• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web di Provinsi Jawa Barat dan Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web di Provinsi Jawa Barat dan Banten"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI PEMETAAN RISIKO

BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM BERBASIS WEB

DI PROVINSI JAWA BARAT DAN BANTEN

TRI ATMAJA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web di Provinsi Jawa Barat dan Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Tri Atmaja

(4)

TRI ATMAJA. Pengembangan Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Dibimbing oleh YON SUGIARTO.

Pengembangan sistem informasi peta risiko bencana perubahan iklim perlu dilakukan untuk mendesiminasikan risiko bencana iklim secara lebih interaktif dan informatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan sistem informasi pemetaan risiko bencana perubahan iklim berbasis web di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Data yang digunakan berupa data suhu dan curah hujan bulanan selama 1971 – 2000 serta data komponen pembentuk peta risiko bencana iklim. Sistem dirancang menggunakan metode rekayasa web. Pengembangan sistem ini merupakan langkah tepat untuk mendesiminasikan informasi peta risiko bencana iklim karena informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat. Sistem ini memberikan layanan informasi berupa indeks kerentanan, peta ancaman, peta kapasitas, peta risiko bencana, kondisi iklim, dan kondisi umum wilayah kajian. Informasi tersebut diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan oleh pihak yang berkepentingan dalam merencanakan pembangunan suatu daerah dengan memperhatikan risiko bencana saat ini dan masa depan.

Kata kunci: desiminasi, metode rekayasa web, kebijakan.

ABSTRACT

TRI ATMAJA. Developing Information Systems of Mapping Disaster Risk Affected Climate Change Base on Web in West Java and Banten Province. Supervised by YON SUGIARTO.

The development information systems of disaster risk maps affected climate change needs to be done to disseminate the climate disaster risk more interactive and informative. The purpose of this research is developing information systems of mapping disaster risk affected climate change base on web in West Java and Banten province. Data that used are temperature and precipitation monthly data during 1971 – 2000 and risk maps components data. The system was designed using web engineering methods. Development of the information systems is the right step to disseminate information of climate disaster risk maps because the information can be accessed easily and quickly. This system provides information services such as vulnerability index, hazard maps, capacity map, disaster risks maps, climate conditions, and general conditions in study areas. The informations are expected to be considered in making policy by interested parties in the development of a regional plan in facing current and future disaster risk.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI PEMETAAN RISIKO

BENCANA AKIBAT PERUBAHAN IKLIM BERBASIS WEB

DI PROVINSI JAWA BARAT DAN BANTEN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pengembangan Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web di Provinsi Jawa Barat dan Banten Nama : Tri Atmaja

NIM : G24100005

Disetujui oleh

Yon Sugiarto, MSc Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan baik. Skripsi dengan judul “Pengembangan Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web di Provinsi Jawa Barat dan Banten” disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi penulis melibatkan banyak pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, penulis sampaikan terimakasih kepada,

1. Kedua orang tua penulis Ayahanda Sutoro dan Ibunda Sariyah, serta kedua kakak atas doa, dukungan, dan nasehatnya selama ini.

2. Yon Sugiarto, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan nasihat selama penelitian dan penyusunan skripsi.

3. Prof. Ahmad Bey sebagai dosen pembimbing akademik.

4. Dr. Ir. Tania June, M.Sc selaku ketua departemen, Ir. Bregas Budianto, Ass. Dpl selaku ketua komisi kemahasiswaan serta staf pengajar GFM atas ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang diberikan selama perkuliahan.

5. Pak Per, Pak Imron, dan Pak Ujang yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

6. Adik sekaligus sahabat dan keluarga, Enggar Yustisi Arini atas kasih sayang, dukungan, do’a, dan seluruh semangat serta motivasinya.

7. Sahabat PI AREA terkasih, Ryco, Adi, dan Edi yang setia menjadi pendengar keluh-kesah dan memberikan semangat, nasihat serta masukan kepada penulis.

8. Teman-teman satu bimbingan Budhe, Nunung, Linda, dan Aul atas dukungan, kerjasama, masukan, bantuan selama bimbingan, penelitian dan penyusunan skripsi.

9. Sahabat-sahabatku tercinta sedari dulu hingga sekarang (Alan, Disti, dan Pipit).

10. Teman-teman GFM 47 yang selalu bersama atas kebersamaannya.

11. Teman-teman kosan Pondok Kuning dan IMAPEKA senasib sepenanggungan (Adheng, Afith, Sanjoyo, Yosra, Ali, Irfan, Arfi, Dhimas, dan Fahmi).

12. Sahabat Asrama TPB C1 lorong 4 kamar 45 (Pak Budi, Agan Dhimas, dan Pak Rizky).

13. Sahabatku Zhilal, Bima, Mas Wahyu, dan Mas Syahrul.

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, September 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 3

Bahan 3

Prosedur Analisis Data 4

Pemetaan Risiko Bencana Perubahan Iklim 4

Pengembangan Sistem Informasi Berbasis Web 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Formulasi 8

Perencanaan 9

Analisis 10

Kondisi Geografi Wilayah Kajian 10

Kondisi Iklim Wilayah Kajian 10

Tren Perubahan Iklim 12

Proyeksi Perubahan Iklim 13

Bencana dan Perubahan Iklim 14

Indeks Bencana 16

Ancaman Bencana 18

Kapasitas Adaptif 18

Kerentanan Bencana 19

Risiko Bencana 19

Perancangan (Engineering) 20

Perancangan Isi atau Content 20

Perancangan Arsitektur 21

Perancangan Navigasi 22

(10)

Pembuatan Halaman 24

Hasil dan Pengujian 25

Submenu Kondisi Geografis 25

Submenu Kondisi Iklim 26

Submenu Ancaman 27

Submenu Kapasitas 27

Submenu Kerentanan 28

Submenu Risiko 29

Evaluasi 29

SIMPULAN DAN SARAN 30

Simpulan 30

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 34

(11)

DAFTARTABEL

1. Pembobotan indikator kapasitasa 5

2. Analisis studi kelayakan lingkungan operasi dari sisi client dan server 9

3. Jadwal pengembangan aplikasi 10

4. Pembagian bencana menurut Ethiopian Disaster Preparedness and

Prevention Commission (DPPC)b 15

5. Pembagian bencana menurut EM-DAT The International Disaster

Databasec 15

6. Pembagian bencana berdasarkan faktor penyebab dan dampaknya 16

DAFTAR GAMBAR

1. Peta wilayah kajian (Provinsi Jawa Barat dan Banten) 3

2. Diagram alir penelitian 4

3. Kontur curah hujan tahunan rata-rata dalam mm selama periode 1971 –

2000 di Provinsi Jawa Barat dan Banten 11

4. Tren atau kecenderungan curah hujan tahunan pada periode 1971 – 2000 pada stasiun iklim (a) Jatiwangi yang mewakili Provinsi Jawa Barat dan stasiun iklim (b) Serang yang mewakili Provinsi Banten 12 5. Tren atau kecenderungan suhu rataan tahunan pada periode 1971 – 2000

stasiun iklim Jatiwangi 13

6. Struktur network (Sumber: Pressman 2001 dalam Wuryantoro 2009) 22

7. Diagram konteks sistem 22

8. Desain navigasi sistem 23

9. Sketsa antarmuka sistem 24

10.Tampilan utama sistem 24

11.Kondisi geografis wilayah kajian (kiri) Jawa Barat (kanan) Banten 25

12.Subsubmenu kondisi iklim 26

13.Peta ancaman bencana Provinsi Jawa Barat tahun 2011 27

14.Peta kapasitas Provinsi Jawa Barat 28

15.Peta kerentanan Provinsi Jawa Barat 28

16.Peta risiko bencana Provinsi Jawa Barat 29

DAFTAR LAMPIRAN

1. Diagram alir pengembangan peta kebencanaan berbasis perubahan iklim 34

2. Pembobotan indikator kerentanand 35

3. Klimograf curah hujan dan suhu udara rataan bulanan selama 30 tahun terakhir (1971-2000) pada 23 stasiun iklim yang tersebar di Provinsi

Jawa Barat dan Banten 36

4. Definisi dan faktor penyebab bencana 37

5. DFD (Data Flow Diagram) Level 1 38

6. DFD (Data Flow Diagram) Level 2 38

7. Tampilan atas (header), kiri, tengah, dan bawah (footer) sistem 39 8. Tampilan tengah sistem pada menu navigasi Pemetaan 40 9. Tampilan tengah sistem pada menu navigasi Tentang 40

10.Tampilan tengah sistem menu navigasi FAQ 41

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perubahan iklim menjadi salah satu pemicu utama berbagai persoalan lingkungan dan manusia. Susandi et al. (2008) menyebutkan bahwa perubahan iklim dapat mengakibatkan dua hal utama yang terjadi di lapisan atmosfer paling bawah, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut. IPCC (2013) juga menegaskan bahwa perubahan iklim, baik didorong oleh alam atau aktivitas manusia, dapat menyebabkan perubahan baik kemungkinan terjadinya maupun meningkatnya kejadian cuaca ekstrim seperti curah hujan ekstrim. Sejak tahun 50-an, jumlah kematian akibat bencana iklim mengalami peningkatan sekitar 50% untuk setiap dekade (Kreimer & Munasinghe 1991). Proyeksi masa depan (2050) menunjukan bahwa secara global korban jiwa akibat meningkatnya frekuensi bencana iklim dapat mencapai 100.000 jiwa/tahun dan kerugian ekonomi mencapai 300 milyar USD per tahun (SEI, IUCN, IISD 2001 dalam KLH 2007). Berbagai persoalan dampak perubahan iklim ini terjadi hampir di seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia. Berdasarkan data BNPB (2011), bahwa tren bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan menurut catatan OFDA/CRED Database Bencana Internasional (2007), sepuluh kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode waktu 1907 – 2007 terjadi setelah tahun 90-an dan sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim.

Provinsi Jawa Barat dan Banten merupakan bagian wilayah Indonesia dengan berbagai potensi bencana. Berbagai potensi tersebut antara lain adalah banjir, kekeringan, tanah longsor, gelombang pasang atau kenaikan muka air laut, dan angin puting beliung. Adanya fenomena perubahan iklim semakin meningkatkan potensi kejadian bencana-bencana tersebut. Provinsi Banten yang sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadikan wilayah ini sebagai salah satu wilayah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Alasannya, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan daerah yang berdampingan langsung dengan laut sehingga rentan terhadap kenaikan muka air laut, perubahan suhu permukaan air laut, dan perubahan pola cuaca dan iklim setempat yang mana frekuensinya meningkat akibat dampak perubahan iklim ini (Hutabarat et al. 2011). Sementara itu, berdasarkan data dari Database Bencana Indonesia BNPB (DIBI) sejak tahun 1815 sampai 2013, Provinsi Jawa Barat menjadi provinsi dengan frekuensi kejadian bencana terbesar kedua setelah Provinsi Jawa Tengah. Dengan demikian, Provinsi Jawa Barat dan Banten perlu menjadi sorotan utama dalam pengelolaan bencana akibat perubahan iklim.

(14)

tahun 2013 yang lalu. Akan tetapi, upaya mitigasi tersebut tidak berhenti sampai disitu saja. Pengembangan sistem informasi peta risiko bencana akibat perubahan iklim merupakan langkah yang tepat dalam upaya mendesiminasikan informasi tersebut secara lebih interaktif dan efektif. Informasi ini bermanfaat bagi para pengambil keputusan dan masyarakat secara umum. Alasannya adalah pengelolaan risiko bencana akibat perubahan iklim ini sangat penting dilakukan dalam upaya mencapai sasaran pembangunan suatu daerah yang memperhitungkan risiko saat ini dan masa depan. Informasi risiko bencana yang berkualitas dan baik serta siap pakai akan sangat mempengaruhi kualitas keputusan yang akan diambil.

Perancangan dan pembangunan sistem informasi pemetaan risiko bencana akibat perubahan iklim yang mudah dipahami dan diinterpretasi merupakan suatu kebutuhan khusus bagi para pengambil keputusan atau kebijakan dan masyarakat secara umum. Peta risiko tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan dalam upaya minimalisasi dampak perubahan iklim. Saat ini pengembangan sistem informasi yang banyak dilakukan adalah sistem informasi berbasis komputer. Sistem ini terdiri dalam dua bentuk yaitu sistem informasi berbasis desktop dan sistem informasi berbasis web. Kemajuan teknologi dan kemudahan akses internet menjadikan pengembangan sistem informasi berbasis web sebagai langkah tepat untuk diterapkan pada penelitian ini. Di sisi lain, sistem informasi berbasis desktop juga memiliki keterbatasan mobilitas karena penyimpanan data hanya dalam suatu komputer, perlunya proses instalasi sebelum pemakaian dan tidak semua sistem operasi dapat menjalankan aplikasi ini. Oleh karena itu, sistem informasi berbasis web dipandang sebagai sistem informasi ideal yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan di atas. Para pengguna (user)

akan sangat mudah mengakses situs ini dimana mereka dapat memilih menu utama yang telah disediakan admin yang menampilkan peta risiko bencana akibat perubahan iklim, data indeks kerentanan (vulnerebility), peta kapasitas adaptif (adaptif capacity), dan peta ancaman (hazard) disertai interpretasi masing-masing peta dan indeks dari wilayah yang dipilih.

Tujuan Penelitian

(15)

METODE

Penelitian ini dilakukan selama semester genap tahun ajaran 2014 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor dengan wilayah kajian Provinsi Jawa Barat dan Banten (Gambar 1).

Bahan

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya: • Jawa Barat dalam Angka 2000 – 2012, BPS (Badan Pusat Statistik) • Banten dalam Angka 2000 – 2012, BPS (Badan Pusat Statistik)

• Dokumen Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (PERKA BNPB) No.2 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana

• Dokumen Fifth Assessment Report (AR – 5) yang dikeluarkan oleh

Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan Climate Change 2013

• Dokumen Indeks Rawan Bencana Indonesia tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

• Dokumen Metodologi Pengembangan Peta Kebencanaan Berbasis Perubahan Iklim dan Pengembangan Kapasitas tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)

(16)

• Data suhu dan curah hujan bulanan stasiun iklim di Jawa Barat dan Banten selama periode 1971 – 2000.

Prosedur Analisis Data

Pemetaan Risiko Bencana Perubahan Iklim

Dalam penelitian ini akan disajikan peta risiko bencana perubahan iklim dengan fokus bencana berupa banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung, dan gelombang pasang. Untuk memperoleh peta risiko bencana perubahan iklim diperlukan komponen-komponen seperti indeks ancaman dan indeks kerentanan masing-masing bencana serta indeks kapasitas tiap wilayah. Metodologi dan data hasil pemetaan dalam penelitian ini mengacu pada tahapan proses pengembangan peta kebencanaan berbasis perubahan iklim yang dikeluarkan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2013. Secara lengkap diagram alir metodologi tersebut terdapat pada Lampiran 1.

a. Ancaman Bencana

Indeks ancaman tiap bencana tahun baseline (2011) dalam penelitian ini diperoleh dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2013 yang diturunkan dari indeks kerawanan bencana yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk tahun 2011. Indeks tahun baseline

tersebut selanjutnya diproyeksikan untuk tahun 2030 dan 2050. Seluruh indeks yang telah diperoleh kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah (Indeks < 0.33), sedang (0.33 ≤ Indeks < 0.66) dan tinggi (Indeks ≥ 0.66). Pada dasarnya indeks ini disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu

(17)

kemungkinan terjadinya suatu ancaman dan besaran dampak yang pernah tercatat untuk bencana yang terjadi tersebut.

b. Kerentanan Bencana Komposit

Mengacu kepada International Strategi for Disater Reduction (ISDR) dalam Diposaptono (2007), BNPB (2012), dan DNPI (2013) bahwa kerentanan (vulnerability) adalah kondisi yang ditentukan oleh parameter fisik, sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan. Setiap parameter memiliki indikator masing-masing dimana setiap indikator diproyeksikan untuk mendapatkan kondisi kerentanan masa depan (tahun 2030 dan 2050). Setiap indikator tersebut memiliki bobot masing-masing pada setiap parameternya. Pembobotan tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Seluruh skor kerentanan dan indeks tiap bencana digabung menjadi indeks kerentanan komposit tiap bencana.

c. Kapasitas Komposit

Berdasarkan Perka BNPB No. 02 tahun 2012, komponen kapasitas disusun berdasarkan beberapa parameter, diantaranya adalah kapasitas regulasi, kelembagaan, sistem peringatan, pendidikan pelatihan keterampilan, mitigasi dan sistem kesiapsiagaan. Indeks kapasitas tidak bergantung pada jenis bencana akan tetapi indeks ini dibedakan berdasarkan kawasan administrasi kajian. Hal ini disebabkan karena indeks ini difokuskan kepada institusi pemerintah di kawasan kajian. Pada panelitian ini indeks kapasitas diperoleh dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tahun 2013. Pada dasarnya indeks ini disusun berdasarkan dua parameter, diantaranya indeks kelembagaan yang diperoleh berdasarkan expert judgement (Penilaian Pakar) dan indeks ekonomi yang dibangun berdasarkan indikator PDRB per kapita, infrastruktur jalan (panjang jalan/1000 penduduk), dan IPM (DNPI 2013). Pembobotan setiap indikator di atas dapat dilihat pada Tabel 1. Data-data indikator di atas diproyeksikan dengan menggunakan metodologi sosial dan ekonomi (laju pertumbuhan ekonomi tiap tahun atau logaritmik) untuk memperoleh kondisi kapasitas masa depan suatu daerah (BPS 2007; Sukirno 2011; DNPI 2013).

Tabel 1 Pembobotan indikator kapasitasa No Indikator Bobot

(%)

Kriteria Kapasitas

Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat Tinggi

[55] Indeks Kelembagaan

1 Kelembagaan 100 < 0.2 0.2 - 0.4 0.4 - 0.6 0.6 - 0.8 > 0.8

[45] Indeks Ekonomi

1 PDRB per kapita 35 < 0.2 0.2 - 0.4 0.4 - 0.6 0.6 - 0.8 > 0.8

2 Infrastruktur jalan (panjang jalan/1000 penduduk)

20 < 0.2 0.2 - 0.4 0.4 - 0.6 0.6 - 0.8 > 0.8

3 IPM (Indeks Pembangunan Manusia)

45 < 0.2 0.2 - 0.4 0.4 - 0.6 0.6 - 0.8 > 0.8

a

(18)

d. Risiko Bencana Perubahan Iklim

Peta risiko bencana untuk saat ini (current) dan masa depan (proyeksi) disusun berdasarkan data indeks ancaman, kerentanan, dan kapasitas saat ini dan masa depan dengan melihat kondisi iklim yang terjadi. Peta risiko bencana disusun untuk tiap-tiap bencana yang mengancam suatu daerah.

������ �������=������� � ������������������� (BNPB 2012; DNPI 2013)

Pengembangan Sistem Informasi Berbasis Web

Sistem yang akan dirancang dan dibangun diberi nama Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim Berbasis Web. Metodologi pengembangan sistem informasi pada penelitian ini mengacu pada tahapan proses dalam rekayasa web yang dikemukakan oleh Pressman (2001), yang terdiri dari tahap formulasi, perencanaan, analisis, perancangan (engineering), pembuatan halaman dan pengujian serta evaluasi terhadap aplikasi.

a. Formulasi

Formulasi merupakan tahap pertama yang dilakukan dalam pembuatan aplikasi web. Pada tahap ini dilakukan identifikasi tujuan dan batasan dari aplikasi web, analisis model sesuai dengan spesifikasi kebutuhan sistem serta penentuan sarana yang akan digunakan dengan tujuan untuk memaksimalkan hasil keluaran.

b. Perencanaan

Pada tahap ini dilakukan perkiraan biaya secara keseluruhan, evaluasi risiko yang mungkin terjadi, perencanaan jadwal pengembangan aplikasi, dan menentukan kebutuhan-kebutuhan informasi apa saja yang diperlukan untuk menghasilkan beberapa report yang akan ditampilkan pada sistem.

c. Analisis

Tahap selanjutnya adalah tahap analisis yang merupakan tahap untuk mengidentifikasikan isi yang akan ditampilkan dalam sistem dan menentukan kebutuhan untuk estetika pada desain. Proses analisis dilakukan dengan meneliti data pembentuk peta risiko bencana berbasis perubahan iklim dan komponennya yang diperoleh dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Data tersebut diantaranya data indeks ancaman, kerentanan, kapasitas, dan data indeks risiko bencana perubahan iklim.

d. Perancangan (Engineering)

Pada tahap ini dibagi menjadi dua pekerjaan yang dilakukan secara paralel, yaitu desain isi informasi dan desain arsitektur web. Tahapan perancangan sistem yang terdapat pada proses ini meliputi :

1. Perancangan Isi atau Content

Dalam perancangan ini akan dirancang isi dan database yang digunakan berdasarkan kebutuhan informasi yang telah dianalisis pada tahap analisis. 2. Perancangan Arsitektur

(19)

diperlukan suatu aliran kerja yang terstruktur agar dapat mengatur dan mengarahkan pengembangan sistem.

3. Perancangan Navigasi

Pada tahap ini ditentukan navigasi ke halaman-halaman web berdasarkan arsitektur yang sudah terbentuk sehingga memungkinkan pengguna untuk mengakses isi web dan layanan-layanan yang disediakan.

4. Perancangan Keluaran (Output)

Perancangan ini bertujuan untuk menghasilkan keluaran. Keluaran yang dihasilkan harus dapat memenuhi kebutuhan informasi akan peta risiko bencana berbasis perubahan iklim. Selain itu, keluaran sistem juga harus memenuhi kebutuhan informasi yang diinginkan oleh pengguna dan disesuaikan dengan hak akses pengguna. Keluaran yang dihasilkan dari aplikasi webmerupakan hasil dari proses manajemen data pada sistem.

5. Perancangan Antarmuka

Perancangan ini membahas mengenai antarmuka yang digunakan untuk pengembangan sistem. Perancangan antarmuka dibuat dalam bentuk tag

HTML yang kemudian disimpan dalam bentuk eksistensi PHP untuk memudahkan proses pengkodean dan penggabungan, seluruh file yang dieksekusi berupa file PHP. Namun, file juga dapat disimpan dalam bentuk HTML.

e. Pembuatan Halaman dan Pengujian

Pembuatan halaman yang menghasilkan suatu halaman web dilakukan dengan pembuatan program menggunakan PHP yang dapat dieksekusi dalam bentuk HTML. Pembuatan program dengan kode PHP juga dilakukan untuk melakukan koneksi ke dalam database server. Pembuatan program dengan kode PHP dilakukan baik secara embedded maupun nonembedded. Embedded

dilakukan dengan menyisipkan kode PHP di dalam kode HTML sedangkan

nonembedded dilakukan dengan menyisipkan kode HTML di dalam kode PHP. Sementara tahap pengujian diperlukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kesalahan pada script atau form untuk kemudian dapat dilakukan perbaikan.

f. Evaluasi

Tahap ini dilakukan untuk mengetahui kualitas suatu aplikasi atau sistem yang mengandung faktor-faktor sebagai berikut:

1. Usability

Evaluasi yang didasarkan pada nilai estetis dan pemahaman dari seluruh isi situs.

2. Functionality

Evaluasi yang didasarkan pada kemampuan proses pencarian data, navigasi, dan browsing.

3. Reliability

Evaluasi yang didasarkan pada ketepatan proses link dan validasi input. 4. Efficiency

Evaluasi yang didasarkan pada kecepatan menampilkan peta dan membuka halaman baru.

5. Maintainability

(20)

Tahapan evaluasi ini akan dilakukan dengan melibatkan seluruh orang, lembaga atau instansi baik yang mengembangkan ataupun yang menggunakan peta kebencanaan berbasis perubahan iklim ini.

g. Penggunaan Perangkat Keras dan Lunak

Spesifikasi perangkat keras yang digunakan dalam pengembangan aplikasi web ini adalah:

• Laptop dengan prosessor Intel (R) Core (TM) i5-3337U CPU @ 1.80 GHz 1.80 GHz

• RAM 4 GB

• Harddisk 500 GB Serial ATA 5400 RPM

Sedangkan spesifikasi perangkat lunak yang digunakan adalah: • Windows 7 Ultimate sebagai sistem operasi

• Apache sebagai server yang terintegrasi dengan PHP dan MySQL pada perangkat lunak XAMPP

• PHP sebagai bahasa pemrogaman • MySQL sebagai basis data

• Adobe CS6 untuk pengolah aplikasi pemetaan dan pengolah gambar atau pengembangan halaman antarmuka web.

• Microsoft Office 2010

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem informasi merupakan interaksi dan atau kombinasi terorganisasi dari orang-orang (people), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software),

dan jejaring komunikasi yang dapat mengumpulkan, memanipulasi, menyimpan, dan menyebarluaskan segala keterangan atau data penting dan bermanfaat bagi para pengambil keputusan dalam mencapai tujuannya (Stairs & Reynold 2010; O’Brien 2005). Efektifnya penyebaran informasi melalui web dan pentingnya desiminasi informasi peta risiko bencana perubahan iklim terutama dalam pengambilan keputusan maka pengembangan sistem informasi peta risiko bencana akibat dampak perubahan iklim berbasis web perlu dilakukan.

Formulasi

(21)

Kapasitas di Provinsi Jawa Barat dan Banten maka diperoleh gambaran secara umum mengenai apa yang akan dimuat dalam sistem informasi ini.

Perencanaan

Pada penelitian ini studi kelayakan secara finansial tidak dilakukan. Sementara studi kelayakan secara teknis dilakukan dengan menganalisis lingkungan operasi dari sisi client dan server akan kebutuhan perangkat lunak dan perangkat keras sistem seperti yang ditunjukan oleh Tabel 2. Selain itu studi kelayakan operasional juga dilakukan. Hasil dari uji kelayakan tersebut menunjukan bahwa sistem ini dapat dikembangkan karena data atau bahan masukan sistem bersumber dari dokumen yang dikeluarkan oleh DNPI sehingga data-data sistem merupakan data terpercaya. Selain itu, sasaran dari sistem ini terutama adalah para pengambil keputusan atau kebijakan dan masyarakat secara umum yang mempunyai sumberdaya untuk mengoperasikan sistem ini baik dari sumberdaya intelektualitasnya maupun sumberdaya perangkat lunak dan perangkat kerasnya.

Selain studi kelayakan di atas, pencarian informasi pendukung lainnya yang dibutuhkan juga dilakukan. Informasi yang dibutuhkan tersebut adalah segala informasi mengenai pengembangan peta kebencanaan berbasis perubahan iklim beserta komponen pembentuknya yang diperoleh dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Badan Pusat Statistik (BPS) dan beberapa literatur.

Perencanaan pengembangan aplikasi diarahkan oleh dosen pembimbing sehingga evaluasi risiko yang mungkin terjadi telah didiskusikan. Sementara itu, jadwal pengambangan aplikasi mengikuti Tabel 3.

Tabel 2 Analisis studi kelayakan lingkungan operasi dari sisi client dan server

Lingkungan

Operasi Perangkat Lunak Perangkat Keras

Server

Windows, Linux, Mac OS X sebagai sistem operasi

Processor dengan clock speed 2 GHz

Apache atau IIS (Internet Information Server) sebagai web server

Memori 512 MB

ArcGIS 10 Adobe CS6 sebagai pengolah gambar

Kapasitas Harddisk 80 GB

Client

Windows, Linux, Mac OS X sebagai sistem operasi

Processor dengan clock speed 1 GHz

Internet Explorer, Opera, atau Mozila sebagai web browser

(22)

Analisis

Isi yang akan ditampilkan dalam sistem perlu diidentifikasi. Hal ini bertujuan unuk memahami isi atau content dari sistem ini. Tahap ini disebut sebagai analisis. Proses ini dilakukan dengan meneliti data pembentuk peta risiko bencana berbasis perubahan iklim dan komponennya.

Kondisi Geografi Wilayah Kajian

1. Provinsi Jawa Barat

Secara geografis Provinsi Jawa Barat terletak di antara 5o50' – 7o50' Lintang Selatan dan 104o48' - 108o48' Bujur Timur. Jawa Barat terbagi atas 26 kab/kota (meliputi 17 Kabupaten dan 9 Kota) dan 626 kecamatan serta terbagi atas daerah perkotaan sebanyak 2664 dan perdesaan sebanyak 3254. Jumlah Penduduk di Jawa Barat menurut Hasil Survei Sosial Ekonomi Masyarakat Nasional 2011 adalah sebanyak 43.826.775 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebesar 11.761.194. Kepadatan Penduduk di Jawa Barat Pada tahun 2011 adalah 1.181 orang/km2, dengan luas wilayah sebesar 37.116,54 km2. Garis Kemiskinan wilayah ini pada tahun 2010 sebesar Rp 230.445 per kapita per bulan (Jawa Barat dalam Angka 2012).

2. Provinsi Banten

Secara geografis, Provinsi Banten terletak antara 5°07'50” – 7°01'01” Lintang Selatan dan 105°01'11” - 106°07'12” Bujur Timur. Provinsi Banten memiliki luas sebesar 9.662,92 km2 yang terbagi atas empat kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Lebak, Tangerang, Serang dan empat kota yaitu Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Serang, dan Kota Cilegon. Pada tahun 2011 jumlah penduduk di wilayah Provinsi Banten berjumlah sebanyak 11.005.518 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 1.139 jiwa/km2 (Banten dalam Angka 2012).

Kondisi Iklim Wilayah Kajian

Iklim merupakan kondisi rata-rata cuaca dalam jangka waktu yang relatif panjang yaitu sekitar 30 tahun (IPCC 2013). Iklim merupakan komponen utama dalam pembuatan peta risiko bencana. Dalam mengidentifikasi iklim masa depan, dua unsur iklim yang paling sering diamati adalah curah hujan dan suhu udara. Tabel 3 Jadwal pengembangan aplikasi

Kegiatan Bulan

Sept. 2013 - Feb. Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sept

Formulasi

Analisis

Perancangan

Pembuatan halaman dan

pengujian

Evaluasi dan

(23)

Oleh karena itu, sistem informasi pada penelitian ini membahas dua unsur iklim di atas.

Analisis sebaran curah hujan rataan selama periode 1971 – 2000 di wilayah Jawa Barat dan Banten seperti ditunjukan pada Gambar 3 menjelaskan bahwa curah hujan maksimum terjadi di wilayah tengah bagian timur dan barat. Sementara pada bagian utara yaitu pesisir utara Jawa Barat dan Banten hanya memiliki curah hujan yang lebih kecil dibandingkan dengan bagian pesisir selatan Jawa Barat maupun Banten. Curah hujan maksimum pertama bernilai 4200 mm namun hanya mencakup wilayah yang sangat sempit. Curah hujan maksimum selanjutnya (3600 mm) yang berada di sebelah tengah bagian barat menjangkau wilayah yang cukup luas. Kedua curah hujan maksimum ini berada di daerah pegunungan sehingga tingginya curah hujan tersebut disinyalir disebabkan oleh hujan orografis.

Sementara itu, pola hujan dan kondisi suhu udara Provinsi Jawa Barat dan Banten dipresentasikan pada klimograf di Lampiran 3. Analisis pola hujan kedua provinsi menunjukan bahwa kedua wilayah didominasi oleh pola monsunal (monsoon). Hal ini sesuai dengan pendapat Tjasyono (2004) dan Aldrian & Susanto (2003) bahwa wilayah Jawa, termasuk didalamnya Provinsi Jawa Barat dan Banten, didominasi oleh pola monsun. Pola ini dicirikan dengan satu puncak musim hujan. Stasiun dengan puncak hujan relatif tinggi adalah stasiun Geofisika Bandung, Citeko, dan Pusakanegara dengan puncak mencapai 500 mm/bulannya. Pusakanegara selain memiliki puncak hujan yang tinggi juga memiliki curah hujan yang relatif rendah sepanjang tahun. Stasiun lain yang curah hujannya relatif rendah sepanjang tahun diantaranya adalah stasiun Tangerang (Geofisika Tangerang), Serang Banten, dan Sukamandi. Stasiun-stasiun tersebut memiliki puncak hujan dibawah 100 mm/bulan selama empat bulan berturut-turut (Juni hingga September).

(24)

Pola suhu udara untuk kedua provinsi menunjukan fluktuasi yang relatif kecil. Hal ini diakibatkan karena letak wilayah Indonesia yang berada di wilayah tropis. Fluktuasi suhu bulanan hanya berkisar 1-2 0C. Fluktuasi tajam hingga 10 0

C hanya terjadi pada wilayah Cibinong dengan suhu terendah 25 0C dan maksimum 35 0C. Hal ini disebabkan karena wilayah tersebut adalah wilayah urban. Kisaran suhu udara untuk daerah dataran berkisar antara 26–28 0C (Stasiun iklim Jastisari, Sukamandi, Pusakanegara) dengan suhu udara relatif rendah pada daerah tinggi (Stasiun iklim Cipanas dan Citeko). Kondisi ini diakibatkan karena suhu udara akan menurun dengan naiknya ketinggian tempat.

Tren Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan sebuah perubahan sistem iklim dalam skala besar yang berlangsung selama beberapa dekade atau kurang yang perubahannya tetap (atau diperkirakan tetap) untuk setidaknya beberapa dekade dan menyebabkan dampak besar terhadap manusia dan sistem alam (IPCC 2013). IPCC (2013) menegaskan bahwa selama seratus tahun terakhir (1906 – 2005) suhu permukaan bumi rata-rata telah meningkat sekitar 0.74oC dengan pemanasan yang lebih besar pada daratan dibandingkan lautan. Selain itu,kurun waktu 1995 – 2006 merupakan tahun-tahun terpanas dalam catatan instrumen temperatur permukaan (sejak 1850). Fenomena perubahan iklim ini terjadi secara global termasuk di Indonesia yang mana perubahannya diindikasi dengan adanya perubahan suhu (Rozari et al. 1992; IPCC 2013), perubahan pola hujan, dan pergeseran musim atau musim semakin kering atau musim kemarau lebih panjang (Kaimuddin 2000; Tobing 2007). Oleh karena itu, analisis perubahan iklim untuk Provinsi Jawa Barat dan Banten dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat tren atau kecenderungan kedua unsur iklim di atas.

Analisis tren atau kecenderungan suhu dan curah hujan di wilayah Jawa Barat dan Banten dipresentasikan pada Gambar 4 dan 5. Dalam analisis ini, setiap Provinsi diwakilkan oleh satu stasiun iklim. Stasiun iklim Jatiwangi mewakili Provinsi Jawa Barat dan stasiun iklim Serang mewakili Provinsi Banten. Pemilihan stasiun ini disebabkan karena keterbatasan data dan pengaruh fenomena global yang sama untuk kedua wilayah (DNPI 2013).

(25)

Pada stasiun Jatiwangi perubahan curah hujan tahunan menunjukan tren signifikan dengan kisaran curah hujan rendah dan tinggi antar tahun menunjukan jarak yang relatif lebar. Sementara pada stasiun Serang, curah hujan menunjukan tren positif dengan peningkatan yang relatif kecil tiap tahunnya. Selain itu, keragaman curah hujan tahunannya pun relatif kecil (Gambar 4b). Kedua kondisi ini sesuai dengan pernyataan Rataq (2007) & Susandi (2007) yang menegaskan bahwa akibat perubahan iklim yang terus berlanjut, diperkirakan Indonesia akan mengalami peningkatan curah hujan sebesar 2% hingga 3% per tahun.

Selain melihat tren curah hujan, perubahan iklim juga dapat diindikasikan melalui perubahan suhu. Analisis perubahan suhu dilakukan untuk stasiun Jatiwangi yang memiliki data relatif lengkap. Perubahan suhu pada stasiun Jatiwangi selama periode 1971 – 2000 menunjukan adanya laju peningkatan relatif kecil per tahun (Gambar 5). Walaupun demikian bila diperhatikan kecendrungannya adalah terjadi peningkatan suhu udara. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rozari et al. (1992) dan IPCC (2013) yang menyatakan bahwa fenomena perubahan iklim telah mengakibatkan peningkatan suhu udara secara global termasuk Indonesia. Suhu rata-rata udara di permukaan tanah Indonesia meningkat sekitar 0.5°C pada abad ke-20 (BAPPENAS 2009).

Proyeksi Perubahan Iklim

Proyeksi perubahan iklim masa depan dapat dianalisis berdasarkan data luaran model iklim global (Global Climate Model) CCSM4. Sementara untuk menangkap skenario emisi masa depan digunakan skenario Representative Concentration Pathway (RCP) 4.5 dan 8.5. Hingga saat ini, dari berbagai model proyeksi perubahan iklim, hanya tersedia dua skenario emisi yang relatif lengkap yang menggambarkan kondisi emisi masa depan. Skenario tersebut adalah skenario emisi RCP 4.5 dan RCP 8.5. RCP 4.5 merupakan skenario emisi yang moderate sedangkan skenario emisi RCP 8.5 adalah skenario emisi yang memproyeksikan kondisi terburuk (worst scenario) dari emisi CO2 di atmosfer

pada masa mendatang (DNPI 2013). Luaran model adalah data curah hujan, suhu maksimum dan minimum bulanan untuk periode 2030 (2021-2040) dan 2050 (2041-2060). Luaran model ini dapat digunakan untuk penentuan indeks bencana masa mendatang.

(26)

Berdasarkan hasil luaran model iklim CCSM4 dengan skenario RCP4.5 menunjukan bahwa perubahan curah hujan rata-rata untuk 23 stasiun iklim pada tahun 2030 mencapai 50% jika dibandingkan dengan baseline (curah hujan tahun 2011). Pada tahun 2050 peningkatan bahkan mencapai hingga 102%. Sementara pada skenario RCP8.5, curah hujan meningkat hingga 85.2% pada tahun 2030 dan 163.8% pada tahun 2050. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rataq (2007) dan BAPPENAS (2009) yang menyebutkan bahwa pada masa mendatang diperkirakan musim kemarau berlangsung lebih panjang sementara musim hujan lebih singkat namun lebih lebat bahkan peningkatan curah hujan Indonesia dapat mencapai 2% hingga 3% per tahun. Artinya, jika tahun 2011 dijadikan sebagai tahun baseline maka proyeksi peningkatan curah hujan tahun 2030 adalah sekitar 38% hingga 57% dan sekitar 78% hingga 117% pada tahun 2050. Sementara untuk suhu udara, rata-rata untuk 23 stasiun perubahannya mencapai 1.0oC pada tahun 2030 dan 1.2oC pada tahun 2050 untuk skenario emisi RCP4.5 sedangkan pada skenario emisi RCP8.5 perubahan suhu udara tahun 2030 sama dengan RCP4.5, 1 oC dan 1.7 oC pada 2050. Rata-rata suhu udara Indonesia diproyeksikan meningkat sebesar 0.8°C hingga 1.0°C antara tahun 2020 – 2050, jika dibandingkan dengan periode data dasar tahun 1961 – 1990 (BAPPENAS 2010); dan antara 2.1°C hingga 3.4°C pada tahun 2100 (Boer & Faqih 2005; Rataq 2007).

Bencana dan Perubahan Iklim

Menurut BNPB (2012) bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat terjadi apabila terdapat peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Jika terjadi suatu ancaman (hazard) tetapi masyarakat tidak rentan maka masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu tersebut, sementara jika kondisi masyarakat rentan dan terjadi peristiwa yang mengancam maka akan terjadi bencana.

(27)

dan prasyarat bangunan. Sementara bencana akibat manusia merupakan bencana yang dapat mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Untuk lebih jelasnya perhatikan Tabel 4 di bawah.

EM–DAT The International Disaster Database membagi bencana kedalam lima kategori. Tipe-tipe bencana tersebut diantaranya bencana geofisik, meteorologi, hidrologi, klimatologi, dan biologi. Untuk lebih jelasnya perhatikan Tabel 5 di bawah. Selain itu, dalam penelitian ini juga dilakukan pembagian bencana berdasarkan faktor penyebab dan dampaknya. Bencana ini terdiri dari bencana satu arah (single variable) dan dua arah (dual variable). Bencana satu arah (single variable) adalah bencana yang diakibatkan oleh faktor alami dan berdampak pada manusia dan lingkungan sedangkan bencana dua arah (dual variable) adalah bencana yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan berdampak pada manusia itu sendiri dan lingkungannya. Bencana-bencana yang termasuk kedalam bencana satu arah dan dua arah dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 4 Pembagian bencana menurut Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention Commission (DPPC)b

Jenis Bencana Bentuk Contoh

Bencana Alam Bencana Geologi Gempa bumi, Tsunami, Aktivitas Vulkano, Longsor atau gerakan massa bumi, subsidensi, surface collapse, dan geological fault activity

Bencana

Hidro-meteorologi

banjir dan semburan lumpur, siklon tropis, badai atau cuaca ekstrim, kekeringan, desertifikasi, kebakaran hutan, gelombang panas, badai pasir, permafrost, dan longsor salju

Bencana Biologi penyebaran penyakit epidemik, infeksi tanaman atau hewan, dan penyebarluasan kutu

Bencana Akibat Manusia

Bencana Teknologi polusi air dan udara, paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya

Environmental degradation

rusaknya sumber daya lingkungan dan keragaman hayati serta terganggunya ekosistem

Conflict konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror

bSumber: Handmer 2007

Tabel 5 Pembagian bencana menurut EM-DAT The International Disaster Databasec

Tipe Bencana Contoh

Geofisik Gempa Bumi, Vulkano, dan Pergerakan Tanah (kering)

Meteorologi Badai

Hidrologi Banjir, Pergerakan Tanah (Basah)

Klimatologi Temperatur Ekstrem, Kekeringan, dan Kebakaran Hutan

Biologi Epidemik, Infestasi Serangga, dan Infeksi Binatang c

(28)

Perubahan iklim sebagai implikasi dari pemanasan global telah meningkatkan frekuensi bencana khususnya bencana iklim di Indonesia. Menurut catatan OFDA/CRED Database Bencana Internasional (2007), sepuluh kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode waktu 1907 – 2007 terjadi setelah tahun 90-an dan sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim seperti bencana hidrometeorologi. Menurut BNPB, bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, dan gelombang pasang akan mendominasi dibandingkan dengan bencana geologi, bencana sosial, dan bencana biologi. Data bencana tahun 2002-2011 menunjukkan bahwa sekitar 89% dari total bencana di Indonesia didominasi oleh bencana hidrometeorologi (BNPB 2012). Bahkan pada tahun 2012 bencana hidrometeorologi terjadi rata-rata hampir 70% dari total bencana di Indonesia (Pratiwi 2012). Oleh karena itu, analisis bencana terkait perubahan iklim dalam penelitian ini memilih lima bencana yang frekuensi kejadiannya cukup tinggi di Indonesia. Bencana-bencana tersebut diantaranya adalah bencana banjir, kekeringan, tanah longsor, gelombang pasang, dan puting beliung. Penjelasan mengenai definisi dan faktor-faktor penyebab bencana di atas diuraikan dalam Lampiran 4.

Indeks Bencana

Untuk mengkuantifikasi dampak perubahan iklim terhadap kejadian bencana maka disusunlah indeks bencana iklim. Indeks ini menggambarkan kerentanan wilayah terhadap suatu bencana. Indeks ini disusun berdasarkan data kondisi iklim saat ini (current) dan proyeksi masa depan. Pada penelitian ini disusun lima buah indeks bencana terkait iklim, diantaranya indeks bencana banjir, kekeringan, tanah longsor, gelombang pasang, dan puting beliung.

Tabel 6 Pembagian bencana berdasarkan faktor penyebab dan dampaknya Jenis Bencana

Bencana Satu Arah (Single Variable) Bencana Dua Arah (Dual Variable)

Gempa Bumi Banjir

Tsunami Tanah Longsor

Aktivitas Vulkano Semburan Lumpur

Subsidensi Tanah Kebakaran Hutan

Pergerakan Tanah Penyebaran Penyakit

Siklon Tropis Polusi Air dan Udara

Badai/Puting Beliung/Cuaca Ekstrem

Kekeringan Desertifikasi

Gelombang Panas

Badai Pasir

Longsor Salju

Temperature Ektrem

(29)

Berdasarkan informasi indeks bencana yang diperoleh dari Dokumen Pengembangan Peta Kebencanaan Berbasis Perubahan Iklim di Jawa Barat dan Banten tahun 2013 bahwa indeks masing-masing bencana cukup beragam. Pada tahun 2011 (baseline), indeks bencana banjir di Provinsi Jawa Barat berselang dari 0.8554 hingga 1.0000 sedangkan Provinsi Banten antara 0.8063 – 0.9177. Indeks terkecil ditempati oleh Kabupaten Garut dan Kabupaten Pandeglang sedangkan indeks tertinggi ditempati oleh Kota Bandung dan Kota Tangerang Selatan. Kota Bandung merupakan kota yang terletak di wilayah cekungan sehingga sangat memungkinkan untuk terjadi banjir. Pada bencana kekeringan, Kota Bogor dan Serang-lah yang menempati indeks tertinggi bencana ini sedangkan Kabupaten Garut dan Kabupaten Lebak menempati indeks terendah. Selang indeks bencana ini berkisar antara 0.7980 – 1.000 untuk Provinsi Jawa Barat dan 0.8405 – 0.9418 untuk Provinsi Banten. Bencana tanah longsor sangat mengancam Kota Bandung dan Kabupaten Lebak dengan indeks berturut-turut 1.0000 dan 0.5604. Sementara itu, bencana gelombang pasang sangat mengancam daerah-daerah pesisir seperti Kabupaten Sukabumi, Cianjur, dan Kota Tangerang. Kota Bandung dan Kota Serang juga terancam oleh bencana puting beliung dengan indeks berturut-turut 1.0000 dan 0.7186.

Proyeksi indeks bencana masa depan pada skenario emisi RCP4.5 dan RCP8.5 menunjukan hasil yang tidak terlalu beragam. Setiap bencana pada masing-masing proyeksi menunjukan skala maksimalnya baik pada tahun 2030 dan 2050. Proyeksi tersebut juga menunjukan bahwa Kota Bandung merupakan daerah dengan indeks bencana tertinggi untuk setiap bencana kecuali bencana gelombang pasang karena wilayah ini tidak memiliki pantai. Sementara pada Provinsi Banten indeks setiap bencana bervariasi. Pada Provinsi ini, Kabupaten Pandeglang-lah yang merupaka daerah dengan indeks terkecil untuk bencana banjir dan tanah longsor pada setiap proyeksi. Sementara bencana gelombang pasang lebih mengancam provinsi ini karena hampir seluruh kabupaten dan kotanya berbatasan langsung dengan laut terkecuali Kota Tangerang dan Tangerang Selatan

(30)

meningkatkan frekuensi bencana alam/cuaca ekstrim (tanah longsor, banjir, kekeringan, badai tropis, dll.) dan mengancam ketersediaan air, kenaikan muka laut, menyebabkan banjir permanen dan kerusakan infrastruktur di daerah pantai.

Ancaman Bencana

Ancaman merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang berpotensi mengakibatkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan lingkungan (BNPB 2011). Oleh karena itu, ancaman menjadi salah satu input dalam pengembangan pemetaan risiko bencana akibat perubahan iklim.

Berdasarkan analisis data indeks rawan bencana dari BNPB (2011) diperoleh informasi bahwa Provinsi Jawa Barat dan Banten merupakan dua provinsi dengan tingkat kerawanan berbagai bencana (multihazard) yang tinggi. Akan tetapi, Provinsi Jawa Barat menempati urutan lebih tinggi daripada Provinsi Banten dengan skor indeks rawan sebesar 200 sedangkan Banten hanya 133. Pada level kabupaten/kota, seluruh kabupaten/kota di Provinsi Banten memiliki skor kerawanan yang tinggi kecuali Tangerang Selatan yang memiliki skor sedang. Sementara itu, kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat memiliki skor yang tinggi seluruhnya bahkan lima dari enam kabupaten/kota dengan skor kerawanan tertinggi di Indonesia ditempati kabupaten/kota dari Jawa Barat. Kelima kabupaten tersebut diantaranya Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Bandung, Bogor, dan Sukabumi.

Kapasitas Adaptif

Kapasitas adaptif dalam lingkup perubahan iklim diartikan sebagai kemampuan dari suatu sistem untuk melakukan penyesuaian (adjust) terhadap perubahan iklim sehingga potensi dampak negatif dapat dikurangi dan dampak positif dapat dimaksimalkan. Sesuai dengan arahan dari Perka BNPB No.2/2012 dan DNPI 2013, indeks kapasitas adaptif terdiri dari dua indikator, yaitu kapasitas ekonomi dan kapasitas kelembagaan. Dalam penelitian ini kapasitas kelembagaan didapatkan dari expert judgement (penilaian pakar). Sementara untuk kapasitas ekonomi diperoleh melalui pertimbangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kondisi infrastruktur jalan, dan PDRB per kapita suatu daerah. Kedua kapasitas ini dijadikan satu menjadi kapasitas adaptif dengan pembobotan 55% untuk kapasitas kelembagaan dan 45% untuk kapasitas ekonomi. Dalam mengintegrasikan dengan kondisi kapasitas di atas terhadap sistem maka ditampilkan peta kapasitas adaptif tiap tahun kajian.

(31)

tertata dan terfokus langsung oleh pemerintahan kota sedangkan tinginya kapasitas pada beberapa kabupaten yang disebutkan di atas dikarenakan wilayah kabupaten tersebut terletak dekat dengan wilayah Ibukota Indonesia, Jakarta, sehingga baik infrastruktur jalan, perindustrian, dan sumberdaya manusianya tinggi. Untuk tahun 2030 hampir seluruh kapasitas wilayah semakin membaik terutama untuk Kota Bandung yang memiliki kapasitas sangat tinggi. Hal ini dikarenakan Kota Bandung merupakan ibukota Provinsi Jawa Barat. Demikian pula untuk tahun 2050 dimana kondisi kapasitas hampir tinggi seluruhnya terkecuali Kabupaten Pandeglang dan Lebak.

Kerentanan Bencana

Dalam konteks bencana, BAKORNAS PB (2007) menyatakan bahwa kerentanan (vulnerability) adalah sekumpulan kondisi atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana atau dengan kata lain merupakan kondisi ketidakmampuan menghadapi ancaman bahaya. DNPI (2013) menyatakan, dalam konteks perubahan iklim, kerentanan merupakan perkiraan besar dampak buruk yang timbul akibat keragaman dan perubahan iklim setelah dilakukan upaya adaptasi.

Menurut International Strategi for Disater Reduction (ISDR) dalam Diposaptono (2007), kerentanan adalah kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor fisik, sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan. Oleh karena itu, untuk mengintegrasikan kondisi kerentanan tersebut maka dalam sistem ini ditampilkan komponen-komponen kerentanan di atas dimana setiap komponen memiliki parameter masing-masing. Hasil analisis kondisi kerentanan sosial budaya Provinsi Jawa Barat menunjukan bahwa pada kondisi current hingga tahun 2050 wilayah ini cenderung didominasi oleh selang kerentanan sangat rendah hingga rendah sedangkan Provinsi Banten lebih didominasi oleh selang sedang. Kerentanan ekonomi kedua wilayah cenderung didominasi oleh selang rendah hingga sedang pada seluruh tahun amatan. Sementara kondisi kerentanan lingkungan didominasi oleh selang tinggi hingga sangat tinggi. Hanya kondisi kerentanan fisik saja yang didominasi oleh kerentanan sangat tinggi pada kedua wilayah. Hal ini menunjukan bahwa secara sosial budaya dan ekonomi, kedua wilayah ini lebih tahan menghadapi ancaman atau bencana sementara secara fisik dan lingkungan kedua wilayah ini sangat rentan dalam menghadapi bencana.

Risiko Bencana

Berdasarkan dokumen Perka BNPB No. 02 tahun 2012, pengkajian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang melanda. Kajian risiko bencana dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut:

������ ������� =������� � ����������

���������

(32)

selang risiko rendah hingga tinggi. Kondisi masa depan (tahun 2030) pada skenario RCP4.5 hanya Kota Sukabumi dan Bandung yang mengalami peningkatan risiko dari rendah ke sedang sedangkan pada RCP8.5 kondisinya lebih bervariasi. Kota Bogor, Kota Depok, Kuningan, dan Kabupaten Tasikmalaya mengalami peningkatan risiko sedangkan Kabupaten Sukabumi, Karawang, dan Majalengka justru mengalami penurunan risiko. Proyeksi masa depan untuk tahun 2050 menunjukan selang risiko dari rendah ke sangat tinggi. Risiko sangat tinggi mengancam wilayah Kabupaten Subang, Indramayu, Ciamis, Sukabumi, Cirebon, Cianjur, dan Kota Cirebon.

Perancangan (Engineering)

Perancangan Isi atau Content

Content berupa teks dan gambar atau peta digunakan untuk mengisi setiap halaman web. Konten informasi peta risiko bencana akibat perubahan iklim yang disajikan dalam sistem ini dibagi menjadi empat bagian utama, yaitu:

1. Beranda

Pada bagian Beranda disajikan informasi mengenai latarbelakang pengembangan sistem dan pentingnya mengetahui informasi peta risiko bencana pada kondisi saat ini dan masa depan ditengah fenomena perubahan iklim

2. Pemetaan

Pada bagian pemetaan, informasi yang disajikan berupa peta dan kondisi umum wilayah yang dipilih. Dalam sistem ini baru tersedia wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten. Secara lengkapnya, informasi yang tersedia dalam menu Pemetaan berupa:

• Kondisi umum wilayah yang dipilih

• Kondisi iklim wilayah yang dipilih, meliputi  Peta curah hujan

 Klimograf

 Tren perubahan iklim

 Proyeksi perubahan ikim dengan menggunakan model CCSM4 dan skenario emisi RCP4.5 dan 8.5

• Peta ancaman bencana, meliputi:

Menu peta ancaman memberikan informasi mengenai kondisi ancaman daerah yang dipilih pada masing-masing tahun. Menu ini terdiri dari submenu tahun 2011 sebagai tahun baseline, tahun 2030, dan tahun 2050. Selain itu pada menu peta ancaman ini juga berisi informasi peta ancaman setiap bencana diantaranya peta ancaman bencana banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung, dan gelombang pasang.

Setiap peta ancaman memiliki skala ancaman yang diilustrasikan dengan skala warna pada sisi peta. Warna kuning menunjukan ancaman rendah sedangkan warna biru dan merah menunjukan ancaman sedang dan tinggi. • Peta kapasitas adaptif yang meliputi setiap tahun kajian

(33)

merupakan tahun baseline (2011) sedangkan tahun 2030 dan 2050 merupakan tahun-tahun proyeksi. Selain itu, pada menu ini juga berisikan informasi mengenai interpretasi hasil peta kapasitas masing-masing tahun. Setiap peta kapasitas memiliki skala peta yang diilustrasikan dengan gradien warna pada sisi peta. Warna biru menunjukan kapasitas sangat rendah, warna biru muda menunjukan kapasitas rendah, warna hijau meunjukan skala sedang, sementara warna kuning dan merah berturut-turut menunjukan kapasitas tinggi dan sangat tinggi.

• Peta kerentanan yang ditampilkan dalam bentuk tabel, meliputi  Kerentanan sosial budaya

 Kerentanan ekonomi  Kerentanan fisik  Kerentanan lingkungan

• Peta risiko yang merupakan bagian paling penting, terdiri dari:

 Peta baseline (tahun 2011) yang meliputi peta risiko multi bencana dan setiap bencana yang dibahas pada tahun tersebut

 Peta risiko pada masa depan 2030, meliputi peta risiko setiap bencana dan multi bencana kajian pada dua skenario emisi, RCP4.5 dan RCP8.5.

 Peta risiko pada masa depan 2050, meliputi peta risiko setiap bencana dan multi bencana kajian pada dua skenario emisi, RCP4.5 dan RCP8.5.

Peta risiko memiliki pembagian selang skala yang sama dengan peta kapasitas. Perbedaannya adalah pada peta risiko semakin tinggi skalanya menunjukan wilayah tersebut semakin buruk karena rentan terkena bencana akan tetapi pada peta kapasitas, semakin tinggi kapasitasnya maka wilayah tersebut semakin baik. Skala warna pada peta ini adalah warna biru yang menunjukan risiko sangat rendah, warna biru muda menunjukan risiko rendah, warna hijau meunjukan skala sedang, sementara warna kuning dan merah berturut-turut menunjukan risiko bencana tinggi dan sangat tinggi.

3. Tentang

Bagian ini berisi informasi tentang sistem dan tujuan pengembangan sistem.

4. FAQ

Bagian ini berisi pertanyaan-pertanyaan dan jawaban admin atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Perancangan Arsitektur

Arsitektur design menggambarkan struktur aplikasi web. Struktur ini terdiri dari 4 macam, yaitu: struktur Linear, struktur Grid, struktur Network, dan struktur

(34)

Gambar 7 Diagram konteks sistem

Gambar 6 Struktur network (Sumber: Pressman 2001 dalam Wuryantoro 2009) Berdasarkan perancangan isi sebelumnya, proses kerja sistem mulai dari masukan program sampai keluaran program dapat dilihat pada diagram konteks sistem (Gambar 7). Sementara proses aliran data sistem informasi ini tergambar pada Data Flow Diagram (DFD) yang dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6.

Perancangan Navigasi

Navigasi sistem dirancang untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada pengguna dalam mengoperasikan sistem. Navigasi dibuat dalam bentuk menu-menu yang memberikan informasi dan mengarahkan pengguna menjelajahi isi situs serta menghantarkannya pada isi yang dicari. Struktur navigasi sistem dapat dilihat pada Gambar 8.

Pemilihan menu-menu di atas akan menghantarkan pengguna pada halaman tersebut dimana setiap halaman memiliki deskripsi tersendiri. Pada halaman Beranda terdapat deskripsi mengenai pentingnya mengetahui risiko bencana akibat dampak perubahan iklim dan latarbelakang dibangunnya sistem informasi ini. Halaman Pemetaan adalah halaman utama dalam website ini. Sementara informasi mengenai website dan seluruh keterangannya diletakkan dalam halaman Tentang. Halaman terakhir berupa FAQ yang merupakan halaman yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan jawaban admin atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

(35)

Gambar 8 Desain navigasi sistem

Perancangan Keluaran

Keluaran dari sistem berupa segala informasi mengenai pengembangan peta risiko bencana berbasis perubahan iklim. Informasi ini ditampilkan dalam bentuk peta, tabel, dan teks. Informasi peta berisi peta ancaman, peta kapasitas, dan peta risiko tiap bencana (meliputi banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung, dan gelombang pasang). Informasi tebel berupa informasi mengenai indeks kerentanan. Informasi peta dan indeks di atas ditampilkan dalam tiga tahun yang berbeda. Tahun 2011 dianggap sebagai tahun kondisi saat ini (current condition)

sementara dua tahun lainnya (2030 dan 2050) merupakan tahun proyeksi (future).

Pada informasi peta risiko ditambahkan pula informasi peta pada skenario emisi RCP4.5 dan RCP8.5. Sementara informasi yang disajikan dalam bentuk tekstual diantaranya adalah informasi mengenai interpretasi dari peta-peta di atas, informasi pentingnya mengetahui risiko bencana akibat dampak perubahan iklim dan latarbelakang dibangunnya sistem ini serta informasi mengenai kondisi umum dan iklim wilayah kajian.

Perancangan Antarmuka

Desain antarmuka sistem secara umum terdiri dari empat bagian seperti yang ditunjukan oleh Gambar 9 yaitu bagian teratas, bagian terbawah, bagian samping, dan bagian tengah. Bagian teratas adalah bagian header sekaligus menu navigasi. Halaman utama dan isi terdapat pada bagian tengah. Bagian terbawah digunakan untuk footer sedangkan bagian samping untuk informasi berita dan link

terkait. Desain antarmuka web pada penelitian ini adalah hasil modifikasi template

(36)

Pembuatan Halaman

Tahap pembuatan halaman merupakan hasil dari proses perancangan pada sistem secara keseluruhan. Tampilan halaman pada setiap halaman web memiliki bentuk yang sama kecuali pada menu navigasi Pemetaan. Pada menu-menu lain, tampilan web terdiri dari bagian kiri, tengah, atas dan bawah sementara pada menu navigasi Pemetaan bagian kiri tidak tersedia. Secara keseluruhan tampilan sistem ditunjukan pada Lampiran 7 hingga Lampiran 10.

Logo, Header, dan Menu Navigasi

Menu

Tambahan Content

Footer

Gambar 9 Sketsa antarmuka sistem

(37)

Pembuatan halaman menggunakan bantuan perangkat lunak Adobe CS6 dengan menggunakan bahasa pemrograman HTML. Halaman dibuat menjadi empat bagian utama. Bagian atas sistem (header) merupakan tempat logo dan gambar sistem serta menu navigasi yang terdiri dari menu Beranda, Pemetaan, Tentang, dan FAQ. Tempat informasi mengenai berita terkait dengan risiko bencana berbasis perubahan iklim dan link terkait ada pada bagian kiri sistem. Sementara bagian bawah sistem (footer) merupakan tempat galeri gambar, informasi layanan yang diberikan, dan kontak. Bagian tengah sistem merupakan tempat utama dalam menampilkan informasi pemetaan risiko bencana. Tampilan utama sistem dapat dilihat pada Gambar 10.

Hasil dan Pengujian

Hasil pengembangan sistem pada penelitian ini adalah segala informasi mengenai pengembangan peta kebencanaan berbasis perubahan iklim yang disajikan dalam menu navigasi pemetaan pada sistem web. Menu pemetaan ini berisi submenu-submenu pemetaan yang terdiri dari submenu kondisi geografis dan kondisi iklim wilayah kajian serta submenu komponen peta risiko bencana iklim seperti peta ancaman, peta kerentanan yang ditunjukan dalam bentuk indeks, peta kapasitas, dan peta risiko bencana Provinsi Jawa Barat dan Banten. Informasi-informasi pada subemnu tersebut disajikan baik secara tekstual maupun dalam bentuk grafik, tabel ataupun gembar berupa peta.

Submenu Kondisi Geografis

Submenu ini dapat diakses dengan cara memilih peta wilayah kajian yang akan diamati. Kondisi geografis wilayah kajian yang digambarkan dalam menu ini merupakan gambaran secara luas keadaan geografis, demografi, ekonomi, dan keadaan lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut. Selain menampilkan informasi secara tekstual submenu ini juga menampilkan peta wilayah yang dipilih sebelumnya. Pada sistem ini hanya tersedia dua wilayah kajian yaitu Provinsi Jawa Barat dan Banten (Gambar 11).

(38)

Submenu Kondisi Iklim

Submenu Kondisi Iklim berisi informasi kondisi curah hujan dan suhu udara wilayah yang dipilih. Namun kondisi iklim kedua wilayah kajian pada sistem ini disajikan dalam satu submenu sehingga pemilihan wilayah baik Jawa Barat dan Banten akan menampilkan keluaran yang sama. Kondisi curah hujan digambarkan dalam bentuk peta sebaran curah hujan sedangkan untuk menangkap gambaran pola hujan dan fluktuasi suhu udara maka dibuatlah subsubmenu klimograf pada submenu ini. Selain itu, submenu ini juga berisi informasi tren perubahan iklim yang disajikan dalam bentuk grafik. Pada subsubmenu klimograf dan tren perubahan iklim ditambahkan tombol <prev dan next>. Hal ini dikarenakan pada subsubmenu klimograf berisi informasi grafik klimograf seluruh stasiun iklim di Jawa Barat dan Banten sehingga untuk kenyamanan pengguna maka grafik-grafik tersebut ditampilkan satu per satu. Sementara pada subsubmenu tren perubahan iklim berisi dua buah grafik tren perubahan curah hujan dan suhu udara stasiun iklim Jatiwangi yang merupakan perwakilan stasiun iklim lain. Tombol next> berfungsi untuk melihat grafik selanjutnya sedangkan tombol <prev berfungsi sebaliknya. Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 12 berikut.

(39)

Submenu Ancaman

Gambaran submenu peta ancaman ditunjukan oleh Gambar 13. Pada submenu ini terdapat legenda berupa skala ancaman yang terdiri dari rendah, sedang hingga tinggi yang dibedakan berdasarkan warna. Selain itu, terdapat pula subsubmenu pilihan tahun dan pilihan peta ancaman masing-masing bencana. Subsubmenu tahun merupakan pilihan tahun amatan. Tahun 2011 menunjukan tahun amatan saat ini (current) sedangkan tahun 2030 dan 2050 merupakan tahun proyeksi. Subsubmenu pilihan bencana terdiri dari bencana banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung, dan gelombang pasang. Gambar peta dibawah menunjukan peta ancaman multi bencana tahun 2011 di Jawa Barat. Peta tersebut menggambarkan bahwa ancaman multi bencana di Jawa Barat pada tahun tersebut dominan berada pada selang sadang, hanya Kota Depok yang berada pada selang rendah. Hal ini ditunjukan oleh warna biru yang mendominasi peta yang menunjukan selang sedang.

Submenu Kapasitas

Submenu kapasitas disajikan dalam bentuk peta kapasitas adaptif. Pada submenu ini tesedia tiga pilihan tahun amatan, tahun 2011, tahun 2030, dan tahun 2050. Peta kapasitas pada penelitian ini dibagi menjadi lima skala yang ditampilkan berdasarkan gradasi warna. Skala sangat rendah ditunjukan oleh warna biru tua, skala rendah ditunjukan oleh warna biru muda, skala sedang ditunjukan oleh warna hijau sedangkan skala tinggi dan sangat tinggi ditunjukan oleh warna kuning dan merah. Gambar 14 di bawah menunjukan peta kapasitas adaptif tahun amatan 2011 Provinsi Jawa Barat. Gambar tersebut menjelaskan bahwa Provinsi Jawa Barat didominasi oleh warna hijau dan kuning yang menunjukan bahwa wilayah ini memiliki skala kapasitas sedang dan tinggi. Hal ini juga menunjukan bahwa wilayah tersebut kemampuan adaptasi yang cukup baik.

(40)

Submenu Kerentanan

Peta kerentanan pada sistem ditunjukan dalam bentuk indeks yang terbagi atas indeks sosial budaya, ekonomi, fisik, dan lingkungan. Setiap komponen kerentanan di atas ditunjukan dalam sebuah tabel agar lebih banyak informasi yang dapat dimuat. Tabel tersebut berisi informasi nilai fraksi dan kelas kerentanan masing-masing kota atau kabupaten pada tahun 2011 (baseline), tahun 2030, dan tahun 2050. Fraksi kerentanan ditunjukan dengan selang antara 0.0000 hingga 1.0000 sedangkan kelas kerentanan ditunjukan oleh huruf SR (Sangat Rendah), R (Rendah), S (Sedang), T (Tinggi), dan ST (Sangat Tinggi). Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 15.

(41)

Submenu Risiko

Submenu risiko merupakan submenu pokok dalam sistem ini. Submenu ini menyajikan peta risiko tiap bencana pada setiap tahun amatan dengan model/skenario emisi yang dipilih. Skenario emisi yang tersedia pada sistem ini adalah RCP4.5 dan RCP8.5. Selain itu, submenu ini juga berisi skala risiko bencana. Skala ini persis seperti skala yang ditunjukan oleh submenu kapasitas. Perbedaannya adalah semakin tinggi skala risiko bencana menunjukan bahwa wilayah tersebut semakin buruk kondisinya. Gambar 16 di bawah menunjukan bahwa peta risiko multi bencana Provinsi Jawa Barat. Peta tersebut menunjukan bahwa wilayah tersebut didominasi oleh risiko tinggi yang ditunjukan oleh warna kuning.

Kualitas sistem menjadi faktor yang sangat penting bagi kepuasan pengguna dan juga pengembang. Untuk mencapai suatu kualitas yang diharapkan tentu perlu adanya strategi pengujian terhadap sistem yang dikembangkan. Pengujian yang dilakukan terhadap Sistem Informasi Pemetaan Risiko Bencana Berbasis Web ini adalah dengan menggunakan metode black box testing, dalam metode ini yang diuji adalah masukan dan keluarannya untuk menentukan apakah masukan yang diberikan dapat memberikan keluaran sesuai dengan yang diharapkan untuk keseluruhan unit fungsi pada sistem. Pengujian sistem ini dapat dilihat pada Lampiran 11.

Evaluasi

Untuk saat ini tahap evaluasi belum dapat dilakukan, namun secara garis besar sistem ini sudah memenuhi kebutuhan informasi mengenai pengembangan peta kebencanaan berbasis perubahan iklim sesuai dokumen yang dikeluarkan DNPI tahun 2013.

(42)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pengembangan sistem informasi pemetaan risiko bencana iklim berbasis web merupakan langkah yang tepat untuk mendesiminasikan informasi peta risiko bencana iklim. Sistem informasi ini dapat memberikan nilai tambah dalam penyebarluasan informasi peta kebencanaan berbasis perubahan iklim. Informasi yang tersedia pada sistem ini diantaranya adalah peta risiko bencana, peta ancaman, peta kapasitas, peta kerentanan, kondisi iklim, dan kondisi umum Provinsi Jawa Barat dan Banten. Dengan menggunakan sistem ini maka pengguna dapat mengakses informasi-informasi di atas dengan mudah dan cepat. Daerah-daerah yang berisiko tinggi atau rendah dapat diakses dan diinterpretasi secara lebih jelas. Informasi-informasi tersebut diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan atau keputusan oleh pihak yang berkepentingan dalam merencanakan pembangunan suatu daerah dengan memperhitungkan risiko bencana saat ini dan masa depan. Mudah dan cepatnya akses terhadap informasi ini juga diharapkan dapat membantu pengambilan keputusan dilakukan dengan cepat dan tepat sasaran.

Saran

Sistem informasi dalam penelitian ini harus dikembangkan lagi menjadi lebih kompleks, informatif, dan menarik. Informasi yang tersedia masih kurang karena hanya terdiri dari dua provinsi saja. Sistem belum dapat me-running data mentah yang berasal langsung dari BPS ataupun BMKG. Sistem informasi ini juga masih belum bisa membandingkan (compare) peta satu dengan yang lainnya sehingga perlu dikembangkan sistem komparasi antar peta. Selain itu, skala peta juga perlu ditingkatkan kerena saat ini peta hanya menjangkau skala kota dan kabupaten belum mencapai kecamatan ataupun desa atau kelurahan.

DAFTAR PUSTAKA

[BAKORNAS PB] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana. 2007. Arahan kebijakan mitigasi bencana perkotaan di Indonesia. Jakarta (ID): BAKORNAS PB.

[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR):Synthesis Report. National Development Planning Agency, Republic of Indonesia. Jakarta (ID): BAPPENAS.

Gambar

Gambar 1  Peta wilayah kajian (Provinsi Jawa Barat dan Banten)
Gambar 2  Diagram alir penelitian
Tabel 1  Pembobotan indikator kapasitasa
Tabel 3  Jadwal pengembangan aplikasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

4) Mahasiswa mampu mendisain sheet pile di dalam tanah berpasir (granular soil) dan tanah berlempung (kohesif soil), 5) Mahasiswa mampu merancang dan menerapkan penggunaan

Kepemilikan institusional memiliki pengaruh terhadap kinerja perusahaan karena semakin tinggi presentase saham yang dimiliki oleh pihak institusional maka

Sehingga pada penelitian kali ini pembutan produk pangan fungsional yaitu permen hisap ekstrak daun ciplukan dengan mengutamakan kandungan senyawa metabolit pada

Uap atom bebas tersebut akan menyerap energi radiasi yang berasal dari lampu katoda cekung pada panjang gelombang yang khas dan karakteristik untuk setiap unsur..

Dari yield yang didapat maka dapat dihitung potensi selulosa TKKS dari total produksi kelapa sawit di Indonesia sebagai bahan baku bioplastik yang ramah lingkungan

Dalam kaitannya dengan dar al-’ahd atau dar al-shulh ada dua hal yang perlu diperhatikan: pertama , negara yang memaklumkan perang kepada Islam atau yang memusuhi umat Islam

Karakteristik nilai disiplin, yaitu: pengertian terhadap perintah yang diberikan dan sudah melaksanakan perintah sesuai aturan yang ada untuk

Hubungan kesejarahan pada tanda gestur sksual tersebut adalah hubungan yang dikaitkan dengan mitos-mitos yang digunakan dalam budaya Barat , yakni tanda gestur seksual “ mano