• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH TERHADAP KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH TERHADAP KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

YANTI SUSILAWATI

(1111022000051)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan mengenai apa amalan yang terdapat dalam tarekat Rifa’iyah dan bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah terhadap keagamaan di Banten. Di mana amalan dan ajaran tarekat Rifa’iyah berhasil masuk ke dalam relung tradisi keagamaan Banten yang sebelumnya telah mengakar kuat.

Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Penulis melakukan pengumpulan data melalui metode kepustakaan dan wawancara. Selain itu, untuk menguatkan analisa dalam skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan sosial dan keagamaan. Dalam penelitian ini penulis menemukan fakta-fakta terkait amalan tarekat

Rifa’iyah diantaranya: pertama, Dzikir dan amalan (al-Fatihah), kedua, Wirid dan

do’a Al-Qur’an untuk pengobatan dan kekebalan dari benda tajam dan tahan terhadap panas api, ketiga, Munajat Rifa’i, dan keempat, Shalawat Nabi. Amalan tersebut terangkum dalam satu aktivitas yang dinamakan kesenian debus. Sehingga dapat dikatakan debus merupakan wujud dari terkat Rifa’iyah. Adapun

pengaruh tarekat Rifa’iyah di Banten dibagi dalam tiga kategori: pertama, munculnya pemimpin muslim yang diwakilkan oleh kiyai dan jawara. Dimana kiyai ini memberikan suatu corak baru di Banten, ditandai dengan adanya kiyai hikmah dan guru tarekat. Sedangkan Jawara sebagai sebuah transformasi tradisional dapat memunculkan kepemimpinan tradisional debus. kedua, kategori institusi yakni pesantren yang mana mengajarkan suatu tarekat. Dan ketiga, yaitu tradisi sendiri dijadikan sebagai ritual lokal (debus).

(6)

ii

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan petunjuk dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya yang selalu bersyukur. Shalawat beriring salam selalu terlimpah curahkan kepada baginda alam yakni Nabi besar kita Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Syukur Alhamdulillah dengan do’a dan usaha akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, walaupun tentunya banyak hambatan dan rintangan yang senantiasa menanti silih berganti.

Penulis menyadari skripsi yang berjudul “Analisa Pengaruh Tarekat

Rifa’iyah Terhadap Keagamaan Di Banten Abad ke-19”, ini tidak akan

terselesaikan tanpa bantuan dari semua pihak, baik dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

iii

membimbing, sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi ini dengan baik. 6. Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag, selaku Dosen Penasehat Akademik yang

telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan.

7. Prof. Dr. M. Dien Madjid, selaku dosen penguji I, terimakasih atas masukan dan arahannya.

8. Drs. Saidun Derani, MA, selaku dosen penguji II terimakasih telah memberikan arahan dan motivasi yang berharga kepada penulis hingga penulis mampu menyelesikan penulisan skripsi ini dengan baik. Kemudian keterlibatan beliau terutama dalam memberikan rujukan sumber-sumber yang berkaitan dengan skripsi ini.

9. Dr. Jajat Burhanuddin, MA, yang telah memberikan arahan dan kontribusi dalam penulisan skripsi ini.

10.Bapak dan Ibu Dosen, yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama perkuliahan.

11.Karyawan/Karyawati Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas dalam penulisan skrispi ini.

12.Kepada Bapak Tubagus Najib Al-Bantani, Abah Yadi dan bapak Maheri, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi.

(8)

iv

14.Kakak tercinta Aa Udin dan Aa Iwan dan Ecih, yang selalu memberikan do’a dan dukungan kepada penulis agar terus melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Serta kepada keluarga besar dari ayah dan ibu, terimakasih atas

do’anya don keponakan tersayang (Agam, Aji, Eza, Ezi, Arif, Erika, Arya). 15.Kepada Guru-guru MAN Kragilan terutama Bapak AM. Masruri Syihabudin

yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk tetap melanjutkan ke bangku perkuliahan hingga sampai ke Almamater tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

16.Kepada Teh Tati Rohayati, S.Hum, yang telah memberi motivasi dan membimbing. Dan kepada teman-teman MAN Kragilan terutama (Nita Adiyati, Ika Yulita, Iim Rosadi, Didi Nahtadi, Dian Nurhayani, Vivi Selvia Herlina, Rohita, Rizki) yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Terimakasih juga kepada M. Fathullah yang telah mengantar penulis dalam melakukan (wawancara).

17.Kawan-kawan SKI seperjuangan angakatn 2011 terimakasih atas motivasi dan kerjasamanya, terutama kepada Dirga Fawakih yang telah memberikan motivasi dan arahan kepada penulis, serta Mulki, Amanah, Sulastri, Siti Rahmawati, yang selalu berjuang dalam pencarian sumber.

(9)

v

masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Jakarta, 10 Juli 2015

(10)

vi

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KONDISI UMUM MASYARAKAT BANTEN A. Geografi dan Struktur Masyarakat Banten ... 14

B. Perkembangan Kesultanan Banten ... 18

C. Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum ... 24

D. Perkembangan Tarekat di Banten ... 31

BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT RIFA’IYAH DI BANTEN ABAD KE-19 A. Tarekat Rifa’iyah di Banten (Profil, Sosial Historis) ... 35

B. Tarekat Rifa’iyah Dalam Budaya Banten ... 39

(11)

vii

BAB IV ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH TERHADAP

KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19

A. Kiyai ... 60

B. Jawara ... 66

C. Pesantren ... 68

D. Tradisi Lokal ... 70

1. Tradisi Debus Banten ... 70

2. Ritual Permainan Debus ... 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

LAMPIRAN ... 85

(12)

viii Huruf

Arab

Nama Huruf latin Keterangan

ا Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan

Ba’ B Be

Ta’ T Te

ث Tsa’ Ts Te dan es

ج Jim J Je

Ha’ H H (dengan garis di bawah)

خ Kha’ Kh Ka dan ha

د Dal D De

Dzal Dz De dan zet

ر Ra’ R Er

Za’ Z Zet

س Sin S Es

ش Syin Sy Es dan ye

ص Shat Sh Es (dengan garis di bawah)

ض Dlad D De (dengan garis di bawah)

Tha’ Th Te (dengan garis di bawah)

ظ Dzha’ Z Zet (dengan garis di bawah)

ع „ain „ Koma terbalik di atas hadap

kanan

Ghain Gh Ge dan ha

ف Fa’ F Ef

ق Qaf Q Ki

Lam K Ka

ل Mim L El

م Nun M Em

ن Wau N En

و Ha’ W We

ـه Lam alif H Ha

ء Hamzah „ Apostrof

ي Ya Y Ye

Vokal

(13)

ix

ــــــ U Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN

ي ــــــ Ai a dan i

و ــــــ au a dan u

Vokal Panjang:

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab di lambangkan dengan harakat dah huruf, yaitu:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN

ـــ â a dengan topi di atas

يـــ î i dengan topi di atas

وـــ ŭ u dengan topi di atas

Kata Sandang:

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ا, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan arab dilambangkan dengan tanda (ــــــ( dalam alih aksara dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya kata “ةرو َ لا” tidak di tulis

ad-darŭrah melainkan al-darŭrah, demikian seterrusnya.

Ta Marbutah

(14)

x tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.

NO. KATA ARAB ALIH AKSARA

1. ي Tarîqah

2. يماسإا م لا Al-jămi’ah al-islămiyyah

3. دوجولا ة حو Wahdah al-wujŭd

Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri. Dan lain-lain. Penting diperhatian, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang tertulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abŭ Hămid

al-Ghazălî bukan Abŭ Hămid Al-Ghazăli, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,

(15)

xi

dituis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa arab, dengan pedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

ا ْسأا به Dzahaba al-ustădzu

ر ْجأا ث Tsabata al-ajru

يرْصعلا كرحلا Al-harakah al-„asriyyah

ه ا هلا ا ْ أ ْشأ Asyhadu al lă ilăha illă Allăh

حلاصلا كلم انلْ م Maulănă Malik al-Sălih

ه مكرِث ي Yu’atssirukum Allăh

يلْقعلا رهاظ لا Al-mazăhir al-ăqliyyah

ايآا

َينْ لا Al-ăyăt al-kauniyyah

(16)

1 A. Latar Belakang

Banten yang notabenenya merupakan tanah Jawara, memiliki tingkat religiusitas tinggi tidak bisa terlepas dari peran tarekat yang berkembang. Pada abad ke-19 tarekat berperan dalam rangka untuk melawan kolonial Belanda, salah satunya tarekat Rifa’iyah. Kolonial Belanda menganggap masyarakat Banten yang

menganut tarekat Rifa’iyah memiliki basis Islam tradisionalis dan fanatik,

sehingga ada kekuatan untuk memberontak. Adapun untuk mengaktualisasikan

tarekat Rifa’iyah tersebut, Banten memformulasikan dalam bentuk kesenian

Debus.

Debus yang identik dengan dunia mistik (aliran hitam), ini sesungguhnya berakar dari sebuah tarekat bukan dari faham animisme dan dinamisme. Sebelum membahas mengenai bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah dan kesenian debus, berikut terlebih dahulu dijelaskan pengertian tasawuf sebagai pengantar terlebih dahulu.

Menurut Harun Nasution dalam buku Filsafat dan Mistisisme dalam Islam mengatakan tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.1 Sementara itu, Annemarie Schimmel seorang yang ahli dalam bidang mistisisme Islam, mengatakan tasawuf adalah beberapa cara yang digunakan oleh para ahli mistik untuk mencapai suatu tujuan yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama

1

(17)

melalui kearifan atau cinta dengan cara latihan-latihan yang menuju kegairahan tidak terhingga.2 Dalam tasawuf, salah satu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yaitu dengan mengikuti tarekat.

Ada beberapa definisi tarekat menurut beberapa tokoh. Aboebakar Atjeh mengartikan tarekat sebagai jalan, petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi, di kerjakan oleh para

sahabat dan tabi’in, secara turun-temurun, sambung-menyambung dan

rantai-berantai sampai kepada tingkat akhir yaitu guru tarekat.3 Sementara, menurut J. Spencer Trimingham, tarekat adalah suatu metode untuk membimbing seorang murid dengan menelusuri jalan pikiran, perasaan dan tindakan. Melalui tahapan menuju pada hakekat yang sebenarnya.4 Sedangkan menurut Annemari Schimmel, tarekat adalah “jalan” yang ditempuh para sufi yang digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat.5 Namun dalam pengertian ini masih bersifat umum. Secara khusus, pengertian tarekat yang berarti “jalan” mengacu kepada sistem latihan meditasi maupun amalan (muraqabah, dzikir dan wirid) yang dihubungkan dengan para guru sufi dan organisasi yang tumbuh seputar metode sufi.6

Dari pendapat beberapa tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah suatu ilmu untuk menyucikan diri dan memperbaiki akhlak agar bisa mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan tarekat adalah cara atau jalan yang digunakan oleh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah.

2

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 23.

3

Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani), 1995, h. 67.

4

J. Spencer Trimingham, Mazhab Sufi, (Bandung: Pustaka, 1999), h. 3-4.

5

Dalam hal ini, Annemari Schimmel, mengartikan jalan utama disebut syar’i .Sedangkan anak jalan disebut tariq. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 101.

6

(18)

Di Indonesia telah ada badan yang khusus memberikan perhatiannya kepada tarekat-tarekat yang sudah diselidiki kebenarnya, yang dinamakan tarekat Muktabarah. Seorang tokoh tarekat terkemuka, Dr. Syekh Jalaludin sebagaimana yang dikutip oleh Abu Bakar Atjeh, ia menerangkan tarekat Muktabarah terdiri dari 41 macam, yang masing-masing mempunyai syekh, murid, dzikir dan upacara ritual.7 Dari sekian banyak aliran tarekat tersebut, setidaknya ada tujuh aliran tarekat yang berkembang di Indonesia yaitu tarekat Qadiriyah, Khalidiyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, Al-Hadad dan tarekat Rifa’iyah.8 Adapun tarekat yang penulis kaji pada skripsi ini yaitu tarekat Rifa’iyah.

Tarekat Rifa’iyah didirikan oleh Abdul Abbas Ahmad bin Ali Al-Rifa’i. Ia

lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah. Tahun kelahirannya diperkirakan pada 1106 M dan wafat pada tahun 1182 M. Tarekat ini masuk dan berkembang di Irak.9 Dan berkembang pula ke beberapa wilayah, antara lain: Turki, Damaskus, India, Mesir dan Suriah.10 Dalam perkembangannya, tarekat Rifa’iyah mempunyai cabang yang cukup banyak. Di Suriyah, cabang tarekat ini antara lain adalah Haririyah, Sa’diyah dan Sayyadiyah. Haririyah didirikan oleh al-Hariri dan Sa’diyah

didirikan oleh Sa’duddin Jibawi. Sedangkan di Mesir cabang tarekat ini antara

7Syekh Jalaludin mengemukakan tarekat Mu’tabaroh terdapat 41 macam, antara lain:

1. Qadriyah, 2. Naqsyabandiyah, 3. Syadziliyah, 4. Rifa’iyah, 5. Ahmadiyah, 6. Dasukiyyah, 7. Akbariyah, 8. Maulawiyyah, 9. Qurabiyyah, 10. Suhrawardiyyah, 11. Khalwatiyyah, 12. Jalutiyyah, 13. Bakdasiyyah, 14. Ghazaliyyah, 15. Rumiyyah, 16. Jastiyyyah, 17. Sya’baniyyah, 18. Kaisaniyyah, 19. Hamzawiyah, 20. Biramiyyah, 21. Alawiyyah, 22. Usyaqiyyah, 23. Bakriyyah, 24. Umariyyah, 25. Usmaniyyah, 26. Aliyyah, 27. Abbasiyyah, 28. Haddadiyyah, 29. Maghribiyyah, 30. Ghaibiyyah, 31. Hadiriyyah, 32. Syattariyyah, 33. Bayumiyyah, 34. Aidrusiyyah, 35. Sanbliyyah, 36. Malawiyyah, 37. Anfasiyyah, 38. Sammaniyyah, 39. Sanusiyyah, 40. Idrisiyyah, 41. Badawiyyah. Dalam buku Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani), 1985, h. 303.

8

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 269-276.

9

Namun tanggal lahirnya tersebut masih diperselisihkan. Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 355 dan 357.

10

(19)

lain Baziyah, Malkiyah dan Habibiyah.11 Yang di pimpin oleh Abu Fath al-Wasiti, ia salah satu murid Ahmad al-Rifa’i.12

Perkembangan tarekat ini begitu cepat. Salah satunya melalui murid-murid yang telah menyebarluaskan ajaran tarekat hingga kebeberapa negara di Asia Tenggara terutama di Indonesia.13 Di Indonesia pusat tarekat Rifa’iyah terdapat di Aceh, yang dibawa oleh Syekh Nuruddin Al-Raniri.14 Kemudian menyebar ke Banten, Cirebon, Minangkabau dan Maluku. Ajaran dari tarekat Rifa’iyah diyakini oleh masyarakat tersebut membuat orang kebal terhadap benda tajam, tahan pada api yang menyala dan lain-lain. Sehingga praktek ini dibuktikan dengan permainan debus.15 Permainan debus ini berkembang sampai ke daerah Sunda, khususnya Banten.16

Perkembangan tarekat di Banten bermula dari adanya dukungan Kesultanan Banten dan masyarakat yang memiliki sikap religius yang tinggi.17 Sehingga Banten dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis dan fanatik.18 Tarekat mempunyai pengaruh terhadap perilaku keagamaan masyarakat Banten. Salah satu efek dari tarekat yaitu mendorong para pemimpin yang fanatik untuk memberontak dan berani melawan kolonial Belanda. Sehingga kolonial Belanda merasa khawatir akan adanya tarekat. Kekhawatiran ini terlihat jelas pada

11

Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 357-358.

12

Ensiklopedi Islam”, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 172.

13

Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996), h. 11.

14

Nuruddin al-Raniri adalah salah seorang ulama Aceh yang berasal dari India. Ia belajar

tarekat Rifa’iyah melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, yakni Said Abu Hafs Umar IbnAbd Allah Ba Syaiban. Setelah belajar kemudian ia membawa dan mengajarkan tarekat Rifa’iyah ini ke wilayah Melayu. Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 15.

15

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 197.

16

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 269-276.

17

Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1992), h. 43.

18

(20)

peristiwa Cilegon di Banten 1888, Peristiwa Cianjur Sukabumi tahun 1885 dan Peristiwa Garut 1919.19

Salah satu tarekat yang masih berkembang di masyarakat Banten adalah

tarekat Rifa’iyah. Yang mana jejak tarekat Rifa’iyah tersebut dipraktekkan dalam

permainan debus. Keberadaan tarekat Rifa’iyah dibuktikan dari adanya naskah

-naskah yang berisikan ajaran tarekat Rifa’iyah seperti Ratib. Hingga saat ini

masyarakat masih mengamalkan dzikir dan ratib Rifa’iyah baik digunakan dalam

debus maupun tanpa debus.20

Isi ajaran tarekat Rifa’iyah berupa pembacaan do’a-do’a dan al-Fatihah untuk dihadiahi kepada, Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, nama

19

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 64. Peristiwa Cilegon 1888 ialah suatu peristiwa perlawanan rakyat Banten terhadap pemerintah Belanda. Hal ini terjadi karena adanay motif ekonomi, politik, sosial. Situasi sosial rakyat Banten pada saat itu dalam keadaan resah dan memprihatinkan. Pemerintah Belanda mengadakan sistem tanam paksa, pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan, tidak menghormati sikap orang Banten, tidak menghargai agama, dan bertingkah laku yang kasar terhadap pribumi. Seluruh masyarakat Banten dari berbagai kalangan merasakan kekejaman Belanda tersebut. Oleh karena itu, rakyat Banten sudah tidak tahan dengan perlakuan Belanda yang seperti itu, maka para ulama Banten membuat rencana untuk melakukan pemberontakan bersenjata. Sehingga pada hari Senin tanggal 9 Juli 1888

terjadilah pemberontakan yang dikenal dengan sebutan “Geger Cilegon 1888”. Yang di pimpin oleh beberapa pemimpin tarekat di Banten yakni, H. Abdul Karim, H. Tubagus Ismail, H. Marjuki, dan H. Wasyid. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh gerakan tarekat. Tarekat digunakan oleh mereka sebagai sebuah senjata, sebelum melakukan perlawanan, mereka berkumpul melakukan sembahyang dan berdzikir. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 257 dan 342. Sementara itu, Peristiwa Cianjur Sukabumi adalah suatu peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1885, di mana pemerintah Hindia Belanda merasa gelisah adanya aktivitas organisasi tarekat Naqsyabandiyah di Jawa Barat, karena jumlah anggota tarekat ini dari waktu ke waktu semakin meningkat, sehingga kegelisahan yang dialami oleh kalangan masyarakat Belanda yaitu mengira bahwa tarekat Naqsyabandiyah akan melawan pemerintah Belanda. K.F. Holle dan Raden H. Muhammad Musa seorang Penghulu Kab. Garut memandang pengikut tarekat

Naqsyabandiyah yang berpusat di Cianjur itu “fanatik” sehingga dianggap membahayakan

keamanan dan ketertiban. Sedangkan Peristiwa Garut 1919 merupakan peristiwa pertempuran tokoh agama yang di pimpin oleh H. Hasan melawan Belanda. Hal ini terjadi karena pemerintah Belanda terus memaksa masyarakat untuk menjual hasil panen padinya kepada pemerintah Belanda dengan harga yang sangat murah. Jika masyarakat tidak menaati maka padinya akan disita, bahkan akan mendatangkan serdadu untuk mengajarkan ketaatan rakyat kepada pemerintah Belanda. Bahkan H. Hasan dipaksa untuk memusnahkan semua tanamannya dan mengganikannya dengan padi, namun H. Hasan merasa keberatan terhadap ketentuan tersebut, bukan bukan karena harga, akan tetapi karena kebenciannya terhadap orang Belanda. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 64-65, dan 70-71.

20

(21)

Khulafaur Al-Rasyiddin dan para sahabatnya, kemudian diikuti dengan nama

Ahmad Rifa’i dan Abdul Qadir Al-Jaelani dan kelompok nama yang terakhir

adalah nama-nama yang paling menarik karena mereka adalah orang-orang Banten. Seperti Maulana Hasanuddin, Syekh Abdullah Bin Abdul Qahar, Sultan Abu Nasr Muhammad al-Arif Zainal Asyiqin, dan Sultan Abu al-Mufakhir Aliyuddin. Dari nama-nama tersebut dapat memberikan indikasi mengenai tarekat

Rifa’iyah mulai tersebar di Banten.21

“Masyarakat yang mengamalkan tarekat Rifa’iyah ini akan mendapat pengaruh yang dirasakan yaitu, merasa lebih dekat dengan Allah, keagamaannya semakin meningkat, dan ilmunya bertambah. Sementara yang mengikuti tarekat ini bebas dari kalangan mana saja, baik dia sebagai kiyai, pejabat, pengusaha, pelajar, petani. semuanya bisa melakukannya yang penting mereka ingin mengikutinya.”22

B.Batasan dan Rumusan Masalah

Setelah menjelaskan tentang tarekat tersebut, untuk kasus Banten nampak sekali bahwa tarekat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap masyarakat Banten sehingga membentuk pola dan corak pemahaman keagamaan yang khas, bahkan kemudian berkembang budaya-budaya khas Banten yang disebabkan oleh pengamalan tarekat tersebut.

Menarik untuk diketahui lebih jauh, bagaimana relasi antara pengamalan tarekat dengan pola keagamaan di Banten. Berdasarkan permasalahan di atas, maka muncul pertanyaan besar bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah terhadap keagamaan di Banten Abad ke-19?

21

Ibid., h. 273.

22

(22)

Adapun secara rinci rumusan masalah dibagi menjadi beberapa pertanyaan yaitu:

1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten Abad ke-19?

2. Bagaimana Ajaran-Ajaran Tarekat Rifa’iyah di Banten?

3. Bagaimana Pengaruh Tarekat Rifa’iyah dalam Keagamaan di Banten Abad ke-19?

C.Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penulisan ini yaitu :

1. Ingin Menjelaskan Sejarah Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten Abad ke-19.

2. Ingin Memaparkan Ajaran-Ajaran yang Terdapat dalam Tarekat Rifa’iyah di Banten.

3. Ingin Mengetahui Pengaruh Tarekat Rifa’iyah dalam Keagamaan di Banten abad ke-19.

D.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Dalam studi ini menjadikan pelajaran untuk generasi yang akan datang bahwa tarekat Rifa’iyah mempunyai pengaruh di Banten di lihat dari dzikir dan bacaan-bacaannya.

(23)

E.Tinjauan Pustaka

Banyak karya ilmiah yang sudah ditulis terkait dengan tarekat Rifa’iyah antara lain:

Tesis Nauval Syamsu, Debus Sebuah Fenomena Keagamaan (Studi Kultural Debus Banten).23 Isinya meliputi: Islam dan Tarekat di Banten, Perkembangan Debus di Banten dan Debus Sebuah Fenomena Keberagamaan. Dalam tesis ini, Nauval Syamsu meneliti hubungan Debus dengan tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, tetapi tidak menjelaskan kaitan tarekat Rifa’iyah dengan debus di Banten. Tesis ini juga menjelaskan bahwa keberagamaan umat Islam merupakan gambaran pemahaman seorang muslim terhadap ajaran dan doktrin-doktrin agama, sehingga terjadi perbedaan paham-paham keagamaan. Salah satu bentuk perbedaan pemahaman terhadap doktrin agama adalah lahirnya tarekat-tarekat. Nauval Syamsu, menyimpulkan bahwa debus sebagai salah satu warisan budaya di Banten, yang pernah digunakan untuk melawan penjajahan dan sekarang menjadi kesenian rakyat Banten.

Skripsi Makmun Muzzaki, Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten, yang diajukan pada Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.24 Skripsi ini menjelaskan tentang debus dan tarekat Rifa’iyah dilihat dari kajian antropologi. Makmun

Muzaki menyimpulkan tarekat Rifa’iyah adalah suatu aliran yang pernah

berkembang dan memiliki ciri khasnya sendiri dan sedikit berbeda dibandingkan dengan tarekat-tarekat sufi lainnya. Namun dalam skripsi ini penulis tidak menemukan pengaruh tarekat Rifai’iyah pada Keagamaan di Banten.

23

Nauval Syamsu, Debus Sebuah Fenomena Keagamaan (Studi Kultural Debus Banten), (Tesis S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

24Makmun Muzzaki. Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten.

(24)

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara.25 Memberikan informasi tentang Banten dari masa prasejarah hingga lahirnya provinsi Banten. Buku ini menjelaskan tentang Arti Banten, Sultan-Sultan Banten, kondisi Sosial, ekonomi dan budaya Banten, bahkan menjelaskan konflik-konflik yang terjadi di Banten. Akan tetapi buku ini tidak menjelaskan kehidupan keagamaan di Banten yang terkait dengan tarekat.

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia.26 Menjelaskan tentang tarekat-tarekat dan perkembangannya di Indonesia dan sedikit menjelaskan bahwa tarekat Rifa’iyah di Banten biasanya digunakan untuk permainan debus. Namun buku ini tidak

menjelaskan secara spesifik tentang tarekat Rifa’iyah.

Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat,27 buku ini memberikan gambaran tentang tarekat-tarekat, sejarah pekembangannya. Buku ini juga tidak hanya mengenalkan tentang tarekat Qadariyah, Naqsyabandiyah, Rifa’iyah, Khalwatiyah, Ghazaliyah, Sanusiyah, Syattariyah, Tjaniyah, dari segi perkembangannya saja, tetapi memperkenalkan ajaran-ajaran tarekat, mengenai kedudukannya dalam tasawuf, mengenai wirid ataupun do’a, dan menjelaskan kedudukan guru dan murid.

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam,28buku ini merupakan kumpulan dari cerama-ceramah dan kuliah-kuliah yang diberikan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1970, yang disampaikan kepada kelompok

25

Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES, Indonesia, 2003).

26

Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996).

27

Aboebakar Atjeh. Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani, 1995).

28

(25)

diskusi tentang Agama Islam. Yang terkandung dalam buku ini hanyalah tentang Filsafat dan mistisisme dalam islam.

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam,29 Membahas beberapa segi penting dalam tasawuf dan merupakan telaah dan uraian yang menyeluruh mengenai dimensi mistik dalam Islam. Buku ini juga secara terperinci diuraikan konsep tentang tasawuf, sejarah tasawuf klasik dan tarekat. Di samping itu ditelaah juga wali-wali terpenting serta pemikiran mereka mengenai hubungan antara manusia dan Tuhan. Namun dalam buku ini belum menjelaskan secara rinci mengenai tarekat Rifa’iyah yang berada di Indoneia khususnya Banten.

Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Zaman Pertumbuhan dan

Perkembangan Keraaan-Kerajaan Islam di Indonesia.30 Menguraikan peristiwa-peristiwa sejarah dari masa kedatangan Islam, serta pertumbuhan dan perkembangan kerajaan yang bercorak Islam di kepulauan Indonesia. Buku ini juga sedikit menjelaskan aliran-aliran Islam dan pengaruhnya, yang di dalamnya terdapat tentang tasawuf dan tarekat. Salah satu tarekat yang mendapat pengaruh

ialah tarekat Rifa’iyah.

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda.31 Menjelaskan bahwa Pemerintah Belanda tidak ingin bersikap netral di Bidang Agama. Agama Kristen diberikan dukungan di daerah dan bidang tertentu dengan alasan untuk mengusir orang Islam dari daerah tersebut. Dalam buku ini juga sedikit dijelaskan adanya tarekat yang melatarbelakangi gerakan dan pemberontakan Cilegon di Banten

29

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986).

30

Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Ed. Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977).

31

(26)

1888, Peristiwa Cianjur Sukabumi tahun 1885 dan Peristiwa Garut 1919. Kolonial Belanda menganggap gerakan tarekat merupakan gerakan pemberontakan yang bersifat fanatik.

Artikel Rohman, The Result of a Holy Alliance: Debus and Tariqah in Banten Province.32Artikel ini mendeskripsikan praktik debus dan fungsinya, bagi masyarakat Banten dewasa ini. Debus berkembang sebagai pertunjukkan kekebalan, Artikel ini juga menunjukkan praktik debus yang dikombinasikan dengan aspek-aspek tarekat.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode historis dengan pendekatan sejarah. Metode ini merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.33 Metode ini dapat membantu untuk mengetahui fakta dan sejarah masa lampau dan dilakukan melalui 4 tahapan, yaitu Heuristik, Kritik sumber, Interpretasi, dan Historiografi.34

Tahap pertama penulis melakukan kegiatan heuristik yaitu dengan mencari informasi data-data, mengumpulkannya, membaca dan mengkaji buku-buku yang berhubungan dengan tema skripsi ini. Kemudian penulis menghimpun sumber-sumber tertulis baik yang bersifat primer maupun sekunder. Untuk sumber-sumber primer penulis menggunakan naskah Ratib al-Rifa’i,35 yang terdapat di Perpusatakaan

32

Artikel Rohman, The Result of a Holy Alliance: Debus and Tariqah in Banten Province, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

33

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 3.

34

Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1999, h. 54-55.

35

Naskah ratib al-Rifa’i nomor A 218, Naskah ini terdiri dari dua jilid yaitu Naskah Ratib

(27)

Nasional Republik Indonesia. Sementara sumber lisan diperoleh melalui interview (wawancara). Adapun yang menjadi narasumber yaitu bapak Maheri, ia sebagai tokoh Debus yang menganut tarekat Rifa’iyah, Abah yadi, ia sebagai tokoh Budaya, Bapak Tubagus Najib Al-Bantani ia peneliti di museum Arkeologi Nasional, Bapak Hudaeri dosen IAIN Maulana Hasanuddin Serang dan kepada Sekertaris MUI yang juga pernah meneliti tentang debus. Melalui wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan informasi terkait masalah.36

Sedangkan untuk sumber sekunder, penulis mendapatkan sumber-sumber tertulis berupa buku, ensiklopedia, jurnal, artikel dan sebagainya. Pengumpulan tersebut dilakukan di beberapa tempat yaitu di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan IAIN Sultan Hasanuddin Serang, Perpustakaan Umum Islam Iman Jama, Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direkorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, dan Perpustakaan Arsip Daerah Provinsi Banten. Selain itu penulis juga mendapatkan beberapa sumber sekunder berupa buku di perpustakaan pribadi milik bapak Drs. Saidun Derani, MA.

Setelah sumber-sumber terkumpul, penulis melakukan kritik sumber agar diperoleh data yang absah, setelah melalui fase kritik, dimana penulis sudah menemukan korelasi dan pemahaman yang baru mengenai tema yang akan di bahas. Setelah itu penulis melakukan interpretasi, dimana penulis melakukan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah diseleksi untuk kemudian

36

(28)

dilakukan tahap selanjutnya yaitu historiografi dengan melakukan penulisan dalam satu urutan yang sistematik yang telah ditentukan dalam pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G.Sistematika Penulisan

Dalam penulisan ini, penulis membagi ke dalam lima bab, berikut dituliskan secara singkat bab I sampai bab V beserta sub-babya masing-masing.

Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari: Latar Belakang, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab II Kondisi Umum Masyarakat Banten yang meliputi: Geografi dan Struktur Masyarakat Banten, Perkembangan Kesultanan Banten, Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum dan Perkembangan Tarekat di Banten.

Bab III Sejarah dan Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten abad ke-19 yang meliputi: Tarekat Rifa’iyah di Banten (Profil Sosial Historis),

Tarekat Rifa’iyah dalam Budaya Banten, Ajaran-Ajaran Tarekat

Rifa’iyah, Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah, Wirid Sebagai

Pengobatan.

Bab IV Pengaruh Tarekat Rifa’iyah Terhadap Keagamaan di Banten Abad ke-19, yang meliputi: Kiyai, Jawara, Pesantren, dan Tradisi Lokal (Tradisi Debus di Banten, Ritual Permainan Debus).

(29)

14 A.Geografi dan Struktur Masyarakat Banten

Banten1 adalah salah satu Provinsi di Indonesia Ujung Barat Pulau Jawa. Dulu Banten merupakan Keresidenan di Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang dan Tangerang. Provinsi ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah Utara, dengan Selat Sunda di Barat, di Selatan dengan Samudera Hindia dan di sebelah Timur dengan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.2 Terdapat beberapa Pulau di Provinsi ini, antara lain pulau Panaitan, pulau Sertung, pulau Panjang, Rakata (Krakatau), Pulau dua, Pulau Deli dan Pulau Tinjil.3

Luas Banten sekitar 114 mil2. Menurut data statistik resmi, pada tahun 1892 penduduk Banten berjumlah 568.935 Jiwa. Daerah yang paling padat penduduknya adalah distrik Cilegon. Daerah Banten dapat dibagi menjadi dua bagian yang secara umum berbeda satu sama lain. Bagian Selatan yang merupakan daerah pegunungan dan sangat jarang penduduknya, jarang menjadi

1

Asal-usul istilah Banten dikaitkan dengan dua kata, yaitu Wahanten nama kota lama yang terletak agak kepedalaman dan Bantahan berarti suka membantah, memberontak, kiranya dikaitkan dengan sejarah daerah ini sejak akhir abad ke-17 yang selalu melawan atau memberontak tehadap kaum penjajah (Belanda). Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h. 100. Adapun Menurut salah seorang pengurus Makam Sultan Hasanuddin, Asal nama Banten ada tiga versi yaitu Katiban Inten, Bantahan, dan Sasajen. Disebut Katiban Inten karena pada waktu itu dengan datangnya Islam , masyarakat Banten sangat bangga, saking bangganya merasa dirinya kejatuhan intan dari atas langit, Bantahan diartikan bahwa suku yang membantah, memberontak terhadap penjajah (Belanda), sedangkan Sasajen adalah sebuah tempat kecil yang di dalamnya terdapat makanan, bunga-bunga, dan sebagainya. Wawancara dengan bapak Abbas, pengurus makam Sultan Hasanuddin, Tanggal, 12 April 2014, Pukul 12:10 WIB.

2

Statistik Gender dan Analisi Provinsi Banten, (Jakarta: Badan Pusat Statistika, tth), h. 13.

3

(30)

ajang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Banten, sedangkan bagian Utara penduduknya jauh lebih padat.4

Sebagian besar penduduk Banten berbahasa Sunda.5 Mereka berdiam di Banten Selatan, yang meliputi Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Sedangkan penduduk bagian Utara meliputi Kabupaten Serang dan Tangerang, merupakan keturunan orang Jawa yang datang dari Demak dan Cirebon. Seiring berjalannya waktu, mereka berbaur dengan orang-orang Sunda, Melayu, Bugis dan Lampung. Selain perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat, dalam hal penampilan fisik dan watak orang Banten Utara menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.6 Di kalangan orang-orang Belanda, orang-orang Banten Utara terkenal fanatik dalam hal agama, agresif dan suka memberontak. Perbedaan-perbedaan yang nyata antara Banten Utara dan Banten Selatan disebabkan dari perbedaan lingkungan alam, faktor ekologis dan juga perbedaan-perbedaan yang bersifat sosio-kultural atau historis.7

Sebagian masyarakat Banten dikenal keras dalam gaya bicara, bahasa dan tindakannya. Hal itu menimbulkan image bahwa tindakan kekerasan seolah-olah telah melekat dalam kehidupan masyarakat Banten. Untuk memahami kondisi

4

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 53.

5

Bahasa Sunda di pakai secara luas dalam masyarakat di Jawa Barat. Dalam pemakaian bahasa Sunda, dikenal pembagian atas tiga tingkatan, yaitu bahasa sunda lemes, sedang dan kasar. Bahasa Sunda yang dianggap kurang halus ialah bahasa sunda di dekat pantai Utara, yaitu di Banten Selatan. Harjoso, “Kebudayaan Sunda”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan: 1971), h. 300-301.

6

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, h. 54.

7

(31)

tersebut dapat dilihat dari aspek historis dimana peristiwa-peristiwa kekerasan telah terstruktur pada masa awal berdirinya Kesultanan Banten.8

Pada awal abad ke-16 di Banten terdapatkota pelabuhan yang teletak di muara sungai Citarum, yang kemudian menarik para pedagang untuk singgah dan juga menyebarkan agama Islam. Dari situlah terjadi proses Islamisasi Banten yang sebelumnya merupakan bagian wilayah Kerajaan Sunda. Ketika berubah menjadi kerajaan Islam merupakan kota pelabuhan yang lokasinya agak kepedalaman dan disebut dengan Wahanten Girang.9 Dengan kedatangan para pedagang yang menggunakan jalur pelayaran, maka daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota, tidak heran jika proses islamisasi kebanyakan bermula di pesisir-pesisir. Banten sendiri juga terletak di daerah pesisir. Dengan melalui proses Islamisasi inilah akhirnya terbentuk kota bercorak Islam.10

Banten mempunyai posisi yang sangat strategis di pesisir Utara bagian Barat pulau Jawa dekat Selat Sunda, yang dinamakan dengan “Jalan Sutra”.11

Sehingga menjadi tempat persinggahan para pedagang internasional. Banten juga telah mengembangkan pertanian. Sejak Sultan Abdul Mufakhir Muhammad Abdul Kadir, pertanian telah dikembangkan dengan dibangunnya sistem irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga pertanian di Banten maju pesat. Teknologi

8

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 29-30.

9

Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Bewtawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h. 100.

10

Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 36.

11Sebutan “Jalan Sutra” berasal dari terjemahan “Silk Roads” yang pertama kali di

(32)

industri gerabah yang berkembang di kota Banten juga memberi gambaran pesatnya kemajuan industri ini.12

Kini Banten bukan lagi keresidenan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2000, Banten yang semula bagian dari Provinsi Jawa Barat, berubah menjadi Provinsi Banten. Dengan luas wilayah 8.800,83 km², Banten berada pada batas geografis 105°’11’’-106°7’12’’ Bujur Timur dan 5°7’50’’-71’1’’ Lintang

Selatan. Banten terdiri dari empat Kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang, Tangerang dan empat Kotamadya, yaitu Tangerang, Cilegon, Serang dan Tangerang Selatan.13 Beberapa kota yang berperan sebagai pusat pertumbuhan perekonomian adalah Serang, Pontang, Tirtayasa, Cikande, Labuan, Pandeglang, Saketi, Rangkasbitung, Leuwidamar dan Banjarsari.14

Secara topografi wilayah provinsi Banten berkisar pada ketinggian 0-1.000 m dpl. Secara umum kondisi topografi wilayah provinsi Banten dataran rendah yang berkisar antara 0-200 m dpl yang terletak di wilayah kota Cilegon, kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang dan sebagian besar Kabupaten Serang. Adapun wilayah bagian Lebak Tengah dan sebagian kecil Kabupaten Pandeglang memiliki ketinggian 201-2.000 m dpl. Sedangkan wilayah Lebak Timur memiliki ketinggian ketinggian 501-2.000 m dpl yang terdapat di Puncak Gunung Sanggabuana dan Gunung Halimun.15

12“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.

160.

13

Statistik Gender dan Analisis Provinsi Banten, (Jakarta: Badan Pusat Statistika, tth), h. 13.

14“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, h. 158. 15

(33)

B.Perkembangan Kesultanan Banten

Kesultanan Banten merupakan kerajaan yang berlandaskan Islam, namun asas kerukunan, toleransi dan pluralisme beragama terbuka bagi masyarakat, berbagai etnis dan agama. Buktinya terdapat kelenteng Tionghoa yang didirikan pada masa Sunan Gunung jati dan sampai saat ini masih terawat dengan baik dan menjadi situs cagar budaya nasional.16

Pada akhir abad ke-16 Banten mengalami zaman kejayaan. Kota Banten banyak didatangi para saudagar dari dalam dan luar Nusantara, sehingga berfungsi sebagai pusat perdagangan internasional. Tidak sedikit dari para pedagang yang akhirnya bermukim dan menetap di daerah Banten.17 Sebagai pusat perdagangan, Banten dikenal luas sebagai tempat jual beli rempah-rempah. Rempah-rempah yang diperdagangkan ialah lada yang dihasilkan di Lampung maupun di Banten sendiri dan cengkeh serta pala dihasilkan di Maluku.18

Kejayaan Kesultanan Banten tersebut tetap bertahan setelah Sultan Maulana Hasanuddin wafat. Adapun para Sultan yang menggantikan beliau adalah Maulana Yusuf, Maulana Muhammad dan Sultan Ageng Tirtayasa. Mereka tidak hanya berhasil mempertahankan kejayaan tapi juga terus berusaha memperluas wilayah teritorial Kesultanan Islam Banten.19

Hasanuddin wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid Agung Banten. Hasanuddin dijuluki oleh rakyat Banten sebagai Pangeran Surosowan dan Panembahan Seda Kingkin. Julukan ini mengandung maksud

16

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h.32.

17

Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 1.

18

Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), h. 58.

19

(34)

bahwa Maulana Hasanuddin adalah pendiri Keraton Surosowan serta dengan meninggalnya beliau, rakyat Banten berduka cita dan merasa rindu akan kebijaksanaannya.20

Setelah Maulana Hasanuddin wafat, ia digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf atau dikenal sebagai Panembahan Yusuf. Ia giat memperluas daerahnya dengan berusaha melenyapkan kerajaan yang belum Islam yaitu Padjajaran.21 Pada masa pemerintahannya, Maulana Yusuf lebih menitikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Pada tahun 1579, pasukan Banten menyerang Pakuan, Ibu kota Padjajaran sehingga kerajaan Sunda akhirnya runtuh.22 Penyerangan ini dilandasi oleh tekadnya untuk menyebarkan agama Islam ke pedalaman Banten.23

Selain itu, Maulana Yusuf memperluas perekonomian rakyat dengan pembukaan daerah persawahan di sepanjang pesisir Banten dan daerah perkebunan lada di Lampung dan Bengkulu untuk meningkatkan produksi pertanian yang sangat penting guna menunjang perniagaaan, serta untuk konsumsi dalam negeri.24 Pada masa pemerintahannya, perdagangan sudah sangat maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang-barang dari berbagai wilayah yang kemudian diperdagangkan ke seluruh kerajaan di Nusantara.25

20

Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h. 408.

21

Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), h. 58.

22

Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, (Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barta, 1986), h. 189.

23

Heriyanti Ongkodharma. Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 73.

24

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 36.

25

(35)

Pada Masa Pemerintahan Maulana Yusuf, Banten telah menjadi tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional.26 Sehingga situasi perdagangan di Karangantu sangat ramai. Pedagang-pedagang dari Cina membawa barang dagangan berupa porselen sutra, beludru, benang emas, kain sulaman, jarum, sisir, payung, selop, kipas, kertas dan sebaginya. Pulangnya mereka membawa lada, nila, kayu cendana, cengkeh, buah pala, kulit penyu dan gading gajah. Orang Arab dan Persia membawa permata dan obat-obatan. Orang Gujarat menjual kain dari kapas dan sutra, kain putih dari Coromandel. Pulangnya mereka membeli rempah-rempah. Sedangkan orang Portugis membawa kain-kain dari Eropa dan India.27

Pada tahun 1580 Maulana Yusuf wafat dan dimakamkan di Pekalangan Gede dekat Kampung Kasunyatan, sehingga setelah meninggal ia lebih dikenal sebagai pangeran Panembahan Pekalangan Gede atau Pangeran Pasarean.28

Sebagai penggantinya atau yang berhak naik takhta adalah putranya, Maulana Muhammad, tetapi ketika itu ia baru berusia 9 tahun. Pamannya, Pangeran Aria Jepara hendak menggeser takhta Maulana Muhammad, karena menganggap Maulana Muhammad usianya masih terlalu muda. Akan tetapi kadhi (hakim agung) dan para wali tidak setuju dengan keinginan Pangeran Jepara, sehingga Maulana Muhammad tetap dijadikan sebagai Sultan Banten dengan gelar Kangjěng Ratu Bantěn Surosowan.29

26“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.

159.

27

Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, h. 89.

28

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 39.

29

(36)

Pada masa pemerintahannya Maulana Muhammad dikenal sebagai seorang sultan yang amat soleh. Cara yang dilakukan dalam menyebarkan agam Islam yaitu dengan menulis kitab-kitab agama Islam yang kemudian dibagikan kepada masyarakat dan membangun masjid-masjid sampai ke pelosok. Ia juga yang memperindah dan memperbaiki masjid Agung.30 Setelah dewasa Maulana Muhammad mengadakan berbagai usaha untuk memajukkan negerinya dan melakukan ekspansi31 ke Palembang.

Dalam ekspedisi tersebut, Pangeran Muhammad berkeinginan untuk memerangi orang-orang kafir.32 Dengan 200 kapal perang, berangkatlah pasukan Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Muhammad yang didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas. Tiba di Palembang terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat, bahkan Maulana Muhammad yang memimpim pasukan terbunuh dalam peperangan tersebut, sehingga ekspedisi ini pulang dengan kekalahan. Setelah wafat, Maulana Muhammad dimakamkan di serambi mesjid Agung. Setelah itu ia dikenal sebagai Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana.33

Maulana Muhammad meninggal pada usia yang masih muda, kurang lebih 25 tahun dengan meninggalkan seorang putera yang berusia 5 bulan dari permaisuri Ratu Wanagiri, putri dari Mangkubumi. Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir anak Maulana Muhammad menggantikan ayahnya. Namun sehubungan dengan usianya yang masih muda, maka untuk menjalankan

30

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 40.

31

Ekspansi ialah perluasan suatu wilayah dengan menduduki sebagaian atau seluruh wilayahnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

32

Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2007), h. 34.

33

(37)

pemerintahan, ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara,34 sebagai walinya. Hingga ia meninggal dunia pada tahun 1602 yang kemudian digantikan oleh adiknya. Akan tetapi pada tanggal 17 November 1602, adiknya itu dipecat dari jabatannya karena kelakuannya tidak baik.35

Setelah Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir sudah dewasa, maka barulah ia menjadi pemimpin pemerintahan di Banten dengan gelar Abu al-Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Masa pemerintahannya penuh dengan perselisihan antara Banten dan Belanda. Banyak terjadi pertempuran kecil antara kedua wilayah tersebut. Pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia dan dimakamkan di Kenari.36

Pengganti Selanjutnya adalah Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah tahun (1651-1682), ia adalah Sultan Banten yang anti Belanda. Semangat memerangi Belanda merupakan salah satu tekad untuk mengalahkan kolonial Belanda. Upaya yang dilakukannya antara lain mengadakan gerilya besar-besaran di wilayah kompeni, merusak kebun-kebun tebu, mencegat serdadu Belanda, serta membakar markas kompeni Belanda.37 Masyarakat Banten melakukan Penyerbuan kecil-kecilan terhadap Belanda, atau perampasan kapal-kapal Belanda dan merusak perkebunan tebu milik kompeni yang terdapat di daerah Banten. Akibat serangan Banten terhadap Belanda, maka Belanda langsung mengirim

34

Mangkubumi Jayanegara adalah seorang yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan. Setiap akan mengambil keputusan yang dianggap penting, ia selalu bermusyawarah dengan para pembesar lainnya terutama dengan seorang wanita tua bijaksana yang ditunjuk sebagai pengasuh sultan muda yang bernama Nyai Embah Rangkun. (Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 169

35

Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 170

36

Jurnal, Planesa Volume 3, Nomor 1 Mei 2012, Budi Sulistyo dan Gita Vemilya Many, Revitalisasi Kawasan Banten Lama Sebagai Wisata Ziarah .h. 8.

37

(38)

empat sampai lima kapal dan mengadakan blokade38 terhadap pelabuhan Banten.39 Peristiwa ini sangat merugikan perdagangan Banten, kemudian Sultan mengadakan perundingan dengan pihak kompeni. Sehingga Sultan menjadikan Kesultanan Banten berkembang pesat dan maju di bidang perdagangan.40

Pada Masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa usaha yang dilakukan untuk kemakmuran negerinya yaitu membuat saluran air dari sungai Untung Jawa hingga Pontang dan Tanahara. Saluran ini dibuat untuk kepentingan irigasi dan memudahkan transformasi dalam peperangan. Selain itu juga untuk meningkatkan produksi pertanian, mengairi sawah-sawah sehingga tumbuh menjadi daerah penghasil pangan. Upaya yang dilakukannya tersebut tidak sia-sia, banyak kapal dagang asing yang berlabuh, sehingga perdagangan di Pelabuhan Banten sangat ramai.41 Selain itu juga salah satu kunci kemakmuran Banten, dengan pelabuhannya yang indah serta aman dan baik waktu itu, maka Banten sudah mencapai taraf internasional.42

Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemajuan. Selain memajukan pertanian dengan sistem irigasi, ia juga berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik dan meningkatkan perniagaan Banten sehingga menjadi aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.43

38

Blokade ialah pengepungan (penutupan) suatu wilayah sehingga orang, barang, kapal, dan sebagainya tidak dapat keluar masuk dengan bebas. Kamus Besar Bahasa Indonesia

39“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, h. 161. 40

Heryanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 75.

41

Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, h.40.

42

Uka Tjandrasasmita, Musuh Besar Kompeni Belanda (Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusalarang, 1967), hal.7.

43

(39)

C.Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum

Banten sebagai sebuah kesultanan yang otonom mengalami suatu perkembangan yang pesat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga kehidupan masyarakat Banten memiliki latar belakang yang berkembang dalam pelayaran, perdagangan dan pertanian. Masyarakat Banten memiliki jiwa bebas dan lebih bersifat terbuka, dengan demikian mereka dapat berbaur dengan pedagang-pedagang dari berbagai bangsa lain. Para pedagang tersebut menetap dan mendirikan perkampungan di Banten. Seperti perkampungan Pekojan (perkampungan orang Arab), Pecinan (perkampungan orang Cina), Kampung Melayu, Kampung Jawa dan sebagainya.44

1. Sosial

Kehidupan sosial rakyat Banten didasarkan pada ajaran-ajaran yang berlaku dalam Agama Islam.45 Pemerintahan Banten menggunakan aturan dan hukum Islam, sehingga kehidupan masyarakatnya hidup secara teratur. Di Pelabuhan Banten terdapat berbagai etnis pendatang antara lain: Eropa, Cina dan Arab. Orang Eropa merupakan komunitas yang mendiami daerah perkotaan, sementara orang Cina mendiami daerah atau pusat-pusat perekonomian, sedangkan orang-orang Arab tinggal di Banten memberi dampak penyebaran agama Islam di daerah ini.46

Dalam struktur sosial masyarakat Banten, terdapat 4 golongan yaitu golongan para sultan dan keluarganya, golongan elit, golongan nonelit, dan

44

http://KehidupanSosialdan20Ekonomi%20Masyarakat%20Kerajaan%20Banten%20_% 20Perpustakaan%20Cyber.htm.

45

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 1.

46

(40)

golongan budak. Sultan dan keluarganya merupakan kelompok masyarakat yang menempati lapisan sosial paling tinggi. Golongan kedua (elit) dikategorikan dalam pejabat-pejabat tinggi kerajaan seperti Menteri, Mangkubumi, Kadhi, Syahbandar, dan lain-lain.47 Golongan yang ketiga yaitu golongan nonelit yang merupakan mayoritas rakyat Banten, yang termasuk dalam kelas ini adalah rakyat pribumi yang berdiam disana. Mereka terdiri dari petani, buruh, pekerja ahli (tukang), nelayan dan pedagang asing yang bertempat tinggal di Banten.48 Sedangkan lapisan terbawah yang merupakan golongan budak, pada umumnya kehidupan mereka penuh pengabdian pada majikan, sehingga dapat diduga bahwa sangat besar ketergantungan pada kebijaksanaan tuannya.49

Pada abad ke-19 Masyarakat Banten, mengalami penderitaan khususnya sejak dihapuskannya kesultanan Banten oleh Daendells pada tahun 1808.50 Pasca dihapuskannya pemerintahan kesultanan Banten, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar sehingga memunculkan konflik di masyarakat.51

Keadaan rakyat Banten di tandai adanya bencana fisik yang silih berganti. Pada tahun 1879 terdapat wabah penyakit pes sehingga banyak penduduk yang meninggal, tahun 1883 terjadi letusan Gunung Krakatau, dan pada tahun 1888 terjadi perlawanan petani di Keresidenan Banten.52 Akan tetapi rakyat Banten lambat laun bisa memulihkan kehidupannya menuju ke arah normal. Musibah

47

Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 78.

48

Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 83.

49

Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 83.

50

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakata: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm. 53

51

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 7.

52

(41)

yang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, di bidang sosial ekonomi, sehingga meski kehidupan sosial ekonomi dapat dipulihkan pada tahun-tahun berikutnya, suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan.53

2. Agama

Pada awal abad ke-16 kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat Banten mengalami pergeseran yang mendasar. Pergeseran ini disebabkan oleh masuk dan berkembangnya agama Islam. Pada tahun 1579 puncak penyebaran agama Islam terjadi beriringan dengan runtuhnya Kerajaan Sunda akibat dari serangan Banten di bawah Pimpinan Maulana Yusuf. Sejak saat itu, kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat di Banten didominasi oleh Islam.54

Ada sebagian kecil masyarakat Banten yang menganut kepercayaan pra-Islam, yakni masyarakat Baduy.55 Masyarakat Baduy berdiam di daerah Kenekes dan mereka tinggal di tiga kampung yakni, Cibeo, Cikeusik dan Cikartawarna. Kehidupan masyarakat tersebut sampai kini masih bercocok tanam dan berpakaian khasnya sendiri. Perkampungan di daerah Kenekes begitu terpencil sehingga tidak terpengaruh dengan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat di luarnya.56

53

Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara Serang, 2011), h. 15-16.

54

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta : Pustaka LP3ES. Indonesia, 2003), h. 84.

55

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 1.

56“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.

(42)

Meskipun Islam sudah diterima secara luas, namun bukan berarti kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat sepenuhnya bercorak Islam. Dalam kenyataannya, praktik-praktik animistis masih dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sinkretisme menjadi sebuah kenyataan yang masih mewarnai kehidupan masyarakat Banten.57 Praktik animisme lambat laun mulai menghilang dengan kedatangan para pemuka agama.

Setelah kedatangan Syarif Hidayatullah dan putranya yang membawa dan mengajarkan agama Islam di Banten, masyarakat Banten sebagian besar menganut agama Islam, dan dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis dan fanatik.58 Banten dikenal dengan daerah yang sering melakukan pemberontakan. Salah satunya ialah pemberontakan Petani Banten 1888. Pemberontakan tersebut dipandang sebagai gerakan protes terhadap penjajahan Barat dan menggunakan agama sebagai simbol.

Pemimpin agama dengan demikian muncul sebagai pemimpin gerakan rakyat. Oleh karena itu, gerakan pemberontakan yang mereka lancarkan dianggap sebagai gerakan keagamaan.59 Kaum elit agama mempunyai kebebasan dalam melaksanakan fungsi-fungsi mereka, seperti menyelenggarakan kegiatan-kegiatan agama, mendirikan pesantren, bahkan mendirikan tarekat-tarekat yang digunakan sebagai pemberontkan dan kekuatan bagi masyarakat Banten.60

57

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 84.

58

Ibid., h. 29-30.

59

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 15.

60

(43)

3. Ekonomi

Ekonomi merupakan faktor penting dalam mendukung perkembangan Banten. Ia merupakan sumber dana untuk keberlangsungan Kesultanan Banten. Maju atau mundurnya suatu kesultanan, tergantung bagaimana kemampuan kesultanan dalam mengendalikan perekonomiannya.61 Pemegang hak monopoli perdagangan yang terdapat dalam kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia adalah raja.62Artinya raja atau Sultan memegang peranan dalam mengendalikan suatu perekonomian.

Perekonomian Banten bersifat agraris, sehingga mata pencaharaian mereka sebagian kecil adalah petani, baik sebagai pemilik tanah atau sebagai penggarap bagi hasil. Namun demikian, sebagian besar mata pencaharian mereka juga ialah bekerja sebagai pedagang dan nelayan.63 Karena Banten sebagai kerajaan pesisir yang bercorak Maritim, kehidupannya menitikberatkan pada bidang perdagangan dan pelayaran, maka baik kekuasaan politik maupun ekonomi dipegang oleh kaum ningrat yang mendominasi perdagangan sebagai pemberi modal. Tome Pires menyebutkan bahwa Banten telah menjadi pelabuhan kedua tepenting setelah Kalapa. Sebagai pelabuhan kedua, Banten telah menjadi pengekspor beras dan lada.64

Pusat penjualan lada terdapat di pasar dekat pelabuhan Banten. Orang-orang berdatangan ke tempat tersebut untuk melakukan transaksi jual beli lada dan

61 Tubagus Najib Al-Bantani, “Biografi K.Wasid Karya-Karya dan Perlawanan Terhadap

Kolonial di Banten”, (Skripsi Universitas Indonesia, 1991), h. 7.

62

Burger dan Prayudi, Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1962), Jilid 1. h. 23-25.

63

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, h. 57.

64

(44)

berbagai aktifitas, sehingga menjadikan kota Banten dikenal sebagai pusat perdagangan,65 yang ramai dan disinggahi oleh kapal-kapal dagang Cina, India dan Eropa.66 Perkembangan ekonomi tersebut kemungkinan besar terjadi ketika membaur dengan perdagangan Cina.67

Pada abad ke-19 Banten mulai mengalami kemunduran sejak kedatangan kolonial Belanda.68 Belanda masuk ke Banten karena Banten merupakan daerah yang strategis dan mengalami kemajuan di bidang perdagangan. Sehingga Belanda ingin menguasai wilayah Banten dan memonopoli perdagangan di pelabuhan yang strategis tersebut dan ingin membuat rakyat Banten sengsara.69 Kehidupan ekonomi Rakyat Banten memburuk seiring menguatnya kekuasaan Belanda. Rakyat Banten yang semula umumnya adalah pedagang di laut, beralih profesi menjadi petani lada dan pemerintah kolonial campur tangan sampai ke urusan desa.70

Pada abad tersebut Banten sangat prihatin dan tidak setuju dengan cara yang diterapkan Belanda di Kesultanan Banten. Muncullah perlawannan yang dipimpin para tokoh Banten. Bermarkas di hutan-hutan Selatan, mereka selalu siap menghadang tentara Belanda yang menuju Batavia untuk mengangkat rempah-rempah dan barang-barang pedagang lainnya di Banten. Belanda membalasnya dengan melakukan penyiksaan tehadap masyarakat Banten seperti kerja rodi dan

65

Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 3.

66

H.J.De Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, h. 137.

67

Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h. 26.

68

Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011), h. 75.

69

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta : Pustaka LP3ES. Indonesia, 200), h. 70.

70

(45)

tanam paksa.71 Sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Belanda merupakan eksploitasi penjajahan di tanah koloni. Eksploitasi ini telah menciptakan kemiskinan petani Jawa.72

4. Budaya

Banten juga dikenal karena budaya masyarakat lokal yang unik dan berbeda dari daerah lainnya, walaupun setiap suku masyarakat yang mendiami daerah-daerah lain di Indonesia memiliki kultur budaya mereka tersendiri.73 Budaya lokal berintegrasi dan berinteraksi dengan konsep-konsep Islam, seperti tampak pada adanya dua jenis pintu gerbang Bantar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya “wajah asing” pun tampak sangat

jelas di komplek Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dan Menara Mesjid.74

Dalam kehidupan sosial budaya, bahasa memegang peranan sangat penting. Dengan bahasa, orang bisa berkomunikasi dengan para pedagang dalam maupun luar negeri. Berdasarkan sumber sejarah yang yang ditemukan dapat diketahui bahwa kurun waktu tahun 1500-1800 M masyarakat Banten terdiri dari beragam etnis yang ada di Nusantara, antara lain: Sunda, Jawa, Bugis, Makasar dan Bali. Beragam suku tersebut memberi pengaruh terhadap perkembangan budaya

71

Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang, h. 32.

72

Robert Van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa.(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), h. ix.

73

Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 28-29.

74

(46)

Banten. Dari sekian banyak bahasa yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat Banten hanya tiga bahasa yaitu Sunda, Jawa, dan Melayu.75

Bahasa Sunda adalah bahasa yang digunakan oleh sebagain besar masyarakat Banten bagian Selatan, sementara masyarakat Banten bagian Utara menggunakan bahasa Jawa.76 Sedangkan bahasa melayu banyak digunakan di pelabuhan karena kedudukannya sebagai lingua franca (bahasa perantara atau bahasa penghubung).77

Masyarakat dan kebudayaan Banten memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Keunikan tersebut menjadi eksisitensi budaya Banten untuk dapat diperkenalkan kepada masyarakat umum. Keunikan budaya Banten dapat dilihat dari berbagai macam kesenina tradisional seperti, debus, rudat,78 dsb. Debus merupakan kesenian tradisional khas Banten yang tumbuh bersamaan dengan perkembangan agama Islam di Banten dan sebagai warisan budaya lokal masyarakat Ba

Referensi

Dokumen terkait