• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepailitan Perusahaan Badan Usaha Milik Negara Pt.Djakarta Lloyd (Persero) (Analisis Putusan Nomor 369 Pk/Pdt/2011 Mahkamah Agung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepailitan Perusahaan Badan Usaha Milik Negara Pt.Djakarta Lloyd (Persero) (Analisis Putusan Nomor 369 Pk/Pdt/2011 Mahkamah Agung)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh: Inayatul Aini NIM: 109048000075

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

i Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

InayatulAini NIM: 109048000075

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)

ii

(4)
(5)

iii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 Januari 2014

(6)

iv

ABSTRAK

INAYATUL AINI. NIM 109048000075. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Produk Pangan Dalam Kemasan Tanpa Label Halal Pada Usaha Kecil. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2013 M. ix + 68 halaman + 3 halaman daftar pustaka.

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen produk pangan dalam kemasan tanpa label halal pada usaha kecil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan produk pangan berlabel halal dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan konsumen dalam memperoleh perlindungan terhadap haknya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan konsep. Informasi didapatkan dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan dilaksanakan oleh pelaku usaha khususnya usaha kecil. untuk mencantumkan label halal pada kemasan pada setiap produk yang diproduksi sesuai dengan Pasal 8 Ayat (1) huruf h UUPK, dan upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen sesuai dengan UUPK yaitu, dapat menyelesaikan sengketa secara langsung kepada pelaku usaha, pengaduan melalui YLKI, Penyelesaian melalui BPOM, melapor ke BPSK dan penyelesaian melalui Peradilan Umum.

Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Produk Pangan, Label Halal, Kemasan,Usaha Kecil, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pembimbing : 1. Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum 2. Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH, MH,MM

(7)

v

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik material dan immaterial, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M beseta seluruh jajaran dekanat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta;

2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., MA dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum;

3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum dan Dra. Hj. Hafni Muchtar, S.H., MH, MM pembimbing skripsi penulis. Terima kasih atas semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis;

(8)

vi

6. Keluarga di rumah yang telah menemani dan membantu penulis ketika diperlukan khususnya suami ku tersayang M. Danial Zeny, aa-aa ku, kakak-kakak ku dan adik-adik ku;

7. Teman-teman dekat yang jadi tempat pelampiasan keluh kesah penulis, teman-teman seperjuangan kloter 3 proposal skripsi, teman-teman hukum bisnis, teman-teman ilmu hukum B, teman-teman UIN Jakarta, semuanya.

8. Pihak perpustakaan UI, UIN dan UMJ Jakarta, terima kasih karena telah menyediakan buku-buku yang lumayan lengkap sehingga penulis tidak kebingungan mencari referensi; 9. Penulis artikel, skripsi, opini dan lain-lainnya yang membantu penulis dalam proses

penulisan;

10.Seluruh pihak yang secara langsung dan tidak langsung sudah membantu, menyemangati, dan mendo’kan penulis.

Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis berdoa semoga Allah memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 9 Januari 2014

(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 7

E. Kerangka Konseptual ... 8

F. Metode Penelitian... 10

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Perlindungan Konsumen ... 15

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 17

C. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 20

D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 26

BAB III : PENGATURAN PRODUK PANGAN BERLABEL HALAL DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Produk Pangan dan Label Halal ... 32

(10)

viii

A. Penyelesaian Langsung Kepada Produsen ... 52 B. Melapor Ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ... 52 C. Penyelesaian Melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

... 55 D. Melapor Ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 58 E. Penyelesaian Melalui Peradilan Umum... 63 BAB V : Penutup

(11)

1

Konsumen memiliki resiko yang lebih besar daripada pelaku usaha, dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan. Disebabkan posisi tawar konsumen yang lemah, maka hak-hak konsumen sangat sering dan mudah untuk dilanggar.

Terhadap posisi konsumen tersebut, ia harus dilindungi oleh hukum karena salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat. Perlindungan terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum yang menjadi hak konsumen.1

Pada tahun 1999 telah lahir Undang-Undang perlindungan konsumen, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut UUPK bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada konsumen. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini diatur untuk memberikan kepastian hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut. Hal demikian memang perlu diatur karena untuk menghindari sikap negatif pelaku usaha terhadap konsumen.

Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari

1 Abdul Halim Barkatullah,

(12)

produsen atau pelaku usaha. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen atau pelaku usaha tersebut. Undang undang tentang perlindungan konsumen ini memang telah di terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang itu sendiri belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang undang tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen. Beberapa contohnya adalah:

a. Makanan kadaluarsa yang kini banyak beredar berupa parcel dan produk-produk kadaluarsa pada dasarnya sangat berbahaya karena berpotensi ditumbuhi jamur dan bakteri yang akhirnya bisa menyebabkan keracunan. b. Ikan yang mengandung formalin dan boraks, seperti kita ketahui bahwa

kedua jenis cairan kimia ini sangat berbahaya jika dikontaminasikan dengan bahan makanan, ditambah lagi jika bahan makanan yang sudah terkontaminasi dengan formalin dan boraks tersebut dikonsumsi secara terus- menerus akibat ketidaktahuan konsumen maka kemungkinan besar yang terjadi adalah timbulnya sel-sel kanker yang pada akhirnya dapat memperpendek usia hidup atau menyebabkan kematian.

(13)

yang mengalami penyakit-penyaktit tidak lazim seperti, gagal ginjal, bahkan tidak sedikit dari mereka yang meninggal dunia.

d. Produk tidak halal yang ditemukan di pasaran yaitu kasus ajinomoto pada tahun 2001 bahan baku pembuatannya dicampur dengan lemak babi. Kasus ini sangat menghebohkan masyarakat muslim, dengan adanya kasus ini pihak ajinomoto menarik secara serentak seluruh produk ajinomoto. PT. Ajinomoto harus menanggung kerugian dengan memberi ganti rugi. e. Di temukan beberapa merek dendeng/abon di jawa barat, yang

berdasarkan pengujian laboratorium ditemukan kandungan daging babi ada juga yang mencantumkan label halal pada kemasannya. Produk ini diedarkan oleh penjual di pasar tradisional hasil produksi usaha kecil.

Perkembangan ekonomi yang kian pesat telah menghasilkan berbagai jenis produk khususnya produk pangan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Terlebih lagi di zaman perdagangan bebas ini, semakin banyaknya ruang gerak bagi para pelaku usaha untuk memproduksi dan memasarkan produknya dan mengakibatkan produk luar menjadi semakin lebih mudah masuk ke Indonesia.

(14)

perlu dilakukan terhadap semua industri, baik kecil, menengah maupun besar. Sebab, tak lain dan tak bukan, yang merugi jelas-jelas konsumen, khususnya konsumen muslim. Sudah harus mengeluarkan biaya mahal untuk membeli makanan enak dan terjamin, malah mendapat makanan haram.

Dengan banyaknya variasi produk pangan yang semakin banyak membuat konsumen memilih bermacam-macam jenis dan kualitas produk tersebut sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Di sisi lain, tidak adanya jaminan yang pasti terhadap produk-produk tersebut, maka muncullah persoalan tersendiri bagi konsumen muslim yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia.

Sebagai salah satu negara yang berpenduduk mayoritas muslim, rakyat Indonesia menuntut tanggung jawab yang besar dari pemerintah dalam menjaga produk pangan yang beredar. Baik dalam hal cita rasa, sanitasi hygiene, kandungan gizi yang baik dan tidak membahayakan tubuh serta dapat dipastikan kehalalannya.

(15)

Berkenaan dengan hal ini Indonesia telah mempunyai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dimana setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label halal pada, didalam dan atau di kemasan pangan,2 namun Undang-Undang ini dan UUPK No. 8 Tahun1999 sepertinya tidak berjalan dengan baik, sehingga belum memberikan kepastian hukum untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal.

Dengan adanya masalah tersebut di atas, penulis ingin mengetahui lebih dalam mengenai pengaturan UUPK mengenai label halal bagi usaha kecil serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen dalam memperoleh perlindungan terhadap haknya, khususnya dalam produk pangan tanpa label halal yang didasari oleh UUPK No. 8 Tahun 1999 Penulis menuangkan dalam bentuk skripsi atau sebuah karya ilmiah dengan mengambil judul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Produk Pangan DalamKemasanTanpa

Label HalalPada Usaha Kecil”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan masalah pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, maka ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini dibatasi, yakni yang dilihat hanya perlindungan terhadap konsumen mengenai produk pangan tanpa label halal yang diproduksi oleh usaha kecil.

2Ahmadi MirudanSutaman,

(16)

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan perumusan masalah yang akan dibahas pada skripsi ini yaitu:

a. Bagaimanakah pengaturanproduk pangan berlabel halal dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen?

b. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan konsumendalammemperolehperlindunganterhadaphaknya yang dilanggar oleh pelaku usaha akibat mengkonsumsi pangan tanpa label halal dalam kemasan pada usaha kecil?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan yang ada, maka adapun tujuan dari penulisan penelitian ini antara lain:

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan UUPKdan peraturan lain yang mengatur mengenai label halal untuk produk usaha kecil.

b. Untuk mengetahui upaya hukum apa yang dapat dilakukan konsumen dalammemperolehperlindungan terhadap haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha akibat mengkonsumsi pangan tanpa label halal dalam kemasan pada usaha kecil.

2. Manfaat Penelitian

(17)

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberi masukan sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan mengenai Pengaturan UU perlindungan konsumen mengenai label halal dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen dalam memperoleh perlindungan terhadap haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha akibat mengkonsumsi pangan tanpa label halal dalam kemasan pada usaha kecil..

b. Manfaat Praktis

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat menjadi masukan terhadap

1). Para pelaku usaha (produsen) usaha kecil dalam memproduksi suatu produk makanan harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh UUPK.

2). Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen yang lebih baik.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Pernahadapenelitian yang dilakukanterhadap label halal.DenganTesis yang berjudul “PerlindunganHukumKonsumenDalamPelabelanProdukPangan”

(18)

telahmemenuhiasas-asasperlindungankonsumensertatanggungjawabpelakuusahaterhadappelanggara n label tersebut.

Terdapatjugadalamsebuahbuku yang berjudul“ Hak -hakkonsumenjikadirugikan”.

Dalambukutersebutdijelaskanbagaimanacaraberproduksisecara halal, sebagaimanapernyataan “halal” yang dicantumkandalam label.3

Buku yang berjudul“ SolusiBilaTerjeratKasusBisnis”, dalambukuiniterdapatkasus-kasusmengenaiproduk-produktanpa label halal. Karenasertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakansuatuproduksudahsesuaidengansyari’atislam.4

Sementara yang penulis akan bahas dalam penelitian ini adalah perlindungan hukum bagi konsumen produk pangan dalamkemasantanpa label halalpada produk usaha kecil.

Sepanjang penulusuran penulis, khususnya setelah mengadakan inventarisasi judul skripsi di Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, maka skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum

Bagi Konsumen Produk Pangan Dalam Kemasan Tanpa LabelHalal Pada Usaha Kecil” belum pernah diangkat sebelumnya sebagai suatu judul skripsi. E. Kerangka Konseptual

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

3

Susanto, Happy, Hak-HakKonsumenJikaDirugikan (Jakarta: Visi Media, 2008), h.45.

4Agung, MaryadanEka,

(19)

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.

Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan.

Usaha keciladalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000.

(20)

F. Metode penelitian 1. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Normatif. Tipe Penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif dengan pendekatan Yuridis Normatif, dikatakan demikian karena dalam penelitian ini digunakan cara-cara pendekatan terhadap masalah yang diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan perundang-undangan yang berlakuataumenelitibahanpustaka yang ada.5

2. Pendekatan Masalah

Mengingat tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, yakni suatu penelitian yang meneliti suatu masalah dengan cara meninjau dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam studi hukum, pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan pengaturan perlindungan bagi konsumen, yakni Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sedangkan pendekatan konseptual digunakan karena isu hukumnya menggunakan isu hukum pada level teori hukum (konsep).

5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,

(21)

Dalam hal ini, konsep yang digunakan adalah tentang konsep dasar perlindungan konsumen, hak serta kewajiban atas konsumen dan pelaku usaha, sanksi-sanksi yang diberikan kepada para pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen dan lain-lain.

3. Sumber Bahan Hukum

Sumber penelitian pada skripsi ini antara lain mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non hukum (tersier).

a. Bahan hukum primer

yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini digunakan peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, perjanjian internasional, dan perjanjian lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain yaitu:

1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan.

4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan.

(22)

yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, antara lain: teori atau pendapat para sarjana, hasil karya dari kalangan hukum, penelusuran internet, artikel ilmiah, jurnal, majalah, surat kabar, makalah, dan sebagainya.

c. Bahan non-hukum (tertier)

yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedi, kamus, dan lain-lain.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan ini, maka penulis menggunakan prosedur pengumpulan bahan hukum dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

5. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

(23)

permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk melihat pola-pola kecurangan dalam pelanggaran para pelaku usaha tersebut sehingga dapat membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam menangani masalah perlindungan terhadap para konsumen yang dirugikan oleh para pelaku usaha.

G. Sistematika Penelitian

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”

dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:

Bab I : Dalam pendahuluan penulis menguraikan mengenai alasan dalam pemilihan judul atau latar belakang masalah. Selain itu, diuraikan juga mengenai Latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

(24)

Bab III : Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai pengertian produk pangan dan label halal, dan peraturan yang mengatur tentang pencantuman produk pangan berlabel halal menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bab IV : Dalam bab ini penulis akan menjelaskan upaya hukum yang dapat

dilakukan oleh konsumen

dalammemperolehperlindunganterhadaphaknya.

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen.Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah.

Menurut Troelstrup, konsumen pada dasarnya memiliki posisi tawar yang lemah dan terus melemah, hal ini disebabkan1:

a. Terdapat lebih banyak produk, merek, dan cara penjualannya; b. Daya beli konsumen makin meningkat;

c. Lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang;

d. Model-model produk lebih cepat berubah;

e. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam pelaku usaha;

f. Iklan yang menyesatkan; dan g. Wanprestasi oleh pelaku usaha.

1

(26)

Posisi konsumen sangat lemahmaka ia harus dilindungi oleh hukum.Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan(pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukumperlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarikbatasnya.

Menurut Az Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Sedangkan hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak atau satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa di dalam kehidupan bermasyarakat.2

Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang

2 AZ Nasution,

Hukum perlindungan konsumen suatu pengantar, (Jakarta: Diadit Media,2006) cetakan ke 2, h. 37

(27)

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

“Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,

berpendapat dan bertindak”.3Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan pelaksanannya.4

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan lima asas, yaitu menurut Pasal 2 UUPK adalah:5

1. Asas Manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;

3

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2002) Edisi III, h.7

5 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo,

(28)

Asas ini mempunyai makna bahwa dalam menerapkan UUPK harus memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang bersangkutan yaitu konsumen dan pelaku usaha sehingga, tidak ada satu pihak yang merasa kedudukannya lebih tinggi diantara yang lainnya.

2. Asas Keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;

Asas keadilan mempunyai makna agar antara pelaku usaha dan konsumen masing-masing memperoleh keadilan dalam melakukan kewajiban dan keadilan dalam menerima hak-haknya, karena itu UUPK mengatur hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

3. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah;

Dengan adanya asas ini diharapkan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dapat terwujud secara seimbang. Tidak ada pihak yang merasa dirinya lebih dilindungi dari pihak lain.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

(29)

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;

Asas ini mempunyai makna adanya suatu jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang akan dimanfaatkan atau digunakan. Bahwa produk yang akan dimanfaatkan atau digunakan tidak akan mengancam ketentraman, keselamatan jiwa, dan harta bendanya.

5. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen, negara dalam hal ini turut menjamin adanya kepastian hukum tersebut.

Asas ini dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum yang berlaku dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari agar memperoleh keadilan. Oleh karena itu negara menjamin akan adanya kepastian hukum tersebut.

Tujuan Perlindungan Konsumen, sebagaimana termaksud dalam ketentuan pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertujuan :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

(30)

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan hukum bagi konsumen, sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.6

Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu: 1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 3. Hak untuk memilih (the right to choose);

6

(31)

4. Hak untuk didengar (the right to he heard).

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang bergabung dalam The Internasional Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Sedangkan hak konsumen di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UUPK No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

Hak ini mengandung arti bahwa konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.Dalam barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha beresiko sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, maka pemerintah seharusnya mengadakan pengawasan secara ketat.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

(32)

tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi pembeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang salah atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti secara lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).

Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Karena alasannya, saat ini: (1) terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualannya, (2) daya beli konsumen makin meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, (4) model-model produk lebih cepat berubah, (5) kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam prodesen atau penjual.6

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Hal ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan seiring tidak cukup memuaskan konsumen.

6 Shidarta,

(33)

Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut, pemerintah memberikan hak ini kepada konsumen, sehingga konsumen dapat turut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan perdagangan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

Hak ini merupakan salah satu hak konsumen untuk mendapatkan keadilan. Sebab dengan adanya hak ini, konsumen akan mendapatkan perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan sosial. Untuk mendapatkan hak ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :7

1. Melalui konsultasi hukum, baik yang dilakukan oleh organisasi konsumen atau instansi pemerintah yang mengurus perlindungan konsumen.

2. Melalui mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class action). f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

Banyaknya konsumen yang dirugikan karena kurangnya kesadaran akan hak-haknya, Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan

7 Sudaryatmo,

(34)

konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formaltetapi dapat melalui media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

Penjelasan Pasal 4 huruf g UU Perlindungan Konsumen disebutkan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya miskin dan status sosialnya.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak pelaku usaha yang membeda-bedakan konsumen dengan melihat status sosialnya.

h. Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

Apabila konsumen merasa kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak.

(35)

Dengan adanya hak ini semakin jelas bahwa UU Perlindungan Konsumen adalah undang-undang payung, maksudnya cakupan materi yang diatur sangat luas, sehingga diharapkan undang-undang lain yang berkaitan tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen walaupun kedudukannya sederajat. Hak-hak konsumen yang diatur dalam peraturan lainnya, yaitu:

a. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidupmeliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan non fisik.

Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan pasal l5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan PengelolaanLingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat inidinyatakan secara tegas. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan,” setiap orang mempunyai

hak yang sama atas lingkungan hidup yang sehat”.

b. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebut dengan “ persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang

(36)

memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan antara pelaku usaha sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan antara pelaku usaha tidak sehat konsumen pula yang dirugikan.Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi.

Kewajiban konsumen sebagaimana tercantum dalam pasal 5 UUPK No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

(37)

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam pasal 7 UUPK No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

(38)

dengan benar, menjamin mutu barang/atau jasa yang diproduksi, dan lain sebagainya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif;

Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.

(39)

Dengan adanya hak dan kewajiban pelaku usaha, maka didalam UUPKjuga diatur larangan bagi pelaku usaha. Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UUPK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:

1. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8). 2. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16). 3. Larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17).

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUPK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

(40)

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.

Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut: (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau

(41)

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Jadi, rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh, namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.

Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

(42)

BAB III

PENGATURAN PRODUK PANGAN BERLABEL HALAL DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Produk Pangan dan Label Halal

Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makanan dan minuman yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan kesehatan baik jasmani maupun rohani.Masyarakat memerlukan perlindungan dari pemerintah bagi semua barang yang dimakan dan diminum terutama hasil produksi makanan dan minuman yang selama ini dilakukan, halal menurut ajaran islam.

Kasus-kasus makanan halal yang dapat meragukan masyarakat akan mempunyai dampak negatif tidak hanya berpengaruh bagi perusahaan itu sendiri, tetapi juga bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Yang lebih penting lagi bagi seorang muslim dalam hal makanan dan minuman adalah suatu hal yang erat sekali kaitannya dengan ibadah. Ketika seorang muslim memakan dan meminum sesuatu yang haram atau najis, maka do’a dan ibadahnya sia-sia dan tidak diterima Allah. Oleh karena itu, agama Islam memerintahkan agar dalam mengkonsumsi makanan haruslah halal dan thayyib.1

1 Musthafa al-Bugha & Muhyiddin Misto,

Pokok-Pokok Ajaran Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2005) h.107

(43)

Hal ini sesuai dengan Firman Allah QS. Al-Maidah (5): 88 yang berbunyi :

Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.

“Halal adalah segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan

dengan pengertian bahwa orang yang melakukan tidak mendapat sanksi dari Allah SWT. Istilah halal biasanya berhubungan dengan makanan dan minuman”.2

“Produk halal adalah produk pangan, obat, kosmetika, dan produk lain

yang tidak mengandung unsur atau barang haram atau dilarang untuk dikonsumsi, digunakan, atau dipakai umat Islam baik yang menyangkut bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu, dan bahan penolong lainnya termasuk bahan produksi yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi yang pengolahannya dilakukan sesuai dengan syariat Islam”.3

Komunitas muslim diseluruh dunia telah membentuk segmen pasar yang potensial dikarenakan pola konsumsi khusus mereka dalam mengkonsumsi suatu produk. Pola konsumsi ini diatur dalam ajaran Islam yang disebut dengan syari’at. Dalam ajaran syari’at tidak diperkenankan bagi kaum muslim untuk mengkonsumsi produk-produk tertentu karena substansi yang

2

Abdul Mujib, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994) h. 97

3 Departemen Agama RI,

(44)

dikandungnya atau proses yang menyertainya tidak sesuai dengan ajaran syari’at Islam.

Kini konsumen dapat memilih berbagai macam pilihan produk. Salah satunya adalah produk pangan yang sering kita konsumsi setiap hari. Sejumlah langkah bisa ditempuh konsumen untuk mempertimbangkan produk yang akan dikonsumsi. Salah satu langkah tersebut dengan memperhatikan label halal pada produk kemasan. Ini untuk memastian kelayakan produk dan kelayakan status kehalalannya.

Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia adalah sebuah logo yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang membentuk kata halal pada sebuah lingkaran.4

Label halal masuk dalam klasifikasi descriptive label yaitu label yang menginformasikan tentang:5

1. Konstruksi atau pembuatan produk yang sesuai dengan standar halal. 2. Ingredient atau bahan baku produk yang sesuai dengan standar halal. 3. Efek yang ditimbulkan (other characteristic) produk yang sesuai dengan

standar halal.

Produk pangan tanpa label halal pun masih banyak ditemukan di pasar-pasar. Khususnya produk pangan hasil produksi usaha kecil pada home industri.

4

ibid, h. 277

5Ret o “ulistyowati

Labelisasi Halal artikel i i diakses pada ta ggal juli , pukul

(45)

Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Usaha kecil termasuk usaha yang berdiri sendiri. Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat yang

berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.”

Kriteria usaha kecil menurut UU No. 9 tahun 1995 adalah sebagai berikut:6

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Miliar Rupiah).

3. Milik Warga Negara Indonesia.

4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar.

5. Berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.

6

Artikel ini diakses pada tanggal15 juli 2013, pukul 10.00, dari

(46)

Di daerah Jakarta tepatnya di Kramat jati ada jenis bakso dengan merk bakso daging sapi asli hasil produksi home industri tidak memiliki label halal pada kemasannya. Padahal bakso tersebut diminati oleh banyak konsumen dari konsumen menengah keatas. Ketika ditanya kenapa pada kemasan bakso tersebut tidak ditemukan label halal, pelaku usaha tersebut menjawab karena sulitnya proses untuk mendapatkan sertifikat halal dan tidak ada pengawasan dari instansi yang terkait.

Hal ini jelas sangat merugikan konsumen, karena konsumen tidak mengetahui informasi tentang kehalalan produk tersebut. Pengawasan dari aparat pun harus dilakukan terhadap semua industri, khususnya usaha kecil menengah pada home industri.

Dengan adanya pengawasan dari aparat yang terkait, konsumen pun akan mengetahui produk apa saja yang halal dan tidak halal. Karena produk yang sudah berlabel halal saja belum tentu produk tersebut halal. Dengan ditemukannya banyak kasus produk berlabel halal khususnya bakso, setelah di uji oleh aparat yang berwenang baru diketahui bahwa produk bakso tersebut mengandung daging babi. Sudah jelas bahwa daging babi itu harum hukumnya untuk dimakan oleh umat Islam. Sesuai Firman Allah QS. Al-An’aam (6): 119 sebagai berikut :

(47)

apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas”.

Adapun manfaat yang bisa diperoleh dengan pencantuman dan sertifikasi label Halal adalah sebagai berikut :

1. Memenuhi kebutuhan masyarakat (terutama Muslim) akan rasa aman dan keyakinan mengkonsumsi produk yang Halal.

2. Dapat menjalin kerjasama yang lebih baik dengan stakeholder

(pemerintah) seperti LP POM-MUI, MUI, Badan POM, Depag, dan YLKI. 3. Memperkuat Brand Equity product dari segi Brand Association

Halal/Atribut Halal, sehingga memperkuat posisi produk di masyarakat. 4. Melengkapi momen penjualan yang hilang akibat tidak adanya atribut

Halal, sehingga dapat meningkatkan penetrasi produk di masyarakat. 5. Membantu meningkatkan sistem produksi dan quality control yang lebih

baik.

B.Peraturan Yang Mengatur Tentang Pencantuman Produk Pangan Berlabel Halal Menurut Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku.

(48)

cara memproduksi makanan dan minuman. Ketiga yaitu pihak yang berwenang bekerja keras menyusun daftar bahan baku dan bahan tambahan yang sudah diperiksa kehalalannya.7

Makanan yang kita makan tidak selamanya baik dan halal, Mungkin saja ada terdapat sesuatu yang haram di dalamnya atau disaat pembuatannya menggunakan unsur-unsur yang haram. Banyaknya produk di pasaran yang tidak mencantumkan label halal bisa menjadi kekhawatiran bagi kita.

Produk pangan yang kita konsumsi sebaiknya kita pastikan dahulu, kita perhatikan tanggal kadaluarsanya yang terdapat dalam kemasan. Melihat label halal dan membaca isi kandungan dalam produk yang akan kita konsumsi itu.

Untuk menghindari kecurigaan terhadap makanan yang dianggap halal atau telah diberi label halal sebaiknya kita perhatikan juga hal-hal berikut :8 1. Bahan-bahan yang digunakan adalah halal,

2. Komponen ramuan dan bahan tambahan adalah halal, 3. Proses produksi berdasarkan syari’at Islam.

Saat ini era pasar bebas sudah semakin dekat. Kita banyak mengkonsumsi makanan yang berasal dari impor. Masalah kehalalannya sebagian besar dipertanyakan dan masih perlu pengawasan serius baik dari pemerintah maupun dari masyarakat, khususnya konsumen yang beragama Islam. Secara langsung atau tidak, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim itu menghadapi berbagai macam produk yang masih harus

7

Diana Candra Dewi, M.Si,Rahasia Dibalik Makanan Haram,(UIN-Press, 2007) h.121

8 Departemen Agama RI,

(49)

dipertanyakan kehalalannya. Untuk itu kita harus berhati-hati dan tidak sembarangan dalam mengkonsumsi produk-produk tersebut.

Produk halal kini bukan lagi semata-mata isu agama, tetapi sudah menjadi isu di bidang bisnis perdagangan. Saat ini, jaminan sebuah produk sudah menjadi simbol global bahwa produk yang bersangkutan terjamin kualitasnya. Selain itu, masyarakat dunia sekarang cenderung memilih produk-produk yang berlabelkan halal. Sebab, kualitas produk-produk halal akan lebih terjaga dari segala macam penyakit yang ada di dalamnya.

Sosialisasi makanan akan pentingnya makanan halal belum sampai pada tingkat kesadaran masyarakat, khususnya bagi produsen untuk mendapatkan sertifikasi halal dan mencantumkan label halal. Informasi tentang makanan yang halal pun belum terlalu sering dilakukan, sehingga masyarakat masih harus tetap berhati-hati untuk memastikan kalau makanan yang dikonsumsi itu halal atau haram.

Dalam hal ini, perlindungan konsumen terhadap produk-produk di pasaran menjadi tugas pemerintah dan masyarakat agar terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal. Oleh karena itu, peraturan-peraturan yang mengatur tentang pencantuman produk pangan berlabel halal harus benar-benar diterapkan agar tidak ada lagi konsumen yang merasa dirugkan.

(50)

1. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Di dalam UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terdapat pasal yang berkaitan dengan Label halal pada Bab IV mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha pada Pasal 8 Ayat (1) huruf h.

Bunyi Pasal 8 Ayat (1) huruf h adalah sebagai berikut: Pasal 8

(1). Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam Label.

2. UU No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan.

Di dalam UU No.7 Tahun 1996 terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab IV mengenai Label dan Iklan Pangan pada pasal 30 dan 34.

Bunyi dan penjelasan pasal 30 dan 34 adalah sebagai berikut:

(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, dan atau dikemasan pangan. (2). Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat

sekurang-kurangnya keterangan mengenai : a. nama produk;

(51)

d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;

e. keterangan tentang halal; dan

f. tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.

Penjelasan pasal 30 ayat 2 (e): keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun, pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Pasal 34

(1). Setiap orang yang menyatakan dalam Label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.

Penjelasan: dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya.

3. PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan.

Di dalam PP No.69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan pasal yang berkaitan dengan kehalalan produk pangan yaitu :

Pasal 3 Ayat 2

(52)

a.Nama produk;

b.Daftar bahan yang digunakan;

c.Nama dan alamt pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia;

d.Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa; Pasal 10

(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.

(2). Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Label.

Pencantuman keterangan halal atau tulisan “halal” pada label pangan

merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia menyatakan bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin.

(53)

bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses produksinya.

Pasal 11

(1).Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 1, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebutpada lembaga pemeriksa yang telah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2).Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan olen Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.

Pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan produk yang halal, sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan halal pada label produknya untuk menghindarkan timbulnya keraguan di kalangan umat Islam terhadap kebenaran pernyataan halal.

(54)

bahwa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi agama. Lembaga keamanan yang dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pedoman ini bersifat umum, dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses atau produknya.

4. Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I.1996 tentang pencantuman tulisan “Halal” pada label makanan.

Pasal 8

Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencatuman tulisan halal wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktoran Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jendral.

Pasal 9

Bahan baku, bahan tambahan makanan, dan bahan penolong dan/atau produk jadi wajib diuji di laboratorium yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal

Pasal 10

(1).Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 8 dan hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud pasal 9 dilakuan evaluasi oleh tim ahli MUI.

(55)

(3).Fatwa MUI sebagaiamana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan.

Pasal 11

Persetujuan pencantuman tulisan “halal” diberikan berdasarkan fatwa dari komisi fatwa MUI.

Pasal 12

(1).Berdasrakan fatwa MUI, Direktur Jenderal memberikan: a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat halal b. Penolakan bagi yang tudak memperoleh sertifikat halal

(2).Penolakan sebagimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan.

Selain peraturan-peraturan di atas Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa No. 01 Tahun 2011 Tentang Penetapan Produk Halal. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam rapat Komisi dengan LP-POM MUI, pada hari Rabu tanggal 30 Muharam 1432 H/ 05 Januari 2011 M, Setelah:8

MENIMBANG: 1. Bahwa makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, dan lain-lain yang akan dikonsumsi atau dipergunakan oleh umat Islam wajib diperhatikan dan diyakini kehalalan dan kesuciannya;

8 Majelis Ulama Indonesia,

(56)

2. Bahwa produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan lain-lain yang merupakan hasil olahan sering diragukan kehalalan atau kesuciannya;

3. Bahwa oleh karena itu, produk-produk olahan sebagaimana terlampir yang terhadapnya telah dilakukan pemeriksaan, penelitian, pembahasan, dan penilaian dalam rapat Komisi Fatwa bersama LP POM MUI, Komisi Fatwa memandang perlu untuk menetapkan kehalalan dan kesuciannya untuk dijadikan pedoman oleh umat.

MEMUTUSKAN: 1. Produk-produk sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan fatwa ini ditetapkan kehalalan dan kesuciannya.

2. Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama ini mengambil peran melakukan sertifikasi produk halal. Apa yang dilakukan MUI tidak lain adalah demi memberikan jaminan dan perlindungan terhadap umat islam agar mengkonsumsi produk yang diyakini kehalalannya.

(57)

menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan kosmetika apakah aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi agama Islamyakni halal atau boleh dan baik untuk dikonsumsi bagi umat Muslim khususnya di wilayah Indonesia, selain itu memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat.Lembaga ini didirikan atas keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI)berdasarkan surat keputusan nomor 018/MUI/1989, pada tanggal 26 Jumadil Awal 1409 Hijriah atau 6 Januari1989.

Sebagai lembaga otonom bentukan MUI, LPPOM MUI tidak berjalan sendiri. Keduanya memiliki kaitan erat dalam mengeluarkan keputusan.

Sertifikat Halal merupakan langkah yang berhasil dijalankan sampai sekarang. Di dalamnya tertulis fatwaMUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam dan menjadi syarat pencantuman label halal dalam setiap produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika.

Untuk berhak menggunakan label “Halal” pada kemasan produk yang

diproduksi ataupun pada tempat usaha, produsen harus mengajukan sertifikasi halal ke LPPOM. Adapun proses dalam permohonan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:9

1. Produsen mengajukan permohonan ke LPPOM dengan cara mengisi Borang (formulir) yang mencakup nama perusahaan, detail produk termasuk komposisi bahan yang digunakan, tempat produksi, dan juga proses pembuatannya.

9 Artikel ini diakses pada tanggal 20 Januari 2014, Pukul 10.30, dari

(58)

2. Kemudian bagian sekretariat LPPOM akan melakukan pengecekan untuk kelengkapan dokumen yang diperlukan. Jika belum komplit, maka diminta untuk segera melengkapinya. Dan bila telah sesuai maka akan dilanjutkan dengan pemberitahuan jadwal audit ke tempat produksi. Audit tersebut dilakukan oleh Tim Auditor LPPOM, dan ketika audit/pemeriksaan berlangsung, tempat usaha harus sedang melakukan kegiatan produksi. 3. Selanjutnya, setelah Tim Auditor melakukan analisis dan evaluasi

termasuk juga memperhatikan hasil lab (bila diperlukan), maka akan dilanjutkan pada tahap simpulan, yaitu melanjutkan laporannya ke Sidang Komisi Fatwa MUI (jika dinyatakan memenuhi syarat) atau ditolak/dikembalikan karena belum memenuhi standard yang syaratkan. 4. Setelah lulus tim audit, Komisi Fatwa MUI melakukan sidang guna

memutuskan layak tidaknya suatu produk mendapatkan sertifikasi Halal. Keputusan diambil berdasrkan berbagai pertimbangan, salah satunya dari laporan yang disampaikan tim auditor. Jika sidang Komisi Fatwa menyatakan telah memenuhi standard sesuai dengan kaidah Islam, maka proses berikutnya pencetakan surat sertifikat Halal.

(59)

Masih banyaknya pelanggaran mengenai label halal yang dilakukan pelaku usaha khususnya usaha kecil maka pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) yang akan disahkan menjadi Undang-Undang harus menjadi momentum untuk lebih memperkuat jaminan Negara atas berbagai produk yang dikonsumsi masyarakat.

Jaminan ini khususnya ditujukan kepada umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini, sehingga merasa tenang, aman dan nyaman dalam mengkonsumsi produk-produk yang beredar di pasar, sesuai dengan keyakinan agama yang dipeluknya.Dengan demikian, adanya sistem JPH pada makanan, minuman, obat dan kosmetik, produk kimia, produk biologi dan produk rekayasa genetika, masyarakat dan produsen akan terlindungi oleh suatu Undang-Undang yang mengatur persoalan JPH.

Ada tiga prinsip yang harus menjadi dasar dalam penyelenggaraan JPH, antara lain:10

1. Sistem JPH harus mampu memberikan jaminan dan perlindungan kepada Umat Islam untuk memperoleh dan mengonsumsi produk halal.

2. JPH harus menjamin bahwa proses dan prosedur audit dan sertifikasi yang terkait dengan proses halal harus dilakukan secara sederhana dan mudah untuk memberikan kemudahan bagi produsen dan dunia usaha.

3. JPH harus memberikan jaminan bahwa biaya audit dan sertifikasi harus murah dan proporsional.

10 Artikel ini diakses pada tanggal 20 Januari 2014, pada pukul 10.45, dari

(60)

Beberapa substansi pokok yang menjadi ruang lingkup pembahasan RUU JPH meliputi :

1. Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Dengan demikian negara menjadi aktor utama dalam menjamin kehalalan makanan, minuman, obat dan kosmetik, produk kimia, produk biologi, dan produk rekayasa genetika yang beredar di Indonesia.

2. Diperlukan suatu lembaga yang berfungsi untuk melakukan pemeriksaan dan standardisasi kehalalan produk.

3. Posisi RUU ini bisa menjadi undang-undang yang bersifat lex spesialis dalam mengatur dan menghimpun regulasi soal produk halal.

4. RUU JPH ini memperhatikan dan membedakan ranah pemerintah dan ranah syariah sehingga terjadi pemisahan antara regulator dan operator, serta komponen yang dilibatkan mendapatkan posisi sesuai dengan kompetensi dan kapasitas kelembagaannya masing-masing.

5. RUU ini akan mempertegas fungsi MUI dalam persoalan jaminan suatu produk dimana MUI difungsikan untuk menetapkan standar halal dan sistem jaminan halal, serta menetapkan fatwa halal dalam bentuk putusan fatwa.

6. Untuk kepastian pelaksanaan RUU ini, dimuat pula ketentuan sanksi pidana bagi yang melanggarnya.

Referensi

Dokumen terkait

Postotni udio kisika u vodi Sakadaškog jezera zabilježen tijekom istraživanja zajednice perifitona

Hasil pengujian hipotesis kedua antara hubungan dimensi interpersonal terhadap kemampuan literasi media didapatkan koefisien jalur bernilai positif sebesar 0,259

Kansalaisvaikuttamisdiskurssin mukaista argumentaatiota käyttivät Aamulehden uutisluonteisissa jutuissa tutkimusaikana ei-insititutionaalista valtaa Vuores-prosessissa omaavat

Pihak tertentu yang mendukung pembela jaran dengan aneka permainan bahasaberar- gumentasi, bahwa belajar dalam konteks ser bajenaka akan membuahkan hasil lebih sig- nifikan

Peneguhan fungsi dan peranan bandar Tanjong Malim dan Tapah sebagai pusat pertumbuhan Tahap Kedua dijangka dapat memperbaiki pola keseimbangan hierarki petempatan

Dari hasil penelitian ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan pemahaman konsep matematika siswa kelas X MIA 1 SMA Negeri 11 Makassar

Statika sederhana berisi tentang: Pengertian istilah (tumpuan, jenis konstruksi, gaya normal dan bidang gaya normal, gaya melintang dan bidang gaya melintang, momen dan

Baik batang kayu utuh (balok) maupun batang kayu yang dibelah serta kayu irisan. Rumah ibadat utama Kulawi yang disebut lobo itu kalau di daerah lain, yaitu di