• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resolusi konflik dan gerakan separatisme GAM di Aceh study kasus peran CMI sebagai mediator konflik antara pemerintahan RI dan GAM di Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Resolusi konflik dan gerakan separatisme GAM di Aceh study kasus peran CMI sebagai mediator konflik antara pemerintahan RI dan GAM di Aceh"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

RESOLUSI KONFLIK DAN GERAKAN SEPARATISME GAM DI ACEH Study Kasus Peran CMI Sebagai Mediator Konflik Antara

Pemerintahan RI dan GAM di Aceh

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Politik (S.Sos) Jenjang Pendidikan Strata I Program Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

FATIMAH SAPRIANINGSIH Nim: 107033201673

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYAHTULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iii

ABSTRAK

Fatimah SapriaNingsih

Resolusi Konflik Dan Gerakan Separatisme GAM Di Aceh

Skripsi ini memaparkan tentang bagaimana peran CMI sebagai mediator dalam menangani konflik GAM dengan pemerintah Indonesia yang telah terjadi begitu lama. Kekecewaan yang melanda rakyat Aceh akibat adanya diskriminasi dibidang ekonomi dikarenakan tidak meratanya pembangunan antara pusat dan daerah menjadi dasar perlawanan rakyat Aceh diwakili oleh GAM untuk memisahkan diri dari NKRI. Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah RI untuk mengajak pihak GAM berunding dan menyelesaikan permasalahan di Aceh dengan cara damai dan tetap dalam bingkai NKRI guna mengurangi korban dari pihak sipil.

Hal ini telah dilakukan oleh pemerintah RI dengan melaksanakan beberapa upaya damai seperti Jedah Kemanusian, Moratorium, Perjanjian CoHA yang difasilitasi oleh HDC, namun hal ini tetap saja tidak memperoleh suatu kesepakatan karena pihak GAM tetap menuntut untuk merdeka dari NKRI sampai pada akhirnya hadirlah CMI sebagai mediator perdamaian, terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh menjadi salah satu faktor diselenggarakannya pertemuan antara delegasi GAM dan delegasi Indonesia di Helsinki, Finlandia untuk membicarakan perdamaian antara keduanya.

(6)

iv

Asalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas

berkat ramat, karunia,serta ridho-Nya kepada penulis, sehingga penulis diberikan

jalan dan kemudahannya dalam pembuatan skripsi ini yang berjudul “RESOLUSI

KONFLIK DAN GERAKAN SEPARATISME GAM DI ACEH”. Tak lupa juga penulis panjatkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Rasulullah SAW

yang membawa kita dari jaman jahiliyah ke jaman yang penuh ilmu pengetahuan.

Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh

ujian Sarjana Politik Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari akan kekurangan dan keterbatasan kemampuan dalam

hal pembuatan karya ilmiah ini dengan sempurna, untuk itu penulis

mengharapkan kritik dan saran yang dapat yang dapat memberikan

masukan-masukan berguna sebagai wujud menutupi kekurangan dalam pembuatan skripsi

ini. Penulis berharap dalam karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang

membutuhkan. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibunda Yusnahari Harahap dan ayahanda Asmir Saragih. tercinta yang

telah memberikan dukungan, kepercayaan dan doa yang tiada

henti-hentinya kepada penulis. Semoga Allah Subhanahu Wata‟ala memberikan

kesehatan dan kebahagiaan serta kemuliaan kepada mereka, dan semoga

penulis dapat membahagiakan keduanya, amin Ya Robbal „ Alamin. 2. Kakak-kakakku tersayang, Budiman, Indrawan, Juli Usman, Erna wati,

berserta Ponakanku terkasih, Zahra Nur Azizia, dan Muhammad Latif

Maulana Karim Galingging, yang turut memberikan dukungan semangat

(7)

v

3. Bapak Idris Thaha. M.Si selaku pembimbing yang selalu mendampingi

penulis dengan tiada kata lelah, ditengah kesibukan beliau sebagai dosen.

4. Bapak Prof. Bahtiar Effendy selaku Dekan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) khususnya

Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

mengajarkan banyak ilmu kepada penulis.

6. Segenap Tata Usaha Prodi Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta khususnya untuk Pak Jajang dan Ibu Supri yang telah membantu

penulis dalam mengurus kebutuhan administrasi dan lain-lain.

7. Terima kasih kepada Asep Irawan kekasih ku tercinta yang selalu sabar

membantu dan mendampingi dalam pembuatan skripsi ini.

8. Terima kasih juga untuk Ust. Noval, dan Abang Faisal atas doa dan

semangatnya yang selalu mendukung untuk penulisan skripsi ini.

9. Dan yang terakhir untuk Sahabat-sahabat penulis seperjuangan, khususnya

Prodi Ilmu Politik angkatan 2007, Neneng Nur Awaliah, Siti Masitoh,

Yuyun, dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terima kasih

atas dukungan dan kebaikan kalian semua.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 16 September 2011

(8)

LEMBAR PERSETUJUAN………... i

A. Awal Perlawanan Rakyat Aceh ... 18

B. Sejarah Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka ... 23

BAB III LANGKAH PEMERINTAH INDONESIA MENGAKHIRI KONFLIK GAM SEBELUM CMI MENJADI MEDIATOR... 28

A. Periode Pra Daerah Operasi Militer ... 29

B. Periode Daerah Operasi Militer ... 30

C. Periode Paska Daerah Operasi Militer ... 31

1. Penandatanganan Kesepakatan Penghentian Permusuhan……... 32

2. Kegagalan Pelaksanaan CoHA……… 33

3. Pemberlakuan Darurat Militer……….. 35

4. Pemberlakuan Keadaan Darurat Sipil……….. 37

(9)

A. Situasi Aceh Paska Kegagalan CoHA ... 39

B. Tinjauan Mengenai CMI ... 43

C. Proses Perundingan Helsinki……... 46

1. Putaran Perundingan CMI Tahap Pertama………...…… 47

2. Putaran Perundingan CMI Tahap Kedua………. 52

3. Putaran Perundingan CMI Tahap Ketiga………...……….. 55

4. Putaran Perundingan CMI Tahap Keempat………. 59

5. Putaran Perundingan CMI Tahap Kelima……… 61

BAB V KESIMPULAN... 66

(10)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gerakan Aceh merdeka (GAM) adalah suatu gerakan yang terorganisir untuk

memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari Republik Indonesia. Aceh merupakan salah

satu propinsi ke-1 di Indonesia. Dalam bahasa Inggris GAM disebut FAM, yaitu Free

Aceh Movement. Dan AGAM, yaitu Angkatan Gerakan Aceh Merdeka yang

merupakan salah satu institusi yang bernaung di bawah organisasi GAM.1

Keinginan GAM untuk merdeka dari Indonesia diawali dari rasa kekecewaan

yang mendalam atas hal yang di lakukan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Aceh.

Yang menyebabkan masyarakat Aceh berada di bawah garis kemiskinan,

berpendidikan rendah, dan hancurnya identitas lokal.

Kenyataan ini yang membuat tokoh-tokoh eks DI/TII Aceh menjadi prihatin.

Nilai-nilai agama semakin terpinggirkan dan seakan tak populer lagi untuk mendapat

tempat di tengah-tengah akibat meluasnya dampak industri Aceh, di Lhokseumawe,

Aceh Utara.2 Melihat kenyataan itu para tokoh eks DI/TII untuk kembali berjihat

untuk melepaskan diri dari pemerintahan RI dan membangun negara Aceh yang

berasaskan norma-norma keislaman dan akhirnya pada 24 Mei 1977, para tokoh eks

1Wawancara Teuku Don dengan Tabloid Kronika 22 Januari 2000 dalam “Aceh Sekarang

dan Masa Depan”, artikel diakses pada tanggal 7 Juni 2011 dari http://www.mail-afchive.com/[email protected]/msg06245.html.

2

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, (Jakarta:

(11)

2

DI/TII di tambah dengan para tokoh muda memproklamasikan dirinya sebuah

gerakan perlawanan yang di beri nama Gerakan Aceh Merdeka. Proklamasi ini

berlangsung dengan sangat sederhana di kaki gunung Halimun.3 Yang di mana

pemimpin tertinggi GAM dipegang Daud Beureueh, sedangkan untuk wali negara

disepakati dipercayakan pada Hasan Tiro.

Keinginan GAM untuk merdeka dari Indonesia merupakan rasa kekecewaan

yang mendalam atas hal yang di lakukan pemerintah Indonesia. Karena pada saat itu

di mana Soeharto mengkonstruksi pembangunan yang berpondasi pada pertumbuhan

ekonomi dan stabilitas politik, yang mengakibatkan adannya perubahan di dalam

sistem tatanan politik dan ekonomi di wilayah Aceh. Kekayaan alam Aceh yang

melimpah kemudian dieksploitasi demi kemajuan ekonomi Indonesia.

Berbagai pabrik di dirikan di Aceh, seperti pabrik Liquid Natural Gas (LNG)

di Arun dan pabrik Pupuk Iskandar Muda. Kontrol atas semua hasil-hasil ekonomi

dan segala macam hal dalam mengembangkan industri yang ada di Aceh diletakkan

pemerintah pusat. Pada sisi lain, pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan

yang signifikan jika dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh

wilayah tersebut. Sehingga mengakibatkan adanya ketidakmerataan pembangunan

antara pusat dan daerah. Inilah yang menjadi alasan lahirnya separatis dari

sekelompok masyarakat Aceh yang menamakan dirinya GAM di bawah

kepemimpinan Hasan di Tiro pada 1977.4

3

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, (Jakarta: PT. Grafindo,

2001),, h. 49.

4Ibid,

(12)

Tidak lama setelah “deklarasi kemerdekaan” tersebut, kekuatan bersenjata

GAM mulai menyerang pasukan pemerintah Indonesia. Serangan tersebut dibalas

dengan operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah Indonesia. Pada 1983,

kekuatan GAM sudah dikalahkan dilapangan oleh pemerintah Indonesia dan Hasan di

Tiro sebagai pemimpin GAM melarikan diri ke Swedia. Namun pada dekade

1980-an, kekuatan GAM menguat kembali, merasionalisasi status politiknya dan

memperkuat sayap militernya untuk menjaga stabilitas nasional, pemerintah

Indonesia merespon sikap pemberontakan tersebut dengan melakukan operasi militer

skala besar. Maka dari itu pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas dengan

cara menerapkan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dalam rangka

menumpas GAM.5

Namun pemberlakuan status DOM belum juga berhasil menumpas GAM.

Masalah ini terus menerus berlarut membuat terganggunya stabilitas nasional

Indonesia. Segala upaya yang di lakukan pemerintah Indonesia selalu gagal

menumpas GAM. Kegagalan pemerintah dalam mengatasi konflik separatis GAM

telah mendorong negara-negara lain seperti, Swedia dan Finlandia, organisasi

Internasional, seprti PBB dan ASEAN dan organisasi nonnegara, seperti Henry

Dunant Cebter (HDC) dan Crisis Management Initiative (CMI) untuk membantu

memecahkan persoalan tersebut dengan menawarkan diri menjadi penengah atau

mediator antara pemerintah Indonesia dan GAM. Keinginan dari pihak asing untuk

menjadi mediator perdamaian antara Indonesia dan GAM bertujuan agar perselisihan

5

Sukidi, “Wajah Pluralisme Islam Modermi” Tanwir Jurnal Pemikiran Agama dan

(13)

4

yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan GAM di selesaikan dengan cara damai

dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan.

Akhirnya kedua belah pihak kemudian sepakat untuk memilih HDC, alasan di

pilihnya HDC karena lembaga ini tidak partisan, professional, dan tidak memihak.

Keterlibatan HDC pertama kali di Indonesia mulai pada Januari 2000 ketika Presiden

Abdurrahman Wahid meminta HDC untuk memfasilitasi dialog kemanusiaan guna

menyelesaikan konflik Aceh.6 Permintaan ini kemudian di tanggapi positif oleh HDC.

Aksi pertama yang di lakukan HDC adalah membawa RI-GAM secara bersama-sama

ke meja perundingan yang kemudian disusul dengan serangkaian dialog yang dihadiri

kedua belah pihak. Berbagai dialog telah membawa kedua belah pihak

menandatangani sebuah akhir kesepakatan penghentian permusuhan Cessation of

Hostilities Agrement (CoHA) pada Desember 2002.7

Akan tetapi pada Mei 2003, perundingan benar-benar menemukan jalan

buntu. Pembicaraan tidak dilanjutkan lagi.8 Ini disebabkan karena mereka tidak

pernah berhasil menemukan titik kompromi mengenai isu fundamental mengenai

keberadaan Aceh tetap bagian integral dari NKRI atau menjadi merdeka. Para

pemimpin Indonesia selalu mengedepankan menjaga integritas wilayah dan

sebaliknya, mencegah disintegrasi. Sedangkan pemimpin GAM bersikukuh mengenai

hak untuk kemerdekaan diri, ini yang menjadikan proses damai gagal. Rasa saling

percaya yang telah terbangun melalui dialog interaktif kemudian mulai menyusut.

6

Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer (Jakarta: Kencana 2009),

h.143.

7

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h.109.

8

Farid Husain, ed., To See The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh (Jakarta: Health and

(14)

Tiap hari bertambah orang Aceh yang hilang atau meninggal. Dan di kalangan tentara

kita dan masyarakat sipil juga jatuh korban. Akhirnya pada tahap inilah, maka CoHA

menjadi diabaikan dan resolusi konflik yang dimediasi oleh HDC terhenti, pada masa

Presiden Megawati Soekarnoputri.9

Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya antara GAM dan Indonesia telah

terjadi kontak senjata yang menimbulkan kekerasan. Dalam bidang ilmu politik

konflik yang berwujud kekerasan disebut konflik separatis.10 Dengan demikian

konflik antara GAM dan Indonesia adalah konflik antar kelompok yang disebut

konflik separatis.

Adapun separatis seperti di definisikan oleh Walter S. Jones, adalah gerakan

yang ingin dan menuntut pemisahan secara formal antara wilayah, dengan tujuan

membentuk negara yang terpisah.11 Dalam hal, GAM adalah gerakan yang ingin

memisahkan Aceh sebagai wilayah dengan Indonesia, seperti yang telah di jelaskan

pada awal tulisan ini.

B. Rumusan Masalah

Penyelesaian konflik separatis di suatu negara memang tidak mudah

diwujudkan, apalagi konflik tersebut berlangsung cukup lama dan menelan banyak

korban jiwa. Selama ini berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia

9

Novri, Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, h.144.

10

Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah Definisi dan Perkembangan Konsep (Yogyakarta:

IRCiSoD, 2007), h. 77.

11

Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan Ekonomi, Politik

(15)

6

belum berhasil membawa pihak GAM untuk mau melakukan perundingan damai

dengan sungguh-sungguh. Sampai pada saat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

pada tahun 2004, yang dimenangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan

wakil Presiden Yusuf Kalla bermaksud melanjutkan kembali perundingan

perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Inisiatif perundingan ini

menandai babak penting dalam perkembangan konflik politik antara RI dan GAM,

setelah kegagalan perundingan yang diplopori Presiden Megawati Soekarno Putri

(2000-2003).

Salah satu institusi penting untuk menopang perundingan damai itu adalah

Crisis Management Initiative (CMI). Crisis Management Initiative (CMI) di dirikan

pada tahun 2000 oleh mantan Presiden Finlandia dan juga sekaligus menjabat sebagai

ketua CMI yaitu Marttin Ahtisaari. Organisasi CMI ini adalah organisasi non-laba

yang secara inovativ mempromosikan dan berkerja untuk pertahanan dan keamanan.

CMI berkerja untuk memperkuat kapasitas masyarakat internasional di dalam

manajemen krisis dan resolusi konflik yang menyeluruh.12

Berbeda dengan HDC yang secara internasional kurang diperhitungkan, CMI

lebih berpengaruh. Berkat kepemimpinan Martti Ahtisaari dalam menyelesaikan

konflik, CMI mempunyai posisi tawar yang tinggi dikarenakan mendapatkan

dukungan dana dari para donatur di Uni Eropa.

Berdasarkan latar belakang dan gambaran di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan dalam penelitian ini:

12

http://en.wikipedia.org. “Crisis_Management_Initiative”, Artikel diakses pada tanggal 7

(16)

Mengapa Crisis Management Initiative (CMI) dapat sebagai mediator dalam

menangani konflik GAM dengan pemerintah Indonesia untuk mencari penyelesaian

konflik separatis?

C. Pembatasan Masalah

Untuk mendapat pemahaman yang lebih mendalam dan tidak melebar ke

topik lain, maka penulis memfokuskan batasan masalah yang akan dibahas pada

skripsi ini yaitu masalah dimulai dari tahun 2004 ketika CMI secara resmi di terima

sebagai mediator dalam membantu menyelesaikan masalah separatis GAM oleh

pemerintah Indonesia dan sampai pada tahun 2005 saat CMI telah berhasil

mengupayakan pertemuan antara pemerintah Indonesia dan pihak separatis GAM

dalam berbagai perundingan damai.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkann rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk

menggambarkan dan menjelaskan keberhasilan CMI sebagai mediator dalam

menangani penyelesaian masalah separatis GAM di Indonesia secara damai.

2. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini penulis mengharapkan agar dapat memberikan manfaat

akademis khususnya bagi penulis sendiri untuk mendapatkan pengembangan dan

(17)

teman-8

teman angkatan akademika dapat menambah informasi sumbangan pemikiran dan

bahan kajian penelitian.

E. Kerangka Teori 1. Teori Konflik

Konflik merupakan gejala serba hadir dalam masyarakat atau istilah lain

dikenal dengan “everyday to life”, artinya seperti tidak ada individu atau masyarakat

tanpa konflik. Konflik sudah menjadi bagian keseharian hidup manusia.13

Ralf Dahrendorf, menyatakan bahwa, konflik merupakan suatu akibat dari

proses integrasi di dalam masyarakat tang tidak tuntas (tidak terselesaikan). Dalam

konteks ini Dahrenrorf mengatakan bahwa, konflik merupakan sebuah gejala

penyakit sosial yang dapat merusak persatuan dan kesatuan masyarakat. Konflik

semacam inilah yang dapat merusak dan meluluhlantakan sebuah negara kesatuan

hancur berkeping-keping.14

Konflik separatis di Indonesia muncul akibat dari adanya pertentangan antara

pemerintah Indonesia dan kelompok separatis GAM. Sikap saling bermusuhan antara

kedua belah pihak tersebut terlihat dalam berbagai aksi-aksi teror dan kekerasan yang

di lancarkan oleh kelompok GAM yang di tanggapi oleh pemerintah Indonesia

melalui tindakan-tindakan militer. Penyebab konflik tersebut karena munculnya rasa

kekecewaan mendalam karena tidak diperlakukan secara adil, adanya diskriminasi

13

Budi, Sosiologi Politik, h.76.

14

Rusadi Kantaprawira dan Leo, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu

(18)

dalam bidang politik dan ekonomi oleh pemerintah Indonesia, maka dari itu GAM

ingin melepaskan diri dari negara kesatuan republik Indonesia.

Sebab sudah lebih tiga puluh tahun konflik yang tiada henti terjadi di Aceh

antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tidak ada tanda-tanda konflik

tersebut akan terhenti. Pada tahun 2000, HDC telah mengambil prakarsa sebagai

mediator untuk membangun dialog antara Pemerintah dengan GAM.15 Prakarsa itu

sempat membuat kesepakatan mendinginkan keadaan dengan ditandatanganinya

Cessation of Hostilities Agreemant (CoHA) pada 9 Desember 2002 oleh pihak

pemerintah RI-GAM, dan pihak mediator HDC dan juga di buat kesepakatan zona

damai, tentara Indonesia maupun GAM dilarang menggunakan senjatanya di zona

tersebut kecuali saat berada di pos masing-masing.

Separatisme menurut Alexis Heraclides seperti dikutip oleh Rajat Ganguly

dan Ian Macduff “Separatism, by contras, covers all aspecs of political alienation

that include a desire for reduction of control by central authority” ( Separatisme

merupakan semua aspek pengasingan politik termaksud di dalamnya adalah adanya

keinginan untuk mengurangi kontrol atau otoritas pusat). Semua konflik yang

bertujuan memisahkan diri dari negara induk memualainya dengan gerakan

separatisme. Meskipun sebagian dari maksud atau tujuan gerakan separatisme bisa

jadi adalah untuk menggabungkan diri dengan negara lain dibandingkan dengan

mendirikan negara baru.16

15

Farid, To See The Unseen, h.22.

16

Ganguly dan Macduff, Ethic Conflict and Secessionism in South and Southeast Asia:

(19)

10

Menurut Heraclides ada tiga ciri karakteristik konflik separatisme yakni :

1. Konflik separatisme terjadi ketika pengaturan kekuasaan sangat terpusat dan

tidak adanya atau lemahnya demokrasi.

2. Adanya faktor pendukung dari luar yang kuat sehingga memperhebataksi

kekerasan.

3. Konflik separatism melibatkan etnik minoritas yang berhadapan dengan

pemerintah pusat sebagai akibat dari diskriminasi politik, ekonomi dan atau

penindasan militer oleh pusat.

Separatisme di Aceh merupakan akibat dari adanya diskriminasi dalam bidang

ekonomi dan politik yang di lakukan pemerintah pusat terhadap rakyat Aceh.

Ketidakadilan yang selama ini dirasakan telah memunculkan niat untuk

memisahkan diri dari Indonesia maka dari itu muncul gerakan separatis

GAM.17

2. Teori Konsensus

Konsensus adalah sebuah frase untuk menghasilkan atau menjadikan sebuah

kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama antarkelompok atau individu setelah

adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan dalam kolektif intelijen untuk

mendapatkan konsensus pengambilan keputusan. konsensus yang dilakukan dalam

gagasan abstrak, tidak mempunyai implikasi terhadap konsensus politik praktis akan

tetapi tindak lanjut pelaksanaan agenda akan lebih mudah dilakukan dalam

memengaruhi konsensus politik. konsensus bisa pula berawal hanya merupakan

sebuah pendapat atau gagasan yang kemudian diadopsi oleh sebuah kelompok kepada

17Ibid

(20)

kelompok yang lebih besar karena bedasarkan kepentingan (seringkali dengan

melalui sebuah fasilitasi) hingga dapat mencapai pada tingkat konvergen keputusan

yang akan dikembangkan.18

Adapun cara penyelesaian konflik, yaitu dengan kolaborasi (kerja sama),

mengikuti kemauan orang lain, mendominasi, menghindari, kompromi.19 Sadangkan

Dahrendorf menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik, yaitu:20

1. Bentuk konsiliasi seperti parlemen atau kuasi-parlemen dalam mana semua

pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan mendalam untuk mencapai

kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau

memaksakan kehendak.

2. Bentuk mediasi dalam mana kedua pihak sepakat mencari nasihat dari pihak

ketiga, (seorang yang disebut mediator). Tetapi nasihat yang diberikan oleh

mediator ini tidak mengikat mereka.

3. Bentuk arbitrasi, di mana pada bentuk ini kedua pihak sepakat untuk

mendapatkan keputusan akhir (yang bersifat legal) sebagai jalan keluar

konflik pada pihak ketiga sebagai arbitrator.

Penyelesaian konflik separatis GAM di Indonesia ditempuh dengan cara

mediasi. Menurut Saadia Touval dan William Zartman mediasi adalah sebuah bentuk

intervensi pihak ke tiga dalam konflik yang bertujuan untuk mengurangi atau

18

http://id.wikipedia.org/wiki/konsensus

19

Masri Maris, How Manage Conflict: Kiat Menangani Konflik (Jakarta: Erlangga, 2001),

h.41-47.

20

(21)

12

memecahkan konflik melalui negosiasi.21 Pada dasarnya mediasi adalah sebuah

proses politik, mediasi adalah fungsi pelaksanaan dari mediator. Dalam sebuah

konflik sering terjadi kebuntuan di antara pihak-pihak yang bertikai sehingga konflik

tidak dapat di selesaikan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu diperlukan mediator

dalam membantu mengatasi kebutuhan tersebut.

Dalam konflik separatis di Indonesia, CMI adalah pihak ke tiga yang berperan

sebagai mediator dalam membantu menyelesaikan konflik tersebut. Kehadiran CMI

dapat di terima oleh pemerintah Indonesia dan kelompok separatis GAM. CMI

berusaha meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa perundingan damai akan dapat

dilaksanakan dengan pihak GAM, demikian juga kepada pihak GAM, CMI berusaha

membujuk mereka untuk tidak lagi menuntut kemerdekaan pada pemerintah

Indonesia. Surat perdamaian juga diajukan oleh CMI kepada pemerintah Indonesia

dan GAM untuk mempertemukan pihak yang berkonflik dalam sebuah perundingan

untuk suatu kesepakatan damai. Disamping upaya negosiasi terhadap kedua belah

pihak, CMI juga membuat rumusan yang akan dibahas dalam perundingan yang

berisikan berbagai hal mengenai permasalahan yang di hadapi oleh pemerintah

Indonesia maupun pihak GAM.

Hal ini terbukti dari keberhasilan CMI membawa kedua belah pihak yang

bertikai duduk bersama untuk merumuskan Nota Kesepahaman untuk mengakhiri

konflik yang telah terjadi selama puluhan tahun, di lakukannya penyerahan senjata

21

Saadi Touval dan William Zartman, Internasional Meedition in theory and Practice,

(22)

dan pembubaran sayap militer GAM. Faktor gempa bumi dan tsunami juga membuat

pihak bertikai tidak lagi ingin memperpanjang konflik yang telah terjadi. Akhirnya

pada situasi inilah dipatuhinya Nota Kesepahaman yang telah ditandatangani pada

tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki oleh GAM dan Indonesia menjadi indikasi

keberhasilan CMI sebagai mediator dalam mendamaikan kedua pihak yang bertikai.

F. Metode Penelitian

Sesuai dengan uraian pada latar belakang permasalahan dan tujuan dari

dilaksanakan penelitian ini, maka jenis penelitian ini dengan cara kualitatif; yaitu

penelitian yang menggunakan metode historis, komparatif, dan studi kasus, sebagai

data-data yang akan diteliti.22 Sedangkan untuk metode penelitian ini termasuk

metode penelitian deskriptif yang mencoba untuk menjelaskan dan menggambarkan

secara sistematis dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.

Dalam pengumpulan data maka penulis menggunakan studi literatur, yaitu

data yang di perolah seperti mengenai sejarah awal terbentuknya GAM, dan tulisan

ilmiah yang dianggap relevan dengan topik penelitian. Melalui kepustakaan, yang di

gunakan untuk mempelajari buku-buku literatur yang berkaitan dengan pokok

permasalahan agar dapat menunjang dalam penulisan skripsi dan melengkapi

pengetahuan dalam penelitian ini. Seperti dengan membaca buku-buku, artikel surat

kabar, dan fasilitas jaringan komputer, yang mendorong dan berkaitan dengan

penelitian ini. Hal ini di lakukan untuk mendapat landasan teori dan konsep yang

tersususun.

22

(23)

14

G. Sistematika Penulisan

Sebagai gambaran umum, penulis menyajikan sistematika penulisan dalam 5

bab. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan dapat di lakukan secara sistematis

sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan mudah di pahami oleh

para pembaca skripsi ini. Adapun pembahasan dan penulisan skripsi ini secara garis

besar, yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan, permasalahan,

pembatasan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II LATAR BELAKANG KONFLIK GAM DAN INDONESIA

Dalam bab ini akan di jelaskan mengenai asal usul terjadinya konflik,

perkembangan kelompok separatis GAM, serta upaya-upaya yang di lakukan GAM

untuk mendeka.

BAB III LANGKAH-LANGKAH YANG TELAH DI AMBIL PEMERINTAH INDONESIA SEBELUM MASUKNYA CMI

Dalam bab ini menjelaskan mengenai langkah-langkah yang telah di ambil

pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik dengan GAM sebelum masuknya

(24)

BAB IV PERAN MEDIASI CMI DALAM MENANGANI KONFLIK GAM DENGAN INDONESIA UNTUK MENCAPAI PENYELESAIAN KONFLIK SEPARATIS DI INDONESIA

Dalam bab ini akan menjelaskan mengenai mediasi yang telah dijalankan

CMI dalam penyelesaian damai bagi pemerintah Indonesia dan kelompok separatis

GAM dan keberhasilan yang telah dicapai dalam mendamaikan Indonesia dan GAM.

BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini penulis penulis akan memberikan kesimpulan dari

(25)

17

BAB II

LATAR BELAKANG KONFLIK INDONESIA DAN

GAM

Bagi pemerintah Indonesia, konflik Aceh menjadi isu yang sangat penting

bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena Aceh

merupakan indikator perpecahan Indonesia sehingga apabila Aceh terpisah dari

NKRI, maka akan menimbulkan gerakan-gerakan separatis di daerah lainnya.

Dalam memahami konflik Aceh perlu dipahami bahwa konflik Aceh adalah

konflik yang multidimensional. Yang di mana terdapat banyak hal yang terkait

dalam konflik tersebut. Mulai dari faktor ekonomi, politik, sosial, dan budaya

secara keseluruhan memberikan kontribusi terhadap konflik Aceh.

Adapun pengertian konflik dalam ilmu politik acapkali dikaitkan dengan

kekerasan, seperti kerusuhan, terorime, dan revolusi. Konflik mengandung arti

“benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan baik secara

kelompok maupun individu dengan kelompok atau kelompok dengan

pemerintah.1

Oleh karena itu pada bab inilah untuk mendapat pemahaman yang

mendalam, maka penulis akan lebih memfokuskan permasalahan atau konflik

yang terjadi di Aceh, seperti sejarah konflik gerakan itu terjadi dan awal dari

perlawanan rakyat Aceh sehingga terjadinya sebuah konflik.

1

Budi Suryadi, Sosiologi Politik: Sejarah Definisi dan Perkembangan Konsep

(26)

A. Awal Perlawanan Rakyat Aceh

Jika dilihat jauh ke belakang, lahirnya pemberontakan yang berlanjut

kepada Gerakan Aceh Merdeka, tak terlepas dari adanya pro-kontra di kalangan

tokoh-tokoh Aceh, apakah daerah itu ikut bergabung ke dalam RI dan mendukung

Proklamasi Kemerdekaan RI atau tidak. Keinginan rakyat Aceh yang ingin

menerapkan syariat Islam di daerahnya ditantang oleh Soekarno, sehingga muncul

rasa ketidaksenangan rakyat Aceh terhadap pemerintah. Bukan hanya itu saja tapi

juga dari kecemburuan sosial ekonomi dan penderitaan yang dialami oleh

masyarakat Aceh selama ini. Munculnya reaksi sosial ini diwujudkan dalam

bentuk perlawanan atau penentangan terhadap pemerintah pusat.

Lima hari setelah Proklamasi, tepatnya pada 22 Agustus 1945, sejumlah

tokoh dan pejuang Aceh berkumpul untuk menentukan nasib negara Indonesia di

rumah Teuku Abdullah Jeunib Anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat

buatan Belanda) di Banda Aceh. Bendera Merah Putih pun dikibarkan untuk

pertama kalinya di halaman kantor Shu Chokan (Kantor Residen Aceh, sekarang

Kantor Gubernur Aceh) kemudian dilakukanlah pemilihan serta pengangkatan

Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin Aceh sekaligus Gubernur Aceh yang

pertama.2

Terlihat pro-kontra yang muncul di Aceh setelah kemerdekaan Republik

Indonesia diumumkan. Sebagian kecil di antara rakyat Aceh melihat bahwa

kemerdekaan itu justru merugikan bagi diri mereka. Maka konflik di Aceh pun tak

terelakkan dan melahirkan berbagai peristiwa salah satunya adalah Perang

Cumbok.

2

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, (Jakarta: PT. Grafindo,

(27)

19

Perang Cumbok adalah perang yang terjadi akibat perpecahan antara kaum

ulama dan kaum hulubalang (bangsawan).3 Perang ini mengakibatkan runtuhnya

kekuasaan feodal yang telah berabad-abad berakar di tanah Aceh. Sebagian tokoh

Aceh menyebutkan sebagai perang saudara terbesar sepanjang sejarah Aceh.

Perang tersebut baru bisa diatasi pada akhir 1946.

Dalam kondisi yang sudah cukup membaik itu, setelah meletusnya Perang

Cumbok, tiba-tiba saja muncul kekecewaan rakyat Aceh yang semakin mendalam

ketika berlangsungnya sidang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat pada 8

Agustus 1950 di Jakarta. Sidang memutuskan wilayah Indonesia dibagi dalam 10

daerah tingkat satu (provinsi). Dalam hal ini provinsi Aceh melebur ke dalam

pemerintahan provinsi Sumatera Utara. Dengan munculnya keputusan itu,

keinginan rakyat Aceh agar daerahnya ditangani dengan syariat Islam ternyata

tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Daud Beurueh yang saat itu terpilih sebagai ketua umum Kongres Alim

Ulama se-Indonesia melontarkan imbauan, agar segenap ulama memperjuangkan

supaya negara RI menjadi negara Islam RI. Sejajar dan sebangun dengan cita-cita

sejumlah tokoh radikal Islam di sejumlah daerah, terutama di Jawa Barat yang

sedang demam dengan NII (Negara Islam Indonesia) pimpinan S.M.

Kartosoewirjo yang akhirnya menjadikan mereka berkoalisi dan saling

mendukung satu sama lain.

Alasan Daud Beureueh mendukung berdirinya NII adalah dikarenakan

para pemimpin Republik Indonesia di Jakarta sudah menyimpang dari jalan yang

benar. Padahal dalam persepsi Daud Beureueh, negara Islam adalah satu-satunya

3

(28)

kemungkinan yang terkandung dalam prinsip Ketuhanan yang Maha Esa. Seperti

yang di terapkan pada sila yang pertama dari dasar negara Republik Indonesia

yakni Pancasila.4

Meskipun Ketuhanan yang Maha Esa menjadi sila pertama dalam

Pancasila, dalam pandangan Daud Beureueh, pemerintah Soekarno tidak pernah

memberikan kebebasan beragama yang sesungguhnya kepada rakyat, terutama

rakyat Aceh. Ia mencontohkan, jika memang kebebasan beragama secara

sesungguhnya diberlakukan berarti syariat Islam harus diterapkan di Aceh. Hal ini

dikarenakan 100% penduduk Aceh adalah Islam. Tapi, hal ini tidak pernah terjadi.

Justru yang terjadi adalah kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat

yang mengakibatkan terjadinya protes dan pemberontakan oleh sebagian besar

masyarakat Aceh. Tidak hanya terjadi pada bidang keagamaan saja melainkan

juga adanya ketimpangan sosial ekonomi yang mengakibatkan rakyat Aceh tetap

miskin.

Seperti kita ketahui bahwa daerah Aceh merupakan daerah yang memiliki

sumber daya alam yang sangat luar biasa. Antara lain berupa kandungan gas alam

cair dan minyak bumi yang melimpah di Lhokseumawe yang terletak di

Kecamatan Banda Sakti. Daya tarik ini yang kemudian mengundang investor

asing datang ke Aceh. Sejak saat itu, gas alam cair Liquefied Natural Gas (LNG),

telah menyulap wilayah ini menjadi kawasan industri petrokimia modern. Namun

demikian pengukuhan wilayah industri ini, bukanlah tanpa meninggalkan

masalah. Ketidakpuasaan mulai dari tidak adanya ganti rugi tanah, bahkan

sebagian masyarakat sampai ditakut-takuti dan diteror untuk menyerahkan tanah

4

(29)

21

mereka yang kemudian digunakan sebagai lahan berdirinya kawasan industri

tersebut.5 Dan tidak hanya disitu saja banyaknya perkebunan karet dan sawit di

daerah Kabupaten Aceh ternyata tidak serta merta membuat daerah ini terlepas

dari masalah perekonomian, terlebih lagi dengan masih sangat banyaknya

daerah-daerah pemukiman yang terisolir. Selain pembangunan jalur transportasi yang

belum memadai antar satu daerah dengan daerah lain, juga tingkat pendidikan

masyarakatnya yang kurang akibat sarana untuk itu sangat terbatas.

Pemerintah Soekarno sendiri, sejak semula sudah sangat ingin

meminggirkan gagasan negara Islam dan lebih memilih konsep negara nasionalis,

yang menurutnya bisa menyatukan semua kesamaan etnis dan persepsi keagamaan

di berbagai daerah Republik Indonesia. Sebab alasan Soekarno waktu itu, jika

berbentuk negara Islam, dikhawatirkan sejumlah daerah akan memisahkan diri

dari Republik Indonesia. Namun, Daud Beureueh dengan tegas menyatakan,

rakyat Aceh hanya ingin menerapkan syariat Islam dan diberikan Otonomi

Khusus menjalankan pemerintahannya sendiri. Namun rakyat Aceh tidak pula

menginginkan dirinya dan daerahnya diperlakukan sebagai anak tiri oleh

pemerintah Republik Indonesia. Soalnya, pasca kemerdekaan, janji bahwa Aceh

dapat menjadi suatu wilayah tersendiri yang menegakkan syariat Islam, ternyata

tidak terkabulkan. Bahkan otonomi Aceh dihapuskan.6

Meski demikian rakyat Aceh, bukan ingin memisahkan diri dari Republik

5

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, (Jakarta:

Kontras, 2006), h. 32.

6

Riza Sihbudi, ed., Bara Dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas

(30)

Indonesia. Sebab, menurut Daud Beureueh, proklamasi NII yang didukung oleh

rakyat Aceh bukanlah berarti telah terbentuknya suatu negara dalam negara,

melainkan disebabkan, pada awalnya rakyat Aceh menganggap Republik

Indonesia adalah sebuah jembatan emas untuk menuju cita-cita yang selama ini

diidam-idamkan. Ternyata, impian itu tinggal impian, karena pemerintah

Soekarno tidak mempedulikan Aceh. Meski demikian, Daud Beureueh berharap,

para pemimpin Republik Indonesia tidak menggunakan kekerasan dalam

mengatasi konflik dengan tokoh-tokoh NII, terutama dalam kasus Aceh.

Dalam konsep Daud Beureueh, NII Aceh adalah sebuah provinsi dengan

otonomi yang luas. Provinsi otonomi ini dipimpin langsung oleh Daud Beureueh.

Dalam kepemimpinannya Daud Beureueh dibantu tiga wakil gubernur; Hasan Ali

untuk wilayah Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Tengah. Hasan Saleh

mengkoordinasikan wilayah Aceh Utara, Timur, Langkar, dan Tanah Karo,

sedangkan Abdul Gani dipercaya menangani Aceh Selatan, Barat, dan Tapanuli

Barat. Untuk wilayah tingkat dua, Daud Beureueh mengangkat sejumlah bupati.

Bupati Aceh Besar dipercayakan kepada Sulaiman Daud. Namun, saat baru

dimulainya perjuangan NII Aceh, Sulaiman Daud ditangkap pasukan pemerintah

RI pada 1954. Posisinya digantikan kepada Ishak Amin. Sementara itu, Aceh

Pidie dipimpin Bupati T.A.Hasan, Aceh Utara Sjeh Abdul Hamid, Aceh Timur

Saleh Adri, dan Aceh Selatan Zakaria Yunus. Untuk perjuangan militer, Daud

Beureueh membentuk tujuh resimen dan satu angkatan polisi yang dipimpin A.R.

Hasyim. Setelah terbentuknya berbagai kekuatan sipil dan militer itu aksi

perlawanan terhadap pemerintah Republik Indonesia pun digalang Daud

(31)

23

pemerintah Republik Indonesia. Untuk menghindari perang terbuka dan aksi

penangkapan dari TNI, pasukan NII Aceh memilih masuk ke dalam hutan. Di sini

mereka membangun kekuatan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Di

pihak lain, lewat berbagai pendekatan, pemerintah Soekarno terus melakukan

upaya diploma dalam menyelesaikan konflik di Aceh ini. Pada 20 September

1953, Daud Beureueh memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di

Aceh dengan wilayah meliputi Aceh dan daerah-daerah sekitarnya, banyak rakyat

Aceh ikut memberontak, sejak itu pecah perang DI/TII melawan TNI. Daud

Beureueh melakukan banyak perlawanan tetapi berhasil ditumpas oleh

pemerintahan Republik Indonesia.7

B. Sejarah Lahirnya Gerakan Aceh Merdeka

Setelah rezim Soekarno jatuh, tokoh-tokoh Aceh berharap bahwa

kehidupan sosial, ekonomi dan politik di daerahnya bisa terwujud lebih baik

dibandingkan dengan yang terjadi sepanjang era orde lama. Tapi, harapan tinggal

sekedar harapan. Sistem pemerintahan yang diterapkan pada masa Orde Baru

memberikan posisi tawar yang lemah bagi Aceh sehingga tidak ditempatkan

dalam posisi yang sejajar dan hanya melayani kepentingan pusat dengan

eksploitasi politik dan ekonomi. Kekayaan daerah tersebut terserap ke pemerintah

pusat tanpa pengembalian yang sepadan ke Aceh untuk keperluan pembangunan

sehingga Aceh mengalami ketertinggalan dari propinsi lain.8

Hingga tahun 1977 menjelang lahirnya GAM, kondisi sosial ekonomi di

7

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka , h.14-15.

8

Syamsul Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika

(32)

Aceh sangat timpang. Ini disebabkan pembangunan berbagai proyek multinasional

mulai berlangsung dan era eksploitasi dijalankan. Aceh terus menerus dikuras dan

dieksploitasi pemerintah pusat, melalui pembangunan industry yang berhasil di

dapat lewat pembangunan ladang gas alam, di Arun, Aceh Utara. Akan tetapi

ironosnya dampak dari itu semua tidak dirasakan hasilnya oleh rakyat Aceh.

Sementara rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat

memprihatinkan.

Kenyataan ini membuat tokoh-tokoh eks DI/TII Aceh menjadi prihatin.

Dulu, mereka konsisten berjuang untuk mendirikan Republik Islam Aceh dengan

penegakan hukum dan norma-norma ke-Islaman. Namun, sekarang nilai-nilai

agama semakin terpinggirkan dan seakan tidak populer lagi untuk mendapat

tempat ditengah-tengah akibat meluasnya dampak industri Aceh, di

Lhokseumawe, Aceh Utara.9 Melihat kenyataan itu para tokoh eks DI/TII untuk

kembali berjihat untuk melepaskan diri dari pemerintahan RI dan membangun

negara Aceh yang berasaskan norma-norma ke-Islaman dan akhirnya pada 24 Mei

1977, para tokoh eks DI/TII di tambah dengan para tokoh muda

memproklamasikan dirinya sebuah gerakan perlawanan yang di beri nama

Gerakan Aceh Merdeka. Proklamasi ini berlangsung dengan sangat sederhana di

kaki gunung Halimun.10

Proklamasi kemerdekaan negara Aceh dan berdirinya GAM itu hanya diisi

dengan pernyataan lisan dari sejumlah tokoh, yang sebagian besar adalah eks

DI/TII. Yang di mana pemimpin tertinggi GAM di pegang oleh Daud Beureueh,

sedangkan untuk wali negara dipercayakan pada Hasan Tiro. Dalam doktrin

9

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h. 18.

10

(33)

25

pendiriannya GAM memiliki ideologi kemerdekaan nasional, yaitu bertujuan

untuk membebaskan Aceh dari segala bentuk kontrol politik asing dari

pemerintahan Indonesia. Sedangkan, tujuan GAM adalah untuk menjamin

keberlangsungan dalam bidang politik, social, budaya, dan warisan agama.11

Selama berdirinya GAM telah mencapai beberapa keberhasilan secara

politik baik pada tingkat nasional maupun internasional. GAM berhasil merekrut

banyak pemuda Aceh menjadi anggota. Selain itu GAM juga berhasil membentuk

beberapa LSM yang turut mendukung pemisahan Aceh dari Indonesia, salah

satunya adalah Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang diketuai oleh

Nazaruddin S.Ag. Ini menandai bahwa masyarakat Aceh mulai tidak percaya lagi

kepada pemerintah pusat, sehingga mereka mencari jalan keluar dari kesulitan

yang sedang menimpa daerah serta dirinya dan dari gangguan kekerasan politik

yang sedang mereka alami.12 Selain itu, GAM juga membangun opini publik

Internasional melalui media-media asing yang memberitakan

pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Indonesia.

Kelahiran GAM ini tidaklah sedashat Daud Beureueh memproklamasikan

gerakan DI/TII melawan Soekarno. Kurangnya dukungan penuh dari para tokoh

DI/TII membuat GAM tidak bisa dengan cepat mendapatkan simpati dari segenap

rakyat Aceh. Sebab, gagasan dan prinsip yang diterapkan Hasan Tiro dinilai

sebagian pendiri GAM terutama dari sayap kanan yaitu para tokoh DI/TII sangat

bertentangan dengan hukum Islam maupun norma-norma adat Aceh. Tapi Hasan

Tiro tetap tidak peduli terhadap banyaknya pendiri GAM menentang gagasannya

tersebut. Malah, ia membuat sebuah deklarasi dalam bahasa Inggris. Deklarasi itu

11

Syamsul Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru, h.53.

12

Syarifuddin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo,2000),

(34)

berjudul Declaration of Independence of Acheh-Sumatera pada 4 Desember 1976,

yang ditandatanganinya sendiri. Anehnya, dalam deklarasi itu Hasan Tiro tidak

sedikitpun menyebut nama GAM ia lebih suka menggunakan istilah National

Liberation Front of Acheh Sumatera. Istilah ini kemudian diubah lagi menjadi

Acheh Sumatera National Liberation Front, yang kemudian di singkat menjadi

ASNLF.13 Gerakan ASNLF ini sama halnya dengan SIRA, yang menanamkan visi

kepada masyarakat agar setia dan berbagai lapisan sosial termotivasi berperan

aktif dalam melakukan tindakan revolusioner.14

Pada tahun 1977 perlawanan GAM sempat terasa agresif. Muncul dan

meningkatnya perlawanan GAM ini telah membuat aparat keamanan dari

pemerintah RI semakin meningkatkan perang psikologis terhadap gerakan

tersebut. Ironisnya, perang urat syaraf ini tak hanya ditujukan kepada tokoh-tokoh

GAM, tapi juga kepada rakyat Aceh. Tujuannya, agar rakyat Aceh tidak

mendukung GAM.

Untuk menekan perlawanan GAM, di tahun 1978, TNI menyebarkan foto

pemimpin gerakan itu, yang di sebarkan ke seluruh Aceh yang isinya meminta

siapapun menangkap Hasan Tiro dan tokoh-tokoh GAM lainnya dalam keadaan

hidup atau mati. Melihat tinggi dan gencarnya tekanan TNI kepada para pengikut

GAM membuat Hasan Tiro pergi keluar negeri untuk mencari bantuan senjata,

mengingat semakin gencarnya gempuran TNI. Pada Februari 1979 Hasan Tiro

meninggalkan tempat persembunyiannya di Aceh Pidie. Setelah berpamitan

dengan sejumlah tokoh GAM pada 29 Maret 1979, Hasan Tiro pergi ke Aceh.

Dengan perahu tradisional ia bersama beberapa pengikutnya mengarungi selat

13

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan, h.18

14

(35)

27

malaka menuju Malaysia lalu perjalanannya di lanjutkan ke Swedia, sejak saat itu

Hasan Tiro tidak pernah kembali lagi ke Aceh dan ia menjalankan pemberontakan

GAM dari tempat persembunyiannya yaitu di Swedia. Dari Swedialah Gerakan

Aceh Merdeka ini mempropagandakan perjuangannya ke dunia internasional

untuk menarik perhatian masyarakat dunia. Dari sini pula GAM memojokkan

(36)

28

LANGKAH PEMERINTAH INDONESIA

MENGAKHIRI KONFLIK GAM SEBELUM CMI

MENJADI MEDIATOR

Aceh, yang menjadi tempat kekejaman tentara Indonesia dalam usaha

menumpas gerakan kemerdekaan, hampir diabaikan oleh masyarakat internasional

dan media di luar negeri. ini terbukti pada 1980 Operasi Jaring Merah, yang

kemudian lebih dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM) telah banyak

melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di wilayah Sumatera yang

kemudian telah menjatuhkan banyak korban. mulai dari korban penculikan,

dianiaya, disetrum, dan kemudian ditembak di depan umum. Ada pula yang

diperkosa di depan anak atau di depan suaminya. Beberapa bagian bentuk

kejahatan yang dirasakan rakyat Aceh atas perbuatan militer selama DOM, sangat

pedih dirasakan.

Karena hal itu dilakukan oleh bangsa sendiri dan bukan bangsa lain yang

pernah menjajah Indonesia seperti Belanda dan Jepang. Di tengah operasi yang

berlangsung, terjadi serpihan-serpihan peristiwa yang sangat sulit diterima oleh

siapa saja yang masih mempunyai hati nurani. Penyiksaan dan penjarahan

terhadap “milik” perempuan yang berharga, mulai dari pelecehan seksual sampai

pembunuhan justru dilakukan oleh aparat yang seharusnya melindungi dan

membela rakyatnya. Tetapi, justru sampai saat ini sebagian besar korban belum

(37)

29

Oleh karena itu pada bab inilah kemudian untuk mendapat pemahaman

yang mendalam, maka penulis akan lebih memfokuskan permasalahan atau

konflik yang terjadi pada masa DOM, sampai akhir pencabutan DOM.

A. Periode Pra Daerah Operasi Militer (1976-1989)

Pada tahun 1976 sampai dengan 1989 tentara Indonesia melakukan

pengejaran dan serangan bersenjata serta pencarian dari rumah ke rumah terhadap

anggota Gerakan Aceh Merdeka, di daerah yang diduga sebagai basis GAM. Ini

dilakukan karena untuk mendukung kampanye anti pemberontakan. Agar tidak

terjadi lagi tindak kekerasan secara terus menerus.1

Amnesty Internasional melaporkan, pada saat Tentara Indonesia

melakukan pencarian ke rumah-rumah yang diduga sebagai daerah basis Gerakan

Aceh Merdeka, Tentara Indonesia melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM

seperti:

1. Melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk.

2. Melakukan penyiksaan terhadap penduduk.

3. Melakukan penagkapan terhadap para istri dan anak-anak anggota

GAM, dan melakukan penyanderaan terhadap mereka, dan ada

diantara mereka yang kemudian diperkosa.

4. Melakukan pembunuhan diluar proses hukum terhadap orang-orang

yang dituduh sebagai anggota GAM.

Belum lagi pelanggaran HAM yang terjadi pada masa ini tidak ditanggapi

serius oleh pemerintah. Bahkan pemerintah hanya menganggap kejahatan yang

1

Kontras, Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu ,(Jakarta:

(38)

dilakukan ABRI atau TNI ini hanya merupakan kejahatan kriminal biasa. Oleh

karena itu, tidak satupun dari anggota ABRI maupun TNI yang diadili pada masa

ini. Akibatnya, kekecewaan, frustasi, dan kepercayaan sosial masyarakat Aceh

dan para korban DOM sudah menipis dan hilang pada pemerintah Indonesia.

Umumnya para korban DOM lebih percaya pada GAM, yang kemudian akhirnya

memantapkan keinginan mereka untuk berpisah dengan RI.2

B. Periode Daerah Operasi Militer (1989-1998)

Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk menyelesaikan konflik Aceh

baik dengan pendekatan keamanan dengan menjadikan Aceh sebagai tempat

untuk melaksanakan Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998. Pada

periode ini menurut rakyat Aceh merupakan pengalaman buruk yang dialami

mereka. Karena pada saat itu, rakyat Aceh mengalami tindak kekerasan fisik dan

non-fisik yang dilakukan oleh militer. Aceh benar-benar telah menjadi tempat

“pembataian” yang kejam dan sadis. Selama Aceh dijadikan DOM, ada pos

satuan taktis yang paling terkenal sebagai tempat penyekapan, penyiksaan,

pembunuhan, pemerkosaan, dan kuburan massal yaitu Rumoh Geudong di Pidie

dan Rancong di Aceh Utara.3

Pelaksanaan DOM di Aceh memakan banyak sekali korban jiwa baik dari

pihak rakyat Aceh sendiri maupun dari pihak GAM, tindak kekerasan pihak

militer baik secara fisik maupun psikis sering kali terjadi sehingga menimbulkan

trauma yang mendalam bagi rakyat Aceh. DOM juga menyebabkan perekonomian

Aceh mengalami stagnasi sehingga kondisi kehidupan rakyat Aceh sangat

2

Tim Peneliti LIPI, Bara Dalam Sekam, (Bandung : Mizan, 2001), h. 44.

3 Ibid

(39)

31

memperihatinkan, hal ini sebagai akibat dari diberlakukannya DOM maka

sebagian besar rakyat Pidie Aceh Utara dan Aceh Timur merasa ketakutan untuk

melakukan kegiatan ekonomi. Apalagi ketiga daerah tersebut masih sering terjadi

perampasan harta benda, intimidasi, kekerasan dan bentuk-bentuk teror lainnya.4

Selain itu, Operasi Militer telah pula memperburuk tingkat pendidikan di Aceh

dibandingkan dengan daerah lainnya. Pemberlakuan Operasi Militer ini dianggap

oleh orang Aceh sebagai rencana rekayasa politik Soeharto untuk mengamankan

„modal‟ mereka di Aceh.5

Dengan tujuan kekayaan Aceh dapat dikuras dengan

mudah.

C. Periode Paska Daerah Operasi Militer

Sebagian besar masyarakat Aceh menyambut dengan rasa syukur yang

mendalam atas dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 7

Agustus 1998. Dengan harapan bahwa berbagai kejadian yang telah terjadi tidak

akan terulang lagi dan mereka berharap dapat kembali menjalani hidup dengan

normal.6

Sebenarnya berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah, dengan

menerapkan berbagai perundingan dengan pihak GAM, namun hingga sekarang

belum juga ada titik temunya. Oleh karena itu dengan dicabutnya status DOM dari

Aceh merupakan sebuah angin segar bagi masyarakat Aceh. Ini terbukti dari

banyaknya tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk mengusut kekerasan

dan pelanggaran yang terjadi selama masa DOM dan paska masa DOM.

4

Mochammad Nurhasim, Konflik Aceh, (Jakarta: LIPI, 2003), h. 26.

5

Kontras, Aceh Damai dengan Kedilan, h. 28.

6Ibid

(40)

Pada tahun 1999 muncul kembali konflik baru yang pada saat itu dimotori

oleh mahasiswa, yang tujuannya untuk menuntut kemerdekaan. Tuntutan merdeka

ini sebenarnya hanya sebagai strategi agar pemerintah pusat memperhatikan

korban-korban Operasi Militer. Akan tetapi tuntutan mereka pun tidak direspon

dengan baik oleh pemerintah. Maka dari sinilah kemudian gerakan yang diberi

nama Operasi Militer Jaringan Merang semakin meluas, sehingga akhirnya

mengangkat dua isu penting yaitu merdeka atau referendum.7

Sejarah mencatat bahwa pendekatan militer tidak pernah berhasil

menyelesaikan masalah Aceh. Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan justru

akan menimbulkan kekerasan baru yang lebih kompleks.8 Keseriusan pemerintah

untuk melakukan rehabilitasi korban Operasi Militer, memperbaiki ekonomi

rakyat Aceh dan membangun kembali Aceh, akan menjadi pintu gerbang untuk

menciptakan Aceh yang damai. Selain itu, itikad baik dan serius dari pemerintah

pusat juga menjadi kunci pokok bagi penyelesaian konflik Aceh. Satu hal yang

perlu mendapat perhatian serius adalah perbaikan terhadap sistem di Aceh, baik

sistem pendidikan, hukum, dan ekonomi.

1. Penandatanganan Kesepakatan Penghentian Permusuhan

Upaya dialog antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

memulai babak baru di Aceh. Pemerintah dan GAM yang berada di Jenewa,

Swiss, pada 9 Desember 2002, akhirnya secara resmi menandatangani

Kesepakatan Penghentian Permusuhan The Cessation of Hostilities Agreement

(CoHA). Salah satu poin dalam perjanjian CoHA ini adalah pembentukan Joint

7

Nurhasim, Konflik Aceh, h. 28.

8Ibid

(41)

33

Security Committee yang bertugas untuk memantau pelaksanaan kesepakatan

CoHA.9

Kesepakatan CoHA ini menunjukkan suatu kemajuan dengan

diberikannya kesempatan kepada masyarakat sipil untuk mengekspresikan

kebebasan politiknya tanpa diganggu oleh kedua belah pihak. Untuk itu,

pemerintah RI menjamin dan GAM akan mendukung pelaksanaan proses

pemilihan yang bebas yang adil dengan partisipasi seluruh elemen masyarakat

Aceh yang seluas-luasnya.10 Untuk mendapatkan dukungan itu maka antara

pemerintah dan GAM mempunyai tujuan yang sama untuk memenuhi aspirasi

rakyat Aceh untuk hidup secara damai, aman, bermatabat, makmur dan adil.

Sebagai persoalan dalam negeri, Pemerintah Indonesia sebenarnya sangat

berhati-hati untuk melibatkan pihak luar. Meskipun dukungan internasional sangat

kuat peranannya, akan tetapi untuk menentukan tetaplah berada dalam tangan

negara dan bangsa Indonesia sendiri, apalagi kekuatan luar tidak dapat terus

menerus dijadikan sandaran untuk mendapat bantuan, atau sebaliknya dijadikan

kambing hitam untuk melepas tanggung jawab.

2. Kegagalan Pelaksanaan CoHA

Kesepakatan penghentian permusuahan (CoHA) antara pemerintah

Indonesia dan GAM pada 9 Desember 2002, ternyata akhirnya hanya mampu

bertahan selama 3 (tiga) bulan. Ini dikarenakan pihak GAM telah melanggar,

mengingkari, dan menghianati perrjanjian yang telah ditanda tangani. Pelanggaran

yang dilakukan oleh GAM, yakni, melakukan propaganda kemerdekaan tidak

9

Kontras, Aceh Damai dengan Kedilan, h. 109.

10

(42)

maumengumpulkan senjata, bahkan melakukan penyelundupan, dan tindak

kriminal.11

Mencermati sikap GAM yang mulai menyimpang dari tujuan perjanjian

CoHA, pemerintah RI melalui perwakilannya di JSC-RI berusaha mengambil

langkah-langkah untuk mencegah segala upaya GAM memenipulasi isi perjanjian.

Adapun langkah-langkah tersebut, antara lain: (1) meminta pihak HDC untuk

menghentikan segala upaya pihak GAM, (2) meminta pihak HDC untuk

menggelar sidang Joint Council (sebagai lembaga tertinggi yang diatur dalam

CoHA).12

Setelah pihak GAM tetap pada tujuannya, maka Pemerintah RI secara

eksplisit menyatakan pemberlakuan Operasi Terpadu di wilayah Provinsi NAD.

Karena perkembangan terakhir atas kondisi Aceh semakin mencemaskan dengan

adanya korban jiwa yang terus berjatuhan di pihak TNI, GAM dan rakyat sipil

seiring dengan melemahnya semangat untuk mematuhi perjanjian CoHA.

Akhirnya pada 19 Mei 2003 disepakatilah pertemuan Joint Council di

Tokyo, guna mendapatkan solusi yang terbaik terhadap macetnya pelaksanaan

CoHA. Namun perundingan ini gagal total, karena pihak GAM menolak seluruh

syarat dasar pemerintah RI. Adapun syarat tersebut, yaitu: (1) Aceh tetap dalam

NKRI, (2) GAM menerima otonomi khusus, (3) GAM mau meletakkan senjata.13

Kemudian dari sinilah pertemuan antara pemerintah RI dengan GAM membuat

HDC tidak dapat lagi memfasilitasi perundingan tersebut, yang berarti HDC juga

11

Munawar Fuad Noeh, SBY dan Islam, (Depok: eLSAKU, 2004), h. 107.

12

I Gusti Made Oka, Cessation of Hostilities Frame Work Agreement Between RI and

GAM: Suatu Penyelesaian Konflik di Aceh, (Jakarta: Staf Operasi Mabes TNI, 2004), h. 50.

13

Farid Husain, To See The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh, (Jakarta: Health and

(43)

35

tidak dapat lagi bertindak sebagai mediator untuk melanjutkan proses

implementasi CoHA.

3. Pemberlakuan Darurat Militer

Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah RI untuk mengajak pihak

GAM berunding dan menyelesaikan permasalahan di Aceh dengan cara damai

dan tetap dalam bingkai NKRI guna mengurangi korban dari pihak sipil. Hal ini

telah dilakukan oleh pemerintah RI dengan melaksanakan beberapa upaya damai

seperti Jeda Kemanusian, serta Moratorium, kemudian dilanjutkan dengan CoHA

yang difasilitasi oleh HDC, namun hal ini tetap saja tidak memperoleh suatu

kesepakatan karena pihak GAM tetap menuntut untuk merdeka dan lepas dari

NKRI.

Upaya terakhir yang dilaksanakan oleh pemerintah RI yaitu mengadakan

Joint Coincil, dimana pihak RI mengajukan beberapa persyaratan dan memberi

batas waktu kepada GAM. Dengan gagalnya pertemuan tersebut, Indonesia

sebagai negara yang berdaulat telah menentukan sikap tegas yaitu dengan

memberlakukan Darurat Militer di NAD. Status Darurat Militer merupakan

pernyataan terbuka pemerintah untuk menyatakan perang di bawah payung

hukum keputusan resmi Presiden (Keppres No 28 2003). Berbeda dengan masa

DOM, paska DOM sampai dengan CoHA, operasi militer yang digelar saat

darurat militer secara resmi langsung di bawah pertanggungjawaban presiden

sebagai penguasa darurat militer pusat. Meskipun dalam operasionalisasinya di

lapangan, Keppres ini tidak mampu menjadi payung hukum yang memadai untuk

menyelesaikan semua persoalan.14

14

(44)

Isi dari Keppres tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, “gagalnya upaya-upaya pemerintah menyelesaikan persoalan Aceh melalui penetapan otonomi khusus, pendekatan terpadu dan rencana pembangunan yang komprehensif, maupun dialog. Juga disebutkan bahwa semua upaya tersebut tidak dapat menghentikan niat GAM untuk memisahkan diri dari NKRI dan menyatakan kemerdekaannya.”

Maksud dari poin pertama “secara asal” telah menempatkan seluruh

elemen masyarakat yang ada di Aceh, baik masyarakat sipilnya maupun GAM

sebagai sumber masalah karena menolak dialog, otonomi khusus serta program

pemerintah. Rumusan konsideran ini menunjukkan bahwa Pemerintah

mencapuradukkan seluruh problematika Aceh yang belum tentu berhubungan

dengan separatisme dan menyelesaikannya lewat Darurat Militer;

Kedua, “bahwa keadaan yang pada akhirnya dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, dan secepatnya harus dihentikan melalui upaya-upaya yang lebih terpadu agar kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintah

dapat segera dipulihkan kembali.”

Rumusan ini menunjukkan bahwa keutuhan teritorial NKRI digunakan

sebagai dasar dari tujuan utama operasi. Atas nama nasionalisme dan jargon

NKRI, pemerintah membenarkan seluruh tindakan aparat keamanan selama

DOM. Telah melakukan operasi yang menghalalkan segala cara, yang dilakukan

justru kontra produktif. Spirit dari nasionalisme dan NKRI adalah

“mempertahankan kepemilikan atas Aceh secara teritorial” dengan daya koersif

yang dimiliki negara, sehingga yang dipikirkan pemerintah adalah

mengembalikan efektifitas kaki kekuasaannya di daerah dengan cara apapun. Pada

point kedua ini sangat bertolak belakang dengan klaim dan tujuan operasi untuk

mengembalikan otoritas masyarakat Aceh atas wilayahnya yang berada dalam

(45)

37

Ketiga, Keppres No 28 Tahun 2003 dalam perihal mengingat merujuk pada

Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan

keempatUndang-undang Dasar 1945, Undang-undang No 23 Prp Tahun 1959

Tentang kedaan Bahaya, serta Undang-undang No 2 Tahun 2002 Tentang

kepolisian Negara RI. Dalam hal ini ketiga instrumen yang menjadi dasar hukum

dan mekanisme pelaksanaan Keppres sungguh memiliki perbedaan-perbedaan

dalam beberapa aspeknya. Perbedaan-perbedaan ini sulit untuk saling mendukung

ketiga instrumen yang menjadi dasar tersebut diimplementasikan secara bersama

sebagai dasar penerapan status Darurat Militer, karena kandungan konflik

kepentingan, tafsir dan tindakan.15

4. Pemberlakuan Keadaan Darurat Sipil

Setelah merasa keadaan di Aceh sudah sudah mulai membaik Presiden

Megawati Soekarnoputri menurunkan status Darurat Militer dan memberlakukan

Status Darurat Sipil selama enam bulan, terhitung mulai pada 19 Mei 2004, untuk

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keputusan ini ditetapkan dalam Keputusan

Presiden Nomor 43 Tuhun 2004. Gubernur NAD, Abdullah Puteh diangkat

menjadi Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD), dibantu oleh Pangdam Iskandar

Muda, Kapolda, dan Kajati Aceh. Keppres tersebut juga menyatakan dibentuknya

Tim Asistensi dari pemerintah pusat yang tugasnya memberikan asistensi dan

monitoring terhadap kerja PDSD.16

Keputusan pemerintah menurunkan status Aceh ke darurat sipil kemudian

juga mendapat respon positif dari berbagai elit politik nasional, terutama yang

memiliki kepentingan dalam pemilu presiden mendatang. Ini terbukti meskipun

15

Ibid, h. 114-115.

16

(46)

menurunkan status Aceh menjadi darurat sipil, tetap mempertahankan operasi

militer dan tidak akan ada pengurangan pasukan di Aceh. Artinya TNI maupun

(47)

39

BAB IV

PERAN MEDIASI CMI DALAM MENENGAHI

PERTENTANGAN GAM DAN INDONESIA UNTUK

MENCAPAI PENYELESAIAN KONFLIK DI

INDONESIA

Upaya menyelesaikan konflik melalui perundingan perdamaian pada

hakekatnya adalah sesuatu yang selalu diinginkan oleh semua pihak. Terutama

bagi masyarakat Aceh yang terdiri dari kelompok negara (Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah, TNI dan Polri, Kelompok Masyarakat, dan Tokoh

Adat/Ulama) sebagai pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian konflik

Aceh tersebut. Karena mereka telah sangat lama merasakan betapa pahit getirnya

hidup dalam kondisi konflik yang panjang. Mulai dari tahap membangun dialog

dengan pihak RI hingga kemudian dicapainya sebuah perdamaian berkat CMI

(Crisis Management Initiative) sebagai mediator terakhir.

Oleh karena itu pada bab inilah, maka akan dipaparkan proses

perundingan yang dicapai CMI untuk mendamaikan Pemerintah RI dan GAM

yang kemudian melahirkan empat tahap perundingan sekaligus yang dikenal

dengan Perundingan Helsinki. Dan juga sedikit memaparkan mengenai organisasi

CMI.

A. Situasi Aceh Paska Kegagalan CoHA

Pemerintahan pada masa paska Orde Baru yang dijalankan oleh Presiden

Referensi

Dokumen terkait

Pemodelan 2D geolistrik pada line 1 yang terletak di bagian barat laut daerah penelitian menunjukan 4 lapisan batuan dengan rentang seperti yang terlihat gambar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh pengelolaan koperasi pelajar terhadap pembentukan jiwa wirausaha santri dan kegiatan apakah yang paling

rena itu, tidak heran jika respons terhadap modernisasi di kalangan umat Islam dimulai dengan membicarakan apa arti modernisasi itu bagi umat Islam. Cak Nur

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: SK.38/OT002/Phb-83 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Kesehatan Penerbangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara memuat tentang

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, sistem mampu berinteraksi dengan baik dilihat dari hasil pengujian yang sepenuhnya berhasil diuji yaitu saat awal

Pada hakikatnya pesan moral yang terkandung dalam karya sastra lebih memberat pada sifat kodrati manusia yang hakiki, bukan pada aturan-aturan yang dibuat,

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini membuktikan bahwa keahlian keuangan komite audit, komite audit wanita, dan busy boards terhadap manajemen laba menunjukkan pengaruh