ANALISIS PENGARUH REFORMASI BIROKRASI
TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH
Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat
MAI DAMAI RIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Mai Damai Ria
RINGKASAN
MAI DAMAI RIA. Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan DEDDY S. BRATAKUSUMAH.
Reformasi Birokrasi dimaknai sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan. Reformasi birokrasi meliputi perubahan struktur dan reposisi birokrasi, perubahan sistem politik dan hukum secara menyeluruh, perubahan sikap mental dan budaya birokrat dan masyarakat, serta perubahan mindset dan komitmen pemerintah serta partai politik. Pada tahun 2010, reformasi birokrasi ditetapkan sebagai program yang harus dilaksanakan oleh kementerian/lembaga/pemerintah daerah, ditandai dengan penetapan Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Sampai tahun 2013, instansi yang telah melaksanakan reformasi birokrasi sebanyak 56 kementerian/lembaga. Sedangkan untuk level pemerintah daerah sebanyak 98 pemda menjadi pilot project. Namun di sisi lain, masih banyak ditemukan permasalahan pada birokrasi pemerintah. Ditandai dengan terus meningkatnya pengaduan masyarakat mengenai buruknya kualitas pelayanan publik dan tingginya kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara atau aparat birokrasi.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi pada pemerintah daerah, (2) mengetahui pengaruh pelaksanaan reformasi birokrasi terhadap kinerja pemerintah daerah, dan (3) merumuskan strategi peningkatan tingkat keberhasilan reformasi birokrasi. Evaluasi pelaksanaan RB menggunakan instrumen kuesioner dengan skala likert berdasarkan pedoman evaluasi pada Permenpanrb No.14 tahun 2014. Pengaruh RB terhadap kinerja pemerintah daerah dianalisis menggunakan Uji t. Sedangkan strategi peningkatan keberhasilan RB dirumuskan dengan metoda AHP (Analytical Hierarchy Process). Hasil analisis menunjukkan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi di Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada komponen proses mencapai tingkat keberhasilan 74 persen. Namun pada komponen hasil hanya mencapai skor 53,93 pada skala 1-100. Selain itu reformasi birokrasi berpengaruh terhadap kinerja pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, namun tidak berpengaruh terhadap kinerja ekonomi. Strategi yang menjadi prioritas utama dalam peningkatan keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi adalah meningkatkan kompetensi SDM aparatur.
SUMMARY
MAI DAMAI RIA. Analysis Of Bureaucratic Reform Influence On Local Government Performance Case Study Government of West Java Province. Supervised by : HERMANTO SIREGAR and DEDDY S. BRATAKUSUMAH
Bureaucratic Reform is a major change in paradigm and governance, including changes in the structure and repositioning of bureaucratic, political and legal system, mental attitudes and bureaucratic culture and society, and changes in mindset and commitment of the government and political parties. In 2010, bureaucratic reform program had to be implemented by ministries / agencies / local government, marked by the establishment of Presidential Regulation No. 81 of 2010 on the Grand Design of Bureaucratic Reforms 2010-2025. Until 2013, bureaucratic reform program has been implemented by 56 central government agencies and 98 local governments as pilot project. Nevertheless, there are still many problems in the government bureaucracy. Marked with the increasing of public complaints about the poor quality of public services and the high level of corruption involving state officials or bureaucratic apparatus.
The aims of this study are (1) to analyze the implementation of bureaucratic reform in local government and (2) its influence on local government performance, (3) to formulate strategies for improving the success of bureaucratic reform implementation. The evaluation of bureaucratic reform implementation is conducted using the questionnaire with Likert scale based on the evaluation guidelines Permenpanrb RB 14/2014. The influence of bureaucratic reform on local government performance were analyzed using t-test, while the strategy for improving bureaucratic reform implementation formulated by AHP (Analytical Hierarchy Process). The results show that on the bureaucratic reform component of process in West Java Province Government achieve 74 percent success rate. However, the bureaucratic reform component of result reached only score 53.93 on a 1-100 scale. The bureaucratic reform program affect on the public service and welfare society performance, but does not affect on economic performance of West Java Province Government. The top priority strategy for improving the success of bureaucratic reform implementation is through the strengthening of human resource competence.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
ANALISIS PENGARUH REFORMASI BIROKRASI
TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH
Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
MAI DAMAI RIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat
Nama : Mai Damai Ria
NRP : H152130181
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua
Ir. Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc., Ph.D Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 20 Juni 2016
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini. Tesis ini berjudul “Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat“, disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M. Ec. dan Bapak Ir. Deddy S.
Bratakusumah, BE, MURP, M.Sc, Ph.D sebagai pembimbing.
2. Segenap dosen Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) IPB.
3. Pimpinan dan staf Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian (P2SMTP) LIPI atas beasiswa dan pemberian kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi. 4. Ibu, Bapak (Alm), Suami, Anak-anak, dan seluruh keluarga untuk cinta, doa,
dan pengorbanannya.
5. Teman-teman PWD angkatan 2013 dan seluruh civitas PWD.
Tesis ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca, khususnya dalam program reformasi birokrasi. Semoga Tesis ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 9
Kegunaan Penelitian 9
Ruang Lingkup Penelitian 9
2 TINJAUAN PUSTAKA 10
Birokrasi 10
Reformasi Birokrasi 13
Kinerja Pemerintah Daerah 23
Evaluasi Pelaksanaan Program 26
Metode Analisis yang Digunakan 27
Tinjauan Penelitian Sebelumnya 27
Kerangka Pemikiran 30
Hipotesis Penelitian 31
3 METODE PENELITIAN 32
Lokasi dan Waktu Penelitian 32
Jenis dan Sumber Data 32
Metode Pengumpulan Data 32
Metode Analisis Data 33
Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi 33
Analisis Kinerja Pemerintah Daerah 35
Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja Pemerintah
Daerah 38
Metode Perumusan Strategi Peningkatan Keberhasilan Reformasi
Birokrasi 39
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 42
Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat 42
Perjalanan Reformasi Birokrasi di Jawa Barat 49
Analisis Hasil Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi 51
Komponen Proses (Pengungkit) 51
Analisis Perubahan Pola Pikir dan Budaya Kerja (Manajemen Perubahan) 52
Analisis Penataan Peraturan Perundang-undangan 52
Analisis Penataan dan Penguatan Organisasi 53
Analisis Penataan Tata Laksana 53
Analisis Penguatan Pengawasan 55
Analisis Penguatan Akuntabilitas Kinerja 56
Analisis Penguatan Kualitas Pelayanan Publik 56
Analisis Proses Reformasi Birokrasi Secara Keseluruhan 57
Komponen Hasil 58
Analisis Komponen Hasil Pemerintahan Bersih dan Bebas KKN 59
Analisis Komponen Hasil Kualitas Pelayanan Publik 59
Analisis Komponen Hasil Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi60 Analisis Hasil Evaluasi Kinerja Pemerintah Provinsi Jawa Barat 61
Kinerja Ekonomi 62
Kinerja Pelayanan Publik 63
Kinerja Kesejahteraan Masyarakat 64
Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja dengan Uji t 65 Strategi Peningkatan Keberhasilan Reformasi Birokrasi 68 Analisis Faktor dalam Strategi Peningkatan Tingkat Keberhasilan
Reformasi Birokrasi 70
Analisis Aktor dalam Strategi Peningkatan Keberhasilan Reformasi
Birokrasi 71
Analisis Tujuan dalam Strategi Peningkatan Keberhasilan Reformasi
Birokrasi 71
Analisis Strategi terhadap Peningkatan Keberhasilan Reformasi Birokrasi 71
Resume Hasil dan Pembahasan 73
5 SIMPULAN DAN SARAN 73
Simpulan 73
Saran 74
Implikasi Kebijakan 74
DAFTAR PUSTAKA 76
LAMPIRAN 80
RIWAYAT HIDUP 97
DAFTAR TABEL
1 Instansi yang telah menerapkan reformasi birokrasi 4
2 Pengaduan masyarakat berdasarkan provinsi terlapor 6
3 Tersangka/terdakwa menurut tingkat jabatan tahun 2004 s.d 2014 7 4 Perkara tindak pidana korupsi berdasarkan instansi tahun 2004 s.d 2014 8 5 Perkara korupsi berdasarkan wilayah tahun 2004 s.d 2014 8 6 Area perubahan reformasi birokrasi dan hasil yang diharapkan 16
7 Paradigma pelayanan publik 19
8 Indikator penilaian evaluasi reformasi birokrasi 22
9 Indikator kinerja pemerintah daerah 26
10 Pengambilan sampel penelitian 33
12 Kelompok sampel Uji t 39
13 Skala penilaian pada AHP 40
14 Perkembangan PDRB dan PDRB per kapita Provinsi Jawa Barat menurut
harga berlaku 43
15 Perkembangan PDRB dan PDRB per kapita Provinsi Jawa Barat menurut
harga konstan 2000 44
16 Distribusi PDRB menurut Lapangan Usaha (%) 45
17 Perangkat organisasi pemerintah Provinsi Jawa Barat 48
18 Nilai akuntabilitas kinerja instansi pemerintah provinsi tahun 2015 61
19 Hasil evaluasi komponen hasil 61
20 Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) Jawa Barat tahun 2005 s.d 2014 62 21 Indeks Kinerja Pelayanan Publik (IPP) Jawa Barat tahun 2005 s.d 2014 63 22 Indeks kinerja Kesejahteraan Masyarakat (IKM) Jawa Barat tahun 2005 s.d
2014 65
23 Hasil Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov 66
24 Hasil Uji Homogenitas Ragam dengan Tes Levene 67
25 Hasil Uji t terhadap indeks kinerja 67
26 Nilai Consistency Ratio (CR) pada AHP 69
27 Bobot dan prioritas faktor 70
28 Bobot dan prioritas aktor 71
29 Bobot dan prioritas tujuan 71
30 Bobot dan prioritas strategi 72
DAFTAR GAMBAR
1 Pengaduan masyakarat periode 2010 s.d 2014 5
2 Pengaduan masyarakat berdasarkan instansi terlapor 6
3 Tangga tahapan reformasi birokrasi 14
4 Keterkaitan Komponen Pengungkit (Proses) dan Komponen Hasil 23
5 Elemen pengukuran kinerja 24
6 Kerangka pemikiran 31
7 Sistematika hierarki analisis AHP 41
8 Perkembangan PDRB per kapita Jawa Barat 2005 s.d 2014 menurut Harga
Berlaku 43
9 Perkembangan PDRB Jawa Barat 2005 s.d 2014 menurut Harga Konstan 2000 44 10 Perkembangan PDRB per kapita Jawa Barat 2005 s.d 2014 menurut Harga
Konstan 2000 45
11 Komposisi PNS Provinsi Jawa Barat menurut tingkat pendidikan 47 12 Komposisi PNS Provinsi Jawa Barat menurut jenis kelamin 47
13 Persentase skor jawaban KP1 52
14 Persentase skor jawaban KP2 53
15 Persentase skor jawaban KP3 53
16 Persentase skor jawaban KP4 54
17 Persentase skor jawaban KP5 55
19 Persentase skor jawaban KP7 56
20 Persentase skor jawaban KP8 57
21 Persentase skor jawaban secara keseluruhan 57
22 Perbandingan jawaban tentang pelaksanaan reformasi birokrasi 58
23 Tingkat pelaksanaan reformasi birokrasi 58
24 Indeks Persepsi Korupsi 2015 59
25 Penilaian kepatuhan pemerintah daerah terhadap standar pelayanan publik 60 26 Perbandingan Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) sebelum dan setelah reformasi
birokrasi 63
27 Perbandingan Indeks Kinerja Pelayanan Publik (IPP) sebelum dan setelah
reformasi birokrasi 64
28 Perbandingan Indeks kinerja Kesejahteraan Masyarakat sebelum dan setelah
reformasi birokrasi 65
29 Bobot hierarki berdasarkan analisis AHP 70
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Reformasi birokrasi mulai didengungkan kembali sejak tahun 1998, yang merupakan tonggak dimulainya era reformasi di Indonesia. Reformasi itu dipicu oleh terjadinya krisis multidimensi yang memengaruhi seluruh segi kehidupan masyarakat. Kondisi itu mendorong masyarakat menuntut diwujudkannya pemerintahan yang adil dan demokratis dengan melakukan reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi.
Menurut Anwaruddin dalam Riyadini (2013), masalah birokrasi di Indonesia ada tiga hal yaitu: (1) korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), (2) masalah struktural, dan (3) kualitas SDM. Masalah KKN ditunjukkan dengan tingginya tingkat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Masalah struktural meliputi saling tumpang tindihnya fungsi antar instansi pemerintah yang membuat kebijakan pemerintah tidak efektif dan penggunaan anggaran tidak efisien. Sedangkan kualitas SDM mencakup rendahnya kemampuan dan kompetensi PNS di bidang kerjanya. Kompetensi yang rendah tersebut juga disebabkan oleh perekrutan yang diwarnai nepotisme dan sistem remunerasi yang tidak berbasis kinerja sehingga aparatur yang bekerja tidak memiliki semangat untuk menunjukkan kinerja yang memuaskan. Selain itu, menurut Utomo (2011), birokrasi juga menghadapi masalah kultural yang sudah mengakar. Pada tingkat sistem, terjadi ketidakpercayaan antara pemerintah dan masyarakat yang meluas, bahkan antara badan pemerintah dan di dalam badan pemerintah itu sendiri. Pada tingkat institusional, efisiensi seringkali hanya dinilai dari kemampuan penyerapan anggaran sehingga bila penyerapan anggaran rendah maka dianggap berkinerja buruk. Budaya akuntabilitas dikembangkan setengah hati dan hanya menjadi budaya melaporkan. Output (keluaran) tidak jelas dan terlihat berlimpah namun sebenarnya tumpang tindih dengan outcome (hasil). Sedangkan pada tingkat individu seringkali ditemukan tindakan indisipliner, ketidakpatuhan pada aturan dan tindakan melawan atasan.
Di sisi lain, birokrasi mempunyai peranan penting dalam pembangunan. Birokrasi sebagai pelaksana administrasi negara merupakan sektor pembangunan (administrative development) dan sekaligus sebagai instrumen dalam pembangunan (development administrative). Birokrasi merupakan institusi yang menggerakkan pembangunan dan sekaligus sebagai obyek pembangunan (Prasojo & Kurniawan, 2008). Peran ganda tersebut membuat mutu birokasi harus diperhatikan karena sangat menentukan keberhasilan pembangunan. Semakin baik kualitas birokrasi maka semakin baik pula hasil pembangunan.
menerapkan reformasi birokrasi secara instansional. Masa ini sering disebut sebagai reformasi birokrasi gelombang pertama.
Sampai akhirnya pada tahun 2010 disusun Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-20251 yang merupakan rancangan induk berisi arah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional dalam kurun waktu 2010 sampai 2025. Penyusunan Grand Design Reformasi Birokrasi ini merupakan langkah nyata untuk melakukan perubahan fundamental dalam birokrasi secara nasional. Pada rancangan induk ini telah ditetapkan tahapan-tahapan dalam melakukan perubahan birokrasi berikut dengan target yang jelas dan terukur tiap tahunnya. Masa ini disebut reformasi birokrasi gelombang kedua dimana reformasi birokrasi diterapkan secara instansional dan nasional.
Menurut Prasojo & Kurniawan (2008) reformasi birokrasi merupakan langkah yang menentukan dalam pencapaian kemajuan suatu negara. Melalui reformasi birokrasi dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien serta mampu menjadi tulang punggung kehidupan berbangsa. Keberhasilan reformasi birokrasi sangat mendukung terciptanya clean government dan good governance yang merupakan salah satu ciri pemerintahan di negara maju. Inti dari upaya penciptaan good governance
terletak pada reformasi birokrasi. Menurut Krina (2003), secara umum prinsip utama good governance adalah akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat. Lancaster (2007) dalam Utomo (2011) telah mengevaluasi tujuh indikator good governance di Indonesia. Dimensi yang dievaluasi oleh Lancaster2 didasarkan pada indikator yang dikembangkan oleh Institut Bank Dunia (The Worldwide Governance Indicators/WGI) yaitu: keterwakilan suara (partisipasi) dan akuntabilitas, stabilitas politik, efektivitas pemerintahan, supremasi hukum/kualitas regulasi, dan pemberantasan korupsi. Apabila indikator good governance telah terwujud maka dapat dikatakan bahwa reformasi birokrasi telah mencapai tujuannya.
Selain itu keberhasilan reformasi birokrasi juga dapat dilihat dari praktek administrasi publik yang dijalankan. Uni Eropa, dalam SIGMA Paper No 27, menetapkan prinsip administrasi publik yang baik meliputi adanya kepercayaan dan proses birokrasi yang dapat diprediksi dimana kepastian hukum/aturan memegang peranan penting; keterbukaan dan transparansi yang merupakan instrumen penegakan hukum, persamaan di muka hukum; akuntabilitas yang berarti bahwa tidak ada otoritas yang bebas dari pengawasan/review pihak lain; dan efisiensi yang mencerminkan upaya mempertahankan rasio yang sesuai antara sumberdaya yang dialokasikan dengan hasil yang dicapai, dan efektivitas yang berarti badan pemerintah berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan (Cierco, 2013).
Menurut Utomo (2011), reformasi birokrasi dapat digambarkan seperti tangga menuju puncak keberhasilan yaitu meraih kepercayaan publik. Langkah pertama adalah perbaikan yang bersifat kelembagaan seperti efisiensi dan simplifikasi prosedur kerja, peningkatan SDM, penanganan regulasi yang tumpang tindih, dan peningkatan taransparansi dan akuntabilitas. Langkah selanjutnya adalah pembentukan budaya hasil, pelayanan publik yang
1
Peraturan Presiden Republik Indonesia No 81 Tahun 2010
2
memuaskan, dan pada akhirnya meraih kepercayaan publik. Keberhasilan reformasi birokrasi dapat diukur dari 3 indikator, yaitu terwujudnya pemerintah yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik pada masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Pemerintah yang bebas KKN dapat diukur dari opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan instansi pemerintah. Sedangkan untuk mengukur kualitas pelayanan publik dapat dilihat dari integritas pelayan publik dan peringkat kemudahan berusaha, yang menjelaskan sejauh mana kemudahan yang diperoleh masyarakat dalam mengurus usaha sehingga iklim investasi berkembang pesat. Peningkatan kapasitas dan akuntabilitas birokrasi dapat dilihat dari indeks efektivitas pemerintah (Deputi Reformasi Birokrasi Kemenpanrb, www.antaranews.com, 2014).
Sampai tahun 2013, instansi yang telah melaksanakan reformasi birokrasi sebanyak 56 kementerian/lembaga. Sedangkan untuk level pemerintah daerah sebanyak 98 pemda menjadi pilot project di tahun 2013 (Kepmenpanrb No 96 Tahun 2013). Secara lengkap ditampilkan pada Tabel 1. Meskipun secara formal belum ada daerah yang dinyatakan telah melaksanakan reformasi birokrasi, namun secara nyata dan faktual daerah-daerah tersebut telah melakukan perubahan tata pemerintahannya terutama dalam pelayanan publik. Bahkan banyak daerah yang secara nasional telah diakui memiliki mutu pelayanan publik yang memuaskan. Pemerintah menargetkan seluruh instansi pemerintah baik pusat atau daerah dapat melaksanakan reformasi birokrasi.
Banyaknya instansi yang telah menjalankan reformasi birokrasi seharusnya berbanding lurus dengan kualitas pelayanan publik dan kinerja instansi pemerintah tersebut. Namun fakta di lapangan masih banyak ditemukan birokrasi yang lambat, biaya tambahan di luar ketentuan, dan pelayanan publik yang buruk. Masih sering ditemuinya penyelenggara negara yang menjalani proses hukum karena kasus korupsi juga menunjukkan bahwa reformasi birokrasi masih dipertanyakan hasil dan efektivitasnya. Perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kinerja instansi pemerintah.
Perumusan Masalah
Komitmen reformasi birokrasi telah berjalan selama enambelas tahun sejak tahun 1998. Meskipun secara konkrit, baru dirasakan langkah nyatanya pada tahun 2010 melalui penetapan Peraturan Presiden 81/2010 tentang Grand Design
desentralisasi tidak berjalan seiring dengan reformasi birokrasi. Terlihat dari implementasi reformasi birokrasi yang tertinggal dari desentralisasi. Selama masa awal implementasi desentralisasi (sejak tahun 2001), pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki sasaran dan tujuan yang jelas dan terukur yang harus dicapai. Bahkan standar pelayanan minimum yang dimandatkan oleh UU 32/2004 belum terdefinisi dengan jelas.
Tabel 1 Instansi yang telah menerapkan reformasi birokrasi
Tahun Instansi yang Menerapkan RB Jumlah/
Total
2008 Kementerian Keuangan, MA, BPK 3/3
2009 Kemensetneg, Setkab 2/5
2010 Kemenko Perekonomian, Kemenko Polhukam, Kemenko Kesra, Kemen
PPN/Bappenas, Kemen PAN dan RB, Kemen Pertahanan, TNI/POLRI
9/14
2011 Kemenhum dan HAM, Kejaksaan Agung 2/16
2013 Kemenperin, Kemenristek, Kementan, Kemen PPPA, Kemenpera, BKPM, BPPT, BPOM, BKN, BPS, BATAN, LAN, Lemhanas, ANRI, BKKBN, Lemsaneg, LKPP, BNN, BNPT, LIPI
20/36
Kemenlu, Kemendag, Kemenkes, Kemendikbud, Kemenparek, Kemenhut, Kemendagri, BMKG, BIN, Setjen DPR, WANTANNAS, LAPAN, Kemen KP, Kemenkominfo, Kemen LH, Kemenhub, Kemenakertrans, BAPETEN, Kemen PU, BNP2TKI, Kemen PDT, Perpusnas, Kemenpora, Kemen UKMK
23/59
Pemerintah Daerah yang Menjadi Pilot Project Jumlah
Pemerintah Provinsi
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulaian Riau, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat
33/33
Kota Medan, Padang, Pekanbaru, Jambi, Palembang, Bengkulu, Bandar Lampung, Pangkal Pinang, Tanjung Pinang, Serang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Pontianak, Palangka Raya, Banjarmasin, Samarinda, Manado, Palu, Kendari, Makassar, Gorontalo, Mamuju, Denpasar, Mataram, Kupang, Ambon, Tidore Kepulauan, Jayapura, Manokwari
32/65
Pemerintah Kabupaten
Aceh Besar, Aceh Tengah, Pakpak Bharat, Tanah datar, Siak, Sarolangun, Muara Enim, Kaur, Lampung Selatan, Bangka, Bintan, Serang, Bogor, Kudus, Sleman, Malang, Sambas, Gunung Mas, Hulu Sungai Selatan, Penajam Paser Utara, Siau-Taguladang-Biaro, Donggala, Konawe Utara, Luwu Utara, Pohuwato, Polewali Mandar, Badung, Sumbawa, Timor Tengah Selatan, Maluku Tenggara, Halmahera Utara, Biak Numfor, Sorong
33/98
Sumber : http://menpan.go.id/berita-terkini/985-sudah-56-k-l-mendapat-tunjangan-kinerja Permenrpanrb No 96 Tahun 2013
dari birokrasi yang lamban dan berbiaya tinggi menjadi birokrasi yang efektif, efisien, dan memuaskan publik. Pada tahun 2011, dengan berbasis data tahun 2009, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri melakukan penilaian kinerja pemerintah daerah berdasarkan PP 6/2008. Hasil penilaian menunjukkan bahwa 29 provinsi dianggap berkinerja tinggi dan hanya 4 provinsi yang memiliki kinerja rata-rata. Sedangkan pada level kota/kabupaten sebanyak 269 kabupaten dan 82 kota mencapai kinerja tinggi, 70 kabupaten dan 4 kota berkinerja rata-rata, dan 5 kabupaten dianggap berkinerja buruk (Utomo, 2011).
Namun tidak sedikit pula kepala daerah/instansi yang memanfaatkan era otonomi daerah tersebut untuk membangun kekuasaan dan memenangkan kepentingan kelompoknya bahkan keluarganya. Zulkieflimansyah (2009) menyatakan bahwa sistem politik yang sedang berjalan di Indonesia dicirikan oleh politik dinasti, terlebih setelah era desentralisasi. Fenomena yang meluas ditandai dengan mengajukan figur individu dari keluarga incumbent dan elit politik senior sebagai anggota parlemen atau kandidat kepada daerah. Pada sistem dinasti, partisipasi publik tidak dibangkitkan bahkan ditolak, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip good governance. Kondisi itu disebut sebagai fenomena neo-patrimonial, yaitu regenerasi politik berdasarkan ikatan genetis (Utomo, 2011). Pada kondisi demikian demokrasi lokal yang ditegakkan melalui desentralisasi tidak lagi dapat dipercaya sebagai bagian dari revitalisasi integritas nasional. Hal itu tidak saja memunculkan raja-raja kecil di daerah tapi juga memunculkan kelas oligarki kekuasaan yang baru. Akibatnya birokrasi yang dimunculkan pun adalah birokrasi yang lamban, tidak adil, dan mengabaikan kepentingan rakyat, tidak berbeda dengan birokrasi di era sebelum desentralisasi.
Sementara dari sisi pelayanan publik, terjadi peningkatan jumlah pengaduan dari masyarakat mengenai buruknya kualitas pelayanan publik. Gambar 1 menunjukkan pada tahun 2014 jumlah pengaduan masyarakat yang diterima mencapai 6677 pengaduan, meningkat dibanding tahun 2013 dimana pengaduan yang diterima 5173 pengaduan (Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2014).
Sumber: Laporan Tahunan Ombudsman Republik Indonesia Tahun 2014
Mayoritas pengaduan tersebut tentang dugaan maladministrasi pelayanan publik pemerintah daerah. Gambar 2 menunjukkan pengaduan pada pelayanan pemerintah daerah sebanyak 2887 laporan (43,24%), sedangkan kementerian sebanyak 637 laporan (9,54%).
Sumber: Laporan Tahunan 2014 Ombudsman Republik Indonesia
Gambar 2 Pengaduan masyarakat berdasarkan instansi terlapor
Kondisi ini menunjukkan tingginya kepedulian masyarakat terhadap permasalahan yang dialami ketika mendapat pelayanan yang tidak semestinya dan kesadaran untuk mendapatkan pelayanan yang baik dan berkualitas. Sebagaimana diketahui bahwa pelayanan sebagian besar berada pada penyelenggara pelayanan di lingkungan pemerintah daerah.
Tabel 2 Pengaduan masyarakat berdasarkan provinsi pelapor
Provinsi Jumlah % Provinsi Jumlah %
DKI Jakarta 461 6,90 Sumatera Selatan 184 2,76
Jawa Timur 456 6,83 Nusa Tenggara Barat 179 2,68
Jawa Barat 362 5,42 Maluku 160 2,40
Sulawesi Utara 333 4,99 D.I. Yogyakarta 158 2,37
Sulawesi Selatan 296 4,43 Kep. Bangka Belitung 145 2,17
Jawa Tengah 294 4,40 Kalimantan Selatan 135 2,02
Nusa Tenggara
Timur
259 3,88 Papua 134 2,01
Sumatera Utara 259 3,88 Banten 132 1,98
Riau 258 3,86 Bengkulu 125 1,87
Sumatera Barat 257 3,85 Sulawesi Tengah 125 1,87
Kalimantan Barat 219 3,28 Gorontalo 123 1,84
Lampung 212 3,18 Jambi 117 1,75
Sulawesi Barat 210 3,15 Kalimantan Tengah 102 1,53
Aceh 200 3,00 Kalimantan Timur 97 1,45
Sulawesi Tenggara 190 2,85 Maluku Utara 69 1,03
Bali 189 2,83 Papua Barat 50 0,75
Kepulauan Riau 187 2,80
Jumlah 6677 100%
Sementara Tabel 2 menunjukkan laporan pada instansi di Provinsi Jawa Barat tercatat sebanyak 345 laporan (6,67%), menempati posisi keempat sebagai daerah instansi terlapor. Hal ini menunjukkan tingginya kepedulian masyarakat Jawa Barat akan kualitas pelayanan atau kualitas pelayanan instansi di Jawa Barat yang memang masih belum memuaskan masyarakat. Pelayanan publik merupakan salah satu indikator yang menunjukkan tingkat keberhasilan reformasi birokrasi. Kualitas pelayanan publik yang harus diterima masyarakat diatur dalam Undang-undang 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Buruknya birokasi juga terlihat dari tingginya kasus korupsi. Banyaknya kasus korupsi yang ditangani penegak hukum yang melibatkan pejabat penyelenggara negara menunjukkan bahwa praktek-praktek KKN masih terus dilakukan meskipun reformasi telah digulirkan dan dilaksanakan di instansi pejabat tersebut. Pada tahun 2014, KPK mencatat dari 54 terdakwa/tersangka kasus korupsi, sebanyak 46% adalah aparat pemerintah atau birokrat (kepala kementerian/lembaga, kepala daerah, eselon I/II/III). Sedangkan dari kurun waktu 2004-2012, Tabel 3 menunjukkan aparat pemerintah yang melakukan tindak korupsi sebanyak 195 orang (43%) dari 450 tersangka/terdakwa yang ditangani.
Tabel 3 Tersangka/terdakwa menurut tingkat jabatan tahun 2004 s.d 2014
Jabatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Σ Anggota
DPR/DPRD
- - - 2 7 8 27 5 16 8 4 77
Kepala K/L - 1 1 - 1 1 2 - 1 4 9 20
Duta Besar - - - 2 1 - 1 - - - - 4
Komisioner - 3 2 1 1 - - - 7
Gubernur 1 - 2 - 2 2 1 - - 2 2 12
Walikota/Bup ati & Wakil
- - 3 7 5 5 4 4 4 3 12 47
Eselon I,II,III 2 9 15 10 22 14 12 15 8 7 2 116
Hakim/Peneg ak Hukum
- - - 1 2 2 4 2 11
Swasta 1 4 5 3 12 11 8 10 16 24 15 109
Lain-lain - 6 1 2 4 4 9 3 3 7 8 47
Σ 4 23 29 27 55 45 65 39 50 59 54 450
Sumber: Laporan Tahunan 2012 s.d 2014 KPK, diolah
Tabel 4 Perkara tindak pidana korupsi berdasarkan instansi tahun 2004 s.d 2014
Tahun Instansi Jumlah
DPR RI K/L BUMN/D Komisi Pemprov Pemkab/kot
2004 - 1 - - 1 - 2
2005 - 5 4 9 1 - 19
2006 - 10 - 4 9 4 27
2007 - 12 - 2 2 8 24
2008 7 13 2 2 5 18 47
2009 10 13 5 - 4 5 37
2010 7 16 7 2 - 8 40
2011 2 23 3 1 3 7 39
2012 6 18 1 - 13 10 48
2013 2 46 - - 4 18 70
2014 2 26 - - 11 19 58
Jumlah 36 183 22 20 53 97 411
Sumber: Laporan Tahunan 2012 s.d 2014 KPK, diolah
Pada kurun waktu 2004-2014, kasus korupsi banyak terjadi pada pemerintah pusat. Sebanyak 189 kasus dari 411 kasus yang ditangani KPK ada pada pemerintah pusat. Sedangkan kasus korupsi yang ditangani KPK di Provinsi Jawa Barat pada kurun waktu tersebut sebanyak 44 kasus menempati urutan kedua untuk kasus terbanyak, terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perkara korupsi berdasarkan wilayah tahun 2004 s.d 2014
Instansi Jumlah kasus (2004 s.d 2014)
Pemerintah Pusat 189
Jawa Barat 44
Riau dan Kepulauan Riau 29
DKI Jakarta 28
Jawa Tengah 17
Lain-lain 114
Jumlah 411
Sumber : Laporan Tahunan 2012 s.d 2014 KPK, diolah
Untuk itu perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi supaya reformasi birokrasi yang dijalankan tidak tergelincir ke dalam proses perbaikan semu yang tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Apalagi mengingat pentingnya peran birokrasi dalam proses pembangunan. Kualitas birokrasi dapat menentukan tingkat keberhasilan pembangunan. Apabila kelembagaan birokrasi terus ditingkatkan kualitasnya maka pembanguan dapat berjalan efektif dan kinerja pemerintah meningkat. Selama ini evaluasi yang dilakukan bersifat self assessment oleh internal instansi yang kemudian dinilai secara menyeluruh oleh Kementerian PAN dan RB. Evaluasi dilakukan untuk melihat pengaruh antara pelaksanaan reformasi birokrasi dengan kinerja organisasi atau lembaga, khususnya pemerintah daerah. Semestinya lembaga yang telah melaksanakan reformasi birokrasi memiliki kinerja yang lebih baik daripada lembaga yang belum karena reformasi bekerja pada bagian utama suatu organisasi. Selain itu, evaluasi berguna sebagai masukan untuk perbaikan berkelanjutan. Pada akhirnya diharapkan dapat dirumuskan suatu strategi untuk mendorong peningkatan keberhasilan reformasi birokrasi menuju level yang lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :
1. Sejauhmana pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia, khususnya pada pemerintah daerah?
2. Bagaimana pengaruh pelaksanaan reformasi birokrasi terhadap kinerja organisasi/instansi tersebut?
3. Bagaimana strategi untuk mendorong tingkat keberhasilan reformasi birokrasi?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Melakukan analisis pelaksanaan reformasi birokrasi pada pemerintah daerah
2. Mengetahui pengaruh pelaksanaan reformasi birokrasi terhadap kinerja pemerintah daerah.
3. Merumuskan strategi peningkatan tingkat keberhasilan reformasi birokrasi.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga atau instansi terkait dalam mengevaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Selain itu diharapkan hasil evaluasi dapat bermanfaat bagi perencanaan selanjutnya dalam upaya peningkatan keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Ruang Lingkup Penelitian
program reformasi birokrasi yang dijalankan oleh pemerintah daerah. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan pemerintah daerah dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Evaluasi dilakukan dengan mengacu pada Pedoman Evaluasi Reformasi Birokrasi Instansi Pemerintah dalam Permenpanrb 14/2014. Contoh kasus yang diambil sebagai obyek penelitian adalah birokrasi pada pemerintah daerah yaitu Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dengan fokus pada instansi yang erat hubungannya dengan pelayanan pada masyarakat. Pemilihan lokasi ini didasari pada pertimbangan bahwa birokrasi pemerintah provinsi Jawa Barat tidak menunjukkan sifat khusus yang ekstrim sehingga dianggap dapat menggambarkan kondisi birokrasi pemerintah daerah di Indonesia secara umum.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Birokrasi
Menurut Riyadini (2013), birokrasi adalah hirarki pakar teknis dalam bidang administrasi. Birokrasi merupakan alat untuk menjalankan otoritas negara lewat kekuasaan dalam memberikan perintah. Semakin tinggi hirarkinya maka otoritas yang dimiliki juga semakin tinggi. Birokrasi juga merupakan sebuah organisasi, yang memiliki aturan yang jelas, kekuasaan yang tegas, dan fungsi yang pasti. Roskin et all (2005) menyebut pengertian birokrasi sebagai setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri dari para pejabat yang diangkat, dimana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan. Dapat disimpulkan bahwa birokrasi adalah organisasi yang memiliki hirarki, aturan, kekuasaan, dan fungsi yang pasti serta terdiri dari pejabat yang diangkat untuk menjalankan kebijakan dan administrasi di bidang pemerintahan. Birokrasi merupakan institusi yang menggerakkan pembangunan. Tanpa peran birokrasi, pembangunan dapat mengalami stagnasi dan kehilangan arah (Irawati, 2007).
Teori utama birokrasi berasal dari Max Weber (1864-1920). Ciri birokrasi menurut Weber adalah: pertama, berbagai aktivitas regular yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang didistribusikan dengan suatu cara baku sebagai kewajiban-kewajiban resmi. Kedua, organisasi kantor-kantor mengikuti prinsip hirarki, yaitu setiap kantor yang lebih rendah berada di bawah kontrol dan pengawasan kantor yang lebih tinggi. Ketiga, operasi-operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah-kaidah abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapan kaidah ini terhadap kasus-kasus spesifik. Keempat, pejabat yang ideal menjalankan kantornya secara formal tanpa kebencian atau kegairahan dan karenanya tanpa antusiasme dan afeksi. Birokrasi pemerintahan seringkali diartikan sebagai kerajaan pejabat (official dom) yaitu kerajaan yang raja-rajanya adalah pejabat dimana setiap pejabat memiliki official duties dan bekerja pada tatanan hirarki dengan kompetensi masing-masing (Irawati, 2007).
lagi didominasi oleh kontrol atasan. Menurut Carino dalam Irawati (2007), paradigma birokrasi modern antara lain: 1) Catalytic government: steering rather than rowing. Pemerintah sebagai katalis: lebih berperan sebagai penyetir daripada pendayung. Bidang-bidang atau pekerjaan yang sekiranya sudah dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri tidak lagi dikerjakan oleh pemerintah dan birokrasi; 2)
Community-owned government: empowering rather than serving. Pemerintah adalah milik masyarakat: lebih baik memberdayakan daripada melayani. Pemerintah dipilih oleh wakil masyarakat sehingga seharusnya menjadi milik masyarakat. Akan lebih baik memberikan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mengurus masalah secara mandiri daripada menjadikan masyarakat tergantung terhadap pemerintah; 3) Competitive government: injecting competition into service delivery. Pemerintah yang kompetitif adalah pemerintahan yang memasukkan semangat kompetisi di dalam birokrasinya. Pemerintah perlu menjadikan birokrasinya saling bersaing antar bagian (dalam arti positif) dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan publik.
Menurut Roskin (2005) ada empat fungsi birokrasi dalam pemerintahan modern, yaitu : 1) administrasi yang berarti pelaksanaan kebijakan umum untuk mengimplementasikan undang-undang meliputi administrasi, pelayanan, pengaturan, perizinan, dan pengumpul informasi; 2) pelayanan yaitu untuk melayani masyarakat; 3) pengaturan (regulation) dimana fungsi pengaturan yang dijalankan suatu pemerintahan bisanya dirancang untuk mengamankan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi negara seringkali menghadapi dua pilihan yaitu kepentingan individu versus kepentingan masyarakat; 4) pengumpul informasi, yaitu sebagai ujung tombak dalam menyediakan data-data informasi yang dibutuhkan pemerintah membuat kebijakan supaya sedapat mungkin disusun berdasarkan situasi faktual atau untuk mengetahui apakah suatu kebijakan mengalami sejumlah pelanggaran.
Birokrasi di Indonesia di masa orde baru sering mendapat sorotan dan kritik tajam karena tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Menurut Romli (2009) birokrasi di Indonesia telah berkembang menjadi birokrasi yang lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur daripada substansi, dan tidak efisien. Jackson dalam Romli (2009) menilai bahwa birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism dimana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan.
Selain itu, melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial dicirikan dengan 1) pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi, 2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan, 3) para pejabat mengontrol fungsi politik dan fungsi administrasi, 4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik (Romli, 2009). Budaya paternalisme yang masih kuat mengakar dalam birokrasi menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan. Corak hubungan antara birokrat dengan masyarakat, pimpinan dan bawahan bersifat hirarkis seperti ayah dan anak sehingga lebih bersifat informal, pribadi, dan diwarnai kebiasaan tidak resmi yang berkembang dalam struktur birokrasi (Kurniawan, 2013). Di dalam budaya paternalisme terdapat nilai pentingnya peranan atasan dalam memberikan perlindungan terhadap bawahan, yaitu berwujud status dan pangkat yang melekat yang menentukan status sosial bawahan di masyarakat. Pengaruh paternalisme membawa konsekuensi pada pola pendelegasian wewenang yang terjadi dalam birokrasi. Seringkali didasarkan pada kedekatan hubungan antara pimpinan dan bawahan dan dibangun berdasarkan perasaan suka dan tidak suka.
namun tidak oleh masyarakat Asia, termasuk Indonesia. Bahkan sebagian kalangan memandangnya sebagai bentuk pemenuhan kewajiban oleh bawahan terhadap atasan (Kurniawan, 2013).
Menurut Kurniawan (2013), birokrasi di Indonesia dikatakan mengalami kegagalan karena hingga kini masih menghadapi berbagai masalah terutama dalam pelayanan publik. Hal itu terlihat dari adanya 1) krisis kepercayaan terhadap birokrasi publik, birokrasi masih menjadi instrumen penguasa, dimana kepentingan penguasa cenderung sentral dan mengalahkan kepentingan publik tercermin dalam kebijakan publik; 2) masyarakat tidak memiliki kesempatan dan ruang yang cukup dalam proses pembuatan kebijakan publik; 3) pengabaian aspirasi dan kepentingan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik; 4) meluasnya praktek KKN sebagai sumber bureaucratic cost; 5) rendahnya kemampuan birokrasi merespon krisis dan tidak adanya inisiatif dan kreativitas dalam mengendalikan krisis; 6) orientasi pada kekuasaan sehingga pelayanan publik mengalami distorsi. Selain itu kegagalan birokrasi juga tercermin dari tidak terdeteksinya kinerja birokrasi. Kinerja birokrasi belum dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk diukur dan dipantau. Terdapat ketidakjelasan informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik yang disebabkan kompleksitas indikator kinerja yang digunakan dalam mengukur kinerja birokrasi. Kompleksitas itu sebagai akibat banyaknya stakeholder birokrasi: masyarakat, anggota DPR, partai politik, kelompok kepentingan yang berbeda. Kinerja yang tidak jelas membuat sistem reward dan punishment tidak berjalan, proses pertanggungjawaban dari dalam atau atas inisiatif internal birokrasi sangat minim.
Reformasi Birokrasi
sebelum proses tersebut terbukti dapat diandalkan untuk mencapai kondisi yang lebih baik (Bratakusumah, 2015).
Proses transformasi negara berkembang menjadi negara maju selalu melibatkan perubahan administrasi sebagai langkah awal dan prioritas dalam pembangunan. Penyebabnya adalah administrasi negara menjadi sektor pembangunan (administrative development) dan sekaligus menjadi instrumen penting pembangunan (development administrative). Reformasi birokrasi sejalan dengan upaya memodernisasi administrasi pemerintahan. Reformasi administrasi negara di negara-negara yang telah maju tersebut pada umumnya dilakukan melalui dua strategi yaitu 1) merevitalisasi kedudukan, peran dan fungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi administrasi, 2) menata kembali sistem administrasi dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia (pegawai negeri) serta relasi antara negara dan masyarakat (Prasojo & Kurniawan, 2008).
Utomo (2011) menyatakan bahwa reformasi birokrasi dapat digambarkan seperti tangga menuju puncak keberhasilan yaitu meraih kepercayaan publik (Gambar 1). Langkah pertama adalah perbaikan yang bersifat kelembagaan seperti efisiensi dan simplifikasi prosedur kerja, peningkatan SDM, penanganan regulasi yang tumpang tindih, dan peningkatan transparansi dan akuntabilitas. Langkah selanjutnya adalah pembentukan budaya hasil, pelayanan publik yang memuaskan, dan pada akhirnya meraih kepercayaan publik sebagai puncak tujuan reformasi birokrasi.
Sumber : Utomo (2011)
Gambar 3 Tangga tahapan reformasi birokrasi
Selain reformasi birokrasi (administrasi negara), untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien juga harus melalui pendekatan good governance. Reformasi birokrasi dan good governance saling terkait dan merupakan konsep utama bagi upaya perbaikan kondisi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Gainau (2013), governance (tata pemerintahan) adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam penyediaan public goods dan services, dimana praktek terbaiknya disebut sebagai
good governance. Sedangkan menurut Prasojo & Kurniawan (2008) governance
merupakan tradisi, institusi dan proses determinasi penyelenggaraan kekuasaan negara yang melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta berdasarkan kepada kepentingan publik. Konsep governance merujuk kepada pengembangan dari gaya memerintah dimana batas-batas antara sektor publik dan sektor privat menjadi kabur. Pengaburan batas itu sejalan dengan kebutuhan negara modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya isu-isu menyangkut empati dan perasaan dari publik untuk terlibat. Sehingga partisipasi melalui pembangunan jejaring antara pemerintah dan masyarakat menjadi aspek yang sangat penting.
Bank Dunia dalam Prasojo & Kurniawan (2008) menyebutkan bahwa
good governance meliputi tata kelola pemerintahan yang berdasarkan kepada hukum (rules), transparansi, akuntabilitas, reliabilitas informasi, serta efisiensi dalam manajemen pemerintahan. Selain itu juga meliputi aspek berfungsinya pasar dan sektor swasta serta partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Sedangkan menurut UNDP, karakteristik tata prinsip dalam good governance meliputi: partisipasi, aturan hukum, transparansi, daya tanggap, berorientasi konsensus, berkeadilan, efektif dan efisien, akuntabilitas, dan visi strategis. Penciptaan good governance dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, responsivitas, dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
Menurut Romli (2009) untuk mewujudkan good governance perlu dilakukan reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan, baik struktur maupun infrastruktur. Kunci reformasi kelembagaan tersebut adalah pemberdayaan masing-masing elemen, yaitu masyarakat umum sebagai stakeholder, pemerintah sebagai eksekutif dan lembaga perwakilan sebagai shareholder. Sedangkan reformasi manajemen publik berkaitan dengan perubahan model manajemen pemerintahan yang baru sesuai dengan perkembangan jaman. Sehingga reformasi yang dilakukan tidak sekedar perubahan paradigma namun juga perubahan manajemen dalam birokrasi pemerintah, salah satunya adalah mewujudkan model birokrasi modern dengan konsep Reinventing Government seperti disebutkan diatas.
reformasi pelayanan publik. Pada sistem tersebut dikembangkan indikator kinerja, target kinerja, dan skema reward (Gautam, 2013).
Dwiyanto dalam Kurniawan (2013) mengemukakan indikator yang dapat digunakan dalam mengukur kinerja birokrasi publik meliputi : a) efisiensi, yaitu keberhasilan mendapatkan laba, memanfaatkan faktor produksi, rasionalitas ekonomi; b) efektivitas, yaitu tercapainya tujuan pendirian organisasi pelayanan publik. Hal ini berkaitan dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, dan fungsi agen pembangunan; c) keadilan, yaitu berkaitan dengan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan oleh organisasi, meliputi konsep ketercukupan dan kepantasan; d) daya tangkap yaitu sensitivitas negara terhadap kebutuhan vital masyarakat.
Pemerintah telah menetapkan Grand Design Reformasi Birokrasi di Indonesia 2010-2025. Sasaran pada lima tahun pertama difokuskan pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, serta meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Tabel 6 menunjukkan area perubahan pada reformasi birokrasi yang meliputi seluruh aspek manajemen pemerintahan.
Tabel 6 Area perubahan reformasi birokrasi dan hasil yang diharapkan
Area Hasil yang Diharapkan
Organisasi Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing) Tatalaksana Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien,
terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance Peraturan Perundangan Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif
Sumber daya manusia
aparatur
SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, professional, berkinerja tinggi dan sejahtera
Pengawasan Meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan
bebas KKN
Akuntabilitas Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi Pelayanan Publik Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat Pola pikir (mind set) dan
budaya kerja (Culture set) aparatur
Birokrasi dengan integritas dan kinerja tinggi
Sumber: Perpres No 81/2010
a. Organisasi
dalam struktur organisasi diisi oleh SDM dengan kompetensi yang sesuai (Sartomo, 2012). Organisasi akan berjalan efektif bila ketiga aspek organisasi tersebut saling menunjang dan berfungsi dengan baik.
b. Tata laksana
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, tata laksana adalah cara untuk menjalankan atau melaksanakan sesuatu. Tata laksana atau tata kelola (business process) adalah serangkaian proses yang diberlakukan dalam organisasi agar mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif (Keban, 2011). Tatalaksana merupakan kumpulan proses kerja yang saling terkait dimana proses kerja tersebut adalah penjabaran dari tugas dan fungsi (Sartomo, 2012). Dalam konteks reformasi birokrasi, tata laksana berkaitan dengan sistem, proses, dan prosedur kerja. Pada pendekatan baru terhadap masalah birokrasi, proses kerja dianggap sebagai masalah utama birokrasi, yaitu proses kerja yang ada tidak lagi sesuai dengan visi dan misi. Maka dilakukan penataan proses kerja dengan menata tata laksana. Prinsip dalam penataan tata laksana adalah penyederhanaan proses kerja yang rumit (simplification), proses kerja yang tidak perlu dieliminasi (elimination), proses kerja yang belum ada diciptakan (reengineering), dan proses kerja yang ada diintegrasikan dengan teknologi (automation). Tata laksana yang baik akan menggambarkan fungsi yang tepat sehingga menghasilkan struktur yang tepat dan akan membutuhkan SDM yang tepat (Sartomo, 2012). Faktor penting dalam penataan tatalaksana adalah modernisasi sistem administrasi dengan menggunakan sistem elektronik (e-governance). Sistem e-gov menjanjikan proses yang lebih akuntabel, transparan, dan dengan biaya yang lebih murah. Menurut Bhuiyan (2011), e-gov mempunyai peran yang signifikan dalam pengendalian korupsi, mengurangi kemiskinan, dan memangkas waktu dan biaya pelayanan. Sehingga dapat dikatakan bahwa e-gov dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik pada masyarakat.
c. Peraturan Perundangan
Peraturan perundangan pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk kebijaksanaan tertulis yang bersifat pengaturan (relegen) yang dibuat oleh aparatur negara mulai dari MPR sampai dengan direktur jendral/pimpinan LPNK pada lingkup nasional dan kepala daerah pada lingkup wilayah/daerah yang bersangkutan. Ketentuan yang sifatnya konkrit, individual, final, seperti pemberian IMB, SIUP, dsb, tidak termasuk peraturan perundangan. Peraturan perundangan diperlukan dalam proses penyelenggaraan negara/pemerintah untuk mewujudkan tata tertib bernegara dan digunakan sebagai alat atau sarana untuk mencapai cita-cita dan tujuan negara yaitu kesejahteraan masyarakat (Ragawino, 2005). Penataan peraturan perundangan bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah dan mengurangi tumpang tindih dan disharmoni peraturan baik secara horizontal maupun vertikal.
d. Sumber daya manusia aparatur
Keberhasilan program suatu organisasi sangat tergantung pada sumber daya yang digunakan untuk menjalankan program tersebut. Sejumlah sumberdaya memiliki kinerja yang jelas yang dapat langsung diarahkan untuk mencapai tujuan. Kesulitan yang sering dihadapi adalah dalam mengarahkan sumberdaya manusia.
Demikian pula pada pelaksanaan reformasi birokrasi. Bagaimana agar para aparatur pemerintah sebagai pelaksana program dapat bekerja memenuhi kebutuhan program sehingga tujuan organisasi atau pemerintah dapat tercapai. Campbell et al dalam Riyadini (2013) menyatakan bahwa kinerja seseorang dalam melakukan tugasnya dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu : pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan motivasi. Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan mengenai fakta. Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan mengenai cara melakukan sesuatu. Motivasi adalah alasan untuk usaha atau melakukan sesuatu. Seorang pelaksana program akan berkinerja dengan baik jika memiliki pengetahuan yang cukup, punya kecakapan untuk dapat melakukannya dengan baik, dan memiliki motivasi yang tinggi. Tujuan utama penataan sumberdaya aparatur adalah meningkatkan profesionalisme aparatur sebagai pengelola birokrasi dan pelayan masyarakat.
e. Pengawasan
Menurut McFarland dalam Glendoh (2000), pengawasan adalah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang telah ditentukan. Dalam manajemen, pengawasan (controlling) termasuk salah satu fungsi manajemen (Daryanto dalam Mukaromah, 2011) yang melakukan kegiatan untuk mencocokkan apakah kegiatan operasional (actuating) di lapangan sesuai dengan rencana (planning) yang telah ditetapkan dalam mencapai tujuan (goal) dari organisasi (Glendoh, 2000). Pengawasan dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Pada program reformasi birokrasi tujuan yang hendak dicapai adalah pemerintahan yang bersih dan bebas KKN pada masing-masing instansi pemerintah. Melalui pengawasan dapat diketahui sejauh mana pelaksanaan upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN sudah dilakukan.
f. Akuntabilitas
keluhan dari pengguna jasa, penggunaan keluhan (feed back) dari pengguna jasa sebagai referensi dalam perbaikan penyelenggaraan pemerintahan dimasa mendatang, upaya aparat birokrasi untuk memberikan kepuasan pelayanan pada pengguna jasa, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku (Kurniawan, 2013).
g. Pelayanan publik
Penyelenggaraan pelayanan publik atau pelayanan umum merupakan salah satu kewajiban aparatur pemerintah. Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum maupun sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Kuncoro, 2006). Fungsi pelayanan publik juga dapat dikelompokkan berdasarkan bidang-bidang yaitu : pendidikan, kesehatan, keagamaan, lingkungan, rekreasi, sosial, perumahan, pemakaman, registrasi penduduk, air minum, dan legalitas hukum. Setiap instansi pemerintah memiliki aspek pelayanan publik dalam kegiatannya. Reformasi birokrasi menghendaki pelayanan publik yang diwujudkan dalam koridor tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yaitu mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, akuntabilitas, responsivitas, dan paradigma baru sebagai pelayan masyarakat (Kuncoro, 2006).
Tabel 7 Paradigma pelayanan publik
Aspek Old Public
Administration
New Public Management
New Public Service
Dasar Teoritis Teori Politik Teori Ekonomi Teori Demokrasi
Konsep
Clients dan pemilih customers Warganegara (citizens)
Peranan
Secara teori telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dari model asministrasi publik tradisional (old public administration) ke model manajemen publik baru (new public management), dan akhirnya menuju model pelayanan public baru (new public service), seperti ditampilkan pada Tabel 7.
Di Eropa kinerja administrasi publik lokal langsung dihubungkan dengan kualitas pelayan publik. Masyarakat membutuhkan pelayanan publik yang lebih baik, efisien dan berorientasi hasil (efficacy), mengutamakan kesetaraan (equity), perlakuan yang tidak diskriminatif, mengantisipasi keberagaman dalam manajemen, dan penghormatan pada hak, demokrasi, keadilan dan martabat (Matei & Enescu, 2013). Sedangkan dari pendekatan manajerial, kinerja administrasi publik dikaitkan dengan efisiensi, keberhasilan (efficacy), aspek ekonomi, etika (kesetaraan, empati, dan ekologi). Kinerja sektor publik dapat dicapai melalui koordinasi yang baik antara institusi publik. Seringkali organisasi dari sektor publik bertindak sendiri-sendiri dan tidak saling mengumpulkan informasi tentang institusi publik lain. Koordinasi dapat mencegah tindakan atau program yang berulang atau saling bertentangan, membangun sinergi, dan meminimalkan konflik.
h. Pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) aparatur
Pola pikir adalah kerangka mental yang membangun sebuah makna tertentu, yang menentukan pandangan, sikap dan perilaku seseorang. Pola pikir sangat dipengaruhi oleh sistem kepercayaan atau sistem nilai yang dimiliki, nilai-nilai keluarga, pendidikan, dan lingkungan. Pola pikir menentukan „apa yang akan dilakukan‟. Budaya kerja adalah sikap dan perilaku individu dan kelompok yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Budaya kerja diturunkan dari budaya organisasi dan merupakan suatu komitmen organisasi dalam upaya membangun sumber daya manusia, proses kerja, dan hasil kerja yang lebih baik. Apabila pola pikir sudah terbentuk sesuai dengan nilai-nilai organisasi dan budaya kerja maka pola pikir individu akan ikut membentuk etos kerja individu dalam organisasi dan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan organisasi (Permenpanrb 39/2012). Pola pikir dan budaya kerja sangat menentukan bagaimana organisasi dapat berjalan untuk mencapai tujuannya. Pada instansi pemerintah pola pikir dan budaya kerja sangat mempengaruhi keseluruhan praktek birokrasi yang dijalankan di instansi tersebut yang pada ujungnya adalah bagaimana fungsi-fungsi pelayanan publik dapat dijalankan dengan baik. Reformasi birokrasi menghendaki perubahan birokasi menjadi birokrasi yang mengedepankan pelayanan publik dengan nilai-nilai good governance melalui perubahan pola pikir dan budaya kerja sebagai pendorongnya. Tanpa perubahan pola pikir akan sangat sulit melakukan perubahan kualitas pelayanan (Kuncoro, 2006)
mulai dari mal-administrasi, korupsi, kolusi, nepotisme. Komitmen ini tidak saja harus diberikan oleh pemimpin tertinggi organisasi tapi juga oleh seluruh komponen yang mendukung jalannya organisasi tersebut. Zehir (2012) menyatakan bahwa tipe kepemimpinan yang pengaruhnya paling besar terhadap kinerja organisasi adalah tipe kepemimpinan transformasional (transformational leadership). Tipe pemimpin ini adalah pemimpin yang mampu mendukung anak buahnya berkomitmen terhadap organisasi dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan organisasi. Selain itu, kepemimpinan terintegrasi juga penting dalam upaya untuk meningkatkan kinerja organisasi dalam sektor publik. Kepemimpinan terintegrasi adalah kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, relasi, perubahan, perbedaan, dan integritas. Pada situasi yang ekstrim (sangat menyenangkan dan sangat tidak menyenangkan) gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (hard nosed) sangat efektif. Sedangkan untuk situasi yang moderat maka gaya kepemimpinan yang menekankan pada hubungan kemanusiaan atau lunak (lenient) sangat efektif (Gainau, 2013).
Pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan secara bertingkat pada tingkat nasional (makro dan meso) dan kementerian/lembaga/pemda (mikro). Masing-masing pelaksana pada tiap tingkat memiliki lingkup tugas yang jelas dan saling melengkapi untuk mencapai hasil yang diharapkan. Menurut Holidin (2013), komponen yang dianggap mampu menjadi pengungkit reformasi birokrasi dikelompokkan menjadi dua bagian utama, yaitu pelayanan publik dan sumber daya aparatur. Pelayanan publik diperbaiki dengan 1) Standardisasi pelayanan, 2) rasionalisasi penataan organisasi, 3) integrasi administrasi pelayanan perizinan, 4) pengembangan penatalaksanaan, 5) penerapan aplikasi e-office. Sedangkan reformasi sumber daya aparatur dimulai dengan 1) rekrutmen dan promosi aparatur secara terbuka, 2) perbaikan remunerasi, 3) pembentukan assessment center untuk pengembangan dan pelaksanaan fungsi manajemen SDM 4) penjaminan mutu kinerja birokrasi melalui sistem pengukuran kinerja yang obyektif dan dikaitkan dengan pencapaian dampak kebijakan, 5) penumbuhan etos kerja positif dan integritas melalui penerapan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi.
Tabel 8 Indikator penilaian evaluasi reformasi birokrasi
Komponen Sub-komponen Indikator Singkatan
Komponen Pengungkit
Manajemen perubahan 1. Tim RB
2. Road map RB
3. Pemantauan dan evaluasi RB
4. Perubahan pola pikir dan budaya kerja
KP1
Penataan peraturan
perundang-undangan
1. Harmonisasi
2. Sistem pengendalian dalam penyusunan peraturan perundangan
KP2
Penataan dan penguatan organisasi
1. Evaluasi 2. Penataan
KP3
Penataan tatalaksana 1. Proses bisnis dan SOP 2. E-government
3. Keterbukaan informasi publik
KP4
Penataan sistem
manajemen SDM
1. Perencanaan kebutuhan pegawai sesuai kebutuhan organisasi
2. Rekrutmen transparan, obyektif, akuntabel, bebas KKN
3. Pengembangan pegawai berbasis kompetensi 4. Promosi jabatan terbuka
5. Penetapan kinerja individu
6. Penegakan aturan disiplin/kode etik/kode perilaku pegawai
7. Evaluasi jabatan
8. Sistem infomasi pegawai
KP5
Penguatan pengawasan 1. Gratifikasi 2. Penerapan SPIP 3. Pengaduan masyarakat 4. Whistle blowing system
5. Penanganan benturan kepentingan 6. Pembangunan zona integritas
7. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
KP6
Penguatan akuntabilitas 1. Keterlibatan pimpinan
2. Pengelolaan akuntabilitas kinerja
4. Penilaian kepuasan terhadap pelayanan 5. Pemanfaatan teknologi informasi
2. Opini BPK RI atas laporan keuangan
KH1
Pemerintah yang bersih dan bebas KKN
Nilai persepsi kualitas pelayanan KH2
Kualitas pelayan publik 1. Nilai akuntabilitas kinerja 2. Nilai kapasitas organisasi
KH3
Sumber : Permenpan 14/2014 dengan penyesuaian
Pengungkit dan Komponen Hasil dapat mewujudkan proses perbaikan bagi instansi yang akan meningkatkan kinerja instansi pemerintah secara berkelanjutan (Gambar 4).
Sumber: Permenpanrb No.14 Tahun 2014
Gambar 4 Keterkaitan Komponen Pengungkit (Proses) dan Komponen Hasil
Kinerja Pemerintah Daerah
Kinerja adalah keluaran produktif dari sebuah sistem kebijakan atau program dalam bentuk nyata (Riyadini, 2013). Kinerja bukan berupa potensi tapi sebuah prestasi, pencapaian, atau hal-hal yang dicapai. Kinerja sangat erat kaitannya dengan tujuan dari kebijakan atau program. Kinerja merupakan kemampuan mencapai tujuan dari kebijakan/program atau sejauhmana tujuan itu tercapai. Forbes et al (2005) memaknai kinerja pemerintah sebagai karakteristik dan konsekuensi penyediaan layanan yang harus diberikan oleh lembaga-lembaga publik pemerintah. Kinerja bukan semata apa yang telah dicapai, tetapi juga bagaimana dia dicapai. Harus dilihat hubungan antara dampak dengan proses kebijakan. Jika kinerja hanya dilihat dari dampaknya saja tanpa memahami proses maka bisa jadi kinerja yang ditunjukkan bukan semata-mata hasil dari kebijakan atau program yang dijalankan namun dari hal lainnya. Pengukuran kinerja erat kaitannya dengan proses pengelolaan pencapaian. Sebuah pendekatan komprehensif suatu organisasi untuk memfokuskan terhadap misi, sasaran, dan tujuannya. Pengelolaan pencapaian dimulai dari perencanaan strategis, penetapan program sampai pada monitoring dan evaluasi, dan analisis pencapaian dan mendapat umpan balik dari pencapaian tersebut (Sadjiarto, 2000). Buschor (2013) menyatakan manajemen kinerja sebagai salah satu alat pengambil keputusan manajemen tidak hanya didasarkan pada input saja tapi juga fokus pada outcome
Sumber : Buschor (2013)
Gambar 5 Elemen pengukuran kinerja
Sadjiarto (2000) membagi pengukuran kinerja ke dalam tiga indikator yaitu (1) indikator pengukuran service effort yang berarti bagaimana sumber daya, keuangan dan non keuangan, digunakan untuk melaksanakan berbagai program atau pelayanan jasa. Pengukuran service effort meliputi pemakaian rasio yang membandingkan sumber daya dengan ukuran lain yang menunjukkan permintaan potensial atas jasa yang diberikan seperti populasi umum, populasi jasa atau panjang jalan raya; (2) indikator pengukuran service accomplishment, yaitu prestasi dari program tertentu. Ukuran prestasi adalah output, yang mengukur kuantitas jasa yang disediakan, seperti jumlah angkutan umum, jumlah jalan raya yang diperbaiki. Sedangkan outcome mengukur hasil dari penyediaan output tersebut, misalnya jumlah penumpang yang dapat dilayani dengan angkutan umum, persentase jalan raya yang dalam kondisi bagus dan amat bagus; (3) indikator yang menghubungkan antara efforts dengan accomplishment, yaitu untuk mengukur efisiensi. Pengukuran efisiensi dapat dilakukan dengan membandingkan efforts dengan outputs atau efforts dengan outcomes.