• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Perbuatan Melawan Hukum yang Mengakibatkan Kerugian Berupa Penipuan Penawaran Jasa Pengurusan Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta Sinambela (Studi Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Perbuatan Melawan Hukum yang Mengakibatkan Kerugian Berupa Penipuan Penawaran Jasa Pengurusan Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta Sinambela (Studi Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn)"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Asnawi, M. Natsir, Hermeneutika Putusan Hakim, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta, 2014.

Azman, Nur Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Bandung: Penabur Ilmu, 2001)

Badrulzaman , Mariam Darus,dkk., Kompilasi Hukum Perikatan. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Badrulzaman, Mariam Darus, Hukum Perikatan Dalam KUH Perdata Buku

Ketiga, Penerbit: Citra Aditya, bandung, 2015. ______

, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, cet.2, PT.Alumni, Bandung, 2006.

Djojodirjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1982.

Fajar , Mukti ND. dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2010.

Fuady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005.

_____

, Konsep Hukum Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta,

2010.

Ibrahim, Jhonny Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif Bayumedia Publissing, Malang, 2011.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ke tujuh, Liberty yogyakarta, 2002.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.

Mulyadi, Lilik, Tuntutan Provisionil Dan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam

Hukum Acara Perdata, PT Alumni, Bandung,2012. _____

, Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Teori dan Praktik, PT Penerbit Djambatan, Jakarta, 2001.

(2)

Projodikoro, Wirjono, Perbuatan Melawan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000.

Simorangkir, J.C.T., dkk, Kamus Hukum, Penerbit: Aksara Baru. Jakarta, 1980.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2004

Subekti & Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1971.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.Intermasa, Jakarta , 1977.

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori Dan Analisis Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.

Tumpa, Harifin. A, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) Dan

Implementasinya di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

2010.

Widjaja, Gunawan & Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan Perikatan Yang

Lahir Dari Undang-Undang, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2003.

Yahman, Karakteristik Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penipuan, Prenadamedia Group, Jakarta,2007.

PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

INTERNET

(3)

BAB III

TINJAUAN TENTANG GANTI KERUGIAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UANG PAKSA (DWANGSOM)

A. Kerugian

Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian

bagi korban. Kerugian tersebut harus diganti oleh orang-orang yang dibebankan

oleh hukum untuk mengganti kerugian tersebut. Mengenai kerugian ini, dalam

beberapa bahasa dikenal dengan istilah berikut :

1. Bahasa Inggris : damages

2. Bahasa Belanda : nadeel

3. Bahasa Jerman : schaden

4. Bahasa Perancis : dommage

5. Bahasa Spanyol : dano

Sebenarnya hukum yang mengatur mengenai ganti rugi perdata ini sudah

dikenal dalam sejarah hukum. Dalam Lex Aquilia salah satu undang-undang yang

berlaku di zaman Romawi, konsep ganti rugi ini justru dapat terbaca dalam

chapter pertamanya, yang mengatur sebagai berikut :

Jika seseorang secara melawan hukum membunuh seorang budak belian

atau gadis hamba sahaya milik orang lain atau binatang ternak berkaki 4

(empat) milik orang lain, maka pembunuhnya harus membayar kepada

pemiliknya sebesar nilai tertinggi yang didapati oleh properti tersebut

tahun lalu. Ganti rugi tersebut menjadi berlipat 2 (dua) jika pihak tergugat

menolak tanggung jawabnya.39

(4)

a. Kerugian pada umumnya

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud Kerugian

adalah kondisi di mana sesorang tidak mendapatkan keuntungan dari apa

yang telah mereka keluarkan (modal).

Kerugian dalam hukum dapat dipisahkan menjadi dua (2) klasifikasi,

yakni kerugian materil dan kerugian immateril:40

Kerugian materil: Yaitu kerugian yang nyata-nyata ada yang diderita

oleh pemohon.

Kerugian immateril: Yaitu kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan

diterima oleh pemohon di kemudian hari atau

kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin

diterima oleh pemohon di kemudian hari.

Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah kerugian nyata yang

terjadi karena wanprestasi. Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan

membandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika

sekiranya tidak terjadi wanprestasi. Pengertian kerugian dikemukakan

oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke

nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini

ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh

pihak debitur. Lebih lanjut dibahas oleh Yahya Harahap, kalau begitu dapat

kita ambil suatu rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira sebesar

jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi

obyek perjanjian dibanding dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya

40

(5)

35

wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat besarnya ganti rugi ialah

“sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan

timbulnya kekurangan nilai keutungan yang akan diperolehnya.

Bila kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian

yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan.

Pengertian kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya

(bagaiaman dalam kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai akibat

pelanggaran norma) dengan situasi hipotesis (situasi itu akan menjadi

bagaimana andaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi).

Sehingga dapat ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi

berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu

perikatan (baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang)

dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak lain.41

b. Kerugian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum perdata, yang merupakan kiblatnya

hukum perdata di Indonesia, termasuk kiblat bagi hukum yang berkenaan

dengan perbuatan melawan hukum, mengatur kerugian dan ganti rugi dalam

hubungannya dengan perbuatan melawan hukum dengan 2 (dua) pendekatan

sebagai berikut:

1) Ganti rugi umum

2) Ganti rugi khusus

Yang dimaksud dengan ganti rugi umum dalam hal ini adalah ganti rugi

yang berlaku untuk semua kasus, baik untuk kasus-kasus wanprestasi

41

(6)

kontrak, maupun kasus-kasus yang berkenaan dengan perikatan lainnya,

termasuk karena perbuatan melawan hukum.

Ketentuan tentang ganti rugi yang umum ini oleh KUH Perdata diatur

dalam Bagian Keempat dari Buku Ketiga, mulai dari Pasal 1243 sampai

dengan Pasal 1252.

Dalam rumusan Pasal 1243 KUHPerdata dikatakan bahwa :

“Pergantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila debitor, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya dalam tggang waktu yang telah dilampaukannya.”

Dalam hal ini ganti rugi tersebut, KUH Perdata secara konsisten untuk

ganti rugi digunakan istilah 42

biaya, rugi, dan bunga

Pengertian dari biaya adalah setiap cost atau uang, atau apapun yang

dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan secara nyata oleh pihak

yang dirugikan, sebagai akibat dari wanprestasi dari kontrak atau sebagai

akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan

karena adanya perbuatan melawan hukum. Misalnya, biaya perjalanan,

konsumsi, biaya akta notaris, dan lain-lain.

Kemudian, yang dimaksud dengan “rugi” atau “kerugian” (dalam arti

sempit) adalah keadaan berkurang (merosotnya) nilai kekayaan kreditur

sebagai akibat dari adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari

tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya

pebuatan melawan hukum.

(7)

37

yang seharusnya diperoleh, tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur

karena adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak

dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya

perbuatan melawan hukum. Dengan begitu, pengertian bunga dalam istilah

sehari-hari, yang hanya berarti “bunga uang” (interest), yang hanya

ditentukan dengan presentase dari hutang pokoknya.

Selain dari ganti rugi umum yang diatur mulai dari Pasal 1243 KUH

Perdata, KUH Perdata juga mengatur ganti rugi khusus, yakni ganti rugi

khusus terhadap kerugian yang timbul dari perikatan-perikatan tertentu.

Hubungan dengan ganti rugi yang terbit dari suatu perbuatan melawan

hukum, selain dari ganti rugi dalam bentuk yang umum, KUH Perdata juga

menyebutkan pemberian ganti rugi terhadap hal-hal sebagai berikut :43

(a)Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365)

(b)Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1366

dan Pasal 1367)

(c)Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368)

(d)Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369)

(e)Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh

(Pasal 1370)

(f)Ganti rugi karena orang telah luka atau cacat anggota badan (Pasal

1371)

(g)Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372 sampai dengan

Pasal 1380)

(8)

Untuk ketiga model ganti rugi yang disebut terakhir tersebut, Pasal

1370, Pasal 1371, Pasal 1372, Pasal 1373, dan Pasal 1374 bahkan

memperinci cara menghitung ganti rugi dan model-model ganti rugi yang

dapat dituntut oleh pihak korban. 44

Pada asasnya bentuk dari ganti rugi yang lazim dipergunakan ialah

uang, oleh karena menurut ahli-ahli hukum perdata maupun yurisprudensi,

uang merupakan alat yang praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih

dalam menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain uang, masih ada

bentuk-bentuk lain yang diperlukan sebagai bentuk-bentuk ganti rugi, yaitu: pemulihan ke

keadaan semula (in natura) dan larangan untuk mengulangi. Keduanya ini

kalau tidak ditepati dapat diperkuat dengan uang paksa. Jadi, uang paksa

bukanlah merupakan bentuk atau wujud ganti rugi.45

1.1 Kerugian secara ekonomis, misalnya pengeluaran biaya pengobatan

dan rumah sakit.

Dilihat dari jenis konsekuensi dari perbuatan melawan hukum,

khususnya perbuatan melawan hukum terhadap tubuh orang, maka ganti

rugi dapat diberikan jika terdapat salah satu dari unsur-unsur sebagai berikut

1.2 Luka atau cacat terhadap tubuh korban.

1.3 Adanya rasa sakit secara fisik.

1.4 Sakit secara mental, seperti stres, sangat sedih, rasa bermusuhan yang

berlebihan, cemas, dan berbagai gangguan mental/jiwa, lainnya.

Dalam hal KUH Perdata tidak dengan tegas bahkan tidak mengatur

44 Ibid, hal.138 45

(9)

39

secara rinci tentang ganti rugi terntentu, atau tentang salah satu aspek dari

ganti rugi, maka hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan ganti rugi

tersebut sesuai dengan asas kepatutan, sejauh hal tersebut memang

dimintakan oleh pihak penggugat. Justifikasi terhadap kebebasan hakim ini

adalah karena penafsiran kata rugi, biaya dan bunga tersebut sangat luas dan

dapat mencakup hampir segala hal yang bersangkutan dengan ganti rugi.

Menurut KUH Perdata, ketentuan tentang ganti rugi karena akibat dari

perbuatan melawan hukum tidak jauh berbeda dengan ganti rugi karena

wanprestasi terhadap kontrak. Persyaratan-persyaratan terhadap ganti rugi

menurut KUH Perdata, khususnya ganti rugi karena perbuatan melawan

hukum adalah sebagai berikut :46 a. Komponen kerugian

Komponen dari suatu ganti rugi terdiri dari :

1) Biaya,

2) Rugi, dan

3) Bunga.

b. Starting point dari ganti rugi

Starting point atau saat mulainya dihitung adanya ganti rugi adalah

sebagai berikut :

(1) Pada saat dinyatakan wanprestasi, debitur tetap melalaikan

kewajibannya, ataupun

(2)Jika prestasinya adalah sesuatu yang harus diberikan, sejak saat

dilampauinya tenggang waktu dimana sebenarnya debitur sudah

(10)

dapat membuat atau memberikan prestasi tersebut.

c. Bukan karena alasan force majeure

Ganti rugi baru dapat diberikan kepada pihak korban jika kejadian

yang menimbulkan kerugian tersebut tidak tergolong ke dalam tindakan

force majeure.

d. Saat terjadinya kerugian

Suatu ganti rugi hanya dapat diberikan terhadap kerugian sebagai

berikut :

(1)Kerugian yang benar-benar dideritanya.

(2)Terhadap kerugian karena kehilangan keuntungan atau pendapatan

yang sedianya dapat dinikmati oleh korban.

e. Kerugian dapat diduga

Kerugian yang wajib diganti oleh pelaku perbuatan melawan

hukum adalah kerugian yang dapat diduga terjadinya. Maksudnya adalah

bahwa kerugian yang timbul tersebut haruslah diharapkan akan terjadi,

atau patut diduga akan terjadi, dugaan mana sudah ada pada saat

dilakukannya perbuatan melawan hukum tersebut.

Menentukan besarnya jumlah ganti rugi, undang-undang memberikan

beberapa pedoman, yaitu besarnya jumlah gani rugi itu ditentukan sendiri

oleh undang-undang, misalnya Pasal 1250 KUHPerdata antara lain

mengatakan bahwa:

(11)

41

Undang-undang yang ditunjuk Pasal 1250 KUHPerdata ini adalah

undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1948 Nomor

22 yang menetapkan besarnya jumlah bunga 6% (enam persen) setahun.

Oleh karena kelalaiannya, maka bunga itu dinamakan “bunga moratoir”

(bunga karena kelalaian).

1. Pihak-pihak sendiri menentukan besarnya jumlah ganti rugi.

2. Jika tidak ada ketentuan dalam undang-undang dan para pihak sendiri

juga tidak menentukan apa-apa, maka besarnya ganti rugi ini harus

ditentukan berdasarkan kerugian yang benar-benar telah terjadi, atau

dapat diduga sedemikian rupa sehingga keadaan kekayaan (vermogen)

dari si berpiutang harus sama seperti seandainya si berutang memenuhi

kewajibannya.

Kerugian yang jumlahnya melampaui batas, yang dapat diduga tidak boleh

dilimpahkan kepada debitur.47

B. Uang Paksa (Dwangsom)

Sebagaimana diketahui bersama bahwa lembaga uang paksa dari aspek

istilah merupakan terminologi kata “dwangsom” dalam rumpun Belanda atau kata

“astreinte” pada rumpun hukum Perancis. Kemudian ditinjau dari optik teori dan

praktik eksistensi uang paksa (dwangsom) ini lazim dijumpai pada hampir setiap

gugatan. Konkretnya, dalam perkara perdata kerap dituntut adanya uang paksa

oleh penggugat kepada pihak tergugat.48

Pada hakekatnya secara substansial di Indonesia dasar hukum penerapan

47 Mariam Darus Badrulzaman,dkk., Op.Cit., hal.24

48 Lilik Mulyadi,S.H.,M.H., Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Teori dan

(12)

uang paksa (dwangsom) menurut teori dan praktik di peradilan diatur di dalam

Pasal 606a dan Pasal 606b Rv (Stb. 1847-52 jo Stb. 1849-63 jo Stb.1938-360 jis

361,276), Ketentuan pasal 606a dan Pasal 606 Rv tersebut hanya mengatur secara

singkat tentang uang paksa (dwangsom) yang sebagai berikut :49

Berikut ini untuk memperoleh deskripsi memadai tentang pengaturan

lembaga uang paksa (dwangsom) dalam ketentuan Rv Belanda, yakni: Pasal 606a RV

“sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain daripada membayar sejumlah uang maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa”

Pasal 606b Rv:

“bila keputusan tersebut tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk melaksanakan keputusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh alas hak baru menurut hukum.”

Sedangkan apabila diperbandingkan ketentuan terhadap penerapan uang

paksa (dwangsom) dalam ketentuan hukum Belanda maka dirasakan lebih luas

dan lengkap ruang lingkup peraturannya. Pada ketentuan hukum Belanda

ketentuan tentang uang paksa (dwangsom) ini diatur dalam Pasal 611 a-i Rv

Belanda.

50

1. Atas tuntutan salah satu pihak, hakim dapat menghukum pihak lainnya untuk membayar sejumlah uang yang disebut uang paksa dalam hal tidak dipenuhi hukuman pokok tanpa mengurangi hak atas ganti rugi, apabila terhadap alasan untuk itu. Sesungguhnya uang paksa tidak dapat dijatuhkan dalam hal penghukuman untuk pembayaran sejumlah uang

Pasal 611a Rv Belanda :

(13)

43

2. Uang paksa dapat juga dituntut untuk pertama kalinya dalam verzet atau pada tingkat banding

3. uang paksa tidak berkekuatan, sebelum putusan yang memuat

dwangsom itu, diberitahukan kepada si terhukum.

4. Hakim dapat menentukan bahwa terhukum baru akan melaksanakan

dwangsom setelah lewat waktu yang ditentukan.

Pasal 611 b Rv Belanda redaksionalnya menyebutkan bahwa

Hakim dapat menentukan dwangsom dengan suatu jumlah sekaligus atau suatu jumlah untuk setiap jangka waktu atau untuk setiap pelanggaran. Dalam hal yang disebut kedua keadaan terakhir, hakim dapat juga menetapkan suatu jumlah tertentu, dwangsom yang lebih dan jumlah itu tidak berkekuatan.

Selanjutnya pasal 611 c Rv Belanda berbunyi, bahwa:

Uang paksa sekali telah ditetapkan menjadi hak sepenuhnya dari pihak

yaang memperoleh hak atas keputusan itu. Pihak ini dapat melaksanakan

uang paksa berdasarkan atas alas hak yang telah ditetapkan itu.

Selanjutnya ketentuan Pasal 611 d Rv Belanda dengan tegas menyebutkan bahwa :51

a. Atas permintaan dari terhukum, hakim yang telah menjatuhkan uang paksa, dapat menghapus uang paksa itu, menunda uang paksa itu selama jangka waktu yang ditetapkannya atau mengurangi jumlah atau jangka waktu uang paksa itu baik seluruhnya maupun sebagian, dalam hal tertentu tidak mungkin melaksanakan hukuman pokok.

b. Di dalam hal uang paksa telah berkekuatan, hakim tidak boleh menghapus atau mengurangi uang paksa itu, sebelum ternyata ketidakmungkinan itu.

Pasal 611f Rv Belanda redaksional selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

1) Setelah meninggalnya si terhukum, maka uang paksa yang telah ditetapkan dengan suatu jumlah tertentu untuk setiap jangka waktu, tidak berkekuatan hukum lagi, tetapi apabila uang paksa itu telah berkekuatan sebelum terhukum meninggal, tetap terutang. Uang paksa baru berkekuatan bagi ahli waris terhukum setelah hakim menetapkannya kembali, jadi mempunyai kepastian. Hakim dalam hal dapat merubah jumlah dan syarat-syarat uang paksa itu.

2) Uang paksa lainnya dapat dihapus atau dikurangi oleh hakim yang telah menetapkan uang paksa itu, atas tuntutan ahli waris si terhukum,

(14)

baik mengenai jumlah maupun waktunya, sejak terhukum meninggal dunia.

Kemudian Pasal 611 g Rv Belanda menyebutkan bahwa :

(a)Uang paksa kadaluarsa setelah lewat 6 bulan sejak hari keputusan uang paksa itu ditetapkan.

(b)Kadaluarsa juga tertunda karena pailit, dan ketentuan-ketentuan undang-undang lain menghalangi pelaksanaan uang paksa.

(c)Kadaluarsa juga tertunda sepanjang yang memperoleh hak atas hukuman itu secara patut tidak dapat dikenali.

Sedangkan ketentuan Pasal 611 h dan Pasal 611 i Rv Belanda

menyebutkan bahwa:52

Jadi, oleh karena dasar pengaturan uang paksa (dwangsom) di Indonesia

merupakan absorptie/serapan dari Rv Belanda dan secara historis yuridis Ketentuan-ketentuan pada kewenangan pengadilan dan

instansi banding tidak berlaku bagi uang paksa.

Pasal 611 i Rv Belanda yaitu, yang dimaksud hakim dalam bagian ketiga

ini termasuk juga para wasit.

Dari beberapa peraturan sebagaima di uraikan di atas jikalau diperbandingkan

secara selintas ternyata dimensi ketentuan uang paksa (dwangsom) dalam Rv

Belanda dirasakan lebih lengkap, sistematis, dan aktual ruang lingkupnya. Pada

ketentutan Rv yang termaktub dan diterapkan di Indonesia hanya mencakup 2

(dua) pasal yaitu Pasal 606a dan Pasal 606b Rv yang pardant dengan kententuan

Pasal 611a ayat (1) dan 606b Rv Belanda. Maka oleh karena itu terhadap

pengaturan uang paksa (dwangsom) berupa perubahan uang paksa/dwangsom

yang dapat berupa penghapusan penundaan atau pengurangan dwangsom (Pasal

611g Rv Belanda), kepailitan dwangsom (Pasal 611e Rv Belanda), dan lain

sebagainya tidak diatur secara tegas dalam ketentuan Rv Indonesia.

(15)

45

diterapkan di Indonesia bertitik tolak pada asas konkordansi, dan dengan melihat

kebutuhan mendesak praktik peradilan maka rasanya tidak ada bandingnya pada

Rv Indonesia (Stb.1847-52 jo Stb.1849-63 jo Stb.1938-360 jis 362, 276)

diterapkan (mutatis mutandis) sepanjang dianggap sepadan dengan materi

perkara, kemudian diterapkan secara selektif dan sifatnya kasuistis.53 1. Pengertian dan sifat dari tuntutan uang paksa

Apabila dikaji secara mendalam, maka ketentuan 606a Rv Pasal 611a

ayat (1) dengan tegas tidak ditemukan mengenai batasan dari tuntutan uang

paksa (dwangsom).54

a. Mr. P. A. Stein mengemukakan bahwa uang paksa (dwangsom) sebagai: Oleh karena itu, maka batasan tentang uang paksa didapatkan melalui

pandangan para doktrina, makna leksikon maupun visi praktisi hukum:

“sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan, hukuman tersebut

diserahkan kepada penggugat, di dalam hal sepanjang atau

sewaktu-waktu si terhukum tidak melaksanakan hukuman. Uang paksa ditetapkan

di dalam suatu jumlah baik berupa sejumlah uang paksa sekaligus,

maupun setiap jangka waktu atau setiap pelanggaran”

b. J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan J.T. prasetya menyebutkan

uang paksa (dwangsom) adalah :

“uang paksa yang ditetapkan sebagai hukuman yang harus dibayar

karena perjanjian yang tidak dipenuhi.”55

53 Ibid, hal.13 54

Lilik Mulyadi, Tuntutan Provisionil Dan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Hukum Acara Perdata, PT Alumni, Bandung,2012, hal.179

55 J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan Prasetya J.T., Kamus Hukum, Penerbit: Aksara

(16)

c. Subekti dan Tjitrosoedibio menyebutkan bahwa uang paksa

(dwangsom) itu adalah:

“sebegitu jauh suatu putusan pengadilan memutuskan penghukuman

untuk sesuatu lain daripada untuk membayar sejumlah uang, maka

dapatlah ditentukan di dalamnya, bahwa si terhukum tidak/belum

memenuhi keputusan tersebut, ia pun wajib membayar sejumlah uang

yang ditetapkan dalam putusan itu, uang mana disebut uang paksa (Pasal

605a Rechtsvordering). Dengan demikian maka uang paksa merupakan

suatu alat eksekusi secara tidak langsung.”56

Definisi sebagaimana tersebut di atas merupakan batasan secara teoretis

dan praktik tentang uang paksa (dwangsom) yang mana dari batasan

tersebut dapatlah ditarik beberapa sifat uang paksa adalah sebagai berikut : Dari teori tersebut maka dapatlah disimpulkan secara singkat dan

sederhana bahwa tuntutan uang paksa (dwangsom) itu adalah suatu tuntutan

tambahan yang dilakukan oleh penggugat/para penggugat kepada pihak

tergugat/para tergugat berupa sejumlah uang agar dalam putusan hakim

ditetapkan supaya terhukum harus membayarnya selain dari pembayaran

sejumlah uang jikalau hukuman pokok tersebut tidak dipenuhi oleh si

terhukum.

57

1) Pertama, bersifat accesoir, dengan pengertian bahwa : tidak ada

dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok. Dwangsom selalu harus

mengikuti hukuman pokok dengan kata lain bahwa dwangsom tidak

mungkin dijatuhkan tanpa hukuman pokok. Kalau seorang penggugat

(17)

47

dalam dalil (posita) gugatannya menyatakan bahwa tergugat telah lalai

menyerahkan barang yang dibelinya padahal barang tersebut telah

dibayar lunas. Akan tetapi penggugat dalam petitum gugatannya tidak

meminta agar tergugat dihukum untuk menyerahkan barang yang

dibelinya tersebut, penggugat hanya menuntut dwangsom (uang paksa),

maka hakim tidak dapat mengabulkan permintaan dwangsom tersebut

walaupun dalil gugatan penggugat terbukti. Apabila hukuman pokok

telah dilaksanakan oleh si terhukum maka dwangsom yang ditetapkan

bersama hukuman pokok tadi tidak berkekuatan hukum lagi. Apabila

penggugat yang menuntut penyerahan barang yang dibelinya dan

apabila tergugat lalai menyerahkan barang tersebut maka tergugat

dihukum untuk membayar uang paksa dan hakim mengabulkan

hukuman tersebut, maka apabila tergugat telah menyerahkan barang

yang dituntut itu kepada penggugat, maka dwangsom tidak berkekuatan

hukum lagi. Dengan kata lain, bahwa dwangsom yang ditetapkan tidak

berlaku lagi.

2) Kedua, yaitu hukuman tambahan. Ini berarti bahwa apabila hukuman

pokok yang ditetapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat dengan

suka rela, maka dwangsom diperlakukan (dapat dieksekusi). Apabila

dwangsom telah dilaksanakan tidak berarti bahwa hukuman pokok telah

hapus. Hukuman pokok masih tetap dapat dilaksanakan. Apabila hakim

dalam putusannya memerintahkan kepada tergugat menyerahkan barang

yang telah dibeli oleh penggugat disertai suatu dwangsom, maka apabila

(18)

pula untuk membayar uang paksa yang ditetapkan oleh hakim tersebut.

Apabila uang paksa yang ditetapkan oleh hakim telah dilaksanakan

terhukum, tetapi penyerahan barang yang diperintahkan oleh hakim

tidak dilaksanakan oleh tergugat, maka penyerahan barang tersebut

tetap wajib dilaksanakan oleh terhukum. Hukuman pokok tidak hapus

dengan adanya pelaksanaan dwangsom.

3) Ketiga, bersifat pressie middel yakni sebagai upaya tekanan agar

terhukum mau mematuhi atau melaksanakan hukuman pokok. Dengan

demikian dapat juga disebutkan upaya tekanan ini diharapkan dapat

menekan secara psikologis terhukum. Suatu dwangsom dimintakan

penggugat dalam surat gugatannya mungkin ada baiknya hakim dapat

mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, faktual dan penuh

kehati-hatian dalam menjatuhkan dwangsom. Tegasnya sepanjang

hakim telah mempertimbangkan dari aspek kearifan dan kehati-hatian

(discretionaire bevoegheid) tidak ada salahnya apabila dwangsom

dijatuhkan kepada terhukum agar terhukum secara psikologis

bersungguh-sungguh untuk dapat melaksanakan hukuman pokok.

Lembaga dwangsom adalah merupakan suatu alat eksekusi ini tidak

diragukan, karena penempatannya di Kitab Undang-Undang (Rechtsreglements

Burgerlijke Rechtsvordering) dalam Buku II yang berjudul “Tentang

Pelaksanaan Putusan dan Akta-Akta Autentik,” pembuat undang-undang

memandang dwangsom itu sebagai alat untuk memaksa agar putusan

pengadilan dilaksanakan. Hal ini tergambar di dalam rumusan ketentuan

(19)

49

adalah sisi lain dari eksekusi yang seolah-olah bekerja dari samping.58

Secara khusus perlu pula diperhatikan, bahwa suatu putusan dapat juga

berisi suatu keharusan untuk tidak melakukan hal-hal tertentu, yaitu berupa

larangan untuk melakukan sesuatu. Hal ini bertujuan agar di kemudian hari

tidak terjadi serangan yang merupakan pelanggaran dari apa yang tidak

boleh dilakukan oleh terhukum. Larangan seperti ini dapat diberikan apabila

ancaman itu serius. Dalam hal demikian hakim dapat menerapkan

dwangsom yang bertujuan agar larangan itu betul-betul ditaati. Dengan

sendirinya uang paksa itu baru dapat ditagih apabila larangan itu secara

nyata telah dilanggar. Eksekusi ditujukan kepada mereka yang menurut

putusan hakim dihukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan

dalam hal yang demikian dwangsom berfungsi untuk memaksa agar pokok

dilaksanakan dengan sukarela.

Eksekusi riil atau verhaal eksekusi bekerja secara langsung untuk

terlaksananya hukuman pokok sedangkan, dwangsom bekerja dari samping

yang merupakan alat penekan –seperti halnya penyanderaan (gijzeling) –

bagi terhukum agar si terhukum melakukan (te doen) atau menyerahkan

suatu benda (yang bukan berupa suatu jumlah uang) tertentu.

59

Pembayaran suatu jumlah uang secara paksa (setidak-tidaknya ancaman

untuk melakukan itu) digunakan sebagai alat pemaksa, maka alat pemaksa

ini tidak diperlakukan di dalam hal keputusan itu berupa pembayaran

sejumlah uang.

58 Harifin A.Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) Dan

(20)

Dengan melihat maksud dan tujuan dari dwangsom tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa dalam eksekusi riil hanya mempunyai dua (2) unsur ,

yaitu:60

(a)Adanya suatu ancaman (de bedreiging) yang bekerja secara psikis; dan

(b)Pelaksanaan secara paksa (de uitvoering geweld)

Sedangkan dwangsom mempunyai unsur yang lebih luas, yaitu:

1.1Ancaman yang berasal dari penerapan dwangsom;

1.2Berlakunya dwangsom; dan

1.3Tuntutan pelaksanaan dwangsom.

Adanya ancaman dari suatu kemungkinan penerapan dwangsom yang

kemudian diterapkan dan dilaksanakan secara paksa, si berutang diharapkan

melaksanakan secara sukarela apa yang ditentukan dalam hukuman pokok,

sebelum dwangsom betul-betul dilaksanakan.

2. Jenis uang paksa (dwangsom) menurut teori dan praktek

Rumusan ketentuan Pasal 611 b (Rv Belanda) mengatur, bahwa hakim

dapat menetukan dwangsom dengan suatu jumlah sekaligus atau suatu

jumlah untuk setiap jangka waktu atau untuk setiap pelanggaran. Dalam hal

yang disebut dua terakhir, hakim dapat menetapkan suatu jumlah tertentu,

dwangsom yang lebih dari jumlah itu tidak berkekuatan.61

a. Suatu jumlah sekaligus misalnya Rp. 15.000.000,- apabila tidak

melakukan perbuatan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah aanmaning. Dari ketentuan ini, maka hakim dapat menentukan, bahwa:

b. Suatu jumlah untuk setiap jangka waktu, misalnya Rp. 100.000,- setiap

(21)

51

hari jika ia tidak melaksanakan prestasi yang ditetapkan.

c. Suatu jumlah uang untuk setiap pelanggaran misalnya Rp. 100.000,-

untuk setiap kali terhukum tidak mau menyerahkan anak yang akan

dibawa oleh bapaknya ber-weekend.

Sebagaimana tertera dalam no. 2 dan no. 3 di atas, hakim juga dapat

menentukan suatu jumlah tertentu, yang merupakan batas maksimalnya,

misalnya:

Terhukum dihukum dwangsom Rp. 100.000,- setiap kali tidak melakukan

prestasi atau Rp.100.000,- setiap kali terhukum melakukan pelanggaran

dengan ketentuan dwangsom setinggi-tingginya Rp.10.000.000,- lebih dari

itu, dwangsom tidak perlu dibayar. Jadi kalau misalnya terhukum dihukum

Rp.100.000,- setiap tidak melakukan prestasi dan hal itu dilakukan selama 1

tahun, maka kalau tidak ada pembatasan dari hakim si terhukum harus

membayar dwangsom 365 x Rp.100.000,- = Rp.36.500.000,- tetapi di sini

hakim dapat menetapkan jumlah maksimum Rp.10.000.000,-.

3. Uang paksa (dwangsom), hukuman pokok, dan ganti kerugian

Mengacu pada pengertian dwangsom yang telah dijelaskan di atas,

dimana antara lain dikatakan bahwa suatu dwangsom yang ditetapkan oleh

hakim di dalam putusannya adalah hukuman yang bersifat accesoir, yaitu

hukuman yang mengikut pada hukuman pokok. Tidak mungkin ada suatu

dwangsom tanpa hukuman pokok, tetapi hukuman pokok mungkin ada tanpa dwangsom. Dengan kata lain, tidaklah mutlak atau tidaklah selalu suatu

hukuman pokok itu harus disertai dengan dwangsom (sanksi tambahan).

(22)

kepada si A. Apabila si B lalai menyerahkan keris tersebut, maka si B

dihukum untuk membayar uang paksa Rp.1000.000,- setiap hari. Di dalam

kasus seperti ini, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan hanya pada

penghukuman dwangsom, tanpa menghukum si B untuk menyerahkan keris

tersebut.

Pasal 611 a RV Belanda, juga cukup jelas maknanya, yaitu hukuman

dwangsom baru berlaku setelah hukuman pokok tidak dilaksanakan.62

Kajian historis menunjukkan bahwa pada waktu pembahasan rancangan

undang-undang di Parlemen Belanda sewaktu dwangsom akan dimasukkan

ke dalam perundang-undangan Belanda tersebut, ternyata disepakati bahwa

dwangsom harus dilepaskan dari suatu ganti rugi, bunga ataupun denda.

dengan suatu pembayaran suatu dwangsom, dimana si berutang harus

membayar dwangsom karena dia tidak menaati perintah yang ditentukan

oleh pengadilan. Itu berarti bahwa apabila si berutang tetap melalaikan

hukuman pokok yang disertai suatu ganti rugi, ia harus pula membayar

dwangsom, jadi si berutang harus membayar dua kali, baik melalui dwangsom maupun melalui ganti rugi-kepada pihak lainnya. Pembayaran

ganti rugi kepada penggugat sama sekali harus dilepaskan dari pikiran

tentang kewajiban membayar ganti rugi kepada pemenang. Hal ini dapat kita

simpulkan dari rumusan ketentuan Pasal 611a ayat 1 dan Pasal 611c Rv

Belanda.63

62 Ibid, hal.23

Pasal 611a Rv Belanda tersebut menyatakan bahwa hakim dapat

menghukum pihak lainnya (tergugat) untuk membayar sejumlah uang, yang

(23)

53

tersebut berdasar. Sedangkan menurut rumusan Pasal 611c menentukan

bahwa setiap dwangsom yang berkekuatan hukum menjadi hak atas

penghukuman itu.64

Bila melihat dan mencermati rumusan-rumusan ketentutan tentang

dwangsom, baik yang berlaku di Indonesia maupun yang berlaku di negeri

Belanda, maka akan diketahui bahwa hakim di dalam menerapkan

dwangsom mempunyai kewenangan diskretionair (kebijaksanaan) untuk

mengabulkan atau tidak suatu permohonan dwangsom. Pemahaman seperti

tersebut, dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 606a atau 611a ayat (1) Rv,

yang antara lain rumusan ketentuannya:

Oleh karena hukuman dwangsom harus dijatuhkan bersama dengan

hukuman pokok, tidak mungkin ada hukuman dwangsom tanpa hukuman

pokok. Kemungkinan eksekusi riil bukanlah halangan untuk menjatuhkan

dwangsom. Kalau hukuman pokok itu misalnya adalah pengosongan sebuah

rumah yang dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil melalui juru sita dan

dibantu dengan alat-alat negara, tidaklah berarti bahwa dwangsom tidak

boleh dijatuhkan, justru dengan menjatuhkan dwangsom kemungkinan

kesulitan di dalam eksekusi riil yang dihadapi dapat dihindari.

65

Hakim “dapat”, yang berarti kata “dapat” memberi arti bahwa hakim di

dalam menjatuhkan dwangsom atau tidak, di dalam suatu perkara tergantung

pada keadaan-keadaan, misalnya hakim memahami betul bahwa pihak

debitur nantinya tidak akan mampu memenuhi prestasi pokok sehingga

rangsangan dalam memenuhi hukuman pokok untuk itu, hakim harus

(24)

memerhatikan kemampuan terhukum, juga seperti atau badan-badan hukum

publik lain, dimana hakim memahami bahwa negara, kalau terhukum

dikenakan dwangsom tentunya akan mematuhi prestasi pokok secara

sukarela (vrijwilling).

Meskipun demikian, terdapat satu hal yang patut dipahami dengan baik

bahwa sekalipun hakim memiliki diskretionair didalam menerapkan

dwangsom, namun dwangsom tidaklah dapat diterapkan atas dasar

jabatannya (ambtshalve), sehingga suatu gugatan tanpa dimohonkan adanya

dwangsom, maka hakim tidak boleh mengenakan dwangsom.

Untuk pelaksanaan dwangsom tersebut, dalam praktiknya di dalam

dunia peradilan sesuai hukum eksekusi, perhitungan dwangsom dimulai

sejak masa peringatan dilampaui oleh tereksekusi, yaitu 8(delapan) hari

sejak aanmaning, sedangkan kalau terjadi penundaan eksekusi, maka

dwangsom tidak terutang atau diperhitungkan, yang berarti jumlah uang

paksa selama penundaan tidak dapat dibayarkan dari kekayaan terhukum

(25)

BAB IV

PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN (STUDI PUTUSAN NO.41/PDT.G/2013/PN.MDN)

A. Kasus Posisi

1. Tentang Duduk Perkara

Bahwa Penggugatnya adalah Gremeny Siahaan, laki-laki, lahir di

Medan tanggal 09 Januari 1986, pekerjaan Wiiraswasta, beralamat di Medan,

Perumnas Simalingkar Jl. Vanili Raya No. 78. Dalam hal ini diwakili oleh kuasa

hukumnya, yakni Advokat, Pengacara & Penasihat Hukum dari Law Office Boni

F.Sianipar,S.H.,M.Hum & Partners yang beralamat di Medan, Jl. Sei Merah

No.27.

Selanjutnya ialah kedudukan Tergugat yaitu bernama Tiromanta

Sinambela, S.Pd, perempuan, lahir di Bakara tanggal 14 September 1966,

pekerjaan Ibu Rumah Tangga, beralamat di Medan, Kecamatan Medan

Tuntungan, Kelurahan Mangga, Jl. Sagu-3 No.49 A, Perumnas Simalingkar.

Bahwa pada bulan Desember tahun 2009 Tergugat datang menemui

Penggugat di halaman Gereja HKPB Simalingkar pada saat Penggugat pulang dari

Gereja untuk menawarkan jasa mengurus Penggugat menjadi Pegawai Negeri

Sipil (PNS). Pada saat itu Tergugat menyanyakan apakah Penggugat ada

mengikuti ujian penerimaan PNS bulan September Tahun 2009 dan lulus

tidaknya Pengugat dalam ujian tersebut. Yang kemudian Penggugat menjawab

bahwa ia tidak lulus ujian penerimaan PNS tersebut. Lalu Tergugat mengatakan

bahwa Tergugat dapat dan mampu mengurus Penggugat agar lulus pada

(26)

pengumuman, tetapi SK pengangkatan belum keluar, jadi Tergugat walaupun

sudah keluar pengumuman, tetapi SK pengangkatan belum keluar, jadi Tergugat

menyatakan bisa mengurus agar keluar SK pengangkatan PNS atas nama

Penggugat dengan sisipan. Setelah Tergugat menawarkan jasa pengurusan PNS

sebagai bujuk rayu tersebut, selanjutnya Tergugat mengatakan bahwa syarat

pengurusan PNS adalah bukti bahwa Tergugat pernah ikut ujian PNS, fotocopy

ijazah yang dilegalisir dan biaya pengurusan sebesar Rp.150.000.000,- (seratus

lima puluh juta rupiah), yang mana uang sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima

puluh juta rupiah) diminta untuk diserahkan Penggugat kepada Tergugat

selambat-lambatnya bulan Januari 2010.

Bahwa pada tanggal 14 Januari 2010 Penggugat datang ke rumah

Tergugat bersama dengan kedua orang kerabat Penggugat yaitu Martahan

Sihombing dan Lusinda br. Siahaan serta seorang teman Penggugat bernama

Kasandra br. Silaen. Pada saat itu, Tergugat mengatakan bahwa ia dapat

menjamin Penggugat menjadi PNS dan jika tidak masuk menjadi PNS, uang

Penggugat akan dikembalikan seluruhnya selambat-lambatnya pada bulan April

2010. Karena bujuk rayu tersebut, maka Penggugat menyerahkan uang sejumlah

Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Kemudian Tergugat membuat

dan menandatangani kuitansi tanda terima uang tertanggal 14 Januari 2010.

Karena tidak ada informasi mengenai SK pengangkatan PNS atas nama

Penggugat, maka pada bulan Juni 2010 Penggugat meminta pengembalian uang

kepada Tergugat. Tetapi hingga bulan Maret 2011, Tergugat tetap tidak dapat

mengembalikan uang tersebut kepada Tergugat. Tergugat selalu menghindar jika

(27)

57

Bahwa pada sekitar bulan Maret 2012, Penggugat melaporkan Tergugat

ke Kepolisian Resor Kota Medan atas dugaan tindak pidana penipuan

sebagaimana dimaksud dan ditentukan dalam Pasal 378 KUHPidana.

Bahwa laporan Penggugat tersebut diproses secara hukum, hingga ke

tingkat pemeriksaan di sidang Pengadilan pada Pengadilan Negeri Medan.

Akhirnya pada tanggal 19 Desember 2012 perkara tersebut telah diputus di

Pengadilan Negeri Medan dalam Putusan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn,

dengan amar putusan sebagai berikut :

a. Menyatakan Terdakwa Tiromanta Sinambela, S.Pd telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan.

b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 1(satu) tahun.

c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan

d. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan

e. Menetapkan barang bukti berupa :

Fotokopi 1 (satu) lembar kwitansi untuk pembayaran pinjaman tertanggal

Medan, 14 Januari 2010 senilai Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh

juta rupiah) tetap terlampir dalam berkas perkara.

f. Membebani Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.1000,-

(seribu rupiah)

Kemudian, berdasarkan putusan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn,

Penggugat mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Medan, untuk

(28)

2. Fakta dan dasar hukum

a. Pihak Penggugat

1) Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, maka

terbukti secara hukum Tergugat telah melakukan perbuatan melawan

hukum (onrechmatigedaad) yang telah merugikan Penggugat.

2) Bahwa perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) yang

dilakukan Tergugat adalah melakukan tindak pidana penipuan

terhadap Penggugat sebagaimana dimaksud dan ditentukan dalam

Pasal 378 KUHPidana. Hal ini telah terbukti karena perkara tersebut

telah diputus di Pengadilan Negeri Medan dalam putusan Nomor :

2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, yang mana putusan tersebut telah

berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Bahwa selanjutnya

Tergugat saat ini sedang menjalani hukuman yaitu pidana penjara

selama 1 (satu) tahun atas kesalahannya yang terbukti melakukan

tindak pidana tersebut.

3) Dengan demikian terbukti dengan putusan Nomor 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn,

bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang

mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,-

(seratus lima puluh juta rupiah). Dengan demikian patut dan cukup

beralasan hukum Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili

perkara ini untuk menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil

kepada Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh

(29)

59

4) Bahwa selain kerugian materil Penggugat juga mengalami kerugian

lain secara materil akibat perbuatan Tergugat berupa :

a) Biaya perongkosan dan biaya taktis dalam proses pidana :

Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)

b) Kerugian Penggugat akibat tidak bekerja : Rp.15.000.000,- (lima

belas juta rupiah)

5) Bahwa oleh karena kerugian materil Penggugat tersebut juga secara

nyata adalah akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh

Tergugat maka patut dan cukup beralasan hukum Majelis Hakim

yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menghukum

Tergugat membayar ganti rugi materil kepada Penggugat berupa

biatya untuk proses pidana dan kerugian karena terpaksa tidak bekerja

sejumlah Rp.10.000.000,- + Rp.15.000.000,- = Rp.25.000.000,- (dua puluh

lima juta rupiah).

6) Bahwa selain kerugian materil, Penggugat juga telah sangat

dirugikan secara moril (immaterial) akibat perbuatan melawan

hukum yang dilakukan Tergugat, kerugian immaterial mana

setidak-tidaknya adalah rasa malu yang dialami Penggugat di tengah-tengah

masyarakat, yang tidak ternilai besarnya, namun untuk memudahkan

perhitungan Penggugat membuat penilaian dalam bentuk uang yaitu

Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Dengan demikian pautut

dan cukup beralasan hukum Majelis Hakim yang memeriksa dan

(30)

rugi immaterial kepada Penggugat sejumlah Rp.1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah).

7) Bahwa karena Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum,

sehingga terpaksa Penggugat harus mengajukan gugatan ini dengan

menggunakan jasa lawyer dengan membayar honorarium sebesar

Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), maka patut dan

beralasan menurut hukum, yang mulia Majelis Hakim yang

memeriksa dan mengadili perkara ini menghukum Tergugat untuk

membayar ganti rugi jasa lawyer sebesar Rp.80.000.000,- (delapan

puluh juta rupiah).

8) Bahwa untuk menjamin Tergugat tidak lalai dalam mematuhi dan

menjalankan isi putusan ini secara sukarela dan sempurna, maka

patut dan beralasan menurut hukum, yang mulia Majelis Hakim yang

memeriksa dan mengadili perkara ini menghukum Tergugat untuk

membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar

Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) per hari jika lalai menjalankan isi

putusan dalam perkara ini dilaksanakan dan dijalankan seluruhnya

oleh Tergugat secara sukarela dan sempurna.

9) Bahwa Penggugat sangat meragukan sikap dan keberadaan Tergugat

untuk mematuhi dan menjalankan isi putusan dalam perkara ini.

Oleh karenanya, patut dan cukup beralasan menurut hukum, yang

mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini

untuk melakukan sita jaminan (conservatoir beslag) atas sebuah

(31)

61

Tergugat yang terletak di kota Medan, kecamatan Medan Tuntungan,

Kelurahan Mangga, Jl. Sagu-3 No.49 A, Perumnas Simalingkar.

10) Bahwa oleh karena gugatan yang diajukan Penggugat adalah

berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta yang cukup eksepsionil

adanya, yang mana perbuatan melawan hukum yang dilakukan

Tergugat yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sudah

terbukti dengan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,

maka patut dan beralasan menurut hukum, yang mulia Majelis

Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan

bahwa putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu

walaupun ada verzet, banding maupun kasasi (uit voerbaar bij

voorrad)

Berdasarkan alasan dan dalil-dalil yang telah diuraikan diatas, dengan

segala kerendahan hati pihak Penggugat memohon kepada yang mulia Bapak

Ketua Pengadilan Negeri Medan c.q. yang mulia Majelis Hakim yang

memeriksa dan mengadili perkara ini untuk mengambil dan menjatuhkan

putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

(a)Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya

(b)Menyatakan sah dan berharga atas sita jaminan (conservatoir

beslag) yang telah dijalankan dalam perkara ini.

(c)Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan

(32)

(d)Menyatakan Tergugat membayar ganti rugi materil kepada

Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta

rupiah)

(e)Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil kepada

Penggugat berupa biaya untuk proses pidana dan kerugian karena

Penggugat terpaksa tidak bekerja sejumlah Rp. 25.000.000,- (dua

puluh lima juta rupiah)

(f)Menghukum Tergugat membayar ganti rugi immaterial kepada

Penggugat sejumlah Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)

(g)Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi jasa lawyer

sebesar Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah)

(h)Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom)

kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap

harinya terhitung sejak Tergugat lalai mematuhi dan menjalankan

isi putusan dalam perkara ini hingga Tergugat melaksanakannya

secara sukarela dan sempurna

(i)Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih

dahulu walaupun ada verzet, banding, maupun kasasi (uit

voerbaar bij voorraad)

(j)Menghukum Tergugat untuk membayar segala ongkos perkara

yang timbul dari perkara ini.

b. Pihak Tergugat

Bahwa Tergugat tidak pernah hadir dan pula tidak mengirimkan

(33)

63

dengan patut sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut sesuai relas panggilan

yang disampaikan oleh Jurusita Pengganti Lenta br Pinem, S.H oleh

karena itu Majelis bukanlah merupakan halangan untuk melanjutkan

pemeriksaan perkara ini tanpa kehadiran Tergugat.

B. Bentuk Ganti Kerugian Dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum Yang Mengakibatkan Kerugian (Studi Kasus Putusan Nomor.41/Pdt.G/2013/Pn.Mdn. Antara Gremeny Siahaan Dengan Tiromanta Sinambela,S.Pd)

Tuntutan ganti rugi dalam perkara perbuatan melawan hukum yang

mengakibatkan kerugian antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta

Sinambela,S.Pd, bahwa penggugat selain menuntut ganti rugi sebesar

Rp.150.000.000,-, penggugat juga memohon agar tergugat untuk membayar

ganti rugi materiil berupa biaya untuk proses pidana, ganti rugi immateril,

serta membayar ganti rugi jasa lawyer yang disewa penggugat.

Pada dasarnya landasan hukum dan peristiwa yang menjadi dasar

permohonan, cukup memuat dan menjelaskan hubungan hukum (rechtsver

houding) antara diri pemohon dengan permasalahan hukum yang

dipersoalkan. Sehubungan dengan itu, fundamentum petendi atau posita

permohonan, pada prinsipnya didasarkan pada ketentuan pasal

undang-undang yang menjadi alasan permohonan, dengan menghubungkan ketentun

itu dengan peristiwa yang dihadapi pemohon.66

Sehubungan dengan itu, petitum permohonan tidak boleh melanggar atau

melampaui hak orang lain. Harus benar-benar murni merupakan permintaan

66

(34)

penyelesaian pemohon, dengan acuan sebagai berikut: 67

a. Isi petitum merupakan permintaan yang bersifat deklaratif

Pemohon meminta agar diktum penetapan pengadilan, memuat

pernyataan dengan kata-kata: menyatakan bahwa pemohon adalah

orang yang berkepentingan atas masalah yang dimohon.

b. Petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai

pemohon. Ukuran ini merupakan konsekuensi dari bentuk permohonan,

yang bersifat ex-parte atau sepihak saja.

c. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung

hukum). Ukuran ini, merupakan konsekuensi lebih lanjut dari sifat

ex-parte yang benar-benar melekat (inherent) dalam permohonan. Oleh

karena tidak ada pihak lawan atau tergugat, dengan sendirinya tidak ada

pihak yang ditimpakan hukuman

d. Petitum permohonan harus dirinci satu per satu tentang hal-hal yang

dikehendaki pemohon untuk ditetapkan Pengadilan kepadanya

e. Petitum tidak boleh bersifat compositur atau ex aequo et bono.

Petitum permohonan harus dirinci, jadi bersifat enumeratif. Oleh

karena itu, tidak dibenarkan petitum yang berbentuk mohon keadilan

saja.

Tetapi hakim atau pengadilan tidak diwajibkan mengabulkan semua

yang diminta dalam petitum secara utuh atau menyeluruh. Pengadilam

berwenang mengurangi petitum gugatan.

Salah satu kasus pengurangan petitum ialah dalam putusan ini, dimana

(35)

65

hakim hanya mengabulkan sebagian dari petitum penggugat. Hakim hanya

mengabulkan ganti rugi berupa uang sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima

puluh juta rupiah) saja. Untuk gugatan yang lain di luar uang tersebut, tidak

dikabulkan oleh hakim.

C. Tanggapan atas Putusan Hakim dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum yang Mengakibatkan Kerugian (Studi Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn)

1. Pertimbangan Hukum Hakim

Menimbang, bahwa adapun maksud dan tujuan gugatan Penggugat

adalah sebagai berikut;

Menimbang bahwa, setelah Majelis membaca dan meneliti surat

gugatan Penggugat, ternyata dalil gugatannya adalah bahwa Tergugat telah

melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) yang mengakibatkan

kerugian bagi Penggugat, dimana Tenggugat telah melakukan bujuk rayu dan

rangkaian kebohongan agar Penggugat menyerahkan uang sejumlah Rp.150.000.000,-

dimana Tergugat menjanjikan dapat memasukkan Penggugat menjadi PNS pada ujian

PNS 2010, namun setelah Penggugat menyerahkan uang sejumlah

Rp.150.000.000,- kepada Tergugat, ternyata setelah keluar pengumuman

PNS tersebut, nama Penggugat tidak keluar, dan setelah Penggugat

menanyakan kepada Tergugat namun sampai waktu yang dijanjikan ternyata

Tergugat tidak mengembalikan uang Penggugat, hingga akhirnya Penggugat

melaporkan Tergugat ke pihak yang berwajib dan Tergugat telah di proses

secara hukum dan telah diputus Pengadilan Negeri Medan dengan hukuman

penjara dan telah berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana putusan Nomor :

(36)

Menimbang bahwa terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah ada

Legal Standing dari Penggugat dan apakah Pengadilan Negeri Medan

berwenang mengadili perkara ini;

Menimbang bahwa, berdasarkan penelitian Majelis Hakim terhadap

surat-surat dalam berkas perkara dihubungkan dengan bukti yang diajukan

di persidangan dapatlah diketahui bahwa para pihak berdomisili di wilayah

hukum Pengadilan Negeri Medan, oleh karenanya Majelis berkesimpulan

bahwa Penggugat dapat mengajukan gugatan terhadap Tergugat dan

Pengadilan Negeri Medan berwenang mengadili perkara in casu ;

Menimbang bahwa, selanjutnya akan dipetimbangkan apakah gugatan

penggugat tersebut beralasan hukum dan tidak melawan hak;

Menimbang bahwa, untuk menguatkan dalil gugatannya, pihak

Penggugat telah mengajukan bukti surat yang mendukungnya yakni surat

tanda P-1 s/d P-3;

Menimbang bahwa, bukti surat P-1 adalah fotokopi kuitansi no.01

tertanggal 14 Januari 2010 sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh

juta rupiah) dari Penggugat kepada Tergugat sedangkan bukti surat tanda

P-2 adalah fotokopi surat tanda penerimaan laporan dari Kepolisian Negara

Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Kota Medan atas pengaduan

Penggugat terhadap Tergugat, dan surat P-3 adalah kutipan putusan daftar

pidana Pengadilan Negeri Medan No:2222/Pid.B/2012/PN.Mdn tertanggal

19 Desember 2012 atas nama Tiromanta Sinambela,Spd (Tergugat) sebagai

(37)

67

Menimbang bahwa, berdasarkan bukti P-1 dan P-2 dan dihubungkan

dengan bukti P-3, benar bahwa Tergugat telah menerima sejumlah uang dari

Penggugat yaitu sebesar Rp150.000.000,- yang dituangkan dalam kuitansi

yang ditandatangani Tergugat dan uang tersebut sebagai biaya untuk

pengurusan Penggugat sebagai PNS, namun ternyata Tergugat tidak

merealisasikan janjinya yang dapat memasukkan Penggugat sebagai PNS,

hingga akhirnya Penggugat melaporkan Tergugat ke pihak berwajib,

sebagaimana bukti P-2, dan akibat perbuatan Tergugat tersebut, Tergugat

telah di proses secara hukum di Pengadilan Negeri Medan sebagai

Terdakwa dalam perkara No.2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, tertanggal 19

Desember 2012 dimana Tergugat telah terbukti secara sah dan meyakinkan

telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu tindak pidana penipuan

terhadap Penggugat, yang mana akibat perbuatan tersebut, Penggugat telah

mengalami kerugian sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta

rupiah) dimana putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap

(bukti P-3)

Menimbang bahwa, selanjutnya akan mempertimbangkan petitum

gugatan Penggugat;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 2 ini tidak dapat dikabulkan karena

dalam perkara Majelis Hakim tidak ada meletakkan sita jaminan;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 3 ini dapat dikabulkan karena

sebagaimana dipertimbangkan di atas, telah terbukti bahwa Tergugat telah

melakukan perbuatan melawan hukum dengan meminta sejumlah uang dari

(38)

bohong belaka, hal ini telah terbukti dengan adanya putusan Pengadilan

Negeri Medan No: 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn tertanggal 19 Desember 2012

yang Tergugat telah dijatuhi hukuman pidana;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 4 agar menghukum Tergugat

membayar ganti rugi materil kepada Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,-

(seratus lima puluh juta rupiah)

Menimbang bahwa, petitum poin 3 telah dikabulkan, maka patut

petitum ke 4 juga dikabulkan, karena Penggugat telah mengalami kerugian

sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) sebagaimana

putusan No.2222/Pid.B/2012/PN.Mdn atas nama Tergugat dan fotokopi

kuitansi terlampir Tergugat telah menerima uang sejumlah Rp.150.000.000,-

dari Penggugat;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 5 dan ke 6, Majelis Hakim tidak

dapat mengabulkan karena petitum tersebut tidak didukung bukti yang

materil tentang kerugian Penggugat;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 7, untuk membayar ganti rugi jasa

lawyer sebesar Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) Majelis tidak

dapat mengabulkannya karena penggunaan jasa lawyer adalah suatu

kebijakan Penggugat sendiri sehingga tidak patut dibebankan kepada

Tergugat dengan demikian petitum poin ke 7 patut ditolak.

Menimbang bahwa, petitum poin ke 8 agar Tergugat membayar uang

paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta

(39)

69

menjalankan isi putusan dalam perkara ini, Majelis dapat mengabulkannya

karena pokok perkara telah dikabulkan;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 9 karena tidak memenuhi

ketentuan undang-undang maka patut untuk ditolak;

Menimbang bahwa, petitum ke 10, karena Tergugat dalam pihak yang

kalah, maka petitum ke 10 dapat dikabulkan.

2. Putusan Hakim Pengadilan yaitu :

a. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil secara patut tetapi

tidak hadir di persidangan.

b. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian tanpa hadirnya Tergugat.

c. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum

(Onrechmatigedaad).

d. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil kepada Penggugat

sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

e. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom)

kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap

harinya terhitung sejak Tergugat lalai mematuhi dan menjalankan isi

putusan dalam perkara ini.

f. Menghukum Tergugat membayar ongkos perkara yang timbul dalam

perkara ini sebesar Rp.521.000,- (Lima ratus dua puluh satu ribu

rupiah_.

(40)

3. Analisis Putusan

a. Putusan Hakim dalam Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian tanpa

hadirnya Tergugat.

Pada dasarnya, proses pemeriksaan dan putusan verstek (default

judgement) diatur dalam Pasal 125 ayat (1) HIR, Pasal 78 Rv, mengatur

verstek terhadap Tergugat, yang memberi hak dan kewenangan bagi

hakim :

1) Untuk memeriksa dan menjatuhkan putusan di luar hadirnya

Tergugat;

2) Pemeriksaan dan putusan yang demikian disebut verstek (diluar

hadirnya Tergugat)

3) Syarat atas kebolehan verstek, apabila pada sidang pertama

Tergugat:

(a)Tidak hadir tanpa alasan yang sah (unreasonable default),

(b)Padahal Tergugat telah dipanggil secara sah (oleh juru sita) dan

patut (antara panggilan dengan hari sidang paling sedikit 3 hari)68 (c)Padahal Tergugat telah dipanggil secara sah (oleh juru sita) dan

patut (antara panggilan dengan hari sidang paling sedikit 3 hari)

Dalam kasus seperti ini, Pasal 125 ayat (1) HIR memberi hak dan

kewenangan yang bersifat fakultatif kepada hakim untuk menjatuhkan

putusan verstek (default judgement).

Berdasarkan pasal tersebut, hakim diberi wewenang untuk

menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadirnya Tergugat,

(41)

71

dengan syarat :69

1.1. Apabila Tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang

ditentukan tanpa alasan yang sah (default without reason),

1.2. Dalam hal seperti ini, hakim menjatuhkan putusan verstek yang

berisi diktum:

a.1. Mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian, atau

a.2. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak

mempunyai dasar hukum

Memperhatikan penjelasan di atas, pengertian teknis verstek ialah

pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan memutus

perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir di persidangan pada

tanggal yang ditentukan. Dengan demikian, putusan di ambil dan

dijatuhkan tanpa bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.

Kasus perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian,

antara pihak Penggugat, Gremeny Siahaan dengan pihak Tergugat yakni

Tiromanta Sinambela,S.Pd, bahwa, pihak Tergugat tidak pernah hadir di

persidangan dan pula tidak mengirimkan kuasanya yang sah untuk hadir di

persidangan, walaupun telah dipanggil dengan patut sebanyak 3 (tiga) kali

berturut-turut sesuai relas panggilan yang disampaikan oleh Jurusita

Pengganti, Lenta br Pinem,S.H.

Dalam hal Tergugat tidak datang menghadiri panggilan sidang tanpa

alasan yang sah (default without reason), ditegaskan dalam Pasal 125 ayat

(42)

(1) HIR : 70

1. Tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau

2. Tidak menyuruh orang lain sebagai kuasa yang bertindak

mewakilinya,

3. Padahal tergugat telah dipanggil dengan patut, tetapi tidak

menghiraukan dan menaati panggilan tanpa alasan yang sah,

4. Dalam kasus seperti ini, hakim dapat dan berwenang menjatuhkan

putusan verstek, yaitu putusan di luar hadir tergugat.

Apabila Tergugat, yakni Tiromanta Sinambela,S.Pd, atau wakilnya

tidak hadir memenuhi panggilan pemeriksaan di sidang pengadilan yang

ditentukan, padahal telah dipanggil dengan patut, kepada Tergugat dapat

dikenakan hukuman berupa penjatuhan putusan verstek.

b. Putusan Hakim menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan

hukum (onrechmatigedaad).

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa suatu perbuatan

dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum bila perbuatan tersebut

memenuhi lima unsur , yakni harus ada perbuatan, perbuatan tersebut

harus melawan hukum, ada kerugian bagi korban, adanya hubungan sebab

akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, adanya

kesalahan (schuld). Dalam hal ini, penulis akan menganalisis dari aspek

perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Tergugat,

berdasarkan bukti-bukti dan posita gugatan yang diajukan oleh Penggugat,

serta pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini. Walaupun

(43)

73

putusan ini dilakukan dengan cara verstek, tetapi, masih dimungkinkan

untuk Tergugat mengajukan verzet (putusan perlawanan).

1. Harus ada perbuatan

Pada dasarnya, suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu

perbuatan dari si pelakunya. Di dalam putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn

antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta Sinambela, S.Pd, perbuatan

yang dilakukan oleh Tergugat tersebut ialah melakukan bujuk rayu dan

rangkaian-rangkaian kebohongan agar Penggugat menyerahkan uang

sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

2. Perbuatan tersebut melawan hukum

Bahwa sebagaimana berlaku dalam yurisprudensi sejak Hoge Raad

1919 Arrest 31 Januari 1919, mengenai perbuatan melawan hukum

yang telah diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan masih berlaku

hingga saat ini, maka perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan

yang tidak saja melanggar undang-undang negara, tetapi juga termasuk

pada kesusilaan, kepatutan, dan perbuatan yang melanggar hak orang

lain.

Perbuatan yang dilakukan oleh Penggugat telah memenuhi

unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHPidana71

71 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan

pidana penjara paling lama empat tahun.

. Hal ini diperkuat dengan putusan

Pengadilan Negeri Medan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, yang

mana putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

(44)

penjara selama 1 (satu) tahun atas kesalahan tersebut dan terbukti

melakukan tindak pidana. Maka patut dan beralasan hukum Majelis

hakim menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan

melawan hukum (onrechmatigedaad)

3. Ada kerugian bagi korban

Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh

tergugat tersebut, telah menimbulkan kerugian material dan immaterial

bagi penggugat. Dengan dijatuhkannya hukuman pidana dalam putusan

no: 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, telah menunjukkan bahwa tergugat telah

melakukan perbuatan melawan hukum. Walaupun Tergugat telah

menjalani hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun, tetapi sama sekali

tidak menghapuskan kewajiban Tergugat membayar ganti rugi kepada

Penggugat.

Ganti Rugi untuk korban tindak pidana pada dasarnya dapat

dilakukan melalui tiga cara yaitu;72

a) melalui penggabungan perkara ganti kerugian,

b) melalui gugatan perbuatan melawan hukum, dan

c) melalui permohonan restitusi.

Dalam hal ini, yang akan dibahas hanya tentang poin b. Mekanisme

lain yang tersedia adalah menggunakan gugatan perdata biasa dengan

model gugatan perbuatan melawan hukum. Dalam gugatan ini,

Penggugat, dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus menunggu

adanya putusan Pengadilan yang telah memutus perkara pidana yang

(45)

75

dilakukan oleh Pelaku (Tergugat).

Sebagaimana di dalam Pasal 1365 KUHPerdata73

4. Adanya hubungan sebab akibat

, dikarenakan

Tergugat sudah terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum

terhadap Penggugat, berupa perbuatan melawan hukum yaitu tindak

pidana penipuan yang telah mengakibatkan kerugian bagi Penggugat

dan sudah terbukti dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap (inkracht van gewijsde) maka sangat patut dan beralasan

hukum untuk Tergugat membayar sejumlah ganti rugi kepada Pergugat.

Ajaran kausalitas dalam bidang hukum perdata adalah untuk

mencermati adanya hubungan kausal sebab akibat antara perbuatan

melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku

dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Teori yang berkaitan

adalah ajaran Von Buri yang dikenal dengan nama teori conditio sine

qua non yang berarti syarat mutlak. Suatu kejadian yang merupakan

akibat biasanya ditimbulkan oleh beberapa peristiwa atau keadaan atau

faktor yang satu sama lainnya merupakan suatu rangkaian yang

berhubungan. Karena itu teori ini disebut pula “teori-syarat” atau “teori

conditio sine qua non”. Artinya, tanpa adanya syarat itu, akibat tersebut

tidak akan timbul.74

73 Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena salahnya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Hubungan kausal yakni akibat tindak penipuan yang dilakukan oleh

74

Referensi

Dokumen terkait