• Tidak ada hasil yang ditemukan

PTN 1 TNGR si keruing gunung

4.2 Potensi Bioprospeksi .1 Kadar Air Simplisia

Penetepan kadar air merupakan parameter penting yang perlu diketahui sebelum melakukan isolasi. Besarnya crude extract dan bioaktivitas dari kelompok senyawa (metabolit sekunder) hasil ekstraksi ditentukan oleh kadar air awal dari simplisia. Pengukuran kadar air penting dilakukan sebagai koreksi hasil, karena sampel yang sama dengan kadar air yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula.

Kadar air diperoleh dari serbuk kulit batang dan daun secara berurutan adalah 7,01% dan 8,33%. Pengukuran kadar air diperlukan untuk bahan simplisia nabati yang berhubungan dengan hilangnya air dari suatu bahan pada suhu 105 ºC. Kadar air yang tinggi berpeluang sebagai tempat hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan simplisia.

4.2.2 Rendemen Ekstraksi

Tabel 4 menunjukkan bahwa rendemen ekstraksi daun keruing gunung dengan etanol menghasilkan ekstrak etanol daun (6%) lebih tinggi dibandingkan ekstraksi bagian batangnya (2%). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Sari (2011) yang menunjukkan bahwa ekstraksi daun surian dalam etanol menghasilkan ekstrak daun yang lebih tinggi dibandingkan bagian kulit dan kayunya. Hal ini disebabkan oleh senyawa klorofil daun yang ikut terekstraksi oleh etanol. Harborne (2006) menyatakan bahwa klorofil dapat larut dalam pelarut organik seperti etanol.

Tabel 7 Nilai rendemen ekstrak etanol kulit batang dan daun keruing gunung dan hasil fraksinasinya

Jenis ekstrak Rendemen (%) b/b

Kulit Daun

Ekstrak etanol 2,00 6,28

Fraksi n-heksana 0,57 2,12

Fraksi kloroform 0,45 1,85

Fraksi etil asetat 0,34 1,35

Partisi ekstrak etanol daun keruing gunung menghasilkan fraksi n-heksana tertinggi dibandingkan fraksi lainnya (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun mengandung senyawa non polar yang lebih tinggi. Senyawa tersebut non polar yang terekstrak etanol adalah klorofil, lilin, dan lemak. Hal ini dipertegas oleh Houghton dan Raman (1998) menyatakan bahwa untuk menghilangkan senyawa pengotor seperti klorofil, lilin, dan lemak dalam ekstraksi senyawa bioaktif dalam ekstrak etanol daun, maka ekstrak etanol tersebut dipartisi dengan n-heksana.

Partisi ekstrak etanol kulit keruing gunung menghasilkan fraksi n-heksana yang jauh lebih rendah dibandingkan partisi ekstrak etanol daunnya (Tabel 7). Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Syafii (2014) yang menunjukkan bahwa fraksi n-heksana daun mindi lebih tinggi dibandingkan kulitnya. Hal ini menunjukkan bahwa jenis dan komposisi zat ekstraksi yang terkandung di dalam daun berbeda dengan di dalam kulit.

4.2.3 Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun dan kulit batang keruing gunung serta fraksinya tidak memiliki aktivitas antibakteri S. typhi, tetapi bersifat antibakteriS. Aureus(Tabel 8).Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 6 bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak hingga 20.000 ppm tidak memengaruhi pertumbuhan bakteri S. typhi. Akan tetapi, pemberian ekstrak pada komsentrasi 10.000 ppm tidak memengaruhi pertumbuhan bakteri S. aureus. Akan tetapi peningkatan konsentrasi ekstrak menjadi 20.000 ppm mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dengan daya hambat yang bervariasi. Hal ini membuktikan kearifan lokal suku Dayak yang menggunakan kulit batang keruing gunung untuk penyembuhan luka kulit karena bakteri S. aureuspenyebab infeksi pada kulit dapat dihambat pertumbuhannya oleh ekstrak kulit keruing gunung (Warsa 2011).

Kemampuan senyawa masing-masing senyawa antibakteri yang dimiliki berbeda-beda walaupun berasal dari sumber yang sama. Hal ini tergantung dari polaritas senyawa dan tipe mekanisme aktivitas senyawa antibakteri. Ada dua tipe mekanisme aktivitas senyawa antibakteri, yaitu dengan cara menghambat pertumbuhan populasi bakteri uji yang ditandai dengan warna sekitar sumuran terlihat jelas (bening). Aktivitas antibkteri juga dengan membunuh populasi bakteri uji yang ditandai dengan warna seluruh cawan petri terlihat bening. Berdasarkan efek kerjanya, senyawa antibakteri ada yang bekerja secara antagonis dan sinergis. Dalam penelitian ini aktivitas antibakteri ekstrak etanol kulit batang dan daun keruing gunung memiliki efek sinergis yang ditandai dengan zona hambat yaitu 13 mm dan 9 mm. Pada fraksi daun dan kulit batang keruing gunung memberikan daya hambat yang bervariasi. Fraksi daun yang paling besar daya hambatnya pada fraksi kloroform dan daya hambat paling tinggi pada fraksi kulit terdapat pada etil asetat. Senyawa antibakteri yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda tidak memberikan efek yang terlalu besar pada pertumbuhan bakteri uji jika berada dalam keadaan ekstrak. Daya hambat yang tinggi diberikan oleh senyawa antibakteri jika berada dalam keadaan tidak tercampur dalam ekstrak.

Tabel 8 Diameter zona hambat bakteri uji Ekstrak etanol Konsen trasi (ppm)

Diameter zona hambat (mm)

Staphylococcus aureus Salmonella typhi

Ulangan I Ulangan II Rata -rata Ulangan I Ulangan II Rata -rata Kontrol (Ampisilin) 10.000 0 0 0 0 0 0 20.000 20 0 20 20 20 20 EED 10.000 14 12 13 0 0 0 20.000 15 14 14,5 0 0 0 FEAD 10.000 11 12 11,5 0 0 0 20.000 15 14 14,5 0 0 0 FKD 10.000 15 13 14 0 0 0 20.000 20 15 17,5 0 0 0 FHD 10.000 0 0 0 0 0 0 20.000 0 0 0 0 0 0 FEK 10.000 8 10 9 0 0 0 20.000 12 12 12 0 0 0 FEAK 10.000 16 13 14,5 0 0 0 20.000 17 17 17 0 0 0 FKK 10.000 0 0 0 0 0 0 20.000 0 0 0 0 0 0 FHK 10.000 12 12 12 0 0 0 20.000 13 14 13,5 0 0 0 FR 10.000 8 9 8,5 0 0 0 20.000 9 9 9 0 0 0

Keterangan: EED (Ekstrak Etanol Daun), FEAD (Fraksi Etil Asetat Daun), FKD (Fraksi Kloroform

Daun), FHD (Fraksi Heksan Daun), FEK (Fraksi Etanol Kulit), FEAK (Fraksi Etil Asetat

Kulit), FKK (Fraksi Kloroform Kulit), FHK (Fraksi Heksan Kulit)dan Fraksi Residu (FR)

Bila mengacu pada klasifikasi kekuatan antibakteri menurut Davis dan Stout (1971), pemberian ekstrak atau fraksinya pada konsentrasi 20.000 ppm memiliki daya hambat yang tergolong kuat terhadap pertumbuhan bakteri S.aureus dengan zona hambat lebih besar dari 10 mm, kecuali fraksi n-heksana daun dan fraksi kloroform kulit (Tabel 5). Menurut Warsa (2011) pada fraksi n-heksana daun diduga mengandung banyak klorofil, lilin, dan lemak yang tidak bersifat antibakteri.

Fraksi kloroform daun menunjukkan zona hambat tertinggi dibandingkan fraksi daun lainnya, yaitu 17,5 mm pada konsentrasi 20.000 ppm. Demikian pula halnya dengan fraksi etil asetat kulit yang menunjukkan zona hambat tertinggi dibandingkan fraksi kulit lainnya, yaitu 17 mm. Hal ini menunjukkan senyawa yang terkandung di dalam kedua fraksi tersebut dapat berinteraksi dengan dinding sel bakteri Gram positif karena senyawa yang terkandung dalam kedua fraksi bersifat semipolar sehingga memiliki afinitas lebih tinggi untuk berinteraksi dengan dinding sel. Oleh karena itu, kedua fraksi lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteriS. aureus (Maryuni 2008). Kedua fraksi tersebut tidak bersifat antibakteri S. typhi karena bakteri Gram negatif umumnnya sensitif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat polar karena dinding sel bakteri Gram negatif bersifat polar sehingga lebih mudah dilewati oleh senyawa antibakteri yang bersifat polar. Sebaliknya, bakteri Gram positif, lebih sensitif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat nonpolar (Wassenaar et al. 2004).

Sensitivitas bakteri Gram posi disebabkan komponen dasar yang salah satu penyusunn (Ajizah 2004). Senyawa ant membran sel sehingga menga sensitivitas antara bakteri perbedaan morfologi struktur

Gambar 6 Hasil uji daya ham keruing gunung

Gambar 7 Hasil uji daya ham keruing gunung Pembuktian secara ilm memberikan pengaruh yan konservasi dilakukan melal pemanfaatan. Kegiatan pe konservasi harus secara ari konservasi bahwa faktor yan adalah pemanfaatan secara seperti kimia dan biologi.

Ulangan I 20.000 ppm 10.000 ppm 16 mm 17 mm 10.000 ppm 17 mm 13 mm 20.000 ppm 10.000 ppm 10.000 ppm 20.000 ppm 20.000 ppm 20 mm 13 mm 15 mm Ulangan II 15 mm Ulangan II Ulangan I

positif terhadap senyawa antibakteri yang ber sar penyusun dinding sel Gram positif, yaitu pe unnya adalah asam amino alanina yang bersif

antibakteri dapat bereaksi dengan komponene f engakibatkan lisis sel (Branen & Davidson 2009)

ri Gram positif dan Gram negatif diduga ktur keduanya.

hambat tertinggi antibakteriS. aureusfraksi etil a g

hambat tertinggi antibakteriS. aureusfraksi klor g

ilmiah terhadap pengetahuan tumbuhan sebaga yang besar dalam mendorong aksi konserv lalui tiga kegiatan, yaitu: perlindungan, pen pemanfaatan secara berkelanjutan yang me arif dan bijaksana. Berdsarakan teori tri stimul yang memengaruhi konservasi keruing gunung

ra berkelanjutan dengan melibatkan berbagai Ulangan I 20.000 ppm 10.000 ppm 16 mm 17 mm 10.000 ppm 17 mm 13 mm 20.000 ppm 10.000 ppm 10.000 ppm 20.000 ppm 20.000 ppm 20 mm 13 mm 15 mm Ulangan II 15 mm Ulangan II Ulangan I bersifat nonpolar u peptidoglikan, rsifat hidrofobik ne fosfolipid dari 2009). Perbedaan ga berasal dari

til asetat kulit

kloroform daun bagai bahan obat konservasi. Strategi engawetan, dan merupakan aksi mulus amar pro unung salah satunya ai disiplin ilmu Ulangan I 20.000 ppm 10.000 ppm 16 mm 17 mm 10.000 ppm 17 mm 13 mm 20.000 ppm 10.000 ppm 10.000 ppm 20.000 ppm 20.000 ppm 20 mm 13 mm 15 mm Ulangan II 15 mm Ulangan II Ulangan I

Berdasarkan konsep tri stumulus amar pro konservasi (Zuhud et al. 2007) disusun berdasarkan faktor yang memengaruhi masyarakat sekitar TNGR dalam mengkonservasi keruing gunung adalah faktor bioekologi, pemanfaatan (sosial-ekonomi) serta budaya kepercayaan. Dalam konteks pemanfaatan berkelanjutan keruing gunung di TNGR oleh masyarakat selama ini belum mengarah kepada pemanfaatan sebagai sumber obat-obatan. Sehingga eksplorasi nilai guna keruing gunung mampu menstimulus masyarakat untuk melakukan budidaya keruing gunung. Dorongan dan motivasi untuk melakukan budidaya secara suka rela apabila masyarakat memiliki empat prasyarat yang harus dipenuhi. Prasyarat tersebut adalah: 1). adanya ketersediaan lahan, 2). ketersediaan bibit dan IPTEK dalam budidaya keruing gunung, 3). adanya jaminan rasa aman, 4) adanya sanksi atau finalty terhadap masyarakat jika tidak melakukan pembudidayaan.

Konstribusi ilmu pengetahuan sebagai inisiator dalam mengembangakan potensi keruing gunung sebagai sediaan obat selama ini masih kurang. Kontrribusi ilmu pengetahuan seperti kimia dan biologi memiliki peran penting dalam mengeksplorasi senyawa aktif yang memiliki prospeksi sebagai sediaan obat. Sehingga pemanfaatan potensi tumbuhan sebagai sediaan obat memiliki peluang yang baik dimasa yang akan datang.

4.2.4 Fitokimia Ekstrak Teraktif

Uji fitokimia bertujuan untuk mengetahui komponen bioaktif yang terdapat dalam setiap ekstrak kasar keruing gunung. Fitokimia mempunyai peranan penting dalam penelitian obat yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan. Kandungan fitokimia pada keruing gunung pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil uji fitokimiafraksi kloroform daun dan etil asetat kulit batang keruing gunung

Uji fitokimia Fraksi dari ekstrak etanol

Kloroform daun Etil asetat kulit

Alkaloid + + + Flavonoid + + + + + + Fenol hidrokuinon + + + + + + Steroid + + + -Triterpenoid + + + + + + Tanin + + + + + + + Saponin + + + + + +

Keterangan : (-) = tidak terdeteksi (++)= terdeteksi sedang (++++) = terdeteksi sangat kuat (+)= terdeteksi lemah (+++)= terdeteksi kuat

Berdasarkan hasil analisis fitokimia, kedua jenis fraksi teraktif terdeteksi mengandung senyawa fitokimia dari kelompok alkaloid, flavonoid, fenol hidrokuinon, triterpenoid, tanin, dan saponin (Tabel 9). Senyawa yang berperan terhadap aktivitas antibakteri fraksi kloroform daun dan fraksi etil asetat kulit adalah tanin, flavonoid, alkaloid, dan saponin. Masfria (2000) melaporkan bahwa senyawa fenolik seperti flavonoid, tanin, dan fenolik lainnya seperti p-hidroquinon terbukti bersifat antibakteri. Terdeteksinya senyawa fenolik dalam fraksi teraktif antibakteri merupakan jawaban adanya aktivitas antibakteri. Mekanisme senyawa fenolik sebagai zat antibakteri adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak, dan menembus

dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba (Sugiyono 2003). Komponen fenolik juga dapat mendenaturasi enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah. Senyawa fenolik mampu memutuskan ikatan peptidoglikan saat menerobos dinding sel (Kloucek et al. 2005). Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenolik akan menyebabkan kebocoran isi sel dengan cara merusak ikatan hidrofobik komponen membran sel (seperti protein dan fosfolipida) serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran (Vilegset al. 1997). Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam metabolisme bakteri (Naidu & Clemens 2000).

Dokumen terkait