• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Genetik Klon Ikan Sumatra (Puntius tetrazona Bleeker) Hasil Ginogenesis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Genetik Klon Ikan Sumatra (Puntius tetrazona Bleeker) Hasil Ginogenesis"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK GENETIK

KLON IKAN SUMATRA (

Puntius tetrazona

Bleeker)

HASIL GINOGENESIS

TRI YUSUFI MARDIANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam tesis

KARAKTERISTIK GENETIK KLON IKAN SUMATRA (

Puntius tetrazona

Bleeker) HASIL GINOGENESIS)

adalah benar merupakan gagasan dan hasil

penelitian saya sendiri dibawah arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber

informasi yang digunakan dalam tesis ini telah dinyatakan secara jelas dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis serta dapat diperiksa

kebenarannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada

program studi sejenis di Perguruan Tinggi lain.

Bogor, Agustus 2007

(3)

RINGKASAN

TRI YUSUFI MARDIANA. Karakteristik Genetik Klon Ikan Sumatra (

Puntius

tetrazona

Bleeker) Hasil Ginogenesis. Dibimbing oleh KOMAR

SUMANTADINATA, DINAR TRI SOELISTYOWATI dan UTUT WIDYASTUTI.

Rekayasa set kromosom dengan teknologi ginogenesis 2 tahap telah dilakukan

dalam rangka penyedian populasi klon ikan sumatra sebagai hewan percobaan.

Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi klon ikan sumatra dan melakukan

verifikasi genotip klon hasil ginogenesis berdasarkan analisis RAPD, determinasi

kelamin dan ciri meristik. Pada ginogenesis tahap I, kejutan panas diberikan pada fase

mitosis I untuk mendapatkan mitogen sebagai calon induk klon. Pada ginogenesis

tahap II, kejutan panas diberikan pada fase meiosis yang menghasilkan klon.

(4)

ABSTRACT

TRI YUSUFI MARDIANA. The Genetic Characteristics of Gynogen Clon in

Sumatra Fish (

Puntius tetrazona

Bleeker). Under supervision of KOMAR

SUMANTADINATA, DINAR TRI SOELISTYOWATI, and UTUT WIDYASTUTI

.
(5)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber

a.

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah

b.

Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

KARAKTERISTIK GENETIK

KLON IKAN SUMATRA (

Puntius tetrazona

Bleeker)

HASIL GINOGENESIS

TRI YUSUFI MARDIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul

: Karakteristik Genetik Klon Ikan Sumatra (

Puntius tetrazona

Bleeker)

Hasil Ginogenesis

Nama

: Tri Yusufi Mardiana

NRP

: C 151030181

Program Studi : Ilmu Perairan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, MSc

Ketua

Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA

Dr. Ir. Utut Widyastuti, MSi

Anggota

Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perairan

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS

Prof. Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro, MS

(8)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah atas segala rahmat dan hidayah Allah SWT, sehingga

penulisan tesis dengan judul

KARAKTERISTIK GENETIK KLON IKAN

SUMATRA (

Puntius tetrazona

Bleeker) HASIL GINOGENESIS

dapat

diselesaikan. Tesis ini

diajukan untuk memperoleh gelar Magister pada Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak

Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata MSc., selaku ketua komisi pembimbing, serta Ibu

Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang telah

memberikan kesempatan untuk ikut dalam kegiatan Hibah Penelitian dari Direktur

Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat DIKTI, serta Ibu Dr. Ir. Utut

Widyastuti, MSi selaku anggota komisi pembimbing. Terimakasih atas keikhlasan

dan kesabaran memberikan bimbingan nasehat, arahan dan dorongan mulai dari

penulisan proposal, selama pelaksanaan penelitian berlangsung sampai selesainya

penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor Universitas

Pekalongan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui

Dana Pendidikan BPPS sehingga studi berjalan dengan lancar. Terima kasih saya

sampaikan kepada Kepala Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan FPIK

IPB, Pusat Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, Laboratorium

Ikan di Babakan atas izin lokasi penelitian, serta Pak Mul, Mbak Pepi, Mbak Lina.

Tim ginogenesis (Elis, Siska, Rizal, Andi, Arti) dan tim Biorin (Ibu Ayi, Udin,

Firdaus, Huda, Agustin, Zendi, Wiwid, Didi), Nazli, Hanum atas bantuannya selama

penelitian. Terima kasih kepada orang tua, adik, kakak, suami dan anak tercinta atas

segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2007

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Tri Yusufi Mardiana, dilahirkan di Blitar, Jawa Timur pada

tanggal 29 Maret 1975. Penulis merupakan puteri ketiga dari empat bersaudara

pasangan Bapak M. Zen Haryanta dan ibu Harmini. Pendidikan Sekolah Dasar

ditempuh di SD Negeri II Srengat Blitar, lulus tahun 1987. Sekolah Menengah

Pertama diselesaikan pada tahun 1990 di SMP I Srengat Blitar, Sekolah Menengah

Atas ditempuh di SMA I Blitar Jurusan Fisika (A1) lulus tahun 1993.

Pada tahun 1993 penulis melanjutkan di Jurusan Perikanan Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang melalui jalur PSSB

(Program Seleksi Siswa Berpotensi) dan lulus Strata 1 tahun 1998. Tahun 2000

sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan

Universitas Pekalongan. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan Strata 2 di

Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Perairan (AIR). Beasiswa

pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia melalui Dana Pendidikan BPPS. Penulis telah menikah dengan

Slamet Suharto, SPi dan telah dikaruniai dua anak, Hakimah Nur Yusla dan

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………

xi

DAFTAR GAMBAR ………...

xii

DAFTAR LAMPIRAN ………

xiii

PENDAHULUAN

Latar Belakang ………...

1

Perumusan dan Pendekatan Masalah ………

2

Tujuan dan Manfaat ………...

3

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Sumatra ……….

4

Penggunaan Sperma dari Spesies yang Berbeda .………

4

Ginogenesis ………

5

Verifikasi Genetik Ikan Klon ……….

9

RAPD …… ………..

9

Determinasi Kelamin ………...

11

Karakter Meristik ………...

11

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian ………

13

Metode Penelitian ………..

13

Ginogenesis ………..

13

Pemeliharaan Induk Ikan Sumatra dan Ikan Tawes ……

13

Pemijahan Ikan Sumatra ……….

13

Produksi Klon dengan Metode Ginogenesis …………...

14

Verifikasi Genetik Ikan Klon ………...

16

RAPD……. ……….

16

Isolasi DNA Genom Ikan ………..

16

Analisis RAPD ………...

17

Identifikasi Jenis Kelamin………...

20

Karakterisasi Meristik ……….

20

Analisis Data ………

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberhasilan Klon Melalui Ginogenesis ……….

22

Karakteristik Genetik Ikan Klon ………..

24

RAPD …… ……….

24

Determinasi Kelamin………...

27

Karakter Meristik ………

27

(11)

DAFTAR PUSTAKA ………..

31

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Spesies donor sperma pada ginogenesis dari beberapa spesies

berbeda ………...

5

2

Primer-primer yang digunakan dalam RAPD-PCR……….

18

3

Campuran komponen PCR ………..

19

4

Siklus, proses, suhu dan waktu dalam amplifikasi genom ikan

sumatra………

19

5

Rerata keberhasilan ginogenesis menggunakan sperma ikan tawes

yang diradiasi dan suhu kejutan 40

o

C selama 1.5 menit ………….

23

6 Jumlah pita DNA dan jumlah pita polimorfik hasil amplifikasi

DNA ikan sumatra dengan primer OPA2 dan OPA4………...

25

7

Kisaran dan keragaman ciri meristik pada ikan sumatra K2N,

mitogen dan klon ……….

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Penampilan morfologis ikan sumatra (

Puntius tetrazona

) betina

dan jantan …………...

4

2 Penampilan morfologis ikan tawes jantan (

Puntius gonionotus

) ….

5

3 Diagram ginogenesis pada ikan ………

8

4 Diagram skematik produksi klon ……….

15

5 Pola-pola pita 13 sampel ikan sumatra hasil RAPD mengunakan

primer OPA 4 ………...

25

6 Dendrogram kesamaan genetik ikan sumatra normal, mitogen dan

klon ………...

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Komposisi

Cell lysis Solution

38

2

Komposisi TE 1x………..

38

3

Komposisi TAE 50x ………...

38

4

Komposisi TBE 10x ………

38

5 Komposisi

Loading dye

6x………..

38

6

Keberhasilan mitogen dengan menggunakan metode ginogenesis

tahap I ………..

39

7

Keberhasilan produksi klon dengan metode ginogenesis tahap II

menggunakan induk mitogen pada percobaan 1 ………..

40

8

Keberhasilan produksi klon dengan metode ginogenesis tahap II

pada percobaan 2 ………

40

9

Keberhasilan produksi klon dengan metode ginogenesis tahap II

pada percobaan 3 ……….

40

10 Keberhasilan produksi klon dengan metode ginogenesis tahap II

menggunakan induk mitogen ………..

41

11 Hasil spektofotometer DNA genom ikan sumatra normal ………..

42

12 Hasil spektrofotometer DNA genom ikan sumatra mitogen ……...

42

13 Hasil spektrofotometerv DNA genom ikan sumatra klon ………...

42

14 Hasil ekstraksi DNA ikan sumatra normal, mitogen, klon ………..

43

15 Pola-pola pita 12 sampel ikan sumatra normal, mitogen dan klon

hasil RAPD mengunakan primer OPA 2 ………

43

16 Pola-pola pita 12 sampel ikan sumatra normal, mitogen dan klon

hasil RAPD mengunakan primer OPA 2 ……….

44

(15)

hasil RAPD mengunakan primer OPA 4 ……….

18 Hasil pengukuran meristik ikan sumatra normal ……….

45

19 Hasil pengukuran meristik ikan sumatra mitogen ………...

46

20 Hasil pengukuran meristik ikan sumatra klon ……….

47

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegiatan penelitian terhadap berbagai aspek akuakultur memerlukan

ikan percobaan yang homogen sehingga pengaruh perlakuan tidak bias

dengan ragam yang tinggi antar individu ikan percobaan. Ikan uji yang

homogen semakin diperlukan untuk kajian respon penyakit ikan, evaluasi

pakan, pengujian obat, evaluasi strain dan sebagainya (Sumantadinata

1997).

Ikan sumatra (Puntius tetrazona Bleeker) atau yang dikenal dengan

nama tiger barb memiliki warna dasar kuning dengan belang hitam. Ikan ini

dipertimbangkan sebagai ikan percobaan karena dapat memenuhi

persyaratan seperti siklus hidupnya yang pendek (5-6 bulan), proses

budidayanya mudah, selain itu juga memiliki ornamen warna yang menarik

dan berukuran relatif kecil (3-6 cm).

Pembuatan individu yang homozigot dengan cara seleksi

konvensional membutuhkan waktu yang lama. Thomson (1983)

menyatakan bahwa satu generasi ginogenesis menghasilkan tingkat

homozigositas yang sama dengan tujuh sampai delapan generasi perkawinan

sekerabat (sib mating). Menurut Allendorf dan Leary (1984) galur murni

dapat dihasilkan dengan 2 generasi ginogenetik, sedangkan dengan

perkawinan sekerabat membutuhkan 20 generasi.

Pembentukan klon ikan dengan teknologi ginogenesis telah berhasil

dilakukan antara lain pada zebra fish (Danio rerio) (Streisinger et al. 1981),

medaka/japanese fish Oryzias latipes (Naruse et al. 1985), common carp

Cyprinus carpio (Komen et al. 1991), ayu fish Plecoglossus altivelis (Han et al. 1991), amago salmon Oncorhynchus rhodurus (Kobayashi et al. 1994) dan tilapia Oreochromis niloticus (Muller-Belecke and Horstgen-Schwark 2000).

Teknologi ginogenesis pada ikan sumatra telah dilakukan oleh

(18)

2

2 untuk menghasilkan persentase kelangsungan hidup larva tertinggi adalah

90 detik yaitu sebesar 15%, dengan kelangsungan hidup miogen lebih tinggi

daripada mitogen. Kelangsungan hidup tertinggi dicapai saat kejutan panas

diberikan pada menit ke-1 setelah pembuahan untuk miogen (9.19%) dan

pada menit ke-18 setelah pembuahan untuk mitogen (7.7%).

Verifikasi status genetik ikan klon dapat dilakukan dengan tissue

grafting, DNA fingerprint SSRa-PCR dan RAPD. Verifikasi status klon dengan metode RAPD dipakai pada tilapia (Jenneckens et al. 1999).

Metode tissue grafting telah diteliti pada ayu fish (Han et al. 1991),

Cyprinus carpio (Komen et al. 1991), salmon (Kobayashi et al. 1994). Metode DNA fingerprint telah dilakukan pada ayu (Han et al. 1991),

japanese flounder (Hara et al. 1993), rainbow trout (Young et al. 1995), red sea bream (Kato et al. 2001).

Secara umum teknik RAPD cukup sederhana, murah dan dapat

dikerjakan dalam waktu relatif singkat dibandingkan dengan teknik

molekular lain (Darmono 1996; Prana dan Hartati 2003). Kuantitas DNA

yang dibutuhkan hanya sedikit (dibutuhkan 5-25 ng DNA dalam setiap

reaksi PCR) bahkan hingga 1.5 ng DNA (Pandey et al. 1996).

Perumusan dan Pendekatan Masalah

Kegiatan akuakultur tentang kajian respon penyakit ikan, evaluasi

pakan, pengujian obat dan sebagainya, memerlukan ikan uji atau ikan

percobaan yang relatif homogen secara genetis untuk menghindari bias yang

ditimbulkan oleh faktor keragaman individu sehingga akurasinya bisa

dipertanggungjawabkan. Homogen secara genetis yaitu memiliki

homozigositas genotipik, diutamakan untuk menciptakan populasi/strain

hewan percobaan. Pembuatan individu yang homozigot dengan cara seleksi

konvensional membutuhkan waktu yang lama. Teknologi ginogenesis dalam

dua generasi merupakan alternatif untuk menghasilkan klon. Klon hasil

ginogenesis diharapkan bergenotip homozigot pada hampir seluruh gen,

karena merupakan copy genom dari induk yang bergenotip homozigot.

(19)

3

3 tanpa materi genetis jantan, dimana pada tahap I (F1) menghalangi

pembelahan mitosis I sehingga dihasilkan diploid ginogenetik homozigot

dan pada tahap II (F2) menghalangi keluarnya badan polar II pada meiosis II

yang menghasilkan copy genom yang disebut klon. Verifikasi genetik

homozigositas klon ikan sumatra akan dianalisis dengan RAPD.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah untuk menerapkan teknologi

ginogenesis dalam memproduksi klon ikan sebagai hewan percobaan serta

melakukan verifikasi genotipik berdasarkan analisis RAPD, determinasi

kelamin dan karakterisasi meristik pada ikan sumatra. Hasil penelitian ini

diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan metode pemurnian genotip

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Sumatra

Berdasarkan klasifikasinya ikan sumatra (

Puntius tetrazona

Bleeker)

termasuk dalam famili Cyprinidae, sub famili Cyprininae, pada genus

Puntius

dengan

nama spesies

Puntius tetrazona

Bleeker (Saanin 1984). Ikan sumatra dikenal dengan

nama sumatra barb atau

tiger barb

. Bentuk tubuhnya memanjang dan pipih ke

samping, ukuran tubuh maksimal 8 cm, warna dasar tubuhnya putih keperakan,

bagian atas tubuhnya berwarna agak sawo matang dengan corak hijau, sedangkan sisi

tubuhnya berwarna kemerah-merahan, terdapat empat buah garis berwarna hitam

kebiruan yang memotong tubuh ikan yaitu pada bagian kepala, tubuh bagian depan

sirip punggung, samping sirip punggung hingga jari-jari sirip anal yang pertama,

bagian batang ekor (Gambar 1). Bagian sirip punggung ada yang berwarna hitam

sedang beberapa lain berwarna kemerahan dan transparan (Sumpeno

et al.

2004).

Berdasarkan pemijahannya ikan sumatra termasuk ikan yang menghamburkan

telurnya, telur akan disebarkan diantara tanaman air dan menetas 24 jam kemudian.

Jumlah telur antara 150-200 butir/ekor (Sastrapraja

et al

. 1981).

Gambar 1 Penampilan morfologis ikan sumatra (

Puntius tetrazona

) betina (kiri) dan

jantan (kanan).

Penggunaan Sperma dari Spesies yang Berbeda

Penggunaan sperma ikan dari spesies yang berbeda pada percobaan

ginogenesis untuk memudahkan dalam verifikasi (konfirmasi) keturunan yang

dihasilkan, yaitu terdapat perbedaan karakteristik yang jelas pada keturunan ginogen

(21)

5

ginogenesis menggunakan donor sperma yang berasal dari spesies berbeda disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1 Spesies donor sperma pada ginogenesis dari beberapa spesies yang berbeda

Spesies

Spesies donor sperma

Sumber

Plecoglossus altivelis Spirinchus lanceolata

Taniguchi

et al

. (1990)

Common carp

Osteochilus hasselti

Puntius gonionotus

Hypopthalmichthys molitrix

Ctenopharyngodon idella

Sumantadinata

et al

. (1990)

Puntius gonionotus

Puntius schwanenfeldii

Siraj

et al

. (1993)

Clarias

sp.

Puntius gonionotus

Yulintine (1995)

Tinca tinca

Common carp

Linhart

et al.

(1995)

Klasifikasi ikan tawes termasuk dalam famili Cyprinidae, sub famili

Cyprininae, genus

Puntius

dengan spesies

Puntius gonionotus

(Saanin 1984)

(Gambar 2). Menurut Risnawati (1995), sperma ikan tawes dapat digunakan untuk

ginogenesis pada ikan sumatra karena memiliki ukuran diameter kepala spermatozoa

yang lebih kecil daripada ikan sumatra yaitu 1.496

versus

1.907 µm dan panjang ekor

sperma 31.147

versus

30.187 µm sehingga sperma ikan tawes dapat masuk ke dalam

lubang mikrofil dan menginseminasi telur ikan sumatra.

Gambar 2 Penampilan morfologis ikan tawes (

Puntius gonionotus

) jantan.

Ginogenesis

Ginogenesis adalah proses produksi embrio dari telur-telur yang dibuahi oleh

(22)

6

Menurut Sumantadinata (1997), teknologi ginogenesis memberikan banyak manfaat

diantaranya (1) mempercepat proses pemurnian (homozigositas), (2) membuat

populasi klon hanya dalam dua generasi, (3) membuat populasi tunggal kelamin

betina, misalnya pada ikan mas, (4) mempercepat proses seleksi dan (5)

mendeterminasi genotip jenis kelamin betina. Ginogenesis dapat terjadi secara alami

dan buatan. Ginogenesis secara alami jarang terjadi karena pada umumnya

spermatozoa yang membuahi sel telur dalam keadaan aktif (Golovinskaya 1972).

Namun, ginogenesis dapat berlangsung secara spontan seperti Pb II yang akan keluar

bertabrakan dengan spermatozoa yang akan masuk sehingga gamet jantan tidak jadi

masuk dan Pb II tetap berada pada posisinya (

double haploid

). Menurut Cherfas

(1981), ginogenesis alami dapat terjadi pada ikan crusian carp (

Carrasius auratus

gibelio

) dan vivipar kecil dari famili Poeciliidae (

Poecilia

dan

Poeciliopsis

).

Menurut Nagy

et al

. (1978) dan Sumantadinata (1997), ada dua tahap penting

dalam ginogenesis buatan. Pertama menonaktifkan bahan genetik dari gamet jantan,

antara lain dapat dilakukan dengan cara radiasi. Kedua meningkatkan jumlah zigot

diploid dengan cara pemberian kejutan panas pada fase meiosis II atau mitosis I.

Penggunaan sinar UV untuk inaktifasi materi genetik lebih banyak digunakan karena

selain murah, lebih mudah dan aman digunakan dibandingkan dengan sinar gamma,

sinar X dan betta (Lou dan Purdom 1984; Horvath dan Orban 1995). Perlakuan

meradiasi sperma tidak menyebabkan berkurangnya kemampuan sperma sebagai

fungsi membuahi telur dan sebagai

trigger

perkembangan embrio (Streisinger

et al.

1981; Arai 2001). Menurut Chourrout (1984), keberhasilan inaktifasi materi genetik

jantan dengan cara radiasi sperma, bila membuahi betina akan menghasilkan embrio

haploid yang tidak bertahan hidup. Menurut Sumantadinata

et al

. (1990), pada

ginogenesis ikan mas, proses

radiasi sperma dapat dilakukan dengan menggunakan

dua lampu UV yang masing-masing berkekuatan 15 watt untuk meradiasi sperma

dengan jarak penyinaran 15 cm.

(23)

7

2000). Berbagai macam kejutan tersebut mempunyai efektifitas yang berbeda untuk

beberapa spesies ikan. Kejutan panas dan dingin sering dilakukan dalam ginogenesis

ikan karena tidak memerlukan peralatan khusus. Sedangkan kejutan tekanan banyak

digunakan pada hewan amfibi. Walaupun metode kejutan tekanan hidrostatik

membutuhkan peralatan yang khusus dan lebih mahal, namun metode ini masih terus

dikembangkan karena resiko kerusakan embrio lebih sedikit. Penggunaan bahan

kimia juga digunakan untuk menahan proses pembentukan badan polar II pada telur

ikan yang baru dibuahi, antara lain dengan colchisine pada poliploid ikan brook trout

(Smith dan Lemoine 1979), nitrous oxide (Shelton

et al

. 1986) pada triploid ikan

rainbow trout.

Kejutan diberikan pada saat yang tepat setelah pembuahan (Hollebecq

et al

.

1986), pada saat meiosis kedua atau mitosis pertama (Lou dan Purdom 1984;

Taniguchi

et al

. 1988; Komen

et al

. 1988). Pemberian kejutan panas pada saat

meiosis kedua dimaksudkan untuk menahan keluarnya badan polar kedua sehingga

menghasilkan diploid ginogenetik. Sedangkan pada mitosis pertama, kejutan panas

akan menghalangi pemisahan genom haploid maternal yang telah mengalami

segregasi total sehingga menghasilkan zigot diploid (

double haploid

) (Chourrout

1984).

Menurut Taniguchi

et al

. (1988), diploid ginogenetik yang dihasilkan dari

perlakuan diploidisasi pada saat meiosis kedua dinamakan diploid ginogenetik

meiotik (G2N-meiotik/meiogen), sedangkan diploid ginogenetik yang dihasilkan

pada perlakuan diplodisasi saat mitosis pertama dinamakan diploid ginogenetik

mitotik (G2N-mitotik/mitogen). Menurut Tave (1986) dan Purdom (1993), individu

ginogen dimungkinkan mengalami penyimpangan biologis maupun fisiologis yang

diduga terkait dengan proses ginogenesis maupun munculnya gen-gen resesif yang

tidak menguntungkan.

Pada G2N-meiotik genotip diploid berasal dari 1N kromosom pronukleus

betina dan 1 N badan polar II. Dengan demikian genotip meiogen dipengaruhi oleh

pindah silang antar gen pada lokus yang sama. Sedangkan pada G2N-homozigot/

(24)

8

Pb 1

Duplikasi genom Oocyte

Menghalangi pembelahan

Menahan Pb II

Gino 1n Gino 2n Gino 2n

Inviable homozigot heterozigot

Ovulasi Synapsis,

Crossing over

Inseminasi dengan sperma yang

diin-aktivasi UV

Pb 2 Pb 2

(25)

9

Ikan klon adalah individu homozigot identik dengan induknya, yaitu

dihasilkan melalui proses ginogenesis dua tahap (Sumantadinata 1997; Arai 2001).

Ginogenesis tahap pertama (generasi I) menghasilkan G2N-mitotik yaitu individu

homozigot identik (

double haploid

) dengan cara menghambat pembelahan pada fase

mitosis I. Ginogenesis tahap II (generasi II) adalah perbanyakan individu yang identik

dengan G2N-mitotik (generasi I) dengan melakukan ginogenesis fase meiosis yaitu

mencegah keluarnya badan kutub II. Klon hasil ginogenesis pada tahap II diharapkan

bergenotip homozigot pada hampir seluruh gen, karena merupakan kopi genom dari

genotip homozigot (G2N-mitotik).

Verifikasi Genetik Ikan Klon

RAPD

Verifikasi genetis ikan klon dapat dilakukan dengan berbagai metode antara

lain dengan

tissue grafting

, DNA

fingerprint

SSRa-PCR dan RAPD.

Tissue grafting

pernah dilakukan pada

ayu

fish

(Han

et al

. 1991),

Cyprinus carpio

(Komen

et al.

1991),

salmon

(Kobayashi

et al

. 1994). Metode DNA

fingerprint

telah dilakukan

pada

ayu fish

(Han

et al.

1991),

japanese flounder

(Hara

et al

. 1993),

rainbow trout

(Young

et al

. 1995),

red sea bream

(Kato

et al

. 2001). Sedangkan metode SSRa-PCR

dan RAPD digunakan pada

tilapia

(Jenneckens

et al

. 1991).

RAPD (

Random Amplified Polymorphic DNA

) adalah salah satu metode yang

digunakan untuk analisis profil DNA genom. Teknik RAPD ini merupakan suatu

metode analisis DNA genom dengan cara melihat pola pita DNA yang dihasilkan

setelah DNA genom diamplifikasi menggunakan primer acak. Prinsip dasar RAPD

adalah komplementasi urutan

basa primer dengan urutan basa DNA cetakan. Apabila

terdapat komplementasi urutan basa antara primer dan DNA cetakan, maka primer

akan menempel pada kedua ujung 3’OH utas DNA cetakan. Jika kedua situs

penempelan primer berada dalam jarak yang dapat diamplifikasi, maka produk PCR

akan diperoleh berupa fragmen atau pita DNA (Tingey

et al

. 1992).

Metode RAPD mendeteksi polimorfisme urutan nukleotida pita DNA hasil

(26)

10

akan berpasangan dengan utas tunggal DNA genom yang satu dan pada utas DNA

pasangannya dengan orientasi yang berlawanan. Selama situs penempelan primer

masih berada dalam jarak yang masih dapat diamplifikasi, maka akan diperoleh

produk DNA amplifikasi. Jarak tersebut umumnya tidak lebih dari 5000 bp. Semakin

pendek fragmen yang akan diamplifikasi semakin efisien amplifikasinya (Tingey

et

al

. 1992; Weising

et al

. 1995).

Rata-rata jumlah fragmen DNA yang dihasilkan sebuah primer tunggal

tergantung pada kekompleksan genom. Makin kompleks suatu genom akan makin

kompleks pola fragmen RAPD yang dihasilkan (Grattapaglia

et al

. 1992). Disamping

itu jumlah dan kualitas fragmen RAPD yang dihasilkan bergantung pada panjang dan

komposisi nukleotida penyusun primer, konsentrasi dan kemurnian DNA cetakan,

konsentrasi ion magnesium, aktivitas dan jumlah DNA polimerase dan temperatur

penempelan (Matondang

et al

. 2001; Promega 2001).

Secara umum RAPD lebih mudah, lebih murah, dan tekniknya lebih cepat

dibandingkan dengan RFLP (

Restriction Fragment Length Polymorphism

), SSR

(

Simple Sequence Repeats

) dan AFLP (

Amplified Fragment Length Polymorphism

)

(Darmono 1996). Hal ini didasarkan pada : (1) tidak memerlukan pengetahuan latar

belakang genom yang akan diteliti, (2) primer secara universal dapat digunakan untuk

organisme prokariot maupun eukariot, (3) mampu menghasilkan karakter yang relatif

tidak terbatas jumlahnya, (4) bahan-bahan yang digunakan relatif murah, (5) mudah

dalam hal preparasi dan (6) memberikan hasil lebih cepat dibandingkan dengan

analisis keragaman molekuler lainnya. Selain itu ada beberapa kelemahan RAPD.

Darmono (1996) merangkum kelemahan dari RAPD dari beberapa publikasi : (1)

pemunculan pita DNA kadang-kadang tidak konsisten. Hal ini lebih sering terjadi jika

suhu penempelan yang digunakan terlalu tinggi, (2) ruas DNA berulang sering

berlipat ganda, (3) homologi urutan nukleotida pada pita-pita DNA dengan mobilitas

yang pada gel tidak diketahui, (4) penanda RAPD bersifat dominan. Jumlah primer

yang digunakan dalam analisis sangat bergantung pada tujuan atau jenis informasi

(27)

11

Determinasi Kelamin

Jenis kelamin suatu individu ditentukan bersama oleh faktor genetis dan

lingkungan. Faktor genetik yang menentukan jenis kelamin adalah kromosom,

sedangkan kromosom yang memegang peranan utama dalam menentukan jenis

kelamin adalah kromosom kelamin atau gonosom. Faktor lingkungan seringkali

berpengaruh terhadap perubahan jenis kelamin. Perubahan ini menyebabkan karakter

kelaminnya berubah, namun susunan genetisnya tidak berubah. Jenis kelamin zigot

merupakan hasil keseimbangan antara jumlah gen penentu jantan dan betina,

sedangkan diferensiasi kelamin secara fungsional diatur oleh mekanisme genetik

melalui sistem endokrin embrio dimana prosesnya dipengaruhi oleh faktor

lingkungan.

Pengamatan jenis kelamin ikan dapat dilakukan secara visual dengan

mengamati ciri kelamin sekunder. Ikan sumatra betina dapat dibedakan dengan

bentuk tubuh yang lebih penuh dan warna merah yang lebih sedikit pada sirip ventral,

juga di bagian hidung (Innes 1994). Pada ikan sumatra jantan, sirip dan hidung

berwarna lebih merah dibandingkan ikan betina. Keaadan ini akan terlihat jelas pada

saat ikan sumatra akan memijah (Mc Inerny dan Gerard 1966).

Karakter Meristik

Pola pewarisan ciri meristik dapat digunakan untuk menelusuri hubungan

kekerabatan yang lebih spesifik dalam penelitian ginogenesis, dalam hal ini untuk

mengetahui keberhasilan segregasi dan rekonstruksi genom pada produksi

G2N-mitotik maupun klon. Pengukuran karakter meristik pada ikan diploid ginogen (G2N)

telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pada ikan mas, ukuran tubuh (panjang

standar) pada miogen dan G2N-mitotik tidak berbeda nyata dibandingkan dengan

kontrol normal pada umur yang sama (3 bulan), demikian pula dengan variasi

karakter meristik (jumlah vertebrate, jumlah tulang lunak sirip dan jumlah lembar

insang). Nilai variasi fenotif (Vp) pada G2N-mitotik kurang dari dua kali individu

normal pada kebanyakan sifat morfometrik dan nilai Vp tersebut lebih dari dua kali

(28)

12

diterangkan melalui rumus tentang Vp = Vg(1+F) + Ve untuk meiogen dan Vp =

(29)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Nopember 2004 sampai April 2006, di

Kolam Babakan Sawah Baru, Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan

FPIK IPB dan Pusat Studi Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PSSHB) IPB

Bogor.

Metode Penelitian

Ginogenesis

Pemeliharaan Induk Ikan Sumatra dan Ikan Tawes

Induk ikan sumatra jantan dan betina dipelihara secara terpisah dalam

akuarium berukuran 100x50x50 cm dengan menggunakan sistem

double bottom

menggunakan batuan zeolit dan diberi aerasi, pakan yang diberikan berupa

Chironomus

sp. dan pakan buatan berupa pelet. Ikan tawes (

Puntius gonionotus

Blekeer) jantan sebagai pendonor sperma dipelihara terpisah dalam kolam dan diberi

pakan pelet.

Pemijahan Ikan Sumatra

Induk ikan sumatra yang akan dipijahkan terlebih dahulu dipuasakan selama

satu hari untuk mencegah terjadinya penyumbatan lemak pada saluran telur atau

sperma dan untuk mempermudah dalam memilih induk betina yang siap memijah.

Pemijahan dilakukan pada akuarium berukuran 20x20x20 cm yang telah diisi air

dengan ketinggian 10 cm dan sekelilingnya ditutup dengan plastik berwarna hitam

diberi aerasi kecil dan enceng gondok. Ikan sumatra jantan dan betina disatukan pada

pukul 21.00 WIB dengan perbandingan 1 : 1. Pengamatan induk betina yang memijah

(30)

14

Produksi Klon dengan Metode Ginogenesis

Ginogenesis Tahap I (Mitogen) dan Ginogenesis Tahap II (Klon)

Pemijahan akan ditandai dengan pengeluaran telur (biasanya menempel pada

akar enceng gondok atau tersebar pada dasar akuarium). Ikan sumatra yang memijah

diambil lalu di

stripping

(diurut bagian perutnya secara perlahan-lahan menuju anus),

kemudian telur ditampung dan didistribusikan dalam 6 cawan : 3 cawan

masing-masing untuk kontrol normal (K2N), kontrol hibrid (K2H), kontrol UV (KUV) dan 3

cawan lainnya untuk perlakuan ginogenesis dengan waktu inisiasi kejutan panas yang

berbeda-beda sesuai dengan tahapannya (mitoginogenesis pada tahap I atau

meioginogenesis pada tahap II).

Sperma ikan tawes (donor) dan ikan sumatra diambil secara terpisah

menggunakan

syringe

tanpa jarum dengan cara mengurut pada bagian perutnya

menuju anus, kemudian sperma ikan tawes diencerkan 100 kali dalam labu

erlenmeyer menggunakan larutan fisiologis merk dagang Otsu-Ns (Normal saline)

dengan komposisi Osmolarity 306 Osm/l dan 0.9% b/v sodium chloride. Sebagian

sperma ikan tawes digunakan untuk pembuahan pada K2H dan sebagian lainnya

diradiasi untuk menginaktifasi materi genetik jantan dan digunakan pada pembuahan

telur KUV. Sperma ikan sumatra digunakan untuk pembuahan telur pada K2N.

Sperma yang akan diradiasi diletakkan dalam cawan petri setebal 1 mm (1.5 ml)

sambil digoyang supaya sperma merata di permukaan cawan, kemudian dimasukkan

ke dalam wadah penyinaran sinar UV selama 1.5 menit. Wadah penyinaran berupa

kotak berukuran 100x100x30 cm, berisi 3 buah lampu UV berkekuatan 15 watt

dengan jarak penyinaran 15 cm.

Pembuahan telur oleh sperma dilakukan dengan cara mencampurkan sperma

dan telur sambil diaduk-aduk perlahan menggunakan bulu ayam kemudian diberi

larutan pembuahan untuk meningkatkan derajat pembuahan. Larutan pembuahan

(

fertilizing solution

) dibuat dari campuran 30 g urea dengan 40 g NaCl dilarutkan

dalam 10 l air bersih (Woynarovich dan Horvath 1980). Telur yang sudah dibuahi

selanjutnya dituang pada saringan dalam bak fiber yang berisi air pada suhu 28

o

C

(31)

15

(tahap II) pasca perlakuan dipindahkan pada akuarium inkubasi yang berukuran

20x20x10 cm untuk penetasan telur dan berisi air yang telah diberi larutan

metilen

blue

(mb) 2 mg/l untuk mencegah jamur pada telur.

Pada ginogenesis tahap I (mitoginogenesis), inisiasi kejutan panas diberikan

pada menit ke 18, 19 atau 20 setelah pembuahan (fase mitosis) yaitu dengan

merendam telur pada suhu 40

o

C selama 1.5 menit pada wadah perendaman telur

(

water bath

) yang dilengkapi dengan termometer. Pada ginogenesis tahap II, ikan

yang digunakan sebagai induk adalah mitogen (G2N-mitotik), yang bertahan hidup

sampai dewasa dijadikan induk betina untuk proses ginogenesis meiotik guna

mendapatkan ikan klon (Gambar 4). Perlakuan kejutan panas 40

o

C selama 1.5 menit

[image:31.612.112.500.329.674.2]

diberikan pada menit ke 1 dan 2 setelah pembuahan (fase meiosis).

Gambar 4. Diagram skematik produksi klon

2n 2n

n

G2N- Mit

G2N- Mit 2n

n

2n ♂

♀ (homozigot) Diploidisasi fase mitosis I (menghalangi pembelahan sel)

F1 mitogen dipelihara 6 bulan

Diploidisasi fase meiosis II (menahan polar body II)

KLON (homozigot)

TAHAP I

UV

UV

(32)

16

Perhitungan telur dilakukan pada 3 jam dan 10 jam pertama setelah telur

dibuahi (telur fertil), kemudian 12 sampai 30 jam setelah pembuahan dilakukan

perhitungan telur yang menetas (

Hatching Rate

/HR). Selanjutnya 4 hari dan 28 hari

setelah telur menetas dilakukan penghitungan kelangsungan hidup ikan (SR larva).

Telur, larva dan anak ikan yang mati diambil dengan menggunakan pipet dan

dihitung dengan menggunakan

handy counter

. Ikan diberi makan setelah berumur 2-3

hari menetas atau setelah kuning telur habis. Pakan yang diberikan untuk larva

sampai umur tujuh hari adalah plankton. Pada umur lima hari diberikan nauplius

artemia (

Artemia salina

) sampai umur tujuh hari. Seminggu berikutnya diberikan

kutu air

Daphnia

sp., setelah itu diberi

Chironomus

sp.

dan

pelet.

Verifikasi Genetik Ikan Klon

RAPD

Isolasi DNA Genom Ikan

Ekstraksi dan pemurnian genom DNA mengikuti prosedur PUREGENE.

Sampel sirip ikan yang digunakan ditimbang, berat setiap sampel 10-15 mg dan

dimasukkan dalam ependorf 1.5 ml, kemudian dilisis dengan menambahkan 300

l

cell

lysis solution

(Lampiran 1). Sampel digerus hingga hancur, kemudian

ditambah 5 l proteinase K (20 mg/ml), diinkubasi selama 24 jam pada suhu

55

o

C.

Selanjutnya Rnase (4 mg/ml) ditambahkan dalam sampel sebanyak 1.5 l

yang dilakukan di atas es, kemudian diinkubasi pada suhu 37

o

C selama 1 jam.

Tahap berikutnya sampel didinginkan pada suhu ruang, kemudian ditambah 100 l

larutan

protein precipitation

untuk pengendapan protein. Selanjutnya sampel

divortex selama 20 detik dan disentrifuse dengan kecepatan 14000 rpm pada suhu

4

o

C selama 3 menit.

Pengendapan DNA dilakukan dengan memindahkan larutan supernatan yang

mengandung DNA ke dalam ependorf baru yang telah diisi 300 l isopropanol

100%, dibolak-balik dan disentrifuse pada 14000 rpm selama 1 menit.

(33)

17

terbalik hingga kering. Kemudian ditambahkan 300 l etanol 70% (v/v) dan

dibolak-balik agar DNA tercuci dengan sempurna. Ependorf disentrifuse kembali

pada kecepatan 14000 rpm selama 1 menit pada suhu 4

o

C. Supernatan dibuang

dan pelet dikeringkan, kemudian ditambah TE 50 µl (Lampiran 2).

Analisis RAPD

Analisis RAPD terdiri dari 4 tahap : (1) uji kualitas dan kuantitas DNA

hasil isolasi; (2) seleksi primer; (3) amplifikasi DNA template melalui proses

PCR (

Polymerase Chain Reaction

); (4) elektroforesis dan visualisasi hasil

amplifikasi.

Uji Kuantitas dan Kualitas DNA

Kuantitas dan kualitas DNA dianalisis secara elektroforesis dan

spektrofotometer. Uji kuantitas DNA melalui elektroforesis dilakukan untuk

memperkirakan kuantitas per mikroliter DNA terisolasi dengan membandingkan

DNA terisolasi pada marker DNA 10,30,50 ng/µl. Pengujian DNA secara

elektroforesis ini pada prinsipnya adalah mengukur laju migrasi DNA pada gel

agarosa yang diberi tegangan tertentu dari arus (–) ke (+). Agarosa

disuspensikan di dalam larutan penyangga yang sesuai yaitu TAE lx dari larutan

TAE 50x (Lampiran 3) atau TBE lx dari larutan TBE 10x (Lampiran 4). Pada

umumnya gel agarosa menggunakan konsentrasi 0.8-1% (b/v) dalam larutan

TAE 1x. Konsentrasi agarosa tergantung pada besarnya fragmen DNA yang

dianalisis. Semakin kecil fragmen DNA, semakin tinggi konsentrasi agarosa

yang digunakan.

Suspensi agarosa dipanaskan dalam microwave hingga tidak terlihat lagi

butiran agarosa, dan larutan menjadi jernih (±60 detik). Setelah suhunya

mencapai 60-70 °C, agarosa dituangkan setebal 5 mm ke dalam tempat yang

telah disiapkan untuk menuang (

tray

yang dilengkapi sisir). Gel dibiarkan

membeku dan sisir diambil secara hati-hati, kemudian gel ditempatkan pada

alat/tanki elektroforesis sedemikian rupa sehingga lubang terletak pada kutub

(34)

18

DNA yang akan dianalisis dicampur dengan larutan pewarna (

loading

dye

) bromofenol biru 6x (Lampiran 5) untuk menandai laju migrasi. DNA yang

dianalisis berikut marker ( 10,20,30 ng) dimasukkan ke dalam sumur. Alat

elektroforesis ditutup untuk kemudian dihubungkan/dialiri listrik. Elektroforesis

berlangsung pada 100 volt selama ± 30 menit. Setelah selesai, penutup tanki

elektroforesis dibuka, gel agarosa diambil kemudian direndam dalam larutan EtBr

(Ethidium Bromida) dengan konsentrasi final 0.5

μ

g/ml selama 15-30 menit dan

selanjutnya dibilas dengan H

2

O.

Uji kuantitas melalui spektrofotometer pada prinsipnya adalah melihat

densitas DNA secara optik (Optical Density-OD) pada panjang gelombang 260

nm dan disetarakan dengan 50 g/ ml setiap nilai OD = 1 pada absorbansi UV

gelombang tersebut. Kualitas DNA dapat diketahui dengan membandingkan

hasil OD pada absorbansi 260 nm terhadap 280 nm. Kualitas DNA yang bagus

adalah apabila rasio OD (260nm/280nm) berkisar 1.8-2.0. Rasio OD <1

menunjukkan adanya kontaminan pada DNA hasil isolasi. Kontaminan dapat

berupa pati, protein dan atau fenol.

Primer

Primer RAPD dari Operon (Operon Alameda Technology Inc) yang

digunakan OPA 1, OPA 2, OPA 3, OPA 4, OPA 5 (Tabel 2). Dari lima primer

yang digunakan dilakukan seleksi untuk menentukan jenis primer yang bisa

[image:34.612.160.454.567.653.2]

mengamplifikasi DNA genom.

Tabel 2 Primer-primer yang digunakan dalam RAPD-PCR

(35)

19

Amplifikasi PCR

Amplifikasi DNA dengan PCR menurut Yadav (2000) yang dimodifikasi

[image:35.612.152.460.198.339.2]

dilakukan dengan cara menyediakan campuran utama (

master mix

) (Fermentas)

dalam eppendorf 2 ml (Tabel 3).

Tabel 3 Campuran komponen PCR

M

1

M

2

V

1

(µl)

10x PCR buffer

1 x

2

2 mM dNTP mix

0.2 mM

2

Primer OPA (5 pmol)

5 pmol

1

Taq 5 u/µl (Fermentas)

1 u

0.2

25 mM MgCl

2.5 mM

2

ddH

2

O

11.8

DNA 30 ng

1

V

2

20

Keterangan M1 : Konsentrasi stok; M2 : Konsentrasi yang diharapkan V1: Volume awal;

V2 : Volume total/akhir

Contoh DNA (hasil isolasi) sebanyak 1 l (30 ng) tiap eppendorf 0.5 ml

steril. Kemudian setiap 19 µl dari campuran utama dipipet dan dimasukkan pada

tiap-tiap eppendorf 0.5 ml kemudian dispin dan dimasukkan ke mesin PCR.

Secara umum proses PCR terdiri dari 3 tahap yaitu denaturasi

(penguraian utas ganda DNA), penempelan primer (

annealing

), pemanjangan

utas DNA primer yang komplemen template. Pre-denaturasi selama 4 menit

untuk aktifasi enzim taq polimerase, dan pada tahap akhir PCR ditambahkan

akhir sintesis 5 menit untuk meyakinkan semua hasil amplifikasi dalam bentuk

untai ganda. Proses waktu, suhu dan jumlah siklus masing-masing tahapan PCR

disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Siklus, proses, suhu dan waktu dalam amplifikasi genom ikan sumatra

Tahapan Proses

Suhu

(

o

C) Waktu

(menit)

I (1 siklus)

II (45 siklus)

III (1 siklus)

[image:35.612.145.501.613.699.2]
(36)

20

Reaksi amplifikasi dilakukan menggunakan alat PCR (PTC-100TM MJ

Research, Inc.) dengan siklus termal sebanyak 45 kali. Hasil PCR dapat

difraksinasi dengan menggunakan gel agarosa 1.5% (b/v) dalam larutan TAE 1x.

Volume hasil PCR (yang dimigrasikan) diambil 8-10 l dan dicampur dengan 2

l

loading dye

6x. Hasil elektroforesis DNA divisualisasi menggunakan UV

transluminator dan didokumentasi dengan kamera yang telah terhubung pada

program komputer.

Identifikasi Jenis Kelamin

Jenis kelamin ikan sumatra diidentifikasi setelah ikan mencapai dewasa (6

bulan). Pengamatan jenis kelamin dilakukan secara visual dengan mengamati ciri

kelamin sekunder. Ikan sumatra jantan ditandai dengan badan yang lebih ramping dan

warna yang cerah pada bagian sekitar mulut, sirip ekor dan hidung berwarna lebih

merah. Sedangkan ikan sumatra betina warna agak kusam dan perutnya lebih buncit

setelah mencapai kematangan gonad.

Karakterisasi Meristik

Pengukuran meristik dilakukan pada ikan yang sudah berumur 6 bulan,

meliputi jumlah sisik pada

linea lateralis

, jumlah jari-jari lemah sirip punggung, sirip

dada, sirip perut, dan sirip anal.

Analisis Data

Keberhasilan ginogenesis pada produksi klon ikan sumatra dianalisis secara

deskriptif, dan ditampilkan dalam bentuk tabel. Analisis status genetik individual

hasil ginogenesis dengan teknik RAPD dibaca berdasarkan pita DNA tegas dan pita

DNA tipis secara konsisten. Pita DNA hasil amplifikasi yang terdeteksi pada

individu diberi skor 1 (ada) dan jika tidak terdeteksi diberi skor (0). Estimasi

kemiripan genetik individual diperoleh berdasarkan jumlah pita terdeteksi yang

dimiliki bersama. Untuk menentukan tingkat kesamaan yang terdapat pada lajur

yang berbeda ditentukan berdasarkan koefisien Dice atau rumus Nei dan Li (1979)

(37)

21

Keterangan : S

: Koefisien kemiripan

a dan b : dua individu yang dibandingkan

n

ab

: jumlah pita DNA yang sama posisinya pada individu a dan b

n

a

: jumlah pita DNA pada individu a

n

b

: jumlah pita DNA pada individu b

Pengelompokan data matrik dan pembuatan dendrogram dilakukan dengan

metode

Unweight Pair Group Methode Arithmetic

(UPGMA) fungsi

Similarity

Qualitative

(SIMQUAL) program NTSYS versi 2.0 (Rohlf 1998).

Determinasi kelamin dianalisis dengan menghitung rasio jantan dan betina,

ciri meristik dianalisis dengan keragaman (V). Rumus untuk menghitung keragaman

(V) menurut Tave (1986) adalah sebagai berikut :

X =

Σ

xi/n

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberhasilan Klon Melalui Ginogenesis

Pada tahap I, telur pada kontrol normal dapat dibuahi sebesar 51% dan

dapat hidup pada hari ke 28 sekitar 3%, hal ini menunjukkan telur yang digunakan

relatif baik artinya telur yang digunakan bisa dibuahi oleh sperma (Tabel 5;

Lampiran 6). Pada kontrol UV menunjukkan indikasi bahwa radiasi terhadap

sperma berjalan efektif, hal ini dibuktikan dari derajat pembuahan yang tinggi,

embrio sedikit yang berkembang dan yang menetas hanya 0.7%, pada hari ke 4

mati semua (inaktifasi materi genetik yang menghasilkan individu haploid tidak

bertahan hidup pada KUV). Menurut Cherfas (1981) dan Arai (2001), embrio

yang terbentuk dari pembuahan sel telur oleh sperma yang diradiasi (KUV) adalah

haploid dimana pada umumnya tidak normal (abnormal) dikenal dengan haploid

syndrome dan akan mati selama perkembangan embrio sebelum atau beberapa saat setelah menetas, atau selama stadia awal larva sebelum mulai makan.

Pada kontrol hibrid (K2H) telur dapat berkembang hingga menetas hal ini

menunjukkan bahwa sperma dapat membuahi telur karena sperma dapat masuk

kedalam mikrofil sehingga terjadi pembuahan. Menurut Risnawati (1995), sperma

ikan tawes dapat digunakan untuk ginogenesis pada ikan sumatra karena memiliki

ukuran diameter kepala spermatozoa yang lebih kecil daripada ikan sumatra yaitu

1.496 µm versus 1.907 µm dan panjang ekor sperma 31.147 µm versus 30.187 µm

sehingga sperma ikan tawes dapat masuk ke dalam lubang mikrofil dan

menginseminasi telur ikan sumatra. Kematian kontrol hibrid setelah hari ke-4

diduga karena banyaknya embrio yang edema, cacat, dan kerusakan kuning telur

(Chevassus 1983). Mitogen yang hidup dipastikan hanya memiliki gen yang

berasal dari induk betina.

Persentase mitogen yang menetas dan bertahan hidup mencapai 2.6% pada

inisiasi kejutan panas ke-18 setelah pembuahan, kemudian 1.2% pada inisiasi

kejutan panas ke-19 dan 0.1% pada inisiasi kejutan panas ke-20. Rendahnya

kelangsungan hidup mitogen juga diakibatkan karena kejutan panas yang dapat

membuat kerusakan pada telur sehingga telur mati dan tidak sempat berkembang

(Hollebecq et al. 1986; Siraj et al. 1993).Menurut Komen et al. (1991) keturunan

(39)

23

memberikan peluang munculnya alel homozigot resesif yang biasanya bersifat

kurang menguntungkan, akibatnya lebih dari 80% yang gagal karena mortalitas

[image:39.612.132.534.204.482.2]

dan infertilitas.

Tabel 5 Rerata keberhasilan ginogenesis menggunakan sperma ikan tawes yang

diradiasi dan suhu kejutan 40 oC selama 1.5 menit

Tahap I

Kejutan panas pada menit ke- Parameter

K2N

Kontrol

KUV K2H 18 19 20 Jumlah telur 129.3±95.9 161.6±95.9 131±66 117.3±48.4 232.3±134.5 186±80.5 % FR 51.4±23.9 52.6±30.7 57.1±18.0 48.8±28.4 56.8±18.3 51.7±33.7 % SRe 4.8±4.7 8.6±9.3 18.7±3.0 6.8±11.7 4.8±6.7 6.1±3.0 % HR 3.9±4.7 0.7±1.2 12.6±3.7 2.6±4.4 1.2±1.7 2.0±0.7 % SR4 3.1±4.7 0 3.1±5.3 2.6±4.4 1.2±1.7 0.1±0.2

% SR28 3.1±4.8 0 0 2.6±4.4 1.2±1.7 0.1±0.2

Tahap II

Kejutan suhu pada menit ke Parameter

K2N

Kontrol

KUV K2H 1 2

Jumlah telur 71.3±54.9 57.6±40.4 51±39 258±54.5 194.3±56.9 % FR 81.2±10.5 67.8±11.9 78.3±4.9 74.24±24.5 85.4±13.5

% SRe 12.2±9.7 12.7±11.0 28.0±11.6 30.2±11.7 40.0±15.4

% HR 10.4±7.6 6.2±5.6 19.8±20 24.2±6.8 23.9±13.7 % SR4 7.5±7.1 0 0 7.41±7.8 6.0±3.7

% SR28 7.5±7.1 0 0 3.54±2.8 2.0±0.7 Keterangan :

FR (Fertilization Rate) = Derajat pembuahan telur (%) SRe (Survival Rate) = Kelangsungan hidup embrio (%) HR (Hatching Rate) = Derajat penetasan telur (%)

SR4 (Survival Rate) = Kelangsungan hidup larva saat umur 4 hari (%) SR28 (Survival Rate) = Kelangsungan hidup ikan saat umur 28 hari (%)

K2H = Kontrol hibrid

K2N = Kontrol normal

KUV = Kontrol UV

Pada tahap II, perlakuan kontrol normal telur dapat dibuahi oleh sperma

ikan sumatra (Lampiran 7-10). Nilai derajat pembuahan pada ikan klon

dibandingkan dengan ginogenesis tahap I menunjukkan bahwa telur yang

dihasilkan mitogen memiliki kualitas yang bagus, artinya telur yang digunakan

bisa dibuahi oleh sperma. Pada kontrol UV dan hibrid tidak didapatkan individu

yang hidup sampai pada hari ke 4. Pada perlakuan kontrol UV telur dapat dibuahi

dan setelah menetas mati karena individu haploid hanya mempunyai 1 set

(40)

24

terhadap sperma berjalan efektif. Kematian kontrol hibrid diduga karena

banyaknya embrio yang cacat, edema dan kerusakan kuning telur (Chevassus

1983). Dengan demikian yang hidup dapat dipastikan ikan klon yang merupakan

copy genom dari induk ikan sumatra mitogen tanpa materi genetik jantan. Rerata kelangsungan hidup embrio pada inisiasi kejutan panas menit ke-2 lebih tinggi

dari pada menit ke-1 3.54% versus 2.04%. Rerata keberhasilan larva klon (SR4)

rendah diduga karena kerusakan kromosom karena perlakuan ginogenesis.

Dari hasil ginogenesis tahap I, didapatkan mitogen yang mempunyai

bentuk tubuh yang menyimpang (abnormal) sebesar 11% (2 ekor). Abnormalitas

mitogen berupa pembengkokan vertebra (depan sirip ekor) dan bagian ekor yang

pendek. Pada ginogenesis tahap II, didapatkan klon yang mengalami

penyimpangan (abnormal) sebesar 11% (2 ekor) berupa pembengkokan vertebra

(depan sirip ekor) dan ikan yang memutar. Menurut Tave (1986) dan Purdom

(1993), individu ginogen dimungkinkan mengalami penyimpangan biologis

maupun fisiologis yang diduga terkait dengan proses ginogenesis maupun

munculnya gen-gen resesif yang tidak menguntungkan.

Karakteristik Genetik Ikan Klon RAPD

Hasil seleksi dari lima primer OPA menunjukkan hanya ada dua primer

yang menunjukkan keragaman yaitu OPA 2 dan OPA 4. Amplifikasi

menggunakan 2 primer menghasilkan fragmen DNA dengan ukuran berkisar

300-3.000 bp dan jumlah pita yang bervariasi (Gambar 5; Lampiran 15-17). Perbedaan

hasil amplifikasi disebabkan adanya perbedaan jumlah tempat penempelan primer

dan jarak antara 2 primer yang menempel pada DNA cetakan. Sedangkan untuk

perbedaan ketajaman intensitas pita DNA merupakan hasil dari jumlah situs

penempelan yang serupa dari sekuen DNA berulang.

Variasi kuantitas DNA hasil amplifikasi dicerminkan oleh variasi

intensitas pendaran pita DNA di dalam gel agarosa di atas sinar UV. Semakin

banyak fragmen DNA maka pita DNA akan semakin jelas. Perbedaan intensitas

setiap pita tidak bisa digunakan untuk menduga jumlah copy potongan DNA pada

(41)
[image:41.612.144.441.88.267.2]

25

Gambar 5 Pola-pola pita 13 sampel ikan sumatra hasil RAPD mengunakan primer OPA 4; lajur 1 marker 1 kb plus, lajur 2-6 =K2N ; lajur 7-11 = mitogen; lajur 12-14 = klon. Running pada gel agarosa 1.5% (b/v); 50 volt.

Hasil pengamatan terhadap profil pita RAPD dari 2 primer yang

mengamplifikasi DNA genom ikan sumatra disajikan pada Tabel 6. Total pita

yang dihasilkan dari 2 primer yang digunakan adalah sebanyak 36 pita, 34 pita

(94.4%) adalah polimorfik dan 2 pita (5.5%) adalah monomorfik.

Tabel 6 Jumlah pita DNA dan jumlah pita polimorfik hasil amplifikasi DNA ikan sumatra dengan primer OPA 2 dan OPA 4

Primer Susunan basa

5’……….3’ Jumlah pita DNA Jumlah pita polimorfik OPA 2 OPA 4 TGCCGAGCTG AATCGGGCTG 17 19 16 18

Jumlah 36 34

Primer OPA 2 pada amplifikasi DNA genom ikan sumatra normal,

mitogen dan klon menghasilkan jumlah pita RAPD lebih sedikit dibanding OPA

4, sedangkan polimorfisme kedua primer tersebut 94.4% pada OPA 2 dan 94.7%

pada OPA 4. Weising et al. (1995) menyatakan bahwa pada dasarnya

polimorfisme pada DNA yang dianalisis RAPD merupakan hasil dari beberapa

kejadian, yaitu : (1) delesi DNA pada bagian genom yang mengalami penempelan

primer, (2) insersi DNA diantara dua situs penempelan primer, (3) subtitusi

nukleotida pada situs penempelan primer. Insersi DNA yang berukuran besar

diantara dua situs penempelan primer menyebabkan ketidakmampuan DNA

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

2000 bp

1000 bp 3000 bp

[image:41.612.149.490.454.523.2]
(42)

26

polimerase untuk mensintesis DNA sehingga daerah tersebut tidak dapat

diamplifikasi. Insersi DNA yang berukuran kecil diantara dua situs penempelan

menyebabkan perubahan panjang daerah yang diamplifikasi; delesi pada situs

penempelan menyebabkan primer tidak dapat menempel (pada daerah tersebut),

sehingga tidak dapat diamplifikasi. Delesi diantara dua situs penempelan

menyebabkan perubahan ukuran daerah yang diamplifikasi. Subtitusi pada situs

penempelan menyebabkan primer tidak dapat menempel sehingga tidak terjadi

sintesis DNA. Pemilihan primer pada analisis RAPD mempengaruhi jumlah pita

DNA dan polimorfisme pita DNA yang dihasilkan, karena setiap primer memiliki

situs penempelan yang spesifik.

Analisis Kemiripan (Similarity)

Berdasarkan penanda RAPD yang terdiri dari 2 primer (OPA2 dan OPA4)

menunjukkan hubungan genetik intrapopulasi yang dekat pada ikan sumatra klon

yaitu tingkat kemiripan 100% pada sampel K2a, K2b, K2c, demikian pula pada

K4a, K4b, K4c, K4d. Pohon filogenik berdasarkan kesamaan genetik (Gambar 6)

menghasilkan 3 kelompok A, B dan C dengan tingkat kesamaan 35%. Kelompok

A memiliki 2 sub kelompok (A1 dan A2), kelompok B memiliki 3 sub kelompok

(B1, B2, B3), kelompok C memiliki 1 individu. Sub kelompok A1 terdiri dari

individu K2N (5) dan individu mitogen (1) dengan kesamaan genetik 74%. Sub

kelompok A2 terdiri K2N (4) dan mitogen (1) dengan kesamaan genetik sekitar

70%. Sub kelompok A1 dan A2 mempunyai kesamaan genetik 67% (kelompok A

memiliki perbedaan genetik sebesar 34%).

Sub kelompok B1 terdiri mitogen (4) dengan kesamaan genetik sebesar

80%. Sub kelompok B2 terdiri K2N (1), mitogen (2), klon (4) sedangkan sub

kelompok B3 terdiri dari klon (3). Sub kelompok B1, B2, B3 mempunyai

kesamaan genetik 68% (kelompok B memiliki perbedaan genetik 32%). Sub

kelompok A dan sub kelompok B mempunyai kesamaan genetik 64%. Kelompok

C hanya terdiri 1 individu mitogen (M3). Kelompok A,B,C mempunyai kesamaan

genetik 35% (perbedaan genetik 65%). Dengan demikian dapat disimpulkan

(43)
[image:43.612.134.494.79.277.2]

27

Gambar 6 Dendrogram kesamaan genetik ikan sumatra normal (N), mitogen (M) dan klon (K) yang telah dikelompokkan (A, B, C).

Determinasi Kelamin

Berdasarkan hasil pengamatan jenis kelamin didapatkan rasio jantan dan

betina pada klon adalah 41.67 dan 58.33% sedangkan pada mitogen sebesar 37.5

dan 62.5% (Lampiran 18-20). Adanya individu jantan dari hasil ginogenesis ini

menurut Takahashi (1977); Takahashi dan Shimizu (1983) pada ikan Barbus

tetrazona dan Danio rerio (zebra fish), gonad mengalami perkembangan awal sebagai ovarium tetapi selanjutnya pada saat dewasa jaringan ovari mengalami

degenerasi (sel somatik meningkat) sehingga sedikitnya setengah populasi tetap

menjadi ovarium dan setengahnya lagi berkembang menjadi testis. Fenomena

deferensiasi kelamin pada ikan jenis ini dinilai menguntungkan terkait dengan

program perbanyakan klon secara masal dimana tidak perlu melakukan sex

reversal untuk mendapatkan ikan jantan pada klon hasil ginogenesis.

Karakter Meristik

Keragaman genetik (Vg) dapat mempengaruhi ekspresi fenotipik pada ciri

meristik yang diteliti. Hal ini terkait dengan meningkatnya koefisien silang dalam

(F) yang ditunjukkan pada persamaan keragaman fenotip (Vp) sebagai berikut :

Vp= (F)Vg + Ve pada individu normal, Vp = Vg(1+F)+Ve pada G2N-meotik,

atau Vp = 2Vg+Ve pada G2N-mitotik dan Vp = (1-F)Vg + Ve pada klon A

B

A1

A2

B1

B2

(44)

28

(Taniguchi 1990). Dalam hal ini, Ve adalah keragaman lingkungan, dimana dalam

penelitian ini kondisi lingkungan diasumsikan sama untuk semua perlakuan,

sehingga keragaman yang disebabkan oleh lingkungan dapat diabaikan. Oleh

karena itu perubahan keragaman fenotip sepenuhnya dipengaruhi oleh tingkat

keragaman genetik dan silang dalam. Menurut Taniguchi et al. (1988) nilai F

untuk G2N-mitotik adalah 1 dan untuk G2N-meiotik 0.5. Dengan demikian,

secara teoritis nilai keragaman fenotip G2N-mitotik (mitogen) adalah 2 kali nilai

keragaman fenotip ikan kontrol, sedangkan pada klon, nilai keragaman fenotip

sama dengan nilai keragaman genotip.

Ciri meristik mitogen mempunyai kisaran dan keragaman lebih besar dari

pada K2N pada jumlah jari-jari lemah sirip punggung, dada, perut, anal (Tabel 7;

Lampiran 18-20). Sedangkan klon, mempunyai kisaran dan keragaman yang lebih

[image:44.612.134.512.373.531.2]

rendah dari mitogen.

Tabel 7 Kisaran dan keragaman ciri meristik pada ikan sumatra K2N, mitogen dan klon

Ciri Meristik K2N Mitogen Klon Jumlah jari-jari lemah sirip punggung Kisaran 7-8 7-10 7-8

Keragaman 0.079 0.595 0.231

Jumlah jari-jari lemah sirip dada Kisaran 7-8 7-9 7-8 Keragaman 0.253 0.517 0.259

Jumlah jari-jari lemah sirip perut Kisaran 6-8 6-7 6-7 Keragaman 0.201 0.467 0.259

Jumlah jari-jari lemah sirip anal Kisaran 5-6 5-6 5

Keragaman 0.195 0.267 0

Jumlah sisik pada linea lateralis Kisaran 20-25 19-30 20-24

Keragaman 1.128 8 1.027

Jumlah sampel 24 16 24

Ginogenesis tahap II (klon) menghasilkan keragaman fenotip yang lebih

rendah daripada ginogenesis tahap I (mitogen), diduga karena perlakuan diberikan

pada fase mitosis lebih rawan terjadi kegagalan rekonstruksi genom akibat pindah

silang, fragmentasi dan lain-lain. Sedangkan pada ginogenesis tahap II lebih

sederhana yaitu ketika perlakuan diberikan pada fase meiosis, maka badan polar II

yang dihalangi lepas akan bergabung dengan pronukleus membentuk diploid

(45)

29

Menurut Taniguchi et al. (1988) tingginya nilai keragaman pada

G2N-mitotik tidak saja disebabkan oleh pengaruh segregasi tetapi juga disebabkan oleh

munculnya gen-gen resesif yang tidak menguntungkan akibat silang dalam yang

(46)

30

SIMPULAN

Ikan klon dapat dihasilkan pada generasi kedua ginogenesis dimana

hubungan genetik berdasarkan tingkat kesamaan genetik klon hasil ginogenesis

dari induk yang sama mencapai 100%. Rasio jenis kelamin jantan dan betina pada

klon hasil ginogenesis adalah 41.67 dan 58.33%. Keragaman ciri meristik ikan

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Abduh M. 1990. Penampilan generasi pertama diploid ginogenetik mitotik ikan Mas (Cyprinus carpio L) merah [skripsi] Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Allendorf FW, Leary RF. 1984. Gynogenesis in Fishes in V.S. Kirpichnikov (Ed.). Genetic bases of fish selection. New York : Springer-Verlag, Berlin Heidelberg.

Arai K. 2001. Genetic improvement of aquaculture finfish species by chromosome manipulation techniques in Japan. Aquaculture 197 : 205-228.

Cherfas NB. 1981. Gynogenesis in Fishes in V.S. Kirpichnikov (Ed.). Genetic bases of fish selection. New York : Springer-Verlag, Berlin Heidelberg.

Cherfas NB, Peretz Y, Ben-Dom N, Gomelsky B, Hulata G. 1994. Induced diploid gynogenesis and polyploidy in the ornamental (koi) carp, Cyprinus carpio L. Theor Appl Genet 89:193-197.

Chevassus B. 1983. Hybridization in fish. Aquaculture 32 : 245-262.

Chourrout D. 1984. Pressure induced retention of second polar body and supression of first cleavage in rainbow trout : Production of all triploid, all tetraploids and heterozygous and homozygous diploid gynogenetics. Aquaculture 36 : 111-126.

Darmono TW. 1996. Ulas balik, analisis keragaman tanaman dengan teknik molekuler (Analysis of plant genetic variation with molecular technique). Hayati 3(1):7-11.

Disney JE, Johnson KR, Thorgaard GH. 1987. Intergenetic gene-transfer of six isozyme loci in rainbow trout by sperm chromosome fragmentation and gynogenesis. J Exp Zool 224(1) : 151-222.

Golovinskaya KA. 1972. Artificial Gynogenesis in Carp in B.I. Cherfas (Ed.) Genetic, Selection and Hybridization of Fish. Jerusalem : Wiener Pindery Ltd.

Galbusera P, Volckaert FAM, Ollevier F. 2000. Gynogenesis in the African

catfish Clarias gariepinus (Burchell, 1822) III. Induction of

(48)

32

Grattapaglia D, Chaparro J, Wilcox P, McCord S, Werner D, Amerson H, McKeand S, Bridgwater F, Whetten R, O’Malley D, Sederoff R. 1992. Mapping in woody plants with RAPD markers : Application to breeding in forestry and holticulture. In : Application of RAPD Tecnology to Plant Breeding. Joint Plant Breeding Symposia Series CSSA/ASHS/AGA. Minneapolis. p 37-40.

Han H, Taniguchi N, Tsujimura A. 1991. Production of clonal ayu by chromosome manipulation and confirmation by isozyme marker and tissue grafting. Nippon Suisan Gakkaishi 57(5):825-832.

Hara M, Dewa H, Yamamoto E. 1993. DNA fingerprinting with radioactive prove in clonal flounder Paralichthys olivaceus (in Japanese). Nippon Suisan Gakkaishi 59(4):731.

Hollebecq MG, Chourrout D, Wohlfarth G, Billard R. 1986. Diploid gynogenesis induced by heat shock after activation with UV-irradiated sperm in common carp. Aquaculture 54: 69-76.

Horvath L, Orban Z. 1995. Genome and gene manipulation in the common carp. Aquaculture 129 : 157-181.

Innes WT. 1994. Innes’s Exotic Aquarium Fishes. 21st Edition. A Work of

General Reference. USA : TFH Publications Inc.

Jenneckens I, Muller-Belecke A, Horstgen-Schwark G, Meyer J-N. 1999. Proof of the successful development of nile tilapia (Oreochromis niloticus) clones by DNA fingerprinting. Aquaculture 173:377-385.

John G, Reddy PVGK, Gupta SG. 1984. Artifisial gynogesis in two indian mayor carps, Labeo rohita (Ham.) and Catla catla (Ham.). Aquaculture 42 : 161-168.

Kato K, Hayashi R, Yuasa D, Yamamoto S, Miyashita S, Murata O, Kumai H. 2001. Production of cloned red sea bream, Pagrus major by chromosome manipulation. Aquaculture 207 : 19-27.

Kobayashi T, Ide A, Hiasa T, Fushiki S, Ueno K. 1994. Production of cloned amago salmon Oncorhynchus rhodurus. Fish Sci 60:275-281.

Komen J, Duynhouwer J, Richter CJJ, Huisman EA. 1988. Gynogenesis in common carp (Cyprinus carpio L.) I. Effect of genetic manipulation of sexual products and incubator of reduced genetic variation in hatchery trout. Trans. Amer Fish Soc 114 : 230-235.

(49)

33

production of homozygous gynogenetic clones and F1 hybrids. Aquaculture 92:127-142.

Linhart O, Kvasnicka P, Flajshans M, Kasal A, Rab P, Palecek J, Slechta V, Hamackova J, Prokes M. 1995. Genetic studies with tench, Tinca tinca L. : Induced meiotic gynogenesis and sex reversal. Aquaculture 92:127-142.

Lou YD, Purdom CE. 1984. Diploids gynogenesis induced hydrostatic pressure in rainbow trout (Salmo gairdneri R.). J Fish Biol 24 : 665-670.

Matondang I, Suharsono, Hartana A. 2001. Analisis keanekaragaman genetik kelapa dalam asal Maluku menggunakan teknik RAPD. Hayati 8(2): 31-34.

Mc Inerny D, Gerard G. 1996. All About Tropical Fish. New York : The Macmillan Co.

Muller-Belecke A, Horstgen-Schwark G. 2000. Performance testing of clonal Oreochromis niloticus Lines. Aquaculture 184:67-76.

Nagy A, Rajki K, Horvart L, Csanyi. 1978. Investigation on carp (Cyprinus carpio L) gynogenesis. J Fish Biol 13 : 215-224.

Naruse K, Ijiri K, Shima A, Egami N. 1985. The production of cloned fish in the medaka (Oryzias latipes). J Exp Zool 236:335-341.

Nei M, Li WS, 1979. Mathematical model for studying genetic variation in term of retriction endonucleases. Proc Natl Acad Sci USA 76:5269-5273.

Onozato H. 1984. Diplodization of gynogenetically activated salmonid eggs using hydrostatic pressure. Aquaculture 43:91-97.

Pandey RN, Adams RP, Flournoy LE. 1996. Inhibition of Random Amplified Polymorphic DNAs (RAPDs) by plant polysaccharides. Plant Molec Biol reporter 14:15-22.

Peruzzi S, Chatain B. 2000. Pressure and cold shock induction of meiotic gynogenesis and triploidy in the European sea bass, Dicentrarchus labrax L. : relative efficiency of method and parental variability. Aquaculture 189:23-37.

(50)

34

Promega. 2001. PCR Core System-Technical Bulletin. Instruction for use of products M7660 and M7665. USA : Promega Corporation.

Purdom CE. 1993. Genetics and Fish Breeding. Combridge : Chapman and Hall.

Risnawati NW. 1995. Ukuran dan morfologi sperma beberapa spesies ikan famili Cyprinidae [skripsi] Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Rohlf FJ. 1998. NTSYSpc: Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System Version 2.0. User Guide. Exerter software. New York : Applied Biostatistics Inc.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I. Jakarta : Binacipta.

Sastrapraja S, Budiman A, Djajasasmita M, Kaswadji S. 1981. Ikan Hias. Indonesia : Lembaga Biologi Nasional-LIPI.

Shelton CJ, Macdonald AG, Johnstone R. 1986. Induction of triploidy in rainbow trout using nitrous oxide. Aquaculture 58:155-159.

Siraj SS, Seki S, Jee AK, Yamada Y, Taniguchi N. 1993. Diploid gynogenesis in lampan jawa, Puntius schwanenfeldii followed by temperature shock. Aquac

Gambar

Gambar 1  Penampilan morfologis ikan sumatra (Puntius tetrazona) betina (kiri) dan jantan (kanan)
Tabel 1 Spesies donor sperma pada ginogenesis dari beberapa spesies yang berbeda
Gambar 3   Diagram ginogenesis yang menghasilkan tipe ginogen homozigot atau heterozigot (Aray, 2001)
Gambar 4. Diagram skematik produksi klon
+7

Referensi

Dokumen terkait