• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu serta Kebiasaan Makan dengan Perkembangan Kognitif Balita Stunting dan Normal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu serta Kebiasaan Makan dengan Perkembangan Kognitif Balita Stunting dan Normal"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI DAN KESEHATAN IBU

SERTA KEBIASAAN MAKAN DENGAN PERKEMBANGAN

KOGNITIF BALITA

STUNTING

DAN NORMAL

FAUZAH ATSANIYAH

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu serta Kebiasaan Makan dengan Perkembangan Kognitif Balita Stunting dan Normal adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Fauzah Atsaniyah

(4)
(5)

ABSTRAK

FAUZAH ATSANIYAH. Hubungan Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu serta Kebiasaan Makan dengan Perkembangan Kognitif Balita Stunting dan Normal. Dibimbing oleh CESILIA METI DWIRIANI dan KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI.

Prevalensi stunting di Indonesia saat ini sangat tinggi. Stunting dapat mengakibatkan gangguan perkembangan dan salah satunya adalah perkembangan kognitif. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu serta kebiasaan makan dengan perkembangan kognitif balita

stunting dan normal. Contoh dipilih secara purposive sebanyak 82 orang, terdiri dari 41 balita stunting dan 41 balita normal. Balita stunting sebagian besar berjenis kelamin perempuan dengan umur 3.6-4.5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, kebiasaan makan dan perkembangan kognitif balita normal lebih baik dibandingkan balita stunting.

Kebiasaan makan dan perkembangan kognitif balita stunting dan normal berbeda nyata (p<0.05). Uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara keragaman sayur dengan perkembangan kognitif, tetapi terdapat hubungan negatif antara frekuensi dan keragaman jajanan dengan perkembangan kognitif.

Kata kunci: pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, kebiasaan makan, perkembangan kognitif, stunting

ABSTRACT

FAUZAH ATSANIYAH. Relationship of Mother's Nutrition and Health Knowledge as well as Eating Habits with Cognitive Development of Stunting and Normal Underfive Children. Supervised by CESILIA METI DWIRIANI and KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI.

Prevalence of stunting in Indonesia is extremely high, which can result in impaired development i.e cognitive development. The objective of this study was to analyze the relationship of mother's nutrition and health knowledge as well as eating habits with cognitive development of stunting and normal underfive children. Samples were 82 underfive children selected purposively, consisted of 41 stunting underfive children and 41 normal underfive children. Most of stunting underfive children were female aged 3.6-4.5 years. Result showed mother's nutrition and health knowledge, eating habits and cognitive development of normal underfive children were better than stunting underfive children. Eating habits and cognitive development of stunting and normal underfive children had significant difference (p<0.05). Correlation test showed that diversity of vegetables had a positive correlation with cognitive development, but frequency and diversity of snack had negative correlation with cognitive development.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI DAN KESEHATAN IBU

SERTA KEBIASAAN MAKAN DENGAN PERKEMBANGAN

KOGNITIF BALITA

STUNTING

DAN NORMAL

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(8)
(9)

Judul Skripsi : Hubungan Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu serta Kebiasaan Makan dengan Perkembangan Kognitif Balita Stunting dan Normal

Nama : Fauzah Atsaniyah NIM : I14090113

Disetujui oleh

Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc Pembimbing I

dr Karina Rahmadia Ekawidyani, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Rasa syukur juga penulis haturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi teladan bagi penulis. Pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc selaku dosen pembimbing I dan dr Karina Rahmadia Ekawidyani, MSc selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing, memberi saran, dorongan, dan semangat selama penelitian.

2. drh M. Rizal Martua Damanik, MRepSc PhD selaku dosen pembimbing akademik yang banyak memberikan bimbingan dan motivasi selama perkuliahan.

3. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MS selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan.

4. Pihak sekolah PAUD: Almira Najla Desa Dompyong Wetan dan Ulthuf Tazkiyah Desa Dompyong Kulon, Kecamatan Gebang dan Abfana Kid’s Desa Bojong Gebang Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon atas waktu dan kerjasamanya selama pengambilan data penelitian.

5. Kedua orangtua, ayahanda Adil Sunarto, AMa dan Ibunda Wasi’ah, SPd, yang selalu memberikan doa, semangat, dan kasih sayangnya yang tak terhingga. Saudari penulis Lia Awaliatul Husni, SpdI, kakak ipar Doni Abdillah, dan Tri Mar’atul Ummah serta keluarga besar atas doa, semangat, dukungan dan motivasinya kepada penulis.

6. Keluarga besar BIRENA (Bimbingan Remaja dan Anak-anak) DKM Al-Hurriyyah IPB atas doa, semangat juang, dan motivasinya.

7. Teman-teman GM 46, Wiwi Febriani, Agustino, Diah, Fitri, Ega, Weni, Keluarga Wisma Arsida I: Ibu Vera, Mba Retno, Mba Ina, Mba Riza, Selvia, Anggun, dan Euis, kamar 49 TPB (Fidah, Yusi, Ika, Intan), Sri, Tis’ah, dan Vita Longa atas doa, motivasi, semangat, bantuan dan dukungannya.

8. Serta kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran penelitian ini. Semoga Allah membalas kebaikan semuanya.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan segala informasi yang terdapat didalamnya.

Bogor, Februari 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Hipotesis 2

Manfaat 3

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE 5

Desain, Lokasi, dan Waktu 5

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 6

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 7

Pengolahan dan Analisis Data 9

Definisi Operasional 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Karakteristik Contoh dan Keluarga Contoh 11

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu 15

Kebiasaan Makan 16

Riwayat Kesehatan 19

Sanitasi Lingkungan 21

Perkembangan Kognitif 23

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perkembangan Kognitif Balita

Stunting dan Normal 24

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 30

(14)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 8

2 Kategori skor pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dan kondisi sanitasi

lingkungan 9

3 Kategori skor perkembangan kognitif 10

4 Klasifikasi status gizi berdasarkan TB/U 10

5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik (jenis kelamin, umur, BB

lahir, dan PB lahir) 12

6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga 13 7 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan dan besar keluarga 14 8 Persentase responden menjawab benar pada pertanyaan pengetahuan

gizi dan kesehatan 15

9 Sebaran responden berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan 16 10 Rata-rata jumlah jenis pangan per kelompok pangan yang dikonsumsi

contoh selama satu bulan terakhir (jenis) 16

11 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit yang diderita selama satu

bulan terakhir 20

12 Sebaran contoh berdasarkan indikator sanitasi lingkungan 22 13 Sebaran contoh berdasarkan kriteria sanitasi lingkungan 22 14 Rata-rata skor perkembangan kognitif pada balita stunting dan normal 23 15 Sebaran contoh berdasarkan kriteria perkembangan kognitif 23

DAFTAR GAMBAR

1 Skema kerangka pemikiran hubungan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, kebiasaan makan, riwayat kesehatan, dan kondisi sanitasi lingkungan dengan perkembangan kognitif balita stunting dan normal 4

2 Tahapan penarikan contoh 7

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji korelasi yang berhubungan dengan perkembangan kognitif

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tinggi diperlukan untuk pembangunan bangsa menuju peradaban yang lebih maju. Seiring dengan itu, peningkatan derajat kesehatan yang didukung status gizi yang baik menjadi investasi SDM guna membangun keunggulan yang lebih kompetitif (Bappenas 2009).

Usia bawah lima tahun (balita) dikenal sebagai usia emas (golden age)

karena pemenuhan gizi pada masa ini sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Balita termasuk dalam kelompok yang rawan terhadap kekurangan gizi (Soekirman 2000). Dijelaskan lebih lanjut bahwa ada banyak gangguan kesehatan dan gizi yang terjadi pada balita diantaranya adalah anemia gizi besi, karies gigi, gizi kurang, gizi buruk, gizi lebih, serta kekurangan energi dan protein (KEP). Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan balita harus selalu dipantau secara teratur agar tidak mengalami gangguan akibat kekurangan maupun kelebihan gizi serta mencapai kesehatan yang optimal.

Kekurangan gizi pada balita dapat mengalami gangguan pertumbuhan. Di negara-negara berkembang banyak terjadi balita pendek atau stunting yaitu kondisi yang ditandai adanya gangguan/retardasi pada pertumbuhan linier, sehingga tinggi badan balita menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD z–score

menurut baku rujukan pertumbuhan World Health Organization/National Center for Health Statistics (WHO/NCHS) (WHO 2006). Indikator TB/U mencerminkan masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat keadaan kekurangan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik yang dimulai sejak anak dilahirkan sehingga mengakibatkan anak menjadi pendek.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, prevalensi

stunting (pendek) sebesar 35.6% (terdiri dari 18.5% severe stunting dan 17.1%

stunting) atau dialami oleh lebih dari sepertiga balita di Indonesia yakni sekitar 9.2 juta balita. Berdasarkan prevalensi tersebut, kejadian stunting menjadi masalah karena besarnya prevalensi berada di atas batas toleransi yang ditetapkan oleh WHO (2009) yaitu sebesar 20%. Di Jawa Barat prevalensi stunting sebesar 33.7%, (terdiri dari 16.6% severe stunting dan 17.1% stunting) (Depkes 2010).

Stunting dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor dari anak itu sendiri maupun faktor luar. Penelitian Aditianti (2010), menunjukkan faktor yang memengaruhi stunting pada anak di Indonesia adalah tinggi badan ayah dan ibu, umur, tempat tinggal, status sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan. Adapun praktek pemberian makan oleh ibu atau pengasuh menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi anak (Astari 2006).

(16)

2

perkembangan psikomotor (Albalak et al. 2000). Perkembangan kognitif terkait erat dengan perkembangan intelektual dan mental. Perkembangan kognitif anak usia dini dipengaruhi banyak faktor diantaranya adalah kematangan fisik, pengalaman dan interaksi peserta didik dengan orang-orang di sekitarnya. Anak dengan aspek kognitif yang berkembang baik, akan dapat mengembangkan proses berpikir, merespon objek di lingkungannya dan merefleksikan pengalamannya (Poerwanti 2011).

Perkembangan kognitif masa kanak-kanak awal disebut sebagai tahap praoperasional dimana anak mulai menggunakan pemikiran mental yaitu penggunaan kata-kata dan gambar-gambar untuk memahami dunianya (Santrock 2007). Karakteristik perkembangan selanjutnya adalah tahap operasional konkret dimana adanya perluasan pemikiran yang dapat mengaplikasikan kejadian yang ada dalam kehidupan sehari-hari menjadi contoh-contoh yang konkret atau spesifik (Papalia et al. 2008). Studi mengenai hubungan perkembangan kognitif pada balita stunting masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hubungan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu serta kebiasaan makan dengan perkembangan kognitif balita stunting dan balita normal.

Tujuan

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu serta kebiasaan makan dengan perkembangan kognitif balita stunting dan normal.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi karakteristik individu dan keluarga balita stunting dan normal.

2. Mengukur dan membandingkan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu balita

stunting dan normal.

3. Mengidentifikasi dan membandingkan kebiasaan makan balita stunting

dan normal.

4. Menguraikan dan membandingkan riwayat kesehatan dan kondisi sanitasi lingkungan balita stunting dan normal.

5. Mengukur dan membandingkan perkembangan kognitif balita stunting dan normal.

6. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan kognitif balita stunting dan normal.

Hipotesis

(17)

3

2. Perkembangan kognitif balita normal lebih baik dibandingkan balita

stunting.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang hubungan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu serta kebiasaan makan dengan perkembangan kognitif balita stunting dan normal. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam penyusunan program untuk menangani perbaikan balita stunting, khususnya terkait pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita untuk peningkatan kualitas SDM.

KERANGKA PEMIKIRAN

Balita merupakan masa dimana pertumbuhan dan perkembangan menunjukkan kemajuan yang sangat pesat sehingga memerlukan perhatian dan pemantauan khusus agar tercapai tumbuh kembang yang optimal. Stunting

merupakan masalah gizi yang banyak ditemukan pada balita. Gagalnya pertumbuhan pada balita berakibat buruk pada kehidupan selanjutnya dan sulit untuk diperbaiki karena bersifat irreversible.

Menurut Saragih (2011), masalah gizi pada balita (underweight, stunting,

atau wasting) secara tidak langsung dipengaruhi oleh konsumsi pangan keluarga yang tidak seimbang, pola asuh balita yang tidak memadai, imunisasi yang tidak lengkap pada balita, sanitasi, serta air bersih yang tidak memadai. Status gizi balita secara langsung dipengaruhi oleh konsumsi pangan balita, penyakit infeksi, dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pengetahuan gizi dan kesehatan ibu. Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang balita perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan dampak yang dapat menghambat tumbuh kembang baik fisik, mental maupun spiritual. Hal ini dikarenakan berbagai gangguan kesehatan dan gizi dapat bersifat permanen dan sulit untuk diperbaiki apabila tidak segera mendapat penanganan khusus, yang akhirnya dapat menurunkan kualitas intelektual atau kognitif balita tersebut.

Gambar 1 merupakan kerangka pemikiran yang mendeskripsikan variabel penelitian. Kerangka pemikiran tersebut diadaptasi dari kerangka pemikiran

(18)

4

Keterangan:

= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang dianalisis = Hubungan yang tidak dianalisis

(19)

5

METODE

Desain, Lokasi, dan Waktu

Desain studi yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di pendidikan anak usia dini (PAUD) Desa Dompyong Kulon dan Desa Dompyong Wetan Kecamatan Gebang, serta Desa Bojonggebang Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus-September 2013. Kabupaten Cirebon dipilih dengan pertimbangan, data pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2008-2013 menunjukkan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat pada tahun 2008 memiliki beberapa indikator kinerja pembangunan dengan pencapaian terburuk dibandingkan 16 kabupaten lainnya yaitu indeks kesehatan, angka kematian bayi, dan kondisi kemiskinan. Kabupaten Cirebon memiliki indeks kesehatan terburuk kedua dengan prevalensi 66.75%, angka kematian bayi tertinggi yaitu 50 per 1000 kelahiran hidup dan kondisi kemiskinan tertinggi dengan prevalensi 20.25% (Bappenas 2009).

Kabupaten Cirebon merupakan daerah dengan kondisi geografis pantai yang berada pada jalur pantai utara (pantura). Daerah pantai biasanya memiliki derajat kesehatan yang lebih rendah dibandingkan daerah bukan pantai. Penelitian Sukandar et al. (2009) menunjukkan prevalensi balita dengan berat badan kurang, pendek dan kurus di daerah pantai berturut-turut 24.5%, 28.0% dan 35.9%. Prevalensi tersebut lebih tinggi dibandingkan daerah bukan pantai berturut-turut 20.7%, 25.5% dan 25.4%. Hal ini berarti permasalahan gizi pada balita di daerah pantai masih relatif tinggi dibandingkan daerah bukan pantai.

Kecamatan Gebang dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan satu-satunya daerah pantai dibandingkan 39 kecamatan lainnya di Kabupaten Cirebon, memiliki luas wilayah 31.68 km2 dengan jumlah penduduk 64 051 jiwa. Kecamatan Gebang memiliki 13 desa, lima pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan jumlah murid 694 orang dan jumlah guru 62 orang. Desa Dompyong Kulon dan Desa Dompyong Wetan menjadi desa penelitian karena letaknya yang berdekatan dengan pantai. Masing-masing desa terbagi dalam 3 dusun, 4 rukun warga (RW), serta 16 rukun tetangga (RT); dan 3 dusun, 6 RW, serta 26 RT.

(20)

6

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

Contoh merupakan murid PAUD yang ada di Desa Dompyong Kulon, Dompyong Wetan, dan Bojonggebang dengan kriteria inklusi, yaitu usia 2.6-5.5 tahun dan tinggal dengan ibu atau yang mengasuh (nenek dan saudara dari ayah/ibu). Pengambilan contoh dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu dengan tahapan: 1) melakukan pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) terhadap semua murid PAUD, 2) pemilihan balita usia 2.6-5.5 tahun, dan 3) pengelompokan status gizi balita stunting dan normal berdasar TB/U sehingga jumlah contoh minimal untuk kelompok balita stunting dan normal terpenuhi.

Jumlah contoh ditentukan berdasarkan rumus di bawah ini (Ariawan 1997 dalam Astari 2006).

Z21-α/2 P (1-P) d2

(1.96)2(0.356)(1-0.356) (0.1)2

n ≥ 81 balita

Keterangan :

n= jumlah minimal contoh

Z= nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 sebesar 95% (1.96)

P= estimasi proporsi stunted Provinsi Jawa Barat berdasarkan Riskesdas 2010 sebesar 35.6%

d = estimasi drop out 10% (0.1)

Berdasarkan rumus di atas maka contoh minimal berjumlah 82 balita dengan perbandingan balita stunting dan normal adalah 1:1 sehingga diperoleh 41 balita stunting dan 41 balita normal. Jumlah balita normal pada kedua PAUD di Kecamatan Gebang sudah memenuhi jumlah minimal contoh, tetapi untuk jumlah balita stunting belum, sehingga Desa Bojonggebang diambil sebagai daerah penelitian tambahan. Jumlah murid PAUD terpilih di Desa Bojonggebang ada 84 siswa, akan tetapi siswa yang usianya sesuai kriteria (2.6-5.5 tahun) ada 60 siswa. Selanjutnya, dari 60 siswa tersebut hanya 40 siswa yang diukur BB dan TB, karena adanya beberapa kendala, diantaranya ada siswa yang tidak sekolah dan sebagian siswa ada yang tidak mau diukur. Gambar 2 di bawah ini menunjukkan tahapan pengambilan contoh stunting dan normal yang akan digunakan dalam penelitian.

n≥

(21)

7

Jumlah balita

stunting: 17

Gambar 2 Tahapan penarikan contoh

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh responden setelah mendapat penjelasan dari peneliti. Jumlah ibu contoh yang menjadi responden adalah 71 orang ibu dan 11 orang pengasuh. Data primer meliputi karakteristik contoh, karakteristik keluarga, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, kebiasaan makan contoh, riwayat kesehatan contoh, kondisi sanitasi lingkungan tempat tinggal contoh, dan perkembangan kognitif contoh. Data sekunder yang dikumpulkan adalah profil wilayah lokasi penelitian yang diperoleh melalui berbagai sumber informasi. Jenis data primer dan data sekunder yang diambil dari masing-masing variabel penelitian beserta alat/instrumen dan cara pengumpulannya disajikan pada Tabel 1.

Kecamatan Gebang Kecamatan Babakan

(22)

8

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

No. Variabel Alat dan cara pengumpulan Jenis data yang dikumpulkan

Data Primer

1. Karakteristik contoh Kuesioner, pengisian oleh ibu/pengasuh setelah 2. Karakteristik keluarga

(ayah dan ibu) 3. Status gizi contoh Microtoise, pengukuran

langsung TB. Timbangan injak, pengukuran langsung BB

• BB dan TB sekarang

4. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu

Kuesioner, pengisian oleh ibu/pengasuh setelah mendapat penjelasan dari peneliti

Topik pertanyaan terdiri dari:

• Zat gizi secara umum dan mutu konsumsi pangan

• Zat gizi untuk tumbuh kembang

• Kesehatan dan kebersihan diri

• Sanitasi lingkungan 5. Kebiasaan makan

contoh

• Jenis bahan pangan yang dikonsumsi

• Frekuensi konsumsi bahan pangan

6. Riwayat kesehatan contoh

• Frekuensi dan lama sakit

7. Kondisi sanitasi lingkungan jenis sumber air yang digunakan

• Kualitas air minum

• Penanganan limbah dan sampah RT

• Kepemilikan WC

• Kondisi fisik dan kebersihan rumah 8. Perkembangan kognitif

contoh

Instrumen Depdiknas, wawancara dan praktek langsung kepada anak balita

• Perkembangan kognitif menurut kelompok umur tertentu

Data Sekunder

1. Profil wilayah/lokasi Pemerintah setempat (kelurahan/kecamatan), dan BPS. Pencarian

menggunakan internet

(23)

9

Pengolahan dan Analisis Data

Tahap pengolahan data dilakukan dengan kegiatan seperti pemberian kode, pengeditan data, entri data, scoring data, dan cleaning data. Data-data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Penyimpanan data menggunakan sistem komputerisasi Microsoft Excel, sedangkan analisis data menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 18 for Windows.

Data yang diolah kemudian dianalisis secara statistik deskriptif, yaitu kondisi wilayah/lokasi penelitian, karakteristik contoh, karakteristik keluarga, status gizi contoh, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, kebiasaan makan contoh, riwayat kesehatan contoh, kondisi sanitasi lingkungan, dan perkembangan kognitif contoh. Uji korelasi Pearson dilakukan untuk mengetahui kecenderungan hubungan kebiasaan makan dan riwayat kesehatan dengan perkembangan kognitif contoh karena jenis data tergolong data numerik. Korelasi Spearman untuk mengetahui hubungan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dan kondisi sanitasi lingkungan dengan perkembangan kognitif balita karena jenis data tergolong data kategorik. Uji beda Independent Sample T-test dilakukan untuk melihat adanya perbedaan dari pendapatan perkapita keluarga, pendidikan orangtua, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, kebiasaan makan, riwayat kesehatan, sanitasi lingkungan, dan perkembangan kognitif antara contoh stunting dan normal.

Data pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, perkembangan kognitif contoh, dan kondisi sanitasi lingkungan diberi skor untuk kemudian dikategorikan. Skor pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dan kondisi sanitasi lingkungan diperoleh dengan cara menjumlahkan semua jawaban yang benar dibandingkan dengan jumlah pertanyaan dan dikali dengan 100%. Selanjutnya dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan Tabel 2 (Khomsan 2000).

Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu diukur menggunakan instrumen kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan dan mencakup empat hal yaitu lima pertanyaan pertama mengenai gizi secara umum dan mutu konsumsi makan, lima pertanyaan kedua mengenai zat gizi untuk tumbuh kembang balita khususnya pangan sumber kalsium untuk pertumbuhan tulang, lima pertanyaan ketiga mengenai sanitasi lingkungan, dan lima pertanyaan terakhir mengenai kesehatan dan kebersihan diri. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan pengetahuan ibu contoh untuk masing-masing kelompok pertanyaan.

Data perkembangan kognitif diolah dengan cara menjumlahkan skor jawaban contoh dibandingkan terhadap skor total dari masing-masing instrumen sesuai dengan umur contoh kemudian dikalikan 100%. Pengkategorian perkembangan kognitif dilakukan berdasarkan kriteria dari Bina Keluarga Balita (BKKBN 1995). Perkembangan kognitif diukur menggunakan instrumen yang Tabel 2 Kategori skor pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dan kondisi sanitasi

lingkungan

Kategori Skor

Baik >80%

Sedang 60-80%

(24)

10

Tabel 4 Klasifikasi status gizi berdasarkan TB/U

Indikator Status gizi Keterangan

Tinggi badan menurut umur (TB/U)

berisi pertanyaan-pertanyaan yang dikelompokkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan golongan umur yaitu kelompok umur 2.6-3.5 tahun berisi 6 pertanyaan, kelompok umur 3.6-4.5 tahun berisi 13 pertanyaan, dan kelompok umur 4.6-5.5 tahun berisi 13 pertanyaan (Depdiknas 2004).

Penilaian status gizi balita diperoleh dengan cara mengukur BB dan TB contoh secara langsung saat penelitian. Setelah itu data BB dan TB dilakukan pendekatan antropometri berdasarkan pada simpangan baku (z-score) menurut indeks TB/U dengan menggunakan software WHO AnthroPlus. Selanjutnya hasil perhitungan z-score diklasifikasikan berdasarkan baku antropometri WHO 2006 yang disajikan pada Tabel 4.

Kuesioner frekuensi makan digunakan untuk menentukan kebiasaan makan contoh dan menilai asupan energi dan/atau asupan zat gizi dengan menentukan seberapa sering seseorang mengkonsumsi sejumlah makanan yang merupakan sumber utama zat gizi atau komponen makanan tertentu di dalam pertanyaan. Kebiasaan mengkonsumsi makanan dinyatakan sebagai frekuensi (berapa kali) dalam satuan hari, minggu, bulan, atau tahun (Lee et al. 2007).

Data kebiasaan makan dikumpulkan berdasarkan jenis-jenis makanan yang dikonsumsi selama satu bulan terakhir dengan menggunakan Food Frequency Questionnaire (FFQ).Data kebiasaan makan terbagi menjadi dua jenis data, yaitu data jumlah jenis pangan yang dikonsumsi dan frekuensi konsumsi makan. Data keberagaman pangan diperoleh dengan cara memberi skor 1 (satu) untuk setiap jenis bahan pangan yang dikonsumsi oleh contoh selama satu bulan terakhir dan skor 0 (nol) apabila tidak pernah mengkonsumsinya. Misalnya, contoh mengkonsumsi bayam maka untuk nilai keberagaman sayur diberi nilai satu. Selanjutnya nilai tersebut dirata-ratakan berdasarkan masing-masing golongan bahan pangan untuk mengetahui rata-rata ragam pangan yang dikonsumsi.

Untuk data frekuensi konsumsi diperoleh dengan cara mengubah frekuensi menjadi nilai. Untuk frekuensi konsumsi tidak pernah diberi nilai satu, frekuensi 2 kali/bulan diberi nilai dua, frekuensi 1-2 kali/minggu diberi nilai tiga, frekuensi 3-6 kali/minggu diberi nilai empat, frekuensi 1 kali/hari diberi nilai lima, dan frekuensi >1 kali/hari diberi nilai enam. Hal ini berarti bahwa semakin sering frekuensi konsumsi maka nilai skor semakin besar.

Tabel 3 Kategori skor perkembangan kognitif

Kategori Skor

Rendah 0-60%

Sedang 61-80%

(25)

11

Definisi Operasional

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu adalah pemahaman responden mengenai pangan, gizi dan kesehatan terhadap jawaban benar dari 20 pertanyaan yang diberikan.

Kebiasaan Makan adalah jumlah jenis dan frekuensi konsumsi pangan contoh pada periode satu bulan terakhir menggunakan Food Frequency Questionnaires (FFQ).

Perkembangan Kognitif adalah kemampuan contoh dalam merespon terhadap perintah-perintah yang diberikan dalam instrumen kognitif yang dikembangkan oleh Depdiknas.

Stunting adalah kondisi yang ditandai adanya gangguan pada pertumbuhan linier, sehingga tinggi badan balita menurut umur (TB/U) kurang dari -2 SD z-score.

Contoh adalah anak usia pra sekolah (2.6-5.5 tahun), yang ada di PAUD Desa Dompyong Wetan dan Dompyong Kulon Kecamatan Gebang serta PAUD Desa Bojong Gebang Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon.

Responden adalah ibu/pengasuh dari contoh dan bersedia mengisi kuesioner saat penelitian.

Karakteristik Contoh adalah data mengenai ciri-ciri dan kondisi dari contoh meliputi jenis kelamin, umur, BB lahir dan panjang badan (PB) lahir yang diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh ibu/pengasuh contoh.

Karakteristik Keluarga adalah data mengenai kondisi ayah dan ibu contoh meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan perkapita (Rp/bulan), dan besar keluarga yang diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh ibu/pengasuh contoh.

Riwayat Kesehatan adalah kondisi kesehatan contoh selama satu bulan terakhir, terdiri dari: jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama sakit yang diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh ibu/pengasuh contoh.

Kondisi Sanitasi Lingkungan adalah keadaan kebersihan lingkungan fisik baik berada di dalam rumah maupun di luar rumah/di sekitar rumah contoh yang diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh ibu/pengasuh contoh.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Contoh dan Keluarga Contoh

Karakteristik Contoh

(26)

12

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik (jenis kelamin, umur, BB lahir, dan PB lahir)

Variabel Stunting Normal Total

n % n % n %

Anak laki-laki maupun anak perempuan mempunyai peluang yang sama mengalami kurang gizi kronik yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya

stunting (Hanum 2012). Umumnya balita di negara berkembang terkena beberapa risiko, diantaranya kemiskinan, kekurangan gizi, rendahnya kesehatan, dan rendahnya kondisi lingkungan rumah, yang berpengaruh negatif terhadap perkembangan kognitif, motorik, dan sosial ekonomi. Hasil penelitian lain menunjukkan terdapat dua faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif yaitu tingginya prevalensi stunting dan jumlah orang yang hidup dalam kondisi kemiskinan absolut yaitu kondisi pendapatan seseorang dibawah pendapatan minimal untuk memenuhi kebutuhan pokok. Dua faktor tersebut digunakan sebagai indikator rendahnya pembangunan (McGregor et al. 2007).

Hasil penelitian ini menunjukkan hampir seluruh contoh memiliki BB lahir normal (96.3%). Rata-rata BB lahir contoh stunting (3 100±400 gram) lebih rendah dibandingkan contoh normal (3 200±400 gram), hal ini mungkin salah satunya terkait dengan asupan zat gizi saat masih dalam kandungan. Menurut Adair & Guilkey (1997) faktor determinan yang menentukan kejadian stunting

adalah BB saat lahir. BB lahir yang rendah, terutama di desa, empat kali lebih berisiko terhadap terjadinya stunting dibanding BB lahir normal (Ricci & Becker 1996).

Sebagian besar panjang badan (PB) lahir dari kedua kelompok contoh tergolong normal (68.3%). Akan tetapi, contoh dengan PB lahir stunting lebih banyak (41.5%) ditemukan pada kelompok contoh stunting daripada kelompok normal (22.0%). Rata-rata PB lahir contoh stunting (45.4±4.4 cm) lebih rendah dibandingkan contoh normal (46.7±5.0 cm). Menurut kriteria WHO (2006) berdasarkan PB/U, rata-rata PB lahir contoh stunting tergolong dalam kondisi

(27)

13

Karakteristik Keluarga Contoh

Data karakteristik keluarga contoh meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan perkapita, dan besar keluarga. Secara umum, karakteristik keluarga kedua kelompok contoh cenderung sama (Tabel 6). Umur orangtua pada kedua kelompok contoh sebagian besar berada pada kategori dewasa awal yaitu 20-40 tahun. Pendidikan orangtua pada kedua kelompok contoh sebagian besar masih tergolong rendah yaitu hanya sampai tingkat SD/sederajat. Akan tetapi, orangtua dengan pendidikan SLTA/sederajat dan universitas/sarjana pada contoh normal lebih banyak dibandingkan pada contoh stunting. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan orangtua pada contoh normal cenderung lebih tinggi dibandingkan pada contoh stunting. Faktor risiko terjadinya stunting pada balita dengan umur lebih dari 6 bulan adalah pendidikan ayah. Pendidikan ayah merupakan salah satu karakteristik sosial ekonomi yang secara tidak langsung berefek terhadap status gizi anak melalui kualitas makan anak, pengasuhan, dan kondisi lingkungan fisik (Ricci & Becker 1996).

Rata-rata jenjang pendidikan yang ditempuh orangtua contoh normal cenderung lebih tinggi dibandingkan pada contoh stunting, artinya tingkat pendidikan orangtua pada contoh normal cenderung lebih baik dibandingkan pada contoh stunting dan hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanum (2012). Akan tetapi, berdasarkan uji beda antara pendidikan orangtua contoh stunting dan contoh normal tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05).

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga

Variabel

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan ibu pada kelompok

(28)

14

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan dan besar keluarga

Variabel Stunting Normal Total

n % n % n %

stunting bisa terjadi dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan ibu dan anak stunting terbanyak ditemukan pada ibu yang tidak sekolah. Pekerjaan ayah sebagian besar contoh stunting dan normal adalah wiraswasta, sedangkan pekerjaan ibu sebagian besar adalah Ibu Rumah Tangga (IRT). Status pekerjaan ibu menjadi faktor risiko penting terjadinya stunting (Ricci & Becker 1996). Ibu yang terlalu sibuk bekerja di luar rumah menyebabkan perhatian dan pola asuh terhadap anak menurun sehingga berpengaruh pada status gizi anak tersebut.

Keadaan sosial ekonomi rumah tangga menentukan status gizi anggota rumah tangga tersebut terutama balita (Riyadi et al. 2006). Pendapatan keluarga mempunyai peranan penting dalam memberikan pengaruh terhadap kondisi hidup masyarakat. Pengaruh yang dimaksud lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana menurut Sayogyo (1994) bahwa perbaikan tingkat pendapatan dapat meningkatkan status gizi pada masyarakat melalui ketersediaan pangan dan pelayanan kesehatan. Pendapatan keluarga (Rp/kapita/bulan) dan besar keluarga pada contoh stunting maupun contoh normal cenderung sama (Tabel 7). Sebagian besar keluarga contoh baik stunting maupun normal tergolong keluarga tidak miskin (89.0%) berdasarkan kondisi pendapatan perkapita yang berada di atas rata-rata garis kemiskinan Kabupaten Cirebon tahun 2012 (BPS 2011). Rata-rata pendapatan perkapita keluarga contoh stunting adalah Rp700 000±525 700/kapita/bulan, sedangkan untuk keluarga contoh normal adalah Rp765 447±533 025/kapita/bulan.

Pendapatan perkapita keluarga contoh normal lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga contoh stunting. Hasil dari uji beda menunjukkan bahwa pendapatan perkapita antara keluarga contoh stunting dan keluarga contoh normal tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Namun, sosial ekonomi keluarga yang rendah berkontribusi terhadap kejadian underweight, stunted, and

wasted (Une et al. 2009). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yaitu kondisi pendapatan perkapita dengan kategori miskin ditemukan lebih banyak pada contoh stunting.

Besar keluarga menurut BKKBN (1997) adalah keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri, anak dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Besar keluarga pada kedua kelompok contoh sebagian besar tergolong keluarga kecil (≤4 orang). Rata-rata anggota keluarga pada contoh

(29)

15

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta cara hidup sehat (Notoatmojo 2003). Pengetahuan gizi akan mempengaruhi seseorang terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan.

Ibu pada contoh normal lebih banyak menjawab benar seluruh pertanyaan dibandingkan ibu pada contoh stunting. Ibu pada contoh stunting (82.9%) dan normal (65.9%) sebagian besar menjawab salah pada pertanyaan mengenai zat gizi yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan anak-anak. Ibu pada contoh

stunting maupun normal seluruhnya (100%) menjawab benar pada pertanyaan mengenai frekuensi mandi dalam sehari yang ideal dan mengenai kriteria air yang baik untuk diminum (Tabel 8). Berdasarkan pengelompokan pertanyaan, sebagian besar ibu pada contoh stunting maupun normal terbanyak menjawab salah pada kelompok pertanyaan tentang zat gizi untuk tumbuh kembang balita (pertanyaan nomor 6-10). Hal ini menunjukkan masih kurangnya pengetahuan ibu mengenai makanan apa saja yang baik untuk tumbuh kembang balitanya. Kelompok pertanyaan mengenai kesehatan secara umum dijawab dengan benar oleh sebagian besar ibu (pertanyaan nomor 16-20).

Sebaran jawaban untuk masing-masing pertanyaan pengetahuan gizi ibu dapat diliha

Ibu pada contoh stunting sebagian besar memiliki tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan yang sedang, sedangkan ibu pada contoh normal sebagian besar Tabel 8 Persentase responden menjawab benar pada pertanyaan pengetahuan gizi

dan kesehatan

14. Syarat sumber air yang digunakan untuk memasak 28 68.3 25 61.0 15. Kondisi tempat pembuangan sampah dan limbah 36 87.8 38 92.7

16. Frekuensi mandi 41 100.0 41 100.0

(30)

16

Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan

memiliki tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan yang baik (Tabel 9). Rata-rata skor pengetahuan gizi dan kesehatan ibu pada contoh normal (79.7±14.8) lebih tinggi dibandingkan pada contoh stunting (79.0±13.3). Hal ini berarti bahwa pengetahuan gizi dan kesehatan ibu contoh normal cenderung lebih baik dibandingkan ibu pada contoh stunting. Peningkatan pengetahuan gizi dan kesehatan bisa dilakukan dengan adanya program pendidikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah dan instansi lainnya. Hal ini karena program pendidikan gizi dapat memberikan pengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku anak terhadap kebiasaan makannya (Soekirman 2000).

Hasil penelitian Frost (2005) menunjukkan bahwa pendidikan ibu mempengaruhi status gizi anak secara tidak langsung melalui status sosial ekonomi, sikap peduli terhadap kesehatan, pengetahuan kesehatan, pendapatan ibu, dan perilaku reproduksi. Aspek pengetahuan mengenai kesehatan meliputi pengetahuan tentang gizi terhadap status gizi anak, yang artinya ketika status gizi seorang anak baik ditandai dengan pengetahuan kesehatan ibu yang baik pula.

Hasil dari uji beda independent sample T-test menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan ibu pada contoh stunting dan contoh normal tidak berbeda nyata (p>0.05), terlihat pada hasil skor rata-rata yang tidak jauh berbeda. Hal ini diduga karena pada saat pengisian kuesioner dilakukan secara bersamaan sehingga adanya kemungkinan diskusi atau kerja sama antar sesama ibu contoh.

Kebiasaan Makan

Keberagaman konsumsi pangan merupakan banyaknya jenis bahan pangan yang dikonsumsi dari setiap golongan pangan. Secara keseluruhan konsumsi pangan contoh normal lebih beragam dibandingkan contoh stunting kecuali untuk golongan minuman berenergi dan jajanan (Tabel 10). Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata keberagaman masing-masing bahan pangan antara contoh stunting

dan contoh normal.

Tabel 10 Rata-rata jumlah jenis pangan per kelompok pangan yang dikonsumsi contoh selama satu bulan terakhir (jenis)

Kelompok pangan Stunting Normal

(31)

17

Pada contoh stunting sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan ibu sebagian besar hanya sampai tingkat SD/sederajat dan pengetahuan gizi pun lebih rendah dibandingkan pada contoh normal. Hal ini memengaruhi pemberian makan pada contoh stunting karena rendahnya pendidikan ibu maka pengetahuan tentang gizi dan tumbuh kembang anak juga rendah. Oleh karena itu, asupan makanan anak tidak seimbang terutama dalam hal keberagaman. Menurut sebuah studi, pemberian makan pada anak secara langsung mempengaruhi status gizi anak tersebut (Adnan & Muniandy 2012), karena asupan gizi yang adekuat berkaitan dengan kualitas dan kuantitas makanan yang diberikan (Anugraheni & Kartasurya 2012). Hal ini mencerminkan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi anak berpengaruh terhadap pertumbuhan linier anak (Astari 2006).

Berdasarkan hasil uji beda, terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara kebiasaan makan contoh stunting dan contoh normal, dimana kebiasaan makan contoh normal lebih baik dibandingkan contoh stunting. Menurut studi yang sudah dilakukan bahwa kebiasaan makan adalah salah satu unsur penting yang memengaruhi status gizi seseorang (Putri & Sukandar 2012) dan tingkat pendidikan ibu sudah sejak lama dihubungkan dengan pemberian makan pada anak dan akhirnya menentukan status gizi anak (Adnan & Muniandy 2012).

Frekuensi konsumsi makanan pokok

Contoh normal lebih sering mengkonsumsi makanan pokok dibandingkan contoh stunting. Makanan pokok yang sering dikonsumsi oleh contoh stunting

maupun contoh normal dalam sebulan terakhir adalah nasi, mie, dan roti. Sebagian besar (87.8%) contoh stunting mengkonsumsi nasi >1 kali/hari, sebanyak 43.9% dan 24.4% mengkonsumsi mie dan roti dengan frekuensi konsumsi 1-2 kali/minggu. Sebagian besar contoh normal (90.2%) mengkonsumsi nasi dengan frekuensi >1 kali/hari, sebanyak 36.6% mengkonsumsi mie dengan frekuensi 1-2 kali/minggu, dan sebanyak 24.4% mengkonsumsi roti dengan frekuensi beragam (1-2 kali/minggu, 3-6 kali/minggu, dan >1 kali/hari).

Frekuensi konsumsi sumber protein nabati

Contoh stunting maupun contoh normal dalam mengkonsumsi sumber protein nabati cenderung sama. Sumber protein nabati yang sering dikonsumsi oleh contoh stunting maupun contoh normal dalam sebulan terakhir sama yaitu tempe, tahu, dan kacang hijau. Contoh stunting sebanyak 46.3% mengkonsumsi tempe dan sebanyak 39.0% mengkonsumsi tahu dengan frekuensi >1 kali/hari, sebanyak 29.3% mengkonsumsi kacang hijau dengan frekuensi 1-2 kali/minggu. Contoh normal sebanyak 43.9% mengkonsumsi tahu dengan frekuensi >1 kali/hari, sebanyak 41.5% mengkonsumsi tempe dengan frekuensi >1 kali/hari, dan sebanyak 36.6% mengkonsumsi kacang hijau dengan frekuensi 3-6 kali/minggu.

Frekuensi konsumsi sumber protein hewani

(32)

18

frekuensi >1 kali/hari, dan sebanyak 26.8% mengkonsumsi bakso dengan frekuensi 1-2 kali/minggu. Contoh normal sebagian besar (36.6%) mengkonsumsi sosis dengan frekuensi 1 kali/hari, sebanyak 36.6% mengkonsumsi bakso dengan frekuensi 3-6 kali/minggu, dan sebanyak 31.7% mengkonsumsi telur ayam dengan frekuensi 1 kali/hari.

Frekuensi konsumsi sayur

Contoh stunting maupun contoh normal dalam mengkonsumsi sayur cenderung sama. Sayuran yang sering dikonsumsi oleh contoh stunting dalam sebulan terakhir adalah kangkung, kacang panjang, wortel, dan bayam. Contoh

stunting mengkonsumsi kangkung dan kacang panjang berturut-turut adalah 39.0% dan 36.6% dengan frekuensi 1-2 kali/minggu. Contoh stunting

mengkonsumsi wortel dan bayam sama banyaknya yaitu sebesar 26.8% dengan frekuensi 3-6 kali/minggu. Kangkung, bayam, dan wortel merupakan sayuran yang sering dikonsumsi oleh contoh normal dalam sebulan terakhir. Contoh normal sebanyak 39.0% mengkonsumsi kangkung dengan frekuensi 1-2 kali/minggu, sebanyak 36.6% mengkonsumsi bayam dengan frekuensi 1-2 kali/minggu, dan sebanyak 29.3% mengkonsumsi wortel dengan frekuensi 1-2 kali/minggu.

Frekuensi konsumsi buah

Contoh stunting maupun contoh normal dalam mengkonsumsi buah cenderung sama. Buah-buahan yang sering dikonsumsi oleh contoh stunting

dalam sebulan terakhir adalah pepaya, semangka, dan jeruk. Contoh stuntin

mengkonsumsi pepaya dan semangka berturut-turut yaitu 36.6% dan 29.3% dengan frekuensi 3-6 kali/minggu. Contoh stunting sebanyak 26.8% mengkonsumsi jeruk dengan frekuensi 1 kali/hari. Jeruk, pepaya, dan pisang adalah buah-buahan yang sering dikonsumsi oleh contoh normal dalam sebulan terakhir. Contoh normal sebanyak 36.6% mengkonsumsi jeruk dengan frekuensi 1 kali/hari, sebanyak 26.8% mengkonsumsi buah pepaya dengan frekuensi 3-6 kali/minggu, dan sebanyak 26.8% mengkonsumsi buah pisang dengan frekuensi beragam (1-2 kali/minggu dan 1 kali/hari).

Frekuensi konsumsi susu, minyak dan hasil olahannya

Contoh normal lebih sering mengkonsumsi susu, minyak dan hasil olahannya dibandingkan contoh stunting. Susu Kental Manis (SKM), susu segar/susu cair, dan minyak goreng merupakan bahan pangan yang sering dikonsumsi oleh contoh stunting dalam sebulan terakhir. Contoh stunting

mengkonsumsi Susu Kental Manis (SKM) dan susu segar/susu cair sebagian besar berturut-turut 48.8% dan 46.3% dengan frekuensi 1 kali/hari. Contoh stunting

(33)

19

Frekuensi konsumsi minuman berenergi

Contoh stunting lebih sering mengkonsumsi minuman berenergi dibandingkan contoh normal. Teh, sirup, dan minuman botol ringan merupakan jenis minuman yang sering dikonsumsi oleh contoh stunting dan contoh normal dalam sebulan terakhir. Sebagian besar contoh stunting (36.6%) mengkonsumsi teh dengan frekuensi 1 kali/hari, sebanyak 26.8% mengkonsumsi minuman botol ringan dengan frekuensi 2 kali/bulan, dan sebanyak 24.4% mengkonsumsi sirup dengan frekuensi 1-2 kali/minggu. Sebagian besar contoh normal mengkonsumsi teh, sirup, dan minuman botol ringan berturut-turut 22.0%, 29.3%, dan 31.7% dengan frekuensi yang sama yaitu 2 kali/bulan.

Frekuensi konsumsi jajanan

Contoh stunting maupun contoh normal dalam mengkonsumsi jajanan cenderung sama. Permen, chiki, es, dan cokelat merupakan jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh contoh stunting dalam sebulan terakhir. Sebagian besar contoh stunting mengkonsumsi permen dan chiki berturut-turut 76.5% dan 72.4% dengan frekuensi 1 kali/hari, sebanyak 63.6% mengkonsumsi es dengan frekuensi 3-6 kali/minggu, dan sebanyak 38.5% mengkonsumsi cokelat dengan frekuensi 1-2 kali/minggu. Chiki, permen, dan cokelat merupakan jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh contoh normal dalam sebulan terakhir. Sebagian besar contoh normal mengkonsumsi chiki dan permen berturut-turut 57.1% dan 45.5% dengan frekuensi 1 kali/hari, sebanyak 42.9% mengkonsumsi cokelat dengan frekuensi 3-6 kali/minggu.

Riwayat Kesehatan

Kondisi kesehatan terganggu ketika tubuh terkena penyakit infeksi dan penyakit non infeksi. Penyakit infeksi merupakan faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap terjadinya masalah gizi. Seorang anak dinyatakan mengidap penyakit infeksi jika mengalami satu atau lebih penyakit infeksi, baik didiagnosis oleh tenaga kesehatan atau apabila responden pernah atau sedang menderita gejala klinis yang spesifik dari penyakit tersebut (Aditianti 2010). Menurut Satoto (1990) dalam Aditianti (2010) masalah penyakit infeksi berkaitan dengan perilaku hidup tidak sehat, kesehatan lingkungan yang tidak baik, pendidikan rendah dan kemiskinan.

Contoh stunting lebih banyak terkena penyakit infeksi dibandingkan contoh normal. Kedua kelompok contoh baik itu stunting (80.5%) maupun normal (70.7%) sebagian besar mengalami penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) selama satu bulan terakhir (Tabel 11). Hasil penelitian ini sesuai dengan studi Aditianti (2010) yang menunjukkan bahwa jumlah anak yang mengidap penyakit infeksi lebih banyak ditemukan pada kelompok stunting dibandingkan kelompok normal dan jenis penyakit infeksi yang banyak ditemukan adalah ISPA dan diare. Studi oleh Putri & Sukandar (2012) menunjukkan hasil yang sama yaitu sebagian besar jenis penyakit infeksi yang diderita balita yaitu diare dan ISPA.

Jenis penyakit infeksi yang dialami contoh stunting lebih banyak dibandingkan contoh normal. Jenis penyakit terbanyak yang dialami contoh

(34)

20

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit yang diderita selama satu bulan terakhir

Jenis penyakit Stunting Normal Total

n % n % n %

batuk, pilek), masuk angin, dan kejang. Jenis penyakit terbanyak yang dialami contoh normal selama satu bulan terakhir sebanyak 2 penyakit yaitu ISPA (demam, batuk, pilek) dan sakit kepala. Selain itu, terdapat contoh normal yang tidak terpapar penyakit sedangkan contoh stunting semuanya terserang penyakit. Hal ini berarti bahwa riwayat kesehatan pada contoh stunting cenderung lebih rendah dibandingkan contoh normal.

Frekuensi terjadinya penyakit infeksi sebagian besar hanya terjadi 1 kali dalam sebulan baik pada contoh stunting maupun normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Putri & Sukandar (2012) bahwa frekuensi sakit pada balita sebagian besar hanya 1 kali/bulan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa frekuensi sakit terbanyak yaitu sebanyak 3 kali dalam sebulan dan ditemukan pada contoh stunting. Menurut Scrimshaw (1980) anak yang memiliki status gizi buruk biasanya memiliki frekuensi penyakit infeksi lebih sering dibandingkan pada anak dengan status gizi baik.

Sebagian besar contoh mengalami sakit selama tiga hari baik pada contoh

stunting maupun normal. Studi yang dilakukan oleh Putri & Sukandar (2012) menyatakan hal yang sama yaitu lamanya sakit pada balita sebagian besar selama 1-3 hari. Penyakit infeksi dapat berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh karena dapat menurunkan nafsu makan sehingga konsumsi makan menurun. Lebih lanjut infeksi menyebabkan ketidakseimbangan hormon dan mengganggu fungsi imunitas sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak (Astari 2006). Balita stunting mengalami gangguan pada pertumbuhan linier (TB/U) sehingga respon imun balita stunting cenderung lebih rendah dibanding balita normal.

Rata-rata frekuensi sakit contoh normal 2.1±1.3 kali dan contoh stunting

3.0±2.1 kali. Rata-rata banyaknya jenis penyakit pada contoh normal 1.9±0.8 jenis dan contoh stunting 2.3±1.0 jenis. Rata-rata lama sakit pada contoh normal 3.7±2.6 hari dan contoh stunting 4.4±1.8 hari. Kondisi kesehatan contoh normal lebih baik dibandingkan contoh stunting dalam satu bulan terakhir yang ditandai dengan semakin rendahnya nilai rata-rata frekuensi dan lama sakit. Keadaan tubuh seseorang yang tidak baik akan menyebabkan gangguan penyerapan gizi akibat berbagai penyakit infeksi (Putri & Sukandar 2012). Jenis penyakit lainnya yang dialami kedua contoh adalah diare, kejang, sariawan, sakit tenggorokan, dan sakit kepala. Hasil uji beda menunjukkan bahwa frekuensi sakit antara contoh stunting

(35)

21

contoh normal (p<0.05). Sebuah studi di Aljazair membuktikan bahwa tidak adanya hubungan antara status gizi dan riwayat kesehatan (Lopriore et al. 2004).

Sanitasi Lingkungan

Kondisi sanitasi lingkungan juga menjadi indikator pendorong tumbuh kembang balita. Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk menjadi salah satu faktor risiko terjadinya stunting pada beberapa penelitian. Kondisi baik buruknya sanitasi lingkungan dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu status ekonomi yang secara langsung mempengaruhi kondisi higiene dan sanitasi lingkungan (Anugraheni & Kartasurya 2012)

Kondisi sanitasi lingkungan keluarga meliputi akses menuju ke sumber air, kualitas fisik air minum, penanganan air limbah rumah tangga, kondisi tempat buang air besar (BAB), dan kondisi fisik rumah. Tabel 12 menunjukkan sebaran jawaban terbanyak yang dibandingkan pada contoh stunting dan normal dari masing-masing indikator sanitasi lingkungan. Indikator mengenai penanganan limbah rumah tangga yaitu terkait kondisi tempat sampah di dalam rumah lebih baik pada keluarga contoh normal yaitu tertutup (68.3%) sedangkan pada keluarga contoh stunting tidak ada yang tertutup. Kondisi sanitasi lingkungan keluarga dari kedua kelompok contoh cenderung sama dilihat berdasarkan masing-masing indikator. Hal ini karena jarak tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga kondisi lingkungan tidak jauh berbeda.

Kondisi sanitasi lingkungan mengenai adanya sumber pencemaran dalam jarak <10 meter masih ditemukan pada kedua keluarga contoh. Sumber pencemaran tersebut diantaranya selokan/got, tempat pembuangan sampah bersama, septic tank, dan kandang hewan peliharaan. Indikator kualitas fisik air minum yaitu mengenai air minum yang berasa masih ditemukan pada kedua keluarga contoh. Hal ini karena sumber air minum berasal dari air isi ulang yang diperoleh dari distributor penyalur air isi ulang. Indikator sanitasi lingkungan terkait tempat buang air besar (BAB), ditemukan adanya keluarga dari kedua contoh yang tidak memiliki jamban dan septic tank. Sungai menjadi tempat BAB bagi keluarga yang tidak memiliki jamban dan septic tank.

(36)

22

Kriteria sanitasi lingkungan pada contoh stunting dan contoh normal cenderung sama (Tabel 13). Sebagian besar kondisi sanitasi lingkungan pada contoh stunting (56.1%) dan contoh normal (54.9%) dalam kriteria baik. Kondisi sanitasi lingkungan pada contoh stunting lebih baik dibandingkan pada contoh normal yang terlihat dengan nilai rata-rata berturut-turut 80.4±12.9 dan 78.8±13.9. Hasil ini dikarenakan kondisi demografi lingkungan yang tidak jauh berbeda (mendekati homogen), meskipun desa yang dijadikan tempat penelitian berbeda. Uji beda pada kondisi sanitasi lingkungan antara contoh stunting dan contoh normal menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (p>0.05). Penelitian yang dilakukan oleh Aditianti (2010) menyebutkan bahwa lingkungan anak sebagian besar contoh baik pada kelompok stunting maupun normal berada dalam kategori sanitasi lingkungan sedang dan hanya sebagian kecil berada dalam kategori sanitasi lingkungan baik. Kondisi sanitasi yang buruk akan menyebabkan tingginya prevalensi gizi kurang (Nurmiati 2006). Menurut Satoto (1990) dalam Aditianti (2010) sanitasi lingkungan mempengarui tumbuh kembang anak melalui tingkat kemudahan anak terhadap penyakit infeksi.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan indikator sanitasi lingkungan

Indikator Jawaban terbanyak Stunting Normal

n % n %

Akses ke sumber air

Jarak untuk memperoleh air <1 km 35 85.4 29 70.7 Adanya sumber pencemaran

dalam jarak <10 meter

Tidak 23 56.1 24 58.5

Tempat penampungan air limbah Penampungan tertutup 26 63.4 26 63.4 Saluran pembuangan air limbah Saluran tertutup 26 63.4 26 63.4 Kondisi tempat sampah di dalam

rumah

Tempat sampah terbuka 20 48.8 0 0.0 Tempat sampah tertutup 0 0.0 28 68.3 Kondisi tempat sampah di luar

rumah

Tempat sampah terbuka 29 70.7 34 82.9

Tempat Buang Air Besar (BAB)

Tempat BAB Jamban 41 100 38 92.7

Kepemilikan septic tank Ada 41 100 38 92.7

Kondisi fisik rumah

Kondisi ventilasi Luas (setiap ruangan ada ventilasi)

29 70.7 33 80.5

Kondisi dinding Tembok 36 87.8 36 87.8

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kriteria sanitasi lingkungan

Kriteria Sanitasi Lingkungan

Stunting Normal Total

n % n % n %

Baik 23 56.1 22 53.7 45 54.9

Sedang 15 36.6 15 36.6 30 36.6

Kurang 3 7.3 4 9.7 7 8.5

(37)

23

Perkembangan Kognitif

Menurut Santrock (2007), perkembangan kognitif adalah perkembangan yang melibatkan proses berpikir dan mengamati yang terbentuk melalui proses berpikir. Bloom merumuskan kognitif tingkat tinggi meliputi aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi, sedangkan kognitif tingkat rendah meliputi berpikir, mengetahui, dan kemampuan pemahaman. Rahayu (2010) menyatakan kemampuan kognitif dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi keturunan (genetik) dan faktor eksternal atau faktor yang dipengaruhi lingkungan diantaranya adalah pendidikan, frekuensi dan intensitas belajar, serta asupan gizi.

Pada Tabel 14 di bawah merupakan sebaran rata-rata skor perkembangan kognitif contoh stunting dan contoh normal yang dibedakan berdasarkan nilai z-score. Hasil menunjukkan skor rata-rata perkembangan kognitif contoh normal ( z-score ≥ -2.0) lebih tinggi dibandingkan contoh stunting (-3.0 ≤ z-score < -2.0), artinya perkembangan kognitif contoh normal lebih baik dibandingkan contoh

stunting. Hal ini dikarenakan perkembangan kognitif dipengaruhi oleh umur dan status gizi (Bhoomika 2008). Pernyataan ini sesuai dengan studi oleh Hautvast et al. (2000) bahwa stunting pada masa anak-anak dapat mengakibatkan gangguan perkembangan kognitif dan terhambatnya perkembangan mental dan motorik.

Tabel 15 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh stunting maupun contoh normal memiliki perkembangan kognitif dengan kriteria sedang (46.3%). Namun kriteria perkembangan kognitif tinggi lebih banyak ditemukan pada contoh normal (36.6%) dibandingkan pada contoh stunting (12.2%), sedangkan kriteria perkembangan kognitif rendah lebih banyak ditemukan pada contoh

stunting (41.5%) dibandingkan pada contoh normal (17.1%). Penelitian Hanum (2012) juga memperlihatkan hasil yang sama yaitu perkembangan kognitif dengan kategori rendah banyak ditemukan pada kelompok balita stunting dibandingkan kelompok normal, sedangkan untuk perkembangan kognitif kategori tinggi banyak ditemukan pada kelompok balita normal dibandingkan kelompok stunting.

Hal ini berarti bahwa perkembangan kognitif balita normal lebih baik dibandingkan dengan balita stunting. Menurut Hautvast et al. (2000) stunting pada masa anak-anak dapat mengakibatkan gangguan perkembangan kognitif dan terhambatnya perkembangan mental dan motorik. Perkembangan kognitif akan nampak dan akan dipengaruhi oleh umur dan status gizi (Bhoomika 2008).

Tabel 14 Rata-rata skor perkembangan kognitif pada balita stunting

dan normal

Kategori balita Skor perkembangan kognitif Stunting (-3.0 ≤ z-score < -2.0) 64.3±16.2

Normal (z-score ≥ -2.0) 74.9±17.5

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kriteria perkembangan kognitif

Kriteria Perkembangan

Kognitif

Stunting Normal Total

n % n % n %

Tinggi 5 12.2 15 36.6 20 24.4

Sedang 19 46.3 19 46.3 38 46.3

Rendah 17 41.5 7 17.1 24 29.3

(38)

24

Uji beda yang dilakukan terhadap skor perkembangan kognitif antara contoh

stunting dan normal menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara nyata (p<0.05) dimana perkembangan kognitif contoh normal lebih baik dibanding perkembangan kognitif contoh stunting. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa tes kognitif pada anak stunting signifikan lebih rendah dibandingkan pada anak yang tidak stunting (Mendez & Adair 1999). Hal ini berarti bahwa perbedaan status gizi memiliki kontribusi dalam perbedaan perkembangan kognitif pada contoh stunting dan contoh normal, serta semakin baik status gizi maka perkembangan kognitif akan semakin baik pula. Efek dari kurang gizi terhadap perkembangan kognitif diantaranya gangguan terhadap proses dalam memahami hal disekitarnya, daya ingat saat bekerja, bentuk visual, pemahaman verbal, pembelajaran dan daya ingat terhadap komponen verbal dan visual (Bhoomika 2008).

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perkembangan Kognitif Balita Stunting dan Normal

Variabel yang diuji korelasinya dengan perkembangan kognitif balita diantaranya pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, kebiasaan makan, riwayat kesehatan, dan kondisi sanitasi lingkungan. Berdasarkan hasil uji korelasi, terdapat tiga variabel yang berhubungan dengan perkembangan kognitif balita yaitu keberagaman konsumsi sayur, frekuensi konsumsi jajanan, dan keberagaman konsumsi jajanan secara nyata (p<0.05). Keberagaman konsumsi sayuran memiliki hubungan positif dengan perkembangan kognitif balita (r= 0.053), artinya semakin beragam jenis sayuran yang dikonsumsi maka perkembangan kognitif balita semakin baik. Sayuran yang sering dikonsumsi contoh yaitu kangkung, kacang panjang, wortel, dan bayam. Sayuran banyak mengandung zat gizi mikro yaitu vitamin dan mineral yang bermanfaat untuk tumbuh kembang anak balita, salah satunya perkembangan otak. Masing-masing zat gizi mikro terlibat dalam perkembangan otak dan kekurangan zat gizi mikro cenderung mengganggu kemampuan kognitif, motorik dan sosial emosional (Prado & Dewey 2012).

Zat gizi mikro yang bermanfaat terhadap perkembangan otak adalah zat besi, tiamin, dan seng. Menurut Prado & Dewey (2012), bayi dengan anemia defisiensi zat besi baik itu karena gangguan produksi hemoglobin ataupun defisiensi zat besi, berisiko dalam jangka pendek dan jangka panjang mengalami gangguan kognitif. Anemia defisiensi besi dihubungkan dengan rendahnya mental dan perkembangan motorik pada bayi, rendahnya kognitif dan prestasi sekolah pada masa kkanak selanjutnya. Studi lain juga menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami anemia dalam dua tahun pertama kehidupan akan mengalami gangguan kognitif dan prestasi sekolah dari umur 4 hingga 19 tahun (Lozoff et al. 2006).

(39)

25

yaitu menekan perkembangan motorik anak-anak (Black 2003). Seperti seng, tiamin penting bagi perkembangan dan fungsi otak melalui banyak mekanisme, termasuk perannya dalam metabolisme karbohidrat (yang membantu untuk memberikan energi untuk otak), struktur membran dan fungsi otak, dan pembentukan fungsi saraf otak (Butterworth 2003). Oleh karena itu, asupan zat gizi mikro terutama zat besi, seng, dan tiamin harus mendapat perhatian khusus agar perkembangan kognitif balita selalu dalam kondisi baik. Selain itu, pada contoh normal, keberagaman dan frekuensi konsumsi adalah lebih baik (tinggi) dibanding contoh stunting sehingga kemampuan kognitif contoh normal lebih baik/tinggi.

Frekuensi dan keberagaman jajanan memiliki hubungan negatif dengan perkembangan kognitif balita (r= -0.290 dan r= -0.282). Hal ini berarti bahwa semakin sering dan semakin beragamnya konsumsi jajanan maka perkembangan kognitif balita tersebut semakin rendah. Jajanan yang sering dikonsumsi contoh yaitu chiki, permen, dan es. Menurut Benton (2008) sedikitnya 10 dari 3 000 zat yang ditambahkan pada makanan jajanan menjadi perhatian dalam beberapa studi dan sering dikonsumsi dalam jumlah yang sedikit oleh anak tertentu. Akibat dari konsumsi zat tersebut adalah memperburuk status gizi (Benton 2008). Di samping itu, jajanan biasanya cenderung lebih tinggi energi dan memiliki nilai gizi yang sedikit (Field et al. 2004).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Contoh stunting sebagian besar adalah perempuan dengan rentang usia 3.6-4.5 tahun sedangkan contoh normal sebagian besar adalah laki-laki dengan rentang usia 3.6-4.5 tahun. Usia orangtua pada kedua contoh (stunting maupun normal) sebagian besar berada pada kategori dewasa awal (20-40 tahun), pendidikan orangtua pada kedua contoh sebagian besar adalah SD/sederajat. Pekerjaan ayah pada kedua contoh sebagian besar sebagai wiraswasta dan pekerjaan ibu pada kedua contoh sebagian besar adalah sebagai ibu rumah tangga (IRT). Pendapatan perkapita pada keluarga kedua contoh sebagian besar tergolong keluarga tidak miskin dan besar keluarga pada kedua contoh tergolong keluarga kecil.

(40)

26

Saran

Balita yang mengalami stunting harus menjaga asupan zat gizinya agar dapat mencapai dan mempertahankan TB yang ideal. Di samping itu, untuk mencapai perkembangan kognitif yang baik pada balita, maka disarankan agar konsumsi makanan harus seimbang dan beragam, khususnya terkait asupan zat gizi mikro. Konsumsi jajanan dari luar rumah harus diperhatikan agar memilih jenis jajanan yang sehat dan bergizi.

Adanya edukasi gizi untuk peningkatan pengetahuan gizi ibu dan keluarga terutama mengenai zat gizi apa saja yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang balita sangat diperlukan. Sosialisasi mengenai konsumsi makanan yang bergizi, beragam, dan berimbang juga diperlukan dan diberikan dalam waktu yang berkelanjutan untuk meningkatkan status kesehatan balita dan status gizi keluarga.

Penelitian selanjutnya dapat mengambil lebih banyak indikator yang menjadi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita dan perkembangan kognitif, contohnya mengenai ketersediaan pangan rumah tangga, daya beli pangan keluarga, dan penerimaan pelayanan kesehatan. Selain itu, penelitian selanjutnya juga dapat dilakukan perbandingan perkembangan kognitif balita stunting dan normal di desa dan kota.

DAFTAR PUSTAKA

Adair LS, Guilkey DK. 1997. Age-specific determinants of stunting in Filipino children. J Nutr. 127:314-320.

Aditianti. 2010. Faktor determinan “Stunting” pada anak usia 24-59 bulan di Indonesia. [tesis]. Bogor (ID): Jurusan Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Adnan N, Muniandy ND. 2012. The relationship between mothers’ educational level and feeding practices among children in selected kindergartens in Selangor, Malaysia: a cross-sectional study. Asian J Clin Nutr. 4(2):39-52. Albalak R, Ramakrishnan U, Stein AD, Haar FV, Haber MJ, Schroeder D,

Martorell R. 2000. Co-occurrence of nutrition problems in Honduran children. J Nutr 130:2271–3.

Anugraheni HS, Kartasurya MI. 2012. Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 12-36 bulan di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Journal of Nutrition College. Vol 1 No 1:590-605.

Astari LD. 2006. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian stunting anak usia 6-12 bulan Di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID): Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (ID). 2009. Pengembangan database pembangunan bidang kesehatan dan gizi masyarakat. Bappenas [Internet]. [diunduh 2013 Juli 10]. Tersedia pada: http://kgm.bappenas.go.id/document/makalah/.

Benton D. 2008. The influence of children’s diet on their cognition and behavior.

(41)

27

Berkman DS, Lescano AG, Gilman RH, Lopez SL, Black MM. 2002. Effects of stunting, diarrhoeal disease, and parasitic infection during infancy on cognition in late childhood: a follow-up study. Lancet. 359:564–71.

Bhoomika RK, Shobini LR, Chandramouli BA. 2008. Cognitive development in children with chronic protein energy malnutrition. BioMed Central. 4:31. doi:10.1186/1744-9081-4-31.

[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1995. Gerakan bina keluarga balita kelompok umur 0-5 tahun. Jakarta (ID): BKKBN.

________________________________________________. 1997. Kamus Istilah Kependudukan Keluarga Berencana Keluarga Sejahtera. Jakarta (ID): BKKBN.

Black MM. 1998. Zinc deficiency and child development. Am J Cli Nutr.

68:464S-9S.

_________. 2003. Micronutrient deficiencies and cognitive functioning. J Nutr. 133:3927S-3931S.

[BPS] Badan Pusat Statistik (ID). 2011. Jumlah dan persentase penduduk miskin dan garis kemiskinan menurut kabupaten/kota. BPS [Internet]. [diunduh 2013 Juli 19]. Tersedia pada: http://jabar.bps.go.id/subyek/jumlah-dan- persentase-penduduk-miskin-dan-garis-kemiskinan-menurut-kabupatenkota-2011.

Butterworth RF. 2003. Thiamin deficiency and brain disorders. Nutr Res Rev. 16:277-283. doi:10.1079/NRR200367.

[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Instrumen penelitian kompetensi perkembangan anak usia 3.5-6.4 tahun. Jakarta (ID): Pusat Kurikulum Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2010. Laporan hasil riset kesehatan dasar Indonesia tahun 2010. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI.

Field AE, Austin SB, Gillman MW, Rosner B, Rockett HR, Colditz GA. 2004. Snack food intake does not predict weight change among children and adolescents. International Journal of Obesity. 28:1210-1216.

Frost MB, Forste R, Haas DW. 2005. Maternal education and child nutritional status in Bolivia: findingthe links. Social Science and Medicine. 60:395-407.

Hanum NL. 2012. Pola asuh makan, perkembangan bahasa dan kognitif pada anak balita stunting dan normal di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Hautvast JLA, Tolboom JJM, Kafwembe EM, Musonda RM, Mwanakasale V, Staveren WA, Hof MA, Sauerwein RW, Willems JL, Monnens LAH.2000. Severe linear growth retardation in rural Zambian children: the influence of biological variables. Am J Cli Nutr. 71: 550-559.

Khomsan A. 2000. Teknik pengukuran pengetahuan gizi. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 1  Skema kerangka pemikiran hubungan pengetahuan gizi dan kesehatan
Gambar 2  Tahapan penarikan contoh
Tabel 1  Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 5  Sebaran contoh berdasarkan karakteristik (jenis kelamin, umur, BB
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bidang penyelidikan dan inovasi pula, penilaian Malaysia Research Assessment Instrument (MyRA) yang dijalankan oleh Kementerian Pengajian Tinggi bagi mengukur

Pembelajaran STM jauh lebih efektif karena dapat meningkatkan keaktifan siswa di kelas sehingga hasil belajar siswa meningkat, yang meliputi kemampuan kognitif,

Pada peristiwa hukum yang sama (dengan menggunakan pola 2) penjelasannya adalah: Untuk mewujudkan adanya perlindungan terhadap keturunan ( hifdz an-nasl ), maka harus

Dalam hal ini nilai signifikansi tersebut lebih besar dari 0,05, oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelompokan RVI bangunan berdasarkan bentuk atap tidak

Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa secara bersama-sama variabel struktur modal, likuiditas, profitabilitas, dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap luas pengungkapan

Hasil interpretasi tanda yang ada pada iklan korporat Dove “Real Beauty” versi global ke lokal menunjukkan pergeseran standar kecantikan (definisi baru kecantikan) hanya

Ulangi pengamatan arus DC, penguatan mode diferensial, dan penguatan mode bersama ini untuk rangkaian dengan resistansi bias dan tegangan bias negatif yang lebih tinggi

(b) Aktivitas guru – guru SDN 38 Sungai limau dalam menyusun RPP selama kegiatan KKG penyusunan RPP pada kegiatan KKG. Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: a)