• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas cetacea dan karakteristik habitatnya di perairan Selat Ombai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunitas cetacea dan karakteristik habitatnya di perairan Selat Ombai"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNITAS CETACEA DAN KARAKTERISTIK

HABITATNYA DI PERAIRAN SELAT OMBAI

A D R I A N I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul:

“Komunitas Cetacea dan Karakteristik Habitatnya di Perairan Selat Ombai”

adalah karya Saya sendiri, dengan arahan dari Komisi Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka tesis ini.

Bogor, Juli 2010

(3)

ABSTRACT

ADRIANI. Cetacean community and habitat characteristics in the Ombai Strait. Under the direction of INDRA JAYA and RICHARDUS KASWADJI.

As part of collaborative research INSTANT, this research aimed to explore spatio-temporal distribution of cetacean community observed in the Ombai Strait, as well as to study its biophysical characteristics, as the key to understanding cetacean habitat dynamics. During two research cruise in the Ombai Strait, December 2003-January 2004 and June-July 2005, cetacean community was assessed visually and resulted in consistent sightings of three apex predator cetacean species, e.g. Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, and Physeter macrocephalus. The first two species were observed with large number of individuals, with foraging and feeding behavior. INSTANT Cruise I deployed 54 survey hours resulting in 5 positively identified cetacean species (Tursiops truncatus, Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, Orcinus orca, Physeter macrocephalus), originated from 11 sightings, with estimated number of abundance 908 individuals; while INSTANT Cruise II resulted in 60 survey hours, 4 positive identification (Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, Physeter macrocephalus, Kogia simus), 15 sightings, and 698 individuals. In general, 71.6% of cetacean sightings were at morning time (5:00-7:00 and (5:00-7:00-10:00 local time).

Biophysical characteristics of the Ombai Strait were analyzed by means of SeaWiFS and INSTANT mooring datasets, to observe features on the ocean surface and ocean depth with reference to several parameters, e.g. temperature, chlorophyll-a, and echo intensity. Ocean color imaging by SeaWiFS presented fine scale distribution of thermal front and mesoscale eddies in the strait. Monthly profiling of sea surface chlorophyll-a between two INSTANT cruises confirmed the existence of persistent upwelling and biological hot spots in the Ombai Strait. Vertical section of temperature at Ombai mooring site revealed thermocline profile which conform the dynamics of upwelling in the area. Echo intensity profiling of the Ombai Strait’s pelagic layer demonstrated the presence of patchy microstructure revealing spatial extent and bio-volume of acoustic scattering community, particularly zooplankton and micro-nekton. The highest density of acoustic biovolume was observed during the night, with microstructure vertical extent reaching near surface layer, while at day-time such feature was observed at deeper pelagic layer (> 200 m).

Ocean color satellite imagery and pelagic layer properties indicate that the Ombai Strait support high persistent primary and secondary productivity. The presence of front and eddies in the strait sustain the entrainment and magnification of planktonic community, which promote the presence of pelagic nekton community (fish and cephalopods). In the end, the presence of apex predator cetacean to the area was related with foraging and feeding activities, as well depicted by close sighting locations to transition zone of front and eddies. Results of statistical Correspondence Analysis revealed strong spatial correlation between cetacean community and particular sites within the Ombai Strait, at the southeast and southern part of Alor Island, each with different temporal period of sightings. In conclusion, the Ombai Strait plays an essential role as cetacean critical habitat.

(4)

RINGKASAN

ADRIANI. Komunitas Cetacea dan Karakteristik Habitatnya di Perairan Selat Ombai. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan RICHARDUS KASWADJI.

Penelitian ini merupakan bagian dari riset kolaboratif INSTANT (International Nusantara Stratification and Transport), yang bertujuan untuk mengetahui sebaran spasio-temporal komunitas cetacea di Selat Ombai, serta mengkaji karakteristik biofisik perairan tersebut, sehingga dapat dipahami mengapa cetacea memilih Selat Ombai sebagai

habitatnya. Dari dua kali pelayaran INSTANT, masing-masing mewakili musim barat (Desember 2003-Januari 2004) dan musim timur (Juni-Juli 2005), diperoleh tiga spesies yang dijumpai secara konsisten yaitu Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, dan Physeter macrocephalus. Dua spesies yang disebutkan pertama sangat umum dijumpai dalam pod berukuran besar dengan tingkah laku foraging dan makan. Pada Pelayaran INSTANT I diperoleh 54 jam survei dengan lima spesies cetacea yang teridentifikasi positif (Tursiops truncatus, Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, Orcinus orca, Physeter macrocephalus), 11 kali perjumpaan, dan estimasi kelimpahan total mencapai 908 individu, sedangkan pada Pelayaran INSTANT II diperoleh 60 jam, empat spesies (Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, Physeter macrocephalus, Kogia simus), 15 perjumpaan dan 698 individu. Secara umum, sebanyak 71.6% komunitas cetacea dijumpai pada pagi hari (5:00-7:00 WITA dan 7:00-10:00 WITA).

Karakteristik biofisik perairan Selat Ombai dikaji menggunakan data SeaWiFS dan set data mooring oseanografi INSTANT untuk melihat fitur permukaan laut dan sebaran melintang beberapa parameter fisik lingkungan, seperti suhu, klorofil-a, dan intensitas gema. Pencitraan muka laut oleh sensor SeaWiFS memperlihatkan fitur thermal front dan mesoscale eddies yang di bagian pusatnya terdapat area dengan kandungan klorofil-a permukaan maksimum. Profil bulanan sebaran klorofil-a permukaan sepanjang periode antara dua pelayaran INSTANT menunjukkan bahwa perairan Selat Ombai memiliki produktivitas primer yang tinggi sepanjang tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat fitur persistent upwelling dan biological hot spots di Selat Ombai. Sebaran

melintang suhu terhadap kedalaman, hasil perekaman sensor suhu di mooring Selat Ombai, menunjukkan adanya lapisan termoklin yang mendukung fitur permanent upwelling di perairan tersebut. Perekaman intensitas gema di lapisan pelagis Selat Ombai, menunjukkan adanya mikrostruktur habitat yang menggambarkan sebaran dan biovolume komunitas penghambur akustik, seperti zooplankton dan mikronekton. Densitas tertinggi dan sebaran mikrostruktur biovolume akustik yang rapat berlangsung pada malam hari, yang sebaran melintangnya dapat mencapai lapisan dekat permukaan, sedangkan pada siang hari fitur tersebut tersebut terlihat ada di lapisan dalam (> 200 m).

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(6)

KOMUNITAS CETACEA DAN KARAKTERISTIK

HABITATNYA DI PERAIRAN SELAT OMBAI

A D R I A N I

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis: Komunitas Cetacea dan Karakteristik Habitatnya di Perairan Selat Ombai

Nama Mahsiswa: A D R IA N I

NRP: C651040091

Program Studi: Ilmu Kelautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc

Ketua Anggota

Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(8)

Penguji tamu:

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, DAA

(9)

PRAKATA

Teriring ucapan syukur ke-hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Komunitas Cetacea dan Karakteristik Habitatnya di Perairan Selat Ombai. Penelitian ini dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa dataset, yaitu data inderaja satelit sensor SeaWiFS, serta data suhu dan akustik dari sejumlah sensor dan instrumen ADCP yang terpasang pada mooring di utara Selat Ombai, untuk mengkaji kondisi biofisik perairan laut pelagis yang menjadi habitat cetacea. Data komunitas cetacea sendiri didasarkan pada hasil pengamatan visual Pelayaran INSTANT 2003-2004 dan 2005.

Penelitian dan proses penyelesaian tesis ini dapat terlaksana dengan baik atas dukungan berbagai pihak. Terkait dengan hal tersebut, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Bapak Prof, Dr. Indra Jaya, M.Sc dan Bapak Dr. Richardus F. Kaswadji, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah begitu sabar dan telaten dalam membantu penyelesaian penelitian dan penyusunan tesis.

2. Dr. Robert Molcard, Dr. Susan Wijjfels, Prof. Arnold Gordon, Dr. Dwi Susanto, Dr. Janet Sprintall, Prof. AG. Ilahude, Salvienty Makarim, Kapten Irham Danil, serta para peneliti dan awak kapal riset Baruna Jaya 8-LIPI yang terlibat dalam pelayaran dan program INSTANT.

3. Heron Surbakti, Mochamad Tri Hartanto, Fiatri Yusuf, Ranum Esa Kharisma, Sahat MR Tampubolon, Prof. Dr. Dietriech G. Bengen dan Prof. Dr. Mulia Purba atas bantuan teknis, dorongan moral, dan berjuta inspirasi yang diberikan.

4. Keluarga yang senantiasa mendoakan serta memberikan kasih sayang dan dukungan selama penulis menempuh pendidikan: Syamsul B. Agus, Ahmad Baruna Syahbani, Tenriadjeng Syahrani, Tanritatta Yahya Asy-Syahbani, ayahanda Asli Sunuddin (alm.), ibunda Sawitri Laksmi Moendiasih, ibunda Sitti Hattidjah, dan Lestiawati Sunuddin.

5. Staf pengajar Bagian Hidrobiologi Laut, rekan-rekan kuliah PS IKL angkatan 2004, staf pegawai ITK, asisten praktikum Ekologi Laut Tropis, Keanekaragaman Hayati Laut, dan Biologi Tumbuhan Laut, serta semua pihak yang telah memberikan sokongan selama penulis berupaya menyelesaikan penelitian.

6. WWF US-Russell E. Train Fellowship yang memberikan bantuan dana penelitian dan pendidikan, serta Ibu Fenti dari IIEF yang membantu administrasi fellowship. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa ada kekurangan dalam tesis ini, sehingga saran dan kritik membangun diharapkan bisa disampaikan secara langsung

Semoga hasil karya ini dapat menambah sumbangsih bagi perkembangan ilmu dan pendidikan kelautan, terutama terhadap konservasi cetacea di Indonesia.

Bogor, Juli 2010

(10)

PRAKATA

Teriring ucapan syukur ke-hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Komunitas Cetacea dan Karakteristik Habitatnya di Perairan Selat Ombai. Penelitian ini dilakukan dengan mengintegrasikan beberapa dataset, yaitu data inderaja satelit sensor SeaWiFS, serta data suhu dan akustik dari sejumlah sensor dan instrumen ADCP yang terpasang pada mooring di utara Selat Ombai, untuk mengkaji kondisi biofisik perairan laut pelagis yang menjadi habitat cetacea. Data komunitas cetacea sendiri didasarkan pada hasil pengamatan visual Pelayaran INSTANT 2003-2004 dan 2005.

Penelitian dan proses penyelesaian tesis ini dapat terlaksana dengan baik atas dukungan berbagai pihak. Terkait dengan hal tersebut, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Bapak Prof, Dr. Indra Jaya, M.Sc dan Bapak Dr. Richardus F. Kaswadji, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah begitu sabar dan telaten dalam membantu penyelesaian penelitian dan penyusunan tesis.

2. Dr. Robert Molcard, Dr. Susan Wijjfels, Prof. Arnold Gordon, Dr. Dwi Susanto, Dr. Janet Sprintall, Prof. AG. Ilahude, Salvienty Makarim, Kapten Irham Danil, serta para peneliti dan awak kapal riset Baruna Jaya 8-LIPI yang terlibat dalam pelayaran dan program INSTANT.

3. Heron Surbakti, Mochamad Tri Hartanto, Fiatri Yusuf, Ranum Esa Kharisma, Sahat MR Tampubolon, Prof. Dr. Dietriech G. Bengen dan Prof. Dr. Mulia Purba atas bantuan teknis, dorongan moral, dan berjuta inspirasi yang diberikan.

4. Keluarga yang senantiasa mendoakan serta memberikan kasih sayang dan dukungan selama penulis menempuh pendidikan: Syamsul B. Agus, Ahmad Baruna Syahbani, Tenriadjeng Syahrani, Tanritatta Yahya Asy-Syahbani, ayahanda Asli Sunuddin (alm.), ibunda Sawitri Laksmi Moendiasih, ibunda Sitti Hattidjah, dan Lestiawati Sunuddin.

5. Staf pengajar Bagian Hidrobiologi Laut, rekan-rekan kuliah PS IKL angkatan 2004, staf pegawai ITK, asisten praktikum Ekologi Laut Tropis, Keanekaragaman Hayati Laut, dan Biologi Tumbuhan Laut, serta semua pihak yang telah memberikan sokongan selama penulis berupaya menyelesaikan penelitian.

6. WWF US-Russell E. Train Fellowship yang memberikan bantuan dana penelitian dan pendidikan, serta Ibu Fenti dari IIEF yang membantu administrasi fellowship. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa ada kekurangan dalam tesis ini, sehingga saran dan kritik membangun diharapkan bisa disampaikan secara langsung

Semoga hasil karya ini dapat menambah sumbangsih bagi perkembangan ilmu dan pendidikan kelautan, terutama terhadap konservasi cetacea di Indonesia.

(11)

DAFTAR ISI

1.2. Kerangka pendekatan masalah ... 3

1.3. Tujuan penelitian ... 6

1.4. Manfaat penelitian ... 6

1.5. Hipotesis ... 7

2. PROFIL OSEANOGRAFI BERDASARKAN WARNA MUKA LAUT: KAITANNYA DENGAN SEBARAN CETACEA DI SELAT OMBAI ... 8

2.1. Pendahuluan ... 8

2.2. Faktor biofisik lingkungan yang berperan terhadap komunitas cetacea ... 9

2.2.1. Suhu permukaan laut ... 9

2.2.2. Kandungan klorofil-a dan produktivitas primer ... 10

2.3. Bahan dan metode ... 12

2.4. Hasil ... 13

2.4.1. Sebaran cetacea berdasarkan profil suhu permukaan laut ... 13

2.4.2. Sebaran cetacea berdasarkan profil klorofil-a permukaan ... 16

2.4.3. Profil bulanan sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai ... 18

2.5. Pembahasan ... 22

2.6. Simpulan ... 25

2.7. Daftar pustaka ... 25

3. DINAMIKA LAPISAN PELAGIS YANG MENJADI FORAGING HABITAT CETACEA DI SELAT OMBAI: PROFIL LAPISAN TERMOKLIN DAN HAMBUR BALIK AKUSTIK ... 29

3.1. Pendahuluan ... 29

3.2. Faktor biofisik lingkungan yang berperan terhadap komunitas cetacea ... 30

3.2.1. Dari fitoplankton ke cetacea: interaksi pemangsaan dan dinamika spasio-temporal ... 30

3.2.2. Struktur lapisan termoklin dan dinamika upwelling ... 32

3.2.3. Struktur lapisan hambur balik akustik dan produktivitas sekunder ... 33

(12)

3.4. Hasil ... 35

3.4.1. Struktur lapisan termoklin di Selat Ombai ... 35

3.4.2. Struktur lapisan hambur balik akustik di Selat Ombai ... 36

3.5. Pembahasan ... 38

3.6. Simpulan ... 40

3.7. Daftar pustaka ... 41

4. SEBARAN DAN KELIMPAHAN CETACEA DI SELAT OMBAI ... 44

4.1. Pendahuluan ... 44

4.2. Komunitas cetacea di Selat Ombai dan sekitarnya ... 45

4.3. Bahan dan metode ... 51

4.3.1. Alat dan bahan... 51

4.3.2. Metode pengamatan cetacea ... 56

4.3.3. Analisis korespondensi ... 55

4.4. Hasil ... 60

4.4.1. Pengamatan visual cetacea ... 60

4.4.2. Kelimpahan berdasarkan waktu perjumpaan dan tingkah laku . 63 4.5. Pembahasan ... 66

4.6. Simpulan ... 71

4.7. Daftar pustaka ... 71

5. PEMBAHASAN UMUM ... 74

5.1. Komunitas cetacea di Selat Ombai ... 74

5.2. Dinamika ekosistem pelagis Selat Ombai sebagai habitat cetacea ... 78

5.3. Implikasi hasil penelitian terhadap konservasi cetacea ... 81

6. SIMPULAN DAN SARAN ... 83

6.1. Simpulan ... 83

6.2. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul tabel Halaman

4-1. Status konservasi spesies cetacea yang ditemukan di perairan Selat

Ombai dan sekitarnya (termasuk Laut Sawu dan Perairan Solor)….. 47

4-2. Algoritma penghitungan elemen matriks data kontingensi…..…..… 56

4-3. Kompilasi hasil pengamatan cetacea di Selat Ombai…..…..…..….. 60

5-1. Kedalaman maksimum dan preferensi makanan spesies cetacea yang dijumpai di perairan Selat Ombai (disarikan dari: Stewart et

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul gambar Halaman

1-1. Diagram alir penelitian…….…….…….…….…….…….…….…… 4

2-1. Sebaran suhu permukaan laut di Selat Ombai pada 30 Juni 2005…….… 14 2-2. Sebaran suhu permukaan laut di Selat Ombai pada 4 Juli 2005…....…… 14 2-3. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 4 Januari 2004…….. 16 2-4. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 30 Juni 2005…….… 17 2-5. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 4 Juli 2005…….…... 17 2-6. Profil serial bulanan sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai,

Desember 2003-Juli 2005…….……….……….……….……….……. 20

3-1. Skala ruang dan waktu yang ditetapkan pada tiga kelompok biota yang menjadi mangsa cetacean: (A) kisaran ukuran dan waktu yang diperlukan untuk menggandakan populasi (B) interaksi pemangsaan antara ketiganya

(Steele 1989) …….……….……….……….……….……….………. 30 3-2. Variabilitas suhu di perairan Selat Ombai secara menegak (100-1000 m)

dan secara temporal (5 Januari 2004 – 4 Januari 2005) …….……….… 35 3-3. Variabilitas harian EI-maksimum hasil pengukuran moored ADCP di

perairan Selat Ombai…….……….……….……….……….……….. 37 4-1. Peta lokasi penelitian…….…….…….…….…….…….…….……... 52 4-2. Skema lokasi pengamatan visual cetacea di Kapal Riset Baruna

Jaya 8…….……….……….……….……….……….……….……... 53

4-3. Morfologi umum cetacean (Odontoceti: kiri, Mysticeti: kanan) dan

bagian-bagian tubuhnya (modifikasi: Carwardine 1995) …….………… 54 4-4 Persentase komunitas cetacea berdasarkan ukuran tubuh (kiri) dan

berdasarkan keberhasilan identifikasi visual (kanan) pada Pelayaran

INSTANT I…….……….……….……….……….……….………... 61

4-5. Persentase komunitas cetacea berdasarkan ukuran tubuh (kiri) dan berdasarkan keberhasilan identifikasi visual (kanan) pada Pelayaran

(15)

xv

Gambar Judul gambar Halaman

4-6. Kelimpahan cetacea berdasarkan waktu perjumpaan…….………… 63 4-7. Kelimpahan cetacea berdasarkan tingkah laku…….……….………. 65 4-8a. Grafik analisis korespondensi, keterkaitan antar variabel pada

sumbu pertama (F1) dan sumbu ketiga (F3) …….……….………… 69 4-8b. Grafik analisis korespondensi, keterkaitan antar variabel pada

sumbu kedua (F2) dan sumbu ketiga (F3) …….……….……….….. 69

5-1. Plot sebaran cetacea yang terdata dari dua pelayaran INSTANT serta

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul lampiran Halaman

1. Lembar data pengamatan cetacea………….…….…….…….…….…… 92

2a. Hasil survei visual cetacea pada Pelayaran INSTANT Desember

2003-Januari 2004…….…….…….…….…….…….…….…….…….……… 93

2b. Hasil survei visual cetacea pada Pelayaran INSTANT Juni-Juli 2005…….… 94

3. Skala Beaufort…….…….…….…….…….…….…….…….…….……... 95 4. Nilai klorofil-a permukaan di perairan Selat Ombai. …….…….……… 96

5. Rangkaian alat pada mooring oseanografi Selat Ombai. …….…….…….… 97 6. Tabel kisaran suhu (dalam °C) pada kedalaman 100 m, 125 m, 170 m, 240 m,

350 m, 450 m, 700 m dan 1000 m hasil perekaman sensor suhu di mooring

perairan Selat Ombai selama 1 tahun (Januari – Desember 2004) ……. …… 98 7. Spesifikasi ADCP workhorse long ranger 75-kHz 99 8a. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil

pereka-man ADCP bim ke-1. ……. …….…….…….…….…….…….…….…… 100 8b. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil

pereka-man ADCP bim ke-2…….…….…….…….…….…….…….…….…….. 101

8c. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil

pereka-man ADCP bim ke-3……..…….…….…….…….…….…….…….……. 102

8d. Variabilitas harian biovolume akustik di perairan Selat Ombai, hasil

perekaman ADCP bim ke-4…….…….…….…….…….…….…….……. 103

9. Spesifikasi Kapal Riset Baruna Jaya 8…….…….…….…….…….…… 104 10. Akar cirri dan representasi ragam dari masing-masing variabel…….…….… 105 11. Kontribusi masing-masing variabel terkorelasi terhadap sumbu/faktor utama 106 12. Ringkasan prosedur statistika untuk setiap kategori pada kolom tabel

(17)

1

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Sebagai salah satu pusat marinemegabiodiversity dunia, Indonesia memiliki kekayaan spesies cetacea yang tinggi. Dari sekitar 80 extanct spesies cetacea, sedikitnya ada 30 spesies yang tercatat di perairan nusantara (Rudolph et al. 1997, Tomascik et al. 1997), baik yang tinggal menetap maupun yang bermigrasi secara musiman dari perairan dingin di sub-polar atau kutub karena perairan nusantara merupakan satu-satunya wilayah di zona tropis yang menjadi tempat pertemuan massa air dari dua samudera, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Cetacea merupakan salah satu kelompok hewan tingkat tinggi yang tergolong langka dan unik, karena memiliki tingkat intelejensia mengagumkan (Marino 2004) dan beberapa spesies, seperti paus biru (Balaenoptera physalus) dan paus sperma (Physeter macrocephalus) yang merupakan biota nektonik berukuran sangat besar, memiliki kemampuan jelajah tinggi serta diduga memanfaatkan sejumlah perairan celah antar pulau di timur Indonesia sebagai jalur migrasinya (Kahn et al. 2000, Kahn 2001).

Selat Ombai merupakan celah perairan antara Pulau Alor dan Pulau Timor yang menghubungkan Laut Banda dan Laut Sawu, selain juga merupakan salah satu pintasan Arus Lintas Indonesia (Gordon 2001, Molcard et al. 2001) serta jalur penting migrasi cetacea dari dan ke laut nusantara (Kahn et al. 2000, Kahn 2001). Perairan Selat Ombai memiliki karakteristik oseanografi yang dinamis (Atmadipoera et al. 2009, Robertson and Ffield 2005, Molcard et al. 2001), ditandai dengan produktivitas primer yang tinggi (Moore and Marra 2001), yang kuantitasnya berubah-ubah dalam jangka waktu singkat akibat proses

(18)

2 Keberadaan cetacea di suatu perairan atau informasi yang spesifik mengenai habitat cetacea masih perlu pemahaman lebih lanjut. Adanya informasi mengenai sebaran cetacea di perairan dengan kedalaman dan rentang temperatur tertentu, berdasarkan data perjumpaan (sightings data), seperti yang didokumentasikan oleh Jefferson et al. (1993), masih memerlukan pertimbangan faktor lingkungan yang lain. Terkait dengan hal tersebut, Viale (1985) mendeskripsikan ekosistem ditemukannya komunitas cetacea di perairan Mediterania berdasarkan sebaran nilai sejumlah parameter oseanografi, seperti suhu permukaan laut, salinitas, dan profil arus musiman, yang dikombinasikan dengan titik perjumpaan cetacea. Memahami bagaimana pengaruh proses-proses oseanografi terhadap komunitas dan habitat cetacea, maupun terhadap komunitas penghuni jenjang trofik dasar yang nantinya berpengaruh pada sebaran cetacea, akan memberikan masukan informasi yang sangat berharga bagi pengelolaan maupun strategi konservasi cetacea. Namun demikian, sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya bila parameter oseanografi, maupun parameter lingkungan perairan laut lain, didata terlebih dahulu dan perekaman data tersebut dilakukan selaras dengan pencatatan data perjumpaan komunitas cetacea di suatu perairan.

Di perairan nusantara, walaupun sejumlah desa pesisir di timur Indonesia diketahui sejak lama merupakan pemburu cetacea tradisional yang andal

(19)

3 Dengan demikian, penelitian ini akan memaparkan kajian mengenai komunitas cetacea di perairan Selat Ombai dan beberapa parameter lingkungan perairan yang terkait erat dalam mendeskripsikan habitat cetacea.

1.2. Kerangka pendekatan masalah

Di lingkungan laut, sebagaian besar spesies cetacea dapat digolongkan sebagai apex predator (predator yang berada di puncak piramida makanan), walaupun hayatinya beberapa spesies cetacea tergolong sebagai planktivor (rorquals). Dengan demikian, sebaran cetacea di perairan laut umumnya sangat erat dengan sebaran mangsanya atau sumber makanannya. Cetacea membutuhkan energi yang relatif tinggi sehingga seringkali mereka dijumpai berada di perairan yang produktivitas primernya tinggi, terutama pada musim panas di perairan Southern Ocean (Bost et al. 2009, Arrigo et al. 1998, Moore and Abbott 2000), Mediterania (Viale 1985), California Current System (Tynan et al. 2005, Yen et al. 2003), dan Gulf of Mexico (Kaltenberg 2004, Davis et al. 2002). Hal tersebut sangat terkait dengan peningkatan biomassa produsen atau kontinuitas

produktivitas primer yang menjadi sumber makanan biota grazers pada jenjang trofik lebih tinggi, demikian seterusnya hingga mencapai komunitas predator puncak. Namun demikian untuk melakukan penelitian lapangan yang secara langsung mengkaji cetacea dengan mangsanya merupakan hal yang sangat sulit, sehingga pendekatan pemodelan habitat cetacea seringkali digunakan (Embling et al. 2005, Tynan et al. 2005).

Viale (1985) mengatakan bahwa sebaran cetacea di perairan laut sangat terkait dengan profil oseanografi perairan tersebut, sehingga korelasi antara sejumlah parameter lingkungan dengan perjumpaan cetacea dapat meningkatkan pemahaman ekologi cetacea. Sejumlah penelitian telah dilakukan dengan

mengaitkan faktor lingkungan perairan dengan sebaran cetacea, terutama jika faktor-faktor tersebut mengarah pada peningkatan produktivitas perairan. Faktor-faktor lingkungan tersebut adalah kedalaman perairan (Moore et al. 2000,

(20)

4 topografi dasar laut (Yen et al. 2003), serta suhu permukaan laut, salinitas,

kedalaman termoklin, thermal fronts, dan area upwelling (Tynan et al. 2005).

Gambar 1-1. Diagram alir penelitian

Dengan demikian, upaya mengkaji cetacea di habitatnya ditelusuri melalui pendekatan biofisik lingkungan, selain menetapkan suatu perairan sebagai habitat berdasarkan tingkah lakunya berdasarkan survei visual. Pendekatan tersebut disajikan secara ringkas pada Gambar 1-1. Sebagai apex predator, cetacea sangat bergantung pada keberadaan mangsanya. Dalam lingkup tingkatan trofik piramida makanan, mangsa cetacea adalah nekton pelagis yang menghuni stratum tepat di bawah pucuk piramida dan keberadaannya sangat dipengaruhi oleh produktivitas sekunder (zooplankton dan mikronekton) dan produktivitas primer (fitoplankton).

(21)

5 Apabila data komunitas cetacea di perairan Selat Ombai diperoleh melalui upaya survei visual dalam kegiatan pelayaran, maka data SeaWiFS digunakan untuk mengkaji produktivitas primer dan fitur lain yang didasarkan pada warna muka laut. Sejumlah sensor suhu dan instrumen Acoustic Doppler Current Profiler yang terdapat pada tambatan (mooring) oseanografi di Selat Ombai digunakan untuk mengkaji struktur termoklin dan lapisan hamburbalik akustik produksi sekunder perairan tersebut.

Penulisan tesis ini dibagi menjadi tiga topik terpisah diikuti dengan

pembahasan umum, yang menguraikan benang merah antara masing-masing topik untuk bisa memahami bagaimana komunitas cetacea menggunakan perairan Selat Ombai sebagai habitatnya. Topik pertama dituliskan pada Bab 2 dengan judul “Profil oseanografi berdasarkan warna muka laut dan kaitannya dengan sebaran cetacea di Selat Ombai”, yang mengulas sejumlah parameter biofisik lingkungan perairan Selat Ombai, yaitu suhu permukaan laut dan klorofil-a permukaan berdasarkan interpretasi data warna muka laut hasil pencitraan sensor SeaWiFS. Sebagian materi pada bab tersebut telah disampaikan pada INSTANT Workshop yang diselenggarakan di SEAMEO-Biotrop, Bogor pada 5 November 2007. Paparan yang disampaikan pada acara tersebut berjudul “Ecological Role of Cetacean in the Ombai Strait: a spin off idea based on results of INSTANT

research”.

(22)

6 ekologis antara cetacea terhadap dua fitur lingkungan utama, yaitu waktu (periode pengamatan) dan ruang (bentang laut), dikaji menggunakan analisis korespon-densi untuk mengetahui profil spasio-temporal sebaran cetacea di perairan Selat Ombai. Sebagian dari materi pada Bab 4 telah dipublikasikan pada Jurnal

Teknologi Perikanan dan Kelautan Volume 7 Nomor 1, yang terbit di tahun 2007. Pada akhirnya, diharapkan tesis ini akan menyajikan pemahaman yang

menyeluruh terkait Selat Ombai sebagai habitat cetacea, baik dari lingkup kajian biologi maupun fisik, terutama dengan memanfaatkan tools yang dikembangkan oleh teknologi penginderaan jauh satelit, instrumentasi dan akustik kelautan.

1.3. Tujuan penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mengkaji karakteristik biofisik perairan habitat cetacea melalui pendekatan warna muka laut, menggunakan data SeaWiFS,

2. Mengkaji karakteristik biofisik perairan habitat cetacea menggunakan set data mooring oseanografi dari program INSTANT

3. Mengkaji sebaran, secara spasial dan temporal, dan kelimpahan cetacea di perairan Selat Ombai,

4. Mengkaji keterkaitan antara butir (1), (2), dan (3) .

1.4. Manfaat penelitian

(23)

7 Jika sebelumnya, penelitian ekologi laut secara klasik memerlukan upaya yang sangat besar di lapangan untuk bisa mendapatkan data dari sejumlah parameter kunci lingkungan perairan, maka dalam penelitian ini data tersebut diupayakan dari sejumlah tools dan kemutakhiran teknologi kelautan. Parameter suhu permukaan laut dan klorofil-a permukaan diperoleh dari analisis data SeaWiFS, yang merupakan salah satu tools mutakhir dalam bidang penginderaan jauh kelautan. Parameter biovolume akustik diperoleh dari instrumen ADCP, yang walaupun bertujuan utama mengukur arus namun volume hambur balik akustik yang direkamnya dapat merepresentasikan profil produktivitas sekunder suatu perairan. Dengan demikian, tesis ini diharapkan dapat bermanfaat dalam lingkup pengembangan bidang ekologi laut yang lebih komprehensif, terutama dalam memahami komunitas cetacea dan perairan yang menjadi habitatnya.

1.5. Hipotesis

(24)

8

2.

PROFIL OSEANOGRAFI BERDASARKAN WARNA

MUKA LAUT DAN KAITANNYA DENGAN SEBARAN

CETACEA DI SELAT OMBAI

2.1. Pendahuluan

Cetacea, secara umum, memiliki relung ekologi sebagai predator, sehingga keberadaannya di suatu perairan sangat terkait dengan fitur oseanografi yang memungkinkan ketersediaan biomassa mangsa yang tinggi sebagai sumber energinya (ca. Doniol-Valcroze et al. 2007, Embling et al. 2005, Tynan et al.

2005, Yen et al. 2003, Kaltenberg 2004, Davis et al. 2002). Merujuk pada struktur piramida makanan, apex predator cetacea membutuhkan energi yang sumbernya berasal dari biomassa masif biota pada tingkat trofik lebih rendah, seperti ikan pelagis dan beberapa jenis nekton lainnya, yang berpangkal pada produksi bahan organik oleh fitoplankton. Dengan demikian, seringkali apex predator cetacea dijumpai di perairan yang memiliki produktivitas primer tinggi, seperti di Southern Ocean pada musim panas (Bost et al. 2009, Arrigo et al. 1998, Moore and Abbott 2000), perairan California Current System (Tynan et al. 2005, Burtenshaw et al. 2004, Yen et al. 2003), dan Teluk Mexico (Kaltenberg 2004; Davis et al. 2002, Davis et al. 1998). Umumnya, perairan laut dengan produk-tivitas primer tinggi akan memiliki biomassa fitoplankton yang tinggi pula (Nontji 2006), yang kemudian menjadi landasan pembentukan jejaring dan piramida makanan di ekosistem tersebut.

(25)

9 dihasilkan oleh sebaran sinar tampak yang dipengaruhi oleh substansi terlarut maupun tersuspensi. Nontji (2006) menuliskan bahwa warna biru di laut hanya muncul bila di perairan tersebut tidak dijumpai material humus, fitoplankton, dan umumnya miskin produksi organik; sedangkan warna cyan sampai kuning

menunjukkan perairan tersebut kaya akan plankton. Terkait dengan kajian habitat pelagis, maka pemahaman lingkungan perairan sebaiknya diawali dengan awal mata rantai produksi primer yaitu fitoplankton. Saat ini kemajuan di bidang penginderaan jauh kelautan telah memungkinkan penyediaan data lingkungan fisik berdasarkan tampilan warna muka laut hasil interpretasi data inderaja satelit.

Dalam lingkup kajian habitat cetacea di Selat Ombai, bab ini memaparkan profil habitat berdasarkan interpretasi tampilan warna muka laut yang datanya diperoleh sensor SeaWiFS. Data warna muka laut SeaWiFS digunakan untuk menyajikan sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a, yang selanjutnya dikaitkan dengan lokasi spesifik dijumpainya komunitas cetacea.

2.2. Faktor biofisik lingkungan yang berperan terhadap komunitas cetacea

2.2.1. Suhu permukaan laut

(26)

10 Dalam kaitannya dengan sebaran cetacea, Tynan et al. (2005) berhasil mengaitkan keberadaan 44.5% sebaran perjumpaan Lagenorhynchus obliquidens

(pacific white-sided dolphin) terhadap fitur thermal front yang nampak jelas pada awal musim panas di perairan California. Hal yang sama juga membuat rentang spasial cetacea yang identik dengan perairan pesisir hangat, Phocoena phocoena

(harbor porpoise), menjadi lebih melebar ke arah lepas pantai Kalifornia

mendekati thermal front (Tynan et al. 2005). Masih dari perairan Pasifik, terdapat asosiasi yang erat antara thermal front sepanjang musim semi hingga gugur di barat laut Pasifik dengan kehadiran Balaenoptera musculus (Moore et al. 2002) dan untuk Eubalaena glacialis di perairan Great South Channel (Brown and Winn 1989). Profil yang serupa juga dijumpai di perairan Atlantik, tepatnya di selatan Irish Sea, yang menampakkan konsistensi perjumpaan Phocoena phocoena

dengan thermal front musiman di perairan tersebut (Weir and O’Brien 2000).

2.2.2. Kandungan klorofil-a dan produktivitas primer

Mekanisme produksi primer di lingkungan laut didominasi oleh proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton, mengonversi nutrien dengan bantuan energi matahari menjadi karbohidrat, dan merupakan proses fundamental dalam jejaring makanan di laut (Nontji 2006; Mann and Lazier 2006; Lalli and Parsons 2000). Konsentrasi fitoplankton di suatu wilayah perairan selanjutnya digunakan untuk mengukur laju produktivitas primer di laut, sedangkan klorofil-a merupakan pigmen yang paling utama dalam menyerap spektrum radiasi

(27)

11 Sebagai biota yang berada di jenjang trofik tertinggi, cetacea membutuhkan wilayah laut yang di dalamnya terdapat konsentrasi klorofil-a tinggi secara berkesinambungan (persistent high chlorophyll-a concentration). Hal tersebut mudah dipahami untuk kelompok rorquals yang merupakan filter feeder, namun tidak demikian dengan kelompok Odontoceti karena adanya beda fase (time lag) antara produksi fitoplankton dengan produksi mangsa cetacea yang berupa ikan pelagis. Hal tersebut dicontohkan oleh Burtenshaw et al. (2004) yang mendapati hubungan erat antara pergerakan paus biru (Balaenoptera musculus) di wilayah perairan dengan konsentrasi klorofil-a tinggi, mulai dari perairan lepas pantai selatan California pada akhir musim panas hingga perairan pantai Vancouver di akhir musim gugur. Berbeda dengan hasil kajian Davis et al. (2002) yang mengaitkan sebaran 19 jenis cetacea di Teluk Mexico tidak hanya dengan produktivitas primer tinggi, tetapi juga dengan fitur hidrografi seperti pusaran (eddies) dan tebing paparan benua (continental shelf slope) yang merupakan area terpusatnya komunitas zooplankton. Hasil yang serupa ditunjukkan oleh

preferensi tiga jenis Odontoceti di habitat pelagis continental shelf slope di lepas pantai barat Skotlandia, karena di wilayah tersebut mereka mudah memangsa ikan herring (Clupea harengus) yang berasosiasi erat dengan zooplankton yang

terperangkap di sepanjang continental shelf slope tersebut (Embling et al. 2005).

Ditinjau secara vertikal, dari permukaan ke dasar, perairan laut memiliki stratifikasi berdasarkan perbedaan konsentrasi sejumlah parameter biofisik, seperti suhu dan klorofil-a. Di luar zona front, produktivitas primer di bawah lapisan termoklin dapat diabaikan, namun tidak demikian halnya di wilayah terjadinya

front, yang ternyata memiliki produktivitas primer di lapisan kolom perairan 6.5 kali lebih tinggi dengan konsentrasi klorofil-a 40 kali lebih banyak dibandingkan di lapisan permukaan (Mann and Lazier 2006). Hal tersebut bisa terjadi karena adanya lapisan piknoklin yang dangkal terdapat di zona front, yang di dalamnya secara persisten memerangkap komunitas fitoplankton. Di lapisan ini, fitoplankton dapat melakukan aktivitas fotosintesis secara lebih aktif karena mendapat

(28)

12

upwelling adalah adanya lapisan termoklin yang dangkal (Mann and Lazier 2006). Kondisi yang demikian telah digambarkan oleh Wyrtki (1962) dan Purba et al.

(1994) di perairan selatan Jawa, khususnya pada saat berlangsungnya upwelling

musiman di bulan Agustus.

2.3. Bahan dan metode

Data penginderaan jauh ocean colour yang digunakan untuk memetakan sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut di perairan Selat Ombai adalah data dari sensor SeaWiFS dibawa oleh satelit ORBVIEW-2 yang telah beroperasi selama 6 tahun. Sensor SeaWiFS ini menghasilkan dua tipe data yaitu LAC (Local Area Coverage), dengan resolusi spasial 1.13 km, dan GAC (Global Area Coverage), dengan resolusi 4.5 km. Dalam penelitian ini digunakan data LAC Level 2 dalam format HDF (Hierarchical Data Format) yang langsung diunduh dari Goddard Space Flight Center - National Aeronautics and Space

Administration (GSFC – NAS

selanjutnya diolah mengunakan software SeaDAS versi 4, yang di dalamnya terdapat algoritma khusus untuk diaplikasikan secara spesifik di perairan Indonesia (Hendiarti 2003), sehingga mampu menampilkan profil sebaran klorofil-a dan suhu permukaan laut.

Data LAC Level 2 hanya digunakan untuk menampilkan profil biofisik perairan Selat Ombai yang bersamaan dengan waktu pengamatan komunitas cetacea pada pelayaran INSTANT (28 Desember 2003 – 4 Januari 2004 dan 29 Juni – 4 Juli 2005). Untuk menampilkan profil muka laut secara time series tiap bulan, digunakan data yang telah diproses, fasilitas dari The Goddard Earth Sciences Data and Information Services Center (GES DISC) yang tersedia pada

lam

(29)

13 Analisis data

Data klorofil-a dan suhu permukaan laut di perairan Selat Ombai memiliki resolusi spasial 0.2° x 0.2° dan disajikan dalam format ASCII. Data ASCII tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk gambar sebaran klorofil-a dengan bantuan software Surfer versi 8. Berdasarkan gambar sebaran parameter klorofil-a dan suhu permukaan laut tersebut, selanjutnya dikaji pola perubahan nilai masing-masing parameter untuk mengetahui keberadaan fitur oseanografi khusus seperti

eddies dan front, serta nilai maksimum, minimum, dan rata-rata di tiap periode akuisisi data citra.

2.4. Hasil

2.4.1. Sebaran cetacea berdasarkan profil suhu permukaan laut

Selain menampilkan informasi mengenai sebaran klorofil-a, data SeaWiFS juga dapat memberikan informasi mengenai sebaran suhu permukaan laut. Ekstraksi data SeaWiFS untuk tampilan sebaran suhu permukaan laut hanya berhasil untuk akuisisi tanggal 30 Juni dan 4 Juli 2005. Dengan demikian, profil habitat cetacea yang ditinjau dari sebaran suhu permukaan laut hanya diperoleh untuk data pengamatan cetacea hasil Survei INSTANT-Cetacea II. Profil habitat pelagis di perairan Selat Ombai berdasarkan sebaran suhu permukaan laut ditampilkan pada Gambar 2-1 dan 2-2.

Dari Gambar 2-1 dapat diketahui bahwa suhu permukaan laut (SPL) di Selat Ombai pada tanggal 30 Juni 2005 memiliki kisaran 27–30 °C. Terlihat adanya

(30)

14 Gambar 2-1. Sebaran suhu permukaan laut di Selat Ombai pada 30 Juni 2005

(31)

15 Pada tanggal 30 Juni 2005 (Gambar 2-1), terjadi empat perjumpaan dengan komunitas cetacea dengan dua spesies yang teridentifikasi positif dan satu

unidentified cetacea (Plot A). Dua spesies cetacea yang teridentifikasi adalah

Physeter macrocephalus (Plot B, C, D) dan Stenella longirostris (Plot C). Khusus untuk Stenella longirostris, cetacea jenis ini teramati dalam populasi besar dan melakukan aktivitas bowriding, yaitu berenang mengikuti pergerakan kapal Baruna Jaya VIII. Secara umum, plot perjumpaan cetacea memiliki preferensi terhadap keberadaan thermal front di perairan Selat Ombai.

Gambar 2-2 menunjukkan sebaran SPL pada tanggal 4 Juli 2005, dengan kisaran 27–29 °C. Sama halnya dengan profil sebaran SPL pada 30 Juni 2005 (Gambar 2-1), pada hari ini juga dijumpai fitur thermal front dengan posisi dan pola yang sama. Perbedaan fitur thermal front dari kedua periode adalah gradien SPL maksimal yang terbentuk pada 4 Juli 2005 bernilai lebih rendah, 1.5 °C, dan gradasi perubahan nilai SPL terlihat lebih lebar. Jenis cetacea yang diamati pada hari tersebut adalah Stenella longirostris, yang juga tengah melakukan aktivitas

foraging dan makan di sekitar wilayah front.

Hanya tercatat dua perjumpaan dengan komunitas cetacea pada tanggal 4 Juli 2005, yaitu dengan pod Stenella longirostris (Gambar 2-2) yang melakukan

foraging dan makandi sepanjang aliran front yang terbentuk. Aktivitas foraging

dan makan Stenella longirostris ditandai dengan pergerakan simultan pasangan-pasangan cetacea berkecepatan tinggi, diikuti aktivitas menyelam singkat yang repetitif, manuver gerak yang memusat di permukaan dengan diselingi aksi

(32)

16 2.4.2. Sebaran cetacea berdasarkan profil klorofil-a permukaan

Sebaran klorofil-a permukaan di perairan Selat Ombai ditunjukkan pada Gambar 2-3, 2-4, dan 2-5. Terlihat bahwa sebaran produktivitas primer, yang diwakili oleh kandungan klorofil-a permukaan, memiliki variasi spasial. Perairan Selat Ombai yang memiliki produktivitas primer tinggi ditunjukkan dengan warna merah dan umumnya terdapat di timur Selat Ombai atau di tenggara Pulau Alor.

Gambar 2-3. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 4 Januari 2004.

(33)

17 Gambar 2-4. Sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai pada 30 Juni 2005.

(34)

18 Sebaran klorofil-a permukaan untuk Musim Timur ditunjukkan pada

Gambar 2-4 dan 2-5, yang merupakan akuisi 30 Juni 2005 dan 4 Juli 2005. Apabila sekilas dibandingkan, maka rentang nilai klorofil-a permukaan untuk musim barat lebih rendah dibandingkan pada musim tenggara. Pada musim tenggara, kisaran klorofil-a permukaan adalah 0.01 – 0.08 mg/L; kemudian profil

front klorofil-a permukaan dan eddies yang dibentuk juga lebih majemuk dan terdeteksi di beberapa lokasi di perairan Selat Ombai. Hal tersebut menunjukkan adanya fenomena localized upwelling. Bila dikaitkan dengan komunitas cetacea yang teramati, maka plot perjumpaan cetacea umumnya berdekatan dengan lokasi terbentuknya front atau di zona transisi klorofil-a dan tidak terfokus pada wilayah berkonsentrasi klorofil-a tinggi.

Secara umum, pendeteksian sebaran klorofil-a permukaan pada tanggal tersebut tidak optimal disebabkan oleh tebalnya tutupan awan yang menghalangi kinerja sensor SeaWiFS. Awan merupakan faktor kendala utama dalam

pendeteksian parameter oseanografi permukaan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Kendala serupa dialami oleh Cresswell et al. (1997) yang mengkaji variabilitas upwelling secara musiman dan tahunan di perairan Nusa Tenggara dan selatan Jawa menggunakan data inderaja NOAA-AVHRR, dan mendapati bahwa penutupan awan pada musim barat berlangsung ekstensif. Moore and Marra (2003), yang menggunakan data SeaWiFS, mendapati bahwa perairan selatan Alor merupakan wilayah dengan fenomena upwelling yang berlangsung secara permanen (persistent upwelling).

2.4.3. Profil bulanan sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai

Untuk melihat konsistensi keberadaan zona transisi klorofil-a yang tinggi di perairan Selat Ombai, digunakan data klorofil-a permukaan serial bulanan,

(35)

19

DES-03 JAN 04 FEB-04

MAR-04 APR 04 MEI-04

JUN-04 JUL 04 AGU-04

SEP-04 OKT 04 NOP-04

Musim Barat

Musim Peralihan I

Musim Timur

(36)

20 Gambar 2-6. Profil serial bulanan sebaran klorofil-a permukaan di Selat Ombai, Desember 2003-Juli 2005.

DES-04 JAN 05 FEB-05

MAR-05 APR 05 MEI-05

JUN-05 JUL 05

Musim Barat

Musim Peralihan I

(37)

21 Gambar 2-6 menunjukkan bahwa sebaran klorofil-a permukaan di perairan Selat Ombai bervariasi secara spasial dan temporal, dengan fitur upwelling yang terdeteksi secara konsisten, walau masing-masing bulan menunjukkan bentang wilayah dan intensitas upwelling yang berbeda satu sama lain. Rerata nilai klorofil-a permukaan dihitung untuk nilai yang terekam di sekitar titik penenggelaman mooring Ombai 1, yaitu 8° 24.098' LS dan 125° 0.163' BT. Kisaran nilai rerata klorofil-a permukaan adalah 0.13–0.38 mg/m3, sedangkan nilai maksimum parameter klorofil-a permukaan terletak di titik yang bervariasi antar musim dengan kisaran 0.46–2.50 mg/m3

Variasi antar musim sebaran dan nilai klorofil-a permukaan di Selat Ombai terlihat jelas dari Gambar 2-6. Pada periode pertama pengamatan cetacea,

Desember 2003-Januari 2004, nilai rerata dan maksimum klorofil-a adalah 0.26 mg/m

(Lampiran 4).

3

dan 0.74 mg/m3, serta 0.16 mg/m3 dan 0.67 mg/m3. Terjadi peningkatan nilai maksimum klorofil-a pada periode kedua pengamatan cetacea, Juni-Juli 2005, yaitu 1.02 mg/m3 dan 0.96 mg/m3

Umumnya fitur upwelling di perairan Selat Ombai terdeteksi di selatan Pulau Alor, dengan kondisi upwelling berintensitas tinggi berlangsung pada Musim Timur dan Musim Peralihan II (Gambar 2-6). Musim utama perburuan paus oleh nelayan Lamalera, yang bermukim di barat Pulau Alor, berlangsung pada bulan-bulan tersebut (Barnes 1996), mengindikasikan bahwa ada kelimpahan cetacea yang tinggi yang secara tidak langsung terkait dengan tingginya

produktivitas primer di perairan Selat Ombai yang juga merupakan wilayah perburuan paus. Bentang wilayah yang memiliki konsentrasi klorofil-a permukaan tinggi pada Musim Timur dan Musim Peralihan II juga lebih luas, menyebar hingga ke barat daya Selat Ombai atau memasuki perairan Laut Sawu. Hal serupa juga diperoleh Creswell et al. (1997) dan Moore and Marra (2002).

, walaupun nilai rerata klorofil-a di lokasi

mooring tergolong homogen. Variasi tahunan sebaran klorofil-a permukaan ditunjukkan secara jelas pada profil bulan Mei, yaitu terjadinya fitur upwelling

(38)

22

2.5. Pembahasan

Perairan Selat Ombai memiliki keunikan spesifik dalam kaitannya dengan sejumlah fenomena oseanografi dan komunitas apex predator cetacea. Data inderaja satelit hasil pemindaian sensor SeaWiFS dapat digunakan untuk

mendeteksi sejumlah fitur oseanografi penting yang dapat menjelaskan mengapa komunitas cetacea memanfaatkan beberapa lokasi di perairan Selat Ombai sebagai habitat makannya. Siegel et al. (2004) menjelaskan bahwa pencitraan muka laut hasil interpretasi data SeaWiFS memiliki sejumlah kelebihan, yang di antaranya adalah menampilkan nilai parameter klorofil-a permukaan dan fitur proses oseanografi penting, seperti upwelling,downwelling, dan eddies, yang dapat disesuaikan skala ruang dan waktunya, serta tersedia secara konsisten sejak 1 Agustus 1997. Pada penelitian ini digunakan 25 peta citra SeaWiFS, yang lima di antaranya merupakan data real time yang selaras waktu perekamannya dengan pengambilan data lapangan komunitas cetacea di Selat Ombai.

Gambar 2-1 dan 2-2 menunjukkan pencitraan muka laut berdasarkan parameter suhu permukaan laut, yang secara rinci menunjukkan keberadaan fitur

thermalfront, terutama di timur Pulau Alor dan di barat laut Pulau Timor. Gambar 2-3, 2-4, 2-5, dan 2-6 menunjukkan profil muka laut hasil pencitraan SeaWiFS berdasarkan parameter klorofil-a permukaan, yang masing-masing menunjukkan adanya fenomena peningkatan konsentrasi klorofil-a permukaan (upwelling) secara permanen di perairan Selat Ombai. Resolusi spasial data LAC Level 2 SeaWiFS dapat menunjukkan secara detail lokasi dan bentang wilayah terbentuknya fitur eddies di Selat Ombai (Gambar 2-3 s/d 2-5).

Hasil kajian Sangra et al. (2001) di perairan Gran Canaria menunjukkan adanya fitur mesoscale eddies berdasarkan konsentrasi klorofil-a permukaan di daerah leeward Pulau Canari yang dipengaruhi oleh internal wave. Fitur eddies

tersebut mengakibatkan peningkatan biomassa fitoplankton serta menyokong peningkatan biomassa zooplankton sepuluh kali lipat dibandingkan di daerah

(39)

23 memiliki frekuensi yang lebih tinggi dan berkontribusi terhadap eskalasi

produktivitas primer setempat (Robertson and Ffield 2005, 2008).

Peningkatan kandungan klorofil-a di Selat Ombai secara langsung menunjukkan bahwa komunitas fitoplankton, yang menjadi landasan piramida makanan di ekosistem laut, tersedia dalam jumlah yang melimpah secara kontinu atau bahwa perairan Selat Ombai memiliki mekanisme percampuran massa air yang intensif. Walaupun tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan keberadaan komunitas cetacea yang dijumpai di perairan tersebut, adanya sejumlah lokasi dengan kandungan klorofil-a tinggi menyokong ketersediaan mangsa cetacea dari jenis Stenella longirostris dan Pseudorca crassidens, karena apex predator cetacea dari spesies tersebut seringkali dijumpai tengah melakukan aktivitas foraging dan makan di perairan Selat Ombai.

Selain upwelling, fitur oseanografi lain yang tak kalah penting yang terdeteksi oleh data SeaWiFS adalah thermal front, yang umumnya terbentuk di tepian Pulau Alor dan Timor, tempat Arlindo memasuki perairan Selat Ombai menuju Laut Sawu. Spesies cetacea yang memiliki kecenderungan terhadap

thermal front di Selat Ombai adalah Stenella longirostris. Ballance et al. (2006) menuliskan bahwa spesies tersebut juga selalu dijumpai di perbatasan massa air hangat Peru Current dan Equatorial Front di timur Pulau Galapagos. Selain

Stenella longirostris, terbentuknya fitur thermal front secara musiman juga mempengaruhi sebaran sejumlah spesies cetacea yang lain, seperti rorquals di Gulf of St. Lawrence, Kanada (Doniol-Valcroze et al. 2007), pesut Phocoena phocoena di lepas pantai Barat Skotlandia (Embling et al. 2004), serta banyak jenis cetacea di perairan California Current System (Tynan et al. 2005,

Burtenshaw et al. 2004).

Apabila Viale (1985) menyatakan bahwa hubungan antara suhu perairan dengan sebaran cetacea bersifat tidak langsung, maka hal yang berbeda

(40)

24 Equatorial Front merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi sebaran dan densitas cetacea di perairan tersebut.

Martin (2003) menyarikan bahwa fitur front dan eddies di laut merupakan faktor utama yang memacu peningkatan produktivitas primer dan biomassa fitoplankton. Hal ini disebabkan oleh terperangkapnya komunitas fitoplankton di bagian-bagian perairan tertentu dan eskalasi proses fotosintesis terjadi akibat mekanisme pengadukan (mixing and stirring) yang menyuplai nutrien secara terus-menerus dari perairan dalam. Keberadaan proses verticalmixing di perairan Selat Ombai telah dibuktikan oleh Atmadipoera et al. (2009), sehingga diduga proses tersebut merupakan salah satu mekanisme utama yang menyebabkan kondisi persistent upwelling dapat dijumpai di perairan ini (Gambar 2-6).

Selain memacu produktivitas primer, front dan eddies juga dapat dikaitkan dengan sebaran spasial apex predator cetacea di laut, karena merupakan faktor fisiografi utama yang memungkinkan terjadinya interaksi predator-mangsa antara penghuni jenjang trofik tertinggi dan terendah, khususnya Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, dan Orcinus orca yang dijumpai memangsa schooling ikan pelagis permukaan (Gambar 2-1 s/d 2-5). Keberadaan ikan pelagis sebagai salah satu predator utama di wilayah perbatasan front dan eddies sangat terkait dengan retensi agregasi zooplankton, larva ikan, dan komunitas grazers lain, sehingga komunitas apex predator cetacea juga mendatangi wilayah perairan ini untuk memangsa schooling ikan pelagis tersebut. Namun demikian, fitur lapisan

permukaan tersebut tidak dapat dikaitkan dengan konsistensi perjumpaan dengan

Physeter macrocephalus yang mangsanya merupakan biota penghuni laut dalam, terutama cephalopoda.

Palacios et al. (2006), Hastie et al. (2004) dan Worm et al. (2003)

mengenalkan istilah biological hot spots, yang menunjukkan wilayah tertentu di perairan laut, bila dibandingkan wilayah perairan lain di dekatnya, yang memiliki kandungan kloforil-a permukaan yang tinggi disertai kelimpahan predator yang tinggi pula, terutama biota pelagis besar, seperti ikan, penyu, burung laut, dan cetacea. Burtenshaw et al. (2004) mendapati preferensi Balaenoptera musculus

(41)

25 Dengan demikian, Selat Ombai juga merupakan biological hot spots di perairan nusantara karena merupakan lokasi yang secara konsisten memiliki kandungan klorofil-a tinggi dan keberadaan populasi apex predator tinggi, terutama untuk spesies Stenella longirostris, Pseudorca crassidens, dan Physeter macrocephalus

yang dijumpai secara konsisten di perairan tersebut.

2.6. Simpulan

Pencitraan warna muka laut menggunakan data SeaWiFS dapat digunakan untuk menunjukkan karakteristik lingkungan fisik habitat cetacea di Selat Ombai, khususnya untuk parameter suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a permukaan. Profil warna muka laut yang diperoleh dari 25 peta citra SeaWiFS dapat mengidentifikasi lokasi spesifik keberadaan fitur oseanografi khusus, seperti

thermalfront dan eddies, yang melengkapi hasil pengamatan visual komunitas cetacea serta memberikan indikasi lanjutan terhadap kemungkinan keberadaan habitat kritis cetacea di perairan Selat Ombai, karena mayoritas titik pengamatan cetacea berada dekat dengan fitur tersebut. Konsistensi perjumpaan apex predator cetacea, keberadaan thermal front, eddies dan persistensi kondisi produktivitas primer yang tinggi (berdasarkan pencitraan kandungan klorofil-a permukaan) menjadikan Selat Ombai sebagai perairan biological hot spots yang penting untuk dikaji lebih lanjut.

Daftar Pustaka

Allen MC and A Read. 2000. Habitat selection of foraging bottlenose dolphins in relation to boat density near Clearwater, Florida. Marine Mammal Science 16:815-824.

Arrigo KR, D Worthen, A Schnell, and MP Lizotte. 1998. Primary production in Southern Ocean waters. Journal of Geophysical Research 103: 587-600. Atmadipoera AS, R Molcard, G Mardec, S Wijffels, J Sprintall, A Koch-Larrouy,

(42)

26 Balance LT, RL Pitman, and PC Fiedler. 2006. Oceanographic influences on

seabirds and cetaceans of the eastern tropical Pacific: A review. Progress in Oceanography 69 (2006) 360–390. doi:10.1016/j.pocean.2006.03.013 Bearzi G. 1994. Behavioural states: terminology and definitions. Proceedings of

the workshop “Methods for the study of bottlenose dolphins in the wild”. Eds: GN di Sciara, PGH Evans, and E Politi. 8th

Bost CA, C Cotte, F Bailleul, Y Cherel, JB Charrassin, C Guinet, DG Ainley, and H Weimerskirch. 2009. The importance of oceanographic fronts to marine birds and mammals. Journal of Marine Systems 78 (2009): 363-376. doi:10.1016/j.jmarsys.2008.11.022

Annual Meeting of the European Cetacean Society. Montpellier, 3 March 1994.

Brown CW and HE Winn. 1989. Relationship between the distribution pattern of right whales, Eubalaena glacialis, and satellite-derived sea surface thermal structure in the Great South Channel. Continental Shelf Research 9 (3): 247-260.

Burtenshaw JC, EM Oleson, JA Hildebrand, MA McDonald, RK Andrew, BM Howe, and JA Mercer. 2004. Acoustic and satellite remote sensing of blue whale seasonality and habitat in the Northeast Pacific. Deep-Sea Research II 51 (2004) 967–986. doi:10.1016/j.dsr2.2004.06.020

Cresswell G, M Purba, and SI Sachoemar. 1997. Application of remote sensing and oceanographic assessment in fisheries development. Report on short program of collaborative research. CSIRO, BPPT, and IPB.

Davis RW, GS Fargon, N May, TD Leming, M Baumgartner, WE Evans, LJ Hansen, and K Mullin. 1998. Physical habitat of cetaceas along the continental slope in the north-central and western gulf of Mexico. Marine Mammal Science 14 (3): 490-507.

Davis RW, JG Ortega-Ortiza, CA Ribic, WE Evans, DC Biggs, PH Ressler, RB Cady, RR Lebend, KD Mullin, B Wursig. 2002. Cetacean habitat in the northern oceanic Gulf of Mexico. Deep-Sea Research I 49 (2002) 121–142. Doniol-Valcroze T., D. Berteaux, P. Larouche, and R. Sears. 2007. Influence of

thermal fronts on habitat selection by four rorqual whale species in the Gulf of St. Lawrence. Mar Ecol Prog Ser Vol 335: 207-216.

Embling CB, PG Hernandes, PS Hammond, E Armstrong, and J Gordon. 2005 Investigations into the relationship between pelagic fish and dolphin distributions off the west coast of Scotland. ICES CM2005; 15 pp. Hastie GD, B Wilson, LJ Wilson, KM Parsons, and PM Thompson. 2004.

Functional mechanisms underlying cetacean distribution patterns: hotspots for bottlenose dolphins are linked to foraging. Marine Biology (2004) 144: 397–403. DOI 10.1007/s00227-003-1195-4

(43)

27 Kaltenberg AM. 2004. 38-kHZ ADCP Investigation of Deep Scattering Layers in

Sperm Whale Habitat in the Northern Gulf of Mexico. M.Sc Thesis under supervision of DC Biggs and SF DiMarco. Major: Oceanography. Texas A&M University.

Lalli C and TR Parsons. 2000. Biological oceanography - an introduction. 2nd

Mann KH and JRN Lazier. 2006. Dynamics of marine ecosystems: biological-physical interactions in the oceans. 3

edition. Butterworth-Heinemann: 314 pp.

rd

Martin AP. 2003. Phytoplankton patchiness: the role of lateral stirring and mixing. Progress in Oceanography 57 (2003) 125–174.

doi:10.1016/S0079-6611(03)00085-5.

ed. Blackwell Publishing: 496 pp.

Moore K and M Abbott 2000. Phytoplankton chlorophyll distributions and primary production in the Southern Ocean. Journal of Geophysical Research, 105 (28): 709-722.

Moore TS and J Marra. 2002. Satellite observations of bloom events in the Strait of Ombai: Relationships to monsoons and ENSO. Geochem Geophys Geosyst 3 (2). doi: 10.1029/2001GC00174.

Moore SE, WA Watkins, MA Daher, JR Davies, and ME Dalheim. 2000. Blue whale habitat associations in the northwest Pacific: analyses of remotely-sensed data using Geographic Information System. Oceanography 15 (3), 20-25.

Nonti, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. 368 hal.

Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. P2O-LIPI. Jakarta. iii + 240 h.

Palacios DM,SJ Bograd, DG Foley, and FB Schwing. 2006. Oceanographic characteristics of biological hot spots in the North Pacific: A remote sensing perspective. Deep-Sea Research II 53 (2006) 250–269.

doi:10.1016/j.dsr2.2006.03.004

Purba M, INMN Natih, dan AS Atmadipoera. 1994. Keterkaitan sifat-sifat oseanografi dengan sifat-sifat biologis sebagai akibat proses upwelling di perairan selatan Jawa Barat. Laporan penelitian. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Robertson R and A Ffield. 2005. M2 Baroclinic tides in the Indonesian Seas. Oceanography Vol. 18, No. 4, Dec. 2005.

Robertson R and A Ffield 2008: Baroclinic tides in the Indonesian Seas. Part 2: Interactions between tidal constituents, energy fluxes, and tidal mixing with a focus on Ombai Strait, doi:10.1029/2007JC004677.

(44)

28 Siegel DA, AC Thomas, and J Marra. 2004. Views of ocean processes from the

Sea-viewing Wide Field-of view Sensor mission: introduction to the first special issue. Journal of Deep-Sea Research II 51 (2004) 1-3.

doi:10.1016/j.dsr2.2003.12.001

Taylor L, M Carwardine, and E Hoyt (Eds). 2002. The nature companions sharks and whales. Fog city press.

Tynan CT, DG Ainley, JA Barth, TJ Cowles, SD Pierce, and LB Spear. 2005. Cetacean distribution relative to ocean processes in the northern California Current System. Deep-Sea Research II: 145-167.

Viale D. 1985. Cetacea in the Northwestern Mediterranean: their place in ecosystem. In: Oceanography and Marine Biology: an annual review - volume 23. M Barnes (Ed). Aberdeen University Press. 491-571pp. Weir CR and SH O'Brien. 2000. Association of the harbour porpoise (Phocoena

phocoena) with the western Irish Sea front. European Research on Cetaceas - 14. Proceedings on the 14th conference of European cetacea society. Cork, Ireland, 2-5 April 2000: 61-65.

Worm B, HK Lotze, and RA Myers. 2003. Predator diversity hotspots in the blue ocean. PNAS 2003;100;9884-9888. doi:10.1073/pnas.1333941100

Wyrtki K. 1962. The upwelling in the region between Java and Australia during the south east monsoon. Australian Journal of Marine and Freshwater Research 13 (3): 217-225.

(45)

29

3.

DINAMIKA LAPISAN PELAGIS YANG MENJADI

FORAGING

HABITAT

CETACEA DI SELAT OMBAI: PROFIL LAPISAN

TERMOKLIN DAN HAMBUR BALIK AKUSTIK

3.1. Pendahuluan

Laut merupakan sistem yang kompleks karena dari seluruh fitur yang digunakan untuk mendefinisikan bagian atau kondisi laut, hanya batimetri yang sifatnya relatif permanen. Secara melintang, dari permukaan ke dasar, laut dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang didasari oleh sifat penetrasi cahaya matahari, sehingga di laut pelagis dikenal zona epipelagis, mesopelagis, dan seterusnya hingga hadalpelagis (Nontji 1993). Dalam ranah oseanografi, dikenal istilah lapisan termoklin yang

merupakan lapisan transisi antara lapisan massa air tercampur di dekat permukaan laut dengan lapisan terstratifikasi di bawahnya, yang mengalami perubahan suhu tajam terhadap perubahan kedalaman (Mann and Lazier 2006). Lebih jauh lagi, perairan pelagis ternyata memiliki beragam habitat yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kedalaman dan suhu. Dipengaruhi oleh faktor dinamika oseanografi, terutama fitur khas seperti vertical mixing, eddies, front, dan internal wave, perairan pelagis dapat memiliki mikrostruktur habitat yang sangat penting dalam menyokong eskalasi produksi

komunitas plankton, baik fitoplankton (Martin 2003, Pershing et al. 2001, Lennert-Cody and Franks 1999) maupun zooplankton (Dagg et al. 2006, Lennert-Cody and Franks 1999, Zhou et al. 1997). Pada akhirnya, perairan yang memiliki fitur khas tersebut merupakan lokasi agregasi predator di laut, seperti ikan pelagis besar, burung laut, dan cetacea (Bost et al. 2009, Tynan et al. 2005, Genin 2004).

Selat Ombai merupakan perairan yang mendapat pengaruh angin musim

(monsoon) dan Arus Lintas Indonesia. Dinamika oseanografi perairan Selat Ombai juga tergolong kompleks dengan adanya batimetri yang rumit dan dalam (Molcard et al.

(46)

30 Menggunakan set data mooring oseanografi yang ditenggelamkan selama 1,5 tahun di utara Selat Ombai (8.40° LS dan 125.00° BT), dua parameter utama akan ditelaah secara mendalam untuk selanjutnya dikaitkan dengan fitur khas oseanografi dan proses bioenergetika yang memungkinkan ketersediaan mangsa cetacea di perairan tersebut. Parameter yang pertama adalah suhu perairan, sehingga dapat diketahui dan dikaji profil lapisan termoklin, sedangkan parameter yang kedua adalah echo intensity –EI (intensitas gema) hasil perekaman instrumen Acoustic Doppler Current Profiler. Parameter EI digunakan untuk mengetahui profil lapisan hambur balik akustik, juga mengkaji keberadaan mikrostruktur komunitas penghambur sinyal akustik di lapisan pelagis perairan Selat Ombai. Hasil kajian tersebut selanjutnya dikaitkan dengan proses yang menyokong interaksi predator-mangsa dari komunitas apex predator cetacea.

3.2. Faktor biofisik lingkungan yang berperan terhadap komunitas cetacea

3.2.1. Dari fitoplankton ke cetacea: interaksi pemangsaan dan dinamika spasio-temporal

Dinamika spasio-temporal kehidupan di laut pelagis merupakan kajian yang rumit, karena selain struktur fisiknya yang kompleks, komunitas makhluk hidup yang ditemukan di dalam sistemnya memiliki ukuran, daur hidup, sebaran spasial dan status trofiknya yang bervariasi, sehingga faktor ekologi dan fisiologi yang mempengaruhi masing-masing anggota komunitas juga bervariasi.

(A) (B)

(47)

31 Steele (1989) menyarikan dinamika spasio-temporal dari tiga komunitas utama di ekosistem laut, yaitu fitoplankton, zooplankton, dan ikan (Gambar 3-1). Bisa dilihat dari Gambar 3-1A, bahwa masing-masing komunitas, fitoplankton, zooplankton, dan ikan, memiliki domain ruang dan waktu yang berbeda, serta dari Gambar 3-1B dapat diketahui probabilitas interaksi pemangsaan antara komunitas satu dengan lainnya memiliki domain ruang dan waktu yang berbeda pula. Notasi X dan Y pada Gambar 3-1B, secara berturut-turut menunjukkan dimensi yang menyokong dan menghambat interaksi pemangsaan antara komunitas pengisi jenjang trofik berbeda tersebut.

Dalam kaitannya dengan fitur habitat apex predator cetacea, diperlukan sub-sistem yang optimal dari masing-masing komunitas penghuni trofik level rendah, yaitu fitoplankton, zooplankton, dan nekton pelagis kecil (misalnya: ikan, cephalopoda). Ketentuan lain yang juga diperlukan adalah laju produksi bahan organik oleh komunitas fitoplankton berlangsung secara konsisten, yang dipengaruhi oleh daya dukung perairan (penyediaan zat hara penting dan radiasi matahari yang cukup), yang selaras dengan rasio keberhasilan rekrutmen yang tinggi untuk tiap sub-sistem yang menghuni jenjang trofik selanjutnya (Biktashev and Brindley 2003). Steele (1989) juga menuliskan bahwa kesuksesan rekrutmen komunitas jenjang trofik antara (zooplankton dan ikan)

ditentukan oleh tempat dan waktu penetasan telur yang selaras terhadap keberadaan

patches fitoplankton.

Patchiness, atau dinamika spasio-temporal, fitoplankton sangat dipengaruhi fitur oseanografi seperti front, eddies, dan percampuran vertikal (Martin 2003), yang umumnya berlangsung dalam lingkup spasial yang bervariasi dari 1-100 km dengan rentang waktu dari 1-10 hari (Steele 1989, Gambar 3-1B). Di perairan yang mengalami proses pengadukan (stirring and mixing) atau penaikan massa air (upwelling),

manifestasi tambahan dari proses tersebut adalah adanya thermal gradient antara dua tipe massa air (Mann and Lazier 2006). Fitur khas oseanografi tersebut memacu peningkatan produktivitas biologis, mulai dari komunitas produsen (Martin 2003, Lennert-Cody and Franks 1999), zooplankton (Dagg et al. 2006, Genin 2004, Lennert-Cody and Franks 1999), hingga komunitas predator, termasuk cetacea (ca. Bost et al.

(48)

32

3.2.2. Struktur lapisan termoklin dan dinamika upwelling

Ditinjau secara vertikal, dari permukaan ke dasar, perairan laut memiliki

stratifikasi berdasarkan perbedaan konsentrasi sejumlah parameter biofisik, seperti suhu, klorofil-a. Lapisan termoklin merupakan wilayah vertikal perairan yang mengalami penurunan suhu secara drastis seiring dengan bertambahnya kedalaman (Mann and Lazier 2006). Miller (2004) menjelaskan bahwa kondisi yang ideal untuk mendukung ledakan populasi fitoplankton (spring bloom) adalah jika di lapisan termoklin masih terdapat radiasi matahari yang cukup dan level kedalaman berada di atas kedalaman kritis. Sprintall (pers. comm.) menjelaskan bahwa lapisan termoklin di Selat Ombai berada pada kedalaman ca. 200 m, yang merupakan batas bawah lapisan termoklin paling dalam dibandingkan lintasan Arlindo lainnya.

Di zona luar terjadinya front, produktivitas primer di bawah lapisan permukaan tercampur dapat diabaikan, namun tidak demikian halnya di wilayah terjadinya front

yang ternyata memiliki produktivitas primer pada wilayah kolom perairan 6.5 kali lebih tinggi dengan konsentrasi klorofil-a 40 kali lebih banyak dibandingkan di wilayah dekat permukaan (Mann and Lazier 2006). Hal tersebut bisa terjadi karena adanya lapisan pycnocline yang dangkal yang terdapat di zona front (Sangra et al. 2001), yang di dalamnya meme-rangkap komunitas plankton (Martin 2003, Biktashev and Brindley 2003, Pershing et al. 2001,). Di lapisan ini, fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis secara lebih aktif karena mendapat pencahayaan yang cukup dan asupan nutrien yang secara kontinu terdifusi dari lapisan bawah (Mann and Lazier 2006, Lalli and Parsons 2000).

Bila dikaitkan dengan upwelling, yaitu peristiwa pengangkatan massa air yang kaya nutrien ke dalam lapisan tercampur di dekat permukaan. Peristiwa upwelling yang dipengaruhi oleh adanya lapisan termoklin yang dangkal, dapat memacu eskalasi produktivitas biologis karena proses produksi melalui fotosintesis oleh fitoplankton dapat berlangsung lebih optimal akibat adveksi nutrien dari lapisan bawah termoklin langsung dimanfaatkan untuk produksi. Adanya kondisi yang demikian telah

Gambar

Gambar Judul gambar
Tabel kisaran suhu (dalam °C) pada kedalaman 100 m, 125 m, 170 m, 240 m,
Gambar 1-1. Diagram alir penelitian
Gambar 2-2.  Sebaran suhu permukaan laut di Selat Ombai pada 4 Juli 2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ekstraksi dilakukan menggunakan metode maserasi dengan menggunakan tiga jenis pelarut. Ekstraksi pertama digunakan pelarut non polar yakni n- heksan dengan cara

Dalam penelitian ini, untuk mengetahui pengaruh luas lahan, produksi tebu, rendemen tebu dan tenaga kerja terhadap produksi Gula di Indonesia tahun 1988-2017, digunakan

Dalam pernyataan masalah ini, pengkaji cuba melakukan tinjauan semula terhadap kajian- kajian literatur,dan pengkaji mendapati hanya segelintir menunjukkan hasil yang

poslije Krista od Rimljana te posljedično širenje Židova u četiri ugla zemlje iz Palestine (eng. Destruction of the Second Temple in 70 AD by the Romans and the consequent

Dengan demikian jadilah kesenian mendu ini milik rakyat (Bidang Kesenian Kantor Wilayah Prov. Berdasarkan paparan di atas, maka pada versi ketiga diketahui bahwa

Perancangan Sistem Informasi Pelayanan Tamu Villa pada Villa Teratai Lembang ini akan menghasilkan sebuah produk berupa program aplikasi yang dapat menangani

Karang Pule Menjadi wil. Sekarbela, Perda No. Sekarbela, Perda No. Selaparang, Perda No.. Dasan Agung Menjadi wil. Selaparang, Perda No. Selaparang, Perda No. Selaparang, Perda

antara tingkat pendapatan dengan tingkat konsumsi rumah tangga, maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa total pengeluaran rumah tangga nelayan di Kelurahan