• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Pepton Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Busuk Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri dan Khamir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Pepton Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Busuk Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri dan Khamir"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

PERTUMBUHAN BAKTERI DAN KHAMIR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Aplikasi Pepton

Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Busuk Sebagai Komponen

Media Pertumbuhan Bakteri dan Khamir” adalah benar karya saya dengan arahan

dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Eska Rizky Wiji Astuti

(4)
(5)

ABSTRAK

ESKA RIZKY WIJI ASTUTI. Aplikasi Pepton Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Busuk Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri dan Khamir. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan ELLA SALAMAH.

Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) dalam kondisi busuk memiliki kandungan protein yang cukup tinggi sehingga potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pepton. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi pepton ikan HTS dalam kondisi busuk dan mengaplikasikannya sebagai komponen media pertumbuhan bakteri dan khamir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan protein pepton dari ikan HTS busuk sebesar 77,93%. Kurva

pertumbuhan masing-masing bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan

khamir Saccharomyces cerevisiae memiliki kurva yang sama berdasarkan analisis

OD maupun TPC. Nilai µ maks E.coli pada media dengan pepton dari ikan HTS

busuk 0,062 per jam, sedangkan kontrol 0,071 per jam dan pepton komersial

0,072 per jam. Nilai µ maks S.aureus pada media dengan pepton dari ikan HTS

busuk 0,047 per jam, sedangkan kontrol 0,042 per jam dan pepton komersial

0,039 per jam. Khamir S. cerevisiae memiliki nilai µ maks 0,167 per jam pada

media dengan pepton dari ikan HTS busuk, sedangkan kontrol 0,160 per jam dan pepton komersial 0,166 per jam.

Kata kunci: ikan hasil tangkap sampingan (HTS), media pertumbuhan, pepton

ABSTRACT

ESKA RIZKY WIJI ASTUTI. Application of Peptone Made from Spoiled By-Catch Fish as Component of Bacteria and Yeast Medium Growth. Supervised by

TATI NURHAYATI and ELLA SALAMAH.

Fish of by-catch has a high protein content, which is potential to be used as peptone. This research aimed to produce peptone from spoiled by-catch fish and applicate it as component of bacteria and yeast growth media. Peptone from

by-catch fish has protein content of 77,93%. Growth of bacteria Escherichia coli,

Staphylococcus aureus and yeast Saccharomyces cereviciae analyzes by OD and

TPC. Growth rate of E.coli in media with peptone from by-catch fish is 0.062 per

hour, meanwhile control is 0.071 per hour and commercial peptone is 0.072 per

hour. Growth rate of S.aureus in media with peptone from by-catch fish is 0.047

per hour, meanwhile control is 0.042 per hour and commercial peptone is 0.039

per hour. Growth rate of yeast S. cerevisiae in media with peptone from by-catch

fish is 0.167 per hour, meanwhile control is 0.160 per hour and commercial peptone is 0.166 per hour.

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

ESKA RIZKY WIJI ASTUTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

APLIKASI PEPTON BERBAHAN BAKU IKAN HASIL TANGKAP

SAMPINGAN (HTS) BUSUK SEBAGAI KOMPONEN MEDIA

(10)
(11)

Judul Skripsi : Aplikasi Pepton Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) Busuk Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri dan Khamir

Nama : Eska Rizky Wiji Astuti

NIM : C34090070

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh

Dr Tati Nurhayati, SPi MSi Dra Ella Salamah, MSi

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Joko Santoso, MSi

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

(12)

xii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala,

atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berdasarkan penelitian yang berlangsung pada bulan April hingga

September 2013 dengan judul ”Analisis Pertumbuhan Bakteri dan Khamir dengan

Penambahan Pepton Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS)

Busuk”. Penyusunan skripsi dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat

untuk menyelesaikan studi di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini :

1. Dr Tati Nurhayati, SPi MSi dan Dra Ella Salamah, MSi selaku komisi pembimbing yang telah memberi bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

2. Dr Desniar, SPi MSi selaku dosen penguji yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi.

3. Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4. Keluarga terutama Ibu Rosini dan Bapak Mujiono, serta Kabul Wibowo dan Bekti Margi Utami atas doa, dukungan dan kasih sayang kepada penulis.

5. Muhammad Fachrirozi, Kak Made Suhandana, Mbak Ari, Mas Edi, dan Annisa Saskia atas motivasi, waktu dan bantuan yang memudahkan penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

6. Teman-teman TPB A03-A04 dan THP 46 atas kebersamaannya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2014

(13)

DAFTAR ISI

Proses hidrolisis protein (Fitra 2013) ... 4

Analisis proksimat pepton (AOAC 2005) ... 4

Analisis mikrobiologi ... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 5

Karakteristik Bahan Baku dan Pepton Ikan HTS ... 5

Kadar air ... 7

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia bahan baku dan pepton ikan HTS ... 6

2 Karakteristik pepton ikan HTS dengan pepton komersial ... 9

3 Kandungan asam amino pada pepton ikan HTS dan pepton komersial ... 9

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir prosedur penelitian ... 3

2 Bahan baku (a) dan produk (b) pepton HTS busuk ... 6

3 Pertumbuhan bakteri Escherichia coli berdasarkan uji OD ... 11

4 Pertumbuhan bakteri Escherichia coli berdasarkan uji TPC ... 11

5 µmaks bakteri Escherichia coli. ... 11

6 Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus berdasarkan uji OD ... 12

7 Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus berdasarkan uji TPC ... 13

8 µmaks bakteri Staphylococcus aureus ... 13

9 Pertumbuhan khamir Saccharomyces cerevisiae berdasarkan uji OD ... 15

10 Pertumbuhan khamir Saccharomyces cerevisiae berdasarkan uji TPC ... 15

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kekayaan sumberdaya laut Indonesia sangat melimpah. Namun, pemanfaatan hasil tangkapan laut belum optimal dan banyak yang dibiarkan

membusuk, terutama ikan hasil tangkap sampingan. Purbayanto et al. (2004)

mengemukakan bahwa potensi ikan tangkap sampingan di perairan Arafura mencapai 332.186 ton per tahun. Pemanfaatan ikan hasil tangkap sampingan umumnya memiliki nilai jual yang rendah. Contoh produk berbahan baku ikan hasil tangkap sampingan yang sudah ada diantaranya tepung ikan, minyak ikan,

dan sebagainya. Martone et al. (2005) menyatakan lebih dari 50% hasil tangkapan

ikan belum dimanfaatkan dengan baik, bahkan dibuang.

Pembuatan hidrolisat protein dilakukan dengan pemanfaatan bahan baku yang kaya protein, salah satunya ikan. Mohamad (2012) menyatakan ikan hasil tangkapan sampingan multispesies memiliki kadar protein yang tinggi sebesar 17,52%. Hasil hidrolisat protein yang kini tengah dikembangkan adalah pepton.

Dufossé et al. (2001) menyatakan pepton adalah produk turunan atau derivat dari

hidrolisat protein yang larut dalam air dan tidak mengalami proses koagulasi pada air panas. Kebutuhan pepton dalam bidang bioteknologi sangat tinggi. Impor pepton di Indonesia pada periode Januari-Oktober 2013 mencapai 4.322.206 kg dengan nilai 17.888.159 US $ (BPS 2013).

Pemanfaatan ikan hasil tangkap sampingan dalam kondisi busuk sebagai bahan baku pepton ikan diharapkan dapat meningkatkan nilai jual sekaligus mengurangi impor pepton di Indonesia. Hasil penelitian Fitra(2013) menunjukkan adanya kandungan asam amino yang dapat menunjang pertumbuhan mikroorganisme pada pepton dari ikan hasil tangkap sampingan busuk. Informasi mengenai aplikasi pepton dari ikan hasil tangkap sampingan busuk sebagai komponen media pertumbuhan bakteri dan khamir belum diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian terkait hal tersebut.

Perumusan Masalah

Ikan hasil tangkap sampingan umumnya tidak dimanfaatkan secara optimal dan banyak dibuang. Pembuatan pepton ikan dapat dilakukan dengan pemanfaatan protein ikan hasil tangkap sampingan pada kondisi busuk. Pemanfaatan tersebut diharapkan selain dapat meningkatkan nilai jual juga dapat mengurangi ketergantungan impor pepton di Indonesia. Kebutuhan pepton dalam bidang bioteknologi sangat tinggi. Informasi mengenai aplikasi pepton ikan hasil tangkap sampingan pada kondisi busuk terhadap pertumbuhan bakteri dan khamir diperlukan agar pemanfaatan di bidang tersebut lebih optimal.

Tujuan Penelitian

(16)

2

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memberi informasi kurva pertumbuhan

bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus serta khamir Saccharomyces

cerevisiae dengan pemanfaatan pepton ikan hasil tangkap sampingan busuk sebagai komponen medianya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah ikan hasil tangkap sampingan meliputi ikan tongkol, kembung, layang, tembang, cucut, selar, pari dan layur, serta kurva

pertumbuhan bakteri E. coli, S. aureus, dan khamir S. cerevisiae.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga September 2013. Preparasi bahan baku dan analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Proses hidrolisis dilakukan di Laboratorium Biokimia Umum, Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Analisis mikrobiologi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan hasil tangkap sampingan multispesies dari pukat udang (ikan tongkol, kembung, layang, tembang, cucut, selar, pari dan layur) diperoleh di Muara Baru, Jakarta. Bahan yang digunakan untuk pembuatan hidrolisat protein ialah enzim papain produksi

Merck dan akuades. Bahan analisis mikrobiologi mencakup bakteri E. coli,

bakteri S. aureus, khamir S. cerevisiae, akuades, Nutrient Agar (NA), NaCl, yeast

extract, Buffer Phosphate Water (BPW), Plate Count Agar (PCA), Yeast Peptone Dextrose (YPD), Potato Dextrose Agar (PDA), asam tartarat, dan pepton

komersial produksi Oxoid sebagai pembanding.

Alat

Alat yang digunakan untuk preparasi bahan baku adalah timbangan, pisau, dan wadah. Pembuatan pepton dilakukan dengan menggunakan gelas Erlenmeyer,

(17)

cawan petri, autoklaf, Spektrofotometer UV 1800 (Shimadzu), rotary shaker

(Innova) dan inkubator (Yamato).

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian diawali dengan preparasi bahan baku yaitu ikan hasil tangkap sampingan dalam kondisi busuk sebelum dihidrolisis menggunakan

enzim papain. Cairan hidrolisat diambil lalu dikeringkan dengan freeze dryer

menjadi bubuk pepton. Pepton ikan selanjutnyadianalisis sebagai komponen dalam media tumbuh bakteri dan kapang. Prosedur kerja penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian

Preparasi Sampel

Sampel ikan hasil tangkap sampingan multispesies yang diperoleh diukur bobotnya lalu dimasukkan dalam wadah dan didiamkan pada suhu ruang hingga

membusuk. Penentuan kebusukan dilakukan dengan uji total volatile base (TVB)

Pengambilan cairan Ikan HTS busuk

Preparasi

Proses hidrolisis menggunakan enzim papain 0,3% pada suhu 60ºC selama 5 jam

Inaktivasi enzim pada suhu 85°C selama 15 menit

Bubuk pepton

Pengukuran OD

Analisis proksimat Analisis Mikrobiologi

Perhitungan TPC Pengeringan dengan freeze dryer

Bakteri E. coli

Bakteri S. aureus

(18)

4

berdasarkan AOAC (2005). Ikan multispesies yang sudah busuk lalu dicacah dan

dicampur hingga homogen.

Proses Hidrolisis Protein (Fitra 2013)

Hidrolisat protein dibuat dengan campuran ikan multispesies yang sudah dicacah lalu dihomogenisasi menggunakan akuades dengan perbandingan 2:1 (2 bagian akuades dengan 1 bagian campuran ikan). Nilai pH pada awal hidrolisis harus netral, yaitu 6-8. Campuran ikan dan air dimasukkan dalam wadah kemudian ditambah enzim papain dengan konsentrasi 0,3% dan dihidrolisis pada

suhu 60ºC menggunakan waterbath shaker selama 5 jam.

Proses hidrolisis dilanjutkan dengan inaktivasi enzim pada suhu 85ºC selama 15 menit. Larutan sampel disaring dengan kertas saring dan diendapkan selama 12 jam pada suhu 2-4ºC. Penyaringan tersebut dilakukan untuk memisahkan padatan, cairan dan lemak. Cairan diambil untuk dilakukan uji nitrogen terlarut agar diketahui kondisi optimumnya. Pembuatan pepton dilakukan dengan pengambilan cairan dari proses hidrolisis berdasarkan kondisi optimum

tersebut. Cairan tersebut kemudian dikeringkan dengan freeze dryer menjadi

bubuk pepton.

Analisis Proksimat Pepton (AOAC 2005)

Analisis proksimat pepton berbahan baku ikan HTS dalam kondisi busuk dilakukan sebelum diaplikasikan sebagai komponen media pertumbuhan bakteri dan khamir. Analisis yang dilakukan meliputi rendemen, kadar air (AOAC 2005), kadar abu (AOAC 2005), kadar protein (AOAC 2005), kadar lemak (AOAC

2005) dan kadar karbohidrat by difference.

Analisis Mikrobiologi

Analisis mikrobiologi dilakukan dengan membandingkan kemampuan tumbuh mikroba di media menggunakan sumber nitrogen pepton ikan hasil tangkap sampingan busuk dan pepton komersial sebagai pembanding. Analisis

dilakukan dengan uji optical density (OD) dan uji total plate count (TPC).

Mikroba yang digunakan yaitu bakteri E. coli, S. aureus, dan khamir S. cerevisiae.

a) Pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus

Kultur bakteri pada NA miring diambil sebanyak 2 ose lalu dipindahkan ke media cair LB. Inokulum dalam media LB diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37ºC atau setelah pertumbuhan bakteri mencapai 0,8 dengan pengukuran

OD.Inokulum dari media LB dipindahkan sebanyak 1% ke masing-masing media

pertumbuhan. Komposisi media pertumbuhan yang digunakan berdasarkan

Martone et al. (2005) dan Sezonov et al. (2007) terdiri dari 1% (b/v) NaCl, 0,5%

(b/v) yeast extract dan 1% (b/v) pepton yang dilarutkan hingga 1 L dengan

akuades. Media pertumbuhan bakteri mencakup larutan dengan perlakuan penambahan pepton ikan HTS dalam kondisi busuk, sedangkan media dengan penambahan pepton komersial digunakan sebagai pembanding.

Kultur yang telah ditumbuhkan pada media pertumbuhan kemudian

diinkubasi pada suhu 37ºC dalam inkubatorselama 24 jam. Pengamatan dilakukan

(19)

panjang gelombang 650 nm. Analisis TPC dilakukan dengan pengambilan 1 mL kultur bakteri untuk diencerkan dalam BPW hingga batas tertentu. Sebanyak 1 mL kultur dari BPW dipindahkan dalam cawan petri lalu ditambahkan 15-20 mL PCA. Cawan petri diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. Penghitungan jumlah sel bakteri dilakukan dengan metode TPC.

b) Pertumbuhan khamir S. cerevisiae

Kultur bakteri pada NA miring diambil sebanyak 2 ose lalu dipindahkan ke media cair YPD. Inokulum dalam media YPD diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang atau setelah pertumbuhan khamir mencapai 0,5 dengan pengukuran OD. Selanjutnya, inokulum dipindahkan sebanyak 1% ke masing-masing media pertumbuhan. Komposisi media pertumbuhan yang digunakan terdiri dari 2%

(b/v) dextrose, 1% (b/v) yeast extract dan 2% (b/v) pepton yang dilarutkan hingga

1 L dengan akuades (Hjortmo et al. 2008). Media pertumbuhan bakteri mencakup

larutan dengan perlakuan penambahan pepton ikan HTS dalam kondisi busuk, sedangkan media dengan penambahan pepton komersial digunakan sebagai pembanding.

Kultur yang telah ditumbuhkan pada media pertumbuhan kemudian

diinkubasi pada suhu ruang dalam rotary shaker 800 rpm selama 48 jam.

Pengamatan dilakukan setiap 2 jam sekali untuk analisis OD dan TPC. Analisis OD dilakukan dengan pengambilan 3-4 mL kultur lalu diamati menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm. Analisis TPC dilakukan dengan pengambilan 1 mL kultur khamir untuk diencerkan dalam BPW hingga batas tertentu. Sebanyak 1 mL kultur dari BPW dipindahkan dalam cawan petri lalu ditambahkan 15-20 mL PDA yang sebelumnya telah ditambahkan asam tartarat 85%. Cawan petri diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 30ºC. Penghitungan jumlah sel khamir dilakukan dengan metode TPC.

Analisis Data

Analisis data dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan mikroorganisme berdasarkan perhitungan TPC. Data hasil perhitungan TPC diolah ke dalam bentuk logaritma menggunakan Microsoft Excel 2007. Bentuk logaritma selanjutnya diubah menjadi kurva pertumbuhan dan grafik laju pertumbuhan spesifik (µ maks) tiap mikroorganisme.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan Baku dan Pepton

Pepton adalah suatu produk turunan atau derivat dari hidrolisat protein yang larut dalam air dan tidak mengalami proses koagulasi pada air panas (Dufossé

et al. 2001). Proses hidrolisis protein menjadi pepton dilakukan dengan penambahan enzim papain. Presentase jumlah produk hidrolisat yang dihasilkan terhadap berat bahan baku sebelum dihidrolisis disebut rendemen (Shahidi dan

(20)

6

6,67%. Pepton yang telah dilakukan penyaringan setelah proses hidrolisis

kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer. Bentuk akhir pepton ikan HTS

dalam kondisi busuk berupa serbuk dan memiliki warna kuning kecokelatan. Bahan baku dan produk pepton ikan HTS busuk disajikan pada Gambar 2.

(a) (b)

Gambar 2 Bahan baku (a) dan produk (b) pepton HTS busuk Tabel 1 Komposisi kimia bahan baku dan pepton ikan HTS

(21)

Kadar Air

Air merupakan komponen dasar dengan jumlah hampir 80% pada tubuh

ikan (Yunizal et al. 1998). Kandungan air dalam bahan ikut menentukan daya

terima, kesegaran dan saya simpan bahan tersebut (Winarno 2008). Kadar air pada bahan baku ikan HTS multispesies busuk sebesar 70,00%; sedangkan pepton dari ikan HTS busuk memiliki kadar air sebesar 4,84%. Kadar air berkurang diduga

akibat penguapan yang terjadi selama proses pengeringan menggunakan freeze

dryer. Penguapan menyebabkan terlepasnya komponen air bebas pada bahan yang dikeringkan. Penurunan juga terjadi pada produksi pepton ikan HTS segar berdasarkan Mohamad (2012) dengan kadar air pada bahan baku 74,26%; sedangkan kadar air pada produk pepton 8,95%.

Kadar Abu

Bahan makanan sebagian besar terdiri dari bahan organik dan air. Zat anorganik yang tidak terbakar pada suhu 600°C disebut abu, diantaranya Ca, Mg, Na, P, K, Fe, Mn,dan Cu. Abu yang terbentuk berwarna putih abu-abu, berpartikel halus dan mudah dilarutkan (Winarno 2008). Kadar abu bahan baku dan pepton ikan HTS busuk dalam basis basah masing-masing 3,12% dan 5,26%, sedangkan kadar abu basis kering masing-masing 0,10% dan 0,05%. Kadar abu pada bahan baku dan pepton ikan HTS segar berdasarkan Mohamad (2012) dalam basis kering masing-masing 0,12% dan 0,06%. Penurunan kadar abu diduga akibat adanya proses penyaringan sehingga tulang dan daging sebagai sumber mineral bahan berkurang pada produk pepton.

Kadar Protein

Protein tersusun atas rantai asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida membentuk struktur yang kompleks. Peranan protein sebagai molekul esensial dalam penyusunan struktur maupun proses fungsional makhluk hidup (Vaclavik dan Christian 2008). Kandungan protein pada produk perikanan tergolong tinggi. Bahan baku dan pepton dari ikan HTS busuk memiliki kadar protein dalam basis basah masing-masing 18,34% dan 77,93%; sedangkan kadar protein dalam basis kering masing-masing 0,61% dan 0,82%. Kandungan protein pada bahan baku dan pepton dari ikan HTS segar berdasarkan penelitian Mohamad (2012) dalam basis kering masing-masing yaitu 0,68% dan 0,82%.

Kadar protein yang tinggi pada pepton diduga berasal dari hasil pemecahan ikatan protein pada proses hidrolisis menjadi unsur-unsur yang lebih sederhana, yaitu asam amino, peptida dan derivat protein lainnya. Semakin banyak asam amino dan peptida yang terbentuk akan menghasilkan zat terlarut yang semakin tinggi sehingga total nitrogen juga semakin meningkat. Penambahan enzim dapat mempengaruhi peningkatan kadar protein karena enzim

termasuk protein dan dapat mempercepat proses hidrolisis (Ovissipour et al.

2010). Pemisahan komponen lainnya seperti air, abu dan lemak dalam pembuatan pepton juga dapat mempengaruhi kandungan protein. Pengurangan air dalam

jumlah besar terjadi akibat penguapan selama proses pengeringan dengan freeze

(22)

8

Kadar Lemak

Lemak termasuk dalam kelompok lipida dan bersifat tidak larut dalam air. Kadar lemak bahan baku ikan HTS busuk dalam basis basah yaitu 4,89%; sedangkan kadar lemak pepton dari ikan HTS busuk yaitu 0,54%. Kandungan lemak juga mengalami penurunan pada bahan baku maupun pepton dari ikan HTS busuk berdasarkan basis kering masing-masing 0,16% dan 0,01%. Penurunan jumlah lemak diduga karena proses penyaringan yang menyebabkan kandungan lemak tidak larut air terpisah dari cairan hidrolisat. Kandungan lemak terlarut juga

menurun diduga akibat adanya proses pengeringan dengan freeze dryer yang

menyebabkan pengurangan jumlah air pada pepton. Nilsang et al. (2005)

menyatakan bahwa produk hidrolisat protein dengan kandungan lemak rendah umumnya lebih stabil terhadap reaksi oksidasi sehingga lebih awet selama penyimpanan.

Nilai total volatile base (TVB)

Kondisi bahan baku dalam keadaan busuk atau sudah tidak layak konsumsi. Ciri-ciri ikan busuk adalah daging sudah lunak, bola mata cekung, insang berwarna cokelat tua, mengeluarkan banyak lendir dan menimbulkan bau busuk (Hadiwiyoto 1993). Tingkat kesegaran ikan HTS multispesies dapat diketahui melalui uji TVB berdasarkan AOAC (2005). Prinsip analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil yang kemudian diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan HCl. Nilai TVB dapat dijadikan indeks kesegaran ikan. Nilai TVB ikan HTS multispesies yaitu sebesar 69,49 mg N/100 g. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kondisi ikan HTS adalah busuk. Ikan yang sudah busuk dan tidak dapat dikonsumsi memiliki nilai lebih besar dari 30 mg N/100 g (Farber 1965).

Aplikasi Pepton Berbahan Baku Ikan HTS Busuk

Kualitas pepton ikan HTS dalam kondisi busuk diaplikasikan sebagai komponen media pertumbuhan mikroorganisme. Penelitian sebelumnya oleh Fitra (2013) menunjukkan adanya potensi pepton ikan HTS dalam kondisi busuk sebagai alternatif pepton komersial. Hal tersebut karena pepton ikan HTS dalam kondisi busuk memiliki karakteristik tertentu yang dapat menunjang pertumbuhan

mikroorganisme. Dufossé et al. (2001) menyatakan bahwa karakteristik hidrolisat

protein mencakup jumlah nitrogen dan komposisi asam amino. Ciri yang paling penting dari pepton adalah fungsinya sebagai sumber nutrisi bagi mikroorganisme sehingga diperlukan jumlah nitrogen yang tinggi dan asam amino yang dapat menunjang pertumbuhan mikroorganisme. Karakteristik pepton ikan HTS dalam kondisi busuk dan pepton komersial dapat dilihat pada Tabel 2.

(23)

Tabel 2 Karakteristik pepton ikan HTS dengan pepton komersial

Tabel 3 Kandungan asam amino pada pepton ikan HTS dan pepton komersial

Asam Amino Pepton Ikan HTS

busuk (%)1)

(24)

10

sumber nitrogennya (Rahayu dan Nurwitri 2012). Kandungan asam amino pepton ikan HTS dalam kondisi busuk cenderung lebih tinggi daripada kandungan asam amino pada pepton HTS segar dan komersial. Kandungan asam amino tertinggi pada pepton ikan HTS dalam kondisi busuk adalah asam glutamat sebesar 13,08% dan kandungan terendah adalah tirosin sebesar 0,9%. Hal ini mendekati karakteristik pepton komersial yang memiliki kandungan tertinggi adalah asam glutamat sebesar 10,35% dan terendah adalah tirosin sebesar 0,33%. Asam amino pada pepton HTS dalam kondisi busuk yang memiliki nilai lebih tinggi daripada pepton komersial mencakup alanin, asam glutamat, isoleusin, leusin, metionin, fenilalanin, tirosin, treonin, dan valin (Fitra 2013). Kandungan asam amino pada pepton ikan HTS dalam kondisi busuk dan pepton komersial sebagai pembanding disajikan pada Tabel 3.

Pertumbuhan mikroorganisme didefinisikan sebagai pertambahan berat sel. Berat sel relatif sama pada setiap siklus sel sehingga pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan jumlah sel (Purwoko 2009). Hasil analisis pertumbuhan mikroorganisme berupa kurva yang dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu fase lag, fase log, fase stasioner dan fase kematian. Fase lag atau adaptasi terjadi ketika suatu massa sel mengalami kekurangan metabolit dan keadaan tidak menguntungkan dalam pembiakan terdahulu sehingga perlu menyesuaikan diri pada lingkungan yang baru. Fase log (eksponensial) merupakan kondisi ketika populasi sel mulai mengalami peningkatan jumlah secara teratur. Fase stasioner menunjukkan kondisi sel ketika kehabisan makanan dan terjadi penumpukan hasil-hasil metabolisme yang beracun sehingga dapat

menyebabkan pertambahan jumlah sel terhenti (Rolfe et al. 2012).

Aplikasi pepton ikan HTS dalam kondisi busuk sebagai komponen media pertumbuhan dilakukan pada bakteri dan khamir. Jenis bakteri yang digunakan

ada dua yaitu E. coli dan S. aureus, serta khamir yaitu S. cerevisiae. Pertumbuhan

bakteri maupun kapang dianalisis berdasarkan analisis OD dan TPC. Purwoko (2009) menjelaskan bahwa analisis OD merupakan metode perhitungan sel secara langsung, sedangkan TPC merupakan metode perhitungan sel secara tidak langsung. Prinsip analisis OD yaitu perhitungan sel bakteri berdasarkan kekeruhan (turbiditas) kultur. Semakin keruh suatu kultur maka semakin banyak jumlah selnya. Perhitungan sel dengan metode TPC dilakukan dengan melakukan pengenceran kultur hingga batas tertentu kemudian ditumbuhkan kembali pada media. Setiap sel yang tumbuh akan menjadi satu koloni.

Aplikasi Pepton Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri E. coli

Bakteri E. coli merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat anaerob

fakultatif dan motil. Jenis bakteri ini berperan sebagai indikator pencemaran air

oleh limbah domestik. Keberadaan E.coli dalam air menunjukkan air tersebut

telah tercemar tinja dan mengandung bibit penyakit yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan jika masuk saluran pencernaan (Wardana 2008).

Analisis pertumbuhan bakteri E. coli menggunakan media Luria-Bertoni

(LB). Media LB merupakan media referensi untuk bakteri (Sezonov et al. 2007).

Kurva pertumbuhan E. coli berdasarkan analisis OD (Gambar 3) memiliki

(25)

Gambar 3 Kurva pertumbuhan bakteri E. coli berdasarkan pengukuran OD.

( ) kontrol, ( ) pepton ikan, ( ) pepton komersial

Gambar 4 Kurva pertumbuhan bakteri E. coli berdasarkan perhitungan TPC.

( ) kontrol, ( ) pepton ikan, ( ) pepton komersial

Gambar 5 Grafik µmaks bakteri E. coli. Kontrol (y = 0,071x+1,827;

R2 = 0,962), Pepton Ikan (y = 0,062x+1,832; R2 = 0,937),

Pepton Komersial (y = 0,072x+1,826; R2 = 0,936)

Nilai µ maks bakteri E.coli pada pepton ikan HTS dalam kondisi busuk

(26)

12

sebesar 0,071 per jam dan pepton komersial sebesar 0,072 per jam (Gambar 5).

Rata-rata laju pertumbuhan bakteri E. coli selama fase log yaitu 0,25 per jam.

Nilai tersebut lebih rendah dari pepton komersial yang memiliki rata-rata laju pertumbuhan pada fase yang sama sebesar 0,30 per jam.

Asam amino merupakan sumber nitrogen yang penting bagi pertumbuhan mikroorganisme. Dawes (1951) menyebutkan beberapa jenis asam amino dapat

menghambat pertumbuhan E. coli yaitu treonin, metionin, valin dan isoleusin.

Kandungan asam amino pada pepton ikan HTS busuk berdasarkan Fitra (2013) mencakup treonin (1,82%), metionin (2,39%), valin (4,06%) dan isoleusin (3,61%) lebih tinggi dibandingkan kandungan asam amino yang sama pada pepton komersial yaitu treonin (1,47%), metionin (1,27%), valin (3,85%) dan isoleusin (1,02%). Kadar asam amino yang kurang menunjang pertumbuhan

E. coli menyebabkan kebutuhan bakteri tersebut untuk proses pertumbuhannya kurang terpenuhi.

Bakteri E. coli termasuk ke dalam golongan nonhalofilik. Pertumbuhan

optimal E. coli terjadi pada penambahan NaCl 5%, sedangkan pertumbuhan

bakteri mulai terhambat dengan penambahan NaCl 7% atau lebih pada waktu

inkubasi 24 jam. Pertumbuhan E. coli benar-benar terhenti pada penambahan

NaCl 20% dengan waktu inkubasi lebih dari 48 jam (Hrenovic dan Ivankovic

2009). Pertumbuhan E. coli diduga juga mendapat pengaruh dari kandungan

garam pada pepton. Penelitian Fitra (2013) menunjukkan kadar NaCl pada pepton ikan HTS dalam keadaan busuk sebesar 7,82%. Nilai tersebut lebih tinggi dari kadar NaCl pada pepton komersial sebesar 3,20%.

Aplikasi Pepton Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Bakteri S. aureus

Bakteri S. aureus termasuk dalam Gram positif, fakultatif anaerobik, dan

mikroorganisme non motil. Nama organisme diambil dari bahasa Yunani yaitu

staphyle yang berarti kumpulan buah anggur dan coccus yang berarti bulat, karena

bentuk selnya bulat (kokus) menyerupai buah anggur. Koloni S. aureus berupa

lingkaran dengan diameter antara 0,5-1,5 µm dan memiliki warna bervariasi yaitu abu-abu kekuningan hingga jingga (Medvedova dan Valik 2012).

Gambar 6 Kurva pertumbuhan bakteri S. aureus berdasarkan pengukuran OD.

(27)

Gambar 7 Kurva pertumbuhan bakteri S. aureus berdasarkan perhitungan TPC.

( ) kontrol, ( ) pepton ikan, ( ) pepton komersial

Analisis pertumbuhan S. aureus mengacu pada penelitian Fitra (2013)

dilakukan pada media LB dengan komposisi yang sama seperti media LB pada

bakteri E. coli. Media LB merupakan referensi untuk analisis pertumbuhan bakteri

pada media modifikasi dengan tambahan hidrolisat protein ikan sebagai sumber

utama senyawa organik (Martone et al. 2005). Pengamatan dilakukan selama 24

jam setiap 2 jam sekali untuk analisis OD dan TPC.

Kurva pertumbuhan bakteri S. aureus berdasarkan hasil analisis OD

(Gambar 6) dan TPC (Gambar 7) memiliki perbedaan. Kurva pertumbuhan menunjukkan adanya fase lag pada jam ke-0 hingga jam ke-2. Perbedaan Kurva antar perlakuan terjadi pada akhir fase log. Pepton ikan HTS busuk memiliki fase log pada jam ke-2 hingga jam ke-14, sedangkan pepton komersial dan kontrol memiliki fase log pada jam ke-2 hingga jam ke-16. Hal tersebut menunjukkan

bahwa pertumbuhan bakteri S. aureus dengan penambahan pepton ikan HTS

dalam kondisi busuk memiliki fase log yang lebih singkat dibandingkan kontrol dan pepton komersial. Akhir fase log menunjukkan kondisi sel ketika kehabisan makanan dan terjadi penumpukan hasil-hasil metabolisme yang beracun sehingga

terjadi penurunan jumlah sel hidup (Fujikawa et al. 2004).

Gambar 8 Grafik µ maks bakteri S. aureus. kontrol (y = 0,042x+1,920;

R2 = 0,844), pepton ikan (y = 0,047x+1,886; R2 = 0,951),

(28)

14

dengan penambahan pepton ikan HTS dalam kondisi busuk pada fase log sebesar 0,19 per jam, mendekati laju pertumbuhan pada pepton komersial sebesar 0,18 per jam.

Pertumbuhan S. aureus pada pepton ikan HTS dalam kondisi busuk lebih

tinggi dengan fase log sedikit lebih singkat daripada pepton komersial. Hal

tersebut diduga karena kandungan nutrisi penunjang pertumbuhan S. aureus pada

pepton ikan HTS dalam kondisi busuk lebih sedikit dibandingkan

pembandingnya. Jenis asam amino yang menunjang pertumbuhan S. aureus

diantaranya arginin dan leusin, sedangkan asam amino yang dapat menghambat

S. aureus meliputi alanin dan metionin (De Buyser et al. 2001; Gladstone 1937). Hasil penelitian Fitra (2013) menunjukkan pepton ikan HTS busuk memiliki kandungan arginin (1,08%) dan leusin (6,06%), sedangkan pepton komersial memiliki kandungan arginin (4,58%) dan leusin (3,65%). Kandungan alanin (5,57%) dan metionin (2,39%) pada pepton HTS busuk lebih tinggi daripada pepton komersial dengan kandungan alanin (4,28%) dan metionin (1,27%).

Pertumbuhan S. aureus dapat berlangsung lebih baik pada pepton ikan

HTS dalam kondisi busuk karena didukung oleh sifat bakteri S. aureus yang

termasuk halotoleran. Hasil penelitian Fitra (2013) menyebutkan kadar garam pada pepton ikan HTS dalam kondisi busuk mencapai 7,82%, sedangkan

Hrenovic dan Ivankovic (2009) mengungkapkan bahwa bakteri S. aureus dapat

tumbuh dengan kadar NaCl hingga 15%.

Aplikasi Pepton Sebagai Komponen Media Pertumbuhan Khamir

S. cerevisiae

Khamir adalah mikroba eukariotik bersel tunggal, non motil dan tidak

berklorofil. Ukuran khamir sangat beragam, lebar khamir berkisar antara 1–5 µm

dan panjang antara 5–30 µm. Salah satu jenis khamir ialah S. cerevisiae yang

telah dikenal sebagai ragi roti dan digunakan untuk pembuatan tape dan bir (Pelczar dan Chan 2008). Analisis pertumbuhan khamir dilakukan pada media

Yeast Peptone Dextrose (YPD).

Pertumbuhan khamir S. cereviseae memiliki persamaan kurva pada hasil

analisis OD (Gambar 9) dan analisis TPC (Gambar 10). Fase log terjadi pada jam ke-0 hingga jam ke-18. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan khamir tidak melalui fase lag. Fase lag terjadi lebih singkat atau tidak terjadi jika sel sudah mencapai fase log di media sebelumnya dan dipindah ke media baru dengan

komposisi yang sama dengan media lama (Rolfe et al. 2012).

(29)

sebesar 0,19 per jam. Nilai tersebut lebih tinggi sedikit dibandingkan pepton komersial pada fase yang sama sebesar 0,18 per jam.

Gambar 9 Kurva pertumbuhan khamir S. cerevisiae berdasarkan pengukuran OD.

( ) kontrol, ( ) pepton ikan, ( ) pepton komersial

Gambar 10 Kurva pertumbuhan khamir S. cerevisiae berdasarkan perhitungan

TPC. ( ) kontrol, ( ) pepton ikan, ( ) pepton

komersial

Gambar 11 Grafik µ maks S. cerevisiae. kontrol (y = 0,160x+1,559;

R2 = 0,924), pepton ikan (y = 0,167x+1,560; R2 = 0,926),

(30)

16

Pertumbuhan khamir umumnya menggunakan karbohidrat sebagai sumber

karbon dan sumber energi. Sumber nitrogen S. cerevisiae dapat dipenuhi dengan

memanfaatkan amonia, glutamat dan glutamin. Glutamat merupakan asam amino yang lebih dulu dimanfaatkan khamir dalam pertumbuhannya. Glutamat juga

dapat dikonversi dari amonia dan glutamin (Guillamon et al. 2001). Asam

glutamat merupakan kandungan paling tinggi dalam pepton HTS busuk yaitu 13,08%, nilai tersebut lebih besar dari asam glutamat pada pepton komersial yaitu 10,35% (Fitra 2013). Asam amino lainnya yang dapat menunjang pertumbuhan

khamir S. cerevisiae menurut Hanscho et al. (2012) meliputi fenilalanin, serin dan

treonin. Penelitian sebelumnya oleh Fitra (2013) diketahui bahwa pepton ikan HTS busuk memiliki kandungan fenilalanin (3,56%), serin (1,75%), dan treonin (1,82%), sedangkan pepton komersial memiliki kandungan fenilalanin (2,68%), serin (1,76%), dan treonin (1,47%). berdasarkan analisis OD maupun TPC. Pepton ikan HTS busuk baik diaplikasikan

pada bakteri S. aureus dan khamir S. cerevisiae ditunjukkan dengan rata-rata laju

pertumbuhan yang lebih tinggi daripada pepton komersial, sedangkan aplikasi

pada bakteri E. coli kurang baik karena laju pertumbuhannya lebih rendah

daripada pepton komersial. Perbedaan hasil yang ditunjukan oleh bakteri dan khamir disebabkan faktor perbedaan jenis mikroorganisme dan kandungan nutrisi pada pepton ikan HTS busuk.

Saran

(31)

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of

Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia (US): The Association of Official Analytical Chemist, Inc.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data Ekspor Impor [Internet]. [diunduh 2014

Jan 29]. Tersedia pada: www.bps.go.id/exim-frame.php?kat=2.

industrialised countries. Int. J. Food Microbiol. 67:1-17.

Dufossé L, Broise DDL , Guerard F. 2001. Evaluation of nitrogenous substrates such as peptones from fish: a new methode on gompertz modeling of

microbial growth. Current Microbiol. 42:32-38.

Farber L. 1965. Freshness test. Di dalam: Borgstonn G, editor. Fish as Food.

Vol. IV. New York (US): Academic Press.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.

Fitra RN. 2013. Produksi dan karakterisasi pepton ikan hasil tangkap sampingan (HTS) multispesies busuk dengan pembanding pepton komersial [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Fujikawa H, Kai A, Morozumi S. 2004. A new logistic model for Escherichia coli

growth at constant and dynamic temperatures. Food Microbiol.

21:501-509

Gladstone GP. 1937. The nutrition of Staphylococcus aureus; nitrogen

requirements. Brit. J. Exp. Path. 18:322-333.

Guillamon JM, Van Riel NAW, Giuseppin MLF, Verrips CT. 2001. The

glutamate synthase (GOGAT) of Saccharomyces cerevisiae plays an

important role in central nitrogen metabolism. FEMS Yeast Res.

1:169-175

Hanscho M, Ruckerbauer DE, Chauhan N, Hofbauer HF, Krahulec S, Nidetzky B, Kohlwein SD, Zanghellini J, Natter K. 2012. Nutritional requirements of

the BY series of Saccharomyces cerevisiae strains for optimum growth.

FEMS Yeast Res. 12(7):796-808.

Hjortmo S, Patring J, Andlid T. 2008. Growth rate and medium composition

strongly affect folate content in Saccharomyces cerevisiae. Int. J. of Food

Microbiol. 123:93-100.

Hrenovic J, Ivankovic T. 2009. Survival of Escherichia coli and Acinetobacter

junii at various concentrations of sodium chloride. EurAsia. J. BioSci.

(32)

18

Martone CB, Borla OP, Sánchez JJ. 2005. Fishery by-product as a nutrient source

for bacteria and archaea growth media. Biores. Tech. 96:383-387.

Medvedova A, Valik L. 2012. Structure and Function of Food Engineering.

InTech [Internet]. [diunduh 2013 Okt 23]. Tersedia pada: www.intechopen.com/download/pdf/38356.

Mohamad. 2012. Model pemanfaatan perikanan ekonomis rendah dalam perencanaan dan pengembangan industri pepton (kasus: di PPS Nizam

Zachman – Jakarta) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor (in press).

Nilsang S, Lertsiri S, Suphantharika M, Assavanig A. 2005. Optimization of enzymatic hydrolysis of fish soluble concentrate by commercial

proteases. J. Food Eng. 70:571-578

Ovissipour M, Benjakul S, Safari R, Motamedzadegan A. 2010. Fish protein

hydrolysates production from yellowfin tuna Thunnus albacares head

using alcalase and protamex. Int. Aquat. Res. 2:87-95

Pelczar MJ, Chan ECS. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta (ID): UI Press.

Purbayanto A, Wisudo SH, Santoso J, Wahyu RI, Dinarwan, Zulkarnain, Sarmintohadi, Nugraha AD, Souboer DA, Pramono B, Marpaung A,

Riyanto M. 2004. Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan dan

Pemanfaatan Hasil Tangkap Sampingan Pukat Udang di Laut Arafuru.

Jakarta (ID): Sucofindo dan DKP Provinsi Papua.

Purwoko T. 2009. Fisiologi Mikroba. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

Rahayu WP, Nurwitri CC. 2012. Mikrobiologi Pangan. Bogor (ID): IPB Press.

Rolfe MD, Rice CJ, Lucchini S, Pin C, Thompson A, Cameron ADS, Alston M, Stringer MF, Betts RP, Baranyi J, Peck MW, Hinton JCD. 2012. Lag phase is a distinct growth phase that prepares bacteria for exponential

growth and involves transient metal accumulation. J. Bacteriol. 194

(3):686-701.

Saputra D. 2008. Pembuatan pepton ikan selar (Caranx leptolepis) hasil tangkap

sampinganan (HTS) pada kondisi post rigor dan busuk [skripsi]. Bogor

(ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Sezonov G, Joseleau-Petit D, D’Arl R. 2007. Escherichia coli physiology in

luria-bertani broth. J. Bacteriol. 189(23):8746-8749.

Shahidi F, Botta JR. 1994. Seafood : Chemistry, Processing Technology and

Quality. Glasgow (US): Blackie Academic and Professional.

Stansby ME. 1982. In Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products.

Westport Connecticut (US): AVI Publishing Company.

The Oxoid Manual 8th Edition. 1998. The Oxoid Manual 8th Edition. Hampshire,

England (UK): Oxoid Ltd.

Vaclavik VA, Christian EW. 2008. Essential of Food Science. Edisi ke-3. New

(33)

Wardana. 2008. Hidrolisis protein keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) menggunakan papain untuk menghasilkan pepton [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor (ID): M-Brio Press.

Yunizal, Murtini TJ, Dolaria N, Purdiwoto B, Abdulokhim, Carkipan. 1998.

(34)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta, 6 September 1991 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Mujiono dan Ibu Rosini. Penulis telah menempuh pendidikan formal di SDN Ahmad Yani pada tahun 1997-2003, SMPN 1 Tangerang pada tahun 2003-2006, dan SMAN 7 Tangerang pada tahun 2006-2009. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 melalui jalur Ujian Talenta Mandiri IPB (UTMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai asisten mata kuliah Mikrobiologi Hasil Perairan (2012); Fisiologi, Formasi, Degradasi dan Metabolit Hasil Perairan (2012-2013); dan Fermentasi Hasil Perairan (2013) pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Penulis juga aktif dalam kegiatan non akademik sebagai reporter di majalah pangan EMULSI (2010-2012), anggota divisi Informasi dan Komunikasi di Badan Eksekutif Mahasiswa di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (2011-2012), serta aktif dalam kepanitiaan yang diadakan di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan masa Praktek Lapangan di UPT. BPMPHP, Jakarta Utara, pada tahun 2012.

Gambar

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian
Gambar 2 Bahan baku (a) dan produk (b) pepton HTS busuk
Tabel 3 Kandungan asam amino pada pepton ikan HTS dan pepton komersial
Gambar 3 Kurva pertumbuhan bakteri  E. coli berdasarkan pengukuran OD.
+4

Referensi

Dokumen terkait