• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Morfologi Organ Reproduksi Jantan Biawak Air Asia, Varanus salvator bivittatus, Kuhl 1820 (Reptil:Varanidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Morfologi Organ Reproduksi Jantan Biawak Air Asia, Varanus salvator bivittatus, Kuhl 1820 (Reptil:Varanidae)"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI JANTAN

BIAWAK AIR ASIA,

Varanus salvator bivittatus,

Kuhl 1820

(Reptil: Varanidae)

MAHFUD

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Morfologi Organ Reproduksi Jantan Biawak Air Asia (Varanus salvator bivittatus, Kuhl 1820) (Reptil: Varanidae) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

MAHFUD. Karakteristik Morfologi Organ Reproduksi Jantan Biawak Air Asia (Varanus salvator bivittatus, Kuhl 1820) (Reptil: Varanidae). Dibimbing oleh ADI WINARTO dan CHAIRUN NISA’.

Indonesia merupakan negara dengan tingkat eksploitasi Biawak V. salvator terbesar di dunia terutama untuk melayani permintaan industri kulit. Kondisi demikian berdampak pada penurunan populasinya di alam, mengingat belum adanya upaya konservasi baik in situ maupun ex situ. Informasi mengenai biologi reproduksi hewan ini sangat diperlukan sebagai dasar dalam aktivitas konservasi dengan mengevaluasi kecepatan reproduksi guna mempertahankan populasinya di alam. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik morfologi makroskopis maupun mikroskopis organ reproduksi jantan biawak air asia (V. salvator bivittatus) (Reptil: Varanidae).

Dua ekor biawak jantan dewasa asal daerah Bogor telah digunakan dalam penelitian ini. Hewan dianestesi, dilakukan exanguinasi, dan difiksasi dengan paraformaldehid 4% secara perfusi. Sampel jaringan untuk sediaan histologis dengan metoda paraffin, disayat dengan ketebalan 3-4 µm, diwarnai dengan hematoxylin eosin (HE), Masson’s trichrome (MT), serta alcian blue (AB) pH 2.5 dan periodic acid Schiff (PAS). Pengamatan dilakukan terhadap situs viscerum, makroanatomi dan morfometri serta mikroanatomi organ reproduksi mulai testis sampai dengan hemipenis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa organ reproduksi jantan V. salvator bivittatus terdiri atas testis, epididymis, ductus deferens dan hemipenis yang masing-masing berjumlah sepasang serta satu tipe kelenjar aksesoris. Testis kanan dan kiri masing-masing melekat di dinding dorsal coelom, tepatnya di kranial ginjal dan diikat oleh mesorchium. Testis berbentuk bulat lonjong (oval) berjumlah sepasang, berwarna putih pucat dan dibungkus oleh selaput jaringan ikat, tunica vaginalis dan tunica albuginea. Tunica albuginea disusun oleh jaringan ikat elastis, meluas ke dalam testis membentuk septum (septula testis). Septula testis membagi setiap testis menjadi beberapa lobulus testis yang berisi tubuli seminiferi. Tubulus seminiferous dikelilingi oleh jaringan ikat dan disusun oleh epitel germinalyang berisi spermatogonia, sel Sertoli, spermatosit, spermatid dan spermatozoa pada bagian dalam. Spermatogenesis pada biawak dapat diamati melalui tahapan diferensiasi yang terjadi mulai dari spermatogonia hingga menjadi spermatozoa.

(5)

Setelah melewati ginjal, ductus epididymidis dilanjutkan oleh ductus deferens, berupa saluran kecil, lurus dan pendek. Ductus deferens memiliki lumen yang luas dan teratur dengan mukosa tipis. Lumen ductus deferens disusun oleh epitel silindris banyak baris bersilia yang dilapisi otot polos sirkular dan jaringan ikat longgar yang terdiri atas serabut kolagen. Pada kelompok reptilia, dari ductus deferens sperma disalurkan melalui sulcus spermaticus di sepanjang hemipenis.

Hemipenis biawak V. s. bivittatus merupakan organ berongga berbentuk silinder (truncus), tersimpan di dalam kantung di pangkal ekor yang masing-masing memiliki lubang ereksi yang terletak di pangkal ekor kaudal dari kloaka. Pada saat tidak ereksi, kaput hemipenis terletak di bagian kaudal, sedangkan pada saat ereksi, hemipenis akan keluar dari sisi lateral kloaka, sehingga letak kaput hemipenis berpindah ke bagian kranial. Pada kaput hemipenis ditemukan lipatan mukosa yang ditutup oleh epitel pipih banyak lapis yang di bawahnya ditopang oleh jaringan ikat dengan serabutt kolagen. Truncus hemipenis dilapisi oleh epitel pipih banyak lapis yang didukung oleh jaringan ikat padat yang di bawahnya ditemukan corpus cavernous. Pada saat ereksi, di sisi luar dinding hemipenis ditemukan lekukan sulcus spermaticus mulai dari bagian kaput sampai radiks hemipenis. Pada saat ereksi, di tengah bagian kaput hemipenis ditemukan penonjolan seperti kepala putik dengan konsistensi seperti tendon, berwarna putih yang disusun oleh jaringan ikat. Dalam keadaan tidak ereksi, jaringan tersebut berada di dasar truncus hemipenis yang berhubungan langsung dengan otot retraktor hemipenis yang disusun oleh otot lurik.

Kelenjar aksesoris ditemukan di daerah dorsal kloaka pada ujung ductus deferens, berupa tonjolan yang menjulur ke arah kantung hemipenis. Secara mikroskopis memberikan gambaran tipe ujung kelenjar mukous yang memiliki struktur mirip kelenjar aksesoris bulbourethralis (Cowper) pada mamalia. Tipe ujung kelenjar ini disusun oleh epitel silindris sebaris yang intinya terletak di bagian basal sitoplasma. Di bagian luar ujung kelenjar, dibungkus oleh jaringan ikat dan pada dinding ujung kelenjar yang tebal sering ditemukan sel otot polos.

Lebih lanjut kelenjar bulbouretralis menunjukkan hasil positif terhadap pewarnaan AB pH 2.5 dan PAS. Hal ini menunjukkan bahwa sekreta yang dihasilkan mengandung karbohidrat asam dan netral. Sitoplasma sel-sel sekretoris menunjukkan intensitas warna lemah sedangkan sekreta di lumen kuat terhadap pewarnaan AB. Pada pewarnaan PAS menghasilkan intensitas warna sebaliknya.

Organ reproduksi jantan biawak V. s. bivittatus secara umum mirip dengan reptilia lain khususnya ular dan kadal, dengan kekhasan adanya sepasang hemipenis. Ductus epididymidis disusun oleh epitel silindris banyak baris yang memiliki ketebalan lapisan epitel dinding dan diameter lumen yang bervariasi antara bagian kranial, medial dan kaudal. Ductus deferens berupa saluran kecil, lurus dan pendek (±0.5cm) yang disusun oleh epitel silindris banyak baris. Ductus deferens menghubungkan ductus epididymidis dan kloaka. Di daerah dorsal kloaka ditemukan kelenjar aksesoris dengan tipe ujung kelenjar mukus yang menyerupai kelenjar bulbourethralis pada mamalia.

(6)

SUMMARY

MAHFUD. The Morphological Finding of the Male Reproductive Organs of Water Monitor Lizard (Varanus salvator bivittatus, Kuhl 1820) (Reptil: Varanidae). Supervised by ADI WINARTO and CHAIRUN NISA’.

Indonesia is a country with high levels of exploitation of Varanus salvator that largely serve the demand of leather trading. In order to support their conservation, it is important to know the information about its reproductive biology. This study was aimed to explore the morphological aspect of the male reproductive organs of V. salvator bivittatus at macroscopic and microscopic level.

The study used two adult male lizards with 45.60 cm SVL. The animals were sacrificed by exsanguination under deep anesthetized and fixed in 4 % paraformaldehyde through perfusion then observed visceral site and morphometric. Histomorphological evaluation was obtained by paraffin preparation with section thickness of 3-4 µm then stained in Hematoxylin-Eosin attached by mesorchium, precisely at the cranial region of kidney. The testes have oval-shaped, pale white in color. Testis was composed of seminiferous tube, and covered by tunica albuginea and tunica vaginalis. Tunica albuginea was a connective tissue capsule which rich of elastic fiber. It perform septa toward interior forming testical compartements. The seminiferous tube wall compoused of connective tissue at the outer leyer while inner leyer was germinal epithelim with spematogonia cell, Sertoli cell, spermatocyte, spermatid and spermatozoa. Stages of spermatogenesis can be observed through the differentiation of spermatogonia to be spermatozoa.

The epididymis appear from cranial part of testes, pass through the ventral kidney toward the caudal end. The yellowish duct runs together with ureter and ended in cloaca. The epididymis was not formed head, body and tail as it showed in mammals. The duct covered by connective tissue forming epididymis. The wall ofepididymidis duct wascomposed of pseudostratified columnar epithelium lined with cilia and supported by thin circular smooth muscle layer. Lumen of epididymidis duct was contains spermatozoa. In the cranial, medial and caudal part of epididymidis duct, there was differentiation in the thickness of the epithelium and diameter of the lumen.

(7)

Hemipenes of V. s. bivittatus was a pair of cylindrical-shaped tube (truncus) organs and each has a hole for an erection which was located at the base of the tail. In the flaccid state, the head of hemipenes located in the caudal part, while at the time of erection, hemipenes will come out through the lateral side of the cloaca, so that location of the head moves to the cranial hemipenes. At the head of hemipenes was found mucosal folds covered by stratified squamus epithelium and supported by connective tissue rich of collagen fibers. It different to those in snakes, which covered by thorn-like papillae. Truncus of hemipenes was lined by stratified squamous epithelium and supported with thick of dense connective tissue and contain cavernous body. During erection state, sulcus spermaticus at the outer surface of hemipenes running from head to the radix area. In the center of head was found anthers-like protrusion, which was white in colour, resemble to tendon on its consistency, and composed of dense connective tissue. Within flaccid state, the protrusion back down to the base of truncus hemipenes since it connected to retractor muscles of hemipenes that commonly known as propulsar muscle.

An accessories gland was found at the dorsal cloaca at the caudal end of the deferent duct, a bulge that overhung the hemipenis sacs. Microscopically, the accessories gland was identified as tubular mucous type gland which was resemble to bulbourethral gland (Cowper) in mammals. This tubular gland was composed of simple columnar epithelium, with nucleus located in the basal cytoplasm. The connective tissue covered and inserted to the gland to divide into lobules.

Bulbourethral gland showed a positive response to AB pH 2.5 and PAS staining. The cytoplasm of the secretory cells and secreta, showed a different of reactions intensity. The cytoplasm of the secretory cells showed weak reaction and secreta in the lumen showed a strong reaction to the AB staining. In contrast, cytoplasm of secretory cells showed moderate reaction and secreta in the lumen showed weak reaction to the PAS staining.

Male reproductive organs of the V. s. bivittatus were generally similar to other reptiles such as snakes and lizards, with characteristics a pair of hemipenes. Epididymidis duct was lined by pseudostratified columnar epithelium which was varied in its thickness and diameter of lumen between cranial, medial and caudal segment. The deferent duct was a small, straight and short duct which was lined by pseudostratified columnar epithelium. The deferent duct was connected the epididymis to cloaca. The accessory gland was interestingly found resemble with bulbourethral gland in mammal and therefore should be noteworthy.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Anatomi dan Perkembangan Hewan

KARAKTERISTIK MORFOLOGI ORGAN REPRODUKSI JANTAN

BIAWAK AIR ASIA,

Varanus salvator bivittatus,

Kuhl 1820

(Reptil: Varanidae)

MAHFUD

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Karakteristik Morfologi Organ Reproduksi Jantan Biawak Air Asia, Varanus salvator bivittatus,Kuhl 1820 (Reptil:Varanidae) Nama : Mahfud

NIM : B152120021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Drh Adi Winarto, PhD PAVet Ketua

Dr Drh Chairun Nisa’, MSi PAVet Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Anatomi dan Perkembangan Hewan

Dr Drh Chairun Nisa’, MSi PAvet

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 ini ialah organ reproduksi, dengan judul Karakteristik Morfologi Organ Reproduksi Jantan Biawak Air Asia, V. salvator bivittatus, Kuhl 1820 (Reptil:Varanidae).

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drh Adi Winarto PhD PAVet dan Ibu Dr Drh Chairun Nisa’ MSi PAVet selaku pembimbing, serta Bapak Dr Drh Nurhidayat MS PAVet dan Prof Drh Srihadi Agungpriyono, PhD PAVet (K) yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukan.

(13)

DAFTAR ISI

Pemotongan (sectioning) dan proses perlekatan (afixing) 11

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Ukuran masing-masing organ reproduksi jantan biawak

V. s. bivittatus 12

Tabel 2 Sebaran dan konsentrasi kualitatif karbohidrat asam dan netral pada

kelenjar bulbourethralis organ reproduksi jantan biawak

V. s. bivittatus 26

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Morfologi tubuh biawak V. s. bivittatus jantan. 4

Gambar 2 Organ reproduksi jantan pada biawak 7

Gambar 3 Hemipenis salah satu jenis Reptil yaitu ular Crotalus atrox 8 Gambar 4 Area pengukuran dan pengambilan sampel jaringan

masing-masing organ reproduksi jantan biawak V. s. bivittatus 10 Gambar 5 Situs viscerum organ reproduksi jantan biawak V. s. bivittatus 12

Gambar 6 Jaringan testis biawak V. s. bivittatus 14

Gambar 7 Spermatogenesis pada biawak V. s. bivittatus 16 Gambar 8 Organ reproduksi jantan biawak V. s. bivittatus 18 Gambar 9 Epididymidis bagian kranial dan kaudal biawak V. s. bivittatus 19 Gambar 10 Mikrofotografi jaringan ductus deferens biawak V. s. bivittatus 20 Gambar 11Morfologi hemipenis biawak V. s. bivittatus 22 Gambar 12Morfologi bagian kaudal dan otot retraktor hemipenis biawak

V. s. bivittatus 23

Gambar 13Morfologi dan distribusi karbohidrat asam dan netral pada kelenjar bulbourethralis biawak V. s. bivittatus 25

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) 30 Lampiran 2 Prosedur pewarnaan Masson Trichome (MT) modifikasi

Goldner 31

(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan kawasan tropis yang dipengaruhi oleh dua benua yaitu; Asia dan Australia, sehingga menjadikan kawasan ini kaya dengan keanekaragaman hayati flora dan fauna. Walaupun demikian informasi ilmiah mengenai kekayaan hayati ini belum banyak dipublikasikan di Indonesia, khususnya mengenai reptil.

Reptilia merupakan kelompok hewan yang beradaptasi sepenuhnya dengan kehidupan darat, ditandai dengan sistem pernapasannya yang sudah menggunakan paru-paru dan pada saat bereproduksi dilakukan di darat. Kelas Reptilia dibagai menjadi 4 ordo, yaitu Rhyncocephalia (contohnya: Tuatara), Chelonia (contohnya: Penyu, Kura-kura, dan Bulus), Squamata (Contohnya: Ular, Kadal, dan Biawak) serta Crocodilia (contohnya: Buaya, Aligator, Senyulong, dan Caiman). Ciri umum kelas ini yang membedakan dengan kelompok hewan lain adalah seluruh tubuhnya tertutup oleh kulit bersisik dan memiliki sedikit sekali kelenjar kulit. Dari keempat ordo di atas, hanya ordo squamata yang dapat mengalami pergantian kulit (ecdysis) baik secara total maupun sebagian. Pergantian secara total misalnya pada anggota sub-ordo Ophidia/Serpentes (contohnya: ular) dan pengelupasan sebagian pada anggota sub-ordo Lacertilia/Sauria (contohnya: kadal) (Mattison 2005).

Di dunia terdapat lebih dari 8.000 jenis Reptilia (Mattison 2005). Indonesia dihuni oleh ± 5,3% Reptil dunia yang terdiri dari 4 jenis buaya, sekitar 20 jenis varanid (biawak) dan lebih dari 400 jenis ular (Mardiastuti & Soehartono 2003). Jumlah spesies yang cukup banyak ini menarik minat banyak orang dari dalam maupun luar negeri untuk memanfaatkan potensi tersebut.

Sejak lama Indonesia telah menjadi negara pengekspor reptil, baik dalam keadaan hidup maupun mati. Bagian tubuh yang diperdagangkan yaitu kulit, daging atau sebagai hewan peliharaan (Mardiastuti & Soehartono 2003). Kulit dan daging diperdagangkan sebagai bahan pangan, bahan sandang, bahan baku obat, dan industri rumah tangga (Putra et al. 2008). Salah satu Famili dari Reptil yang sebagian besar bagian tubuhnya dimanfaatkan sampai tingkat perdagangan internasional adalah Varanidae.

(16)

2

Biawak V. salvator menyebar dari Sri Lanka, India, Bangladesh, Burma, Vietnam dan Hainan (China), Malaysia, Philipina dan Indonesia (De Lisle 2007). Di Indonesia V. salvator hampir tersebar luas di semua pulau di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa sampai Sulawesi dan Maluku (del Canto 2007) serta Flores (Shine et al. 1996).

Dalam daftar CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) tahun 2000, biawak air tergolong kategori Appendiks II (Gumilang et al. 2003) yang berarti biawak air dapat diperdagangkan di pasar internasional dengan kuota yang telah ditetapkan. Bagian tubuh V. salvator yang paling banyak diperdagangkan adalah kulit. Kulit beberapa spesies reptil besar memiliki nilai komersial tinggi karena dapat digunakan untuk barang-barang kulit yang mewah. Hal ini telah menyebabkan tingginya perdagangan kulit reptil di dunia internasional selama beberapa dekade (Shine et al. 1998) yang didistribusikan melalui Asia Tenggara (Gaulke 1992). Survei menunjukkan bahwa lebih dari satu juta kadal spesies ini diambil dari alam setiap tahun untuk dibunuh dan dikuliti, dengan jumlah terbesar berasal dari Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan (Jenkins & Broad 1994).

Siklus reprdoduksi V. salvator terjadi sepanjang tahun, dengan intensitas yang menurun pada bulan-bulan kemarau (Maret–Juni). Dalam satu periode bertelur (clutch), betina mampu memproduksi 6 hingga 17 telur (Shine et al. 1998). Biawak betina yang besar dapat menghasilkan 40 telur per tahun (WAZA 2013). Jika eksploitasi V. salvator terus terjadi, akan mengakibatkan penurunan jumlah populasi hewan ini di alam, sehingga dapat menjadi hewan langka. Dikhawatirkan statusnya dapat masuk dalam kategori Appendiks I CITES seperti halnya pada V. komodoensis. Beberapa pihak telah menyatakan keprihatinan tentang menipisnya populasi liar dari spesies ini karena overcollecting (Gaulke 1992).

(17)

3

Perumusan Masalah

Varanidae yang dikenal dengan nama biawak, dapat ditemukan, baik di alam maupun di kebun binatang. Jenis biawak yang paling luas penyebarannya adalah V. Salvator, meliputi Asia Selatan sampai Asia Tenggara termasuk Indonesia. Di Indonesia penyebaran biawak ini juga hampir menyebar di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku (del Canto 2007) dan Flores (Shine et al. 1996), sehingga banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan hewan ini untuk kepentingan komersial (Mardiastuti & Soehartono 2003).

Penyebaran yang hampir merata di seluruh Indonesia berbeda di setiap wilayah berdasarkan subspesies. Khusus subspesies V. salvator bivittatus hanya ditemukan di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (keculai Pulau Timor). Di Pulau Jawa, masyarakat sering mengalihfungsikan bantaran sungai sebagai pemukiman, sehingga sangat mengganggu habitat hewan ini. Perburuan terhadap hewan ini juga sering dilakukan karena sudah merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat, sehingga menyebabkan penurunan populasi hewan ini hingga mendekati langka dan yang biasanya hewan ini sangat mudah ditemukan, sekarang menjadi cukup sulit ditemukan.

Informasi ilmiah dari biawak V. s. bivittatus masih kurang atau tidak ada data yang terbarukan, khsususnya data biologi reproduksi. Oleh karena itu, untuk peningkatan populasi (konservasi), data biologi organ reproduksi merupakan dasar bagi upaya konservasi ex situ biawak V. s. bivittatus. Data dasar ini akan diperoleh dengan mengeksplorasi sistem reproduksi jantan dari biawak V. s. bivittatus.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik morfologi makroskopis maupun mikroskopis organ reproduksi jantan Biawak Air Asia (V. s. bivittatus, Kuhl 1820) (Reptil: Varanidae) yang ditandai dengan adanya hemipenis.

Manfaat

(18)

4

2

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Anatomi Varanus salvator

Koch et al. (2007) mengombinasikan karakteristik beberapa subspesies dari Varanus salvator sebagai berikut (gambar 1): (1) punggung berwarna coklat, berjumlah empat sampai tujuh, bintik-bintik terang yang khas atau ocelli yang berbaris melintang, (2) ekor berwarna gelap, pada bagian anterior terdapat beberapa baris melintang ocelli, sedangkan pada bagian posterior bintik-bintik tersebut menjadi baris-baris seperti pita melintang berwarna terang, (3) daerah dagu berwarna keputihan, dengan garis tebal memanjang berjumlah lebih kurang tiga sampai empat buah, kadang-kadang menyatu dengan garis melintang (crossbands), (4) daerah perut berwarna keputihan, dengan ciri khas bagian lateral terdapat garis berwarna gelap, pendek dan lancip berjumlah lebih kurang enam sampai sepuluh buah. Pada hewan yang lebih muda, warna tubuhnya terlihat lebih cerah dibandingkan hewan dewasa yang berwarna coklat gelap atau coklat kehitaman dan makin memudar dengan bertambahnya usia.

(19)

5 Panjang tubuh termasuk kepala dan ekor dapat mencapai 250 cm (De Lisle 1996). Ukuran panjang tubuh yang ditemukan bervariasi dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Panjang biawak air asia dewasa di Jawa dapat mencapai 210 cm, di Sumatera dan India panjang mencapai 203 cm, sedangkan di Sri Langka dapat mencapai 200 cm dan Flores panjang tubuh biawak air dewasa kurang dari 150 cm (Shine et al. 1996).

Panjang tubuh biawak dapat dijadikan indikator dalam menetapkan usia dewasa kelamin. Panjang tubuh biawak jantan yang mencapai 130 cm telah menunjukkan usia dewasa kelamin, sedangkan pada betina adalah 120 cm (Bennet 1998). Hasil penelitian Shine et al. (1998) di Sumatera menunjukkan bahwa biawak air jantan pada panjang 40 cm SVL telah mencapai usia dewasa kelamin. Ukuran ini di bawah ukuran panjang usia dewasa kelamin biawak betina, namun biawak jantan dapat tumbuh lebih besar dari betina.

V. salvator memiliki kepala yang lebar dan berbentuk bulat lonjong. Bagian atas kepala ditutupi 48-60 sisik yang diposisikan dalam garis lurus dari mulut ke mulut (menganga). Ukuran sisik daerah kepala relatif besar dibanding bagian tubuh lain yang relatif kecil tetapi lebih seragam. Moncong memanjang yang memiliki ujung bulat atau tumpul. Lidah panjang, bercabang, menonjol dan tipis, pada bagian ujung dan pangkal lidah berwarna merah dan digunakan untuk menemukan sumber makanan. Hewan ini memiliki indera penciuman yang sangat berkembang yang diaktifkan oleh organ Jacobson. Organ ini juga membantu dalam mengetahui keberadaan mangsa. Dibantu oleh organ vemeronasal, hewan ini dapat melacak keberadaan hewan yang sejenisnya di suatu area tertentu. Biawak memiliki beberapa pleurodont (melekat pada sisi rahang), deretan gigi yang selalu diganti dan berada di bagian dalam lipatan gusi. Naris (lubang hidung) berada di dekat ujung moncong, jika terbuka berkisar dari bulat ke oval. Mata ditutupi oleh dua kelopak mata, salah satu yang tetap terbuka ketika hewan ini sedang berenang. Bidang visual sekitar 240° dan terdiri dari monokular dengan rentang penglihatan binokular kecil. Tepat di atas mata terdapat supraoculars yaitu sisik yang membesar berjumlah 4-8. Tympanum besar (telinga tengah), tidak memiliki daun telinga dan fungsi utama dari telinga adalah untuk menjaga keseimbangan. Ekor yang secara lateral berbentuk silindris atau agak rata dan memipih pada bagian ujungnya. Panjang mencapai 1.36 kali panjang tubuh. Rasio ini secara sexual dimorphism dan ontogenetically (usia), hewan jantan memiliki ekor lebih panjang, sedangkan yang tua proporsi ekor lebih pendek (De Lisle 1996).

(20)

6

Taksonomi Varanus salvator

Berdasarkan ciri-ciri di atas, mempermudah kita memaparkan klasifikasi dan taksonomi dari biawak air asia V. salvator. Mengutip dari WAZA (2013), klasifikasi dan taksonomi dari Biawak Air Asia Varanus salvator adalah sebagai berikut: (Wiegmann, 1834), V. s. cumingi (Martin, 1838), V. s. nuchalis (Günther, 1872), V. s. togianus (Peters, 1872), V. s. andamanensis (Deraniyagala, 1944), dan V. s. komaini (Nutphand, 1987).

Organ Reproduksi Jantan Pada Reptil

Testis

Seperti pada vertebrata lainnya kecuali pada cyclostomes dan beberapa teleost, testis reptil berjumlah sepasang, dan masing-masing menggantung di dinding dorsal coelom melalui mesorchium. Testis berfungsi memproduksi sel sperma dan sekresi hormon. Hormon-hormon yang dihasilkan testis adalah steroid yang disebut androgen. Androgen utama adalah testosteron, yang disekresi terutama oleh sel-sel interstisial (sel Leydig) dari testis. Testosteron mengontrol perkembangan dan pemeliharaan karakteristik organ reproduksi sekunder, meningkatkan libido, dan membantu menjaga saluran genital dan organ aksesori (Kardong 2008).

(21)

7

Saluran Genital dan Organ Kopulatori

Reptil umumnya bereproduksi secara seksual, meskipun beberapa mampu bereproduksi secara parthenogenesis (Wiechmann 2012). Reptil yang bereproduksi seksual membutuhkan fertilisasi internal. Pada reptil jantan, ductus deferens berjumlah sepasang dan berfungsi mengangkut sperma dari testis ke hemipenis (Gambar 2 dan 3) (Kardong 2008). Kegiatan reproduksi terjadi melalui kloaka yang juga berfungsi mengeluarkan feses dan urin. Kebanyakan reptil memiliki organ kopulatori, yaitu hemipenis yang biasanya ditarik atau terbalik dan disimpan dalam tubuh atau di dalam pangkal ekor (Lutz 2005).

Biawak jantan memiliki sepasang hemipenis. Setiap hemipenis biasanya berlekuk untuk memungkinkan menyalurkan sperma (Kardong 2008). Hemipenis adalah organ seksual pada biawak, yang juga terdapat pada kelompok squamata lainnya misalnya ular. Sepasang hemipenis Biawak jantan digunakan secara bergantian ketika kawin dengan biawak betina, tetapi biasanya hanya satu yang digunakan untuk kopulasi. Sepasang hemipenis disimpan dalam pangkal ekor, yang menyebabkan ekor jantan memiliki bentuk yang berbeda dibandingkan biawak betina, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk menentukan jenis kelamin biawak (jantan atau betina). Hal ini dapat dilakukan dengan memeriksa bentuk ekor dan memijat pangkal ekor, maka hemipenis akan keluar dari pangkal ekor (MNH 2009).

(22)

8

Pada beberapa jenis ular, ujung hemipenis kasar atau berduri agar proses perkawinan berlangsung cukup lama untuk proses fertilisasi (Kardong 2008; MNH 2009). Pada setiap hemipenis terdapat otot retraktor yang bekerja untuk menarik kembali hemipenis ke dalam kantung di pangkal ekor setelah melakukan kopulasi. Pada saat ereksi, gerakan otot masing-masing hemipenis melewati kloaka keluar melalui lubang berkantung, mengeluarkan hemipenis dari dalam ke luar pangkal ekor, yang biasa disebut evagination (Gambar 3a, b) (Kardong 2008). Di dalam hemipenis ditemukan saluran yang disebut sulcus spermaticus, berfungsi menyalurkan sperma saat kawin (MNH 2009), yang kadang-kadang berbentuk huruf Y. Selama kopulasi, biasanya hanya satu hemipenis dimasukkan dalam kloaka betina (Gambar 3c) (Kardong 2008).

(23)

9

3

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Histologi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, selama empat bulan dari bulan Februari sampai dengan Mei 2014.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua ekor biawak V. salvator bivittatus jantan dewasa dengan panjang 45.60±6.505 cm SVL yang ditangkap dari wilayah Bogor. Hewan dianestesi dengan menggunakan kombinasi ketamin 50mg/kg BB dengan xylazine 10 mg/kg BB secara intramuskular pada otot paha. Segera setelah hewan teranastesi, dilakukan sayatan pada bidang median tubuh, mulai dari daerah perineum sampai tulang dada. Beberapa tulang dada dipotong untuk mencapai jantung. Proses pengeluaran darah (exanguinasi) dilakukan dengan menyayat atrium kanan jantung dan menusukkan kanul yang dihubungkan dengan selang berisi larutan NaCl Fisiologis 0.9% ke ventrikel kiri jantung untuk proses irigasi sampai cairan yang keluar dari atrium kanan terlihat bening. Selanjutnya dilakukan proses fiksasi dengan larutan paraformaldehida 4% secara perfusi pada saat jantung masih berdenyut. Untuk memaksimalkan proses fiksasi, larutan fiksatif disuntikkan ke beberapa bagian organ yang berongga atau disayat pada organ yang cukup besar, khususnya testis.

Pengamatan Makroskopis

Pengamatan situs viscerum dilakukan untuk mengetahui lokasi, posisi (land mark), susunan, bentuk dan pemetaan organ reproduksi terhadap organ-organ lain dalam ruang tubuh. Setelah pengamatan situs viscerum, organ reproduksi mulai testis sampai dengan hemipenis dikeluarkan dari tubuh. Organ reproduksi selanjutnya direndam dalam botol berisi larutan paraformaldehid 4% selama 2-3 hari. Setelah itu organ reproduksi dipindahkan ke dalam botol berisi alkohol 70% sebagai stopping point, sampai proses selanjutnya.

(24)

10

Pengamatan Mikroskopis

Pengamatan mikroskopis dilakukan terhadap testis, accessories gland, epididymis, ductus deferens dan hemipenis. Pengambilan sampel jaringan dari masing-masing organ reproduksi sebagaimana terlihat pada gambar 4. Testis diambil dari tiga daerah yaitu bagian kranial, medial dan kaudal yang berhubungan dengan epididymis. Epididymis, ureter, ductus deferens, papilla urogenital dan hemipenis juga diambil dari bagian kranial, medial dan kaudal. Pembuatan Blok Jaringan

Potongan sampel jaringan dari organ reproduksi dengan ukuran ± 0.5 cm2 dimasukkan ke dalam basket dan direndam dalam alkohol 70%, kemudian didehidrasi dengan menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat 80%, 90%, 95% (masing-masing selama 24 jam) dan alkohol absolut tiga kali (masing-masing satu jam). Selanjutnya dilakukan clearing dalam xylol I, II dan III, masing-masing sekitar satu jam.

Proses infiltrasi parafin dilakukan di dalam inkubator untuk menjaga parafin tetap cair. Sampel jaringan dikeluarkan dari basket dengan pinset panas dan di masukkan ke dalam wadah berisi parafin cair I, II dan III, masing-masing satu jam. Proses embedding dilakukan menggunakan cetakan yang telah diolesi dengan gliserin. Kemudian blok jaringan/parafin ditempatkan pada balok kayu dan siap dipotong.

(25)

11 Pemotongan (sectioning) dan proses perlekatan (afixing)

Pemotongan blok parafin menggunakan mikrotom putar (rotary) dengan ketebalan ± 4-5 µm. Hasil sayatan diamati di bawah mikroskop untuk memastikan bahwa jaringan hasil penyayatan utuh dan tidak tergores. Kemudian sayatan jaringan dilekatkan pada gelas obyek dan dikeringkan di atas hot plate. Selanjutnya preparat dimasukkan ke dalam box preparat dan siap untuk diwarnai. Pewarnaan (staining)

Proses pewarnaan dengan Hematoxylin dan Eosin (HE), Masson’s Trichrome (MT), Alcian Blue (AB) pH 2.5 dan Periodic Acid Schiff (PAS) mengacu pada Kiernan (1990). Sebelum dilakukan pewarnaan, preparat dideparafinisasi dan rehidrasi. Setelah pewarnaan dilanjutkan dengan proses dehidrasi, clearing dan mounting. Hasil pewarnaan diamati dan difoto menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan alat fotografi (mikrofotografi).

Parameter yang diamati meliputi struktur umum dan khusus. Pengamatan struktur umum untuk melihat lapisan-lapisan dinding organ reproduksi, bentuk penjuluran, lipatan mukosa, bentuk dan macam sel serta kelenjar dengan menggunakan pewarnaan Hematoxylin dan Eosin (HE). Sedangkan pengamatan struktur khusus untuk melihat komposisi jaringan ikat pada organ reproduksi jantan dengan pewarnaan Masson’s Trichrome (MT) serta substansi mukus, sifat dan materi karbohidrat netral dan asam dari substansi mukus pada organ reproduksi dengan menggunakan pewarnaan Alcian Blue (AB) pH 2.5 dan Periodic Acid Schiff (PAS).

Analisis Data

Semua hasil pengamatan dan data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Data morfometri ditabulasikan dalam bentuk rataan (mean) ± standar deviasi (SD).

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Organ reproduksi jantan dan organ-organ lain yang terdapat di dalam rongga perut V. s. bivittatus, ditutupi oleh jaringan lemak yang cukup tebal, terletak langsung di bawah otot dinding perut. Situs viscerum organ reproduksi jantan hewan ini terlihat jelas setelah jaringan lemak tersebut keluar dari rongga perut (Gambar 5A).

(26)

12

Tabel 1 Ukuran masing-masing organ reproduksi jantan biawak V. s. bivittatus

Organ Ukuran Kanan (cm) Kiri (cm)

Testis Panjang 3.15 ± 0.59 3.38±0.39

Diameter 1.24±0.18 1.36±0.06

Epididymis Panjang 10.57±0.36 10.33±0.16

Diameter 0.68±0.30 0.68±0.30

Ductus deferens Panjang 0.57±0.48 0.35±0.30

Diameter 0.30±0.042 0.30±0.02

Hemipenis*

Panjang 3.41±0.98 3.52±1.11

Diamater Cranial 1.31±0.07 1.33±0.10 Diameter Medial 1.08±0.04 1.08±0.04 Diameter Caudal 0.80±0.10 0.80±0.10 Catatan: *hemipenis diukur dalam kondisi tidak ereksi

(27)

13 Modifikasi morfologi dalam sistem reproduksi berkaitan dengan keberhasilan dalam fertilisasi baik internal maupun eksternal, khususnya pada vertebrata, untuk mempertahankan kelangsungan hidup organisme tersebut. Karakteristik morfologi organ reproduksi dari setiap spesies hewan berbeda-beda, baik dari tingkatan taxa yang sama maupun berbeda dalam sistem klasifikasi. Perbedaan tersebut sangat terkait dengan strategi reproduksi dari masing-masing spesies.

Pada vertebrata amniota termasuk reptil, pembuahan dilakukan secara internal. Sebagai bentuk adaptasi terhadap strategi pembuahan internal, terdapat karakteristik organ khususnya pada sistem reproduksi jantan, terkait dengan kondisi tersebut. Karakteristik tersebut di antaranya adalah memiliki ductus epididymidis untuk penyimpanan sperma dan organ kopulasi untuk mentransfer sperma, sehingga menjamin keberhasilan fertilisasi (Cabral et al. 2011).

Testis

Testis kanan dan kiri masing-masing menggantung di dinding dorsal coelom melalui mesorchium, tepatnya di kranial ginjal (Gambar 5A, 5B). Testis kanan terletak persis menempel di kaudal hati, sedangkan testis kiri posisinya lebih kaudal dibandingkan yang kanan. Testis berbentuk bulat lonjong (oval), berwarna putih pucat dan dibungkus oleh selaput jaringan ikat, tunica vaginalis dan tunica albuginea (Gambar 6A). Tunica vaginalis merupakan sebuah jaringan ikat yang merupakan perluasan dari peritoneum. Testis biawak V. s. bivittatus seperti pada vertebrata umumnya berjumlah sepasang, berbeda dengan pada cyclostomes dan beberapa teleosts yang hanya memiliki satu testis dan tidak ada saluran kelamin (Callard 1978). Testis berwarna keputihan dan berbentuk bulat telur seperti pada kura-kura jenis Phrynops geoffroanus (Cabral et al. 2011). Berbeda dengan Iguana iguana yang memilki testis berwarna kekuningan dan berbentuk bulat (Ferreira et al. 2002). Warna testis dapat berubah secara periodik, yaitu dari putih keabu-abuan menjadi lebih kuning selama puncak fase reproduktif (Prades et al. 2013).

Biawak V. s. bivittatus dengan ukuran panjang tubuh yang mencapai 45.60±6.505 cm SVL, diduga telah mencapai dewasa kelamin. Menurut Shine et al. (1998), V. s. bivittatus jantan telah mencapai umur dewasa kelamin meskipun ukuran tubuh masih relatif kecil yaitu 40 cm SVL, yang ditandai dengan testis membesar dan sperma sudah terdapat dalam ductuli eferentes. Musim kawin dimulai pada bulan April dan berlangsung hingga Oktober, yaitu sekitar awal musim hujan, dengan testis mencapai ukuran terbesar selama bulan April, namun di daerah yang tidak memiliki musim hujan dan kering, musin kawin hewan ini dilakukan sepanjang tahun (WAZA 2013).

(28)

14

Tubulus seminiferous dikelilingi oleh jaringan ikat dan disusun oleh epitel germinal yang berisi spermatogonia, sel Sertoli, spermatosit, spermatid dan spermatozoa (Gambar 6B, 6C). Epitel germinal yang menyusun tubulus seminiferous merupakan tempat berkembang sel spermatogenik dan sel Sertoli (Eroschenko 2008). Spermatogonia terletak di dasar atau bedekatan dengan membran basal dari tubuli seminiferi. Sel Sertoli terletak di antara deretan epitel germinal dan berukuran lebih besar dengan jumlah lebih sedikit daripada spermatogonia. Sedangkan spermatosit dan spermatid merupakan perkembangan lanjutan dari spermatogonia yang mengarah ke bagian apikal epitel germinal. Ekor spermatid mengarah ke dalam lumen tubulus seminiferous. Di dalam lumen tubulus seminiferous, ditemukan adanya spermatozoa yang belum matang (nonmotil dan infertil), bercampur dengan cairan testis sebelum dilepas ke dalam ductus epididymidis.

Gambar 6 Jaringan testis biawak V. s. bivittatus. 1. tunica vaginalis, 2. tunica albuginea, 3. lumen tubulus, 4. jaringan intertitial 5. tubulus

seminiferous, 6. spermatozoa, 7. epitel germinal, 8. sel Sertoli, 9. spermatogonia, 10. spermatid bulat (round), 11. spermatid akhir

(29)

15 Tahapan diferensiasi yang terjadi mulai dari spermatogonia hingga menjadi spermatid dan akhirnya menjadi spermatozoa dapat diamati melalui siklus tahapan epitel tubulus seminiferous (Gambar 7). Spermatogonia membelah secara mitosis menghasilkan spermatogonia A dan B. Spermatogonia A merupakan tipe spermatogonia berukuran terbesar dengan bagian membran sel menempel pada membran basal tubuli seminiferi. Sel spermatogonia A memiliki inti berwarna pucat dengan anak inti (nukleoli) yang menonjol. Spermatogonia B berukuran lebih kecil, berbentuk bulat dengan inti berwarna gelap dan berisi partikel kromatin. Selanjtnya, sel mengalami pembelahan mitosis dan menghasilkan spermatosit primer yang memiliki bermacam-macam inti sel dan menunjukkan kromatin yang berbeda. Spermatosit dan spermatid tertanam dalam epitel germinal lebih dekat ke lumen. Spermatosit primer mengalami tahap pembelahan berdasarkan karakteristik perubahan susunan kromatin, yaitu: preleptotene, leptotene, zygotene, pachytene, dan diplotene (Gambar 7). Tahap preleptotene dan leptotene merupakan kromosom yang berbentuk rantai tipis. Tahap zygotene, kromosom bergabung dan membentuk setengah lingkaran pada inti sel. Tahap pachytene, inti sel berukuran besar dan didominasi dengan kromosom yang merata pada seluruh inti, sehingga sitoplasmanya tidak teramati dengan jelas. Tahap diplotene, posisi inti sel menepi di pinggir membran sitoplasma. Tahap diplotene merupakan tahap akhir perubuhan kromatin inti sel. Spermatosit primer mengalami pembelahan meiosis pertama, sehingga ukuran spermatosit menjadi lebih kecil yang disebut spermatosit sekunder. Spermatosit sekunder jarang dapat diamati karena mengalami pembelahan meiosis kedua yang berlangsung sangat cepat, yaitu membentuk spermatid haploid (Bacha & Bacha 2000; Hess & de Franca 2008). Proses spermatogenesis pada biawak mirip dengan mamalia, misalnya pada muncak (Muntiacus muntjak) (Wahyuni et al. 2012).

Sel spermatid berbentuk bulat (round spermatid) dan berbentuk lonjong (elongated spermatid). Round spermatid atau yang dikenal spermatid awal adalah sel bulat dengan inti berwarna pucat, secara kelompok menuju lumen tubulus seminiferous. Elongated spermatid atau yang dikenal spermatid akhir ditandai dengan ukuran yang lebih kecil, berbentuk oval memanjang, kepala berwarna gelap dan panjang, ekor berwarna pucat yang mengarah ke dalam lumen. Spermatid yang dilepaskan dari epitel seminiferous disebut sebagai spermatozoa.

(30)

16

(31)

17 Sel Sertoli adalah sel pendukung testis yang terletak di antara deretan epitel germinal atau sel-sel spermatogenik dalam tubulus seminiferous dan berukuran lebih besar dengan jumlah lebih sedikit daripada spermatogonia. Sel Sertoli berperan sangat penting di dalam testis, diantaranya adalah sebagai dukungan fisik, perlindungan, dan nutrisi untuk perkembangan sperma (spermatid); fagositosis terhadap kelebihan sitoplasma (badan residual) dari spermatid yang sedang berkembang; melepas spermatozoa yang sudah matang, atau yang disebut spermiation, ke dalam lumen tubulus seminiferous; sekresi cairan testis yang kaya fruktosa untuk makanan dan transportasi sperma ke saluran excurrent (tubulerecti dan rete testis). Produksi dan pelepasan protein androgen-binding (ABP) yang mengikat dan meningkatkan konsentrasi testosteron dalam lumen tubulus seminiferous sangat diperlukan untuk spermatogenesis. Sekresi ABP berada di bawah kendali follicle-stimulating hormone (FSH) dari kelenjar hipofisis. Sel Sertoli juga mensekresikan hormon inhibin, yang memiliki efek penghambatan pada kelenjar pituitari dan menekan atau menghambat produksi FSH tambahan (Eroschenko 2008).

Testis pada reptil, seperti vertebrata lainnya berfungsi memproduksi sel spermatozoa dan sekresi hormon. Hormon-hormon yang dihasilkan testis adalah steroid yang secara kolektif disebut androgen. Androgen utama adalah testosteron, yang disekresi terutama oleh sel-sel interstisial (sel Leydig) dari testis. Testosteron mengontrol perkembangan dan pemeliharaan karakteristik seksual sekunder, keinginan untuk melakukan kopulasi, dan membantu mempertahankan saluran genital dan kelenjar aksesori (Kardong 2008). Sel Leydig ditemukan di antara tubulus seminiferous, merupakan kelompok sel epiteloid, yaitu sel-sel intertisial yang turut membentuk jaringan intertisial.

Secara histologis, pada testis biawak tidak ditemukan adanya rete testes. Pada mamalia, rete testes merupakan sebuah tenun tubulus yang bersambungan dengan saluran kecil, yaitu ductuli efferentes yang menyatu dengan ductus epididymidis. Dari ductuli efferentes, sperma disalurkan ke ductus epididymidis yang berfungsi sebagai tempat akumulasi, penyimpanan dan pematangan sperma (Eroschenko 2008).

Ductus Epididymidis

Ductus epididymidis merupakan saluran berwarna kuning keputihan, keluar dari bagian kranial testis dan berjalan berkelok-kelok memanjang ke arah kaudal. Pada saat melewati ginjal ductus epididymidis menempel pada permukaan ventral ginjal dan berjalan bersama ureter (Gambar 8). Kelokan-kelokan ductus epididymidis dibungkus oleh jaringan ikat, sehingga membentuk epididymis.

(32)

18

Pada ductus epididymidis memiliki ketebalan lapisan epitel dan diameter dinding lumen serta kepadatan spermatozoa yang bervariasi antara bagian kranial dan kaudal. Lapisan epitel di bagian kranial ductus epididymidis lebih tebal dibanding di bagian kaudal, sehingga diameter lumen di bagian kaudallebih besar dan berisi spermatozoa dengan kepadatan lebih tinggi dibanding di bagian kranial. Struktur di bagian kaudal ductus epididymidis ini sesuai dengan fungsinya sebagai akumulasi dan penyimpanan spermatozoa dalam jumlah besar sebelum disalurkan ke ductus deferens menuju saluran reproduksi betina (Wahyuni et al. 2012).

(33)

19

(34)

20

Ductus Deferens

Setelah melewati ginjal, ductus epididymidis dilanjutkan oleh ductus deferens, berupa saluran kecil, lurus dan pendek (Gambar 5B, 8). Seperti pada spesies amniota lainnya, ductus deferens digunakan hanya untuk transportasi gamet pada hewan jantan, sedangkan urin dikeluarkan melalui ureter. Struktur ini dikonfirmasi dengan adanya pemisahan dari kedua saluran ini, seperti yang ditemukan pada P.geoffroanus (Cabral et al. 2011). Hal ini berbeda dengan vertebrata anamniotic (misalnya: Cyclostomata, Pisces, dan Amfibi). Pada kelompok hewan ini, seminiferous atau saluran sperma, ductuli eferentes, ductus epididymidis dan ductus deferens, selain digunakan untuk transportasi spermatozoa juga digunakan untuk pengangkutan urin (Kardong 2008). Ductus deferens terhubung ke dinding tubuh dorsal oleh mesentrium ke kloaka, seperti pada ular Seminatrix pygaea (Sever 2004).

Ductus deferens memiliki lumen yang luas dan teratur dengan mukosa tipis (Gambar 10). Hal ini mirip dengan hewan squamata lainnya, misalnya pada ular Seminatrix pygaea (Sever 2004), tetapi berbeda dengan lumen ductus deferens pada mamalia yang memiliki lumen sempit dan tidak teratur dengan lipatan mukosa membujur (Bacha & Bacha 2000; Eroschenko 2008). Lumen ductus deferens disusun oleh epitel silindris banyak baris bersilia yang dilapisi otot polos sirkular dan jaringan ikat longgar yang terdiri atas serat kolagen (Gambar 10B). Terdapat sperma di dalam lumen ductus deferens. Epitel ductus deferens tidak bersifat sekretori, namun keberadaan sejumlah vesikel kecil di apikal menunjukkan peran dalam penyerapan cairan (Sever 2004).

(35)

21

Hemipenis

Hemipenis V. s. bivittatus merupakan organ berongga berbentuk silinder (truncus) dan masing-masing memiliki lubang untuk ereksi yang terletak di pangkal ekor kaudal dari kloaka (Gambar 5). Pada saat tidak ereksi (Gambar 5B, 11A), kaput hemipenis terletak di bagian kaudal, sedangkan pada saat ereksi (Gambar 5, 11B), hemipenis akan keluar dari sisi lateral kloaka, sehingga letak kaput hemipens berpindah di bagian kranial. Pada kaput hemipenis ditemukan lipatan mukosa (Gambar 5, 11A, 11B) yang ditutup oleh epitel pipih banyak lapis yang di bawahnya ditopang oleh jaringan ikat dengan serat kolagen (Gambar 11C). Gambaran ini berbeda dengan yang ditemukan pada pada ular yang ditutupi oleh tonjolan-tonjolan (papillae) berbentuk seperti duri (Karim 1998; Porto et al. 2013), agar proses perkawinan berlangsung cukup lama untuk proses fertilisasi (Kardong 2008; MNH 2009; Porto 2013). Truncus hemipenis dilapisi oleh epitel pipih banyak lapis yang didukung oleh jaringan ikat padat dan di bawahnya ditemukan corpus cavernous. Pada bagian ini banyak ditemukan pembuluh darah vena di dalamnya, tetapi tidak ditemukan adanya kelenjar dan otot polos (Gambar 12D). Organ kopulatori yang disusun oleh jaringan ikat tanpa otot polos juga ditemukan pada kura-kura P.geoffroanus (Cabral et al. 2011), dan ular Bittis arietans arietans (Karim 1998). Pada mamalia, sebagian besar parenkim corpus cavernous terdiri atas bundel otot polos. Relaksasi atau kontraksi otot polos bertanggungjawab saat kopulasi pada penis mamalia (Goldstein & Padma-Nathan 1990). Kondisi ini juga dapat diamati pada ular Crotalus durissus terrificus (Porto 2013).

Seperti organ kopulatori pada amniota lainnya, hemipenis merupakan organ berbentuk silinder yang cukup fleksibel untuk memperbesar karena diisi cairan sebelum kopulasi. Cairan ini berupa darah yang dibuktikan dengan banyaknya pembulu darah di daerah corpus cavernous. Oleh karena adanya tekanan darah di dalam pembuluh darah corpus cavernous, hemipenis dapat melakukan ereksi dan pada saat yang sama otot propulsar mendorong hemipenis. Selama tidak melakukan kopulasi, pembuluh darah ini bertanggung jawab untuk drainase darah dari hemipenis (Porto 2013).

(36)

22

Pada saat ereksi, di tengah bagian kaput hemipenis ditemukan penonjolan seperti kepala putik dengan konsistensi seperti tendon, berwarna putih yang disusun oleh jaringan ikat dengan serabut kolagen (Gambar 11B, 12B). Dalam keadaan tidak ereksi, jaringan tersebut berada di dasar truncus hemipenis yang berhubungan langsung dengan otot retraktor hemipenis yang disusun oleh otot lurik (Gambar 11A, 12C). Otot retraktor hemipenis berasal dari vertebra daerah kaudal dan masuk ke dalam corpus cavernous dan menempel di ujung distal hemipenis. Otot retraktor berbentuk silindris memanjang dari ujung distal hemipenis ke daerah ekor (Gambar 5B). Otot retraktor atau yang biasa dikenal sebagai otot propulsar (Karim 1998), mengembalikan setiap hemipenis ke dalam tubuh, proses ini biasa disebut invaginasi. Otot retraktor tersebut menarik hemipenis ke dalam kantung yang terletak di pangkal ekor. Selama ereksi, relaksasi otot retraktor menyebabkan masing-masing hemipenis akan keluar melalui lubang di pangkal ekor, yang biasa disebut evaginasi (Kardong 2008). Selain faktor otot dan pembuluh darah, hemipenis dapat melakukan ereksi disebabkan oleh faktor neuromuskular dari tulang belakang yang menginervasi otot-otot yang melintasi corpus cavernous (Ruiz 2002).

(37)

23 Setiap hemipenis biasanya berlekuk untuk memungkinkan transportasi sperma (Kardong 2008). Hemipenis adalah organ seksual pada biawak yang juga terdapat pada kelompok squamata lainnya misalnya ular dan kadal. Sepasang hemipenis disimpan dalam pangkal ekor, yang menyebabkan ekor jantan memiliki bentuk yang berbeda dibandingkan biawak betina, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk menentukan biawak jantan dan betina. Hal ini dapat dilakukan dengan memeriksa bentuk ekor dan memijat pangkal ekor, maka hemipenis akan keluar dari pangkal ekor (MNH 2009). Sepasang hemipenis Biawak jantan digunakan secara bergantian ketika kawin, sehingga salah satu hemipenis mungkin sedikit lebih lama dari yang lain saat berada dalam saluran reproduksi betina (Paré 2006), tetapi tidak terlibat dalam urinasi (Kardong 2008), karena urin dikeluarkan langsung dari kloaka melalui ureter (Kardong 2008).

(38)

24

Kelenjar Aksesoris

Sistem reproduksi dilengkapi oleh kelenjar aksesoris untuk melakukan fungsinya. Seperti umumnya pada mamalia, kelenjar aksesoris dari sistem reproduksi hewan jantan terdiri atas vesikula seminalis, kelenjar Cowper (bulbourethralis), dan kelenjar prostat tunggal (Eroschenko 2008) serta ampula (Bacha & Bacha 2000). Seperti yang ditemukan pada muncak (Wahyuni et al. 2012) dan tupai (Desiani 2000). Beberapa hewan, baik domestik maupun liar dilaporkan tidak memiliki salah satu atau beberapa kelenjar aksesoris. Misalnya pada karnivora, tidak ditemukan adanya kelenjar vesikula seminalis. Babi hutan memiliki ampula, tetapi tidak berkembang baik. Kucing hanya memiliki kelenjar prostat dan bulbouretralis (Foss et al. 2008), tetapi kelenjar prostat sendiri tidak ditemukan pada domba, kambing dan rusa (Bacha & Bacha 2000). Keberadaan kelenjar aksesoris secara langsung berhubungan dengan saluran reproduksi jantan dan menghasilkan berbagai produk sekretori yang bercampur dengan sperma untuk menghasilkan cairan yang disebut semen(Eroschenko 2008).

Kelenjar aksesoris berperan penting pada proses reproduksi. Kelenjar ini menghasilkan sekreta yang merupakan bagian dari plasma semen, berfungsi sebagai nutrisi dan media transpor bagia spermatozoa, perlindungan terhadap berbagai kuman infeksi, pembilas saluran uretra terhadap sisa-sisa urin, dan berperan dalam proses netralisasi pH saluran reproduksi jantan dan betina sebelum dilewati spermatozoa (Muhamad et al. 2001).

Biawak V. s. bivittatus hanya memiliki satu kelenjar aksesoris. Kelenjar aksesoris ditemukan di daerah dorsal kloaka pada ujung ductus deferens, berupa tonjolan yang menjulur dan menempel dengan sulcus spermaticus ke arah kantung hemipenis (Gambar 8) dan berakhir sebelum pangkal kantung hemipenis, sedangkan sulcus spermaticus terus masuk ke dalam kantung hemipenis.

Secara mikroskopis, kelenjar ini memberikan gambaran tipe ujung kelenjar mukus (Gambar 13A). Struktur ini mirip kelenjar aksesoris bulbourethralis (Cowper) pada mamalia (Bacha & Bacha 2000). Kelenjar bulbourethralis umumnya ditemukan pada hewan mamalia, kecuali anjing (Bacha & Bacha 2000; Foss et al. 2008) dan musang (Putra 2012). Epitel ujung kelenjar ini disusun oleh epitel silindris sebaris yang intinya terletak di bagian basal sitoplasma. Di bagian luar ujung kelenjar, dibungkus oleh jaringan ikat dan pada dinding ujung kelenjar yang tebal sering ditemukan sel otot polos. Pada lumen ujung kelenjar ditemukan adanya sekreta. Kelompok ujung kelenjar ini disatukan oleh jaringan ikat yang cukup tebal membentuk lobulus.

Kelompok sel-sel kelenjar membentuk unit sekretori asinar dan unit sekretori tubular yang di dalamnya ditemukan adanya sekreta. Sekreta-sekreta tersebut akan disalurkan melalui duktus sekretori. Duktus ekskretori disusun oleh sel epitel silindris banyak baris, dan diameternya terlihat lebih besar dibadingkan dengan unit sekretori (Eroschenko 2008).

(39)

25 tinggi. Sebaliknya sitoplasma sel-sel sekretoris menunjukkan intensitas warna sedang dan sekreta di lumen kelenjar menunjukkan intensitas warna lemah terhadap pewarnaan PAS (Gambar 13B). Hal ini menunjukkan bahwa kelenjar ini mengandung karbohidrat netral dengan konsentrasi rendah sampai sedang. Aitken (1960) melaporkan bahwa reaksi pewarnaan kelenjar bulbourethralis menunjukkan sekresi sulphated mucopolysaccharide. Kelenjar bulbourethralis menghasilkan mukopolisakarida yang khas mirip gelatin.

Pada kelenjar bulbourethralis, sitoplasma sel-sel sekretoris dan sekreta di lumen kelenjar menunjukkan reaksi dengan intensitas lemah sampai kuat terhadap pewarnaan AB pH 2.5 dan PAS. Hal ini menunjukkan bahwa kelenjar ini mengandung karbohidrat asam dan netral dengan konsentrasi rendah sampai tinggi. Berbeda dengan kelenjar bulbourethralis pada mamalia seperti tupai (Desiani et al. 2000) dan tikus pada umur sebelum dan sesudah pubertas (Mohamad et al. 2001), yang dilaporkan mengandung karbohidrat asam dan netral dengan konsentrasi sedang sampai tinggi.

(40)

26

Tabel 2 Sebaran dan konsentrasi kualitatif karbohidrat asam dan netral pada kelenjar bulbourethralis organ reproduksi jantan biawak V. s. bivittatus

Kelenjar Bulbourethralis AB pH 2,5 (Karbohidrat asam) PAS (Karbohidrat netral) Sitoplasma sel sekretoris + ++

Sekreta (lumen kelenjar) +++ +

Keterangan: intensitas reaksi terhadap pewarnaan melambangkan konsentrasi kualitatif karbohidrat. (+) = intensitas lemah, konsentrasi rendah, (++) = intensitas sedang, konsentrasi sedang, (+++) = intensitas kuat, konsentrasi tinggi.

Rendahnya kandungan karbohidrat asam pada sitoplasma sel-sel sekretori pada kelenjar bulbourethralis diperkirakan karena aktivitas sel-sel kelenjar tersebut mensintesis karbohidrat asam dan disekresikan ke dalam lumen kelenjar. Hal ini dimungkinkan karena sekreta di lumen kelenjar mengandung karbohidrat asam dengan konsentrasi tinggi. Sedangkan kandungan karbohidrat netral dengan konsentrasi sedang diperkirakan karena sel-sel kelenjar tersebut sedang dalam fase aktif atau mensintesis karbohidrat dan belum atau baru mengeluarkan sekretanya, sehingga sekreta lumen kelenjar mengandung karbohidrat netral dengan konsentrasi rendah.

Secara fungsional kelenjar bulbourethralis berperan sebagai penghasil plasma semen atau sekreta yang berfungsi sebagai pembilas saluran uretra (Desiani et al. 2000). V. salvator bivittatus tidak memiliki uretra, sehingga diperkirakan plasma semen yang dihasilkan oleh kelenjar ini berfungsi sebagai pembilas sulcus spermaticus. Menurut Desiani et al. (2000), tingginya konsentrasi karbohidrat asam pada kelenjar bulbourethralis menunjukkan kemungkinan bahwa karbohidrat asam lebih berperan di dalam proses reproduksi.

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(41)

27

Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis menyarankan untuk melakukan penelitian lanjutan untuk mendeteksi sel-sel yang spesifik yang berkaitan dengan fungsi organ tersebut. Khsusus kelenjar aksesoris, perlu diteliti lebih lanjut mengenai karbohidrat spesifik yang disekresikan kelenjar tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aitken RNC. 1960. A histochemical study of the accessory genital glands of the boar. J Anat. 94: 130-142.

Bacha WJ Jr, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology, 2nd Edition. Philadelphia (US): Lippincott Williams & Wilkins.

Bennet D. 1998. Monitor Lizard: Natural History, Biology and Husbandry, 2nd edition. Frankfurt (DE): Edition Chimaira.

Berndston WE, Desjardins C. 1974. The cycle of the seminiferous epithelium and spermatogenesis in the bovine testis. Americ J Anatomy.140(20):167-179. doi: 10.1002/aja.1001400204. Article first published online: 3 Feb 2005. Böhme W. 2003. Checklist of the living monitor lizards of the world (family

Varanidae). Zool Verh Leiden. 341(25):1-43.

Cabral SRP, Santos LR de Souza, Franco-Belussi L, Zieri R, Zago CES, DeOliveira C. 2011. Anatomy of the male reproductive system of Phrynops geoffroanus (Testudines: Chelidae). Maringá. 33 (4):487-492. doi:10.4025/actascibiolsci.v33i4.8091.

Callard IP, Callard’ GV, Lance V, Bolaffi JL, Rosset JS. 1978. Testicular Regulation in Nonmammalian Vertebrates. Biol Reprod. (18):16-43.

De Lisle HF. 1996. The Natural History of Monitor Lizards. Malabar, Florida

Desiani H, Mohamad K, Adnyane IKM, Agungpriyono S. 2000. Studi morfologi kelenjar aksesoris kelamin jantan tupai (tupaia glis) dengan tinjauan khusus pada sebaran karbohidrat. Media Veteriner. 7(4):6-10.

Dewi RK. 2012. Gambaran Mikroanatomi Spermatogenesis pada Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Eroschenko VP. 2008. Di Fiore's Atlas of Histology with Functional Correlations, 11th Edition. Philadelphia (US): Lippincott Williams & Wilkins.

Ferreira A, Laura IA, Dolder H. 2002. Reproductive cycle of male green iguanas, Iguana iguana (Reptilia: Sáuria: Iguanidae), in the Pantanal of Brasil. Brazilian J of Morph Sc. 19(1):23-28.

(42)

28

Gaulke M. 1992. Distribution, population density and exploitation of the water monitor (Varanus salvator bivittatus) in the Philippines. Hamadryad. 17:21-27.

Goin CJ, Goin OB, Zug GR. 1978. Introduction to Herpetology, 3th edition. San Fransisco (US): WH Freeman and Co.

Goldstein M, Padma-Nathan H. 1990. The microarchitecture of the intracavernosal smooth muscle and the cavernosal fibrous skeleton. J Urology. 144: 61-77.

Gumilang R, Priyono A, Mardiastuti A. 2003. Populasi dan penyebaran biawak air asia (Varanus salvator bivittatus) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Jakarta. Di dalam: T. Harvey, Editor. Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan; 2003 Mei 8; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. hlm 163-171.

Jenkins M, Broad S. 1994. International Trade in Reptile Skins: A Review and Analysis of the Main Consumer Markets, 1983–1991. Cambridge (GB): TRAFFIC International.

Kardong KV. 2008. Vertebrates: Comparative Anatomy, Function, Evolution, 5th Edition. United States of America: McGraw−Hill Primis.

Karim SA. 1998. Macroscopic and microscopic anatomy of the hemipenes of the snake Bittis arietans arietans. JKAU: Sci. 10:25-38.

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemiscal Method, 2nd Edition. England: Pergamon Pr.

Koch A, Auliya M, Schmitz A, Kuch U, Böhme W. 2007. Morphological studies on the systematics of South East Asian water monitors (Varanus salvator bivittatus Complex): nominotypic populations and taxonomic overview. Mertensiella. 16:109-180.

Koch A, Ziegler T, Böhme W, Arida E, Auliya M. 2013. Pressing Problems: Distribution, threats, and conservation status of the monitor lizards (Varanidae: Varanus spp.) of Southeast Asia and the Indo-Australian Archipelago. Herpetol Conserv and Biol. 8(3):1-62.

Leal MC, Franca LR. 2006. The seminiferous epithelium cycle length in the Black tufted-ear marmoset (Callithrix penicillata) is similar to humans. Biol Repro. 74:616–624. doi:10.1095/biolreprod.105.048074.

Lutz D. 2005. Tuatara: A Living Fossil, Salem.Oregon (US): DIMI Pr.

Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Perdagangan Reptil Indonesia di Pasar Internasional. Di dalam: T. Harvey, Editor. Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan; 2003 Mei 8; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. hlm 131-144.

Mattison C. 2005. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians, an Essential Guide to Reptiles and Amphibians of the World. Singapore (SG): Grange Books Plc.

[MNH] Museum of Natural History. 2009. Hemipenes of snakes and lizards. Universitas of Colorado. http://cumuseum.colorado.edu/exhibits/ objects/hemipenes-snakes-and-lizards. diakses 10 Maret 2013.

(43)

29 Morais DB, de Paula TAR, de Freitas KM, Luis S, da Matta P. 2012. Cycle of the seminiferous epithelium of the bat Molossus molossus, characterized by tubular morphology and acrosomal development. APJR. 1(4): 303-307. Paré JA. 2006. An overview of pet reptile species and proper handling. Proc

North American Vet Conf. 20:1657-1660.

Porto M, de Oliveira MA, Pissinatti L, Rodrigues RL, Rojas-Moscoso JA, et al. 2013. The evolutionary implications of hemipenial morphology of Rattlesnake Crotalus durissus terrificus (Laurent, 1768) (Serpentes: Viperidae: Crotalinae). PLoS ONE 8(6): e66903. doi:10.1371/journal.pone.0066903.

Prades RB, Lastica EA, Acorda JA. 2013. Ultrasonography of the urogenital organs of male water monitor lizard (Varanus marmoratus, Weigmann, 1834). Philipp J Vet Anim Sci. 39(2):247-258.

Putra, YA, Masy’ud B, Ulfah, M. 2008. Keanekaragaman satwa berkhasiat obat di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat, Indonesia. Med Konservasi. 13(1): 8-15.

Putra SM. 2012. Morfologi Organ Reproduksi Musang Luak Jantan (Paradoxurus hermaphroditus) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rieppel O. 2000. Turtles as diapsid reptiles. Zoologica Scripta. 29(3):199-212. Ruiz CC, Wade J. 2002. Sexual dimorphisms in a copulatory neuromuscular

system in the Green Anole Lizard. J Comp Neurol. 443:289-297. Doi: 10.1002/cne.10132

Sever DM. 2004. Ultrastructure of the reproductive system of the black swamp snake (Seminatrix pygaea). IV. Occurrence of an ampulla ductus deferentis. J Morphol. 262:714-730.

Shine R, Harlow PS, Keogh JS, Boeadi. 1996. Commercial harvesting of giant lizards: the biology of water monitors Varanus salvator bivittatus in Southern Sumatra. Biologic Conserv. 77(2-3): 125-134.

Shine R, Ambariyanto, Harlow PS, Mumpuni. 1998. Ecological traits of commercially harvested water monitors, Varanus salvator bivittatus, in Northern Sumatra. Wildlife Research. 25:437-447.doi:10.1071/WR97118. Tethool AN. 2011. Karakteristik Reproduksi Bandikut (Echymipera kalubu)

Jantan. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wahyuni S, Agungpriyono S, Agil M, Yusuf TL. 2012. Histologi dan histomorfometri testis dan epididimis Muncak (Muntiacus muntjak muntjak)pada periode ranggah keras. Jurnal Veteriner. 13(3):211-219. [WAZA] World Association of Zoos and Aquariums. 2013. Water Monitor

(Varanus salvator bivittatus). United for Concervation. http://www.waza.org/en/zoo/choose-a-species/reptils/lizards-and-tuatara/ varanus-salvator bivittatus. diakses 10 April 2013.

Wiechmann R. 2012. Observations on parthenogenesis in monitor lizards. Biawak. 6(1):11-21.

Wing TY, Christensen AK. 1982. Morphometric studies on rat seminiferous tubules. Americ J Anatomy. 165:13-25

(44)

30

Lampiran 1 Prosedur pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) Tahapan pewarnaan hematoksilin eosinadalah sebagai berikut:

1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II dan III masingmasing selama 3-5 menit.

2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi 100%, 95%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3-5 menit.

3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian direndam dalam akuades selama 5 menit.

4. Preparat diwarnai dengan hematoksilin selama 30-45 detik, kemudian direndam di dalam air keran selama beberapa detik.

5. Warna yang dihasilkan dikontrol di bawah mikroskop. Jika warna ungu yang dihasilkan kurang kontras, maka preparat dicelupkan kembali ke dalam pewarna hematoksilin selama 3-5 detik. Namun jika warnanya terlalu ungu, maka preparat dapat dicelupkan dalam larutan pemucat hematoksilin 1-2 kali (0,5% HCl dalam alkohol 70%).

6. Preparat kembali direndam di dalam air keran selama 10 menit lalu, direndam di dalam akuades slema 5 menit.

7. Preparat diwarnai dengan eosin selama 30-45 detik, kemudian direndam kembali dalam akuades selama 5 menit.

8. Preparat didehidrasi dengan alkohol konsentrasi bertingkat dimulai dengan 70%, 80%, 90%, 95%, dan 100% (I, II, dan III), masing-masing 2-4 kali celup.

9. Preparat dijernihkan dengan larutan xylol I, II dan III masing-masing selama 5 menit.

10. Proses mounting dilakukan dengan penutupan preparat dengan cover glass menggunakan entelan®.

Gambar

Gambar 1 Morfologi tubuh biawak V. s. bivittatus jantan. A. Posisi dorso-ventral.
Gambar 2 Organ reproduksi jantan pada biawak. (Sumber: Kardong 2008). Biawak memiliki sepasang testis, epididymis, ductus deferens dan hemipenis
Gambar 3 Hemipenis salah satu jenis Reptil yaitu ular Crotalus atrox.
Tabel 1 Ukuran masing-masing organ reproduksi jantan biawak V. s. bivittatus
+7

Referensi

Dokumen terkait