• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Perubahan Struktur Agraria Terhadap Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Perubahan Struktur Agraria Terhadap Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA

TERHADAP AKSESIBILITAS MATA PENCAHARIAN

MASYARAKAT LOKAL

(Kasus Desa Murutuwu, Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur)

DEBBY AULIA FIRDAUS

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Dampak Perubahan Struktur Agraria terhadap Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal (Kasus Desa Murutuwu, Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

(3)

ABSTRAK

DEBBY AULIA FIRDAUS. Dampak Perubahan Struktur Agraria terhadap Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal. Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO

Dewasa ini, pengembangan perkebunan kelapa sawit terasa begitu masif. Komoditas ini menjadi salah satu yang diunggulkan karena permintaan CPO (Crude Palm Oil) atau minyak kelapa sawit yang tinggi di pasar domestik maupun internasional. Namun, untuk mendukung kegiatan tersebut, kebutuhan akan lahan menjadi meningkat dan perubahan struktur agraria sulit untuk dihindari. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana perubahan struktur agraria terjadi dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan tersebut, serta untuk menganalisis sejauhmana perubahan aksesibilitas mata pencaharian masyarakat lokal setelah terjadi perubahan struktur agraria. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif yang didukung oleh penelitian kualitatif. Berdasarkan uji analisis regresi linear sederhana, perubahan struktur agraria berpengaruh nyata terhadap perubahan aksesibilitas mata pencaharian masyarakat lokal yang ditandai dengan adanya perubahan pada tingkat akses, pergeseran dan diversifikasi mata pencaharian, serta perubahan pada tingkat pendapatan dengan nilai signifikasi sebesar 0.000<taraf nyata 5%.

Kata kunci: aksesibilitas, mata pencaharian, perubahan struktur agraria

ABSTRACT

DEBBY AULIA FIRDAUS. The Impact of Agrarian Structure Changes to the Local Community Livelihood Accessibility. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO

The development of oil palm plantations become so massive at this time. This commodity become one of the favored because demand for crude palm oil which is high in domestic and international markets. However, to support these activities, land requirement become more increase and the agrarian structure changes difficult to avoid. This research aims to analyze how agrarian structure changes occur and what the factors are driving those changes, and to analyze how far the changes of local community livelihood accessibility after agrarian structure changes occur. This research uses quantitative approach which supported by qualitative approach. Based on simple linear regression analysis, agrarian structure changes significantly affect to the changes of local community livelihood accessibility that marked by the changes of local community access to agrarian sources, changes the shift and diversify livelihoods of local community and changes the incomes of local community with significant value 0.000<5% significance level.

(4)

DAMPAK PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA

TERHADAP AKSESIBILITAS MATA PENCAHARIAN

MASYARAKAT LOKAL

(Kasus Desa Murutuwu, Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur)

DEBBY AULIA FIRDAUS

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN

PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)
(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Perubahan Struktur Agraria terhadap Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal (Kasus Desa Murutuwu, Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur)”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada Ibu Gusti Yuliarti dan Bapak Moh. Fajar Firdaus, orang tua tercinta, adik tersayang Zulfa Nabila Fauzi, Sofia Amanda Putri, dan Dzikria Nor Fadhila, serta seluruh keluarga yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak lupa terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman, terutama seluruh teman-teman dari UKM Lises Gentra Kaheman, seluruh mahasiswa Departemen SKPM 49, dan teman-teman BUD PT ADARO Indonesia serta teman-teman yang dibimbing oleh dosen yang sama yang telah memberikan semangat dan motivasi selama penulisan skripsi ini.

Peneliti mengetahui bahwa skripsi ini belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi ini senantiasa bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2016

(7)

DAFTAR ISI

PRAKATA vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Kegunaan Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

a. Konsep Agraria 5

b. Perubahan Struktur Agraria 5

c. Perkebunan 7

d. Masyarakat Lokal 8

e. Teori Akses 9

f. Mata Pencaharian 10

g. Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal 10

Kerangka Pemikiran 11

Hipotesis Penelitian 13

Hipotesis Pengarah 13

Hipotesis Uji 13

PENDEKATAN LAPANG 15

Metode Penelitian 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Teknik Pemilihan Responden dan Informan 15

Karakteristik Responden 16

Teknik Pengumpulan Data 18

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 18

Definisi Operasional 19

GAMBARAN UMUM LOKASI 21

Kondisi Umum 21

Kondisi Sosial 22

Kondisi Ekonomi 23

Kondisi Sarana dan Prasarana 24

DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA 27

Periode Pra Masuknya Komoditas Kelapa Sawit 27

(8)

Periode Pasca Masuknya Komoditas Kelapa Sawit 30 FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA 33

Faktor Internal: Arus Penjualan Lahan Masyarakat 33

Faktor Eksternal: Arus Pelepasan Lahan 34

a. Intervensi Pemerintah 34

b. Intervensi Swasta 36

DAMPAK PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA TERHADAP

AKSESIBILITAS MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT LOKAL 39

Tingkat Akses Masyarakat Lokal 39

Tingkat Pergeseran dan Diversifikasi Mata Pencaharian Masyarakat Lokal 43

Tingkat Pendapatan Masyarakat Lokal 46

PENUTUP 51

Simpulan 51

Saran 52

DAFTAR PUSTAKA 53

RIWAYAT HIDUP 57

(9)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik responden 16

2 Jumlah dan persentase penduduk Desa Murutuwu berdasarkan

umur tahun 2016 22

3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Murutuwu berdasarkan

tingkat pendidikan tahun 2016 22

4 Jumlah dan persentase penduduk Desa Murutuwu berdasarkan

agama tahun 2016 23

5 Jumlah dan persentase mata pencaharian penduduk Desa

Murutuwu tahun 2016 23

6 Jumlah kepemilikan hewan ternak penduduk Desa Murutuwu 24

7 Jumlah fasilitas sarana pendidikan Desa Murutuwu tahun 2016 24

8 Jumlah fasilitas sarana umum Desa Murutuwu tahun 2016 25

9 Jumlah fasilitas rumah ibadah Desa Murutuwu tahun 2016 25

10 Perubahan tata guna lahan Desa Murutuwu tahun 2007-2016 39

11 Luas kepemilikan lahan responden 40

12 Tingkat akses masyarakat lokal terhadap sumber agraria (hutan) 41 13 Dampak perubahan struktur agraria terhadap tingkat akses

masyarakat lokal 42

14 Dampak perubahan struktur agraria terhadap tingkat

pergeseran dan diversifikasi mata pencaharian masyarakat lokal 44

15 Pergeseran mata pencaharian responden 45

16 Total pendapatan responden perbulan 47

17 Dampak perubahan struktur agraria terhadap tingkat

pendapatan masyarakat lokal 48

18 Kondisi pendapatan masyarakat sebelum perubahan struktur

agraria 49

19 Kondisi pendapatan masyarakat sesudah perubahan struktur

agraria 49

DAFTAR GAMBAR

1 Kategori perubahan mata pencaharian 10

2 Kerangka pemikiran 12

3 Ketidakjelasan kebun plasma 31

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lokasi penelitian 61

2 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016 62

3 Kerangka percontohan (sampling frame) 63

4 Kuesioner 69

5 Panduan wawancara mendalam 75

6 Uji statistik 79

7 Tulisan tematik 84

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dewasa ini, pengembangan perkebunan kelapa sawit terasa begitu masif. Komoditas tersebut menjadi salah satu yang diunggulkan saat ini berkat permintaan CPO (Crude Palm Oil) atau minyak kelapa sawit yang tinggi di pasar domestik maupun internasional dan relatif stabil. Keadaan ini mendorong pemerintah membuat berbagai kebijakan terkait perkebunan kelapa sawit. Kebijakan tersebut direalisasikan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan bahwa setiap perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit wajib memiliki plasma minimal 20% dari luas HGU.

Sejalan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait pengembangan komoditas kelapa sawit, terbuka peluang bagi pihak swasta untuk bersinergi dengan pemerintah dan turut andil dalam pengembangan komoditas kelapa sawit. Melalui peluang tersebut, PT Sawit Graha Manunggal yang bergerak dibidang Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBNS), membangun kegiatan sub sektor perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 2 x 45= 90 Ton TBS/ Jam di Kabupaten Barito Timur berdasarkan Keputusan Bupati Barito Timur Nomor 234 Tahun 2009 tanggal 15 April 2009 tentang perpanjangan izin lokasi untuk usaha perkebunan kelapa sawit PT Sawit Graha Manunggal di Kecamatan Dusun Timur, Karusen Janang, Paku, Dusun Tengah, Paju Epat dan Pematang Karau, Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah serta Keputusan Bupati Barito Timur Nomor 381 Tahun 2011 tanggal 23 November 2011 tentang perpanjangan izin usaha perkebunan kelapa sawit PT Sawit Graha Manunggal di Kecamatan Paju Epat dengan luas 17.453 ha yang mencakup wilayah Desa Murutuwu dan sekitarnya.

Demi mendukung kegiatan perkebunan kelapa sawit tersebut, kebutuhan akan lahan menjadi meningkat. Fenomena pelepasan lahan oleh negara serta masyarakat lokal menjadi tidak terelakkan, perubahan struktur agraria pun menjadi sulit untuk dihindari. Perubahan struktur agraria dapat diartikan sebagai pergeseran pola-pola hubungan antara subyek agraria dengan sumber-sumber agraria. Keadaan struktur agraria yang berubah dapat memberikan pengaruh positif dan pengaruh negatif bagi masyarakat lokal.

Pengaruh positif dari pengembangan perkebunan kelapa sawit berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional, regional dan khususnya bagi kabupaten Barito Timur, provinsi Kalimantan Tengah, melalui terbukanya kesempatan kerja dan penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan penerimaan pajak daerah Sektor minyak kelapa sawit di Kalimantan Tengah berkontribusi sebesar 28% dari PDRB provinsi ini, menghasilkan 165.600 pekerjaan, dan memberikan pendapatan bagi banyak keluarga petani kecil.1 Pengembangan perkebunan kelapa sawit juga memiliki pengaruh negatif terhadap kualitas lingkungan, karena membuat struktur dan fungsi dasar ekosistem mengalami perubahan dari kondisi alami. Selain itu, terjadi konversi hutan yang

(12)

berdampak pada kerusakan hutan serta mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya. Perkebunan kelapa sawit juga dapat merubah keadaan vegetasi dan flora, meningkatkan erosi, merubah iklim mikro, menghasilkan limbah cair yang mengalir ke badan-badan air disekitarnya, mencemarkan udara dan menambah kebisingan.

Alqadrie dan Syarif (1994) menyatakan bahwa dengan adanya pembangunan subsektor perkebunan bagi masyarakat pedalaman tidak hanya menyebabkan terbatasnya ruang gerak tetapi juga tanah-tanah adat yang dimiliki penduduk diambil alih atau dikuasai oleh pihak perusahaan. Menurut Garna (1992:1) perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat kehadiran proyek perkebunan, tidak hanya berupa perubahan fisik oleh proses alami dan perubahan kehidupan manusia oleh dinamika kehidupan, tetapi juga menyangkut kehidupan manusia atau terkait dengan lingkungan kehidupannya yang berupa fisik, alam dan sosial. Sebagai konsekuensi logis menurut Hood [Tidak ada tahun] dalam Garna (1995:4), kehidupan masyarakat yang demikian akan mengalami kehilangan tanah warisan nenek moyang, status atau kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta perubahan lingkungan hidup menjadi lingkungan yang banyak dimusnahkan atau diganti baru.

Selain itu, keadaan struktur agraria yang berubah menjadikan ketimpangan akses dan kepemilikan terhadap sumber agraria menjadi pemandangan yang lazim. Menurut Wiradi (2009) ketimpangan kepemilikan sumber agraria dapat di golongkan ke dalam empat bentuk. Ketimpangan tersebut antara lain ketimpangan dalam hal penguasaan sumber-sumber agraria, ketidakserasian dalam hal

“peruntukan” sumber-sumber agraria, ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria, ketidakserasian antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmantisme dan kebijakan sektoral. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, menjadi penting untuk dilihat sejauhmana perubahan struktur agraria memberi dampak terhadap aksesibilitas mata pencaharian masyarakat lokal.

Perumusan Masalah

Dewasa ini, berbagai peraturan dan kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut menjadi dasar bagi pemerintah daerah Kalimantan Tengah dan Kabupaten Barito Timur untuk membuat program-program terkait pengembangan kelapa sawit. Beberapa wilayah di Kalimantan Tengah khususnya Kabupaten Barito Timur pun menjadi tujuan program pengembangan perkebunan kelapa sawit. Kecamatan Dusun Timur, Kecamatan Karusen Janang, Kecamatan Paku, Kecamatan Dusun Tengah, Kecamatan Pematang Karau, dan Kecamatan Paju Epat merupakan wilayah yang dipilih menjadi areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Barito Timur. Program-program pengembangan komoditas kelapa sawit menyebabkan kebutuhan akan lahan menjadi meningkat. Perubahan struktur agraria pun menjadi sulit untuk dihindari. Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan pertanyaan spesifik pertama penelitian ini adalah bagaimana perubahan struktur agraria terjadi dan apa saja faktor yang mendorong perubahan tersebut?

(13)

Sawit Graha Manunggal membangun kegiatan perkebunann kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit dapat berdampak pada perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat lokal. Hal tersebut dapat teridentifikasi dari pergeseran dan diversifikasi mata pencaharian, serta perubahan pendapatan. Selain itu, keadaan struktur agraria yang berubah juga berimplikasi pada perubahan akses terhadap sumber-sumber agraria. Oleh karena itu, pertanyaan spesifik kedua penelitian ini adalah sejauhmana perubahan aksesibilitas mata pencaharian masyarakat lokal setelah adanya perubahan struktur agraria?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:

1. Menganalisis bagaimana perubahan struktur agraria terjadi dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan tersebut.

2. Menganalisis sejauhmana perubahan aksesibilitas mata pencaharian masyarakat lokal setelah terjadi perubahan struktur agraria.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain ialah:

1. Akademisi

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai perubahan struktur agraria dan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Selain itu diharapkan pula dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria.

2. Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan terkait dengan kebijakan agraria dan melakukan pertimbangan bagi masyarakat yang terkena dampak.

3. Masyarakat

(14)
(15)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

a. Konsep Agraria

Kata agraria secara etimologis berasal dari bahasa Latin ager yang berarti kawasan pedusunan, wilayah, tanah negara. Sedangkan kata bahasa Latin agrarius memiliki arti perladangan, persawahan, pertanian. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, agraria memiliki arti urusan pertanian, tanah pertanian, pemilikan tanah. AN Luthfi menyatakan:

“...Agraria bukan saja menyangkut tanah, namun apa yang ada

dibawah dan diatasnya. Apa yang tumbuh di atasnya dapat berupa tanaman pertanian, perkebunan dan perhutanan, lengkap dengan bangunan sosialnya. Sedangkan materi di bawahnya adalah air dan berbagai bahan tambang dan mineralnya... ” (Luthfi 2011).

Lebih jauh, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pengertian agraria adalah meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, bahkan meliputi luar angkasa. Subyek agraria adalah pihak-pihak yang terlibat langsung dengan sumber-sumber agraria. Sedangkan obyek agraria merupakan sumber-sumber agraria. Sitorus et al. (2002) menyimpulkan objek agraria meliputi:

1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari pertanian dan peternakan, yaitu sebagai lahan usaha tani dan padang rumput. 2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan, baik

perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut. Pada dasarnya perairan merupakan arena penangkapan ikan (fishing ground) bagi komunitas nelayan. 3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas

perhutanan yang hidup dari pemanfaatan beragam hasil hutan menurut tata

kearifan lokal. Bahan tambang, yang terkandung dalam “tubuh bumi”, seperti

minyak, gas, emas, bijih besi, timah, intan, batu mulia, fosfat, pasir, batu, dan lain-lain.

4. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri. Arti penting materi udara sebagai sumber agraria baru semakin terasa belakangan ini setelah polusi asap mesin atau kebakaran hutan mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kesehatan manusia.

b. Perubahan Struktur Agraria

(16)

Pola hubungan tersebut mencakup hubungan antara subjek dengan objek ataupun subjek dengan subjek. Sehingga, perubahan struktur agraria dapat diartikan sebagai pergeseran pola-pola hubungan antara subyek agraria dengan sumber-sumber agraria. Menurut Wiradi (2009), tata hubungan yang sudah mapan dalam struktur agraria dapat berubah akibat bekerjanya berbagai faktor yang mempengaruhi. Proses perubahan tata hubungan ini sendiri dapat terjadi secara halus, tetapi juga dapat terjadi melalui, atau juga menimbulkan suatu gejolak. Selanjutnya, Sihaloho menyatakan:

“…Perubahan struktur agraria berdampak pada menguatnya proses marginalisasi yang ditunjukkan oleh praktek-praktek penguasaan lahan, penggunaan tanah, dan pola nafkah…” (Sihaloho 2004).

Selain itu, menurut Sihaloho et al. (2009), perubahan struktur agraria dapat mempengaruhi diferensiasi kesejahteraan petani. Munculnya pola hubungan sosial produksi banyak pihak dan munculnya pola hubungan sosial produksi dua pihak yang semakin terakumulasi atau tersubordinasi pada pemilik lahan didorong oleh munculnya struktur agraria yang baru.

Perubahan struktur agraria dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Zuber (2007) terdapat empat faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria, yaitu:

1. Permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah yang luas.

2. Faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan.

3. Kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan serta penggunaan pestisida ataupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian.

4. Kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti proses input pertanian yang sangat tinggi (high cost), namun di sisi lain penjualan outputnya masih sangat rendah.

Permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian biasanya dipenuhi dengan cara melakukan konversi lahan. Konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian hak-hak atas lahan yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak lahan menurut kitab undang-undang hukum perdata barat dan lahan-lahan yang tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak lahan menurut ketentuan UUPA. Menurut Soetarto (2015)2, konversi lahan didorong oleh dua faktor yakni faktor vertikal dan faktor horizontal. Faktor vertikal adalah faktor pendorong terjadinya konversi lahan akibat hubungan antar masyarakat. Sedangkan faktor horizontal adalah faktor pendorong terjadinya konversi lahan akibat intervensi pemerintah dan swasta.

Selain itu, menurut Sihaloho (2004), faktor yang menyebabkan konversi lahan terbagi menjadi dua, yaitu:

(17)

a. Aras makro, terdiri dari pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan marginalisasi ekonomi. b. Aras mikro, terdiri dari pola nafkah rumahtangga (struktur ekonomi

rumahtangga), kesejahteraan rumahtangga (orientasi nilai ekonomi rumahtangga), strategi bertahan hidup rumahtangga (tindakan ekonomi rumahtangga).

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sihaloho (2004) dan Soetarto (2015) tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mendorong terjadinya perubahan struktur agraria akibat adanya konversi lahan terbagi menjadi dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan struktur agraria yang berasal dari masyarakat, sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor pendorong terjadinya terjadinya perubahan struktur agraria yang berasal dari luar masyarakat. Lebih jauh, menurut Soetarto (2016)3 sebagai pendorong perubahan struktur agraria, faktor internal ditandai dengan adanya arus penjualan lahan oleh masyarakat, sedangkan faktor eksternal ditandai dengan adanya arus pelepasan lahan karena intervensi pemerintah dan intervensi swasta.

c. Perkebunan

Pengertian perkebunan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah, dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik, Perkebunan adalah lahan yang memiliki status legal untuk dibuat perkebunan tanaman secara komersil pada lahan tersebut, berdasarkan pada undang-undang yang dijamin oleh pemerintah. Dengan kata lain, seperti perkebunan tanaman pribadi yang tidak mempunyai hak untuk mengeksploitasi dengan mempertimbangkan perkebunan rakyat. Merujuk pada definisi perkebunan dari BPS, komoditas yang dihasilkan adalah karet, kelapa sawit, kopi, kakao, teh, kina, tebu, tembakau dan rosela. data yang dikumpulkan terdiri dari produksi, lahan dan persediaan komoditas. Sedangkan menurut Pusat penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, definisi perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah, dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit dimulai tahun 1911 dan perkebunan diusahakan berorientasi pada pasar ekspor. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Haller, seorang yang berkebangsaan Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika, budidaya yang dilakukan diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di

(18)

Indonesia. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919 ke negara-negara eropa, kemudian tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit. Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang cukup pesat, Indonesia menggeser dominasi ekspor negara Afrika pada waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran, secara keseluruhan produksi perkebunan kelapa sawit terhenti. Setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia pada tahun 1957, pemerintah mengambil alih perkebunan dengan alasan politik dan keamanan, perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik dan keamanan dalam negeri yang tidak kondusif menyebabkan produksi kelapa sawit mengalami penurunan, pada periode tersebut posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar mulai tergeser oleh Malaysia.

Memasuki pemerintahan orde baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagai sektor penghasil devisa Negara. Pada tahun 1978, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengalokasikan sebagian besar produksi minyak sawit ke pasar domestik karena adanya kekurangan penawaran minyak nabati yang disebabkan turunnya produksi kelapa. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang kemudian didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR-bun) yang merupakan terjemahan dari Nucleus Estate Smallholder Development Project (NES Project). Pola inti rakyat ini tercipta berdasarkan Keppres Nomor 11 tahun 1974, yang merupakan suatu pola unuk mewujudkan sistem kerjasama yang saling menguntungkan antara perusahaan perkebunan besar dengan usahatani yang berada di sekitarnya. Adapun jenis PIR-BUN tersebut adalah sebagai berikut: 1. PIR-BUN lokal: PIR-BUN tersebut dilaksanakan disekitar perkebunan yang

telah ada sebagai inti, sumber dana dari dalam negeri dan petani pesertan ya dari petani setempat (lokal).

2. PIR-BUN khusus: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana dalam negeri dan petani peserta sebagian besar transmigran dan petani lokal.

3. PIR-BUN Berbantuan: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana pinjaman kredit luar negeri, dengan petani pesertanya dari transmigrasi dan petani lokal 4. PIR-TRANS: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana pinjaman bank oleh

perusahaan inti, petani peserta dari transmigrasi dan penduduk lokal.

Sesuai dengan INPRES tahun 1986, semua pembangunan PIR-BUN kemudian diarahkan pada pola PIR-TRANS yang berhasil menambah luas lahan dan produksi kelapa sawit pada tahun 1990-an yang tersebar diberbagai sentra produksi seperti Sumatera dan Kalimantan.

d. Masyarakat Lokal

(19)

kriteria kelestarian sosial, dijumpai beberapa istilah yang berhubungan dengan istilah masyarakat lokal (local communities), antara lain: penduduk asli (indigenous people), masyarakat setempat, masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, dan masyarakat (hukum) adat.

Pengertian masyarakat lokal dalam khasanah kajian peraturan perundang-undangan pengelolaan sumberdaya hutan terbagi menjadi masyarakat adat dan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Menurut Sangaji [Tidak ada tahun] dalam Niswah dan Adiwibowo (2013) masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Masyarakat adat kasepuhan juga termasuk masyarakat tradisional, seperti yang dikemukakan oleh Suhandi [Tidak ada tahun] dalam Niswah dan Adiwibowo (2013) yang mencirikan masyarakat tradisional, antara lain hubungan atau ikatan masyarakat desa dengan tanah sangat erat, sikap hidup dan tingkah laku yang magis religious, adanya kehidupan gotong-royong, memegang tradisi dengan kuat, menghormati para sesepuh, kepercayaan pada pimpinan lokal dan tradisional, organisasi kemasyarakatan yang relatif statis, serta tingginya nilai sosial.

Masyarakat lokal dapat pula diartikan sebagai masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Hal itu termuat dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 691/Kpts-II/91, tentang Peranan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan dimana masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan. Perbedaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dengan masyarakat adat terletak pada acuan kekuasaan. Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan mengacu pada hukum negara, sedangkan masyarakat hukum adat mengacu pada hukum adat masyarakat yang bersangkutan dan bukan pada hukum negara atau nasional. Istilah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan ini seringkali disebut pula sebagai masyarakat setempat.

e. Teori Akses

Ribot dan Pelusso (2003) mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (benda). Definisi akses cenderung mengarah

pada “sekumpulan kuasa” (bundle of power). Akses merupakan sekumpulan kuasa atau daya (power) yang melekat di dalam dan diaplikasikan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial sehingga seseorang atau sekelompok orang mempunyai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Kekuasaan yang dimaksud dalam akses terdiri dari komponen-komponen material, kultural, dan politik-ekonomi yang saling berhimpun menjadi sebentuk bundel kekuasaan (bundle of power) dan jejaring kekuasaan (web of power) yang menentukan akses terhadap sumberdaya. Kekuasaan yang terkandung dalam akses terwujud dalam dan dipertukarkan sesuai jarak kekuasaan, ragam mekanisme, proses dan relasi sosial yang mengakibatkan kemampuan aktor dalam mengambil manfaat atau keuntungan dari sumberdaya alam.

(20)

pada posisi individu dalam setiap jenis relasi sosialnya. Kekuasaan melekat pada setiap bentuk hubungan dan merupakan konsekuensi dari relasi sosial. Secara empiris, akses berfokus pada isu mengenai siapa yang mendapatkan, dengan cara seperti apa, dan kapan (dalam keadaan yang seperti apa). Sedangkan mekanisme struktural dan relasional dari akses merupakan kemampuan memetik manfaat dari sumberdaya dimediasi oleh teknologi, modal, pasar, otoritas, identitas sosial, dan relasi sosial; yang kemudian membentuk dan memperngaruhi akses.

f. Mata Pencaharian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mata pencaharian adalah pekerjaan atau pencaharian utama (yang dikerjakan untuk biaya sehari-hari). Setiap individu dalam masyarakat harus mempunyai pekerjaan utama untuk menopang kebutuhan ekonomi mereka. Dalam perkembangannya mata pencaharian seseorang sering berubah, yang biasa disebut perubahan mata pencaharian atau transformasi pekerjaan. Perubahan mata pencaharian atau biasa disebut transformasi pekerjaan adalah pergeseran atau perubahan dalam pekerjaan utama yang dilakukan manusia untuk hidup dan sumberdaya yang tersedia untuk membangun kehidupan yang memuaskan (peningkatan taraf hidup). Sihaloho (2004) menyatakan “…Implikasi dari berkurangnya akses terhadap sumberdaya agraria dapat mengarah pada perubahan pola nafkah agraria pertanian ke

nonpertanian…”. Perubahan mata pencaharian ditandai dengan adanya perubahan orientasi masyarakat mengenai mata pencaharian. Adapun kategori perubahan mata pencaharian adalah sebagai berikut:

Gambar 1 Kategori perubahan mata pencaharian

g. Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal

Menurut Soetarto (2015)4, lingkup pengertian aksesibilitas mata pencaharian

masyarakat lokal menyangkut kemudahan masyarakat lokal dalam menjangkau dan memperoleh manfaat dari sumber agraria bagi pemenuhan kebutuhan mata

4 Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA (Guru besar bidang Kajian Agraria) pada tanggal 23 Desember 2015.

Sektor Pertanian

Sektor Pertanian

Sektor Non-Pertanian

(21)

pencahariannya. Dimensi aksesibilitas mata pencaharian masyarakat lokal dapat dilihat melalui:

1. Tingkat akses masyarakat lokal dalam menjangkau dan menggunakan sumber agraria.

2. Tingkat pergeseran atau diversifikasi mata pencaharian masyarakat lokal, yakni perubahan mata pencarian utama yang dilakukan warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup.

3. Tingkat pendapatan masyarakat lokal, yakni total penerimaan rumahtangga masyarakat lokal yang bersumber dari kegiatan usahatani maupun non usahatani.

Kerangka Pemikiran

Pengembangan perkebunan kelapa sawit akhir-akhir ini terasa begitu masif. Komoditas tersebut menjadi salah satu yang diunggulkan berkat permintaan CPO (Crude Palm Oil) atau minyak kelapa sawit yang tinggi di pasar domestik maupun internasional dan relatif stabil. Keadaan ini mendorong pemerintah membuat berbagai kebijakan terkait perkebunan kelapa sawit. Kebijakan tersebut antara lain memberikan keleluasaan kepada pemodal untuk menanamkan usaha di bidang perkebunan tersebut. Kebijakan lain adalah melonggarkan izin dan prosedur terkait pengembangan perkebunan itu. Kebijakan penting lainnya adalah menyangkut pengadaan tanah perkebunan, baik pelepasan-pelepasan tanah yang bersifat individual (privat), maupun dalam pemberian konsesi tanah Hak Guna Usaha (HGU). Berkaitan dengan hal itu di atas, penelitian ini menyoroti pengembangan komoditas kelapa sawit, yang diusahakan oleh perusahaan swasta PT Sawit Graha Manunggal yang bergerak di bidang Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN). Usaha ini sebagaimana diketahui juga disertai dengan pembangunan pabrik pengolahan kelapa sawit yang berlokasi di Kabupaten Barito Timur khususnya di Desa Murutuwu, Kecamatan Paju Epat. Demi mendukung kegiatan tersebut, kebutuhan akan lahan menjadi meningkat dan menyebabkan perubahan struktur agraria menjadi sulit untuk dihindari. Perubahan struktur agraria tersebut ditandai dengan terjadinya land dispossession atau hilangnya kepemilikan atas lahan yang diakibatkan oleh perubahan struktur agraria terdiri dari tingkat penguasaan dan pelepasan lahan, dan tingkat ketergantungan pada lahan. Faktor-faktor yang dapat mendorong terjadinya perubahan struktur agraria terbagi menjadi dua, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan struktur agraria yang berasal dari masyarakat yang ditandai dengan adanya arus penjualan lahan oleh masyarakat. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor pendorong terjadinya terjadinya perubahan struktur agraria yang berasal dari luar masyarakat yang ditandai dengan adanya arus pelepasan lahan karena intervensi pemerintah dan intervensi swasta.

(22)

utama yang dilakukan warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta adanya perubahan tingkat pendapatan pada masyarakat lokal yakni terjadinya perubahan pada total penerimaan rumahtangga masyarakat lokal yang bersumber dari kegiatan usahatani maupun non usahatani.

Keterangan:

Menyebabkan Mendorong

Diteliti secara kualitatif

Gambar 2 Kerangka pemikiran

Pembangunan Perkebunan dan Pabrik

Pengolahan Kelapa Sawit

1. Tingkat akses masyarakat lokal 2. Tingkat pergeseran dan

diversifikasi mata pencaharian masyarakat lokal

3. Tingkat pendapatan masyarakat lokal

Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal (Y)

- Land dispossession :

1. Tingkat penguasaan dan pelepasan lahan

2. Tingkat ketergantungan pada lahan

Perubahan Struktur Agraria (X)

Faktor Internal (Masyarakat)

Arus penjualan lahan

Faktor Eksternal (Luar Masyarakat)

Arus pelepasan lahan: - Intervensi

(23)

Hipotesis Penelitian

Hipotesis Pengarah

Diduga perubahan struktur agraria berdampak pada aksesibilitas mata pencaharian masyarakat lokal.

Hipotesis Uji

1. Diduga perubahan struktur agraria menyebabkan perubahan akses masyarakat lokal terhadap sumber agraria.

2. Diduga perubahan struktur agraria menyebabkan pergeseran dan diversifikasi mata pencaharian masyarakat lokal.

(24)
(25)

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif yang dikuatkan dengan penelitian kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang diperoleh. Pendekatan penelitian kuantitatif diperoleh dengan melakukan survei yang menggunakan instrumen kuesioner dilapangan. Kuesioner diberikan kepada responden dengan tujuan untuk mengetahui pola perubahan struktur agraria dan perubahan aksesibilitas mata pencaharian masyarakat lokal. Penelitian ini juga bersifat eksplanatori (explanatory research) karena analisisnya menjelaskan hubungan antar variabel melalui uji hipotesis (Effendi dan Tukiran 2012).

Sementara itu, pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan menggunakan panduan wawancara. Panduan wawancara diberikan kepada informan untuk mendapatkan pengayaan data dan informasi terkait proses perubahan struktur agraria yang terjadi serta faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan tersebut. Pandangan subyektif-kualitatif informan kemudian dibandingkan dengan hasil analisis obyektif-kuantitatif responden, sehingga didapatkan informasi dengan analisa dan interpretasi yang lebih rinci dan mendalam.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Murutuwu, Kecamatan Paju Epat, Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Lokasi tersebut dipilih secara

purposive dengan pertimbangan lokasi tersebut merupakan salah satu tempat dimana pembangunan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit sedang berjalan. Pada lokasi ini melibatkan masyarakat sekitar karena banyak tanah masyarakat yang telah dilepas untuk perkebunan kelapa sawit serta terjadi sangketa antara petani plasma yang merasa dirugikan dan perusahan kelapa sawit karena ketidakjelasan lokasi kebun plasma serta sistem bagi hasil dengan pola kemitraan yang tidaksesuai dengan perjanjian awal, yakni 20% berbanding 80%.

Penelitian dilaksanakan dalam waktu lima bulan, terhitung mulai bulan Januari 2016 sampai dengan Juni 2016. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, perbaikan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan penulisan skripsi.

Teknik Pemilihan Responden dan Informan

(26)

random sampling atau teknik acak sederhana. Teknik simple random sampling

merupakan probability sampling dimana setiap unit penelitian mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel sehingga setiap hasilnya dapat dievaluasi secara obyektif. Pengambilan sampel acak yang terpilih ditentukan dari kerangka percontohan atau sampling frame.

Sementara itu pemilihan informan akan dilakukan secara sengaja (purposive) dan jumlahnya tidak ditentukan. Pemilihan informan tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball) yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Teknik bola salju akan digunakan untuk memperkaya data dan informasi penelitian. Pencarian data dan informasi menggunakan teknik ini akan berhenti apabila tambahan informasi tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau informasi yang didapatkan sudah berada pada titik jenuh. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah aparatur desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat, yang dianggap mengetahui dengan jelas perkembangan wilayah Desa Murutuwu. Dalam pencarian data dan informasi dilakukan wawancara mendalam terhadap informan dengan menggunakan panduan pertanyaan.

Karakteristik Responden

Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga dari masyarakat lokal di Desa Murutuwu yang diambil kerangka sampling dari 3 RT (Rukun Tetangga). Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 35 responden. Adapun karakteristik responden yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, lama tinggal di lokasi, status kependudukan, jumlah tanggungan, pekerjaan saat ini, dan luas kepemilikan lahan.

Tabel 1 Karakteristik responden

No Karakteristik

2 Jenis Kelamin Laki-Laki

(27)

5 Jumlah Tanggungan

6 Status Kependudukan Asli

Pendatang

Pengkategorian karakteristik responden dalam penelitian ini dibuat menggunakan standar deviasi dengan kategori rendah, sedang, dan tinggi. Pada tabel 1 ditunjukkan bahwa 42.8% responden berusia kurang dari 40 tahun, 28.6% berusia antara 40 sampai 53 tahun, dan 28.6% berusia lebih dari 53 tahun. Rata-rata usia responden adalah 47 tahun dengan 97.1% responden berjenis kelamin laki-laki, dan 2.9% responden berjenis kelamin perempuan. Pada tingkat pendidikan, sebanyak 40% responden menamatkan pendidikan formal di tingkat SMA, 13% responden menamatkan pendidkan di tingkat SMP, dan 2.9% menamatkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi (strata 1). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan responden di Desa Murutuwu sudah cukup tinggi walaupun masih ada 20% responden yang hanya menamatkan pendidikan di tingkat SD.

Meskipun tingkat pendidikan responden cukup tinggi, masuknya perkebunan kelapa sawit dan didirikannya pabrik pengolahan kelapa sawit di Desa Murutuwu serta menurunnya harga komoditas karet nyatanya mampu merubah mata pencaharian responden. Pekerjaan responden yang awalnya adalah mayoritas petani karet dirasa tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebanyak 68.6% responden saat ini bekerja sebagai buruh harian lepas di PT Sawit Graha Manunggal. Namun, masih terdapat 25.7% responden bertahan menjadi petani karet, 2.9% responden adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 2.9% responden adalah wiraswasta/usahawan. Perubahan mata pencaharian responden juga berkaitan dengan jumlah tanggungan responden. Jumlah tanggungan dalam keluarga responden dilihat dari banyaknya jumlah orang yang menjadi tanggungan dalam keluarga, dimana jumlah tanggunan responden pada Desa Murutuwu termasuk dalam jumlah yang tinggi. Tabel 1 menunjukkan bahwa sebanyak 14.3% responden memiliki tanggungan 1 orang, 71.4% responden memiliki tanggungan sebanyak lebih dari 1 sampai dengan 3 orang, 14.3% responden memiliki tanggungan sebanyak lebih dari 3 orang dengan rata-rata jumlah tanggungan responden adalah 2 orang.

(28)

responden tinggal di Desa Murutuwu kurang dari 39 tahun, kemudian sebanyak 34.3% responden tinggal di Desa Murutuwu sekitar 39 sampai 53 tahun, dan sebanyak 28.6% responden telah tinggal di Desa Murutuwu lebih dari 53 tahun.

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian yang dilakukan menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dilapangan melalui observasi, survei, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada responden maupun informan. Alat ukur yang digunakan dalam mengumpulkan data kuantitatif adalah kuesioner yang ditujukan kepada responden. Pengisian kuisioner dipandu oleh peneliti untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pengisian jawaban.

Sementara itu, data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis di kantor Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Barito Timur, Dinas Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Barito Timur, kantor kecamatan Paju Epat, kantor desa Murutuwu, serta kantor BPS Kabupaten Barito Timur yang berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu didukung pula dengan buku, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan laporan penelitian yang diperoleh baik dalam bentuk cetak maupun elektronik yang berfungsi sebagai literatur atau rujukan tambahan dalam pelaksanaan penelitian. Sedangkan untuk mengumpulkan data kualitatif, digunakan teknik wawancara mendalam dengan menggunakan panduan pertanyaan kepada aparatur desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat,yang dianggap mengetahui dengan jelas perkembangan dari wilayah penelitian. Observasi atau pengamatan di lapangan juga akan dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara langsung di lapang serta aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini memiliki dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kuatitatif dan kualitatif. Pengolahan data kuantitatif menggunakan aplikasi

Microsoft Excel dan SPSS. for windows 22.0. Pembuatan table frekuensi, grafik, serta diagram, untuk melihat data responden masing-masing variable secara tunggal menggunakan Microsoft Excel 2013. Selanjutnya SPSS. for windows 22.0 digunakan untuk membantu dalam uji statistik yang akan menggunakan uji regresi linear sederhana. Uji regresi linear sederhana adalah alat analisis peramalan nilai pengaruh satu variabel bebas terhadap variabel terikat. Adapun variabel-variabel yang akan diuji dengan regresi linear sederhana adalah perubahan struktur agraria, dengan tingkat akses masyarakat lokal, tingkat pergeseran dan diversifikasi mata pencaharian masyarakat lokal, serta tingkat pendapatan masyarakat lokal dengan taraf signifikasi 5%. Variabel bebas atau pengaruh adalah perubahan struktur agraria dan variabel terikat atau terpengaruh adalah tingkat akses masyarakat lokal, tingkat pergeseran dan diversifikasi mata pencaharian masyarakat lokal, serta tingkat pendapatan masyarakat lokal.

(29)

sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keperluan untuk menjawab pertanyaan analisis didalam penelitian. Selanjutnya penyajian data dengan menyusun segala informasi dan data yang diperoleh dalam bentuk matriks dan narasi yang mudah untuk dibaca serta dipahami. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi.

Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur variabel. Adapun definisi operasional yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Perubahan Struktur Agraria

Land Dispossession, merupakan hilangnya kepemilikan atas lahan yang diakibatkan oleh perubahan struktur agraria. Variabel ini menggunakan skala interval dengan akumulasi skor dibagi menggunakan standar deviasi ke dalam tiga kategori yakni rendah (skor <12,5), sedang (skor 12,5 - 13,5), dan tinggi (skor >13,5). Variabel ini akan dianalisis secara kuantitatif dengan peubah dan indikator sebagai berikut:

a. Tingkat penguasaan dan pelepasan lahan adalah status dan ukuran lahan yang masih dikuasai dan telah dilepaskan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengukuran ini ditentukan secara subjektif dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit yang dialami oleh responden. Data diukur dengan mengajukan pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak serta dengan pertanyaan terbuka sebagai keterangan.

b. Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauhmana lahan berpengaruh dalam memenuhi kebutuhan hidup responden. Diukur berdasarkan seberapa besar ketergantungan responden terhadap lahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengajukan pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak serta dengan pertanyaan terbuka sebagai keterangan.

2. Aksesibilitas Mata Pencaharian Masyarakat Lokal

Variabel ini akan dianalisis secara kuantitatif dengan peubah dan indikator sebagai berikut:

a. Tingkat akses masyarakat lokal adalah kemampuan responden untuk menjangkau dan menggunakan sumber agraria. Pengukuran ini ditentukan secara subjektif dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah adanya perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit yang dialami oleh responden. Data diukur dengan mengajukan pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak. Variabel ini menggunakan skala interval dengan akumulasi skor dibagi menggunakan standar deviasi ke dalam tiga kategori yakni rendah (skor <11,5), sedang (skor 11,5 - 12,5), dan tinggi (skor >12,5).

(30)

diukur dengan mengajukan pertanyaan tertutup dengan opsi Ya dan Tidak serta dengan pertanyaan terbuka, berdasarkan indikator:

 Perubahan pola kerja adalah perbedaan kesibukan atau kegiatan yang responden lakukan setiap harinya untuk mencari nafkah sebelum dan setelah adanya perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit

 Tingkat kesempatan kerja adalah persepsi responden terhadap terbukanya peluang masyarakat untuk bekerja setelah adanya perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit.

(31)

GAMBARAN UMUM LOKASI

Kondisi Umum

Desa Murutuwu merupakan bagian dari Kecamatan Paju Epat yang berjarak lebih kurang 1.5 km dari Kantor Kecamatan Paju Epat dan dapat ditempuh selama kurang lebih 45 menit dari ibu kota Kabupaten Barito Timur, Tamiang Layang. Desa Murutuwu awalnya berdiri dengan nama Desa Ganting, yang kemudian berganti nama menjadi Desa Bauning hingga kemudian terjadi pergantian nama menjadi Desa Murutuwu yang digunakan hingga saat ini. Desa Murutuwu dipimpin oleh Pemakal yang sekarang disebut sebagai Kepala Desa yang terdiri dari 18 orang terpilih seumur hidup dan 10 orang yang secara bergantian memimpin Desa Murutuwu.

Desa Murutuwu terdiri atas 3 Rukun Tetangga (RT), yakni RT 01, RT 02, dan RT 03. Luas wilayah Desa Murutuwu adalah 6.400 ha/m. Desa Murutuwu memiliki kemiringan lahan yang landai yakni 15o dengan bentangan wilayah topografinya pasir dan rawa. Iklim Desa Murutuwu adalah tropis yakni kemarau dan penghujan dengan kelembaban suhu rata-rata 21.94-34.89o C serta dengan curah hujan rata-rata 231.13 mm/tahun.

Secara geografis Desa Murutuwu berbatasan dengan:

 Utara : Desa Balawa

 Selatan : Desa Telang dan Siong

 Barat : Kabupaten Barito Selatan

 Timur : Kecamatan Dusun Timur

Desa Murutuwu memiliki kelembagaan pemerintahan/permasyarakatan dengan perangkat desa yang terdiri dari:

 Sekretaris Desa : 1 orang

 Kepala Urusan : 3 orang

 Badan Permusyawaratan Desa : 11 orang

Kelembagaan lain yang ada di Desa Murutuwu di antaranya adalah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, FKUD, SPP, SPPR, Posyandu, PKK, Muda-Mudi Katolik (Bika/ Mudika), SHA, Kelompok Tani, serta Karang Taruna.

(32)

Dinamakan anggrek hitam karena anggrek ini memiliki lidah berwarna hitam dan sedikit garis-garis berwarna hijau dan berbulu. Saat ini, anggrek hitam merupakan ikon dari Kabupaten Barito Timur dan maskot kebanggaan dari Provinsi Kalimantan Tengah.

Kondisi Sosial

Desa Murtuwu mempunyai jumlah penduduk kurang lebih 662 Jiwa dan 205 kepala keluarga (KK) yang terbagi dalam 3 Rukun Tetangga (RT), dimana 46 kepala keluarga di RT 01, 69 kepala keluarga di RT 02, dan 90 kepala keluarga di RT 03. Penduduk Desa Murutuwu beragam, keberagaman ini bisa dilihat dari kelompok umur, jenis kelamin, mata pencaharian, agama hingga tingkat pendidikan. Berikut data penduduk Desa Murutuwu berdasarkan kelompok umur yang bersumber dari data Desa Murutuwu pada April Tahun 2016:

Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk Desa Murutuwu berdasarkan umur tahun 2016

Umur Jumlah

Orang Persentase (%)

0 – 6 110 16.6

7 – 15 96 14.5

16 – 21 87 13.1

22 – 59 304 46.0

60 Keatas 65 9.8

Total 662 100.0

Sumber: Data sekunder 2016

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa penduduk dengan jumlah terbanyak yakni 304 orang atau 46% penduduk Desa Murutuwu berada pada kelompok umur 20-24 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Murutuwu berusia produktif. Sebaran penduduk Desa Murutuwu juga dapat dilihat berdasarkan tingkat pendidikan. Berikut jumlah penduduk Desa Murutuwu berdasarkan tingkat pendidikan:

Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Murutuwu berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2016

Tingkat Pendidikan Jumlah

Orang Persentase (%)

Tidak tamat SD 125 19.0

Tamat SD 108 16.3

Tamat SMP 190 29.0

Tamat SLTA 199 30.1

Sarjana 37 5.6

Total 662 100.0

(33)

Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat bahwa penduduk Desa Murutuwu memiliki pendidikan cukup tinggi yakni tamat SLTA dengan jumlah 199 orang atau sebanyak 30%. Selain itu, jumlah penduduk berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk Desa Murutuwu berdasarkan agama tahun 2016

Agama Jumlah

Orang Persentase (%)

Islam 58 9.0

Protestan 336 53.0

Khatolik 200 32.0

Hindu (Kaharingan) 38 6.0

Total 662 100.0

Sumber: Data sekunder 2016

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Desa Murutuwu beragama Kristen Protestan. Setelah Kristen Protestan, agama terbesar kedua yang dipeluk oleh masyarakat Desa Murutuwu adalah Khatolik. Selain itu, mayoritas penduduk Desa Murutuwu adalah bersuku Dayak Ma’anyan.

Kondisi Ekonomi

Sebaran mata pencaharian masyarakat Desa Murutuwu dapat dilihat melalui jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian sebagai berikut:

Tabel 5 Jumlah dan persentase mata pencaharian penduduk Desa Murutuwu tahun 2016

Mata Pencaharian Jumlah

Orang Persentase (%)

Petani (Karet) 142 67.6

Pedagang 24 11.4

PNS 30 14.0

Tukang dan lain lain 14 7.0

Total 210 100.0

Sumber: Data sekunder 2016

(34)

dari Desa Murutuwu, setelah masuknya perkebunan kelapa sawit ke desa ini, 50% dari masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani karet mengganti mata pencahariannya menjadi buruh harian lepas di PT Sawit Graha Manunggal dengan tugas seperti menyiram jalan perusahaan, bongkar muat buah sawit, pemupukan, mendodos, atau menebas rumput di sekitar perkebunan kelapa sawit. Tidak adanya laporan resmi dari PT Sawit Graha Manunggal mengenai berapa banyak jumlah tenaga kerja yang diserap oleh perusahaan tersebut kepada pemerintah Kecamatan Paju Epat serta tidak adanya data mengenai berapa banyak jumlah masyarakat Desa Murutuwu yang menjadi buruh sawit mengakibatkan data monografi Desa Murutuwu tidak sepenuhnya akurat dalam menggambarkan keragaman mata pencaharian masyarakat di Desa Murutuwu.

Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Desa Murutuwu juga memiliki hewan ternak. Adapun jumlah kepemilikan hewan ternak oleh penduduk Desa Murutuwu adalah sebagai berikut:

Tabel 6 Jumlah kepemilikan hewan ternak penduduk Desa Murutuwu

Jenis Ternak Jumlah (ekor)

Ayam dan Bebek 350

Babi 300

Sapi 3

Total 653

Sumber: Data sekunder 2016

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah terbesar kepemilikan hewan ternak masyarakat Desa Murutuwu adalah ayam dan bebek. Selain ayam dan bebek, banyak masyarakat Desa Murutuwu yang beternak babi. Babi yang diternakan biasanya dijual untuk menambah penghasilan atau dipergunakan untuk hidangan dalam kegiatan keagamaan seperti ibadah mingguan masyarakat Desa Murutuwu maupun sebagai syarat dalam upacara adat.

Kondisi Sarana dan Prasarana

Kondisi sarana dan prasarana Desa Murutuwu secara garis besar adalah sebagai berikut:

Tabel 7 Jumlah fasilitas sarana pendidikan Desa Murutuwu tahun 2016

Sarana Pendidikan Jumlah (buah)

TK 2

SD 1

SMP 1

Total 4

Sumber: Data sekunder 2016

(35)

terhadap pendidikan. Selain itu, tidak adanya fasilitas sarana pendidikan untuk SMA menyebabkan pemuda Desa Murutuwu harus pergi ke daerah lain untuk bersekolah. Selain fasilitas sarana pendidikan, terdapat pula fasilitas sarana umum Desa Murutuwu yakni sebagai berikut:

Tabel 8 Jumlah fasilitas sarana umum Desa Murutuwu tahun 2016

Sarana Umum Jumlah (buah)

Kantor Desa 1

Balai Desa 1

Los Pasar 1

Puskesmas Pembantu 1

Posyandu 1

Poskamling 3

Total 8

Sumber: Data sekunder 2016

Berdasarkan tabel 8, dapat dilihat Desa Murutuwu memiliki 1 buah kantor desa, dan 1 buah balai desa. Balai desa merupakan tempat bagi masyarakat untuk bermusyawarah dalam membahas kegiatan-kegiatan pembangunan desa. Kemudian, tersedia juga 1 buah los pasar, 1 buah puskesmas pembantu, 1 buah posyandu, serta 1 buah poskamling. Selain itu, terdapat pula fasilitas rumah ibadah sebagai berikut:

Tabel 9 Jumlah fasilitas rumah ibadah Desa Murutuwu tahun 2016

Rumah Ibadah Jumlah (buah)

Masjid 2

Gereja 5

Rumah Ibadah Hindu Kaharingan 1

Balai Adat Hindu Kaharingan 1

Total 4

Sumber: Data sekunder 2016

Tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah fasilitas rumah ibadah terbanyak adalah 5 buah Gereja. Hal ini disebabkan mayoritas masyarakat Desa Murutuwu memeluk agama Kristen Protestan. Selain itu, terdapat 2 buah masjid, 1 buah rumah ibadah Hindu Kaharingan, dan 1 buah balai adat Hindu Kaharingan. Balai adat biasanya digunakan masyarakat untuk kegiatan-kegiatan adat seperti upacara adat ataupun untuk bermusyawarah membicarakan masalah-masalah adat.

(36)
(37)

DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA

Dinamika struktur agraria merupakan gerak perubahan struktur agraria yang terjadi dalam masyarakat dan terkait dengan pola penguasaan dan penggunaan lahan. Struktur agraria dalam masyarakat akan selalu berubah seiring dengan pertambahan waktu dan berbagai fenomena sosial yang terjadi. Dinamika struktur agraria yang terjadi pada Desa Murutuwu yang menjadi lokasi dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga periodisasi, yakni periode pra masuknya komoditas kelapa sawit, periode proses masuknya komoditas kelapa sawit dan pasca masuknya komoditas kelapa sawit.

Periode Pra Masuknya Komoditas Kelapa Sawit

Periode yang pertama adalah masa pra masuknya komoditas kelapa sawit yang terjadi pada tahun 2007 sampai 2008. Sebelum masuknya komoditas sawit, pola pemilikan lahan dan penguasaan lahan pada Desa Murutuwu berada pihak perseorangan (individu). Sebanyak 80% masyarakat pada desa ini mengusahakan lahan sendiri. Institusi yang mengatur pola kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut adalah pemerintahan desa melalui Badan Pertahanan Nasional sebagai institusi formal, dan lembaga adat (hukum adat) sebagai institusi non-formal. Sebagian besar masyarakat Desa Murutuwu mendapatkan lahan dari pola waris dan jual beli. Pola penggunaan lahan yang ada di Desa Murutuwu pada masa ini sebagian besar diusahakan untuk perkebunan karet. Perekonomian masyarakat Desa Murutuwu pun menjadi bertumpu kepada komoditas karet, sehingga hampir 90% masyarakat Desa Murutuwu merupakan petani karet dan masih belum akrab dengan komoditas kelapa sawit. Masyarakat Desa Murutuwu umumnya memproduksi kantalan (lump) sebagai hasil sadapan getah karet yang mereka lakukan. Jumlah produksi rata-rata adalah 7.5 kg/kk (berkisar antara 5-10 kg/kk). Bervariasinya jumlah produksi ini sangat tergantung dari curahan kerja rumah tangga yang tersedia dan juga ketersediaan atau jumlah luasan kebun karet dan produktivitas yang dapat mereka usahakan. Masa ini juga merupakan masa awal kedatangan investor ke Desa Murutuwu untuk melakukan peninjauan wilayah karena investor melihat Desa Murutuwu memiliki potensi dan merupakan areal penggunaan lain lahan, serta bukan areal konservasi.

“Awalnya sawit sangat susah masuk di Kabupaten Barito Timur. Susahnya begini, masyarakat Barito Timur khususnya Desa Murutuwu hanya mengenal sawit dengan seadanya. Apalagi untuk Kalimantan Tengah, pada era 2007 sawit memang belum berkembang karena pada umumnya di Kalimantan Tengah komoditi yang dikembangkan adalah karet. Tapi karet ini ada kendala, kendalanya adalah walaupun sudah bisa produksi, kalau musim hujan susah untuk menyadapnya. Jadi, tidak dapat tiap hari. Saat itu, sebagai penyangga perekonomian masyarakat, karet itu menjadi primadona untuk Kalimantan Tengah. Banyak yang

(38)

Kedatangan investor yakni pihak PT Sawit Graha Manunggal ke Desa Murutuwu menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat sehingga memunculkan dua kelompok masyarakat. Kelompok tersebut adalah kelompok yang pro terhadap investor dan akan menerima masuknya komoditas kelapa sawit, dan kelompok yang kontra sehingga menolak untuk bersinergi dengan investor. Masyarakat yang termasuk kedalam kelompok-kelompok kontra dan menolak kehadiran PT Sawit Graha Manunggal sempat melakukan pemblokiran pada area-area yang ditinjau oleh investor. Investor akan dihadang oleh masyarakat jika memasuki area-area tersebut. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak PT Sawit Graha Manunggal tidak membuahkan hasil sehingga mereka ditarik kembali oleh manajemen. Hingga pihak PT Sawit Graha Manunggal kembali ke Desa Murutuwu dan mulai melakukan pendekatan-pendekatan dengan masyarakat desa, khususnya dengan tokoh masyarakat di Desa Murutuwu. Melalui tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Desa Murutuwu tersebut, PT Sawit Graha Manunggal kembali mencoba membujuk masyarakat Desa Murutuwu untuk dapat menerima kehadiran dari komoditas sawit. PT Sawit Graha Manunggal pun melakukan sosialisasi pertama mengenai perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang memiliki hak milik atas lahan dikumpulkan dan dilakukan musyawarah hingga muncul keputusan bahwa lahan yang dilepaskan, 80% milik PT Sawit Graha Manunggal, dan 20% nya lagi akan diberikan kepada masyarakat dengan sebutan lahan plasma.

“Pada sosialisasi sawit yang pertama diberitahukan bahwa akan

dibuka perkebunan kelapa sawit seluas 4000 ha di Desa Murutuwu ini, dan dengan perjanjian bagi masyarakat yang melepaskan

lahannya akan mendapat 20% kebun plasma. (B 54)”

Periode Proses Masuknya Komoditas Kelapa Sawit

Periode kedua merupakan masa proses masuknya komoditas kelapa sawit terjadi pada tahun 2009-2014 yang ditandai dengan keluarnya perizinan usaha perkebunan yang mencakup izin lokasi Nomor 234 tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Bupati Kabupaten Barito Timur untuk PT Sawit Graha Manunggal yang akan membangun kegiatan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit di Kecamatan Paju Epat, khususnya di Desa Murutuwu. Sebelumnya, PT Sawit Graha Manunggal ini juga telah mengantongi izin usaha perkebunan Nomor 254 Tahun 2006 dan izin pelepasan kawasan hutan Nomor 671/Menhut-II/2009 di Kabupaten Barito Timur yang meliputi Kecamatan Dusun Timur, Dusun tengah, Paku, Karusen Janang, Pematang Karau, dan termasuk Kecamatan Paju Epat. Setelah adanya perizinan, dimulailah sosialisasi lanjutan kepada masyarakat Desa Murutwu mengenai perkebunan kelapa sawit, pembebasan lahan, dan kegiatan penanaman komoditas kelapa sawit.

“Pada tahap pertama, sebanyak 600 ha lahan dibebaskan. Dan pada tahap kedua dan ketiga dilakukan pembebasan lahan

(39)

Perubahan struktur agraria mulai terjadi pada masa ini, dimana terjadi pelepasan kawasan hutan baik hutan negara maupun hutan adat, serta lahan masyarakat lokal yang sebagian besar adalah perkebunan karet kemudian dikonversikan untuk memenuhi kebutuhan lahan dari perkebunan pabrik pengolahan kelapa sawit milik PT Sawit Graha Manunggal. Pola kepemilikan lahan banyak mengalami pergeseran pada masa ini sehingga terjadi proses transfer kepemilikan. Proses transfer kepemilikan ini terjadi melalui sistem ganti rugi baik terhadap lahan masyarakat maupun hutan adat (tanah junjungan) yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Harga lahan mulai semakin tinggi terlebih untuk lahan yang telah bersertifikat. Adanya harga atas lahan di Desa Murutuwu mulai memunculkan konflik antar keluarga dalam masyarakat, dikarenakan adanya perebutan kepemilikan lahan warisan yang mereka miliki.

“Awalnya tanah tidak ada nilai di Desa Murutuwu ini, setelah ada perusahan masuk ke sini, masyarakat mulai tahu harga tanah. Harga lahan sekitar 3.000.000 rupiah perhektarnya tapi makin hari makin tinggi harganya. (B 54)”

Kemudian pada tahun 2011, PT Sawit Graha Manunggal kembali mendapat perpanjangan izin usaha perkebunan di Kecamatan Paju Epat melalui Keputusan Bupati Barito Timur Nomor 381 Tahun 2011 tanggal 23 November 2011 dengan luas 17.453 ha yang mencakup wilayah Desa Murutuwu dan sekitarnya. Selain terjadi perubahan struktur agraria, pada masa ini juga mulai terjadi pergeseran dan diversifikasi mata pencaharian masyarakat. Seiring dengan semakin menurunnya harga komoditas karet, masyarakat yang awalnya kontra terhadap perkebunan kelapa sawit perlahan mulai menerima kehadiran komoditas yang masih mereka anggap baru tersebut. Setelah mulai merasakan adanya keterdesakan ekonomi, masyarakat yang awalnya petani karet pun memilih untuk menjadi buruh harian lepas di PT Sawit Graha Manunggal. Masyarakat merasakan adanya dampak positif dari masuknya perkebunan kelapa sawit ke Desa Murutuwu karena telah membuka lapangan pekerjaan baru dan dianggap cukup membantu dalam meningkatkan perekonomian masyarakat yang sempat mengalami penurunan akibat murahnya harga komoditas karet.

“Saya melihat mata pencaharian masyarakat tidak aman. Perekonomian masyarakat semakin terpuruk. Masyarakat yang awalnya Petani Karet merasa semakin kekurangan. Namun dengan adanya perusahaan sawit mereka menjadi tertolong. Muncul lapangan pekerjaan baru yang dapat membantu menambah penghasilan mereka. (WJ 74)”

Gambar

Gambar 1  Kategori perubahan mata pencaharian
Gambar 2  Kerangka pemikiran
Tabel 1  Karakteristik responden
Gambar 3  Ketidakjelasan kebun plasma
+3

Referensi

Dokumen terkait

Gelombang kecil (biasanya dibangkitkan oleh kapal yang bergerak) dan sebagainya. Dalam hal ini bentuk gelombang yang umum dipakai adalah gelombang angin dan gelombang

Berdasarkan Pasal 86 ayat (3) PP No. Definisi Jembatan secara umum adalah suatu konstruksi yang dibangun untuk melewatkan suatu massa atau traffic lewat atas

Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun aplikasi penjadwalan mata kuliah di Jurusan Matematika Universitas Negeri Medan menggunakan AlgoritmaWelch Powell yang berfungsi untuk

5 Menerima berkas perkara dari Panitera untuk dicatat tanggal penetapan PMH pada buku induk register, mencatat susunan Majelis Hakim (termasuk nama PP) , mencatat tanggal PHS

We go all out for all in MEMILIkI vOLuME INTERIOR TERBAIk DALAM kELASNyA, RENEGADE MEMILIkI RuANG yANG LuAS SEhINGGA ANDA DAPAT BERPETuALANG DENGAN NyAMAN.. adJuStable cargo floor

Web pada awalnya adalah ruang informasi dalam internet, dengan menggunakan teknologi hypertext, pemakai dituntun untuk menemukan informasi dengan mengikuti link yang disediakan

Pengetahuan struktur konstruksi dan tektonika arsitektur tongkonan, menunjukkan bahwa “tongkon” merupakan pengetahuan mendirikan arsitektur tongkonan yang spesifik,

Dasar hukum dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Undang Undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak Negara Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN.KB),