• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : PENGATURAN PRODUK PANGAN BERLABEL HALAL DALAM

B. Peraturan Yang Mengatur Tentang Pencantuman Produk Pangan

Penentuan halal tidaknya suatu produk makanan dan minuman pada era global ini tidaklah mudah bahkan mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi. Banyak penyebabnya antara lain karena banyaknya bahan baku dan bahan tambahan yang menggunakan bahan-bahan dari non muslim atau negara barat. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjamin hak mendapatkan makanan dan minuman yang halal, pertama adanya jaminan undang-undang yang melindungi. Masalah kedua, mengetahui komposisi dan asal-usul serta

cara memproduksi makanan dan minuman. Ketiga yaitu pihak yang berwenang bekerja keras menyusun daftar bahan baku dan bahan tambahan yang sudah diperiksa kehalalannya.7

Makanan yang kita makan tidak selamanya baik dan halal, Mungkin saja ada terdapat sesuatu yang haram di dalamnya atau disaat pembuatannya menggunakan unsur-unsur yang haram. Banyaknya produk di pasaran yang tidak mencantumkan label halal bisa menjadi kekhawatiran bagi kita.

Produk pangan yang kita konsumsi sebaiknya kita pastikan dahulu, kita perhatikan tanggal kadaluarsanya yang terdapat dalam kemasan. Melihat label halal dan membaca isi kandungan dalam produk yang akan kita konsumsi itu.

Untuk menghindari kecurigaan terhadap makanan yang dianggap halal atau telah diberi label halal sebaiknya kita perhatikan juga hal-hal berikut :8 1. Bahan-bahan yang digunakan adalah halal,

2. Komponen ramuan dan bahan tambahan adalah halal, 3. Proses produksi berdasarkan syari’at Islam.

Saat ini era pasar bebas sudah semakin dekat. Kita banyak mengkonsumsi makanan yang berasal dari impor. Masalah kehalalannya sebagian besar dipertanyakan dan masih perlu pengawasan serius baik dari pemerintah maupun dari masyarakat, khususnya konsumen yang beragama Islam. Secara langsung atau tidak, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim itu menghadapi berbagai macam produk yang masih harus

7

Diana Candra Dewi, M.Si,Rahasia Dibalik Makanan Haram,(UIN-Press, 2007) h.121

8 Departemen Agama RI,

Islam dan Produk Halal, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2007) h. 95

dipertanyakan kehalalannya. Untuk itu kita harus berhati-hati dan tidak sembarangan dalam mengkonsumsi produk-produk tersebut.

Produk halal kini bukan lagi semata-mata isu agama, tetapi sudah menjadi isu di bidang bisnis perdagangan. Saat ini, jaminan sebuah produk sudah menjadi simbol global bahwa produk yang bersangkutan terjamin kualitasnya. Selain itu, masyarakat dunia sekarang cenderung memilih produk- produk yang berlabelkan halal. Sebab, kualitas produk halal akan lebih terjaga dari segala macam penyakit yang ada di dalamnya.

Sosialisasi makanan akan pentingnya makanan halal belum sampai pada tingkat kesadaran masyarakat, khususnya bagi produsen untuk mendapatkan sertifikasi halal dan mencantumkan label halal. Informasi tentang makanan yang halal pun belum terlalu sering dilakukan, sehingga masyarakat masih harus tetap berhati-hati untuk memastikan kalau makanan yang dikonsumsi itu halal atau haram.

Dalam hal ini, perlindungan konsumen terhadap produk-produk di pasaran menjadi tugas pemerintah dan masyarakat agar terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal. Oleh karena itu, peraturan-peraturan yang mengatur tentang pencantuman produk pangan berlabel halal harus benar- benar diterapkan agar tidak ada lagi konsumen yang merasa dirugkan.

Adapun peraturan-peraturan yang terkait tentang pencantuman produk pangan berlabel halal yaitu :

1. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Di dalam UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terdapat pasal yang berkaitan dengan Label halal pada Bab IV mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha pada Pasal 8 Ayat (1) huruf h.

Bunyi Pasal 8 Ayat (1) huruf h adalah sebagai berikut: Pasal 8

(1). Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam Label.

2. UU No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan.

Di dalam UU No.7 Tahun 1996 terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab IV mengenai Label dan Iklan Pangan pada pasal 30 dan 34.

Bunyi dan penjelasan pasal 30 dan 34 adalah sebagai berikut:

(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, dan atau dikemasan pangan. (2). Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-

kurangnya keterangan mengenai : a. nama produk;

b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih;

d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;

e. keterangan tentang halal; dan

f. tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa.

Penjelasan pasal 30 ayat 2 (e): keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun, pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Pasal 34

(1). Setiap orang yang menyatakan dalam Label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.

Penjelasan: dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya.

3. PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan.

Di dalam PP No.69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan pasal yang berkaitan dengan kehalalan produk pangan yaitu :

Pasal 3 Ayat 2

a.Nama produk;

b.Daftar bahan yang digunakan;

c.Nama dan alamt pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia;

d.Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa; Pasal 10

(1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.

(2). Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Label.

Pencantuman keterangan halal atau tulisan “halal” pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia menyatakan bahwa produknya halal bagi umat Islam. Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin.

Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama islam dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal. Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi

bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses produksinya.

Pasal 11

(1).Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 1, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebutpada lembaga pemeriksa yang telah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2).Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan olen Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.

Pencantuman tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan produk yang halal, sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan halal pada label produknya untuk menghindarkan timbulnya keraguan di kalangan umat Islam terhadap kebenaran pernyataan halal.

Dengan demikian untuk kelangsungan usahanya, pangan yang dinyatakan halal tersebut diperiksa terlebih dahulu oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan ketenteraman dan keyakinan umat islam

bahwa pangan yang akan dikonsumsi memang aman dari segi agama. Lembaga keamanan yang dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pedoman ini bersifat umum, dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses atau produknya.

4. Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I.1996 tentang pencantuman tulisan “Halal” pada label makanan.

Pasal 8

Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencatuman tulisan halal wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktoran Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jendral.

Pasal 9

Bahan baku, bahan tambahan makanan, dan bahan penolong dan/atau produk jadi wajib diuji di laboratorium yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal

Pasal 10

(1).Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 8 dan hasil pengujian laboratorium sebagaimana dimaksud pasal 9 dilakuan evaluasi oleh tim ahli MUI.

(2).Hasil evaluasi sebagaiman dimaksud ayat (1) disampaikan kepada komisi fatwa MUI untuk memperoleh fatwa.

(3).Fatwa MUI sebagaiamana dimaksud ayat (2) berupa pemberian sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan.

Pasal 11

Persetujuan pencantuman tulisan “halal” diberikan berdasarkan fatwa dari komisi fatwa MUI.

Pasal 12

(1).Berdasrakan fatwa MUI, Direktur Jenderal memberikan: a. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat halal b. Penolakan bagi yang tudak memperoleh sertifikat halal

(2).Penolakan sebagimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b diberikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan.

Selain peraturan-peraturan di atas Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa No. 01 Tahun 2011 Tentang Penetapan Produk Halal. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam rapat Komisi dengan LP-POM MUI, pada hari Rabu tanggal 30 Muharam 1432 H/ 05 Januari 2011 M, Setelah:8

MENIMBANG: 1. Bahwa makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, dan lain-lain yang akan dikonsumsi atau dipergunakan oleh umat Islam wajib diperhatikan dan diyakini kehalalan dan kesuciannya;

8 Majelis Ulama Indonesia,

Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011) h.669

2. Bahwa produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan lain-lain yang merupakan hasil olahan sering diragukan kehalalan atau kesuciannya;

3. Bahwa oleh karena itu, produk-produk olahan sebagaimana terlampir yang terhadapnya telah dilakukan pemeriksaan, penelitian, pembahasan, dan penilaian dalam rapat Komisi Fatwa bersama LP POM MUI, Komisi Fatwa memandang perlu untuk menetapkan kehalalan dan kesuciannya untuk dijadikan pedoman oleh umat.

MEMUTUSKAN: 1. Produk-produk sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan fatwa ini ditetapkan kehalalan dan kesuciannya.

2. Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama ini mengambil peran melakukan sertifikasi produk halal. Apa yang dilakukan MUI tidak lain adalah demi memberikan jaminan dan perlindungan terhadap umat islam agar mengkonsumsi produk yang diyakini kehalalannya.

MUI juga mendirikan sebuah lembaga yaitu Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia atau yang disingkat LPPOM MUI yaitu lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji,

menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan kosmetika apakah aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi agama Islamyakni halal atau boleh dan baik untuk dikonsumsi bagi umat Muslim khususnya di wilayah Indonesia, selain itu memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat.Lembaga ini didirikan atas keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI)berdasarkan surat keputusan nomor 018/MUI/1989, pada tanggal 26 Jumadil Awal 1409 Hijriah atau 6 Januari1989.

Sebagai lembaga otonom bentukan MUI, LPPOM MUI tidak berjalan sendiri. Keduanya memiliki kaitan erat dalam mengeluarkan keputusan.

Sertifikat Halal merupakan langkah yang berhasil dijalankan sampai sekarang. Di dalamnya tertulis fatwaMUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam dan menjadi syarat pencantuman label halal dalam setiap produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika.

Untuk berhak menggunakan label “Halal” pada kemasan produk yang diproduksi ataupun pada tempat usaha, produsen harus mengajukan sertifikasi halal ke LPPOM. Adapun proses dalam permohonan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:9

1. Produsen mengajukan permohonan ke LPPOM dengan cara mengisi Borang (formulir) yang mencakup nama perusahaan, detail produk termasuk komposisi bahan yang digunakan, tempat produksi, dan juga proses pembuatannya.

9 Artikel ini diakses pada tanggal 20 Januari 2014, Pukul 10.30, dari

2. Kemudian bagian sekretariat LPPOM akan melakukan pengecekan untuk kelengkapan dokumen yang diperlukan. Jika belum komplit, maka diminta untuk segera melengkapinya. Dan bila telah sesuai maka akan dilanjutkan dengan pemberitahuan jadwal audit ke tempat produksi. Audit tersebut dilakukan oleh Tim Auditor LPPOM, dan ketika audit/pemeriksaan berlangsung, tempat usaha harus sedang melakukan kegiatan produksi. 3. Selanjutnya, setelah Tim Auditor melakukan analisis dan evaluasi

termasuk juga memperhatikan hasil lab (bila diperlukan), maka akan dilanjutkan pada tahap simpulan, yaitu melanjutkan laporannya ke Sidang Komisi Fatwa MUI (jika dinyatakan memenuhi syarat) atau ditolak/dikembalikan karena belum memenuhi standard yang syaratkan. 4. Setelah lulus tim audit, Komisi Fatwa MUI melakukan sidang guna

memutuskan layak tidaknya suatu produk mendapatkan sertifikasi Halal. Keputusan diambil berdasrkan berbagai pertimbangan, salah satunya dari laporan yang disampaikan tim auditor. Jika sidang Komisi Fatwa menyatakan telah memenuhi standard sesuai dengan kaidah Islam, maka proses berikutnya pencetakan surat sertifikat Halal.

Sertifikat Halal suatu produk memiliki masa penggunaan selama dua tahun. Tiga bulan sebelum masa sertifikat tersebut lewat, produsen wajib melakukan perpanjangan dengan proses yang serupa. Tidak ada daftar tarif tetap yang dikeluarkan oleh MUI dalam permohonan sertifikat halal tersebut, semua tergantung kesepakatan antara LPPOM MUI dan Produsen (Pemohon).

Masih banyaknya pelanggaran mengenai label halal yang dilakukan pelaku usaha khususnya usaha kecil maka pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH) yang akan disahkan menjadi Undang-Undang harus menjadi momentum untuk lebih memperkuat jaminan Negara atas berbagai produk yang dikonsumsi masyarakat.

Jaminan ini khususnya ditujukan kepada umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini, sehingga merasa tenang, aman dan nyaman dalam mengkonsumsi produk-produk yang beredar di pasar, sesuai dengan keyakinan agama yang dipeluknya.Dengan demikian, adanya sistem JPH pada makanan, minuman, obat dan kosmetik, produk kimia, produk biologi dan produk rekayasa genetika, masyarakat dan produsen akan terlindungi oleh suatu Undang-Undang yang mengatur persoalan JPH.

Ada tiga prinsip yang harus menjadi dasar dalam penyelenggaraan JPH, antara lain:10

1. Sistem JPH harus mampu memberikan jaminan dan perlindungan kepada Umat Islam untuk memperoleh dan mengonsumsi produk halal.

2. JPH harus menjamin bahwa proses dan prosedur audit dan sertifikasi yang terkait dengan proses halal harus dilakukan secara sederhana dan mudah untuk memberikan kemudahan bagi produsen dan dunia usaha.

3. JPH harus memberikan jaminan bahwa biaya audit dan sertifikasi harus murah dan proporsional.

10 Artikel ini diakses pada tanggal 20 Januari 2014, pada pukul 10.45, dari

Beberapa substansi pokok yang menjadi ruang lingkup pembahasan RUU JPH meliputi :

1. Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Dengan demikian negara menjadi aktor utama dalam menjamin kehalalan makanan, minuman, obat dan kosmetik, produk kimia, produk biologi, dan produk rekayasa genetika yang beredar di Indonesia.

2. Diperlukan suatu lembaga yang berfungsi untuk melakukan pemeriksaan dan standardisasi kehalalan produk.

3. Posisi RUU ini bisa menjadi undang-undang yang bersifat lex spesialis dalam mengatur dan menghimpun regulasi soal produk halal.

4. RUU JPH ini memperhatikan dan membedakan ranah pemerintah dan ranah syariah sehingga terjadi pemisahan antara regulator dan operator, serta komponen yang dilibatkan mendapatkan posisi sesuai dengan kompetensi dan kapasitas kelembagaannya masing-masing.

5. RUU ini akan mempertegas fungsi MUI dalam persoalan jaminan suatu produk dimana MUI difungsikan untuk menetapkan standar halal dan sistem jaminan halal, serta menetapkan fatwa halal dalam bentuk putusan fatwa.

6. Untuk kepastian pelaksanaan RUU ini, dimuat pula ketentuan sanksi pidana bagi yang melanggarnya.

Selain substansi pokok RUU JPH, terdapat pula empat substansi penting dalam RUU JPH, antara lain :

1. Sertifikasi Halal: Sertifikasi halal seyogyanya tetap menjadi kewenangan MUI yang didalamnya meliputi penetapan standar produk halal, pemeriksaan produk halal, penetapan fatwa kehalalan produk, dan penerbitan sertifikat halal.

2. Pemberian Logo Produk: Pelaksanaan mengenai pencantuman logo produk halal dilakukan oleh Badan POM. Pencantuman logo pada produk halal maupun produk non halal merupakan hak konsumen.

3. Pengawasan: Pengawasan dalam penjaminan produk halal, diantaranya meliputi pengawasan terhadap pelaku usaha (produsen), distribusi, dan peredaran produk halal.

4. Penindaka: Penindakan merupakan wilayah hukum sebagai kelanjutan dari pengawasan. Penindakan dapat dilakukan pada setiap warga negara dan objek hukum yang berdasarkan bukti hukum telah melakukan perbuatan melawan hukumdalam kaitan jaminan produk halal sebagaimana diatur dalam RUU JPH ini.

Oleh karena itu, kedudukan RUU JPH ini menjadi sangat penting bagi masyarakat umum dan pelaku usaha. Untuk itu kita berharap semoga proses pembahasannya bisa berjalan lancar dan cepat demi kebaikan bersama.Dari peraturan-peraturan di atas, Indonesia telah memiliki sederet peraturan yang menekankan dan mewajibkan perlunya label halal. Dengan adanya peraturan yang mengatur mengenai label halaldiharapkan para pelaku usaha atau produsen mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah agar konsumen muslim tidak di rugikan.

BAB IV

UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH PERLINDUNGAN TERHADAP HAKNYA

Dalama usaha meraih calon konsumen, sering kali pelaku usaha kurang memperdulikan akan hak-hak konsumen, yaitu hak atas informasi, keamanan dan keselamatan, sehingga dapat merugikan konsumen/masyarakat pengguna produk makanan dan minuman tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan konsumen dalam memperoleh perlindungan terhadap haknya adalah sebagai berikut:

A. Penyelesaian Langsung Kepada Produsen.

Yang dimaksud penyelesaian sengketa secara langsung kepada produsen yaitu konsumen dapat mengajukan komplain kepada pelaku usaha (produsen) untuk menyelesaikan masalah produk pangan dalam kemasan tanpa label halal, dengan menunjukkan bukti-bukti yang kuat berupa barang/produk, kwitansi pembelian, dan keterangan saksi-saksi. Dengan mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri berarti konsumen telah menerapkan hak dan kewajibannya. Disamping itu juga menunjukkan sikap kritis konsumen terhadap pelaku usaha.

B. Melapor keYayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Perlindungan terhadap konsumen pada hakikatnya berarti pula bahwa dorongan terhadap produsen untuk menghasilkan barang yang terjamin mutunya. Dengan demikian konsumen tidak akan mengalihkan perhatiannya pada produk luar negeri. Kepercayaan konsumen yang diterima oleh produsen

dengan sendirinya membuat produsen memperbesar volume produksinya. Ini berarti bahwa produsen akan menambah jumlah tenaga kerjanya yang akan mengurangi jumlah pengangguran di masyarakat. YLKI sebagai lembaga sosial dapat berperan aktif sebagai lembaga mediasi dalam melindungi konsumen, menumbuhkan kesadaran konsumen atas haknya, memberikan masukan kepada produsen atas kewajibannya, serta berbagai masukan kepada pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban bagi produsen dan perlindungan konsumen. Cara pengaduan konsumen melalui YLKI adalah sebagai berikut :

a. Langsung lisan dan tulisan, yaitu konsumen datang langsung ke YLKI dengan mengisi formulir pengaduan dengan menyertakan bukti-bukti yang diperlukan;

b. Melalui surat, yaitu konsumen dapat mengirimkan surat keluhan kepada YLKI dengan disertai barang bukti;

Adapun isi surat pengaduan secara tertulis itu berisi:

1. Kronologis kejadian yang dialami sehingga merugikan konsumen. 2. Wajib mencantumkan identitas dan alamat lengkap konsumen.

3. Menyertakan barang bukti atau fotocopy dokumen pelengkap lainnya (kwitansi pembelian, kartu garansi, surat perjanjian, dll).

4. Apakah konsumen sudah pernah melakukan komplain ke pelaku usaha. Jika belum pernah, maka konsumen dianjurkan untuk melakukan komplain secara tertulis ke pelaku usaha terlebih dahulu.

c. Melalui telepon, e-mail, fax;

Pengaduan melalui telepon dikategorikan menjadi dua yaitu:

1. Hanya minta informasi atau saran (advice), maka telepon itu cukup dijawab secara lisan pula dan diberikan advica pada saat itu dan selesai. 2. Pengaduannya untuk di tindak lanjuti. Jika konsumen meminta

pengaduannya ditindak lanjuti, maka si penelepon diharuskan mengirim surat pengaduan secara tertulis ke YLKI.

d. Melalui media cetak dan elektronik dimana sarana ini efektif karena diketahui oleh masyarakat dan pelaku usaha yang bersangkutan, dan YLKI juga akan membantu menyelesaikan pengaduan tersebut. Salah satu media cetak yang rutin menampung pengaduan dari konsumen yang merasa dirugikan yaitu Warta Konsumen terbitan YLKI.

Atas aduan yang diterima oleh YLKI, maka YLKI akan meneliti kebenarannya terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan sebagai bukti bahwa pembelaan YLKI terhadap konsumen bukan dilandasi oleh keinginan untuk menjatuhkan pelaku usaha, tetapi untuk menegakkan kebenaran dan membela konsumen yang dirugikan.

Setelah pengaduan konsumen tersebut diyakini kebenarannya, maka atas pengaduan tersebut akan dibuatkan surat kuasa dan Berita Acara Pengaduan yang berisi biodata konsumen dan pelaku usaha, barang-barang bukti dan materi pengaduan. Selanjutnya pengaduan tersebut siap untuk diselesaikan. Banyak cara yang ditempuh, dan cara mana yang digunakan

tergantung pada jenis dan sifat pengaduannya. Beberapa cara yang ditempuh YLKI yaitu:

1. Melalui mediasi.

Pada forum ini YLKI menghadirkan konsumen dan pelaku usaha, kemudian YLKI sebagai mediator memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya dan mengajukan tuntutan yang diinginkan, kemudian para pihak

Dokumen terkait