• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Populasi Dan Potensi Bioprospeksi Keruing Gunung (Dipterocarpus Retusus Bl.) Di Taman Nasional Gunung Rinjani, Provinsi Ntb.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Populasi Dan Potensi Bioprospeksi Keruing Gunung (Dipterocarpus Retusus Bl.) Di Taman Nasional Gunung Rinjani, Provinsi Ntb."

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK POPULASI DAN POTENSI BIOPROSPEKSI

KERUING GUNUNG (

Dipterocarpus retusus

Bl.) DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG RINJANI, PROVINSI NTB

ABDUL AZIS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Populasi dan Potensi Bioprospeksi Keruing Gunung (Dipterocarpus retusus Bl.) di Taman Nasional Gunung Rinjani, Provinsi NTB adalah benar karya saya dari arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun dari perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, September 2015

Abdul Azis

(3)

ABDUL AZIS. Berjudul Karakteristik Populasi dan Potensi Bioprospeksi Keruing Gunung (Dipterocarpus Retusus Bl.) Di Taman Nasional Gunung Rinjani, Provinsi NTB. Dibimbing oleh ERVIZAL AM. ZUHUD dan RITA KARTIKA SARI.

Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) memiliki flora bernilai ekonomi tinggi, yaitu keruing gunung (Dipterocarpus retusus Bl.). Keruing gunung merupakan tumbuhan dengan habitus pohon yang berasal dari famili Dipterocarpaceae. Masyarakat sekitar hutan TNGR belum memanfaatkan potensi tumbuhan tersebut kecuali sebagai bahan bangunan dan kayu bakar. Penelitian ini bertujuan menganalisis vegetasi berupa semai, pancang, tiang, dan pohon. Selain itu, menguji ekstrak yang paling aktif sebagai antibakteri dan menguji kandungan kelompok metabolit sekunder pada ekstrak teraktif tersebut.

Keruing gunung memiliki potensi sebagai obat. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk melindunginya dari kepunahan. Salah satu kriteria untuk menentukan prioritas dalam melindungi suatu spesies adalah dengan menentukan struktur vegetasi Keruing gunung. Parameter ekologi keruing gunung diamati dan diukur dengan menggunakan petak tunggal ukuran 100 m x 100 m (1 ha) sebanyak 25 plot pengamatan. Setiap plot berbentuk persegi dengan ukuran 20 m x 20 m.

Berdasarkan pengamatan dan perhitungan bahwa keruing gunung memiliki 5.000 individu semai, 3.728 individu pancang, 88 individu tiang dan 60 individu pohon. Sampel berupa kulit batang dan daun yang diekstraksi dengan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya (etanol, etil asetat, n-heksana dan kloroform). Ekstrak kloroform pada daun dan ekstrak etil asetat pada kulit paling aktif dalam menghambat bakteri Staphylococcus aureus. Kedua ekstrak teraktif tersebut memiliki nilai daya hambat, yaitu ekstrakfraksi kloroform daunsebesar 17,5 mm dan ekstrak etil asetat kulitsebesar 17 mm. Nilai konsentrasi kedua ekstrak tersebut sama, yaitu 20.000 ppm.

(4)

ABDUL AZIS. Population Characteristics and Potential of Bioprospecting Keruing Gunung (Dipterocarpus retusus Bl.) in the National Park of Mount Rinjani, NTB. Supervisor are ERVIZAL AM. ZUHUD and RITA KARTIKA SARI.

The National Park of Mount Rinjani (TNGR) is a flora of high economic value, namely keruing gunung (Dipterocarpus retusus Bl.). Keruing gunung is a plant with habitus trees originating from Dipterocarp family. Forest communities TNGR have not take the advantages of these plants potential yet exceptas building material and firewood. The aim of this study to found the most active extracts which tested as antibacterial and to determine the content of secondary metabolites group on the most active extracts, and also to analyze the vegetation of seedlings, saplings, poles and trees.

Keruing gunung has potential as a drug. Therefore, it is necessary to protect keruing gunung from extinction. One of the criteria to determine the priority of species protecting is to determine the structure of keruing gunung vegetation. Analyse of keruing gunung by observed parameters and measured by using single plot sized of 100 m x 100 m (1 ha) with 25 plot observations. Each square shaped plot sized of 20 m x 20 m.

Based on the observation and calculation, keruing gunung had 5.000 individual seedlings, saplings 3.728 individuals, 88 individuals and 60 individuals pole tree. Samples in the form of bark and leaves were extracted with a different solvent polarity level (ethanol, ethyl acetate, n-hexane and chloroform). Chloroform extract of the leaves and ethyl acetate extract of the skin was found to be the most active in inhibiting the bacteria

Staphylococcus aureus. Both the most of active extracts had inhibitory value, ie chloroform extract of 17,5 mm and ethyl acetate extract of 17 mm. Both of these extracts had the same concentration, that was 20.000 ppm.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

KARAKTERISTIK POPULASI DAN POTENSI BIOPROSPEKSI

KERUING GUNUNG (

Dipterocarpus retusus

Bl.) DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG RINJANI, PROVINSI NTB

ABDUL AZIS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dengan judul Karakteristik Populasi dan Potensi Bioprospeksi Keruing Gunung (Dipterocarpus retusus Bl.) di Taman Nasional Gunung Rinjani, Provinsi NTB dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 sampai April 2015 bertempat di hutan Desa Salut SPTN 1 TNGR kabupaten Lombok Utara NTB, Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA IPB dan Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia IPB.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS dan Dr Ir Rita Kartika Sari, MSi selaku komisi pembimbing; Dr Ir Iwan Hilwan, MS selaku dosen penguji luar komisi, serta seluruh dosen dan staf Pascasarjana Konservasi Biodiversitas Tropika atas segala ilmu dan bimbingan yang diberikan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada kepala dan seluruh staf Balai TNGR, Bapak Supriyatin staf Laboratorium Kimia Kayu, Ibu Heni Ismiyantini staf Laboratorium Mikrobiologi dan Ibu Nunung Nuryanti staf Laboratorium Kimia Analitik, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istriku, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

(10)

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

2.4 Aspek Pemanfaatan Keruing Gunung 6

2.4.1 Kayu 6

2.4.2 Minyak Keruing 7

2.4.3 Etnobotani Keruing Gunung 7

2.4.4 Potensi Keruing Gunung Sebagai Sediaan Obat 8

2.5 Bakteri Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi dan Mekanisme Kerja Antibiotik 8

2.5.1 S. aureus 8

2.5.2 S. typhi 8

3 METODE 9

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 9

3.2 Status Populasi Keruing Gunung 9

3.2.1 Analisis Vegetasi 9

3.2.2 Analisis Data 10

3.3 Uji Potensi Bioprospeksi 11

3.3.1 Penetapan Kadar Air Simplisia (AOAC 1995) 11

3.3.2 Ekstraksi (Harborne 2006) 11

3.3.3 Uji Aktivitas Antibakteri 11

3.3.4 Analisis Fitokimia 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 13

4.1 Kondisi populasi keruing gunung di SPTN1 TNGR, Resort Santong 13 4.1.1 Pengukuran Kondisi Populasi Berdasarkan Kelas Diameter Batang 15

4.1.2 Indeks Kekayaan Jenis (Margaleft)/R 16

4.1.3 Pola Penyebaran Keruing Gunung 16

4.2 Potensi Bioprospeksi 17

4.2.1 Kadar Air Simplisia 17

4.2.2 Rendemen Ekstraksi 17

4.2.3 Aktivitas Antibakteri 18

4.2.4 Fitokimia Ekstrak Teraktif 21

(11)

1 Pengelompokkan aktivitas antibakteri menurut Stout (1971) 5

2 Perbandingan dua jenis bakteri uji 6

3 Kriteria dalam analisis vegetasi 10

4 INP tertinggi setiap tingkat pertumbuhan keruing gunung 13

5 Nilai indeks kekayaan Margalef keruing gunung berbagai tingkat pertumbuhan 15 6 Indeks Morishita dan pola penyebaran keruing gunung di hutan SPTN 1 TNGR Resort

Santong

17 7 Nilai rendemen ekstrak etanol kulit batang dan daun keruing gunung dan hasil fraksinasinya 19

8 Diameter zona hambat bakteri uji 21

9 Hasil uji fitokimiafraksi kloroform daun dan etil asetat kulit batang keruing gunung

DAFTAR GAMBAR

21

1 Peta Penyebaran Populasi Keruing di Dunia 4

2 (a) bunga dan buah D. retusus; (b) anakan D. retusus; (c) pohon D. retusus 4

3 Model petak pengamatan 9

4 Kondisi populasi keruing gunung di Resort Santong, SPTN 1 TNGR 13 5 Kondisi populasi keruing gunung berdasarkan kelas diameter pohon 15 6 Hasil uji daya hambat tertinggi antibakteri S. aureus fraksi etil asetat kulit keruing gunung 20 7 Hasil uji daya hambat tertinggi antibakteri S. aureus fraksi kloroform daun keruing gunung 20

DAFTAR LAMPIRAN

1 Gambar hasil uji fitokimia ekstrak etanol kulit batang dan daun keruing gunung 26 2 Bagan alir ekstraksi kulit batang dan daun keruing gunung 27

3 Cara penentuan rendemen ekstrak 28

4 INP keruing gunung pada tingkat pertumbuhan semai 30

5 INP keruing gunung pada tingkat pertumbuhan pancang 31

6 INP keruing gunung pada tingkat pertumbuhan tiang 33

7 INP keruing gunung pada tingkat pertumbuhan pohon 34

8 Daftar spesies hasil pengamatan pada petak pengamatan 35

9 Cara menghitung jumlah individu keruing gunung tiap hektar 36

10 Cara menghitung Indeks kekayaan Margalef 37

11 Menghitung Indeks Morishita tingkat pertumbuhan semai keruing gunung pada petak 5,17 dan 25 dengan yang sama Xi=3

38 12 Menghitung Indeks Morishita tingkat semai keruing gunung pada petak 6,9,15,19,20, dan

24 dengan Xi = 2

39 13 Menghitung Indeks Morishita tingkat semai keruing gunung pada petak tingkat semai pada

petak 7,8,13 dan 21 dengan Xi=1

40 14 Menghitung Indeks Morishita tingkat semai keruing gunung pada petak tingkat semai pada

petak 10 dan 11 dengan Xi = 3

41 15 Menghitung Indeks Morishita tingkat semai keruing gunung pada petak tingkat semai pada

petak 10 dan 11 dengan Xi = 3

42 16 Menghitung Indeks Morishita tingkat semai keruing gunung pada petak tingkat semai pada

petak 10 dan 11 dengan Xi = 3

(12)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keruing gunung (Dipterocarpus retusus Bl.) merupakan salah satu pohon dari famili Dipterocarpaceae yang terancam punah karena pemanfaatan kayunya yang tinggi tanpa diikuti dengan budidayanya (Salan 2000). International Union for Concervation of Nature(IUCN) pada tahun 2002 menetapkan keruing gunung sebagai spesies hampir punah (critically endangered/CR). Keruing gunung merupakan pohon yang memiliki kayu dengan kelas awet III dan kelas kuat II (Kartawinata 1983). Sejak tahun 2005-2015 kebutuhan ekspor kayu olahan keruing termasuk keruing gunung mencapai US$ 4.426.954 (BPS 2015). Penggunaan kayu keruing dan deforestasi yang tinggi memicu kepunahan keruing gunung di alam, sehingga diperlukan upaya untuk mengkonservasinya.

Konservasi sumberdaya hutan merupakan pengelolaan pemanfaatan potensi hutan secara berkelanjutan yang mencakup tiga aspek, yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Ketiga aspek ini satu sama lain saling bersinergi. Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) mengupayakan konservasi keruing gunung dengan luas areal 365 ha yang berada di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) 1 Resort Santong, Kabupaten Lombok Utara (PHKA 2009). Selama ini keruing gunung di TNGR dimanfaatkan kayunya. Hal ini dikhawatirkan akan mengancam populasi keruing gunung di TNGR. Bentuk pemanfaatan lainnya seperti potensi bagian daun dan kulit batang keruing gunung sebagai bahan obat-obatan belum dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan TNGR.

Selain memberikan manfaat kayu, keruing gunung juga berpotensi sebagai sumber obat-obatan. Secara empiris, masyarakat suku Dayak memanfaatkan kulit batang keruing gunung sebagai obat luka atau infeksi kulit secara turun-temurun (Kajita et al. 1998). Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa ekstrak etanol kulit batang keruing gunung yang terdeteksi mengandung senyawa fenolik berupa ε -viniferinmampu menghambat pertumbuhan sel kanker (IC505,1µg/mL) (Muhtadiet al. 2006). Pembuktian potensi keruing gunung sebagai obat antiluka atau infeksi kulit hingga kini belum dibuktikan secara ilmiah. Oleh karena itu, uji aktivitas ekstrak kulit batang dan daun keruing gunung sangat perlu dilakukan.

Bioprospeksi merupakan serangkaian kegiatan pencarian senyawa baru yang berasal dari tumbuhan, hewan, dan mikroba yang memiliki prosepek ekonomi hingga dapat dipatenkan. Menggali potensi bioprospeksi berbasis pengetahuan lokal etnis saat ini sangat jarang dilakukan. Keruing gunung yang dimanfaatkan kulit batangnya oleh masyarakat tradisional suku Dayak sebagai antiluka akan dieksplorasi kandungan kelompok senyawa kimia yang berperan sebagai antibakteri. Untuk menentukan senyawa yang berperan sebagai antibakteri sangat diperlukan penelitian lebih lanjut. Pada penelitian ini hanya ditentukan potensi antibakteri dan eksplorasi golongan senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri.

Jika pemanfaatan yang terkandung dalam keruing gunung sebagai sediaan obat terbukti secara ilmiah, maka secara alami akan mendorong masyarakat untuk mengkonservasi keruing gunung secara suka rela. Kerelaan tersebut dapat terwujud melalui usaha pembudidayaan keruing gunung oleh masyarakat sekitar TNGR. Zuhud

(13)

tumbuhan secara suka rela jika potensi yang diberikan dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, suatu strategi yang dapat mendukung konservasi keruing gunung di TNGR melalui penambahan nilai manfaat secara berkelanjutan disebut bioprospeksi sangat diperlukan saat ini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, penelitian untuk mengungkap status kondisi populasidi TNGR perlu dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Kajian bioprospeksi dan analisis vegetasi sebagai bahan baku obat sangat jarang dilakukan. Kajian bioprospeksi perlu dilakukan untuk mengeksplorasi potensi antibakteri dan kandungan golongan senyawa yang bertanggung jawab sebagai antibakteri yang terkandung dalam ekstrak etanol kulit batang dan daun. Analisis vegetasi perlu dilakukan untuk mengetahui struktur populasi keruing gunung pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang maupun pohon. Permasalahan yang ingin dijawab pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah kondisi populasi keruing gunung di TNGR dengan identifikasi struktur populasinya?

2. Bagaimanakah potensi bioprospeksi melalui pengujian aktivitas antibakteri?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menentukan potensi bioprospeksi keruing gunung melalui uji aktivitas antibakteri ekstrak daun dan kulit batang keruing gunung serta fraksi hasil penapisannya dan uji fitokimia fraksi teraktif. Tujuan lainnya adalah mengungkap status kondisi populasi keruing gunung di TNGR melalui identifikasi struktur populasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberikan data dan informasi tentang keruing gunung meliputi keadaan populasinya di TNGR yang dapat menstimulus aksi konservasi keruing gunung kepada semua pihak terkait dan potensi bioprospeksi sebagai antibakteri. Selain itu, sebagai dasar dalam mengambil acuan dalam penelitian berikutnya.

.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi, Morfologi, dan Penyebaran

2.1.1 Taksonomi

Ada pun klasifikasi keruing gunung adalah sebagai berikut: Kingdom : Tumbuhan/plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Theales

Family : Dipterocarpaceae Genus : Dipterocarpus

(14)

2.1.2 Morfologi

Keruing gunung umumnya berupa pohon sedang sampai besar, dengan ketinggian tajuk mencapai 65 m dan batang lurus, bulat gilig, gemangnya sering lebih dari 150 cm hingga 260 cm. Batang dan ranting mengeluarkan resin apabila dilukai, terkadang amat berlimpah. Ranting-ranting berambut, kasar atau halus, dengan bekas melekatnya daun penumpu yang tampak jelas. Daun-daun berseling, tunggal, seperti jangat, sangat bervariasi dalam ukuran, dengan urat daun sekunder menyirip lurus jelas terlihat di sisi bawah daun. Helaian daun menggelombang dan melipat di antara urat daun sekunder. Daun penumpu besar, lebar, sedikit menebal, lekas gugur. Perbungaan tunggal atau dalam tandan pendek yang bercabang. Bunga besar, aktinomorf, berkelamin 2; daun kelopak 5 helai, tidak gugur, menyatu menjadi tabung yang membungkus bakal buah, dua taju di antaranya panjang atau semuanya pendek (Saridanet al.2011).

Buah geluk berukuran besar, terbungkus kelopak, sering dengan pelebaran tabung kelopak serupa sayap sempit atau gigir membujur di sisi luar, lima buah. Taju atau cuping kelopak di ujung buah membentuk dua sayap yang besar dan tiga taju kecil serupa telinga, atau lima taju kecil-kecil (Lemmens & Soerianegara 1994).

Keruing gunung mengalami musim perbungaan raya. Pada musim-musim itu, yang berlangsung beberapa tahun sekali, pohon-pohon keruing berbunga dan berbuah banyak sekali (Newman et al. 1999). Masa berbunga berlangsung beberapa hari saja, dan tiga sampai lima bulan kemudian buahnya telah masak. Buahnya tidak memiliki masa dormansi dan berkecambah di tanah tak lama setelah jatuh dari pohon. Bahkan pada waktu cuaca basah sekali, adakalanya buah berkecambah tatkala masih menempel di rantingnya (Ashton 1982).

2.1.3 Penyebaran

Keruing gunung (Dipterocarpus retusus Bl.) merupakan salah satu tumbuhan famili Dipterocarpaceae. Sinonim dari dari spesies ini adalah Dipterocarpus balsamiferus dan nama lokal beberapa daerah: Pale (Lombok dan Bali), Palahlar (Sunda), Jempinang (Jawa), dan Langan (Sumsel) serta memiliki nama perdagangan yaitu keruing gunung. Di Indonesia, tumbuhan ini tumbuh di beberapa wilayah yang meliputi Sumbawa, Lombok, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan, dan Aceh (Heyne 1987).

Dipterocarpaceae merupakan salah satu famili besar dengan jumlah spesies di seluruh Indonesia mencapai 238 spesies, tergolong dalam sembilan marga yang sebagian kecil spesies tumbuh di Pulau Jawa. Secara geografis, persebaran spesies dari suku Dipterocarpaceae di Indonesia tidak merata di setiap pulau, bahkan persebaran ke arah timur keanekaragamannya semakin kecil (Bawa 1998). Sebaran Dipterocarpaceae sebagian besar di Kalimantan (200 spesies; 57,5%), Sumatera (111 spesies; 31,9%), dan Jawa (10 spesies; 2,6%) (Ashton 1982).

(15)

ketinggian tempat bisa lebih 1 berikut menjelaskan peta ditandai dengan garis mera negara-negara kawasan Asi dan kawasan hutan Asia T Tenggara, tidak terdapat popul gunung disajikan pada gamba

Gambar 1 P Taman Nasional Gunun yang hanya terdapat pada hut Kayangan, Kabupaten Lom TNGR bahwa luas kawasan mengelompok.

Gambar 2 (a) bunga da Sumber: a. Ashton (198

a

bih dari 900 m dpl (Heyne 1987). Secara lebih de peta penyebaran populasi keruing yang ada di

erah dan pemberian warna hijau pada peta I sia Tenggara. Keruing tersebar di wilayah hut Tenggara, sedangkan di luar kawasan Indone populasi keruing (Gambar 1). Contoh gambar pohon mbar 2.

Peta Penyebaran Populasi Keruing di Dunia unung Rinjani (TNGR) memiliki spesies ke da hutan dataran tinggi di kawasan Desa Salut

ombok Utara, Provinsi NTB. Berdasarkan da san populasi keruing gunung sekitar 1 ha dan t

dan buah keruing gunung; (b) anakan keruing (c) pohon keruing gunung

(1982) b. Istomo dan Siregar (2003) c. Balai TN

b c

(16)

2.2 Bioprospeksi

Bioprospeksi pada dasarnya adalah manfaat keanekaragaman hayati dan pengatahuan tradisional untuk mendapatkan sumber genetik dan senyawa biokimia yang bernilai ekonomi tinggi (Reid et al. 1993: Posey 1997). Bioprospecting

(bioprospeksi) merupakan kependekan dari biodiversity prospecting. Di dalam bioprospeksi terdapat serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan senyawa bioaktif baru melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati.

Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian, pengumpulan, ekstraksi, dan pemilihan sumberdaya hayati serta pengetahuan tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi. Kegiatan bioprospeksi penting untuk mendokumentasikan sumberdaya genetik dan sekaligus mengembangkan manfaat ekonominya sebelum sumberdaya ini habis tereksploitasi. Oleh karena itu, keanekaragaman, struktur, dan komposisi vegetasi sebagai sumber genetik dan komponen utama habitat perlu dikaji dan dianalisis. Bioprospeksi dapat digunakan sebagai alternatif strategis pemanfaatan sumberdaya hutan pengganti kayu. Bioprospeksi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui cara tradisional dan ilmiah.

Keruing gunung merupakan tumbuhan bernilai ekonomi, pemanfaatannya cukup luas yang meliputi kepeluan furniture, konstruksi bangunan hingga bantalan rel kereta api. Meskipun secara umum telah diketahui fungsi ini, namun upaya bioprospeksi dapat terus dilakukan, terutama bila dikaitkan dengan upaya konservasi jenisnya pada suatu kawasan konservasi tertentu, misalnya TNGR di Provinsi NTB.

2.3 Antibakteri

Antibakteri adalah zat yang membunuh atau menekan pertumbuhan atau reproduksi bakteri. Suatu antibakteri dapat memiliki spektrum luas apabila dapat membunuh bakteri Gram negatif dan Gram positif, spektrum sempit apabila antibakteri hanya membunuh bakteri Gram positif atau Gram negatif saja, dan spektrum terbatas apabila antibakteri efektif terhadap satu spesies bakteri tertentu saja (Dwijoseputro 1990). Cara kerja antibakteri ada yang bersifat mematikan bakteri (bakterisida) dan ada yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri disebut sebagai bakteriostatik (Masfria 2000). Kerja antibakteri dipengaruhi oleh konsentrasi zat uji, jumlah bakteri, adanya bahan organik, dan pH (Pelezar & Chan 1986). Berdasarkan aktivitasnya, zat antibakteri dibedakan menjadi dua, yaitu antibakteri yang memiliki aktivitas bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) dan aktivitas bakterisidial (membunuh bakteri). Antibakteri bakteriostatik bekerja dengan cara menghambat perbanyakan populasi bakteri dan tidak mematikan. Pada kadar yang tinggi, antibakteri bakteriostatik juga bertindak sebagai bakterisida (Schunacket al.1990).

Stout (1971) dalam Maryuni (2008) mengelompokkan antibakteri ke dalam 3 kelompok, yaitu antibakteri dengan aktivitas rendah, sedang, kuat dan sangat kuat. Tabel 1 Pengelompokan aktivitas antibakteri menurut Stout (1971)

Aktivitas Diameter zona hambat (mm)

Rendah <5

Sedang 5-10

Kuat 10-20

(17)

Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme bakteri. Antibakteri hanya dapat digunakan jika mempunyai sifat toksik selektif, artinya dapat membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya (Cowan 1999). Faktor-faktor yang berpengaruh pada aktivitas zat antibakteri adalah pH, suhu stabilitas senyawa, jumlah bakteri yang ada, lama inkubasi dan aktivitas metabolisme bakteri. Antibakteri dapat dibedakan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu antibakteri yang menghambat pertumbuhan dinding sel, antibakteri yang mengakibatkan perubahan permeabilitas membran sel atau menghambat pengangkutan aktif melalui membran sel, antibakteri yang menghambat sintesis protein, dan antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel. Aktivitas antibakteri dibagi menjadi 2 macam yaitu aktivitas bakteriostatik (menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh bakteri patogen) dan aktivitas bakterisidal (dapat membunuh bakteri patogen) (Lay 1994).

Berdasarkan fitokimianya, antibakteri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori yang meliputi senyawa fenolik dan polifenol, terpenoid, minyak esensial, alkaloid, pektin, dan polipeptida. Senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai satu atau dua gugus hidroksil. Brock dan Madigan (1991) menyatakan bahwa pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan kerusakan sel yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan antibakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau mikrostatik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Menurut Pelczar dan Chan (2008), penghambatan aktivitas bakteri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, penghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, penghambat sintesis sel bakteri, dan penghambat sintesis asam nukleat.

Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalahS. aureus(Gram positif) dan

S. typhi(Gram negatif). Perbandingan karakteristik kedua bakteri tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 (Pelezar & Chan 2008).

Tabel 2 Perbandingan karakteristik dua jenis bakteri uji

Spesifikasi S. aureus S. typhi

Golongan Gram positif Gram negatif

Bentuk Kokus Batang

Ukuran 0,5-3 µm 0,5-3 µm

Penyakit yang ditimbulkan Infeksi saluran kemih, infeksi luka

Radang usus, meningitis, Infeksi sistem syaraf

Habitat Kulit manusia Dalam usus manusia dan

hewan vertebrata lain

2.4 Aspek Pemanfaatan Keruing Gunung

2.4.1 Kayu

(18)

Aspek yang dimanfaatkan dari keruing gunung adalah kayu yang memiliki kualitas yang cukup baik yaitu berada pada kelas awet III dan kelas kuat II dengan berat jenis 0,70 (LIPI 1983).Kayu keruing gunung cocok untuk konstruksi bangunan, lantai, karoseri (kerangka, lantai, dan dinding), bangunan pelabuhan dan bantalan kereta api. Kayu ini banyak juga digunakan untuk perkapalan (dek dan kulit tongkang) dan bagian perumahan (balok, tiang, papan, dan kerangka atap). Jika digunakan di tempat yang terdapat serangan jamur, serangga atau binatang laut perusak kayu, maka kayu keruing gunung harus diawetkan dengan bahan pengawet yang sesuai. Kayu yang telah diawetkan baik digunakan sebagai bantalan kereta api dan tiang listrik (Tantra 1982).

2.4.2 Minyak Keruing

Keruing gunung juga menghasilkan semacam oleoresin yang dikenal sebagai minyak keruing atau minyak lagan, akan tetapi hanya beberapa jenis saja yang mampu berproduksi dalam jumlah yang banyak untuk diperdagangkan (Cotton 2002). Secara lokal minyak ini digunakan untuk memakal (mendempul) perahu, sebagai pernis perabotan rumah atau dinding, serta obat luka atau sakit kulit tertentu. Minyak keruing banyak diproduksi oleh Thailand, yang pada tahun 1984 menghasilkan hingga 1,7 juta liter resin yang lebih kental dari keruing dikenal dengan nama umum damar (Boer & Ella 2001). Untuk memperoleh damar, batang keruing dilubangi hingga mencapai kayu terasnya dan mengeluarkan cairan resin yang akan berkumpul di sudut-sudut lubang itu, yang dalam beberapa hari akan mengeras menjadi damar. Setelah gumpalan damar diambil, secara berkala lubang-lubang itu dibakar untuk merangsang kembali keluarnya resin. Beberapa jenis yang menghasilkan damar bermutu baik, di antaranya D. cornutus (tampudau), D. crinitus (tampurau), D. grandiflorus (keruing gajah), danD. hasseltii(palahlar) (Saridanet al. 2011).

2.4.3 Etnobotani Keruing Gunung

Secara tradisional kulit batang keruing gunung dapat memulihkan infeksi pada kulit (Tjay & Kirana 2002). Etnis Dayak dari beberapa kabupaten di Kalimantan Barat yang telah lama memanfaatkan keruing sebagai obat luka, antara lain dari Kabupaten Pontianak, Sanggau, dan Kapuas Hulu. Pemanfaatan keruing gunung sebagai obat luka juga dilakukan oleh etnis Dayak di Sabah Malaysia (Soendjoto & Wahyu 2007). Pemanfaatan kulit batang sebagai obat luka masih dapat dijumpai terutama oleh warga yang tinggal di daerah pedalaman. Pengetahuan tentang pengobatan tradisional dari kulit batang keruing gunung ini merupakan warisan nenek moyang (Kintoko 2006). Dalam pemanfaatannya, pohon tua atau muda dapat dipakai, tetapi lebih berkhasiat apabila diambil dari pohon yang sudah tua atau yang sudah berbuah. Cara pemanfaatannya adalah:

1. Kulit batang yang baru dikupas dari pohon dikikis kulit luarnya untuk mendapatkan kulit bagian dalam kurang lebih 350 g.

2. Kulit batang bagian dalam dicuci dengan air hingga bersih.

3. Kulit batang kemudian dimasukkan dalam kain bersih, ditumbuk dan diperas untuk diambil airnya lalu diteteskan ke bagian tubuh yang luka tiga kali dalam sehari dan seterusnya sampai sembuh.

(19)

2.4.4 Potensi Keruing Gunung Sebagai Sediaan Obat

Penelitian Muhtadi et al. (2006) melaporkan bahwa lima senyawa fenolik telah berhasil diisolasi dari ekstrak aseton kulit batang keruing gunung, yaitu (-)-laevifonol (1),α -viniferin (2), (-)-vatikanol A (3), bergenin (4) dan 4’-O-metilgalokatecin (5). Hasil pengujian aktivitas sitotoksik terhadap sel murin leukemia P-388 dari (-)-laevifonol (IC50> 100,0 μ g/mL), (-)-α-viniferin (IC50 17,5 μ g/mL), (-)-vatikanol A (IC50 27,0 μ g/mL), bergenin (IC50> 100,0 μ g/mL) dan 4’-Ometilgalokatecin (IC50 70,0 μ g/mL). Hasil analisis secara kualitatif hubungan struktur dengan aktivitas sitotoksik, diperoleh kesimpulan bahwa senyawa oligomer resveratrol yang simetri memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel murin leukemia P-388 yang lebih tinggi dibanding senyawa oligoresveratrol yang tak simetri. Adanya unit polar (asam askorbat) pada senyawa oligoresveratrol, mengakibatkan hilangnya aktivitas sitotoksik (Hakim 2002).

2.5 BakteriStaphylococcus aureusdanSalmonella typhi dan Mekanisme Kerja Antibiotik

2.5.1S. aureus

S. aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μ m, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetzet al.1996).

Kloramfenikol bekerja menghambat sintesis protein pada sel bakteri. Kloramfenikol akan berikatan secara reversibel dengan unit ribosom 50 S, sehingga mencegah ikatan antara asam amino dengan ribosom. Obat ini berikatan secara spesifik dengan akseptor (tempat ikatan awal dari amino asil t-RNA) atau pada bagian peptidil, yang merupakan tempat ikatan kritis untuk perpanjangan rantai peptida (Debbie & Retnoningrum 1998 ).

2.5.2S. typhi

S. typhi merupakan bakteri batang Gram negatif dan tidak membentuk spora, serta memiliki kapsul. Bakteri ini juga bersifat fakultatif, dan sering disebut sebagai

(20)

3 METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-April 2015. Lokasi penelitian ini adalah di hutan Desa Salut, Resort Santong SPTN 1 TNGR, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat pada ketinggian 976 mdpl. Ekstraksi daun dan kulit batang keruing gunung dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fahutan IPB. Pengambilan data uji daya hambat ekstrak keruing gunung dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA IPB. Pengembilan data skrining kandungan kelompok senyawa aktif dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, FMIPA IPB.

3.2 Status Populasi Keruing Gunung

3.2.1 Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi bertujuan mengidentifikasi struktur vegetasi yang ada, antara lain tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang, dan tingkat pohon meliputi spesies, jumlah individu, dan diameter batang. Metode analisis vegetasi ini dilakukan dengan cara membuat petak ukur tunggal berukuran (100x100) m2 atau 1 hektar yang terdiri dari 25 plot pengamatan. Dalam masing-masing plot terbagi menjadi sub plot, yaitu tingkat pohon (2x2) m2, tingkat tiang (5x5) m2, tingkat pancang (10x10) m2 dan tingkat semai (20x20) m2. Analisis vegetasi mengacu pada metode Soerianegara dan Indrawan (1998). Model petak tunggal yang digunakan dalam penelitian ini dapat diilustrasikan dengan menggunakan model papan catur (Gambar 3).

1 2 3 4 5

6 7 8 9 10

11 12 13 14 15

16 17 18 19 20

21 22 23 24 25

Gambar 3. Model petak pengamatan

Data vegetasi yang dikumpulkan meliputi nama jenis, jumlah individu dan diameter. Secara lebih jelas kriteria dalam analisis vegetasi tersaji dalam Tabel 3.

b a

b c

d

(21)

Tabel 3 Kriteria dalam analisis vegetasi

Struktur vegetasi Kriteria

Pohon Ukuran petak (20 x 20) m 2

dengan kriteria yaitu diameter ≥20 cm.

Tiang Ukuran petak (10 x 10) m 2

, dengan kriteria yaitu diameter antara 10 cm <20 cm

Pancang Ukuran petak (5 x 5) m 2

, dengan kriteria yaitu diameter lebih dari 2 cm dan limit ketinggian 1,5 cm.

Semai Ukuran petak (2 x 2) m 2

, dengan kriteria yaitu diameter kurang dari 2 cm.

3.2.2 Analisis Data

a. Indeks Nilai Penting (INP)

INP ini digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. INP merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif (KR), dominansi relatif (DR), dan frekuensi relatif (FR).

Kerapatan = individu/ha

KR = x 100%

Dominansi= individu/ha

DR = 100%

Frekuensi= individu/ha

FR = x 100%

b. Kekayaan Spesies Tumbuhan

Untuk mengukur kekayaan spesies dalam unit-unit pengamatan, pendekatan yang digunakan adalah Index Diversity Margalef (Clifford & Stephenson 1997)dalam

Istomo (2000). Indeks kekayaan Margalef dihitung dengan menggunakan persamaan:

=

Keterangan :

Dmg= Indeks Kekayaan Margalef S = Jumlah spesies

N = Jumlah individu

c. Pola Penyebaran Keruing Gunung di Hutan TNGR

Untuk mengetahui pola peyebaran atau pengelompokkan jenis keruing gunung digunakan rumus Indeks Morishita (Istomo 2000).

(22)

Keterangan:

Iδ = Indeks Morishita

q = Jumlah petak pengamatan

Xi = Jumlah keruing gunung pada petak ke-i T = Total individu keruing gunung

Dengan nilai:

Iδ > 1 menunjukkan individu mengelompok (clump)

Iδ < 1 menunjukkan indivdu menyebar rata/seragam (uniform) Iδ = 1 menunjukkan individu menyebar acak (random)

3.3 Uji Potensi Bioprospeksi

3.3.1 Penetapan Kadar Air Simplisia (AOAC 1995)

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit batang dan daun keruing gunung. Dipilih kulit batang yang sudah tua dengan kriteria diameter batang 150 cm dengan ketinggian 150 cm dari pangkal pohon. Jumlah sampel yang diambil dengan ukuran luas 30 cm x 30 cm. Pengambilan sampel daun pada daun tua cabang utama dengan diameter pohon 30 cm. Penetapan kadar air dilakukan dengan mengeringkan porselin pada suhu 105 ºC selama 30 menit. Setelah didinginkan di dalam eksikator kemudian ditimbang. Serbuk kulit kayu 2,31 g dan serbuk daun 1,63 g dimasukkan ke dalam porselin kemudian dikeringkan dalam oven selama 3 jam pada suhu 105 ºC. Didinginkan dalam eksikator kemudian ditimbang.

Kadar air (%) =

100%

Keterangan: BB = Berat basah

BKT = Berat kosong tanur

3.3.2 Ekstraksi (Harborne 2006)

Sampel yang dikoleksi dari lapangan, yaitu bagian daun dan kulit batang keruing gunung dibersihkan, dikeringkan dan digiling dengangrindersehingga menjadi serbuk berukuran 40-60 mesh. Sampel daun (249 g) dan sampel kulit batang (487 g) dalam etanol secara berurutan 999 mL dan 1999 mL. Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi selama 24 jam. Ekstraksi dilakukan berulangkali hingga filtrat yang diperoleh tak berwarna lagi. Ekstrak etanol kemudian dipartisi dengan 3 pelarut dengan kepolaran bertingkat yaitu n-heksana, kloroform, dan etil asetat. Setiap fraksi selanjutnya dipekatkan dengan penguap putar pada suhu 40 ºC. Ekstrak yang pekat dikeringkan dengan oven pada suhu 40 ºC. Ekstrak ditimbang untuk menentukan rendemen ekstrak. Ekstrak yang diperoleh diuji aktivitas antibakterinya.

3.3.3 Uji Aktivitas Antibakteri

(23)

penyakit infeksi seperti S. aureus (mewakili bakteri Gram positif) dan S. typhi

(mewakili bakteri Gram negatif).

3.3.4 Analisis Fitokimia

Analisis fitokimia keruing gunung dilakukan secara kualitatif. Analisis mengacu pada metode yang dilakukan oleh Harborne (2006), sebagai berikut:

a. Alkaloid

Sebanyak 0,5 g sampel tumbuhan yang telah dihaluskan ditambahkan kloroform secukupnya lalu dihaluskan lagi. Kemudian ditambah 10 mL amoniak dan 10 mL kloroform. Larutan disaring ke dalam tabung reaksi, dan filtrat ditambahkan asam sulfat 2N sebanyak 10 tetes. Filtrat dikocok dengan teratur kemudian dibiarkan beberapa lama sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan atas dipindahkan ke dalam tiga tabung reaksi masing-masing 2,5 mL. Ketiga larutan ini dianalisis dengan pereaksi Dragendorff. Terbentuknya endapan jingga dengan pereaksi Dragendorff menunjukkan hasil positif.

b. Terpenoid dan steroid

Sebanyak 0,5 g sampel tumbuhan yang telah dihaluskan, ditempatkan pada plat tetes dan ditambahkan asam asetat anhidrat sampai sampel terendam semuanya, dibiarkan selama kira-kira 15 menit, enam tetes larutan dipindahkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah 2-3 tetes asam sulfat pekat. Adanya triterpenoid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah, jingga atau ungu, sedangkan adanya steroid ditunjukkan dengan adanya warna biru.

c. Flavonoid

Sebanyak 0,5 g sampel tumbuhan yang telah diekstrak dengan 5 mL etanol, dipanaskan selama lima menit di dalam tabung reaksi. Selanjutnya ditambah beberapa tetes HCl pekat. Kemudian ditambahkan 0,2 g bubuk Mg. Hasil positif ditunjukkan dengan timbulnya warna merah tua dalam waktu 3 menit.

d. Saponin

Sebanyak 0,5 g sampel tumbuhan yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah air suling sehingga seluruh cuplikan terendam, dididihkan selama 2-3 menit, dan selanjutnya didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil.

e. Tanin

Sebanyak 0,5 g sampel tumbuhan yang telah dihaluskan, ditambah etanol sampai sampel terendam semuanya. Kemudian sebanyak 1 mL larutan dipindahkan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan 2-3 tetes larutan FeCl3 1%. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna hitam kebiruan atau hijau.

f. Kuinon

(24)

4.1 Kondisi Populasi

Berdasarkan analisi SPTN 1 TNGR pada pet gunung di TNGR melim setiap tingkat pertumbuha 1997). Hal ini sejalan deng menunjukkan bahwa ker Hasil pengamatan di didominasi oleh tingkat pe tiang dan pohon secara kemungkinan adanya fakt antara lain kemungkinan tiang dan pohon. selain menyebabkan pohon kerui

Berdasarkan penel terserang penyakit. Berda wilayah SPTN 1 TNGR pa 45 jenis vegetasi yang se tingkat semai 9 jenis, ting pohon 29 spesies. Tabel 4

0

lasi Keruing Gunung di SPTN 1 TNGR, Resor

lisis vegetasi yang dilakukan di hutan Desa petak pengamatan dengan luas 1 ha. Kondisi popu

impah. Kondisi ini diindikasikan oleh jumlah buhan yang menunjukkan kurva huruf “J” ter

dengan penelitian yang dilakukan oleh Pradiast kerapatan keruing gunung hasil pengamatan di

t melimpah pada setiap tingkat pertumbuhan a k. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan

pah pada setiap tingkat pertumbuhannya teruta n pancang. Secara lebih jelas dapat dilihat pada G

populasi keruing gunung di Resort Santong, SPT n di lapangan menunjukkan bahwa populasi

t pertumbuhan, yaitu semai. Namun, untuk t ara berurutan semakin kecil. Hal ini dise faktor-faktor yang menekan laju pertumbuhan. nan adanya kegiatan pemanenan keruing gunun

lain itu, adanya faktor alam seperti angin eruing gunung tumbang.

elitian sebelumnya bahwa semai keruing rdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan di hut

pada petak pengamatan dengan luas 1 ha ditem seluruhnya tergolong ke dalam 32 famili. Bert

tingkat pancang 45 jenis, tingkat tiang 17 spe l 4 menyajikan INP tertinggi dari setiap tingkat

0 si populasi keruing ah keruing gunung terbalik (Kusmana astoro (2004) yang n di hutan lindung n atau membentuk an bahwa populasi utama pada tingkat da Gambar 4.

(25)

Tabel 4 INP tertinggi setiap tingkat pertumbuhan keruing gunung Tingkat

Pertumbuhan Nama lokal Nama ilmiah INP (%)

Pohon keruing gunung Dipterocarpus retusus 160,10

bajur Pterospermum javanicum 12,02

Tiang keruing gunung Dipterocarpus retusus 114,25

klokos udang Syzygium ovata 19,81

Pancang keruing gunung Dipterocarpus retusus 66,88 paok gawah Mangifera longifetiolatum 5,74 Semai keruing gunung Dipterocarpus retusus 151,41

Gelam Syzigium antisepalum 10,79

Berdasarkan Tabel 4 di atas dapat dijelaskan bahwa INP keruing gunung pada tingkat pertumbuhan semai memiliki angka yang tertinggi, yaitu sebesar 151,41%. Hal ini disebabkan pola penyebaran populasi keruing gunung secara mengelompok pada suatu kawasan tumbuh. Syzygium ovatamenduduki peringkat ke dua dengan nilai INP sebesar 19,81% dan disusul oleh spesies-spesies yang lain dengan INP sebesar 12,02%,10% dan 5,74%.

Pada tingkat pertumbuhan pancang, keruing gunung memiliki INP sebesar 66,88%. Tingginya persentase INP keruing gunung pada tingkat pertumbuhan pancang dibandingkan dengan speseies lainnya pada tingkat pertumbuhan yang sama disebabkan oleh karakteristik penyebaran populasi keruing gunung secara mengelompok. Disusul dengan spesies yang lain dengan INP masing-masing di bawah 10% (Tabel 4).

Perbandingan INP tingkat pertumbuhan semai dan INP tingkat pertumbuhan pancang keruing gunung berbeda. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingkat keberhasilan hidup semai menjadi pancang cukup rendah. Berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa tingkat pertumbuhan semai keruing gunung mudah diserang oleh penyakit, sehingga keberhasilan tingkat pertumbuhan semai menjadi tingkat pertumbuhan pancang cukup kecil. Hanya yang bertahan hidup saja yang dapat tumbuh menjadi pancang bahkan menjadi pohon (Noughton 1990). Berdasarkan Tabel 4 dapat digambarkan bahwa keruing gunung pada tingkat pertumbuhan tiang menunjukkan angka INP yang tertinggi, yaitu sebesar 114,25%. Sedangkan spesies yang lain rendah, yaitu INP di bawah 20%. Hal ini disebabkan karena dominansi keruing diantara spesies yang lain cukup tinggi dan penyebaran populasi keruing gunung secara mengelompok. INP keruing gunung pada tingkat pohon menunjukkan angka INP yang paling tinggi, yaitu sebesar 160,01%. Hal ini menunjukkan tingkat dominansi keruing gunung cukup tinggi. Selain itu, pola penyebaran populasi keruing gunung secara mengelompok.

Menurut Richard (1964) dalam Sudarisman (2001) menyatakan bahwa kehadiran suatu jenis dalam sebuah proses suksesi ditentukan oleh daya tahan terhadap cahaya matahari, pola penyebaran biji dan daya tumbuhnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4 tingkat pertumbuhan berdasarkan kerapatan jenis.

(26)

pertumbuhan yang lainnya lebih rendah terdapat pada tingkat pohon membentuk pola huruf “J” terbalik. Faktor lain dapat disebabkan karena adanya pohon tumbang yang ditemukan di lokasi penelitian yang mengakibatkan jumlah populasi pohon berkurang. Persaingan untuk mendapatkan hara, cahaya matahari, air, dan ruang tumbuh dapat juga menjadi faktor penyebab. Hanya individu-individu pohon yang memenangkan persaingan akan mati (Odum 1994).

Untuk jenis keruing gunung kehadirannya dapat dikatakan merata pada setiap petak pengamatan, namun kehadirannya tidak ditemukan pada beberapa petak 7, 12, dan 24 saja. Diduga disebabkan adanya beberapa faktor seperti kegiatan penebangan yang dilakukan oleh masyarakat. Faktor lain lain seperti gangguan dari alam (angin kencang) yang menyebabkan pohon keruing gunung tumbang sehingga tingkat permudaannya ikut tertindih dan mati.

4.1.1 Pengukuran Kondisi Populasi Berdasarkan Kelas Diameter Batang

Dari hasil pengukuran diameter batang pada keseluruhan petak pengamatan untuk tingkat pohon, diameter batang keruing gunung berkisar antara 20 cm-155 cm. Sedangkan untuk jenis selain keruing gunung pada tingkat pertumbuhan pohon berkisar antara 20 cm hingga 90 cm. Diameter tingkat pertumbuhan tiang berkisar antara 10 cm hingga 19 cm. Sedangkan untuk jenis selain keruing gunung berkisar antara untuk tingkat tiang berkisar antara 35 cm hingga 90 cm. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Kondisi populasi keruing gunung berdasarkan kelas diameter pohon Pada Gambar 5 di atas dapat dilihat bahwa keruing gunung memiliki diameter yang paling kecil terdapat pada kelas III (51-65) cm pada tingkat pertumbuhan pohon. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya kegiatan pemanenan yang dilakukan oleh masyarakat atau pihak pengelola TNGR. Sedangkan kelas diameter terbesar terdapat pada kelas IV (>65) cm sebanyak 40 individu/ha.

Terlihat pada Gambar 5 bahwa jumlah individu keruing gunung pada lokasi pengamatan menunjukkan populasi yang fluktuatif. Hal ini terjadi dimungkinkan karena adanya faktor-faktor pengganggu seperti angin kencang yang menyebabkan pohon pada kelas I, II, dan III lebih rendah dari pada kelas IV. Faktor pengganggu

(27)

yang lain adalah adanya kegiatan pemanenan yang dilakukan oleh masyarakat atau pengelola TNGR.

4.1.2 Indeks Kekayaan Jenis (Margaleft)/R

Indeks kekayaan jenis menunjukkan jumlah jenis dalam suatu komunitas. Untuk mencari tingkat kekayaan jenis yang ada dalam suatu komunitas yang dinyatakan dalam kekayaan jenis (R). Hasil perhitungan nilai R dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai indeks kekayaan Margalef keruing gunung berbagai tingkat pertumbuhan pertumbuhan pancang, yaitu sebesar 7,44 dan nilai R terendah terdapat pada tingkat pertumbuhan tiang, yaitu sebesar 1,96. Semakin banyak jumlah jenis suatu tegakan, maka semakin besar pula nilai R-nya.

4.1.3 Pola Penyebaran Keruing Gunung

Hasil analisis vegetasi keruing gunung di SPTN 1 TNGR Resort Santong menggambarkan pola penyebarannya secara mengelompok untuk semua tingkat pertumbuhan. Secara lengkap disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Indeks Morishita dan pola penyebaran keruing gunung di hutan SPTN 1 TNGR Resort Santong

Tingkat pertumbuhan Iδ Pola penyebaran

Semai 9,35 Mengelompok

pancang 15,02 Mengelompok

tiang 4,28 Mengelompok

pohon 10,43 Mengelompok

Noughton dan Wolf (1990) menjelaskan bahwa kondisi iklim dan faktor ketersediaan hara merupakan faktor yang sangat berperan dalam penyebarannya. Apabila di sekitar lokasi induk jenis tumbuhan menyediakan yang cukup untuk pertumbuhan, maka akan cenderung membentuk pola penyebaran mengelompok.

Tabel 9 menunjukkan pola penyebaran keruing gunung secara mengelompok di SPTN 1 TNGR Resort Santong pada setiap tingkat pertumbuhan. Hal ini disebabkan kondisi faktor iklim dan ketersediaan unsur hara yang sangat mendukung sehingga pertumbuhan dan perkembangannya sangat cocok di wilayah tersebut.

(28)

infeksi pada kulit. Manfaat ini akan mendorong masyarakat sekitar hutan TNGR untuk melakukan aksi konservasi secara suka rela.

Pembuktian secara ilmiah potensi bioprospeksi keruing gunung sebagai obat luka yang telah dilakukan oleh masyarakat adat suku Dayak memiliki korelasi yang kuat. Masyarakat adat suku Dayak memanfaatkan kulit batang keruing gunung sebagai obat luka secara turun temurun. Luka atau infeksi pada kulit disebabkan oleh bakteriS. aureus. Potensi yang terbukti ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitat hutan TNGR dalam mengobat penyakit luka atau infeksi pada kulit.

Pengungkapan manfaat/potensi keruing gunung yang sudah terbukti merupakan penstimulus kerelaan masyarakat dalam melakukan konservasi. Pengungkapan manfaat keruing gunung memiliki prospek yang baik kedepan sebagai obat antiluka atau infeksi pada kulit. Aksi konservasi dapat diwujudkan dalam bentuk pembudidayaan keruing gunung.

4.2 Potensi Bioprospeksi

4.2.1 Kadar Air Simplisia

Penetepan kadar air merupakan parameter penting yang perlu diketahui sebelum melakukan isolasi. Besarnya crude extract dan bioaktivitas dari kelompok senyawa (metabolit sekunder) hasil ekstraksi ditentukan oleh kadar air awal dari simplisia. Pengukuran kadar air penting dilakukan sebagai koreksi hasil, karena sampel yang sama dengan kadar air yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula.

Kadar air diperoleh dari serbuk kulit batang dan daun secara berurutan adalah 7,01% dan 8,33%. Pengukuran kadar air diperlukan untuk bahan simplisia nabati yang berhubungan dengan hilangnya air dari suatu bahan pada suhu 105 ºC. Kadar air yang tinggi berpeluang sebagai tempat hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan simplisia.

4.2.2 Rendemen Ekstraksi

Tabel 4 menunjukkan bahwa rendemen ekstraksi daun keruing gunung dengan etanol menghasilkan ekstrak etanol daun (6%) lebih tinggi dibandingkan ekstraksi bagian batangnya (2%). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Sari (2011) yang menunjukkan bahwa ekstraksi daun surian dalam etanol menghasilkan ekstrak daun yang lebih tinggi dibandingkan bagian kulit dan kayunya. Hal ini disebabkan oleh senyawa klorofil daun yang ikut terekstraksi oleh etanol. Harborne (2006) menyatakan bahwa klorofil dapat larut dalam pelarut organik seperti etanol.

Tabel 7 Nilai rendemen ekstrak etanol kulit batang dan daun keruing gunung dan hasil fraksinasinya

Jenis ekstrak Rendemen (%) b/b

Kulit Daun

Ekstrak etanol 2,00 6,28

Fraksi n-heksana 0,57 2,12

Fraksi kloroform 0,45 1,85

Fraksi etil asetat 0,34 1,35

(29)

Partisi ekstrak etanol daun keruing gunung menghasilkan fraksi n-heksana tertinggi dibandingkan fraksi lainnya (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun mengandung senyawa non polar yang lebih tinggi. Senyawa tersebut non polar yang terekstrak etanol adalah klorofil, lilin, dan lemak. Hal ini dipertegas oleh Houghton dan Raman (1998) menyatakan bahwa untuk menghilangkan senyawa pengotor seperti klorofil, lilin, dan lemak dalam ekstraksi senyawa bioaktif dalam ekstrak etanol daun, maka ekstrak etanol tersebut dipartisi dengan n-heksana.

Partisi ekstrak etanol kulit keruing gunung menghasilkan fraksi n-heksana yang jauh lebih rendah dibandingkan partisi ekstrak etanol daunnya (Tabel 7). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Syafii (2014) yang menunjukkan bahwa fraksi n-heksana daun mindi lebih tinggi dibandingkan kulitnya. Hal ini menunjukkan bahwa jenis dan komposisi zat ekstraksi yang terkandung di dalam daun berbeda dengan di dalam kulit.

4.2.3 Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun dan kulit batang keruing gunung serta fraksinya tidak memiliki aktivitas antibakteri S. typhi, tetapi bersifat antibakteriS. Aureus(Tabel 8).Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 6 bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak hingga 20.000 ppm tidak memengaruhi pertumbuhan bakteri S. typhi. Akan tetapi, pemberian ekstrak pada komsentrasi 10.000 ppm tidak memengaruhi pertumbuhan bakteri S. aureus. Akan tetapi peningkatan konsentrasi ekstrak menjadi 20.000 ppm mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dengan daya hambat yang bervariasi. Hal ini membuktikan kearifan lokal suku Dayak yang menggunakan kulit batang keruing gunung untuk penyembuhan luka kulit karena bakteri S. aureuspenyebab infeksi pada kulit dapat dihambat pertumbuhannya oleh ekstrak kulit keruing gunung (Warsa 2011).

(30)

Tabel 8 Diameter zona hambat bakteri uji

Daun), FHD (Fraksi Heksan Daun), FEK (Fraksi Etanol Kulit), FEAK (Fraksi Etil Asetat

Kulit), FKK (Fraksi Kloroform Kulit), FHK (Fraksi Heksan Kulit)dan Fraksi Residu (FR)

Bila mengacu pada klasifikasi kekuatan antibakteri menurut Davis dan Stout (1971), pemberian ekstrak atau fraksinya pada konsentrasi 20.000 ppm memiliki daya hambat yang tergolong kuat terhadap pertumbuhan bakteri S.aureus dengan zona hambat lebih besar dari 10 mm, kecuali fraksi n-heksana daun dan fraksi kloroform kulit (Tabel 5). Menurut Warsa (2011) pada fraksi n-heksana daun diduga mengandung banyak klorofil, lilin, dan lemak yang tidak bersifat antibakteri.

(31)

Sensitivitas bakteri Gram posi disebabkan komponen dasar yang salah satu penyusunn (Ajizah 2004). Senyawa ant membran sel sehingga menga sensitivitas antara bakteri perbedaan morfologi struktur

Gambar 6 Hasil uji daya ham keruing gunung

Gambar 7 Hasil uji daya ham keruing gunung Pembuktian secara ilm memberikan pengaruh yan konservasi dilakukan melal pemanfaatan. Kegiatan pe konservasi harus secara ari konservasi bahwa faktor yan adalah pemanfaatan secara seperti kimia dan biologi.

positif terhadap senyawa antibakteri yang ber sar penyusun dinding sel Gram positif, yaitu pe unnya adalah asam amino alanina yang bersif

antibakteri dapat bereaksi dengan komponene f engakibatkan lisis sel (Branen & Davidson 2009)

ri Gram positif dan Gram negatif diduga ktur keduanya.

hambat tertinggi antibakteriS. aureusfraksi etil a g

hambat tertinggi antibakteriS. aureusfraksi klor g

ilmiah terhadap pengetahuan tumbuhan sebaga yang besar dalam mendorong aksi konserv lalui tiga kegiatan, yaitu: perlindungan, pen pemanfaatan secara berkelanjutan yang me arif dan bijaksana. Berdsarakan teori tri stimul yang memengaruhi konservasi keruing gunung

(32)

Berdasarkan konsep tri stumulus amar pro konservasi (Zuhud et al. 2007) disusun berdasarkan faktor yang memengaruhi masyarakat sekitar TNGR dalam mengkonservasi keruing gunung adalah faktor bioekologi, pemanfaatan (sosial-ekonomi) serta budaya kepercayaan. Dalam konteks pemanfaatan berkelanjutan keruing gunung di TNGR oleh masyarakat selama ini belum mengarah kepada pemanfaatan sebagai sumber obat-obatan. Sehingga eksplorasi nilai guna keruing gunung mampu menstimulus masyarakat untuk melakukan budidaya keruing gunung. Dorongan dan motivasi untuk melakukan budidaya secara suka rela apabila masyarakat memiliki empat prasyarat yang harus dipenuhi. Prasyarat tersebut adalah: 1). adanya ketersediaan lahan, 2). ketersediaan bibit dan IPTEK dalam budidaya keruing gunung, 3). adanya jaminan rasa aman, 4) adanya sanksi atau finalty terhadap masyarakat jika tidak melakukan pembudidayaan.

Konstribusi ilmu pengetahuan sebagai inisiator dalam mengembangakan potensi keruing gunung sebagai sediaan obat selama ini masih kurang. Kontrribusi ilmu pengetahuan seperti kimia dan biologi memiliki peran penting dalam mengeksplorasi senyawa aktif yang memiliki prospeksi sebagai sediaan obat. Sehingga pemanfaatan potensi tumbuhan sebagai sediaan obat memiliki peluang yang baik dimasa yang akan datang.

4.2.4 Fitokimia Ekstrak Teraktif

Uji fitokimia bertujuan untuk mengetahui komponen bioaktif yang terdapat dalam setiap ekstrak kasar keruing gunung. Fitokimia mempunyai peranan penting dalam penelitian obat yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan. Kandungan fitokimia pada keruing gunung pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil uji fitokimiafraksi kloroform daun dan etil asetat kulit batang keruing gunung

Uji fitokimia Fraksi dari ekstrak etanol

Kloroform daun Etil asetat kulit

Alkaloid + + +

Keterangan : (-) = tidak terdeteksi (++)= terdeteksi sedang (++++) = terdeteksi sangat kuat (+)= terdeteksi lemah (+++)= terdeteksi kuat

(33)

dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba (Sugiyono 2003). Komponen fenolik juga dapat mendenaturasi enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah. Senyawa fenolik mampu memutuskan ikatan peptidoglikan saat menerobos dinding sel (Kloucek et al. 2005). Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenolik akan menyebabkan kebocoran isi sel dengan cara merusak ikatan hidrofobik komponen membran sel (seperti protein dan fosfolipida) serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran (Vilegset al. 1997). Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam metabolisme bakteri (Naidu & Clemens 2000).

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Keadaan populasi keruing gunung di TNGR tetap terjaga yang dapat digambarkan seperti huruf “J” terbalik. Kondisi normal populasi keruing ditandai dengan jumlah regenerasi yang tinggi, yaitu tingkat semai sebanyak 5000 individu/ha, tingkat pancang keruing gunung sebanyak 3728 individu/ha, tingkat pertumbuhan tiang keruing gunung sebanyak 88 individu/ha dan tiangkat pertumbuhan pohon memiliki 60 individu/ha. Selain kerapatan, INP keruing gunung di SPTN 1 TNGR tergolong relatif normal. INP semai sebanyak 151,41%, INP pancang sebanyak 66,88%, INP tiang sebanyak 114,25% dan INP pohon 160%, serta kondisi populasi setiap pertumbuhan mengelompok.

Bagian daun dan kulit batang keruing gunung memiliki potensi bioprospeksi sebagai antibakteri S. aureusyang merupakan bakteri penyebab infeksi kulit atau luka. Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan fraksi kloroform kulit dan fraksi etil asetat daun menunjukkan hasil yang cukup besar, yaitu diameter zona hambat rata-rata secara berurutan 17,5 mm dan 17 mm. Bukti dari analisis uji antibakteri dan uji fitokimia memberikan gambaran manfaat keruing gunung sebagai obat luka. Hal ini dapat menjadi stimulus kepada masyarakat sekitat hutan TNGR dalam melakukan aksi konservasi keruing gunung.

5.2 Saran

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Ajizah A. 2004. Sensitivitas Salmonella typhymurium terhadap daun jambu biji (Psidium guajava L.).Bioscientiae. 1(1): 8-31.

Ashton PS. 1982. Dipterocarpaceae.Flora Malesiana(2):237-552.

[AOAC] Association of Analytical Chemist Publisher. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC (ID): AOAC Publisher.

Bawa KS. 1998. Conservation of Genetic Resources in The Dipterocarpaceae.Biogeography and Evolutinary Systematics of Dipterocarpaceae. In: Apannah, S and JM. Tumbull (eds.) A Review of Dipterocarps :Taxonomy, Ecology and Sylviculture. Bogor-Indonesia (ID): CIFOR.

Boer E, Ella, AB.2001.PlantProducingexudates. Bogor (ID): Litbang Hutan Prosea. BPS. 2015. Bulletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Ekspor. Jakarta (ID): Katalog

BPS.

Branen AL, Davidson PM. 2009. Antimicrobial in Food. New York (ID): Marcel Dekker.

Brock TD, Madigan MT. 1991. Biology of microorganisme. New Jersey (ID): Prentice-Hall International.

Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2007. Mikrobiologi Kedokteran.Edisi 23. Jakarta (ID): EGC.

Cotton CM. 2002.Ethnobotany: Principles and Aplication. England (GB): Jhon Wiley and Sons Ltd. 63-314.

Cowan MM. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clin Microbiol Rev 12 (4):564-582.

Davis WW, Stout TR. 1971. Disc platemethods of microbiological antibioticassay.Microbiology.22(4): 659-665.

Debbie S, Retnoningrum. 1998. Mekanisme dan Deteksi Molekul Resistensi Antibiotik pada Bakteri.Jurnal FarmasiITB.1(5): 16-21

Ditjen PHKA [Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam]. 2009. Statistik Balai Taman Nasional Gunung Rinjani. Mataram (ID): BTNGR.

Divisi Konservasi BTNGR. 2014.Laporan Keruing. Mataram (ID): BTNGR.

Dwijoseputro 1990. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Edisi ke sebelas. Jakarta (ID): Djambatan

Hakim EH. 2002. Oligostilbenoid dari tumbuh-tumbuhan Dipterocarpaceae.Bull. Soc. Nat. Prod. Chem. (2):1–9

Harborne JB. 2006.Metode Fitokimia.Bandung (ID): ITB Pr.

Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Houghton PJ, Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fractonation of Natural Extract. London (ID): Chapman & Hall.

Istomo. 2000.Ekologi Hutan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Istomo, Siregar ZI. 2003. Program Pelestarian dan Pengembangan Pohon Asli bernilai tinggi Palahlar (Dipterocarpus hasseltii Blume dan Dipterocarpus retususBlume) di Jawa Barat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

(35)

Kajita T, Kamiya K, Nakamura K, Tachida H, Wickneswari R, Tsumura Y, Yoshimaru H, Yamazaki T. 1998. Molecular phylogeny of Dipterocarpaceae in Southeast Asia based on nucleotide sequences matK,trnL intron, and trnL-trnF intergenic spacer region in chloroplast DNA.Mol Phyl Evol.10 (2): 202–209. Kartawinata K. 1983.Jenis-jenis Keruing. Bogor (ID): LIPI.

Kintoko. 2006. Prospek Pengembangan Tanaman Obat. Yogyakarta (ID): UGM Press.

Kloucek P, Polesny B, Svobodova B, Vlkova E, Kokoska L. 2005. Antibacterialscreening of some peruvian medicinal plants used in Calleria District.Journal of Ethnopharmacology.(99): 309-312.

Kusmana C. 1997.Metode Survey Vegetasi. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Lay BW. 1994. Analisis Mikroba Di Laboratorium. Jakarta (ID)PT. Raja Grafindo

Persada.

Lemmens RH, Soerianegara.1994.Plant Resources of South East Asia. Bogor (ID): Major Commercial Timbers Prosea.

Maryuni AE. 2008. Isolasi dan identifikasi senyawa antibakteri minyak atsiri daun Zodia (Evodia sp) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Masfria. 2000. Skrining fitokimia dan uji efek antibakteri dan beberapa sediaan tanaman semanggi (Oxalis corniculataL.) terhadapStaphylococcus aureus dan

Escherichia coli.Media Farmasi. 8(2):128-134.

Muhtadi EH, Syah YM, Juliawaty, LD, Achmad SA, Latip J, Ghisalberti EL. 2006. Cytotoxic resveratrol oligomers from the tree bark ofDipterocarpus hasseltii. J Fitoterapia. 77(7-8): 550–555.

Naidu AS, Clemens RA. 2000.Natural Food Antimicrobial Systems. USA (ID): CRC Press.

Newman MF, Burges PF, Whitemore TC. 1999. Pedoman Identifikasi Pohon Dipterocarpaceae Pulau Kalimantan. Bogor (ID): Prosea Indonesia.

Noughton SJ, WolfLL. 1990.Ekologi Umum. Edisi Kedua. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Odum EP. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Ed ke-3. Penerjemah; Samingan Tj, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari:Foundamentals of Ecology.Third Edition.

Pelezar MJ, Chan ECS. 2008.Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta (ID): UI Pr.

Posey DD. 1997. Wider Use and Application of Indigenous Knowledge, Innovations and Practises: Information system and Ethical Concerns. Proseeding of the 1996 International Workshop on Biodiversity Information. United Kingdom (UK): CAB International.

Pradiastoro A. 2004. Kajian tempat tumbuh alami palahlar gunung (Dipterocarpus retusus Bl.) di kawasan hutan lindung Gunung Cakrabuana Kabupaten Sumedang Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Prescott LM, Harley JP, Klein DA. 2003. Microbiology. New York (ID): Mc. Graw Hill Book Co.

Salan RS. 2000.Peluang dan Tantangan Etnobotani Masa Kini dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta (ID): PT. Rineka Persada Cipta.

(36)

Saridan AA, Kholik T, Rostiawati. 2011. Potensi dan sebaran spesies pohon penghasil minyak keruing di hutan penelitian labanan, Kalimantan Timur. Puslitbang Hutan Samarinda.5 (1): 85-91.

Sherlock O, Anthony D, Rahma A, Alice P, Georgina G, Seamus C. Hilary H. 2010. Comparison of the antibicrobial activity of ulmo honey from chile and manuka honey against methicillinresistant Staphylococcus aureus, Eschericia coli, and

Pseudomonas aeruginosa. J Alt. Medic.1(10):47-52.

Soendjoto MA, Wahyu. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Budaya dan Kearifan Lokal. Banjarmasin (ID): Univeritas Lambung Mangkurat Press.

Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sudarisman M. 2001. Studi keanekaragaman jenis pohon di areal kawasan hutan suaka margasatwa gunung sawal Kabupaten Dati II Ciamis Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Sumedang (ID): Universitas Winaya Mukti

Sugiyono. 2003. Chemical contituante of metabolit secounder. J.Sci.Techno. 23 (3):342-349.

Syafii W. 2014. Pemanfaatan lignin sebagai bahan baku perekat untuk pembuatan papan partikel kayu magium (Acacia mangium Willd). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 10(3):93-98.

Tantra IGM. 1982. Identifikasi Flora Cagar Alam Sangeh,Bali. Bogor (ID): Balai Penelitian Hutan.

Tjay TH, Kirana R. 2002.Obat-Obat Penting, ed. 5,Jakarta (ID):PT. Elex Media Komputindo.

Vilegs JH, De Marchi E, Lancag FM. 1997. Extraction of low polarity compounds fromMilariaa giomerata leaves.J Phytochem Anal.8: 266-270.

Warsa UC. 2011. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta (ID): Penerbit Binarupa Aksara.

Wassenaar TM, Ussery DW, Hallin PF. 2004. Genome update: tRNAs in sequenced microbial genoms.Microbiol1: 1603-1606.

Zuhud EAM, Sofyan K, Prasetyo LB, Kartodiharo H. 2007. Sikap masyarakat dan konservasi: suatu analisis kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri.

(37)

Gambar 1 Hasi

Gambar 3 Ha

Gambar 5 Has

Daun

Kulit Lampiran 1: Gambar hasil uji

Kulit

asil uji alkaloid Gambar 2 Hasil uji pe

Hasil uji tanin Gambar 4 Hasil uji s

asil uji saponin Gambar 6 Hasil Daun

Kulit

uji fitokimia ekstrak etanol kulit batang dan dau

(38)

Lampiran 2. Bagan alir ekstraksi kulit batang dan daun keruing gunung

Kulit batang dan daun keruing gunung

Serbuk kering

Preparasi sampel

(pengeringan dan penggilingan)

Residu Ekstrak etanol

Ekstraksi dengann-heksana

Ekstrakn-heksan Residu

Ekstraksi dengan kloroform

Ekstrak kloroform Residu

Ekstraksi dengan etil asetat

Ekstrak etil asetat Residu

(39)

Lampiran 3: Cara penentuan rendemen ekstrak

a. Serbuk daun keruing gunung

Konsentrasi ekstrak dalam larutan: 10 mL setelah dioven = 0,300 g

Konsentrasi = ,

= 0,03 g/mL

 Dalam 500 mL = 500 x 0,003

= 15 g (bobot ekstrak etanol)

 Rendemen etanol = 100 %(cari kedua BKT) = ,

, x 100%

= 6,02%

 BKT bobot ekstrak= =

= 229,87 g (bobot ekstrak etanol) a. N-heksan

Etil asetat 39,978 41,479 1,501 2,121

Kloroform 41,972 45,026 3,054 1,85

N heksan 40,101 41,272 1,171 1,35

Residu 41,528 42,739 1,211 0,96

(40)

b. Serbuk kulit keruing gunung

= 10,25 g (bobot ekstrak etanol)

 Rendemen etanol = 100% (cari kedua BKT) = ,

, 100%

= 2,14%

 BKT bobot ekstrak=

= ,

= 446,678 g (bobot ekstrak etanol) = 446,678 g

Etil asetat 40,435 41,956 1,521 0,57

Kloroform 39,978 41,99 2,012 0,45

N heksan 39,876 41,397 1,521 0,34

Residu 40,125 43,024 2,899 0,64

(41)

Lampiran 4: INP keruing gunung pada tingkat pertumbuhan semai

No. Nama spesies Jumlah K KR F FR INP

1. Keruing gunung (Dipterocarpus retusus) 50 50 84,74 0,72 66,66 151,41

2. Gelam (Syzygium antisepalum) 2 2 3,38 0,08 7,40 10,79

3. Ramban odang (Vaccinium sp.) 1 1 1,69 0,04 3,70 5,39

4. Klokos udang (Syzygium ovata) 1 1 1,69 0,04 3,70 5,39

5. Dao (Dracontamelon dao) 1 1 1,69 0,04 3,70 5,39

6. Oah (Syzygium littorale (Bl) 1 1 1,69 0,04 3,70 5,39

7. Kererongan hutan (Schefflera lucida) 1 1 1,69 0,04 3,70 5,39

8. Paok klikit (Mangifera laurina) 1 1 1,69 0,04 3,70 5,39

9. Paok gawah (Mangifera longifetiolatum) 1 1 1,69 0,04 3,70 5,39

Gambar

Gambar 2 (a) bunga da dan buah keruing gunung; (b) anakan keruing
Gambar 3. Model petak pengamatan
Gambar 4 Kondisi popul populasi keruing gunung di Resort Santong, SPTPTN 1   TNGR
Gambar 5 Kondisi populasi keruing gunung berdasarkan kelas diameter pohon
+3

Referensi

Dokumen terkait

Ketika analytical CRM digunakan dalam bidang penjualan, pemasaran dan jasa, hal tersebut dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dan produktif dengan pelanggan,

Dalam penelitian ini memberikan tujuan untuk mengetahui karakteristik mengelompokkan data nilai IQ siswa dalam pengolahan data yang besar sehingga mendapatkan informasi yang

Kabupaten Lombok Utara merupakan kabupaten termuda, yang mengalami pemekaran dari kabupaten induknya, Lombok Barat, pada tahun 2008.. Sumbawa Regency has most

Seorang calon guru tidak hanya dituntut dalam penguasaan materi, namun juga harus pandai dalam pemilihan metode, media, serta peka terhadap masalah- masalah dalam proses

[r]

Disini peneliti akan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian ini akan memberikan gambaran akan Pola Komunikasi yang dilakukan oleh Komunitas

Tanah kas desa yang berupa tanah pertanian dapat dilakukan perubahan peruntukan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Peraturan Gubernur Daerah Istimewa

Pengujian yang dilakukan setelah benda uji berumur 90 hari dengan jenis pengujian meliputi uji bahan, kuat tekan, kuat tarik belah dan uji pembebanan statik