atau otoritas pusat). Semua konflik yang
bertujuan memisahkan diri dari negara induk memualainya dengan gerakan
separatisme. Meskipun sebagian dari maksud atau tujuan gerakan separatisme bisa
jadi adalah untuk menggabungkan diri dengan negara lain dibandingkan dengan
mendirikan negara baru.16
15
Farid, To See The Unseen, h.22.
16
Ganguly dan Macduff, Ethic Conflict and Secessionism in South and Southeast Asia:
10
Menurut Heraclides ada tiga ciri karakteristik konflik separatisme yakni :
1. Konflik separatisme terjadi ketika pengaturan kekuasaan sangat terpusat dan
tidak adanya atau lemahnya demokrasi.
2. Adanya faktor pendukung dari luar yang kuat sehingga memperhebataksi
kekerasan.
3. Konflik separatism melibatkan etnik minoritas yang berhadapan dengan
pemerintah pusat sebagai akibat dari diskriminasi politik, ekonomi dan atau
penindasan militer oleh pusat.
Separatisme di Aceh merupakan akibat dari adanya diskriminasi dalam bidang
ekonomi dan politik yang di lakukan pemerintah pusat terhadap rakyat Aceh.
Ketidakadilan yang selama ini dirasakan telah memunculkan niat untuk
memisahkan diri dari Indonesia maka dari itu muncul gerakan separatis
GAM.17
2. Teori Konsensus
Konsensus adalah sebuah frase untuk menghasilkan atau menjadikan sebuah
kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama antarkelompok atau individu setelah
adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan dalam kolektif intelijen untuk
mendapatkan konsensus pengambilan keputusan. konsensus yang dilakukan dalam
gagasan abstrak, tidak mempunyai implikasi terhadap konsensus politik praktis akan
tetapi tindak lanjut pelaksanaan agenda akan lebih mudah dilakukan dalam
memengaruhi konsensus politik. konsensus bisa pula berawal hanya merupakan
sebuah pendapat atau gagasan yang kemudian diadopsi oleh sebuah kelompok kepada
17Ibid
kelompok yang lebih besar karena bedasarkan kepentingan (seringkali dengan
melalui sebuah fasilitasi) hingga dapat mencapai pada tingkat konvergen keputusan
yang akan dikembangkan.18
Adapun cara penyelesaian konflik, yaitu dengan kolaborasi (kerja sama),
mengikuti kemauan orang lain, mendominasi, menghindari, kompromi.19 Sadangkan
Dahrendorf menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik, yaitu:20
1. Bentuk konsiliasi seperti parlemen atau kuasi-parlemen dalam mana semua
pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan mendalam untuk mencapai
kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau
memaksakan kehendak.
2. Bentuk mediasi dalam mana kedua pihak sepakat mencari nasihat dari pihak
ketiga, (seorang yang disebut mediator). Tetapi nasihat yang diberikan oleh
mediator ini tidak mengikat mereka.
3. Bentuk arbitrasi, di mana pada bentuk ini kedua pihak sepakat untuk
mendapatkan keputusan akhir (yang bersifat legal) sebagai jalan keluar
konflik pada pihak ketiga sebagai arbitrator.
Penyelesaian konflik separatis GAM di Indonesia ditempuh dengan cara
mediasi. Menurut Saadia Touval dan William Zartman mediasi adalah sebuah bentuk
intervensi pihak ke tiga dalam konflik yang bertujuan untuk mengurangi atau
18
http://id.wikipedia.org/wiki/konsensus
19
Masri Maris, How Manage Conflict: Kiat Menangani Konflik (Jakarta: Erlangga, 2001),
h.41-47.
20
12
memecahkan konflik melalui negosiasi.21 Pada dasarnya mediasi adalah sebuah
proses politik, mediasi adalah fungsi pelaksanaan dari mediator. Dalam sebuah
konflik sering terjadi kebuntuan di antara pihak-pihak yang bertikai sehingga konflik
tidak dapat di selesaikan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu diperlukan mediator
dalam membantu mengatasi kebutuhan tersebut.
Dalam konflik separatis di Indonesia, CMI adalah pihak ke tiga yang berperan
sebagai mediator dalam membantu menyelesaikan konflik tersebut. Kehadiran CMI
dapat di terima oleh pemerintah Indonesia dan kelompok separatis GAM. CMI
berusaha meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa perundingan damai akan dapat
dilaksanakan dengan pihak GAM, demikian juga kepada pihak GAM, CMI berusaha
membujuk mereka untuk tidak lagi menuntut kemerdekaan pada pemerintah
Indonesia. Surat perdamaian juga diajukan oleh CMI kepada pemerintah Indonesia
dan GAM untuk mempertemukan pihak yang berkonflik dalam sebuah perundingan
untuk suatu kesepakatan damai. Disamping upaya negosiasi terhadap kedua belah
pihak, CMI juga membuat rumusan yang akan dibahas dalam perundingan yang
berisikan berbagai hal mengenai permasalahan yang di hadapi oleh pemerintah
Indonesia maupun pihak GAM.
Hal ini terbukti dari keberhasilan CMI membawa kedua belah pihak yang
bertikai duduk bersama untuk merumuskan Nota Kesepahaman untuk mengakhiri
konflik yang telah terjadi selama puluhan tahun, di lakukannya penyerahan senjata
21
Saadi Touval dan William Zartman, Internasional Meedition in theory and Practice,
dan pembubaran sayap militer GAM. Faktor gempa bumi dan tsunami juga membuat
pihak bertikai tidak lagi ingin memperpanjang konflik yang telah terjadi. Akhirnya
pada situasi inilah dipatuhinya Nota Kesepahaman yang telah ditandatangani pada
tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki oleh GAM dan Indonesia menjadi indikasi
keberhasilan CMI sebagai mediator dalam mendamaikan kedua pihak yang bertikai.
F. Metode Penelitian
Sesuai dengan uraian pada latar belakang permasalahan dan tujuan dari
dilaksanakan penelitian ini, maka jenis penelitian ini dengan cara kualitatif; yaitu
penelitian yang menggunakan metode historis, komparatif, dan studi kasus, sebagai
data-data yang akan diteliti.22 Sedangkan untuk metode penelitian ini termasuk
metode penelitian deskriptif yang mencoba untuk menjelaskan dan menggambarkan
secara sistematis dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.
Dalam pengumpulan data maka penulis menggunakan studi literatur, yaitu
data yang di perolah seperti mengenai sejarah awal terbentuknya GAM, dan tulisan
ilmiah yang dianggap relevan dengan topik penelitian. Melalui kepustakaan, yang di
gunakan untuk mempelajari buku-buku literatur yang berkaitan dengan pokok
permasalahan agar dapat menunjang dalam penulisan skripsi dan melengkapi
pengetahuan dalam penelitian ini. Seperti dengan membaca buku-buku, artikel surat
kabar, dan fasilitas jaringan komputer, yang mendorong dan berkaitan dengan
penelitian ini. Hal ini di lakukan untuk mendapat landasan teori dan konsep yang
tersususun.
22
14
G. Sistematika Penulisan
Sebagai gambaran umum, penulis menyajikan sistematika penulisan dalam 5
bab. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan dapat di lakukan secara sistematis
sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan mudah di pahami oleh
para pembaca skripsi ini. Adapun pembahasan dan penulisan skripsi ini secara garis
besar, yaitu sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan, permasalahan,
pembatasan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK GAM DAN INDONESIA
Dalam bab ini akan di jelaskan mengenai asal usul terjadinya konflik,
perkembangan kelompok separatis GAM, serta upaya-upaya yang di lakukan GAM
untuk mendeka.
BAB III LANGKAH-LANGKAH YANG TELAH DI AMBIL PEMERINTAH INDONESIA SEBELUM MASUKNYA CMI
Dalam bab ini menjelaskan mengenai langkah-langkah yang telah di ambil
pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik dengan GAM sebelum masuknya
BAB IV PERAN MEDIASI CMI DALAM MENANGANI KONFLIK GAM DENGAN INDONESIA UNTUK MENCAPAI PENYELESAIAN KONFLIK SEPARATIS DI INDONESIA
Dalam bab ini akan menjelaskan mengenai mediasi yang telah dijalankan
CMI dalam penyelesaian damai bagi pemerintah Indonesia dan kelompok separatis
GAM dan keberhasilan yang telah dicapai dalam mendamaikan Indonesia dan GAM.
BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini penulis penulis akan memberikan kesimpulan dari
17
BAB II
LATAR BELAKANG KONFLIK INDONESIA DAN
GAM
Bagi pemerintah Indonesia, konflik Aceh menjadi isu yang sangat penting
bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena Aceh
merupakan indikator perpecahan Indonesia sehingga apabila Aceh terpisah dari
NKRI, maka akan menimbulkan gerakan-gerakan separatis di daerah lainnya.
Dalam memahami konflik Aceh perlu dipahami bahwa konflik Aceh adalah
konflik yang multidimensional. Yang di mana terdapat banyak hal yang terkait
dalam konflik tersebut. Mulai dari faktor ekonomi, politik, sosial, dan budaya
secara keseluruhan memberikan kontribusi terhadap konflik Aceh.
Adapun pengertian konflik dalam ilmu politik acapkali dikaitkan dengan
kekerasan, seperti kerusuhan, terorime, dan revolusi. Konflik mengandung arti
“benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan baik secara
kelompok maupun individu dengan kelompok atau kelompok dengan
pemerintah.1
Oleh karena itu pada bab inilah untuk mendapat pemahaman yang
mendalam, maka penulis akan lebih memfokuskan permasalahan atau konflik
yang terjadi di Aceh, seperti sejarah konflik gerakan itu terjadi dan awal dari
perlawanan rakyat Aceh sehingga terjadinya sebuah konflik.
1
Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah Definisi dan Perkembangan Konsep
A. Awal Perlawanan Rakyat Aceh
Jika dilihat jauh ke belakang, lahirnya pemberontakan yang berlanjut
kepada Gerakan Aceh Merdeka, tak terlepas dari adanya pro-kontra di kalangan
tokoh-tokoh Aceh, apakah daerah itu ikut bergabung ke dalam RI dan mendukung
Proklamasi Kemerdekaan RI atau tidak. Keinginan rakyat Aceh yang ingin
menerapkan syariat Islam di daerahnya ditantang oleh Soekarno, sehingga muncul
rasa ketidaksenangan rakyat Aceh terhadap pemerintah. Bukan hanya itu saja tapi
juga dari kecemburuan sosial ekonomi dan penderitaan yang dialami oleh
masyarakat Aceh selama ini. Munculnya reaksi sosial ini diwujudkan dalam
bentuk perlawanan atau penentangan terhadap pemerintah pusat.
Lima hari setelah Proklamasi, tepatnya pada 22 Agustus 1945, sejumlah
tokoh dan pejuang Aceh berkumpul untuk menentukan nasib negara Indonesia di
rumah Teuku Abdullah Jeunib Anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat
buatan Belanda) di Banda Aceh. Bendera Merah Putih pun dikibarkan untuk
pertama kalinya di halaman kantor Shu Chokan (Kantor Residen Aceh, sekarang
Kantor Gubernur Aceh) kemudian dilakukanlah pemilihan serta pengangkatan
Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin Aceh sekaligus Gubernur Aceh yang
pertama.2
Terlihat pro-kontra yang muncul di Aceh setelah kemerdekaan Republik
Indonesia diumumkan. Sebagian kecil di antara rakyat Aceh melihat bahwa
kemerdekaan itu justru merugikan bagi diri mereka. Maka konflik di Aceh pun tak
terelakkan dan melahirkan berbagai peristiwa salah satunya adalah Perang
Cumbok.
2
Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, (Jakarta: PT. Grafindo,
19
Perang Cumbok adalah perang yang terjadi akibat perpecahan antara kaum
ulama dan kaum hulubalang (bangsawan).3 Perang ini mengakibatkan runtuhnya
kekuasaan feodal yang telah berabad-abad berakar di tanah Aceh. Sebagian tokoh
Aceh menyebutkan sebagai perang saudara terbesar sepanjang sejarah Aceh.
Perang tersebut baru bisa diatasi pada akhir 1946.
Dalam kondisi yang sudah cukup membaik itu, setelah meletusnya Perang
Cumbok, tiba-tiba saja muncul kekecewaan rakyat Aceh yang semakin mendalam
ketika berlangsungnya sidang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat pada 8
Agustus 1950 di Jakarta. Sidang memutuskan wilayah Indonesia dibagi dalam 10
daerah tingkat satu (provinsi). Dalam hal ini provinsi Aceh melebur ke dalam
pemerintahan provinsi Sumatera Utara. Dengan munculnya keputusan itu,
keinginan rakyat Aceh agar daerahnya ditangani dengan syariat Islam ternyata
tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Daud Beurueh yang saat itu terpilih sebagai ketua umum Kongres Alim
Ulama se-Indonesia melontarkan imbauan, agar segenap ulama memperjuangkan
supaya negara RI menjadi negara Islam RI. Sejajar dan sebangun dengan cita-cita
sejumlah tokoh radikal Islam di sejumlah daerah, terutama di Jawa Barat yang
sedang demam dengan NII (Negara Islam Indonesia) pimpinan S.M.
Kartosoewirjo yang akhirnya menjadikan mereka berkoalisi dan saling
mendukung satu sama lain.
Alasan Daud Beureueh mendukung berdirinya NII adalah dikarenakan
para pemimpin Republik Indonesia di Jakarta sudah menyimpang dari jalan yang
benar. Padahal dalam persepsi Daud Beureueh, negara Islam adalah satu-satunya
3
kemungkinan yang terkandung dalam prinsip Ketuhanan yang Maha Esa. Seperti
yang di terapkan pada sila yang pertama dari dasar negara Republik Indonesia
yakni Pancasila.4
Meskipun Ketuhanan yang Maha Esa menjadi sila pertama dalam
Pancasila, dalam pandangan Daud Beureueh, pemerintah Soekarno tidak pernah
memberikan kebebasan beragama yang sesungguhnya kepada rakyat, terutama
rakyat Aceh. Ia mencontohkan, jika memang kebebasan beragama secara
sesungguhnya diberlakukan berarti syariat Islam harus diterapkan di Aceh. Hal ini
dikarenakan 100% penduduk Aceh adalah Islam. Tapi, hal ini tidak pernah terjadi.
Justru yang terjadi adalah kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat
yang mengakibatkan terjadinya protes dan pemberontakan oleh sebagian besar
masyarakat Aceh. Tidak hanya terjadi pada bidang keagamaan saja melainkan
juga adanya ketimpangan sosial ekonomi yang mengakibatkan rakyat Aceh tetap
miskin.
Seperti kita ketahui bahwa daerah Aceh merupakan daerah yang memiliki
sumber daya alam yang sangat luar biasa. Antara lain berupa kandungan gas alam
cair dan minyak bumi yang melimpah di Lhokseumawe yang terletak di
Kecamatan Banda Sakti. Daya tarik ini yang kemudian mengundang investor
asing datang ke Aceh. Sejak saat itu, gas alam cair Liquefied Natural Gas (LNG),
telah menyulap wilayah ini menjadi kawasan industri petrokimia modern. Namun
demikian pengukuhan wilayah industri ini, bukanlah tanpa meninggalkan
masalah. Ketidakpuasaan mulai dari tidak adanya ganti rugi tanah, bahkan
sebagian masyarakat sampai ditakut-takuti dan diteror untuk menyerahkan tanah
4
21
mereka yang kemudian digunakan sebagai lahan berdirinya kawasan industri
tersebut.5 Dan tidak hanya disitu saja banyaknya perkebunan karet dan sawit di
daerah Kabupaten Aceh ternyata tidak serta merta membuat daerah ini terlepas
dari masalah perekonomian, terlebih lagi dengan masih sangat banyaknya
daerah-daerah pemukiman yang terisolir. Selain pembangunan jalur transportasi yang
belum memadai antar satu daerah dengan daerah lain, juga tingkat pendidikan
masyarakatnya yang kurang akibat sarana untuk itu sangat terbatas.
Pemerintah Soekarno sendiri, sejak semula sudah sangat ingin
meminggirkan gagasan negara Islam dan lebih memilih konsep negara nasionalis,
yang menurutnya bisa menyatukan semua kesamaan etnis dan persepsi keagamaan
di berbagai daerah Republik Indonesia. Sebab alasan Soekarno waktu itu, jika
berbentuk negara Islam, dikhawatirkan sejumlah daerah akan memisahkan diri
dari Republik Indonesia. Namun, Daud Beureueh dengan tegas menyatakan,
rakyat Aceh hanya ingin menerapkan syariat Islam dan diberikan Otonomi
Khusus menjalankan pemerintahannya sendiri. Namun rakyat Aceh tidak pula
menginginkan dirinya dan daerahnya diperlakukan sebagai anak tiri oleh
pemerintah Republik Indonesia. Soalnya, pasca kemerdekaan, janji bahwa Aceh
dapat menjadi suatu wilayah tersendiri yang menegakkan syariat Islam, ternyata
tidak terkabulkan. Bahkan otonomi Aceh dihapuskan.6
Meski demikian rakyat Aceh, bukan ingin memisahkan diri dari Republik
5
Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, (Jakarta:
Kontras, 2006), h. 32.
6
Riza Sihbudi, ed., Bara Dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas
Indonesia. Sebab, menurut Daud Beureueh, proklamasi NII yang didukung oleh
rakyat Aceh bukanlah berarti telah terbentuknya suatu negara dalam negara,
melainkan disebabkan, pada awalnya rakyat Aceh menganggap Republik
Indonesia adalah sebuah jembatan emas untuk menuju cita-cita yang selama ini
diidam-idamkan. Ternyata, impian itu tinggal impian, karena pemerintah
Soekarno tidak mempedulikan Aceh. Meski demikian, Daud Beureueh berharap,
para pemimpin Republik Indonesia tidak menggunakan kekerasan dalam
mengatasi konflik dengan tokoh-tokoh NII, terutama dalam kasus Aceh.
Dalam konsep Daud Beureueh, NII Aceh adalah sebuah provinsi dengan
otonomi yang luas. Provinsi otonomi ini dipimpin langsung oleh Daud Beureueh.
Dalam kepemimpinannya Daud Beureueh dibantu tiga wakil gubernur; Hasan Ali
untuk wilayah Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Tengah. Hasan Saleh
mengkoordinasikan wilayah Aceh Utara, Timur, Langkar, dan Tanah Karo,
sedangkan Abdul Gani dipercaya menangani Aceh Selatan, Barat, dan Tapanuli
Barat. Untuk wilayah tingkat dua, Daud Beureueh mengangkat sejumlah bupati.
Bupati Aceh Besar dipercayakan kepada Sulaiman Daud. Namun, saat baru
dimulainya perjuangan NII Aceh, Sulaiman Daud ditangkap pasukan pemerintah
RI pada 1954. Posisinya digantikan kepada Ishak Amin. Sementara itu, Aceh
Pidie dipimpin Bupati T.A.Hasan, Aceh Utara Sjeh Abdul Hamid, Aceh Timur
Saleh Adri, dan Aceh Selatan Zakaria Yunus. Untuk perjuangan militer, Daud
Beureueh membentuk tujuh resimen dan satu angkatan polisi yang dipimpin A.R.
Hasyim. Setelah terbentuknya berbagai kekuatan sipil dan militer itu aksi
perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia pun digalang Daud
23
pemerintah Republik Indonesia. Untuk menghindari perang terbuka dan aksi
penangkapan dari TNI, pasukan NII Aceh memilih masuk ke dalam hutan. Di sini
mereka membangun kekuatan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Di
pihak lain, lewat berbagai pendekatan, pemerintah Soekarno terus melakukan
upaya diploma dalam menyelesaikan konflik di Aceh ini. Pada 20 September
1953, Daud Beureueh memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di
Aceh dengan wilayah meliputi Aceh dan daerah-daerah sekitarnya, banyak rakyat
Aceh ikut memberontak, sejak itu pecah perang DI/TII melawan TNI. Daud
Beureueh melakukan banyak perlawanan tetapi berhasil ditumpas oleh
pemerintahan Republik Indonesia.7
B. Sejarah Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka
Setelah rezim Soekarno jatuh, tokoh-tokoh Aceh berharap bahwa
kehidupan sosial, ekonomi dan politik di daerahnya bisa terwujud lebih baik
dibandingkan dengan yang terjadi sepanjang era orde lama. Tapi, harapan tinggal
sekedar harapan. Sistem pemerintahan yang diterapkan pada masa Orde Baru
memberikan posisi tawar yang lemah bagi Aceh sehingga tidak ditempatkan
dalam posisi yang sejajar dan hanya melayani kepentingan pusat dengan
eksploitasi politik dan ekonomi. Kekayaan daerah tersebut terserap ke pemerintah
pusat tanpa pengembalian yang sepadan ke Aceh untuk keperluan pembangunan
sehingga Aceh mengalami ketertinggalan dari propinsi lain.8
Hingga tahun 1977 menjelang lahirnya GAM, kondisi sosial ekonomi di
7
Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka , h.14-15.
8
Syamsul Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika
Aceh sangat timpang. Ini disebabkan pembangunan berbagai proyek multinasional
mulai berlangsung dan era eksploitasi dijalankan. Aceh terus menerus dikuras dan
dieksploitasi pemerintah pusat, melalui pembangunan industry yang berhasil di
dapat lewat pembangunan ladang gas alam, di Arun, Aceh Utara. Akan tetapi
ironosnya dampak dari itu semua tidak dirasakan hasilnya oleh rakyat Aceh.
Sementara rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat
memprihatinkan.
Kenyataan ini membuat tokoh-tokoh eks DI/TII Aceh menjadi prihatin.
Dulu, mereka konsisten berjuang untuk mendirikan Republik Islam Aceh dengan
penegakan hukum dan norma-norma ke-Islaman. Namun, sekarang nilai-nilai
agama semakin terpinggirkan dan seakan tidak populer lagi untuk mendapat
tempat ditengah-tengah akibat meluasnya dampak industri Aceh, di
Lhokseumawe, Aceh Utara.9 Melihat kenyataan itu para tokoh eks DI/TII untuk
kembali berjihat untuk melepaskan diri dari pemerintahan RI dan membangun
negara Aceh yang berasaskan norma-norma ke-Islaman dan akhirnya pada 24 Mei
1977, para tokoh eks DI/TII di tambah dengan para tokoh muda
memproklamasikan dirinya sebuah gerakan perlawanan yang di beri nama
Gerakan Aceh Merdeka. Proklamasi ini berlangsung dengan sangat sederhana di
kaki gunung Halimun.10
Proklamasi kemerdekaan negara Aceh dan berdirinya GAM itu hanya diisi
dengan pernyataan lisan dari sejumlah tokoh, yang sebagian besar adalah eks
DI/TII. Yang di mana pemimpin tertinggi GAM di pegang oleh Daud Beureueh,
sedangkan untuk wali negara dipercayakan pada Hasan Tiro. Dalam doktrin
9
Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h. 18.
10
25
pendiriannya GAM memiliki ideologi kemerdekaan nasional, yaitu bertujuan
untuk membebaskan Aceh dari segala bentuk kontrol politik asing dari
pemerintahan Indonesia. Sedangkan, tujuan GAM adalah untuk menjamin
keberlangsungan dalam bidang politik, social, budaya, dan warisan agama.11
Selama berdirinya GAM telah mencapai beberapa keberhasilan secara
politik baik pada tingkat nasional maupun internasional. GAM berhasil merekrut
banyak pemuda Aceh menjadi anggota. Selain itu GAM juga berhasil membentuk
beberapa LSM yang turut mendukung pemisahan Aceh dari Indonesia, salah
satunya adalah Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang diketuai oleh
Nazaruddin S.Ag. Ini menandai bahwa masyarakat Aceh mulai tidak percaya lagi
kepada pemerintah pusat, sehingga mereka mencari jalan keluar dari kesulitan
yang sedang menimpa daerah serta dirinya dan dari gangguan kekerasan politik
yang sedang mereka alami.12 Selain itu, GAM juga membangun opini publik
Internasional melalui media-media asing yang memberitakan
pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Indonesia.
Kelahiran GAM ini tidaklah sedashat Daud Beureueh memproklamasikan
gerakan DI/TII melawan Soekarno. Kurangnya dukungan penuh dari para tokoh
DI/TII membuat GAM tidak bisa dengan cepat mendapatkan simpati dari segenap
rakyat Aceh. Sebab, gagasan dan prinsip yang diterapkan Hasan Tiro dinilai
sebagian pendiri GAM terutama dari sayap kanan yaitu para tokoh DI/TII sangat
bertentangan dengan hukum Islam maupun norma-norma adat Aceh. Tapi Hasan
Tiro tetap tidak peduli terhadap banyaknya pendiri GAM menentang gagasannya
tersebut. Malah, ia membuat sebuah deklarasi dalam bahasa Inggris. Deklarasi itu
11
Syamsul Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru, h.53.
12
Syarifuddin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo,2000),
berjudul Declaration of Independence of Acheh-Sumatera pada 4 Desember 1976,
yang ditandatanganinya sendiri. Anehnya, dalam deklarasi itu Hasan Tiro tidak
sedikitpun menyebut nama GAM ia lebih suka menggunakan istilah National
Liberation Front of Acheh Sumatera. Istilah ini kemudian diubah lagi menjadi
Acheh Sumatera National Liberation Front, yang kemudian di singkat menjadi
ASNLF.13 Gerakan ASNLF ini sama halnya dengan SIRA, yang menanamkan visi
kepada masyarakat agar setia dan berbagai lapisan sosial termotivasi berperan
aktif dalam melakukan tindakan revolusioner.14
Pada tahun 1977 perlawanan GAM sempat terasa agresif. Muncul dan
meningkatnya perlawanan GAM ini telah membuat aparat keamanan dari
pemerintah RI semakin meningkatkan perang psikologis terhadap gerakan
tersebut. Ironisnya, perang urat syaraf ini tak hanya ditujukan kepada tokoh-tokoh
GAM, tapi juga kepada rakyat Aceh. Tujuannya, agar rakyat Aceh tidak
mendukung GAM.
Untuk menekan perlawanan GAM, di tahun 1978, TNI menyebarkan foto
pemimpin gerakan itu, yang di sebarkan ke seluruh Aceh yang isinya meminta
siapapun menangkap Hasan Tiro dan tokoh-tokoh GAM lainnya dalam keadaan
hidup atau mati. Melihat tinggi dan gencarnya tekanan TNI kepada para pengikut
GAM membuat Hasan Tiro pergi keluar negeri untuk mencari bantuan senjata,
mengingat semakin gencarnya gempuran TNI. Pada Februari 1979 Hasan Tiro
meninggalkan tempat persembunyiannya di Aceh Pidie. Setelah berpamitan
dengan sejumlah tokoh GAM pada 29 Maret 1979, Hasan Tiro pergi ke Aceh.
Dengan perahu tradisional ia bersama beberapa pengikutnya mengarungi selat
13
Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h.18
14
27
malaka menuju Malaysia lalu perjalanannya di lanjutkan ke Swedia, sejak saat itu
Hasan Tiro tidak pernah kembali lagi ke Aceh dan ia menjalankan pemberontakan
GAM dari tempat persembunyiannya yaitu di Swedia. Dari Swedialah Gerakan
Aceh Merdeka ini mempropagandakan perjuangannya ke dunia internasional
untuk menarik perhatian masyarakat dunia. Dari sini pula GAM memojokkan
28
LANGKAH PEMERINTAH INDONESIA
MENGAKHIRI KONFLIK GAM SEBELUM CMI
MENJADI MEDIATOR
Aceh, yang menjadi tempat kekejaman tentara Indonesia dalam usaha
menumpas gerakan kemerdekaan, hampir diabaikan oleh masyarakat internasional
dan media di luar negeri. ini terbukti pada 1980 Operasi Jaring Merah, yang
kemudian lebih dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM) telah banyak
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di wilayah Sumatera yang
kemudian telah menjatuhkan banyak korban. mulai dari korban penculikan,
dianiaya, disetrum, dan kemudian ditembak di depan umum. Ada pula yang
diperkosa di depan anak atau di depan suaminya. Beberapa bagian bentuk
kejahatan yang dirasakan rakyat Aceh atas perbuatan militer selama DOM, sangat
pedih dirasakan.
Karena hal itu dilakukan oleh bangsa sendiri dan bukan bangsa lain yang
pernah menjajah Indonesia seperti Belanda dan Jepang. Di tengah operasi yang
berlangsung, terjadi serpihan-serpihan peristiwa yang sangat sulit diterima oleh
siapa saja yang masih mempunyai hati nurani. Penyiksaan dan penjarahan
terhadap “milik” perempuan yang berharga, mulai dari pelecehan seksual sampai
pembunuhan justru dilakukan oleh aparat yang seharusnya melindungi dan
membela rakyatnya. Tetapi, justru sampai saat ini sebagian besar korban belum
29
Oleh karena itu pada bab inilah kemudian untuk mendapat pemahaman
yang mendalam, maka penulis akan lebih memfokuskan permasalahan atau
konflik yang terjadi pada masa DOM, sampai akhir pencabutan DOM.
A. Periode Pra Daerah Operasi Militer (1976-1989)
Pada tahun 1976 sampai dengan 1989 tentara Indonesia melakukan
pengejaran dan serangan bersenjata serta pencarian dari rumah ke rumah terhadap
anggota Gerakan Aceh Merdeka, di daerah yang diduga sebagai basis GAM. Ini
dilakukan karena untuk mendukung kampanye anti pemberontakan. Agar tidak
terjadi lagi tindak kekerasan secara terus menerus.1
Amnesty Internasional melaporkan, pada saat Tentara Indonesia
melakukan pencarian ke rumah-rumah yang diduga sebagai daerah basis Gerakan
Aceh Merdeka, Tentara Indonesia melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM
seperti:
1. Melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk.
2. Melakukan penyiksaan terhadap penduduk.
3. Melakukan penagkapan terhadap para istri dan anak-anak anggota
GAM, dan melakukan penyanderaan terhadap mereka, dan ada
diantara mereka yang kemudian diperkosa.
4. Melakukan pembunuhan diluar proses hukum terhadap orang-orang
yang dituduh sebagai anggota GAM.
Belum lagi pelanggaran HAM yang terjadi pada masa ini tidak ditanggapi
serius oleh pemerintah. Bahkan pemerintah hanya menganggap kejahatan yang
1
Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu ,(Jakarta:
dilakukan ABRI atau TNI ini hanya merupakan kejahatan kriminal biasa. Oleh
karena itu, tidak satupun dari anggota ABRI maupun TNI yang diadili pada masa
ini. Akibatnya, kekecewaan, frustasi, dan kepercayaan sosial masyarakat Aceh
dan para korban DOM sudah menipis dan hilang pada pemerintah Indonesia.
Umumnya para korban DOM lebih percaya pada GAM, yang kemudian akhirnya
memantapkan keinginan mereka untuk berpisah dengan RI.2
B. Periode Daerah Operasi Militer (1989-1998)
Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik Aceh
baik dengan pendekatan keamanan dengan menjadikan Aceh sebagai tempat
untuk melaksanakan Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998. Pada
periode ini menurut rakyat Aceh merupakan pengalaman buruk yang dialami
mereka. Karena pada saat itu, rakyat Aceh mengalami tindak kekerasan fisik dan
non-fisik yang dilakukan oleh militer. Aceh benar-benar telah menjadi tempat
“pembataian” yang kejam dan sadis. Selama Aceh dijadikan DOM, ada pos
satuan taktis yang paling terkenal sebagai tempat penyekapan, penyiksaan,
pembunuhan, pemerkosaan, dan kuburan massal yaitu Rumoh Geudong di Pidie
dan Rancong di Aceh Utara.3
Pelaksanaan DOM di Aceh memakan banyak sekali korban jiwa baik dari
pihak rakyat Aceh sendiri maupun dari pihak GAM, tindak kekerasan pihak
militer baik secara fisik maupun psikis sering kali terjadi sehingga menimbulkan
trauma yang mendalam bagi rakyat Aceh. DOM juga menyebabkan perekonomian
Aceh mengalami stagnasi sehingga kondisi kehidupan rakyat Aceh sangat
2
Tim Peneliti LIPI, Bara Dalam Sekam, (Bandung : Mizan, 2001), h. 44.
3 Ibid
31
memperihatinkan, hal ini sebagai akibat dari diberlakukannya DOM maka
sebagian besar rakyat Pidie Aceh Utara dan Aceh Timur merasa ketakutan untuk
melakukan kegiatan ekonomi. Apalagi ketiga daerah tersebut masih sering terjadi
perampasan harta benda, intimidasi, kekerasan dan bentuk-bentuk teror lainnya.4
Selain itu, Operasi Militer telah pula memperburuk tingkat pendidikan di Aceh
dibandingkan dengan daerah lainnya. Pemberlakuan Operasi Militer ini dianggap
oleh orang Aceh sebagai rencana rekayasa politik Soeharto untuk mengamankan
„modal‟ mereka di Aceh.5
Dengan tujuan kekayaan Aceh dapat dikuras dengan
mudah.
C. Periode Paska Daerah Operasi Militer
Sebagian besar masyarakat Aceh menyambut dengan rasa syukur yang
mendalam atas dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 7
Agustus 1998. Dengan harapan bahwa berbagai kejadian yang telah terjadi tidak
akan terulang lagi dan mereka berharap dapat kembali menjalani hidup dengan
normal.6
Sebenarnya berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah, dengan
menerapkan berbagai perundingan dengan pihak GAM, namun hingga sekarang
belum juga ada titik temunya. Oleh karena itu dengan dicabutnya status DOM dari
Aceh merupakan sebuah angin segar bagi masyarakat Aceh. Ini terbukti dari
banyaknya tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk mengusut kekerasan
dan pelanggaran yang terjadi selama masa DOM dan paska masa DOM.
4
Mochammad Nurhasim, Konflik Aceh, (Jakarta: LIPI, 2003), h. 26.
5
Kontras, Aceh Damai dengan Kedilan, h. 28.
6Ibid
Pada tahun 1999 muncul kembali konflik baru yang pada saat itu dimotori
oleh mahasiswa, yang tujuannya untuk menuntut kemerdekaan. Tuntutan merdeka
ini sebenarnya hanya sebagai strategi agar pemerintah pusat memperhatikan
korban-korban Operasi Militer. Akan tetapi tuntutan mereka pun tidak direspon
dengan baik oleh pemerintah. Maka dari sinilah kemudian gerakan yang diberi
nama Operasi Militer Jaringan Merang semakin meluas, sehingga akhirnya
mengangkat dua isu penting yaitu merdeka atau referendum.7
Sejarah mencatat bahwa pendekatan militer tidak pernah berhasil
menyelesaikan masalah Aceh. Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan justru
akan menimbulkan kekerasan baru yang lebih kompleks.8 Keseriusan pemerintah
untuk melakukan rehabilitasi korban Operasi Militer, memperbaiki ekonomi
rakyat Aceh dan membangun kembali Aceh, akan menjadi pintu gerbang untuk
menciptakan Aceh yang damai. Selain itu, itikad baik dan serius dari pemerintah
pusat juga menjadi kunci pokok bagi penyelesaian konflik Aceh. Satu hal yang
perlu mendapat perhatian serius adalah perbaikan terhadap sistem di Aceh, baik
sistem pendidikan, hukum, dan ekonomi.
1. Penandatanganan Kesepakatan Penghentian Permusuhan
Upaya dialog antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
memulai babak baru di Aceh. Pemerintah dan GAM yang berada di Jenewa,
Swiss, pada 9 Desember 2002, akhirnya secara resmi menandatangani
Kesepakatan Penghentian Permusuhan The Cessation of Hostilities Agreement
(CoHA). Salah satu poin dalam perjanjian CoHA ini adalah pembentukan Joint
7
Nurhasim, Konflik Aceh, h. 28.
8Ibid
33
Security Committee yang bertugas untuk memantau pelaksanaan kesepakatan
CoHA.9
Kesepakatan CoHA ini menunjukkan suatu kemajuan dengan
diberikannya kesempatan kepada masyarakat sipil untuk mengekspresikan
kebebasan politiknya tanpa diganggu oleh kedua belah pihak. Untuk itu,
pemerintah RI menjamin dan GAM akan mendukung pelaksanaan proses
pemilihan yang bebas yang adil dengan partisipasi seluruh elemen masyarakat
Aceh yang seluas-luasnya.10 Untuk mendapatkan dukungan itu maka antara
pemerintah dan GAM mempunyai tujuan yang sama untuk memenuhi aspirasi
rakyat Aceh untuk hidup secara damai, aman, bermatabat, makmur dan adil.
Sebagai persoalan dalam negeri, Pemerintah Indonesia sebenarnya sangat
berhati-hati untuk melibatkan pihak luar. Meskipun dukungan internasional sangat
kuat peranannya, akan tetapi untuk menentukan tetaplah berada dalam tangan
negara dan bangsa Indonesia sendiri, apalagi kekuatan luar tidak dapat terus
menerus dijadikan sandaran untuk mendapat bantuan, atau sebaliknya dijadikan
kambing hitam untuk melepas tanggung jawab.
2. Kegagalan Pelaksanaan CoHA
Kesepakatan penghentian permusuahan (CoHA) antara pemerintah
Indonesia dan GAM pada 9 Desember 2002, ternyata akhirnya hanya mampu
bertahan selama 3 (tiga) bulan. Ini dikarenakan pihak GAM telah melanggar,
mengingkari, dan menghianati perrjanjian yang telah ditanda tangani. Pelanggaran
yang dilakukan oleh GAM, yakni, melakukan propaganda kemerdekaan tidak
9
Kontras, Aceh Damai dengan Kedilan, h. 109.
10
maumengumpulkan senjata, bahkan melakukan penyelundupan, dan tindak
kriminal.11
Mencermati sikap GAM yang mulai menyimpang dari tujuan perjanjian
CoHA, pemerintah RI melalui perwakilannya di JSC-RI berusaha mengambil
langkah-langkah untuk mencegah segala upaya GAM memenipulasi isi perjanjian.
Adapun langkah-langkah tersebut, antara lain: (1) meminta pihak HDC untuk
menghentikan segala upaya pihak GAM, (2) meminta pihak HDC untuk
menggelar sidang Joint Council (sebagai lembaga tertinggi yang diatur dalam
CoHA).12
Setelah pihak GAM tetap pada tujuannya, maka Pemerintah RI secara
eksplisit menyatakan pemberlakuan Operasi Terpadu di wilayah Provinsi NAD.
Karena perkembangan terakhir atas kondisi Aceh semakin mencemaskan dengan
adanya korban jiwa yang terus berjatuhan di pihak TNI, GAM dan rakyat sipil
seiring dengan melemahnya semangat untuk mematuhi perjanjian CoHA.
Akhirnya pada 19 Mei 2003 disepakatilah pertemuan Joint Council di
Tokyo, guna mendapatkan solusi yang terbaik terhadap macetnya pelaksanaan
CoHA. Namun perundingan ini gagal total, karena pihak GAM menolak seluruh
syarat dasar pemerintah RI. Adapun syarat tersebut, yaitu: (1) Aceh tetap dalam
NKRI, (2) GAM menerima otonomi khusus, (3) GAM mau meletakkan senjata.13
Kemudian dari sinilah pertemuan antara pemerintah RI dengan GAM membuat
HDC tidak dapat lagi memfasilitasi perundingan tersebut, yang berarti HDC juga
11
Munawar Fuad Noeh, SBY dan Islam, (Depok: eLSAKU, 2004), h. 107.
12
I Gusti Made Oka, Cessation of Hostilities Frame Work Agreement Between RI and
GAM: Suatu Penyelesaian Konflik di Aceh, (Jakarta: Staf Operasi Mabes TNI, 2004), h. 50.
13
Farid Husain, To See The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh, (Jakarta: Health and
35
tidak dapat lagi bertindak sebagai mediator untuk melanjutkan proses
implementasi CoHA.
3. Pemberlakuan Darurat Militer
Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah RI untuk mengajak pihak
GAM berunding dan menyelesaikan permasalahan di Aceh dengan cara damai
dan tetap dalam bingkai NKRI guna mengurangi korban dari pihak sipil. Hal ini
telah dilakukan oleh pemerintah RI dengan melaksanakan beberapa upaya damai
seperti Jeda Kemanusian, serta Moratorium, kemudian dilanjutkan dengan CoHA
yang difasilitasi oleh HDC, namun hal ini tetap saja tidak memperoleh suatu
kesepakatan karena pihak GAM tetap menuntut untuk merdeka dan lepas dari
NKRI.
Upaya terakhir yang dilaksanakan oleh pemerintah RI yaitu mengadakan
Joint Coincil, dimana pihak RI mengajukan beberapa persyaratan dan memberi
batas waktu kepada GAM. Dengan gagalnya pertemuan tersebut, Indonesia
sebagai negara yang berdaulat telah menentukan sikap tegas yaitu dengan
memberlakukan Darurat Militer di NAD. Status Darurat Militer merupakan
pernyataan terbuka pemerintah untuk menyatakan perang di bawah payung
hukum keputusan resmi Presiden (Keppres No 28 2003). Berbeda dengan masa
DOM, paska DOM sampai dengan CoHA, operasi militer yang digelar saat
darurat militer secara resmi langsung di bawah pertanggungjawaban presiden
sebagai penguasa darurat militer pusat. Meskipun dalam operasionalisasinya di
lapangan, Keppres ini tidak mampu menjadi payung hukum yang memadai untuk
menyelesaikan semua persoalan.14
14
Isi dari Keppres tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, “gagalnya upaya-upaya pemerintah menyelesaikan persoalan Aceh melalui penetapan otonomi khusus, pendekatan terpadu dan rencana pembangunan yang komprehensif, maupun dialog. Juga disebutkan bahwa semua upaya tersebut tidak dapat menghentikan niat GAM untuk memisahkan diri dari NKRI dan menyatakan kemerdekaannya.”
Maksud dari poin pertama “secara asal” telah menempatkan seluruh
elemen masyarakat yang ada di Aceh, baik masyarakat sipilnya maupun GAM
sebagai sumber masalah karena menolak dialog, otonomi khusus serta program
pemerintah. Rumusan konsideran ini menunjukkan bahwa Pemerintah
mencapuradukkan seluruh problematika Aceh yang belum tentu berhubungan
dengan separatisme dan menyelesaikannya lewat Darurat Militer;
Kedua, “bahwa keadaan yang pada akhirnya dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, dan secepatnya harus dihentikan melalui upaya-upaya yang lebih terpadu agar kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintah
dapat segera dipulihkan kembali.”
Rumusan ini menunjukkan bahwa keutuhan teritorial NKRI digunakan
sebagai dasar dari tujuan utama operasi. Atas nama nasionalisme dan jargon
NKRI, pemerintah membenarkan seluruh tindakan aparat keamanan selama
DOM. Telah melakukan operasi yang menghalalkan segala cara, yang dilakukan
justru kontra produktif. Spirit dari nasionalisme dan NKRI adalah
“mempertahankan kepemilikan atas Aceh secara teritorial” dengan daya koersif
yang dimiliki negara, sehingga yang dipikirkan pemerintah adalah
mengembalikan efektifitas kaki kekuasaannya di daerah dengan cara apapun. Pada
point kedua ini sangat bertolak belakang dengan klaim dan tujuan operasi untuk
mengembalikan otoritas masyarakat Aceh atas wilayahnya yang berada dalam
37
Ketiga, Keppres No 28 Tahun 2003 dalam perihal mengingat merujuk pada
Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan
keempatUndang-undang Dasar 1945, Undang-undang No 23 Prp Tahun 1959
Tentang kedaan Bahaya, serta Undang-undang No 2 Tahun 2002 Tentang
kepolisian Negara RI. Dalam hal ini ketiga instrumen yang menjadi dasar hukum
dan mekanisme pelaksanaan Keppres sungguh memiliki perbedaan-perbedaan
dalam beberapa aspeknya. Perbedaan-perbedaan ini sulit untuk saling mendukung
ketiga instrumen yang menjadi dasar tersebut diimplementasikan secara bersama
sebagai dasar penerapan status Darurat Militer, karena kandungan konflik
kepentingan, tafsir dan tindakan.15
4. Pemberlakuan Keadaan Darurat Sipil
Setelah merasa keadaan di Aceh sudah sudah mulai membaik Presiden
Megawati Soekarnoputri menurunkan status Darurat Militer dan memberlakukan
Status Darurat Sipil selama enam bulan, terhitung mulai pada 19 Mei 2004, untuk
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keputusan ini ditetapkan dalam Keputusan
Presiden Nomor 43 Tuhun 2004. Gubernur NAD, Abdullah Puteh diangkat
menjadi Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD), dibantu oleh Pangdam Iskandar
Muda, Kapolda, dan Kajati Aceh. Keppres tersebut juga menyatakan dibentuknya
Tim Asistensi dari pemerintah pusat yang tugasnya memberikan asistensi dan
monitoring terhadap kerja PDSD.16
Keputusan pemerintah menurunkan status Aceh ke darurat sipil kemudian
juga mendapat respon positif dari berbagai elit politik nasional, terutama yang
memiliki kepentingan dalam pemilu presiden mendatang. Ini terbukti meskipun
15
Ibid, h. 114-115.
16
menurunkan status Aceh menjadi darurat sipil, tetap mempertahankan operasi
militer dan tidak akan ada pengurangan pasukan di Aceh. Artinya TNI maupun
39
BAB IV
PERAN MEDIASI CMI DALAM MENENGAHI
PERTENTANGAN GAM DAN INDONESIA UNTUK
MENCAPAI PENYELESAIAN KONFLIK DI
INDONESIA
Upaya menyelesaikan konflik melalui perundingan perdamaian pada
hakekatnya adalah sesuatu yang selalu diinginkan oleh semua pihak. Terutama
bagi masyarakat Aceh yang terdiri dari kelompok negara (Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, TNI dan Polri, Kelompok Masyarakat, dan Tokoh
Adat/Ulama) sebagai pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian konflik
Aceh tersebut. Karena mereka telah sangat lama merasakan betapa pahit getirnya
hidup dalam kondisi konflik yang panjang. Mulai dari tahap membangun dialog
dengan pihak RI hingga kemudian dicapainya sebuah perdamaian berkat CMI
(Crisis Management Initiative) sebagai mediator terakhir.
Oleh karena itu pada bab inilah, maka akan dipaparkan proses
perundingan yang dicapai CMI untuk mendamaikan Pemerintah RI dan GAM
yang kemudian melahirkan empat tahap perundingan sekaligus yang dikenal
dengan Perundingan Helsinki. Dan juga sedikit memaparkan mengenai organisasi
CMI.
A. Situasi Aceh Paska Kegagalan CoHA
Pemerintahan pada masa paska Orde Baru yang dijalankan oleh Presiden