Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh :
Dewi Haneh Amisani NIM: 1110032100065
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
v Pola Kepemimpinan Negara Di Indonesia
Kepemimpinan menurut Baha’i dipandang tidak seperti kepemimpinan
yang ada pada umumnya, karena menurut Agama Baha’i untuk zaman saat ini tidak diperlukan lagi kepemimpinan yang bersifat individu atau perseorangan. Hal ini sudah diramalkan dalam tulisan-tulisan suci Baha’u’llah jauh sebelum Shoghi Efendi ditunjuk sebagai wali agama Tuhan. Bahwa akan ada suatu masa dimana tidak akan diperlukan lagi pemimpin perseorangan dalam agama Baha’i dan semua urusan agama Baha’i akan dijalankan oleh Lembaga. Lembaga-lembaga itu yang mengatur tanpa perlu ada jabatan seorang pemimpin, diantaranya: Majelis Rohani Setempat, majelis Rohani Nasional, dan Balai Keadilan Sedunia. Administrasi Bahai ini tidak hanya mengurusi persoalan-persoalan spiritual tetapi juga mengurusi urusan sosial kemasyarakatan. Sedangkan kepemimpinan negara di Indonesia dikenal dengan sebutan Presiden dan Wakil Presiden. Presiden Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Yang dipilih sebagaimana bunyi UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 yang mengatakan bahwa calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh Partai Politik yang telah memenuhi persyaratan.
Agama Baha’i merupakan agama yang menekankan pada persatuan seluruh umat manusia, sehingga terdapat dalam hukum agama Bahai tidak memperbolehkan umatnya ikut serta dalam partai politik. Menurutnya partai politik merupakan pemisah antara manusia satu dengan yang lainnya, memiliki kecendrungan untuk memenangkan kelompoknya masing-masing.
Meskipun demikian umat Baha’i di seluruh dunia di wajibkan untuk patuh
pada pemerintahan dimana ia berada. Termasuk umat Baha’i yang tinggal di Indonesia, meskipun ia tidak terjun dalam partai politik ia tetap melaksanakan tugas-tugasnya sebagai warga negara Indonesia yang baik.
Penelitian ini membahas tentang Konsep Kepemimpinan menurut Agama
Baha’i dan Persepsinya terhadap Pola Kepemimpinan negara di Indonesia.
Adapun tujuan adalah untuk mengetahui konsep Kepemimpinan dalam pandangan Bahai dan persepsinya terhadap pola kepemimpinan negara di Indonesia. menanggapi hukum yang melarang umat Baha’i untuk ikut campur dalam partai politik yang jika dikaitkan dengan pola kepemimpinan di Indonesia yakni pemilihan presiden Indonesia menganut sistem demokrasi yang penyangga pilar utamanya adalah partai politik dan tanggapan Umat Baha’i mengenai hal tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (field research) merupakan sumber yang di peroleh dari buku-buku terbitan Majelis Rohani Indonesia yang
merupakan buku resmi Agama Baha’i dan wawancara dengan pihak-pihak utama
penganut agama Baha’i. Sedangkan (library research) Adalah sumber yang di
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini dengan judul “Konsep Kepemimpinan Agama Baha’i dan
Persepsinya Terhadap Pola Kepemimpinan Negara di Indonesia”. Penulisan
skripsi ini dimaksudkan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana (SI) pada
program Studi Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat salam semoga selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan untuk semua umat sampai
akhir zaman. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, baik dari bahasa yang di gunakan
maupun sistematika penulisan, hal tersebut dikarenakan terbatasnya kemampuan
penulis. Namun berkat bantuan, bimbingan, serta dorongan dari berbagai pihak
akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Dengan penuh rasa hormat
penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. M. Ridwan Lubis selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu dan menyumbangkan pikiran untuk membimbing,
memberikan pengarahan, dorongan dan membantu menyelesaikan
masalah dalam proses penyusunan skripsi.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Prof.
Dr. M. Ikhsan Tanggok, Msi., Dr. M. Suryadinata, MA., dan Dr. Faizah
Ali Syibromalisi selaku pembantu Dekan Fakultas Ushuluddin
vii
diberikan kepada penulis dan sudah banyak membantu penulis dalam
mengurus semua keperluan skripsi dan sampai selesai.
4. Dra. Marjuqoh, M.A., selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membantu mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dr. Sri Mulyati, MA. Dan Syaiful Azmi, MA. Yang telah menjadi Dosen
Penguji Skripsi, dengan memberikan masukan dan kritik yang
membangun terhadap hasil skripsi ini yang lebih baik.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin yang telah mendidik penulis
memberikan ilmu, pengalaman serta pengarahan kepada penulis selama
masa perkuliahan.
7. Seluruh staf Perpustakaan Utama (PU) dan Perpustakaan Fakultas (PF)
yang sudah menyediakan buku sebagai referensi dan selalu melayani
dalam proses peminjaman buku.
8. Kedua Orang tua tercinta ayahanda Drs. Moh. Fajeri dan ibunda Siti
Murtafiah yang tak henti mendoakan serta memotivasi tanpa lelah. Atas
pengorbanan dan cinta kasihnya yang tak terhingga serta dukungan moril
dan materil yang diberikan kepada penulis. Jika ada ungkapan yang lebih
indah dan lebih pantas dari terimakasih di dunia ini, maka itu untuk mu
kedua orang tuaku. kalian adalah alasan terselesaikannya skripsi ini.
9. Kakak-kakak tersayang M. Tajudin dan M. Ibrahim yang selalu
viii
10. Adik-adik tercinta yang selalu memberikan support untuk menyelesaikan
skripsi ini.
11. Keluarga ibu Nasrin Astani dan Bapak Benedict Chee yang telah menjadi
narasumber utama dan memberikan dukungan, motivasi, bantuan tanpa
pamrih serta memberikan fasilitas perpustakaan bagi penulis. Semoga
Tuhan memberikan balasan dan posisi yang terbaik.
12. Keluarga ibu Rina yang sudah sangat membantu dan bersedia
meluangkan waktu serta memberikan ilmunya pada saat di wawancara.
13. Seluruh teman-teman seperjuangan Perbandingan Agama angkatan 2010.
Dan semua teman-teman KKN Win Project, selamat berjuang teman.
Semoga kita sukses dalam meniti karir. Tak lupa Senior dan Junior
Perbandingan Agama, yang telah memberikan support dan dukungannya
kepada penulis
14. Semua saudara-saudara yang selalu mendoakan penulis dan seluruh
orang yang tercinta serta semua pihak yang sudah turut membantu dalam
ix
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, bagi mereka yang mengerti indahnya
perdamaian dalam perbedaan dan bagi kita semua masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Akhir kata penulis mengucapkan mohon maaf apabila terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan dan penyajian skripsi ini.
Ciputat, 09 Desember 2014
Penulis,
Dewi Haneh Amisani
x DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Kegunaan Penelitian ... 9
E. Tinjauan Pustaka ... 10
F. Metode Penelitian ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II AGAMA BAHA’I DI INDONESIA ... 15
A. Sejarah Agama Bahai ... 15
B. Ajaran-ajaran dalam Agama Baha’i ... 25
C. Agama Baha’i di Indonesia ... 30
BAB III KONSEP KEPEMIMPINAN BAHA’I ... 33
A. Konsep Kepemimpinan menurut Bahai... 33
xi
BAB IV PERSEPSI UMAT BAHA’I TERHADAP KONSEP
KEPEMIMPINAN NEGARA DI INDONESIA ... 56
A. Pengertian dan Konsep Kepemimpinan di Indonesia ... 56
B. Memilih Pemimpin Negara di Indonesia ... 62
C. Persepsi Umat Baha’i terhadap Konsep Kepemimpinan Negara di Indonesia ... 66
BAB V PENUTUP ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 72
1 BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG MASALAH
Kajian agama–agama dunia sangat menarik untuk dibahas, khususnya bagi mahasiswa Ushuluddin jurusan Perbandingan Agama. Pada dasarnya agama
merupakan sarana terbesar untuk menciptakan tata tertib di dunia dan kebahagiaan
yang sentosa bagi semua yang berada didalamnya. Setiap agama memiliki
prinsip, ajaran, hukum dan kewajiban bagi pemeluknya, setiap pemeluk agama
diwajibkan untuk mentaati seluruh komponen yang ada didalam agama tersebut
untuk mendapatkan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Begitu pula dengan
agama Baha’i yang memiliki prinsip, ajaran, hukum dan kewajiban. Hal ini
merupakan pondasi dari setiap agama. Sebagai mahasiswa jurusan Perbandingan
Agama penulis mengkaji tentang agama-agama dunia khususnya ajaran-ajaran
dan hukum-hukumnya, karena setiap agama memiliki corak hukum yang
berbeda-beda. Perbedaan hukum dan ajarannya inilah merupakan suatu khazanah dalam
kehidupan umat beragama. Salah satu hukum yang menarik untuk dibahas
khususnya pada saat ini adalah tentang kepemimpinan negara, cara bagaimana
memilih pemimpin, salah satunya saat ini sedang berlangsung kampanye dari
masing-masing partai untuk mengusung calonnya agar terpilih menjadi pemimpin
negara yakni Presiden Indonesia pada pemilu 2014.
Berbicara bagaimana cara memilih pemimpin Negara, di Indonesia erat
kaitanya dengan politik. dikatakan dalam buku “Ilmu Pengantar Politik”
yang resmi, dimana ada asap disitu ada api, dimana ada pemerintahan disitu ada
politik, dan dimana ada politik disitu ada kekuasaan, yang distribusinya tidak
merata.1
Selayang pandang tentang negara, asal-usul negara selalu dikaitkan dengan
memperlihatkan adanya kelompok yang menjadi cikal bakal lahirnya masyarakat.
Setelah sejarah panjang perjalanan umat manusia, kelompok-kelompok
masyarakat yang semakin membesar dan membiak, tata aturan yang sedari awal
sudah disusun secara bersama oleh anggota komunitas dengan sanggat sederhana,
mulai mengalami gerak evolusi dengan tata nilai dan aturan yang kian kompleks.
Saat itu masyarakat mengalami fase perbesarannya dengan jejaring sistem
pemerintahan yang kian rumit dan menjadi latar bagi terbentuknya sebuah negara.
Pengertian Negara sendiri berdasarkan catatan sejarahnya yang paling
awal, yakni manusia dalam mempertahankan hidupnya selalu berkumpul
bersama-sama, diawali perkumpulan-perkumpulan yang akhirnya dapat membuka jalan
menuju suku-suku, desa-desa, kota-kota bertembok, perkebunan, kerajaan,
kekaisaran dan bagian-bagiannya, dan yang paling baru adalah Negara2. Setiap
Negara pasti mengusahakan pemerintahan yang baik bagi warga negaranya.
Pemerintahan disini bertindak sebagai pemimpin bagi warga negaranya, dan
politik merupakan alat di Indonesia dalam memilih pemimpin.
Sejak manusia pertama kali berpikir tentang politik,mereka terombang
ambing diantara dua interpretasi yang saling bertentangan secara diametrik. Bagi
1
Padmo Wahjono dan Nazarudin Syamsudin, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2009), h. 2.
2
3
sebagian orang politik secara hakiki pergolakan pertempuran. Kekuasaan
memungkinkan kelompok-kelompok dan indivudu-individu yang memegangnya
untuk mempertahankan dominasinya terhadap masyarakat dan untuk
mengeksploitirnya; kelompok dan individu lain menentang dominasi dan
eksploitasinya dengan berusaha melawan dan membinasakannya. Tafsiran
menganggap politik sebagai suatu usaha untuk menegakkan ketertiban dan
keadilan. Kekuasaannya melindungi kemakmuran umum dan kepentingan umum
(common good) dari tekanan dan tuntutan kelompok-kelompok kepentingan yang khusus. Bagi yang pertama politik bertugas untuk mempertahankan hak-hak
istimewa suatu minoritas terhadap mayoritas. Bagi yang kedua, adalah alat untuk
mengintegrasikan setiap orang dalam komunitas dan menciptakan “kota adil”
yang dibicarakan Aristoteles.
Hakekat politik memiliki arti yang sesungguhnya bahwa politik senantiasa
ambivalen. Dewa Janus yang bermuka dua adalah citra yang benar dari kekuasaan dan mengunggkapkan kebenaran politik yang paling dalam. Pada saat yang
bersamaan politik merupakan alat dominasi sekelompok tertentu atas kelompok
lain, untuk keuntungan sendiri dan kerugian bagi yang lain. Pada saat yang sama,
dia juga alat menjamin ketertiban sosial tertentu, sejenis integrasi dari semua
orang di dalam komunitas demi kepentingan umum. Paham bahwa politik
mencakup baik konflik antara individu-individu dan kelompok untuk memperoleh
kekuasaan.3
Sebuah sistem politik yang mengakui hak rakyat untuk berpartisipasi
dalam keputusan-keputusan politik, baik secara langsung ataupun tidak langsung
melalui wakil-wakil mereka yang terpilih, untuk mendistribusikan dan mengatur
kekuasaan politik dibawah pengawasan dari mayoritas adalah demokrasi.4
Dan konsep kepemimpinan di negara Indonesia dulu pada zaman orde
baru, semua kepala daerah dipilih oleh Presiden. Presiden dipilih MPR. Dan
MPR-DPR dipilih berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh melalui partai
politik, dan partai politik dipilih oleh rakyat. Kemudian runtuhnya zaman orde
baru digantikan dengan zaman reformasi, dimana Indonesia telah menganut
sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bahwa rakyat Indonesia berhak
memilih langsung siapa yang akan menjadi pemimpinnya, baik dari kepala
daerah, ketingkat DPR-MPR bahkan Presiden, rakyat Indonesia diberikan hak
suaranya untuk memilih langsung. Dengan demikian hak-hak suara untuk
menentukan pemimpin sepenuhnya diberikan kepada rakyat.
Dalam kepemimpinan negara, pemilihan presiden yang dipilih oleh rakyat,
itu mencerminkan sistem demokrasi. Untuk menjadi pemimpin di Indonesia,
selain kemampuan sebagai seorang pemimpin, ada dua kriteria lagi yang harus
terpenuhi. Pertama pemimpin negara dipilih berdasarkan moral agama. Artinya
tidak bisa seorang pemimpin negara yang atheis atau tidak mengakui adanya salah
satu agama dan Tuhan. Kedua, pemimpin negara yang memiliki kriteria
berdasarkan moral lokal bangsa Indonesia. Artinya seorang pemimpin itu harus
paham atas budaya bangsa Indonesia yang majemuk, dan memiliki rasa akan cinta
4
5
tanah air.5 Akan tetapi seorang calon pemimpin negara tidak bisa mencalonkan
dirinya untuk menjadi Presiden tanpa mengusungkan diri dari partai politik.
Pemimpin negara di Indonesia harus diusung dari partai politik. Tidak bisa
seseorang mencalonkan dirinya menjadi pemimpin secara independen.
Sedangkan dalam pandangan Agama Baha’i, agama Baha’i memiliki cara
pandang sendiri dalam kepemimpinan. Menurut umat Baha’i, agama Baha’i memiliki administrasi negara yang menurutnya unik di banding dengan
konsep-konsep yang sudah ada, karena langsung bersumber dari Sang Perwujudan Tuhan
yakni Baha’ullah yang telah merancang suatu rancangan sistem administrasi yang
mengagumkan. Rancangan ini disebut tata tertib dunia Baha’ullah, dan administrasi Baha’i adalah sebagai tata tertib itu. Perlu diketahui dalam administrasi Baha’i tidak ada kepemimpinan perseorangan. Semua aturan dan kebijakan-kebijakan masalah bangsa dipecahkan oleh Balai Keadilan sedunia.
Setiap negara diwakili oleh Majelis Rohani Nasional, dibawah Majelis Rohani
Nasional terdapat Majelis Rohani Setempat, dan setiap perwakilannya itu
berjumlah sembilan. Pada sistem pemilihannya mulai dari lembaga terendah yakni
Majelis Rohani Setempat dipilih oleh masyarakat setempatnya yang sudah berusia
21 tahun, Majelis Rohani Nasional dipilih oleh utusan-utusan yang dikirim ke
Konvensi Nasional untuk memilih siapa saja yang pantas menggemban tugas
sebagai anggota Majelis Rohani Nasional. dan Balai Keadilan Sedunia dipilih
oleh anggota-anggota Majelis Rohani Nasional untuk mengurusi masyarakat
Baha’i antar negara. Setiap wakil-wakil yang berada di Majelis-majelis Rohani
dan Balai Keadilan Sedunia tidak bisa mencalonkan ataupun dicalonkan untuk
menjadi wakil-wakil atau bagian dari kesemuanya. Ini merupakan sedikit
gambaran dari Administrasi menurut Baha’i.
Administrasi Baha’i adalah rencana Tuhan untuk zaman ini yang
ditetapkan melalui perwujudan-Nya, yaitu Baha’ullah, dan administrasi ini diciptakan untuk membawa ketertiban dan kedamaian di antara berbagai bangsa di
dunia. Oleh sebab itu agama Baha’i memberikan aturan atau hukum bagi para pemeluknya agar umat Baha’i tidak ikut terlibat dalam partai politik yang merupakan suatu sarana menjadi pemimpin di Indonesia. Dari sebab ini, penulis
ingin mengangkat judul bagaimana persepsi umat Baha’i terhadap konsep
kepemimpinan Negara di Indonesia.
Sekilas pandang tentang Agama Baha’i. Agama Baha’i merupakan agama yang ada dihampir 200 negara. Dalam buku Taman Baru, dikatakan bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa, jika kita percaya pada bapak
surgawi yang satu maka kita harus saling mengnganggap satu sama lain sebagai
saudara, anggota dari satu keluarga yakni keluarga manusia6. Umat manusia
diumpamakan sebagai suatu kebun yang luas, yang didalamnya tumbuh
berdampingan bunga-bunga yang beraneka warna, bentuk dan wanginya.
Keindahan dan daya tarik dari kebun itu terletak pada keaneka ragaman tersebut.
Agama Baha’i merupakan salah satu agama dengan jumlah penganut tidak
sebanyak agama-agama besar akan tetapi kehadiran agama Baha’i sesungguhnya
6Hushmand fathea’ zam,
7
diakui sebagai masyarakat agama. Agama Baha’i ini tetap eksis dan berkembang serta menjadi fenomena keagamaan yang menarik di penjuru dunia.7
Agama Baha’i adalah agama yang independen dan bersifat universal,
bukan sekte dari agama lain. Agama Baha’i dimulai di Iran pada abad 19. Dimulai saat pengumuman Sang Bab tahun 1844. Pada abad kedua puluh satu, jumlah
penganut Baha’i sekitar enam juta orang yang berdiam dilebih dari seratus sembilan puluh negeri di seluruh dunia. Dalam ajaran Agama Baha’i, sejarah keagamaan dipandang sebagai suatu proses pendidikan bagi umat manusia melalui
para utusan Tuhan, yang disebut “Perwujudan Tuhan”.8 Baha’ullah merupakan Perwujudan Tuhan untuk zaman ini. Ia mengaku sebagai pendidik Ilahi yang telah
di janjikan bagi semua umat dan yang di nubuatkan dalam agama-agama
sebelumnya. Ia menyatakan bahwa misinya adalah untuk meletakkan pondasi bagi
persatuan seluruh dunia.
Baha’u’llah artinya kemuliaan Tuhan, pembawa wahyu agama Baha’i serta utusan tuhan yang dipercaya sebagai “Dia yang dijanjikan segala zaman”.
Lahir di Persia pada tahun 1817 dan wafat di Palestina pada 29 Mei 1892.
Ajaran-ajaran Baha’ulah selaras dengan Ajaran-ajaran-ajaran semua agama yang ada sebelumnya, namun ajaran-ajaran Baha’ullah ditunjukkan untuk kondisi umat manusia saat ini. Seperti kita tahu, dalam tradisi-tradisi dari semua kaum ada janji
tentang masa depan ketika perdamaian dan keselarasan akan didirikan dimuka
bumi dan umat manusia akan hidup dalam kemakmuran. Umat Baha’i percaya
7
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013), h. 1.
bahwa saat yang dijanjikan itu sudah tiba, dan Baha’u’llah adalah sosok luhur
yang ajaran-ajarannya akan memungkinkan umat manusia membangun dunia
baru.
Salah satu ajaran Baha’ullah terkait dengan kasus terhangat saat ini adalah pemilihan pemimpin, yakni presiden yang mana calon-calonnya berasal dari
partai-partai politik yang berbeda. Ini merupakan hal yang menarik untuk di
angkat menjadi judul skripsi. Karena kepemimpinan negara di Indonesia, sistem
pemilihannya melalui proses partai politik, sedangkan dalam agama Baha’i
adanya suatu larangan bagi umat Baha’i untuk terlibat dalam partai politik. Kemudian timbullah ketertarikan penulis untuk mengungkapkan apa persepsi
umat Baha’i terhadap konsep kepemimpinan negara di Indonesia dengan adanya larangan umat Baha’i untuk terlibat dalam partai politik dan bagaiman umat Baha’i yang berdiam di Indonesia menyikapi hal tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan lebih
mengemukakan apa persepsi umat Baha’i terkait konsep kepemimpinan Negara di Indonesia, mengapa agama Baha’i melarang umatnya untuk terlibat dalam partai politik. Sehingga penulis mengangkat tema dengan judul “Konsep Kepemimpinan
dalam Agama Baha’i dan Persepsinya terhadap Pola Kepemimpinan Negara di Indonesia”.
B.PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
Agama Baha’i memiliki ajaran dan hukum yang tidak semua sama dengan
ajaran-ajaran agama yang lain. Ajaran dan hukum-hukum dalam suatu agama
9
melarang umatnya untuk ikut terlibat dalam partai politik. Disinilah penulis ingin
memaparkan melalui tulisan ini dan sekaligus ingin memberikan batasan yaitu
pada masalah persepsi umat bahai terhadap konsep kepemimpinan negara di
Indonesia adalah suatu yang menarik bagi penulis untuk membahasnya.
Untuk menghindari kesalah fahaman serta mencapai presepsi yang benar
dalam masalah yang hendak ditulis dan agar tidak melebar pembahasannya maka
penulis membatasi Dari latar belakang masalah yang sudah di paparkan di atas
maka penulis mengangkat pokok – pokok permasalahan dalam skripsi ini dalam bentuk pertanyaan:
1. Bagaimana konsep kepemimpinan agama Baha’i?
2. Bagaimana pandangan umat Baha’i terkait kepemimpinan negara di Indonesia?
C.TUJUAN PENELITIAN
Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan
penulis melakukan penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep kepemimpinan dalam agama Baha’i.
2. Untuk mengetahui pandangan umat Baha’i terkait kepemimpinan negara di Indonesia.
D.KEGUNAAN PENELITIAN
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
Perbandingan Agama dan juga dapat memberikan penjelasan tentang perspektif
agama Baha’i tentang kepemimpinan terkait partai politik. 2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat di jadikan rujukan bagi mahasiswa
Fakultas Ushuluddin khususnya dan mahasiswa UIN pada umumnya sebagai
wacana pengembangan, wacana keilmuan, dan terlebih lagi sebagai acuan dan
bahan pertimbangan.dan juga penelitian ini di harapkan dapat memberikan
kontribusi berupa bahan bacaan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dan di harapkan dapat Menambah khasanah keilmuan di Fakultas Ushuluddin.
Serta memberikan kontribusi pemikiran bagi seluruh masyarakat.
E.TINJAUAN PUSTAKA
Untuk mendapatkan pengakuan dan validitas yang utuh, maka penulis
melakukan kajian kepustakaan supaya penelitian yang dilakukan mendapatkan
posisi yang lebih jelas dan juga agar tidak terjadi bentuk pengulangan pembuatan
skiripsi maka di sini penulis akan memberikan tinjauan pustaka.
Dari hasil penelusuran penulis menemukan hasil penelitian yang terkait
dengan tema yang akan di teliti yaitu sebagai berikut :
Skripsi UIN Jakarta, karangan Yudha Bhakti. Berjudul “Ritual Dalam
Agama Baha’i” tahun 2012. Dalam skripsi tersebut Yudha menjelaskan konsep
ajaran agama Bahai tentang doa, sembahyang dan puasa. Ia menyinggung tentang
11
Baha’i Sedunia. Sedangkan fokus penulis terhadap model kepemimpinan umat
Baha’i yakni Administrasi Baha’i yang salah satu lembaga tertingginya adalah Balai Keadilan Sedunia. Sehingga jauh berbeda dengan penulisan skripsi
karangan Yudha Bhakti.
Dan penulis memasukkan satu tinjauan pustaka lagi, yaitu Skripsi UIN
Jakarta, karangan Aisiah berjudul “ Kedudukan Perempuan Dalam Agama Baha’i” tahun 2013. Dalam skripsi tersebut Aisiah membahas sedikit tentang Majelis Rohani Setempat, dan kemudian penulis menjelaskan bahwa ada
tingkatan yang lebih tinggi dari Majelis Rohani Setempat. Yakni Majelis Rohani
Nasional dan Balai Keadilan Sedunia. Yang itu semua merupakan
tingkatan-tingkatan model kepemimpinan dalam Agama Baha’i.
F. METODE PENELITIAN
Pemilihan metode yang tepat dalam sebuah karya ilmiah sangat membantu
untuk mencapai hasil yang optimal, oleh karena itu penulis juga menggunakan
beberapa metode yaitu:
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian ini
adalah metode penelitian Deskriptif Analitis. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu hal seperti
apa adanya.9 Kemudin dilanjutkan dengan metode analitis kritis yang artinya
memberikan uraian-uraian kritis dan sistematis terhadap pokok-pokok
pembahasan dan permasalahan tanpa adanya upaya memberikan penilaian tertentu
9
terhadap pembahasan skripsi ini. Hal ini bertujuan demi menghasilkan alur yang
jelas dan sistematis.
2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mempermudah penelitian selain mengumpulkan data dari sumber
kepustakaan, Penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data,
diantaranya yaitu:
a. Penelitian Lapangan (field research) guna mengumpulkan data sebagai pelengkap dan pembanding.
b. Wawancara (interview), yakni penulis mengumpulkan data dengan
cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung kepada
pemeluk agama tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan skripsi
ini. Sifat wawancara yang digunakan adalah wawancara tak terstruktur
Wawancara ini adalah wawancara bersifat bebas dimana peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara
sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman
wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan. Wawancara tak berstruktur yang
disebut juga wawancara terbuka, digunakan dalam penelitian
pendahuluan atau untuk penelitian yang lebih mendalam tentang
subjek yang diteliti. Peneliti berusaha mendapatkan informasi awal
tentang berbagai isu atau permasalahan yang ada pada objek, sehingga
peneliti dapat menemukan secara pasti permasalahan apa yang harus
13
secara pasti data apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti lebih
banyak mendengarkan apa yang diceritakan oleh narasumber.
Berdasarkan analisis terhadap setiap jawaban dari narasumber, maka
peneliti dapat mengajukan berbagai pertanyaan berikutnya yang lebih
terarah pada suatu tujuan.10
3. Sumber Data
a. Data Primer
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah wawancara
langsung kepenganut agama Baha’i dan menggunakan buku-buku terbitan Majelis Rohani Indonesia yang merupakan buku resmi
Agama Baha’i.
b. Data Sekunder
Adalah sumber yang di peroleh dari buku-buku dan literatur
kepustakaan atau sejenisnya, artikel-artikel di surat kabar dan internet
yang relevan dengan kebutuhan penelitian ini.
4. Jenis Data
Jenis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Kualitatif. Penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, motivasi, tindakan, dll. secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
10
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.11
Berkaitan denga teknik penulisan, Penulis merujuk pada buku yang
dijadikan pedoman di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu judul “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta; CeQDA
UIN, 2007).”
G.SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mendapatkan gambaran dan mempermudah telaah skripsi ini,
penulis membagi skripsi ini kedalam lima bab.
Bab I: merupakan bab pendahuluan yang berisi antara lain, latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II: pada bab ini penulis akan memuat pembahasan tentang sejarah
agama Baha’I, ajaran agama Baha’i dan agama Baha’i di Indonesia.
Bab III: pada bab ini penulis akan memuat pembahasan tentang konsep
kepemimpinan menurut Baha’i, Syarat memilih Majelis Rohani dan Bentuk Administrasi Baha’i.
Bab IV: pada bab ini penulis akan memuat pembahasan tentang pengertian
dan konsep kepemimpinan di Indonesia, memilih pemimpin di Indonesia dan
persepsi umat Baha’i terhadap kepemimpinan negara di Indonesia.
Bab V: merupakan bab penutup yang isinya memuat kesimpulan, daftar
pustaka dan lampiran-lampiran.
11
15 BAB II
AGAMA BAHA’I DI INDONESIA
A.Sejarah Agama Baha’i
Agama Baha’i merupakan salah satu agama dengan jumlah penganut tidak
sebanyak agama-agama besar, akan tetapi kehadiran agama Baha’i sesungguhnya diakui sebagai masyarakat agama.12Agama Baha’i ini tetap eksis dan berkembang
serta menjadi fenomena keagamaan yang menarik di penjuru dunia. Umat Baha’i
bertempat tinggal di 191 negara dan 46 wilayah teritorial13 dan mereka semua
berasal dari berbagai kepercayaan yang berlainan bahkan bertentangan. Mereka
dahulunya ada yang beragama Budha, Yahudi, Islam, Zoroaster, Hindu, Protestan,
Katolik dan tidak jarang dari mereka yang sebelumnya tidak menganut agama
sama sekali. Mereka semua menemukan sesuatu dalam ajarah Baha’i yaitu apa yang dapat mempersatukan mereka dan menjadikan mereka saudara-saudara yang
saling mencintai.14
Agama Baha’i adalah agama yang independen dan bersifat universal,
bukan sekte dari agam lain. Pada tanggal 23 Mei 1844 menandai suatu era baru
dalam sejarah manusia. Seorang pembawa wahyu yang dijanjikan Tuhan telah
hadir untuk menjadikan perdamaiaan dan keselarasan yang akan didirikan di
bumi. Fajar hari yang baru itu menyaksikan munculnya tidak hanya satu, tapi dua
12
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013), h. 1.
13Agama Baha’i
(T.Tp: Majelis Rohani Nasional Bahai Indonesia, 2013), h. 32.
14
Perwujudan Tuhan,15 yaitu Sang Bab dan Baha’u’llah.16Agama Baha’i dimulai di
Iran pada abad 19. Dalam ajaran Agama Baha’i, sejarah keagamaan dipandang
sebagai suatu proses pendidikan bagi umat manusia melalui para utusan Tuhan,
yang disebut “Perwujudan Tuhan”. Baha’ullah merupakan Perwujudan Tuhan untuk zaman ini. Ia mengaku sebagai pendidik Ilahi yang telah di janjikan bagi
semua umat dan yang di nubuatkan dalam Agama-agama sebelumnya. Baha’i adalah agama yang terorganisir yang menyatakan bahwa misi atau tujuan
utamanya adalah untuk meletakkan pondasi bagi persatuan seluruh umat manusia.
Pada kurun zaman Sang Bab dari tahun 1844 hanya berlangsung selama
Sembilan tahun. Tujuan utamanya adalah mempersiapkan jalan bagi kedatangan
Sang Suci Baha’u’llah pembawa Wahyu Tuhan yang dijanjikan itu. Walaupun singkat, namun kurun zaman Sang Bab mempunyai kehebatan rohani yang begitu
besar sehingga pengaruhnya dapat dirasakan selama beratus-ratus generasi
mendatang.17
1. Sang Bab
Sang Bab yang bernama Sayyid „Ali Muhammad, dilahirkan pada tanggal 20 Oktober 1819 di Shiraz, sebuah kota dibagian selatan negeri Iran atau Persia. Ia
lebih dikenal dengan gelarnya Sang Bab, kata Bab berarti “Pintu Gerbang”. Pintu
atau gerbang suatu kerajaan baru, yakni kerajaan Tuhan di bumi. Kebanyakan
15Kata “mewujudkan” artinya memunculkan, menyingkapkan sesuatu yang sebelumnya
tidak diketahui. Para Perwujudan Tuhan adalah orang-orang khusus yang menyampaikan firman dan kehendak Tuhan kepada manusia.
16
Ibi, Perwujudan Kembar (T.Tp: Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, t.t), h. 2.
17
17
orang di Iran adalah penganut Islam sekte Syi’ah yang menunggu kedatangan seorang yang dijanjikan Tuhan yang bernama Qa’im. Kata Qa’im artinya bangkit.
Sang Bab berasal dari keluarga terkemuka dan mulia yang merupakan
keturunan Nabi Muhammad. Ayah-Nya18 meninggal ketika Sang Bab Masih
kecil, dan Ia dibesarkan oleh paman-Nya (dari pihak ibu) yang memasukkan-Nya
ke sekolah pada saat ia masih muda. Ia dikirim kepada seorang guru yang
mengajarkan Al-Qur’an dan pelajaran-pelajaran dasar. Meskipun Sang Bab telah dianugrahi dengan pengetahuan bawaan dan tidak perlu diajari oleh manusia,
namun Ia mengikuti keinginan paman-Nya. Tetapi dari masa kanak-kanan Sang
Bab berbeda dari anak-anak yang lain sehinnga guru-Nya segera mengetahui
kemampuan Sang Bab dan menyadari bahwa dia tidak mampu mengajari anak
yang luar biasa itu.
Sang Bab masih sangat muda ketika Ia mengumumkan diri kepada
orang-orang mengenai Misi yang telah Tuhan Berikan kepada-Nya. Ia berumur dua
puluh lima tahun pada waktu itu. Selama masa muda-Nya, Sang Bab
menunjukkan tanda-tanda kekuasaan dan keagungan yang tidak tertandingi oleh
siapapun. Sudah tampak pula sifa-sifat yang luar biasa yang menjadi ciri-ciri
misi-Nya yang singkat dan tragis itu. Sewaktu Sang Bab mengumumkan hakikat-misi-Nya
sebagai seorang Perwujudan Tuhan, baik paman maupun guru-Nya percaya
kepada-Nya karena mereka telah mengenal-Nya sejak Ia masih kecil , dan melihat
perbedaan diantara Dia dan anak-anak lainnya. Paman-Nya bahkan meninggal
sebagai Syuhada.19
Sebelum Sang Bab mengumumkan Misi-Nya, beberapa orang diseluruh
dunia mengetahui dalam lubuk hati mereka bahwa yang dijanjikan akan segera
datang. Salah satu orang yang sholeh itu adalah Khazim Rasyti, pemimpim
mazhab Syaikhiyah yang tinggal di kota suci Syi’ah Karbila Irak. Sayyid Khazim mempunyai banyak murid, dan dia mengabdikan hidupnya untuk mempersiapkan
mereka akan kedatangan Sang Qa’im yang telah lama di tunggu.
Setelah Sayyid Khazim wafat, pada tahun 1844 seorang murid Sayyid
Khazim bernama Mulla Husayn pergi kesebuah masjid untuk berdoa dan
bermeditasi selama 40 hari. Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh gurunya
yang bernama Sayyid Khazim, agar Mulla Husayn mencari Qa’im. Ia setelah
menyelesaikan masa empat puluh harinya itu, kemudian ia meninggalkan Irak
dengan ditemani oleh dua orang dan mulai mencari Dia yang Dijanjikan.
Mula-mula dia pergi ke Bushihr, dan dengan adanya suatu yang kuat dia segera ke arah
utara, berangkat ke Shiraz.20
Pada akhirnya ia bertemu dengan Bab, yang menyatakan bahwa dirinya
adalah Qa’im yang dijanjikan. Sang Bab menunjukan kepada Mulla Husayn, dengan bukti-bukti yang jelas dan tepat, bahwa beliaulah Qa’im yang dijanjikan. Ia menulis dengan cepat bagian pertama dari tafsir Al-Qur’an surat Yusuf, kemudian Ia menyampaikan kata-kata berikut kepada Mulla Husayn:
19Hushmand fathea’ zam,
Taman Baru (T.Tp : Majelis Rohani Nasional Bahai Indonesia, 2009), h. 29.
20
19
“Wahai engkau yang pertama beriman kepada-Ku! Sesungguhnya aku katakan, Akulah Bab, pintu Tuhan dan engkaulah Babul-Bab pintu dari
pintu itu.”
Sang Bab mengajarkan bahwa banyak tanda dan peristiwa yang ada dalam
kitab-kitab suci harus dimengerti dalam arti kias, bukan arti harfiah. Pengumuman
Sang Bab ini terjadi pada malam tanggal 23 Mei 1844, pada saat itu Beliau
berusia 25 tahun. Kata “Bab” berarti pintu atau gerbang. Sang Bab mengumumkan bahwa seorang utusan Tuhan yang lain akan segera muncul, yang
akan menyatukan semua orang di dunia dalam satu keluarga.
Jumlah pengikut Sang Bab berkembang dengan cepat, Sang Bab
mendapatkan banyak penganut tetapi juga mendapatkan tantangan keras
pemerintah dan pemimpin agama. Sang Bab dipenjarakan dibenteng Mahku
dipegunungan Azerbijan, yang penduduknya bersuku Kurdi, tetapi menyambutnya
dengan ramah. Kemudian Sang Bab dipenjarakan lagi di benteng Chihriq tetapi
itu juga tidak berhasil mengurangi pengaruhnya.21 Pada tahun 1850 Sang Bab
dimatisyahidkan yang pada saat itu Sang Bab baru berusia 31 tahun. Sang Bab
mengorbankan hidupnya agar orang-orang didunia mengerti tujuan hidup mereka
dan menghadap kerajaan Tuhan yang kekal. Sang Bab mengorbankan hidup-Nya
untuk menyiapkan kedatangan Baha’ullah.22
2. Baha’u’llah
Baha’u’llah merupakan seorang yang bernama Mirza Husyn Ali,
dilahirkan pada tanggal 12 November 1817 di Teheran, ibukota Persia. Ayahnya,
21
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-agama Minor (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2013), h. 117.
22Baha’u’llah artinya kemuliaan Tuhan, pembawa wahyu agama Baha’i serta utusan
Mirza Buzurg, adalah seorang bangsawan terkemuka yang memiliki kedudukan
tinggi di istana Raja Persia. Sejak kecil, Baha’u’llah telah menunjukkan tanda -tanda kebesaran dan memperlihatkan pengetahuan serta kebijaksanaan yang
sangat luar biasa. Dia tidak belajar di sekolah umum dan hanya menerima sedikit
pelajaran dirumah. Dengan semakin tumbuh dan dewasanya Baha’u’llah, tanda -tanda kebesarannya pun semakin nyata, karena Ia di anugrahi Tuhan dengan
pengetahuan bawaan.
Ketika mencapai usia remaja, Ia termasyhur karena kecerdasan-Nya yang
tinggi, akhlak-Nya yang unggul, serta kasih sayang dan kedermawanan-Nya. Ia
mampu memecahkan masalah-masalah yang pelik dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang rumit dan besar. Tetapi walaupun memiliki kemampuan yang
luar biasa, ia tidak pernah mengejar kedudukan dan pangkat. Ketika ayah-Nya
meninggal, Baha’u’llah diminta mengikuti jejeak ayahnya dan menggantikan
kedudukannya di istana Raja, namun dia menolak. Dia tidak tertarik pada gelar
dan pangkat didunia ini. Keinginannya adalah membela kaum miskin dan
melindungi orang-orang yang tidak mampu. Pada usia delapan belas tahun,
Baha’u’llah menikahi Asiyih Khanum dan rumah mereka menjadi tempat berteduh bagi semua orang.
Pada saat Baha’u’llah berusia dua puluh lima tahun, Ia menerima surat dari Sang Bab yang berisi beberapa tulisan suci, yang dikirimkan oleh pengikut Sang
Bab bernama Mulla Husayn, merupakan amanat Sang Bab yang diterima pada
21
peristiwa bersejarah itu. Baha’u’llah langsung naik saksi akan kebenaran wahyu Sang Bab dan bangkit memajukan ajaran-Nya.
Sang Bab merujuk kepada Baha’u’llah sebagai “Dia yang akan Tuhan wujudkan”. Tulisan sang Bab dalam kitab paling suci-Nya, Al-Bayan, berisi rujukan pujian yang tak terhitung banyaknya terhadap Ia yang akan Tuhan
wujudkan. Berikut ini kutipan dari tulisan sang Bab berupa pandangan sekilas
tentang kedudukan Baha’u’llah:
“Dan ketahuilah dengan pasti bahwa Surga artinya mengenal dan tunduk
kepada Dia yang akan Tuhan wujudkan, dan api neraka artinya berada bersama jiwa-jiwa yang tidak mau tunduk pada-Nya atau berserah dari rida-Nya.”
“Katakanlah, sesungguhnya rida Dia yang akan Tuhan wujudkan adalah
rida Tuhan, sedangkan ketidaksenangan Dia yang akan Tuhan wujudkan tak lain adalah ketidaksenangan Tuhan.”
Para pejabat pemerintah, tidak ingin mengakui kebenaran yang
diumumkan oleh sang Bab, mereka mulai menganiaya orang-orang yang beriman
kepada-Nya, dengan demikian dimulailah berbagai penderitaan Baha’u’llah. Pada tahun 1852, Ia ditangkap dan dirantai di salah satu penjara yang paling
mengerikan di Teheran. Dalam penjara itu, Tuhan mewahyukan kepada
Baha’u’llah bahwa Dialah orang yang dijanjikan oleh sang Bab dan semua nabi
pada masa lampau.
Setelah dipenjara selama empat bulan, Baha’u’llah diasingkan dalam waktu kurang lebih 40 tahun dari tanah air-Nya dari Teheran ke Persia, Baghdad,
Konstatinopel/ Adrianopel kemudian diasingkan lagi dengan membuang-Nya
lebih jauh lagi yaitu ke Akka. Akka adalah penjara tempat para penjahat dan
bagi umat manusia, termasuk kitab Al-Aqdas,23 kitab tersuci-Nya. Selama
tahun-tahun terakhir masa hidupnya, Baha’u’llah tinggal dirumah Bahji yang terletak
diluar tembok kota.
Pada bulan Mei 1892 Baha’u’llah wafat. Tempat persemayaman-Nya, yang sekarang dikelilingi oleh taman yang indah, merupakan tempat tersuci
dibumi. Akka dan Haifa yang terletak didekatnya, merupakan pusat administratif
dan rohani bagi masyarakat Baha’i yang berjuang menegakkan tatanan dunia Baha’u’llah dan kesejahteraan umat manusia.24
3. Abdul Baha’
Abdul-Baha25 adalah putra sulung Baha’u’llah dan Asiyih Khanun, dilahirkan pada tanggal 23 Mei 1844 di Teheren, tepat ketika sang Bab
mengumumkan Misi-Nya. Ketika Baha’u’llah wafat, Ia menyerahkan pelaksanaan rencana Ilahi-Nya ke tangan putranya. Ia mengangkat Abdul-Baha’ sebagai pusat perjanjiannya dan sebagai juru tafsir sabda-sabda-Nya serta meminta kepada para
pengikutnya agar mendapat bimbingan dari Abdul-Baha’.
Nama Abdul-Baha’ memiliki arti hamba Baha’. Abdul-baha’berusia
delapan tahun ketika Baha’ulla dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah yang mengerikan. Sejak masa kanak-kanan Ia dengan sukarela ikut serta dalam
penderitaan-penderitaan ayah-Nya yang Ia cintai. Ia menyertai Baha’u’llah dalam
23
Kitab Al-Aqdas, merupakan buku utama Agama Baha’i yang ditulis oleh pendiri agama
Baha’i, Baha’u’llah. Ini memiliki status yang sama seperti Al-Qur’an bagi umat Islam, Al-Kitab bagi umat Kristen. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab al-Kitabu l-Aqdas, tetapi sering disebut
23
perjalanannya yang sulit dari Teheran ke Baghdad dan melewatkan empat puluh
tahun dari hidupNya sebagi tawanan dan orang buangan. Akhirnya sewaktu
Abdul-Baha dibebaskan, usianya sudah lanjut.
Setelah wafatnya Baha’u’llah agama Baha’i mengalami perkembangan
yang diteruskan oleh anaknya, yaitu Abdul Baha hingga menyebar kebelahan
dunia yang lain. Dalam wasiatnya Baha’u’llah menunjuk Abdul Baha sebagai
pusat perjanjian dan juru tafsir agama Baha’i, hal itu untuk menjamin agar agama Baha’i tidak mengalami perpecahan. Baha’u’llah sendirilah yang mendidik Abdul Baha agar memiliki semua sifat seorang Baha’i yang sejati. Ia merupakan anugrah paling berharga yang diberikan kepada umat manusia. Teladan yang sempurna
dari semua ajaran Baha’i. Dari kehidupan-Nyalah kita belajar sifat-sifat rohani seperti cinta, kasih sayang, kesabaran, kedermawanan dan lain-lain.26
Setelah ayahnya wafat tanggung jawab untuk membimbing masyarakat
Baha’i jatuh dipundaknya. Dia menulis ribuan loh kepada individu dan kelompok
untuk menjelaskan ajaran-ajaran ayah-Nya. Semua tulisannya merupakan bagian
yang sangat penting dari tulisan-tulisan agama Baha’i. Dengan berpusat pada
Abdul Baha sebagai pusat perjanjian Baha’u’llah, orang-orang Baha’i diseluruh
dunia tetap bersatu dalam usaha mereka untuk hidup secara Baha’i dan untuk
menciptakan peradaban baru.
Abdul Baha memulai perjalanannya selepas dari pengasingan dan
pemenjaraan yang panjang. Ia melakukan perjalanan keberbagai negara,
diantaranya Mesir, Inggris, Skotlandia, Perancis, Amerika Serikat, Jerman,
26Agama Baha’i,Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, 2008
Austria dan Hungaria guna mengumumkan prinsip-prinsip ajaran agama Baha’i. Abdul Baha hidup selama 77 tahun dan meninggal pada tanggal 28 November
1921 di Haifa dan dikuburkan disalah satu ruang dari makan sang Bab. Dalam
wasiatnya Abdul Baha menunjuk cucu tertuanya Shoghi Effendi Rabbani sebagai
Wali Agama Baha’i dan setelah Abdul Baha wafat, Shoghi Effendi menjadi
penafsir yang sah dari ajaran-ajaran Baha’i.
4. Shoghi Effendi
Shoghi effendi dilahirkan pada tanggal 1 Maret 1897. Ibunya adalah putri
Abdul Baha dan ayahnya adalah keluarga dekat dengan sang Bab. Abdul baha
telah menamakan Shoghi effendi “mutiara yang paling mengagumkan yang unik
dan tak ternilai, yang berkilau dari lautan kembar yang bergelombang dan dahan
suci yang telah bercabang dari pohon-pohon suci kembar. Karena dalam dirinya,
keluarga sang Bab dan Baha’u’llah menjadi satu.
Selama masa hidupnya, Shoghi effendi menterjemahkan banyak tulisan
suci Baha’i, melaksanakan berbagai rencana global untuk pengembangan
masyarakat Baha’i, mengembangkan pusat Baha’i sedunia, melakukan surat -menyurat dengan banyak masyarakat dan individu Bahai diseluruh dunia dan
membangun struktur administrasi Baha’i yang mempersiapkan jalan untuk
25
sebelum ia meninggal lebih dari 4200 pusat Baha’i telah didirikan didunia, dan
literatur Baha’i telah diterjemahkan kedalam lebih dari 200 bahasa.27
Shoghi effendi meninggal dunia pada tanggal 4 November 1957 di london,
sewaktu ia sedang pergi untuk membeli bahan-bahan untuk pembangunan gedung
lembaga-lembaga Administrasi Baha’i di tanah Suci yang merupakan Gedung Arsip Internasional, yang didalamnya tersimpan tulisan-tulisan asli sang Bab dan
Baha’u’llah, maupun peninggalan-peninggalan lain yang berharga.
B.Ajaran-ajaran dalam Agama Baha’i
a. Kesatuandan Keanekaragaman
Baha’u’llah telah mengajarkan kepada kita kesatuan umat manusia. Semua
manusia adalah ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Jika kita percaya kepada Bapa
Surgawi yang satu, maka kita harus saling menggap satu sama lain sebagai
saudara, anggota dari satu keluarga, yakni keluarga manusia. Agama Bahá’í percaya bahwa semua manusia adalah satu dan setara dihadapan Tuhan dan
mereka harus diperlakukan dengan baik, harus saling menghargai dan
menghormati. Segala bentuk prasangka baik ras, suku bangsa, agama, warna kulit,
jenis kelamin dan lain-lain harus dihilangkan dan prasangka merupakan
penghalang terbesar bagi terwujudnya suatu kehidupan yang damai dan harmonis
di dalam suatu masyarakat yang beraneka ragam.28
“Orang-orang yang dianugerahi dengan keikhlasan dan iman, seharusnya bergaul dengan semua kaum dan bangsa di dunia dengan perasaan gembira dan hati yang cemerlang, oleh karena bergaul dengan semua orang telah memajukan dan akan terus memajukan persatuan dan kerukunan, yang
27Hushmand fathea’ zam,
Taman Baru (T.Tp : Majelis Rohani Nasional Bahai Indonesia, 2009), h. 55.
pada gilirannya akan membantu memelihara ketenteraman di dunia serta memperbarui bangsa-bangsa.” (Bahá’u’lláh)
b. Pendidikan Universal
Bahá’u’lláh memberi kewajiban kepada orangtua untuk mendidik anak -anak mereka, baik perempuan maupun laki-laki. Di samping pelajaran
keterampilan, keahlian, seni, dan ilmu pengetahuan, dan yang paling diutamakan
adalah pendidikan akhlak dan moral anak-anak. Tanpa pendidikan, seseorang
tidak mungkin mencapai seluruh potensinya atau memberikan kontribusi positif
kepada masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan haruslah universal dan wajib bagi
semua. Jika orang tua mengabaikan pendidikan anak-anaknya, mereka
bertanggung jawab dihadapan Tuhan. Inilah perintah Baha’u’llah:
“telah diwajibkan bagi setiap ayah agar mendidik para putra-putrinya dalam kepandaian membaca dan menulis .... ”
“Kami menetapkan bagi semua manusia, apa yang akan memuliakan
Firman Tuhan di tengah hamba-hamba-Nya, dan juga akan memajukan dunia wujud dan meluhurkan jiwa-jiwa. Sarana terbaik untuk mencapai tujuan itu adalah pendidikan anak-anak. Semua orang harus berpegang
teguh pada hal itu.”
Tujuan pendidikan haruslah mendidik laki-laki dan perempuan agar
percaya bahwa “Bumi hanyalah satu tanah air dan umat manusia warganya”
dengan demikian mereka memberikan cinta mereka dan pengabdian mereka demi
perbaikan seluruh dunia. Jika orang-orang memakai cara pendidikan seperti ini,
maka hanya akan memerlukan satu generasi untuk mendirikan persatuan seluruh
umat manusia.
c. Persamaan Hak antara Perempuan dan Laki-laki
Tuhan telah menciptakan kita semua sebagai manusia, dan tak ada
27
penyayang, anak laki-laki maupun perempuan sama-sama dicintai. Abdul Baha
berkata bahwa: “ Baha’u’llah telah mengatakan bahwa kedua-duanya (laki-laki dan perempuan) adalah manusia, dan dalam pandangan Tuhan mereka adalah
sama, karena masing-masing saling melengkapi dalam rencana ciptaan Ilahi.
Satu-satunya perbedaan diantara mereka dalam pandngan Tuhan adalah kesucian dan
kejujuran dalam perbuatan dan tindakan mereka, karena Tuhan lebih menyukai
orang yang hampir menyerupai gambaran rohani Sang Pencipta.29
Harus tersedia kesempatan yang sama bagi perkembangan wanita dan pria,
terutama kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Wanita dan pria
adalah bagaikan dua belah sayap dari burung kemanusiaan. Perkembangan
seluruh kemampuan dan potensi masyarakat hanya dapat diwujudkan bila kedua
sayapnya itu sama kuat.
“Umat manusia bagaikan seekor burung dengan kedua sayapnya: laki-laki dan perempuan. Burung itu tak dapat terbang ke langit kecuali kedua sayapnya
kuat dan digerakkan oleh kekuatan yang sama.” (Abdu’l-Bahá) Kesetaraan penuh dan kesadaran yang kuat akan kemitraan antara perempuan dan laki-laki sangatlah
penting bagi kemajuan manusia dan transformasi masyarakat.
d. Penghapusan Prasangka
Bahá’u’lláh mengajarkan bahwa segala bentuk prasangka harus dihapuskan, baik prasangka kebangsaan, ras, politik maupun keagamaan. Selama
orang-orang masih berpegang pada prasangka, kita tidak akan mendapatkan
perdamaian di bumi ini. Semua peperangan yang telah terjadi di masa lalu, segala
29
pertumpahan darah, disebabkan karena prasangka-prasangka itu. Masyarakat
Bahá„i percaya bahwa semua jenis prasangka dapat dihilangkan melalui proses
pendidikan yang memberikan keleluasan pencarian kebenaran secara bebas tanpa
paksaan dan tekanan.30
“Wahai anak-anak manusia! Tidak tahukah engkau mengapa Kami menjadikan engkau semua dari tanah yang sama? Supaya yang satu janganlah
meninggikan dirinya di atas yang lainnya. Renungkanlah selalu dalam kalbumu
bagaimana engkau dijadikan. Karena Kami telah menjadikan engkau semua dari
zat yang sama, maka adalah kewajibanmu untuk menjadi laksana satu jiwa,
berjalan dengan kaki yang sama, makan dengan mulut yang sama, dan berdiam
dalam negeri yang sama…” (Bahá’u’lláh)
e. Mencari Kebenaran Secara Independen
Setiap manusia telah dibekali oleh Sang Pencipta dengan
instrumen-instrumen yang diperlukan untuk dapat menentukan jalan kebenarannya secara
bebas dan mandiri. Kebenaran adalah tunggal bila diselidiki secara bebas, dan
kebenaran tidak menerima perpecahan. Oleh karena itu penyelidikan kebenaran
secara independen akan mengarah pada kesatuan umat manusia. Melalui
penyelidikan kebenaran secara mandiri dan independen kemanusiaan dapat
terselamatkan dari kegelapan ikut-ikutan dan akan mencapai pada kebenaran.
Hanya bila keyakinan itu ia dapat melalui cara ini, ia dapat menikmati kemajuan
jasmani dan rohaninya di dunia ini.31
30
www.Bahaiindonesia.org Diakses pada senin 13 oktober 2014.
31
29
Ketahuilah bahwa Tuhan telah menciptakan dalam diri manusia kekuatan
pikiran agar dia mampu menyelidiki realita. Tuhan tidak bermaksud agar manusia
secara buta mengikuti nenek moyangnya. Dia telah memberikan pikiran dan akal
dengan mana ia menyelidiki dan menemukan kebenaran; dan apa yang dia temui
sebagai benar dan nyata haruslah dia terima. Dia tidak boleh menjadi imitator dan
pengikut buta dari siapapun. Dia tidak boleh hanya bergantung pada pendapat dari
siapapun tanpa penyelidikan.
“Wahai Putra Roh! Di dalam pandangan-Ku, keadilanlah yang teramat Kucintai; janganlah berpaling darinya jika engkau menginginkan Daku, dan
janganlah mengabaikannya agar Aku percaya padamu. Dengan pertolongannya
engkau akan melihat dengan matamu sendiri, bukan dengan mata orang lain, dan
engkau akan mengetahui melalui pengetahuanmu sendiri, bukan melalui
pengetahuan orang lain. Pertimbangkanlah hal ini dalam hatimu, bagaimana
engkau seharusnya. Sesungguhnya, keadilan adalah pemberian-Ku dan tanda
kasih sayang-Ku kepadamu. Maka letakkanlah keadilan di depan matamu.
(Bahá’u’lláh)
f.Surga dan Neraka
Para perwujudan Tuhan telah menerangkan adanya ganjaran dan hukuman
melalui kiasan dan perumpamaan. Ganjaran dan hukuman sangatlah perlu agar
ada tata tertib di dunia. Ganjaran dan hukuman adalah konsekuensi yang wajar
bagi perbuatan-perbutan kita. Semua pesuruh Tuhan dimasa lampau telah
berusaha untuk menyadarkan kita bahwa apa yang kita kerjakan di dunia ini tidak
kematian kita. Jika perbuatan-perbuatan kita baik, ini akan memberikan hasil yang
baik dan akan menjadi sebab kebahagiaan abadi; jika perbuatan-perbuatan kita
buruk, ini akan membawa hasil yang buruk pula dan menyebabkan penderitaan
yang abadi bagi kita.32
C.Agama Baha’i di Indonesia
Masuknya Agama Bahá’i di Indonesia berdasarkan catatan yang ada, berawal di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Jamal Effendi merupakan orang yang
dipilih oleh Bahá’u’lláh untuk mengadakan perjalanan ke India. Ia tiba di India sekitar tahun 1875. Selain mengunjungi beberapa wilayah di India, Ia juga
mengunjungi Sri Langka. Pada perjalanan-perjalanan berikutnya, Ia didampingi
oleh Sayyid Mustafa Rumi termasuk kunjungan ke Burma (Myanmar), pada tahun
1878 dan juga Penang (sekitar tahun 1883).
Pada sekitar tahun 1884-1885, mereka meninggalkan usaha dagang
mereka di Burma dan kembali melakukan perjalanan ke India. Dari sini mereka
melanjutkan perjalanan ke Dacca (sekarang dikenal dengan nama Dhaka, ibu kota
Bangladesh), kemudian ke Bombay dan setelah tinggal di sana selama tiga
minggu, mereka pergi ke Madras.
Dari Madras, Jamal Effendi dan Sayyid Mustafa Rumi berlayar ke
Singapura ditemani dua orang pelayan yaitu Shamsu’d-Din dan Lapudoodoo dari Madras. Setelah mendapatkan ijin untuk berkunjung ke Jawa, mereka tiba di
Batavia (Jakarta), dimana mereka ditempatkan di pemukiman Arab, Pakhojan.
Mereka hanya diijinkan untuk mengunjungi kota-kota pelabuhan di Indonesia oleh
32
31
pemerintah Belanda. Sayyid Mustafa Rumi, yang sangat berbakat dalam
mempelajari bahasa, segera menguasai bahasa Melayu, menambah daftar panjang
bahasa-bahasa yang telah dikuasainya. Dari sini mereka berkunjung ke Surabaya,
dan sepanjang garis pantai, mereka juga singgah di pulau Bali dan kemudian
Lombok. Disini, melalui kepala bea cukai, mereka diatur untuk bertemu dan
disambut oleh Raja yang beragama Buddha dan permaisurinya yang beragama
Islam, dan mereka berbicara mengenai hal-hal kerohanian dengan Raja dan
permaisurinya. Pemberhentian mereka selanjutnya adalah Makassar, di pulau
Sulawesi. Menggunakan sebuah kapal kecil mereka berlayar ke pelabuhan
Pare-Pare.33
Mereka disambut oleh Raja Fatta Arongmatua Aron Rafan dan anak
perempuannya, Fatta Sima Tana. Fatta Sima Tana, belakangan, menyiapkan
surat-surat adopsi untuk dua orang anak asli Bugis, bernama Nair dan Bashir, untuk
membantu dan mengabdi di rumah di Akka. Sang Raja juga sangat tertarik dengan
agama baru ini. Lalu mereka melanjutkan perjalanan ke Sedendring, Padalia dan
Fammana dengan menggunakan sampan, mereka melanjutkan perjalanan
sepanjang sungai sampai mereka tiba dengan selamat di Bone. Disini, Raja Bone,
seorang lelaki muda dan terpelajar, meminta mereka untuk menyiapkan suatu
buku panduan untuk administrasi kerajaan dan Sayyid Mustafa Rumi melaporkan
bahwa mereka telah menulisnya sejalan dengan ajaran-ajaran Bahá’i. Karena batas kunjungan empat bulan yang secara tegas diberikan oleh Gubernur Belanda
di Makassar, mereka meninggalkan Sulawesi menuju ke Surabaya dan kemudian
33
kembali ke Batavia. Setelah itu kembali ke Singapura dan ke bagian-bagian lain di
Asia Tenggara. Bashir, salah satu anak laki-laki Bugis itu, berhasil mencapai
Akka dan bekerja di rumah Bahá’u’lláh. 34 Tidak banyak sejarah yang
menceritakan bagai mana proses penyebaran agama Baha’i ini di Indonesia, hanya catatan singkat utusan Baha’u’llah jamal effendi yang di tugaskan memberitahukan agama baru ini keberbagai penjuru wilayah. Selebihnya tidak
diketahui bagaimana umat Baha’i bisa tersebar di Indonesia.
34
33 BAB III
KONSEP KEPEMIMPINAN BAHA’I
A.Konsep Kepemimpinan menurut Baha’i
Secara umum kepemimpinan dilihat dari segi etimologinya mempunyai
arti yang berasal dari kata dasar “pimpin” (dalam bahasa Inggris “lead”) berarti
bimbing atau tuntun, dengan begitu didalamnya ada dua pihak yaitu yang
dipimpin (umat) dan memimpin (imam). Setelah dilengkapi dengan awalan “ke-“
menjadi “kepemimpinan” (dalam bahasa Inggris “leadership”) berarti kemampuan
dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar
melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang
bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok. Setiap memimpin
ada sasaran dan tujuan yang hendak dicapai. Ada orang atau sejumlah orang yang
bertekad mencapai tujuan itu. Pemimpin menjadi pemberi ilham, pemberi
dorongan, penggerak dan perintis jalan ketujuan.35
Agama Baha’i memiliki aturan dalam hal kepemimpinan, seperti yang
tertuang dalam administrasi Baha’i. Kepemimpinan menurut Baha’i dipandang tidak seperti kepemimpinan yang ada pada umumnya, karena dalam agama Baha’i
untuk zaman saat ini tidak ada yang namanya kepemimpinan perseorangan.
Karena setelah wali Agama Tuhan yakni Shoghi Efendi meninggal tidak ada lagi
yang namanya kepemimpinan perseorangan. menurutnya untuk zaman saat ini
tidak diperlukan lagi kepemimpinan yang bersifat individu ataupun perseorangan.
Hal ini sudah diramalkan dalam tulisan-tulisan suci Baha’u’llah jauh sebelum
35
Shoghi Effendi ditunjuk sebagai wali agama Tuhan. Bahwa akan ada suatu masa
dimana tidak akan diperlukan lagi pemimpin perseorangan dalam agama Baha’i
dan semua urusan agama Baha’i akan dijalankan oleh lembaga. Oleh karena itu
agama Baha’i mengatakan bahwa kepemimpinan dalam pandangan agama Baha’i
adalah agama tanpa kepemimpinan perseorangan.
Dalam pandangan agama Baha’i kita umat manusia semua adalah sama, hal ini merujuk pada sejarah, bahwasannya pada zaman dulu perlu ada
sekelompok orang yang bertugas untuk mengatur urusan-urusan agama dalam
masyarakat. Orang-orang biasa pada waktu itu buta huruf atau tidak mempunyai
waktu untuk mempelajari agama mereka dengan sungguh-sungguh. Oleh karena
itu, mereka menugaskan beberapa orang tertentu yang tidak mempunyai pekerjaan
dalam hidupnya kecuali belajar agama dan mengawasi umatnya agar mematuhi
hukum-hukumnya. Oleh karena itulah ada Brahmin diantara umat Hindu, Biksu
dalam umat Budha, pendeta untuk umat Nasrani dan Alim ulama bagi umat
Islam.36
Berbeda dengan agama Baha’i, yang memang dengan sengaja meniadakan
hal semacam jabatan atau profesi sebagai kependetaan atau ahli agama yang
dijadikan sebagai ladang untuk mencari nafkah. Inilah salah satu ciri yang
membedakan penyebaran agama bahai yang tidak banyak diketahui siapa tokoh
penyebar agamanya. Dalam buku Taman Baru dikatakan Baha’u’llah bersabda “bahwa meskipun pada zaman dulu jabatan ini dibutuhkan, namun tidak diperlukan lagi pada zaman kita ini.” Baha’u’llah mengajak masing-masing dari
36
35
kita agar mencari kebenaran bagi diri sendiri. Dengan begitu kita dapat melihat
dengan mata kita sendiri dan bukan melalui mata orang lain, mendengar dengan
telinga kita sendiri dan mengerti dengan kekuatan pikiran atau pengertian kita
sendiri.
Orang-orang Baha’i diharapkan dapat mencari pengetahuan lebih dalam dan lebih banyak mengenai agamanya dengan jalan menyelidiki kebenaran
sendiri. Setiap orang Baha’i harus berdoa untuk dirinya sendiri, tidak bolleh
membayar orang lain untuk mendoakan dia. Orang Baha’i harus memohon sendiri rahmat dan pengampunan dari Tuhan, tidak memerlukan seorang pendeta untuk
melakukan hal itu melalui ritual dan upacara buatan manusia. Setiap orang Baha’i
dapat berhubungan dengan Tuhan melalui perwujudan-Nya, dan tidak perlu ada
perantara diantara dia dan Baha’u’llah.
Dalam pandangan agama Baha’i memang banyak sekali pendeta dan
ulama yang baik dan hebat, tetapi dalam setiap zaman banyak perpecahan dalam
agama yang disebabkan karena mereka. Diumpamakan ada dua pendeta atau
ulama hidup bersebelahan disuatu tempat. Mereka tidak selalu sependapat dalam
pemecahan masalah agama, dan ketidaksetujan mereka telah banyak
menimbulkan kesulitan di dunia. Ada yang berpendapat pendeta atau ulama yang
ini yang benar, sedangkan yang lainnya percaya bahwa yang lainlah yang benar.
Dengan demikian, perpecahan muncul dalam setiap agama. Lambat laun terbentuk
banyak sekte dan orang-orang bertentangan satu sama lain mengenai tafsir dari
tulisan-tulisan suci mereka. Hal ini menimbulkan peperangan bahkan
Perpecahan semacam ini tidak akan terjadi dalam agama Baha’i. Karena dalam agama Baha’i tidak ada pendeta atau ulama yang dapat membentuk sekte atau kelompok diantara para mukmin. Dalam agama Baha’i semua adalah setara. Juga, tak seorangpun mempunyai hak untuk menafsirkan ajaran dan tulisan
Baha’u’llah. Kewenangan ini hanya diberikan kepada Abdul Baha oleh Baha’u’llah sendiri, dan setelah Abdul Baha, hak untuk menafsirkan hanya
diberikan kepada Shoghi Efendi. Inilah sebabnya mengapa ditiadakannya lagi
kepemimpinan perseorangan. karena ditakutkan menimbulkan perpecahan
diantara umat Baha’i. Baha’u’llah telah menghapuskan lembaga kependetaan dan
keulamaan ini agar tak seorangpun dapat menyalahgunakan agama untuk
kepentingan pribadi dan duniawi.
B.Dasar Hukum Memilih Majelis Rohani
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam pandangan agama Baha’i tidak
ada konsep kepemimpinan perseorangan. Disinilah letak yang berbeda mengenai
kepemimpinan dibanding dengan sistem ataupun konsep yang ada mengenai
kepemimpinan itu sendiri. Dalam kitab Aqdas, Baha’u’llah memerintahkan bahwa
jika orang dewasa Baha’i berjumlah sembilan orang atau lebih disuatu tempat,
maka majelis rohani setempat harus dibentuk.37 Majelis rohani ini merupakan
suatu badan yang akan mengabdi kepada masyarakat ditempat itu. Berikut hal-hal
yang perlu diperhatikan untuk memilih majelis Rohani.
1. Mereka dapat memilih majelis mereka hanya pada tanggal 21 April, yakni
hari peringatan pengumuman Baha’u’llah. Pada hari itu Baha’u’llah
37
37
mengumumkan Diri ditaman Ridwan, bahwa Ia adalah Dia yang dijanjikan
oleh segala zaman. Tanggal 21 April adalah hari pertama dari hari raya
Ridwan yang berlangsung selama 12 hari, dan hanya pada hari pertama
orang-orang Baha’i dapat memilih majelis rohani mereka. Jika suatu majellis tidak dipilih dalam waktu 24 jam mulai dari terbenamnya
matahari pada tanggal 20 April hingga terbenamnya matahari pada tanggal
21, maka dalam tahun itu majelis rohani tidak dapat dipilih dan harus
menunggu tanggal 21 April tahun berikutnya.
2. Hanya orang Baha’i yang berumur 21 tahun keatas yang dapat memilih dan dipilih untuk menjadi anggota majelis rohani. Misalnya, diantara 60
orang Baha’i yang ada disuatu desa ada 35 orang pria dan wanita yang
berumur 21 tahun keatas, maka hanya 35 orang inilah yang dapat memilih
majelis rohani mereka; dan anggota-anggota yang mereka pilih harus juga
dari 35 orang Baha’i itu.
3. Setiap orang yang memilih, harus menulis nama-nama kesembilan38 orang
yang ia anggap patut menjadi anggota majelis rohani. Kertas pemilihan itu
tidak berlaku jika tertulis lebih atau kurang dari sembilan nama orang
Baha’i, atau satu nama diulang.
4. Orang-orang tidak dipilih menjadi anggota majelis rohani karena kekayaan
atau kemasyhurannya dalam masyarakat, atau karena mereka pernah
memperlihatkan kebaikan terhadap kita dan kita ingin membalas budi
kepadanya. Orang-orang harus dipilih karena kesungguhan hati dan
38