DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Asnawi, M. Natsir, Hermeneutika Putusan Hakim, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta, 2014.
Azman, Nur Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Bandung: Penabur Ilmu, 2001)
Badrulzaman , Mariam Darus,dkk., Kompilasi Hukum Perikatan. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Badrulzaman, Mariam Darus, Hukum Perikatan Dalam KUH Perdata Buku
Ketiga, Penerbit: Citra Aditya, bandung, 2015. ______
, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, cet.2, PT.Alumni, Bandung, 2006.
Djojodirjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1982.
Fajar , Mukti ND. dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2010.
Fuady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005.
_____
, Konsep Hukum Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta,
2010.
Ibrahim, Jhonny Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif Bayumedia Publissing, Malang, 2011.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ke tujuh, Liberty yogyakarta, 2002.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
Mulyadi, Lilik, Tuntutan Provisionil Dan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam
Hukum Acara Perdata, PT Alumni, Bandung,2012. _____
, Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Teori dan Praktik, PT Penerbit Djambatan, Jakarta, 2001.
Projodikoro, Wirjono, Perbuatan Melawan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000.
Simorangkir, J.C.T., dkk, Kamus Hukum, Penerbit: Aksara Baru. Jakarta, 1980.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2004
Subekti & Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1971.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.Intermasa, Jakarta , 1977.
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori Dan Analisis Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.
Tumpa, Harifin. A, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) Dan
Implementasinya di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2010.
Widjaja, Gunawan & Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan Perikatan Yang
Lahir Dari Undang-Undang, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003.
Yahman, Karakteristik Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penipuan, Prenadamedia Group, Jakarta,2007.
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
INTERNET
BAB III
TINJAUAN TENTANG GANTI KERUGIAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UANG PAKSA (DWANGSOM)
A. Kerugian
Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian
bagi korban. Kerugian tersebut harus diganti oleh orang-orang yang dibebankan
oleh hukum untuk mengganti kerugian tersebut. Mengenai kerugian ini, dalam
beberapa bahasa dikenal dengan istilah berikut :
1. Bahasa Inggris : damages
2. Bahasa Belanda : nadeel
3. Bahasa Jerman : schaden
4. Bahasa Perancis : dommage
5. Bahasa Spanyol : dano
Sebenarnya hukum yang mengatur mengenai ganti rugi perdata ini sudah
dikenal dalam sejarah hukum. Dalam Lex Aquilia salah satu undang-undang yang
berlaku di zaman Romawi, konsep ganti rugi ini justru dapat terbaca dalam
chapter pertamanya, yang mengatur sebagai berikut :
Jika seseorang secara melawan hukum membunuh seorang budak belian
atau gadis hamba sahaya milik orang lain atau binatang ternak berkaki 4
(empat) milik orang lain, maka pembunuhnya harus membayar kepada
pemiliknya sebesar nilai tertinggi yang didapati oleh properti tersebut
tahun lalu. Ganti rugi tersebut menjadi berlipat 2 (dua) jika pihak tergugat
menolak tanggung jawabnya.39
a. Kerugian pada umumnya
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud Kerugian
adalah kondisi di mana sesorang tidak mendapatkan keuntungan dari apa
yang telah mereka keluarkan (modal).
Kerugian dalam hukum dapat dipisahkan menjadi dua (2) klasifikasi,
yakni kerugian materil dan kerugian immateril:40
Kerugian materil: Yaitu kerugian yang nyata-nyata ada yang diderita
oleh pemohon.
Kerugian immateril: Yaitu kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan
diterima oleh pemohon di kemudian hari atau
kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin
diterima oleh pemohon di kemudian hari.
Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah kerugian nyata yang
terjadi karena wanprestasi. Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan
membandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika
sekiranya tidak terjadi wanprestasi. Pengertian kerugian dikemukakan
oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke
nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini
ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh
pihak debitur. Lebih lanjut dibahas oleh Yahya Harahap, kalau begitu dapat
kita ambil suatu rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira sebesar
jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi
obyek perjanjian dibanding dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya
40
35
wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat besarnya ganti rugi ialah
“sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan
timbulnya kekurangan nilai keutungan yang akan diperolehnya.
Bila kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian
yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan.
Pengertian kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya
(bagaiaman dalam kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai akibat
pelanggaran norma) dengan situasi hipotesis (situasi itu akan menjadi
bagaimana andaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi).
Sehingga dapat ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi
berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu
perikatan (baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang)
dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak lain.41
b. Kerugian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum perdata, yang merupakan kiblatnya
hukum perdata di Indonesia, termasuk kiblat bagi hukum yang berkenaan
dengan perbuatan melawan hukum, mengatur kerugian dan ganti rugi dalam
hubungannya dengan perbuatan melawan hukum dengan 2 (dua) pendekatan
sebagai berikut:
1) Ganti rugi umum
2) Ganti rugi khusus
Yang dimaksud dengan ganti rugi umum dalam hal ini adalah ganti rugi
yang berlaku untuk semua kasus, baik untuk kasus-kasus wanprestasi
41
kontrak, maupun kasus-kasus yang berkenaan dengan perikatan lainnya,
termasuk karena perbuatan melawan hukum.
Ketentuan tentang ganti rugi yang umum ini oleh KUH Perdata diatur
dalam Bagian Keempat dari Buku Ketiga, mulai dari Pasal 1243 sampai
dengan Pasal 1252.
Dalam rumusan Pasal 1243 KUHPerdata dikatakan bahwa :
“Pergantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila debitor, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya dalam tggang waktu yang telah dilampaukannya.”
Dalam hal ini ganti rugi tersebut, KUH Perdata secara konsisten untuk
ganti rugi digunakan istilah 42
biaya, rugi, dan bunga
Pengertian dari biaya adalah setiap cost atau uang, atau apapun yang
dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan secara nyata oleh pihak
yang dirugikan, sebagai akibat dari wanprestasi dari kontrak atau sebagai
akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan
karena adanya perbuatan melawan hukum. Misalnya, biaya perjalanan,
konsumsi, biaya akta notaris, dan lain-lain.
Kemudian, yang dimaksud dengan “rugi” atau “kerugian” (dalam arti
sempit) adalah keadaan berkurang (merosotnya) nilai kekayaan kreditur
sebagai akibat dari adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari
tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya
pebuatan melawan hukum.
37
yang seharusnya diperoleh, tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur
karena adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak
dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya
perbuatan melawan hukum. Dengan begitu, pengertian bunga dalam istilah
sehari-hari, yang hanya berarti “bunga uang” (interest), yang hanya
ditentukan dengan presentase dari hutang pokoknya.
Selain dari ganti rugi umum yang diatur mulai dari Pasal 1243 KUH
Perdata, KUH Perdata juga mengatur ganti rugi khusus, yakni ganti rugi
khusus terhadap kerugian yang timbul dari perikatan-perikatan tertentu.
Hubungan dengan ganti rugi yang terbit dari suatu perbuatan melawan
hukum, selain dari ganti rugi dalam bentuk yang umum, KUH Perdata juga
menyebutkan pemberian ganti rugi terhadap hal-hal sebagai berikut :43
(a)Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365)
(b)Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1366
dan Pasal 1367)
(c)Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368)
(d)Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369)
(e)Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh
(Pasal 1370)
(f)Ganti rugi karena orang telah luka atau cacat anggota badan (Pasal
1371)
(g)Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372 sampai dengan
Pasal 1380)
Untuk ketiga model ganti rugi yang disebut terakhir tersebut, Pasal
1370, Pasal 1371, Pasal 1372, Pasal 1373, dan Pasal 1374 bahkan
memperinci cara menghitung ganti rugi dan model-model ganti rugi yang
dapat dituntut oleh pihak korban. 44
Pada asasnya bentuk dari ganti rugi yang lazim dipergunakan ialah
uang, oleh karena menurut ahli-ahli hukum perdata maupun yurisprudensi,
uang merupakan alat yang praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih
dalam menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain uang, masih ada
bentuk-bentuk lain yang diperlukan sebagai bentuk-bentuk ganti rugi, yaitu: pemulihan ke
keadaan semula (in natura) dan larangan untuk mengulangi. Keduanya ini
kalau tidak ditepati dapat diperkuat dengan uang paksa. Jadi, uang paksa
bukanlah merupakan bentuk atau wujud ganti rugi.45
1.1 Kerugian secara ekonomis, misalnya pengeluaran biaya pengobatan
dan rumah sakit.
Dilihat dari jenis konsekuensi dari perbuatan melawan hukum,
khususnya perbuatan melawan hukum terhadap tubuh orang, maka ganti
rugi dapat diberikan jika terdapat salah satu dari unsur-unsur sebagai berikut
1.2 Luka atau cacat terhadap tubuh korban.
1.3 Adanya rasa sakit secara fisik.
1.4 Sakit secara mental, seperti stres, sangat sedih, rasa bermusuhan yang
berlebihan, cemas, dan berbagai gangguan mental/jiwa, lainnya.
Dalam hal KUH Perdata tidak dengan tegas bahkan tidak mengatur
44 Ibid, hal.138 45
39
secara rinci tentang ganti rugi terntentu, atau tentang salah satu aspek dari
ganti rugi, maka hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan ganti rugi
tersebut sesuai dengan asas kepatutan, sejauh hal tersebut memang
dimintakan oleh pihak penggugat. Justifikasi terhadap kebebasan hakim ini
adalah karena penafsiran kata rugi, biaya dan bunga tersebut sangat luas dan
dapat mencakup hampir segala hal yang bersangkutan dengan ganti rugi.
Menurut KUH Perdata, ketentuan tentang ganti rugi karena akibat dari
perbuatan melawan hukum tidak jauh berbeda dengan ganti rugi karena
wanprestasi terhadap kontrak. Persyaratan-persyaratan terhadap ganti rugi
menurut KUH Perdata, khususnya ganti rugi karena perbuatan melawan
hukum adalah sebagai berikut :46 a. Komponen kerugian
Komponen dari suatu ganti rugi terdiri dari :
1) Biaya,
2) Rugi, dan
3) Bunga.
b. Starting point dari ganti rugi
Starting point atau saat mulainya dihitung adanya ganti rugi adalah
sebagai berikut :
(1) Pada saat dinyatakan wanprestasi, debitur tetap melalaikan
kewajibannya, ataupun
(2)Jika prestasinya adalah sesuatu yang harus diberikan, sejak saat
dilampauinya tenggang waktu dimana sebenarnya debitur sudah
dapat membuat atau memberikan prestasi tersebut.
c. Bukan karena alasan force majeure
Ganti rugi baru dapat diberikan kepada pihak korban jika kejadian
yang menimbulkan kerugian tersebut tidak tergolong ke dalam tindakan
force majeure.
d. Saat terjadinya kerugian
Suatu ganti rugi hanya dapat diberikan terhadap kerugian sebagai
berikut :
(1)Kerugian yang benar-benar dideritanya.
(2)Terhadap kerugian karena kehilangan keuntungan atau pendapatan
yang sedianya dapat dinikmati oleh korban.
e. Kerugian dapat diduga
Kerugian yang wajib diganti oleh pelaku perbuatan melawan
hukum adalah kerugian yang dapat diduga terjadinya. Maksudnya adalah
bahwa kerugian yang timbul tersebut haruslah diharapkan akan terjadi,
atau patut diduga akan terjadi, dugaan mana sudah ada pada saat
dilakukannya perbuatan melawan hukum tersebut.
Menentukan besarnya jumlah ganti rugi, undang-undang memberikan
beberapa pedoman, yaitu besarnya jumlah gani rugi itu ditentukan sendiri
oleh undang-undang, misalnya Pasal 1250 KUHPerdata antara lain
mengatakan bahwa:
41
Undang-undang yang ditunjuk Pasal 1250 KUHPerdata ini adalah
undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1948 Nomor
22 yang menetapkan besarnya jumlah bunga 6% (enam persen) setahun.
Oleh karena kelalaiannya, maka bunga itu dinamakan “bunga moratoir”
(bunga karena kelalaian).
1. Pihak-pihak sendiri menentukan besarnya jumlah ganti rugi.
2. Jika tidak ada ketentuan dalam undang-undang dan para pihak sendiri
juga tidak menentukan apa-apa, maka besarnya ganti rugi ini harus
ditentukan berdasarkan kerugian yang benar-benar telah terjadi, atau
dapat diduga sedemikian rupa sehingga keadaan kekayaan (vermogen)
dari si berpiutang harus sama seperti seandainya si berutang memenuhi
kewajibannya.
Kerugian yang jumlahnya melampaui batas, yang dapat diduga tidak boleh
dilimpahkan kepada debitur.47
B. Uang Paksa (Dwangsom)
Sebagaimana diketahui bersama bahwa lembaga uang paksa dari aspek
istilah merupakan terminologi kata “dwangsom” dalam rumpun Belanda atau kata
“astreinte” pada rumpun hukum Perancis. Kemudian ditinjau dari optik teori dan
praktik eksistensi uang paksa (dwangsom) ini lazim dijumpai pada hampir setiap
gugatan. Konkretnya, dalam perkara perdata kerap dituntut adanya uang paksa
oleh penggugat kepada pihak tergugat.48
Pada hakekatnya secara substansial di Indonesia dasar hukum penerapan
47 Mariam Darus Badrulzaman,dkk., Op.Cit., hal.24
48 Lilik Mulyadi,S.H.,M.H., Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Teori dan
uang paksa (dwangsom) menurut teori dan praktik di peradilan diatur di dalam
Pasal 606a dan Pasal 606b Rv (Stb. 1847-52 jo Stb. 1849-63 jo Stb.1938-360 jis
361,276), Ketentuan pasal 606a dan Pasal 606 Rv tersebut hanya mengatur secara
singkat tentang uang paksa (dwangsom) yang sebagai berikut :49
Berikut ini untuk memperoleh deskripsi memadai tentang pengaturan
lembaga uang paksa (dwangsom) dalam ketentuan Rv Belanda, yakni: Pasal 606a RV
“sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain daripada membayar sejumlah uang maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa”
Pasal 606b Rv:
“bila keputusan tersebut tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk melaksanakan keputusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh alas hak baru menurut hukum.”
Sedangkan apabila diperbandingkan ketentuan terhadap penerapan uang
paksa (dwangsom) dalam ketentuan hukum Belanda maka dirasakan lebih luas
dan lengkap ruang lingkup peraturannya. Pada ketentuan hukum Belanda
ketentuan tentang uang paksa (dwangsom) ini diatur dalam Pasal 611 a-i Rv
Belanda.
50
1. Atas tuntutan salah satu pihak, hakim dapat menghukum pihak lainnya untuk membayar sejumlah uang yang disebut uang paksa dalam hal tidak dipenuhi hukuman pokok tanpa mengurangi hak atas ganti rugi, apabila terhadap alasan untuk itu. Sesungguhnya uang paksa tidak dapat dijatuhkan dalam hal penghukuman untuk pembayaran sejumlah uang
Pasal 611a Rv Belanda :
43
2. Uang paksa dapat juga dituntut untuk pertama kalinya dalam verzet atau pada tingkat banding
3. uang paksa tidak berkekuatan, sebelum putusan yang memuat
dwangsom itu, diberitahukan kepada si terhukum.
4. Hakim dapat menentukan bahwa terhukum baru akan melaksanakan
dwangsom setelah lewat waktu yang ditentukan.
Pasal 611 b Rv Belanda redaksionalnya menyebutkan bahwa
Hakim dapat menentukan dwangsom dengan suatu jumlah sekaligus atau suatu jumlah untuk setiap jangka waktu atau untuk setiap pelanggaran. Dalam hal yang disebut kedua keadaan terakhir, hakim dapat juga menetapkan suatu jumlah tertentu, dwangsom yang lebih dan jumlah itu tidak berkekuatan.
Selanjutnya pasal 611 c Rv Belanda berbunyi, bahwa:
Uang paksa sekali telah ditetapkan menjadi hak sepenuhnya dari pihak
yaang memperoleh hak atas keputusan itu. Pihak ini dapat melaksanakan
uang paksa berdasarkan atas alas hak yang telah ditetapkan itu.
Selanjutnya ketentuan Pasal 611 d Rv Belanda dengan tegas menyebutkan bahwa :51
a. Atas permintaan dari terhukum, hakim yang telah menjatuhkan uang paksa, dapat menghapus uang paksa itu, menunda uang paksa itu selama jangka waktu yang ditetapkannya atau mengurangi jumlah atau jangka waktu uang paksa itu baik seluruhnya maupun sebagian, dalam hal tertentu tidak mungkin melaksanakan hukuman pokok.
b. Di dalam hal uang paksa telah berkekuatan, hakim tidak boleh menghapus atau mengurangi uang paksa itu, sebelum ternyata ketidakmungkinan itu.
Pasal 611f Rv Belanda redaksional selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1) Setelah meninggalnya si terhukum, maka uang paksa yang telah ditetapkan dengan suatu jumlah tertentu untuk setiap jangka waktu, tidak berkekuatan hukum lagi, tetapi apabila uang paksa itu telah berkekuatan sebelum terhukum meninggal, tetap terutang. Uang paksa baru berkekuatan bagi ahli waris terhukum setelah hakim menetapkannya kembali, jadi mempunyai kepastian. Hakim dalam hal dapat merubah jumlah dan syarat-syarat uang paksa itu.
2) Uang paksa lainnya dapat dihapus atau dikurangi oleh hakim yang telah menetapkan uang paksa itu, atas tuntutan ahli waris si terhukum,
baik mengenai jumlah maupun waktunya, sejak terhukum meninggal dunia.
Kemudian Pasal 611 g Rv Belanda menyebutkan bahwa :
(a)Uang paksa kadaluarsa setelah lewat 6 bulan sejak hari keputusan uang paksa itu ditetapkan.
(b)Kadaluarsa juga tertunda karena pailit, dan ketentuan-ketentuan undang-undang lain menghalangi pelaksanaan uang paksa.
(c)Kadaluarsa juga tertunda sepanjang yang memperoleh hak atas hukuman itu secara patut tidak dapat dikenali.
Sedangkan ketentuan Pasal 611 h dan Pasal 611 i Rv Belanda
menyebutkan bahwa:52
Jadi, oleh karena dasar pengaturan uang paksa (dwangsom) di Indonesia
merupakan absorptie/serapan dari Rv Belanda dan secara historis yuridis Ketentuan-ketentuan pada kewenangan pengadilan dan
instansi banding tidak berlaku bagi uang paksa.
Pasal 611 i Rv Belanda yaitu, yang dimaksud hakim dalam bagian ketiga
ini termasuk juga para wasit.
Dari beberapa peraturan sebagaima di uraikan di atas jikalau diperbandingkan
secara selintas ternyata dimensi ketentuan uang paksa (dwangsom) dalam Rv
Belanda dirasakan lebih lengkap, sistematis, dan aktual ruang lingkupnya. Pada
ketentutan Rv yang termaktub dan diterapkan di Indonesia hanya mencakup 2
(dua) pasal yaitu Pasal 606a dan Pasal 606b Rv yang pardant dengan kententuan
Pasal 611a ayat (1) dan 606b Rv Belanda. Maka oleh karena itu terhadap
pengaturan uang paksa (dwangsom) berupa perubahan uang paksa/dwangsom
yang dapat berupa penghapusan penundaan atau pengurangan dwangsom (Pasal
611g Rv Belanda), kepailitan dwangsom (Pasal 611e Rv Belanda), dan lain
sebagainya tidak diatur secara tegas dalam ketentuan Rv Indonesia.
45
diterapkan di Indonesia bertitik tolak pada asas konkordansi, dan dengan melihat
kebutuhan mendesak praktik peradilan maka rasanya tidak ada bandingnya pada
Rv Indonesia (Stb.1847-52 jo Stb.1849-63 jo Stb.1938-360 jis 362, 276)
diterapkan (mutatis mutandis) sepanjang dianggap sepadan dengan materi
perkara, kemudian diterapkan secara selektif dan sifatnya kasuistis.53 1. Pengertian dan sifat dari tuntutan uang paksa
Apabila dikaji secara mendalam, maka ketentuan 606a Rv Pasal 611a
ayat (1) dengan tegas tidak ditemukan mengenai batasan dari tuntutan uang
paksa (dwangsom).54
a. Mr. P. A. Stein mengemukakan bahwa uang paksa (dwangsom) sebagai: Oleh karena itu, maka batasan tentang uang paksa didapatkan melalui
pandangan para doktrina, makna leksikon maupun visi praktisi hukum:
“sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan, hukuman tersebut
diserahkan kepada penggugat, di dalam hal sepanjang atau
sewaktu-waktu si terhukum tidak melaksanakan hukuman. Uang paksa ditetapkan
di dalam suatu jumlah baik berupa sejumlah uang paksa sekaligus,
maupun setiap jangka waktu atau setiap pelanggaran”
b. J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan J.T. prasetya menyebutkan
uang paksa (dwangsom) adalah :
“uang paksa yang ditetapkan sebagai hukuman yang harus dibayar
karena perjanjian yang tidak dipenuhi.”55
53 Ibid, hal.13 54
Lilik Mulyadi, Tuntutan Provisionil Dan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Hukum Acara Perdata, PT Alumni, Bandung,2012, hal.179
55 J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan Prasetya J.T., Kamus Hukum, Penerbit: Aksara
c. Subekti dan Tjitrosoedibio menyebutkan bahwa uang paksa
(dwangsom) itu adalah:
“sebegitu jauh suatu putusan pengadilan memutuskan penghukuman
untuk sesuatu lain daripada untuk membayar sejumlah uang, maka
dapatlah ditentukan di dalamnya, bahwa si terhukum tidak/belum
memenuhi keputusan tersebut, ia pun wajib membayar sejumlah uang
yang ditetapkan dalam putusan itu, uang mana disebut uang paksa (Pasal
605a Rechtsvordering). Dengan demikian maka uang paksa merupakan
suatu alat eksekusi secara tidak langsung.”56
Definisi sebagaimana tersebut di atas merupakan batasan secara teoretis
dan praktik tentang uang paksa (dwangsom) yang mana dari batasan
tersebut dapatlah ditarik beberapa sifat uang paksa adalah sebagai berikut : Dari teori tersebut maka dapatlah disimpulkan secara singkat dan
sederhana bahwa tuntutan uang paksa (dwangsom) itu adalah suatu tuntutan
tambahan yang dilakukan oleh penggugat/para penggugat kepada pihak
tergugat/para tergugat berupa sejumlah uang agar dalam putusan hakim
ditetapkan supaya terhukum harus membayarnya selain dari pembayaran
sejumlah uang jikalau hukuman pokok tersebut tidak dipenuhi oleh si
terhukum.
57
1) Pertama, bersifat accesoir, dengan pengertian bahwa : tidak ada
dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok. Dwangsom selalu harus
mengikuti hukuman pokok dengan kata lain bahwa dwangsom tidak
mungkin dijatuhkan tanpa hukuman pokok. Kalau seorang penggugat
47
dalam dalil (posita) gugatannya menyatakan bahwa tergugat telah lalai
menyerahkan barang yang dibelinya padahal barang tersebut telah
dibayar lunas. Akan tetapi penggugat dalam petitum gugatannya tidak
meminta agar tergugat dihukum untuk menyerahkan barang yang
dibelinya tersebut, penggugat hanya menuntut dwangsom (uang paksa),
maka hakim tidak dapat mengabulkan permintaan dwangsom tersebut
walaupun dalil gugatan penggugat terbukti. Apabila hukuman pokok
telah dilaksanakan oleh si terhukum maka dwangsom yang ditetapkan
bersama hukuman pokok tadi tidak berkekuatan hukum lagi. Apabila
penggugat yang menuntut penyerahan barang yang dibelinya dan
apabila tergugat lalai menyerahkan barang tersebut maka tergugat
dihukum untuk membayar uang paksa dan hakim mengabulkan
hukuman tersebut, maka apabila tergugat telah menyerahkan barang
yang dituntut itu kepada penggugat, maka dwangsom tidak berkekuatan
hukum lagi. Dengan kata lain, bahwa dwangsom yang ditetapkan tidak
berlaku lagi.
2) Kedua, yaitu hukuman tambahan. Ini berarti bahwa apabila hukuman
pokok yang ditetapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat dengan
suka rela, maka dwangsom diperlakukan (dapat dieksekusi). Apabila
dwangsom telah dilaksanakan tidak berarti bahwa hukuman pokok telah
hapus. Hukuman pokok masih tetap dapat dilaksanakan. Apabila hakim
dalam putusannya memerintahkan kepada tergugat menyerahkan barang
yang telah dibeli oleh penggugat disertai suatu dwangsom, maka apabila
pula untuk membayar uang paksa yang ditetapkan oleh hakim tersebut.
Apabila uang paksa yang ditetapkan oleh hakim telah dilaksanakan
terhukum, tetapi penyerahan barang yang diperintahkan oleh hakim
tidak dilaksanakan oleh tergugat, maka penyerahan barang tersebut
tetap wajib dilaksanakan oleh terhukum. Hukuman pokok tidak hapus
dengan adanya pelaksanaan dwangsom.
3) Ketiga, bersifat pressie middel yakni sebagai upaya tekanan agar
terhukum mau mematuhi atau melaksanakan hukuman pokok. Dengan
demikian dapat juga disebutkan upaya tekanan ini diharapkan dapat
menekan secara psikologis terhukum. Suatu dwangsom dimintakan
penggugat dalam surat gugatannya mungkin ada baiknya hakim dapat
mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, faktual dan penuh
kehati-hatian dalam menjatuhkan dwangsom. Tegasnya sepanjang
hakim telah mempertimbangkan dari aspek kearifan dan kehati-hatian
(discretionaire bevoegheid) tidak ada salahnya apabila dwangsom
dijatuhkan kepada terhukum agar terhukum secara psikologis
bersungguh-sungguh untuk dapat melaksanakan hukuman pokok.
Lembaga dwangsom adalah merupakan suatu alat eksekusi ini tidak
diragukan, karena penempatannya di Kitab Undang-Undang (Rechtsreglements
Burgerlijke Rechtsvordering) dalam Buku II yang berjudul “Tentang
Pelaksanaan Putusan dan Akta-Akta Autentik,” pembuat undang-undang
memandang dwangsom itu sebagai alat untuk memaksa agar putusan
pengadilan dilaksanakan. Hal ini tergambar di dalam rumusan ketentuan
49
adalah sisi lain dari eksekusi yang seolah-olah bekerja dari samping.58
Secara khusus perlu pula diperhatikan, bahwa suatu putusan dapat juga
berisi suatu keharusan untuk tidak melakukan hal-hal tertentu, yaitu berupa
larangan untuk melakukan sesuatu. Hal ini bertujuan agar di kemudian hari
tidak terjadi serangan yang merupakan pelanggaran dari apa yang tidak
boleh dilakukan oleh terhukum. Larangan seperti ini dapat diberikan apabila
ancaman itu serius. Dalam hal demikian hakim dapat menerapkan
dwangsom yang bertujuan agar larangan itu betul-betul ditaati. Dengan
sendirinya uang paksa itu baru dapat ditagih apabila larangan itu secara
nyata telah dilanggar. Eksekusi ditujukan kepada mereka yang menurut
putusan hakim dihukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan
dalam hal yang demikian dwangsom berfungsi untuk memaksa agar pokok
dilaksanakan dengan sukarela.
Eksekusi riil atau verhaal eksekusi bekerja secara langsung untuk
terlaksananya hukuman pokok sedangkan, dwangsom bekerja dari samping
yang merupakan alat penekan –seperti halnya penyanderaan (gijzeling) –
bagi terhukum agar si terhukum melakukan (te doen) atau menyerahkan
suatu benda (yang bukan berupa suatu jumlah uang) tertentu.
59
Pembayaran suatu jumlah uang secara paksa (setidak-tidaknya ancaman
untuk melakukan itu) digunakan sebagai alat pemaksa, maka alat pemaksa
ini tidak diperlakukan di dalam hal keputusan itu berupa pembayaran
sejumlah uang.
58 Harifin A.Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) Dan
Dengan melihat maksud dan tujuan dari dwangsom tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam eksekusi riil hanya mempunyai dua (2) unsur ,
yaitu:60
(a)Adanya suatu ancaman (de bedreiging) yang bekerja secara psikis; dan
(b)Pelaksanaan secara paksa (de uitvoering geweld)
Sedangkan dwangsom mempunyai unsur yang lebih luas, yaitu:
1.1Ancaman yang berasal dari penerapan dwangsom;
1.2Berlakunya dwangsom; dan
1.3Tuntutan pelaksanaan dwangsom.
Adanya ancaman dari suatu kemungkinan penerapan dwangsom yang
kemudian diterapkan dan dilaksanakan secara paksa, si berutang diharapkan
melaksanakan secara sukarela apa yang ditentukan dalam hukuman pokok,
sebelum dwangsom betul-betul dilaksanakan.
2. Jenis uang paksa (dwangsom) menurut teori dan praktek
Rumusan ketentuan Pasal 611 b (Rv Belanda) mengatur, bahwa hakim
dapat menetukan dwangsom dengan suatu jumlah sekaligus atau suatu
jumlah untuk setiap jangka waktu atau untuk setiap pelanggaran. Dalam hal
yang disebut dua terakhir, hakim dapat menetapkan suatu jumlah tertentu,
dwangsom yang lebih dari jumlah itu tidak berkekuatan.61
a. Suatu jumlah sekaligus misalnya Rp. 15.000.000,- apabila tidak
melakukan perbuatan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah aanmaning. Dari ketentuan ini, maka hakim dapat menentukan, bahwa:
b. Suatu jumlah untuk setiap jangka waktu, misalnya Rp. 100.000,- setiap
51
hari jika ia tidak melaksanakan prestasi yang ditetapkan.
c. Suatu jumlah uang untuk setiap pelanggaran misalnya Rp. 100.000,-
untuk setiap kali terhukum tidak mau menyerahkan anak yang akan
dibawa oleh bapaknya ber-weekend.
Sebagaimana tertera dalam no. 2 dan no. 3 di atas, hakim juga dapat
menentukan suatu jumlah tertentu, yang merupakan batas maksimalnya,
misalnya:
Terhukum dihukum dwangsom Rp. 100.000,- setiap kali tidak melakukan
prestasi atau Rp.100.000,- setiap kali terhukum melakukan pelanggaran
dengan ketentuan dwangsom setinggi-tingginya Rp.10.000.000,- lebih dari
itu, dwangsom tidak perlu dibayar. Jadi kalau misalnya terhukum dihukum
Rp.100.000,- setiap tidak melakukan prestasi dan hal itu dilakukan selama 1
tahun, maka kalau tidak ada pembatasan dari hakim si terhukum harus
membayar dwangsom 365 x Rp.100.000,- = Rp.36.500.000,- tetapi di sini
hakim dapat menetapkan jumlah maksimum Rp.10.000.000,-.
3. Uang paksa (dwangsom), hukuman pokok, dan ganti kerugian
Mengacu pada pengertian dwangsom yang telah dijelaskan di atas,
dimana antara lain dikatakan bahwa suatu dwangsom yang ditetapkan oleh
hakim di dalam putusannya adalah hukuman yang bersifat accesoir, yaitu
hukuman yang mengikut pada hukuman pokok. Tidak mungkin ada suatu
dwangsom tanpa hukuman pokok, tetapi hukuman pokok mungkin ada tanpa dwangsom. Dengan kata lain, tidaklah mutlak atau tidaklah selalu suatu
hukuman pokok itu harus disertai dengan dwangsom (sanksi tambahan).
kepada si A. Apabila si B lalai menyerahkan keris tersebut, maka si B
dihukum untuk membayar uang paksa Rp.1000.000,- setiap hari. Di dalam
kasus seperti ini, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan hanya pada
penghukuman dwangsom, tanpa menghukum si B untuk menyerahkan keris
tersebut.
Pasal 611 a RV Belanda, juga cukup jelas maknanya, yaitu hukuman
dwangsom baru berlaku setelah hukuman pokok tidak dilaksanakan.62
Kajian historis menunjukkan bahwa pada waktu pembahasan rancangan
undang-undang di Parlemen Belanda sewaktu dwangsom akan dimasukkan
ke dalam perundang-undangan Belanda tersebut, ternyata disepakati bahwa
dwangsom harus dilepaskan dari suatu ganti rugi, bunga ataupun denda.
dengan suatu pembayaran suatu dwangsom, dimana si berutang harus
membayar dwangsom karena dia tidak menaati perintah yang ditentukan
oleh pengadilan. Itu berarti bahwa apabila si berutang tetap melalaikan
hukuman pokok yang disertai suatu ganti rugi, ia harus pula membayar
dwangsom, jadi si berutang harus membayar dua kali, baik melalui dwangsom maupun melalui ganti rugi-kepada pihak lainnya. Pembayaran
ganti rugi kepada penggugat sama sekali harus dilepaskan dari pikiran
tentang kewajiban membayar ganti rugi kepada pemenang. Hal ini dapat kita
simpulkan dari rumusan ketentuan Pasal 611a ayat 1 dan Pasal 611c Rv
Belanda.63
62 Ibid, hal.23
Pasal 611a Rv Belanda tersebut menyatakan bahwa hakim dapat
menghukum pihak lainnya (tergugat) untuk membayar sejumlah uang, yang
53
tersebut berdasar. Sedangkan menurut rumusan Pasal 611c menentukan
bahwa setiap dwangsom yang berkekuatan hukum menjadi hak atas
penghukuman itu.64
Bila melihat dan mencermati rumusan-rumusan ketentutan tentang
dwangsom, baik yang berlaku di Indonesia maupun yang berlaku di negeri
Belanda, maka akan diketahui bahwa hakim di dalam menerapkan
dwangsom mempunyai kewenangan diskretionair (kebijaksanaan) untuk
mengabulkan atau tidak suatu permohonan dwangsom. Pemahaman seperti
tersebut, dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 606a atau 611a ayat (1) Rv,
yang antara lain rumusan ketentuannya:
Oleh karena hukuman dwangsom harus dijatuhkan bersama dengan
hukuman pokok, tidak mungkin ada hukuman dwangsom tanpa hukuman
pokok. Kemungkinan eksekusi riil bukanlah halangan untuk menjatuhkan
dwangsom. Kalau hukuman pokok itu misalnya adalah pengosongan sebuah
rumah yang dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil melalui juru sita dan
dibantu dengan alat-alat negara, tidaklah berarti bahwa dwangsom tidak
boleh dijatuhkan, justru dengan menjatuhkan dwangsom kemungkinan
kesulitan di dalam eksekusi riil yang dihadapi dapat dihindari.
65
Hakim “dapat”, yang berarti kata “dapat” memberi arti bahwa hakim di
dalam menjatuhkan dwangsom atau tidak, di dalam suatu perkara tergantung
pada keadaan-keadaan, misalnya hakim memahami betul bahwa pihak
debitur nantinya tidak akan mampu memenuhi prestasi pokok sehingga
rangsangan dalam memenuhi hukuman pokok untuk itu, hakim harus
memerhatikan kemampuan terhukum, juga seperti atau badan-badan hukum
publik lain, dimana hakim memahami bahwa negara, kalau terhukum
dikenakan dwangsom tentunya akan mematuhi prestasi pokok secara
sukarela (vrijwilling).
Meskipun demikian, terdapat satu hal yang patut dipahami dengan baik
bahwa sekalipun hakim memiliki diskretionair didalam menerapkan
dwangsom, namun dwangsom tidaklah dapat diterapkan atas dasar
jabatannya (ambtshalve), sehingga suatu gugatan tanpa dimohonkan adanya
dwangsom, maka hakim tidak boleh mengenakan dwangsom.
Untuk pelaksanaan dwangsom tersebut, dalam praktiknya di dalam
dunia peradilan sesuai hukum eksekusi, perhitungan dwangsom dimulai
sejak masa peringatan dilampaui oleh tereksekusi, yaitu 8(delapan) hari
sejak aanmaning, sedangkan kalau terjadi penundaan eksekusi, maka
dwangsom tidak terutang atau diperhitungkan, yang berarti jumlah uang
paksa selama penundaan tidak dapat dibayarkan dari kekayaan terhukum
BAB IV
PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN (STUDI PUTUSAN NO.41/PDT.G/2013/PN.MDN)
A. Kasus Posisi
1. Tentang Duduk Perkara
Bahwa Penggugatnya adalah Gremeny Siahaan, laki-laki, lahir di
Medan tanggal 09 Januari 1986, pekerjaan Wiiraswasta, beralamat di Medan,
Perumnas Simalingkar Jl. Vanili Raya No. 78. Dalam hal ini diwakili oleh kuasa
hukumnya, yakni Advokat, Pengacara & Penasihat Hukum dari Law Office Boni
F.Sianipar,S.H.,M.Hum & Partners yang beralamat di Medan, Jl. Sei Merah
No.27.
Selanjutnya ialah kedudukan Tergugat yaitu bernama Tiromanta
Sinambela, S.Pd, perempuan, lahir di Bakara tanggal 14 September 1966,
pekerjaan Ibu Rumah Tangga, beralamat di Medan, Kecamatan Medan
Tuntungan, Kelurahan Mangga, Jl. Sagu-3 No.49 A, Perumnas Simalingkar.
Bahwa pada bulan Desember tahun 2009 Tergugat datang menemui
Penggugat di halaman Gereja HKPB Simalingkar pada saat Penggugat pulang dari
Gereja untuk menawarkan jasa mengurus Penggugat menjadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Pada saat itu Tergugat menyanyakan apakah Penggugat ada
mengikuti ujian penerimaan PNS bulan September Tahun 2009 dan lulus
tidaknya Pengugat dalam ujian tersebut. Yang kemudian Penggugat menjawab
bahwa ia tidak lulus ujian penerimaan PNS tersebut. Lalu Tergugat mengatakan
bahwa Tergugat dapat dan mampu mengurus Penggugat agar lulus pada
pengumuman, tetapi SK pengangkatan belum keluar, jadi Tergugat walaupun
sudah keluar pengumuman, tetapi SK pengangkatan belum keluar, jadi Tergugat
menyatakan bisa mengurus agar keluar SK pengangkatan PNS atas nama
Penggugat dengan sisipan. Setelah Tergugat menawarkan jasa pengurusan PNS
sebagai bujuk rayu tersebut, selanjutnya Tergugat mengatakan bahwa syarat
pengurusan PNS adalah bukti bahwa Tergugat pernah ikut ujian PNS, fotocopy
ijazah yang dilegalisir dan biaya pengurusan sebesar Rp.150.000.000,- (seratus
lima puluh juta rupiah), yang mana uang sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah) diminta untuk diserahkan Penggugat kepada Tergugat
selambat-lambatnya bulan Januari 2010.
Bahwa pada tanggal 14 Januari 2010 Penggugat datang ke rumah
Tergugat bersama dengan kedua orang kerabat Penggugat yaitu Martahan
Sihombing dan Lusinda br. Siahaan serta seorang teman Penggugat bernama
Kasandra br. Silaen. Pada saat itu, Tergugat mengatakan bahwa ia dapat
menjamin Penggugat menjadi PNS dan jika tidak masuk menjadi PNS, uang
Penggugat akan dikembalikan seluruhnya selambat-lambatnya pada bulan April
2010. Karena bujuk rayu tersebut, maka Penggugat menyerahkan uang sejumlah
Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Kemudian Tergugat membuat
dan menandatangani kuitansi tanda terima uang tertanggal 14 Januari 2010.
Karena tidak ada informasi mengenai SK pengangkatan PNS atas nama
Penggugat, maka pada bulan Juni 2010 Penggugat meminta pengembalian uang
kepada Tergugat. Tetapi hingga bulan Maret 2011, Tergugat tetap tidak dapat
mengembalikan uang tersebut kepada Tergugat. Tergugat selalu menghindar jika
57
Bahwa pada sekitar bulan Maret 2012, Penggugat melaporkan Tergugat
ke Kepolisian Resor Kota Medan atas dugaan tindak pidana penipuan
sebagaimana dimaksud dan ditentukan dalam Pasal 378 KUHPidana.
Bahwa laporan Penggugat tersebut diproses secara hukum, hingga ke
tingkat pemeriksaan di sidang Pengadilan pada Pengadilan Negeri Medan.
Akhirnya pada tanggal 19 Desember 2012 perkara tersebut telah diputus di
Pengadilan Negeri Medan dalam Putusan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn,
dengan amar putusan sebagai berikut :
a. Menyatakan Terdakwa Tiromanta Sinambela, S.Pd telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan.
b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1(satu) tahun.
c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
d. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan
e. Menetapkan barang bukti berupa :
Fotokopi 1 (satu) lembar kwitansi untuk pembayaran pinjaman tertanggal
Medan, 14 Januari 2010 senilai Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh
juta rupiah) tetap terlampir dalam berkas perkara.
f. Membebani Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.1000,-
(seribu rupiah)
Kemudian, berdasarkan putusan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn,
Penggugat mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Medan, untuk
2. Fakta dan dasar hukum
a. Pihak Penggugat
1) Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, maka
terbukti secara hukum Tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum (onrechmatigedaad) yang telah merugikan Penggugat.
2) Bahwa perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) yang
dilakukan Tergugat adalah melakukan tindak pidana penipuan
terhadap Penggugat sebagaimana dimaksud dan ditentukan dalam
Pasal 378 KUHPidana. Hal ini telah terbukti karena perkara tersebut
telah diputus di Pengadilan Negeri Medan dalam putusan Nomor :
2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, yang mana putusan tersebut telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Bahwa selanjutnya
Tergugat saat ini sedang menjalani hukuman yaitu pidana penjara
selama 1 (satu) tahun atas kesalahannya yang terbukti melakukan
tindak pidana tersebut.
3) Dengan demikian terbukti dengan putusan Nomor 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn,
bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,-
(seratus lima puluh juta rupiah). Dengan demikian patut dan cukup
beralasan hukum Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara ini untuk menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil
kepada Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh
59
4) Bahwa selain kerugian materil Penggugat juga mengalami kerugian
lain secara materil akibat perbuatan Tergugat berupa :
a) Biaya perongkosan dan biaya taktis dalam proses pidana :
Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
b) Kerugian Penggugat akibat tidak bekerja : Rp.15.000.000,- (lima
belas juta rupiah)
5) Bahwa oleh karena kerugian materil Penggugat tersebut juga secara
nyata adalah akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
Tergugat maka patut dan cukup beralasan hukum Majelis Hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menghukum
Tergugat membayar ganti rugi materil kepada Penggugat berupa
biatya untuk proses pidana dan kerugian karena terpaksa tidak bekerja
sejumlah Rp.10.000.000,- + Rp.15.000.000,- = Rp.25.000.000,- (dua puluh
lima juta rupiah).
6) Bahwa selain kerugian materil, Penggugat juga telah sangat
dirugikan secara moril (immaterial) akibat perbuatan melawan
hukum yang dilakukan Tergugat, kerugian immaterial mana
setidak-tidaknya adalah rasa malu yang dialami Penggugat di tengah-tengah
masyarakat, yang tidak ternilai besarnya, namun untuk memudahkan
perhitungan Penggugat membuat penilaian dalam bentuk uang yaitu
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Dengan demikian pautut
dan cukup beralasan hukum Majelis Hakim yang memeriksa dan
rugi immaterial kepada Penggugat sejumlah Rp.1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).
7) Bahwa karena Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum,
sehingga terpaksa Penggugat harus mengajukan gugatan ini dengan
menggunakan jasa lawyer dengan membayar honorarium sebesar
Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), maka patut dan
beralasan menurut hukum, yang mulia Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini menghukum Tergugat untuk
membayar ganti rugi jasa lawyer sebesar Rp.80.000.000,- (delapan
puluh juta rupiah).
8) Bahwa untuk menjamin Tergugat tidak lalai dalam mematuhi dan
menjalankan isi putusan ini secara sukarela dan sempurna, maka
patut dan beralasan menurut hukum, yang mulia Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini menghukum Tergugat untuk
membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar
Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) per hari jika lalai menjalankan isi
putusan dalam perkara ini dilaksanakan dan dijalankan seluruhnya
oleh Tergugat secara sukarela dan sempurna.
9) Bahwa Penggugat sangat meragukan sikap dan keberadaan Tergugat
untuk mematuhi dan menjalankan isi putusan dalam perkara ini.
Oleh karenanya, patut dan cukup beralasan menurut hukum, yang
mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini
untuk melakukan sita jaminan (conservatoir beslag) atas sebuah
61
Tergugat yang terletak di kota Medan, kecamatan Medan Tuntungan,
Kelurahan Mangga, Jl. Sagu-3 No.49 A, Perumnas Simalingkar.
10) Bahwa oleh karena gugatan yang diajukan Penggugat adalah
berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta yang cukup eksepsionil
adanya, yang mana perbuatan melawan hukum yang dilakukan
Tergugat yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sudah
terbukti dengan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,
maka patut dan beralasan menurut hukum, yang mulia Majelis
Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan
bahwa putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu
walaupun ada verzet, banding maupun kasasi (uit voerbaar bij
voorrad)
Berdasarkan alasan dan dalil-dalil yang telah diuraikan diatas, dengan
segala kerendahan hati pihak Penggugat memohon kepada yang mulia Bapak
Ketua Pengadilan Negeri Medan c.q. yang mulia Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini untuk mengambil dan menjatuhkan
putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
(a)Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya
(b)Menyatakan sah dan berharga atas sita jaminan (conservatoir
beslag) yang telah dijalankan dalam perkara ini.
(c)Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan
(d)Menyatakan Tergugat membayar ganti rugi materil kepada
Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah)
(e)Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil kepada
Penggugat berupa biaya untuk proses pidana dan kerugian karena
Penggugat terpaksa tidak bekerja sejumlah Rp. 25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah)
(f)Menghukum Tergugat membayar ganti rugi immaterial kepada
Penggugat sejumlah Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
(g)Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi jasa lawyer
sebesar Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah)
(h)Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom)
kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap
harinya terhitung sejak Tergugat lalai mematuhi dan menjalankan
isi putusan dalam perkara ini hingga Tergugat melaksanakannya
secara sukarela dan sempurna
(i)Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih
dahulu walaupun ada verzet, banding, maupun kasasi (uit
voerbaar bij voorraad)
(j)Menghukum Tergugat untuk membayar segala ongkos perkara
yang timbul dari perkara ini.
b. Pihak Tergugat
Bahwa Tergugat tidak pernah hadir dan pula tidak mengirimkan
63
dengan patut sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut sesuai relas panggilan
yang disampaikan oleh Jurusita Pengganti Lenta br Pinem, S.H oleh
karena itu Majelis bukanlah merupakan halangan untuk melanjutkan
pemeriksaan perkara ini tanpa kehadiran Tergugat.
B. Bentuk Ganti Kerugian Dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum Yang Mengakibatkan Kerugian (Studi Kasus Putusan Nomor.41/Pdt.G/2013/Pn.Mdn. Antara Gremeny Siahaan Dengan Tiromanta Sinambela,S.Pd)
Tuntutan ganti rugi dalam perkara perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta
Sinambela,S.Pd, bahwa penggugat selain menuntut ganti rugi sebesar
Rp.150.000.000,-, penggugat juga memohon agar tergugat untuk membayar
ganti rugi materiil berupa biaya untuk proses pidana, ganti rugi immateril,
serta membayar ganti rugi jasa lawyer yang disewa penggugat.
Pada dasarnya landasan hukum dan peristiwa yang menjadi dasar
permohonan, cukup memuat dan menjelaskan hubungan hukum (rechtsver
houding) antara diri pemohon dengan permasalahan hukum yang
dipersoalkan. Sehubungan dengan itu, fundamentum petendi atau posita
permohonan, pada prinsipnya didasarkan pada ketentuan pasal
undang-undang yang menjadi alasan permohonan, dengan menghubungkan ketentun
itu dengan peristiwa yang dihadapi pemohon.66
Sehubungan dengan itu, petitum permohonan tidak boleh melanggar atau
melampaui hak orang lain. Harus benar-benar murni merupakan permintaan
66
penyelesaian pemohon, dengan acuan sebagai berikut: 67
a. Isi petitum merupakan permintaan yang bersifat deklaratif
Pemohon meminta agar diktum penetapan pengadilan, memuat
pernyataan dengan kata-kata: menyatakan bahwa pemohon adalah
orang yang berkepentingan atas masalah yang dimohon.
b. Petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai
pemohon. Ukuran ini merupakan konsekuensi dari bentuk permohonan,
yang bersifat ex-parte atau sepihak saja.
c. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung
hukum). Ukuran ini, merupakan konsekuensi lebih lanjut dari sifat
ex-parte yang benar-benar melekat (inherent) dalam permohonan. Oleh
karena tidak ada pihak lawan atau tergugat, dengan sendirinya tidak ada
pihak yang ditimpakan hukuman
d. Petitum permohonan harus dirinci satu per satu tentang hal-hal yang
dikehendaki pemohon untuk ditetapkan Pengadilan kepadanya
e. Petitum tidak boleh bersifat compositur atau ex aequo et bono.
Petitum permohonan harus dirinci, jadi bersifat enumeratif. Oleh
karena itu, tidak dibenarkan petitum yang berbentuk mohon keadilan
saja.
Tetapi hakim atau pengadilan tidak diwajibkan mengabulkan semua
yang diminta dalam petitum secara utuh atau menyeluruh. Pengadilam
berwenang mengurangi petitum gugatan.
Salah satu kasus pengurangan petitum ialah dalam putusan ini, dimana
65
hakim hanya mengabulkan sebagian dari petitum penggugat. Hakim hanya
mengabulkan ganti rugi berupa uang sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah) saja. Untuk gugatan yang lain di luar uang tersebut, tidak
dikabulkan oleh hakim.
C. Tanggapan atas Putusan Hakim dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum yang Mengakibatkan Kerugian (Studi Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn)
1. Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, bahwa adapun maksud dan tujuan gugatan Penggugat
adalah sebagai berikut;
Menimbang bahwa, setelah Majelis membaca dan meneliti surat
gugatan Penggugat, ternyata dalil gugatannya adalah bahwa Tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) yang mengakibatkan
kerugian bagi Penggugat, dimana Tenggugat telah melakukan bujuk rayu dan
rangkaian kebohongan agar Penggugat menyerahkan uang sejumlah Rp.150.000.000,-
dimana Tergugat menjanjikan dapat memasukkan Penggugat menjadi PNS pada ujian
PNS 2010, namun setelah Penggugat menyerahkan uang sejumlah
Rp.150.000.000,- kepada Tergugat, ternyata setelah keluar pengumuman
PNS tersebut, nama Penggugat tidak keluar, dan setelah Penggugat
menanyakan kepada Tergugat namun sampai waktu yang dijanjikan ternyata
Tergugat tidak mengembalikan uang Penggugat, hingga akhirnya Penggugat
melaporkan Tergugat ke pihak yang berwajib dan Tergugat telah di proses
secara hukum dan telah diputus Pengadilan Negeri Medan dengan hukuman
penjara dan telah berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana putusan Nomor :
Menimbang bahwa terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah ada
Legal Standing dari Penggugat dan apakah Pengadilan Negeri Medan
berwenang mengadili perkara ini;
Menimbang bahwa, berdasarkan penelitian Majelis Hakim terhadap
surat-surat dalam berkas perkara dihubungkan dengan bukti yang diajukan
di persidangan dapatlah diketahui bahwa para pihak berdomisili di wilayah
hukum Pengadilan Negeri Medan, oleh karenanya Majelis berkesimpulan
bahwa Penggugat dapat mengajukan gugatan terhadap Tergugat dan
Pengadilan Negeri Medan berwenang mengadili perkara in casu ;
Menimbang bahwa, selanjutnya akan dipetimbangkan apakah gugatan
penggugat tersebut beralasan hukum dan tidak melawan hak;
Menimbang bahwa, untuk menguatkan dalil gugatannya, pihak
Penggugat telah mengajukan bukti surat yang mendukungnya yakni surat
tanda P-1 s/d P-3;
Menimbang bahwa, bukti surat P-1 adalah fotokopi kuitansi no.01
tertanggal 14 Januari 2010 sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh
juta rupiah) dari Penggugat kepada Tergugat sedangkan bukti surat tanda
P-2 adalah fotokopi surat tanda penerimaan laporan dari Kepolisian Negara
Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Kota Medan atas pengaduan
Penggugat terhadap Tergugat, dan surat P-3 adalah kutipan putusan daftar
pidana Pengadilan Negeri Medan No:2222/Pid.B/2012/PN.Mdn tertanggal
19 Desember 2012 atas nama Tiromanta Sinambela,Spd (Tergugat) sebagai
67
Menimbang bahwa, berdasarkan bukti P-1 dan P-2 dan dihubungkan
dengan bukti P-3, benar bahwa Tergugat telah menerima sejumlah uang dari
Penggugat yaitu sebesar Rp150.000.000,- yang dituangkan dalam kuitansi
yang ditandatangani Tergugat dan uang tersebut sebagai biaya untuk
pengurusan Penggugat sebagai PNS, namun ternyata Tergugat tidak
merealisasikan janjinya yang dapat memasukkan Penggugat sebagai PNS,
hingga akhirnya Penggugat melaporkan Tergugat ke pihak berwajib,
sebagaimana bukti P-2, dan akibat perbuatan Tergugat tersebut, Tergugat
telah di proses secara hukum di Pengadilan Negeri Medan sebagai
Terdakwa dalam perkara No.2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, tertanggal 19
Desember 2012 dimana Tergugat telah terbukti secara sah dan meyakinkan
telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu tindak pidana penipuan
terhadap Penggugat, yang mana akibat perbuatan tersebut, Penggugat telah
mengalami kerugian sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah) dimana putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(bukti P-3)
Menimbang bahwa, selanjutnya akan mempertimbangkan petitum
gugatan Penggugat;
Menimbang bahwa, petitum poin ke 2 ini tidak dapat dikabulkan karena
dalam perkara Majelis Hakim tidak ada meletakkan sita jaminan;
Menimbang bahwa, petitum poin ke 3 ini dapat dikabulkan karena
sebagaimana dipertimbangkan di atas, telah terbukti bahwa Tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum dengan meminta sejumlah uang dari
bohong belaka, hal ini telah terbukti dengan adanya putusan Pengadilan
Negeri Medan No: 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn tertanggal 19 Desember 2012
yang Tergugat telah dijatuhi hukuman pidana;
Menimbang bahwa, petitum poin ke 4 agar menghukum Tergugat
membayar ganti rugi materil kepada Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,-
(seratus lima puluh juta rupiah)
Menimbang bahwa, petitum poin 3 telah dikabulkan, maka patut
petitum ke 4 juga dikabulkan, karena Penggugat telah mengalami kerugian
sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) sebagaimana
putusan No.2222/Pid.B/2012/PN.Mdn atas nama Tergugat dan fotokopi
kuitansi terlampir Tergugat telah menerima uang sejumlah Rp.150.000.000,-
dari Penggugat;
Menimbang bahwa, petitum poin ke 5 dan ke 6, Majelis Hakim tidak
dapat mengabulkan karena petitum tersebut tidak didukung bukti yang
materil tentang kerugian Penggugat;
Menimbang bahwa, petitum poin ke 7, untuk membayar ganti rugi jasa
lawyer sebesar Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) Majelis tidak
dapat mengabulkannya karena penggunaan jasa lawyer adalah suatu
kebijakan Penggugat sendiri sehingga tidak patut dibebankan kepada
Tergugat dengan demikian petitum poin ke 7 patut ditolak.
Menimbang bahwa, petitum poin ke 8 agar Tergugat membayar uang
paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta
69
menjalankan isi putusan dalam perkara ini, Majelis dapat mengabulkannya
karena pokok perkara telah dikabulkan;
Menimbang bahwa, petitum poin ke 9 karena tidak memenuhi
ketentuan undang-undang maka patut untuk ditolak;
Menimbang bahwa, petitum ke 10, karena Tergugat dalam pihak yang
kalah, maka petitum ke 10 dapat dikabulkan.
2. Putusan Hakim Pengadilan yaitu :
a. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil secara patut tetapi
tidak hadir di persidangan.
b. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian tanpa hadirnya Tergugat.
c. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
(Onrechmatigedaad).
d. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil kepada Penggugat
sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
e. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom)
kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap
harinya terhitung sejak Tergugat lalai mematuhi dan menjalankan isi
putusan dalam perkara ini.
f. Menghukum Tergugat membayar ongkos perkara yang timbul dalam
perkara ini sebesar Rp.521.000,- (Lima ratus dua puluh satu ribu
rupiah_.
3. Analisis Putusan
a. Putusan Hakim dalam Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian tanpa
hadirnya Tergugat.
Pada dasarnya, proses pemeriksaan dan putusan verstek (default
judgement) diatur dalam Pasal 125 ayat (1) HIR, Pasal 78 Rv, mengatur
verstek terhadap Tergugat, yang memberi hak dan kewenangan bagi
hakim :
1) Untuk memeriksa dan menjatuhkan putusan di luar hadirnya
Tergugat;
2) Pemeriksaan dan putusan yang demikian disebut verstek (diluar
hadirnya Tergugat)
3) Syarat atas kebolehan verstek, apabila pada sidang pertama
Tergugat:
(a)Tidak hadir tanpa alasan yang sah (unreasonable default),
(b)Padahal Tergugat telah dipanggil secara sah (oleh juru sita) dan
patut (antara panggilan dengan hari sidang paling sedikit 3 hari)68 (c)Padahal Tergugat telah dipanggil secara sah (oleh juru sita) dan
patut (antara panggilan dengan hari sidang paling sedikit 3 hari)
Dalam kasus seperti ini, Pasal 125 ayat (1) HIR memberi hak dan
kewenangan yang bersifat fakultatif kepada hakim untuk menjatuhkan
putusan verstek (default judgement).
Berdasarkan pasal tersebut, hakim diberi wewenang untuk
menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadirnya Tergugat,
71
dengan syarat :69
1.1. Apabila Tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang
ditentukan tanpa alasan yang sah (default without reason),
1.2. Dalam hal seperti ini, hakim menjatuhkan putusan verstek yang
berisi diktum:
a.1. Mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian, atau
a.2. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak
mempunyai dasar hukum
Memperhatikan penjelasan di atas, pengertian teknis verstek ialah
pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan memutus
perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir di persidangan pada
tanggal yang ditentukan. Dengan demikian, putusan di ambil dan
dijatuhkan tanpa bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.
Kasus perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian,
antara pihak Penggugat, Gremeny Siahaan dengan pihak Tergugat yakni
Tiromanta Sinambela,S.Pd, bahwa, pihak Tergugat tidak pernah hadir di
persidangan dan pula tidak mengirimkan kuasanya yang sah untuk hadir di
persidangan, walaupun telah dipanggil dengan patut sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut sesuai relas panggilan yang disampaikan oleh Jurusita
Pengganti, Lenta br Pinem,S.H.
Dalam hal Tergugat tidak datang menghadiri panggilan sidang tanpa
alasan yang sah (default without reason), ditegaskan dalam Pasal 125 ayat
(1) HIR : 70
1. Tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau
2. Tidak menyuruh orang lain sebagai kuasa yang bertindak
mewakilinya,
3. Padahal tergugat telah dipanggil dengan patut, tetapi tidak
menghiraukan dan menaati panggilan tanpa alasan yang sah,
4. Dalam kasus seperti ini, hakim dapat dan berwenang menjatuhkan
putusan verstek, yaitu putusan di luar hadir tergugat.
Apabila Tergugat, yakni Tiromanta Sinambela,S.Pd, atau wakilnya
tidak hadir memenuhi panggilan pemeriksaan di sidang pengadilan yang
ditentukan, padahal telah dipanggil dengan patut, kepada Tergugat dapat
dikenakan hukuman berupa penjatuhan putusan verstek.
b. Putusan Hakim menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum (onrechmatigedaad).
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa suatu perbuatan
dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum bila perbuatan tersebut
memenuhi lima unsur , yakni harus ada perbuatan, perbuatan tersebut
harus melawan hukum, ada kerugian bagi korban, adanya hubungan sebab
akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, adanya
kesalahan (schuld). Dalam hal ini, penulis akan menganalisis dari aspek
perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Tergugat,
berdasarkan bukti-bukti dan posita gugatan yang diajukan oleh Penggugat,
serta pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini. Walaupun
73
putusan ini dilakukan dengan cara verstek, tetapi, masih dimungkinkan
untuk Tergugat mengajukan verzet (putusan perlawanan).
1. Harus ada perbuatan
Pada dasarnya, suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu
perbuatan dari si pelakunya. Di dalam putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn
antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta Sinambela, S.Pd, perbuatan
yang dilakukan oleh Tergugat tersebut ialah melakukan bujuk rayu dan
rangkaian-rangkaian kebohongan agar Penggugat menyerahkan uang
sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
2. Perbuatan tersebut melawan hukum
Bahwa sebagaimana berlaku dalam yurisprudensi sejak Hoge Raad
1919 Arrest 31 Januari 1919, mengenai perbuatan melawan hukum
yang telah diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan masih berlaku
hingga saat ini, maka perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan
yang tidak saja melanggar undang-undang negara, tetapi juga termasuk
pada kesusilaan, kepatutan, dan perbuatan yang melanggar hak orang
lain.
Perbuatan yang dilakukan oleh Penggugat telah memenuhi
unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHPidana71
71 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
. Hal ini diperkuat dengan putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, yang
mana putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van
penjara selama 1 (satu) tahun atas kesalahan tersebut dan terbukti
melakukan tindak pidana. Maka patut dan beralasan hukum Majelis
hakim menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan
melawan hukum (onrechmatigedaad)
3. Ada kerugian bagi korban
Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
tergugat tersebut, telah menimbulkan kerugian material dan immaterial
bagi penggugat. Dengan dijatuhkannya hukuman pidana dalam putusan
no: 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, telah menunjukkan bahwa tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum. Walaupun Tergugat telah
menjalani hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun, tetapi sama sekali
tidak menghapuskan kewajiban Tergugat membayar ganti rugi kepada
Penggugat.
Ganti Rugi untuk korban tindak pidana pada dasarnya dapat
dilakukan melalui tiga cara yaitu;72
a) melalui penggabungan perkara ganti kerugian,
b) melalui gugatan perbuatan melawan hukum, dan
c) melalui permohonan restitusi.
Dalam hal ini, yang akan dibahas hanya tentang poin b. Mekanisme
lain yang tersedia adalah menggunakan gugatan perdata biasa dengan
model gugatan perbuatan melawan hukum. Dalam gugatan ini,
Penggugat, dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus menunggu
adanya putusan Pengadilan yang telah memutus perkara pidana yang
75
dilakukan oleh Pelaku (Tergugat).
Sebagaimana di dalam Pasal 1365 KUHPerdata73
4. Adanya hubungan sebab akibat
, dikarenakan
Tergugat sudah terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum
terhadap Penggugat, berupa perbuatan melawan hukum yaitu tindak
pidana penipuan yang telah mengakibatkan kerugian bagi Penggugat
dan sudah terbukti dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde) maka sangat patut dan beralasan
hukum untuk Tergugat membayar sejumlah ganti rugi kepada Pergugat.
Ajaran kausalitas dalam bidang hukum perdata adalah untuk
mencermati adanya hubungan kausal sebab akibat antara perbuatan
melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Teori yang berkaitan
adalah ajaran Von Buri yang dikenal dengan nama teori conditio sine
qua non yang berarti syarat mutlak. Suatu kejadian yang merupakan
akibat biasanya ditimbulkan oleh beberapa peristiwa atau keadaan atau
faktor yang satu sama lainnya merupakan suatu rangkaian yang
berhubungan. Karena itu teori ini disebut pula “teori-syarat” atau “teori
conditio sine qua non”. Artinya, tanpa adanya syarat itu, akibat tersebut
tidak akan timbul.74
73 Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena salahnya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Hubungan kausal yakni akibat tindak penipuan yang dilakukan oleh
74